Maaf, saya tidak menemukan tabel apa pun dalam dokumen tersebut. Dokumen tersebut berisi ringkasan skripsi yang membahas tentang tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di SMK Negeri 5 Semarang.
1. TATA TERTIB SEKOLAH SEBAGAI SARANA
PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH MENENGAH
KEJURUAN (SMK) NEGERI 5 SEMARANG
SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan pada Universitas Negeri Semarang
Oleh
Giri Harto Wiratomo
NIM 3401403057
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
2007
2. PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian
skripsi pada:
Hari : Kamis
Tanggal : 19 Juli 2007
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Makmuri Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si
NIP. 130675638 NIP. 131813668
Mengetahui,
Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Drs. Slamet Sumarto, M.Pd
NIP. 131570070
iii
3. PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang pada:
Hari : Sabtu
Tanggal : 4 Agustus 2007
Penguji Skripsi
Drs. Suprayogi, M.Pd
NIP. 131474095
Anggota I Anggota II
Drs. Makmuri Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si
NIP. 130675638 NIP. 131813668
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Drs. Sunardi, M.M
NIP. 130367998
iv
4. PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar – benar hasil
karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau
seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, 19 Juli 2007
Peneliti
Giri Harto Wiratomo
NIM. 3401403057
v
5. MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya
yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”
(Al Baqarah:45)
Hidup hanya sekali jadikanlah lebih berarti bagi diri dengan hiasan
prestasi (Peneliti)
PERSEMBAHAN
Ayah dan Ibu,
Kakakku Lilian Maharani, S.Pd dan Anton
Sundargo, S.Pd
Adikku Kopral Taruna Pramudyo Wardani di
Akademi Militer Magelang
vi
6. PRAKATA
Segala rasa syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT Raab semesta
alam atas limpahan rahmat, hidayah serta karunia sehingga peneliti dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi dengan lancar dan tepat pada waktunya dengan
judul ”Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang”.
Penyusunan skripsi ini dilakukan adalah sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan studi Strata Satu (S1) pada Program Studi Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Semarang. Peneliti menyadari bahwa dengan tanpa
adanya bantuan dari berbagai pihak penulisan skripsi ini tidak dapat terwujud.
Oleh karena itu peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Prof. DR. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si, Rektor Universitas Negeri
Semarang.
2. Drs. Sunardi, M.M, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Semarang.
3. Drs. Slamet Sumarto, M.Pd, Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan
kesempatan peneliti untuk berkarya dan menyelesaikan studi di Program
Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Hukum dan
Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
vii
7. 4. Drs. Makmuri, Pembimbing Skripsi I yang dengan keikhlasan dan
ketelitian memberikan bimbingan baik berupa motivasi dan masukan bagi
penyusunan skripsi ini.
5. Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si, Pembimbing Skripsi II yang dengan
kesabaran membimbing dan mengarahkan peneliti baik saran dan petunjuk
dari awal hingga akhir guna penyusunan skripsi ini.
6. Drs. H. M. Saidi, Kepala Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang yang telah bersedia memberikan kemudahan dan perizinan
dalam penyusunan skripsi ini.
7. Ayah dan Ibu yang selalu memelukku dalam ruang sandaran hati dan kasih
sayang yang tiada hentinya dengan segala dorongan motivasinya.
8. Teman – teman seperjuangan ”Almamater Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan Angkatan 2003”.
9. Semua pihak – pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu atas
bantuan yang diberikan baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk penyelesaian skripsi ini.
”Tak ada gading yang tak retak” serta sebagai insan biasa, peneliti
menyadari atas kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Kritik dan saran yang
sifatnya membangun selalu peneliti harapkan demi perbaikan di masa depan.
Semoga peyusunan skripsi dapat memberikan manfaat khususnya bagi diri
peneliti dan pembaca pada umumnya. Amin
Semarang, 19 Juli 2007
Peneliti
viii
8. SARI
Giri Harto Wiratomo. 2007. Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana Pendidikan
Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang. Jurusan
Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
125h.
Kata Kunci: Tata Tertib, Sarana, Pendidikan Moral
Kondisi akhir – akhir ini menunjukkan telah terjadi degradasi moral pada
kualitas personal bangsa Indonesia terutama generasi muda. Banyak faktor yang
mempengaruhi gejala – gejala degradasi moral tersebut. Permasalahan yang dikaji
dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah benar tertib sekolah berisi muatan sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?,
(2) Bagaimana pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?, (3) Bagaimana kendala
– kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?.
Dasar penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif. Ada 2 (dua) variabel yang
dikaji dalam penelitian ini, yaitu: (1) Tingkah laku siswa dalam implementasi tata
tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Negeri 5 Semarang, (2) Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang, dan
(3) Kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata tertib sekolah
sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap tata tertib
sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang tergolong tinggi. Pelanggaran tata tertib sekolah tersebut
meliputi tidak masuk tanpa keterangan (alpa), meninggalkan pelajaran tanpa izin,
baju tidak dimasukkan, mencorat – coret seragam sekolah, berkelahi, tidak segera
menempuh atau menyelesaikan remidi. Bentuk – bentuk pelanggaran tata tertib
sekolah bersifat ringan, sedang, dan berat. Faktor – faktor penyebab siswa
melanggar tata tertib sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang adalah faktor internal dan eksternal. Berdasarkan penelitian pendidikan
moral selain diajarkan melalui bentuk formal dalam mata pelajaran juga dapat
diberikan dalam bentuk informal melalui bentuk – bentuk lain seperti adanya tata
tertib sekolah. Pendidikan moral pada intinya adalah mengajarkan dan melatih
siswa terhadap kesadaran moral. Implementasi tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral adalah pada isi tata tertib sekolah (content), berperan sebagai
alat pencegah (preventif) dan sanksi yang mendidik. Perbedaannya hanya terletak
pada bentuk dan cara menggunakannya. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai
sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang menggunakan sistem credit poin. Kendala – kendala utama yang
dihadapi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang adalah
kurangnya konsistensi Guru dalam penegakan tata tertib sekolah. Upaya – upaya
ix
9. sekolah dalam penegakan tata tertib sekolah adalah secara preventif, kuratif atau
rehabilitatif dan represif.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi sekolah, orang tua
dan masyarakat. Kepala Sekolah hendaknya terus berkomitmen dan lebih intensif
mengadakan penegakan kedisiplinan siswa serta fasilitas pendukung dalam upaya
menekan tingkat pelanggaran siswa terhadap tata tertib sekolah. Guru hendaknya
terus melakukan kontrol terhadap pelanggaran tata tertib sekolah terutama
membina kedisiplinan siswa. Siswa hendaknya dengan penuh kesadaran diri untuk
mematuhi tata tertib sekolah. Orang tua hendaknya ikut serta melakukan
pembinaan moral anaknya agar patuh dan taat terhadap tata tertib sekolah.
x
10. DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. ii
PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................... iii
PERNYATAAN ............................................................................................. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. v
PRAKATA ..................................................................................................... vi
SARI ............................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................. x
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ...................................... 7
C. Perumusan Masalah ................................................................. 8
D. Tujuan Penelitian ..................................................................... 9
E. Kegunaan Penelitian ................................................................ 10
F. Sistematika Penulisan Skripsi .................................................. 11
BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................... 13
A. Tata Tertib Sekolah .................................................................. 13
B. Pendidikan Moral ..................................................................... 18
xi
11. C. Hubungan Tata Tertib Sekolah dan Pendidikan Moral ............ 35
D. Sarana Pendidikan Moral ......................................................... 40
E. Kerangka Berpikir.................................................................... 44
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 46
A. Dasar Penelitian ....................................................................... 46
B. Fokus Penelitian ....................................................................... 47
C. Sumber Data Penelitian ........................................................... 48
D. Alat dan Teknik Pengumpulan Data ........................................ 50
E. Objektivitas dan Keabsahan Data ............................................ 54
F. Metode Analisis Data .............................................................. 57
G. Prosedur Penelitian .................................................................. 60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 61
A. Hasil Penelitian ........................................................................ 61
1. Gambaran Umum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang ............................................................. 61
2. Keadaan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang ............................................................. 64
3. Keadaan Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang ............................................................. 65
4. Tingkat Kedisiplinan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Negeri 5 Semarang ................................................ 67
xii
12. 5. Isi Tata Tertib Sekolah Kaitannya Dengan Pelaksanaan
Pendidikan Moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang ............................................................. 70
B. Pembahasan .............................................................................. 73
1. Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana
Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang ............................................................. 73
2. Kendala – Kendala Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah
Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.................................. 98
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 105
A. Simpulan .................................................................................. 105
B. Saran ......................................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
LAMPIRAN ...................................................................................................
xiii
13. DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Jumlah Siswa SMK Negeri 5 Semarang ..................................... 65
2. Tabel 2 Data Guru Normatif/Adaptif SMK Negeri 5 Semarang ............ 66
3. Tabel 3 Data Guru Produktif SMK Negeri 5 Semarang .......................... 67
4. Tabel 4 Jenis Pelanggaran Tata Tertib Sekolah SMK Negeri 5
Semarang .................................................................................................. 69
5. Tabel 5 Perbandingan Penerapan Sistem Credit Poin ............................. 86
xiv
14. DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1 Bagan components of good character .................................... 34
2. Gambar 2 Hubungan Moral, Etika dan Hukum ....................................... 37
3. Gambar 3 Bagan Kerangka Berpikir ........................................................ 44
4. Gambar 4 Bagan Metode Analisis Data ................................................... 59
5. Gambar 5 Pola Pembinaan Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah ................. 81
6. Gambar 6 Faktor – Faktor Mempengaruhi Moral Siswa ......................... 93
xv
15. DAFTAR LAMPIRAN
1. Instrumen Wawancara
2. Hasil Wawancara
3. Daftar Nama Responden
4. Foto – Foto Wawancara
5. Surat Penelitian
6. Tata Tertib Siswa
7. Jadwal Piket Pembinaan Ketertiban Guru dan Siswa Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang
8. Analisis Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Komponen Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang
9. Struktur Organisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang
10. Pola Umum Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang
11. Daftar Nama Guru dan Karyawan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri
5 Semarang
xvi
16. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Merebaknya isu – isu moral di kalangan remaja seperti penggunaan
obat – obat terlarang (narkoba), tawuran pelajar, pornografi dan lain – lain,
sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara
tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap
sebagai suatu persoalan sederhana, karena tindakan – tindakan tersebut sudah
menjurus kepada tindakan – tindakan yang bersifat kriminal.
Remaja merupakan usia atau tahap seorang siswa mencari jati diri
yang dilakukan melalui peniruan diri atau imitasi. Pergaulan remaja yang
tanpa arah dan pengawasan terhadap tingkah laku mereka akan mempunyai
kecenderungan mengarah pada pergaulan remaja yang negatif. Banyak
anggapan dari siswa selama ini bahwa tata tertib sekolah hanya membatasi
kebebasan mereka sehingga berakibat pelanggaran terhadap peraturan itu
sendiri. Tanpa disadari bahwa kebebasan yang kurang bertanggung jawab
akan merugikan diri sendiri, keluarga dan masyarakat.
Pendidikan moral kepada anak diawali saat mereka berada pada
lingkungan keluarga terutama orang tua melalui proses sosialisasi norma dan
aturan moral dalam keluarga sendiri serta lingkungan dekat pergaulan sosial
anak. Kemudian saat anak masuk ke sekolah mulai diperkenalkan dan
diajarkan sesuatu yang baru yang tidak diajarkan dalam keluarga. Sekolah,
1
17. 2
sebagai tempat sosialisasi kedua setelah keluarga serta tempat anak ditatapkan
kepada kebiasaan dan cara hidup bersama yang lebih luas lingkupnya serta ada
kemungkinan berbeda dengan kebiasaan dan cara hidup dalam keluarganya,
sehingga berperan besar dalam menumbuhkan kesadaran moral diri anak.
Penanaman kebiasaan bersikap dan berbuat baik atau sebaliknya bersikap dan
berbuat buruk, pada tahap awal pertumbuhannya, anak dapat sangat
dipengaruhi oleh lingkungan sekolah tempat ia belajar.
Subjek didik tidak begitu saja lahir sebagai pribadi bermoral atau
berakhlak mulia. Lingkungan sekolah merupakan lembaga pendidikan yang
dapat menunjang terjadinya rekonstruksi sosial ke arah masyarakat yang lebih
baik, dan mengemban misi membentuk watak yang baik dari anak bangsa.
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat tentang tujuan negara Indonesia
menyatakan dengan jelas “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ”.
Pada aspek tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam pasal 3
Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warganegara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Mencerdaskan kehidupan bangsa
18. 3
merupakan lingkup filosofis serta yuridis arti pendidikan yang melandasi
pendidikan di Indonesia. Pandangan Ki Hajar Dewantara (Munib, 2004:32)
menyatakan bahwa: ”pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk
memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intelek), dan tubuh anak”.
Berkaitan dengan Pendidikan, Tilaar dalam Mulyasa (2002)
mengemukakan bahwa Pendidikan Nasional dewasa ini sedikitnya ada tujuh
masalah pokok Sistem Pendidikan Nasional:
1. Menurunnya akhlak peserta didik;
2. Pemerataan kesempatan belajar;
3. Masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan;
4. Terjadinya degradasi moral peserta didik;
5. Status kelembagaan;
6. Manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan
nasional;
7. Sumber daya yang belum profesional.
Pendidikan harus dipahami sebagai bagian dari proses pembudayaan
subjek didik sehingga bukan hanya pengalihan dan penguasaan ilmu
pengetahuan serta pelatihan serta penguasaan keterampilan – keterampilan
teknis tertentu, namun juga perlu dipahami sebagai penumbuhan dan
pengembangan subjek didik menjadi pribadi manusia yang berbudaya dan
beradab. Tujuan menjadi pribadi manusia yang berbudaya dan beradab adalah
mewujudkan personal yang tidak hanya cerdas dalam segi kognitif akan tetapi
mampu mengembangkan dan menanamkan kemampuan tertinggi dalam
mengaktualisasikan budaya yang dimiliki suatu bangsa agar tidak kehilangan
jati diri sebagai suatu bangsa akibat tergerus oleh perubahan zaman.
19. 4
Pada saat remaja inilah masa anak berhadapan dengan cara
bertindak dan cara bernalar berbeda dengan apa yang selama ini sudah
menjadi kebiasaannya, anak mulai ditantang untuk memilih dan mengambil
keputusan sendiri, entah ia akan meneruskan kebiasaan yang selama ini telah
ditanamkan dalam keluarganya atau mengambil jarak terhadapnya dan lebih
menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya di sekolah. Kondisi saat ini
adalah ketika anak berada pada masa memulai pilihan dirinya akan
pendewasaan diri dari masa anak – anak ke masa dewasa.
Meski tugas dan tanggung jawab utama untuk melakukan
pendidikan moral terhadap anak terletak di pundak orang tua dalam
lingkungan keluarga tempat anak itu lahir dan dibesarkan, namun itu tidak
berarti sekolah tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan
pendidikan moral khususnya pada tahap pendidikan dasar dan menengah,
tempat remaja masih dalam proses pembiasaan diri mengenal dan mematuhi
aturan hidup bersama yang berlaku dalam masyarakatnya, berlatih displin,
berbuat baik dan mengalami proses pembentukan identitas diri moral mereka,
pendidikan moral perlu secara khusus mendapat perhatian para Guru dan
pendidik di sekolah.
Di sekolah banyak sekali ditemui komponen yang bisa menjadi
sarana dari pendidikan moral. Salah satu komponen sekolah yang menjadi
sarana pendidikan moral tersebut adalah tata tertib sekolah. Tata tertib sekolah
sebagai bentuk peraturan dalam tingkatan hierarki terendah tata perundang –
undangan memuat adanya aspek pendidikan moral dan rule of law. Peraturan
20. 5
yang dibuat tidak hanya legal formal akan tetapi menuntut adanya penerapan
moral di dalamnya. Hubungan tersebut erat kaitannya dengan hakikat dan isi
dari pembuatan peraturan. Internalisasi nilai – nilai moral kepada subjek didik
diperlukan upaya yang optimal dalam rangka menegakkan tata tertib sehingga
pelaksanaan tidak hanya bersifat rule of law saja akan tetapi didasari oleh
esensi adanya pendidikan moral.
Dari hasil pengamatan awal lapangan di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang oleh peneliti, diketahui kasus atau
pelanggaran terhadap tata tertib sekolah masih sering dilakukan siswa. Pada
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang khususnya, diketahui
pula pada periode tahun pelajaran 2003/2004 terjadi sebanyak 162 kasus atau
pelanggaran kemudian tahun pelajaran 2004/2005 meningkat sebanyak 430
kasus atau pelanggaran dan pada tahun pelajaran 2005/2006 sebanyak 209
kasus atau pelanggaran yang meliputi antara lain tidak masuk tanpa
keterangan (alpa), meninggalkan pelajaran tanpa izin, baju tidak dimasukkan,
mencorat – coret seragam sekolah, berkelahi, tidak segera menempuh atau
menyelesaikan remidi dan lain – lain. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
kasus atau pelanggaran terhadap tata tertib sekolah yang dilakukan oleh siswa
masih cukup tinggi.
Pelanggaran terhadap tata tertib sekolah menunjukkan siswa kurang
patuh terhadap peraturan sekolah. Berbagai upaya yang telah dilaksanakan di
sekolah sering kurang dihargai dan diperhatikan oleh siswa. Sekolah
memegang peran yang sangat penting dalam menanamkan dan menumbuhkan
21. 6
aspek pendidikan moral. Kasus atau pelanggaran tata tertib sekolah tersebut
terkait dengan karakteristik siswa seperti perbedaan – perbedaan yang dimiliki
setiap individu yang dipengaruhi oleh sikap, minat, keinsyafan, pengetahuan
dan faktor lain yang mempengaruhinya. Kepatuhan terhadap tata tertib
sekolah adalah sebuah kesiapan yang harus ditanamkan kepada siswa di
sekolah agar mempunyai sikap dan perbuatan sesuai dengan norma – norma
yang berlaku di masyarakat. Seseorang akan patuh atau sadar dalam mematuhi
peraturan atau hukum berkaitan pula dengan faktor peraturan atau hukum itu
sendiri.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas peneliti memilih Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang sebagai objek yang akan
diteliti karena: (1) Kasus atau pelanggaran terhadap tata tertib sekolah yang
masih tinggi terutama sebagai penerapan konsep pendidikan moral, (2) Aspek
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan kurang diperhatikan karena
dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan digabung dengan Sejarah
sehingga kurang optimal, (3) Sekolah Menengah Kejuruan mempersiapkan
siswa untuk siap bekerja di masyarakat sehingga diperlukan nilai – nilai moral
dalam bekerja dan letak sekolah yang strategis mudah dijangkau peneliti serta
dapat memudahkan peneliti untuk memperoleh data – data dalam melakukan
penelitian.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti ingin mengetahui
tentang pelaksanaan dan kendala – kendala yang dihadapi Guru serta sekolah
dalam menerapkan peraturan sebagai implementasi atau penerapan
22. 7
konseptualisasi pendidikan moral di sekolah maka peneliti mengambil judul
penelitian: “ TATA TERTIB SEKOLAH SEBAGAI SARANA
PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK)
NEGERI 5 SEMARANG ”.
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Pada lingkup tahap siswa merupakan masa yang penuh gejolak.
Siswa adalah bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari sekolah.
Perubahan sosial yang begitu cepat, kemudahan akses teknologi yang
sedemikian maju, perbenturan antara nilai lokal dan nilai global
menyebabkan kondisi dan situasi yang sangat rawan terhadap
pembentukan serta perkembangan moral siswa yang baik.
Pendidikan adalah upaya untuk mendewasakan manusia yang
memiliki identitas sebagai manusia sebenarnya. Penyimpangan tingkah
laku siswa mencerminkan adanya kesenjangan antara harapan dan
kenyataan. Menemukan pendekatan dan strategi itulah diperlukan suatu
penelitian yang memadai sehingga dapat memberikan bahan pertimbangan
yang diperlukan seperti masih adanya hal – hal yang berkaitan dengan tata
tertib sekolah yang belum tertangani dengan baik, harus ada paparan
tentang sistem pengelolaan tata tertib sekolah yang dijadikan rujukan guna
penanganan masalah – masalah ketertiban.
23. 8
Ketertiban sekolah sering dijadikan indikasi keberhasilan
pembinaan mental dan tingkah laku siswa, latar belakang sosial keluarga
dan lingkungan banyak memberikan pengaruh terhadap ketaatan
melaksanakan tata tertib sekolah. Ketaatan dalam melaksanakan tata tertib
sekolah juga akan menumbuhkan dampak nuansa yang mendukung
pembelajaran yang lebih optimal pada diri siswa dan pihak sekolah.
2. Pembatasan Masalah
Berkaitan dengan luasnya permasalahan serta agar tidak terjadi
kesalahpahaman dalam menanggapi isi atau uraian dalam lingkup
pembahasan ini, maka berikut ini akan dijelaskan beberapa fokus utama
dan indikator yang disajikan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Hal – hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tata tertib sekolah
sebagai media dalam maksud atau tujuan mencapai pendidikan
moral.
2. Tata tertib sekolah dalam penelitian ini dibatasi pada tata tertib
yang berlaku bagi siswa.
3. Tata tertib sekolah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
sejumlah aturan yang ditetapkan sekolah yang harus dipatuhi oleh
siswa di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
C. Perumusan Masalah
Kenyataan di sekolah masih ditemui banyak kasus atau pelanggaran
terhadap tata tertib sekolah. Kenyataan tersebut menimbulkan berbagai
24. 9
persoalan dan permasalahan mengenai pelaksanaan pendidikan moral. Sesuai
dengan pembatasan masalah diatas maka penelitian ini mengambil rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apakah benar tata tertib sekolah berisi muatan sarana pendidikan
moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
2. Bagaimana pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan
moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
3. Bagaimana kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata
tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penelitian ini
mempunyai tujuan yaitu:
1. Untuk mengetahui implementasi konsep tata tertib sekolah sebagai
sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang.
3. Untuk mengetahui kendala – kendala yang dihadapi sekolah terutama
terhadap tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
25. 10
E. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini dapat dipergunakan untuk menambah khasanah
pengembangan pustaka ilmu pengetahuan secara umum dan secara khusus
pada kajian lingkup pendidikan moral serta dapat digunakan sebagai
referensi bagi yang akan melakukan penelitian sejenis. Oleh karena itu,
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
kajian – kajian dan teori – teori yang berkaitan dengan persoalan tersebut.
2. Kegunaan Praktis
b Bagi Guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan yang berharga dalam upaya meningkatkan pendidikan moral
terutama di sekolah.
c Bagi Siswa, sebagai motivasi untuk meningkatkan sikap dan tingkah
lakunya dalam mematuhi tata tertib yang dibuat oleh sekolah.
d Bagi Orang tua, sebagai bahan pertimbangan untuk lebih
meningkatkan kualitas dalam mendidik dan memupuk pendidikan
moral khususnya di lingkungan keluarga.
e Bagi Sekolah, diharapkan dapat memberikan masukan yang
digunakan untuk melaksanakan tata tertib sebagai sarana pendidikan
moral di sekolah dan menerapkan kebijakan – kebijakan sekolah
dalam rangka meningkatkan pendidikan moral khususnya kepada
siswa.
26. 11
F. Sistematika Penelitian Skripsi
Sistematika skripsi adalah pokok persoalan yang akan disajikan
dalam bab – bab yang terangkum dalam suatu skripsi. Adapun sistematika
skripsi yang akan dibahas sebagai berikut:
1. Bagian Pendahuluan skripsi, terdiri atas: (a) Halaman Judul, (b) Abstrak,
(c) Halaman Persetujuan, (d) Halaman Pengesahan, (e) Halaman Motto
dan Persembahan, (f) Prakata, (g) Daftar Isi, (h) Daftar Gambar / Foto, (i)
Daftar Lampiran.
2. Bagian Inti skripsi terdiri atas
Bab I Pendahuluan berisi Latar Belakang Masalah, Identifikasi dan
Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan
Penelitian dan Sistematika Penelitian Skripsi.
Bab II Landasan Teori berisi bab yang menguraikan tentang Pengertian
Tata Tertib Sekolah, Tujuan Tata Tertib Sekolah, Isi Tata Tertib Sekolah,
Tipe – Tipe Kepatuhan Siswa Terhadap Tata Tertib Sekolah, Nilai dan
Moral, Batasan Moral, Pengertian Pendidikan Moral, Tujuan Pendidikan
Moral, Prinsip – Prinsip Pendidikan Moral, Tahap – Tahap
Perkembangan Moral Manusia, Hubungan Antara Tata Tertib Sekolah dan
Pendidikan Moral, Sarana Pendidikan Moral.
Bab III Metode Penelitian merupakan bab yang berisi Dasar Penelitian,
Fokus Penelitian, Sumber Data Penelitian, Alat dan Teknik Pengumpulan
Data, Objektivitas dan Keabsahan Data, Metode Analisis Data dan
Prosedur Penelitian.
27. 12
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan menguraikan tentang Hasil
Penelitian dan Pembahasan Hasil Penelitian.
Bab V Penutup berisi Simpulan dan Saran.
3. Bagian Akhir skripsi berisi Daftar Pustaka, Lampiran – lampiran.
28. BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tata Tertib Sekolah
1. Pengertian Tata Tertib Sekolah
(Mulyono, 2000:14) tata tertib adalah kumpulan aturan – aturan
yang dibuat secara tertulis dan mengikat anggota masyarakat. (Dekdikbud,
1989:37) tata tertib sekolah adalah aturan atau peraturan yang baik dan
merupakan hasil pelaksanaan yang konsisten (tatap azas) dari peraturan
yang ada.
Aturan – aturan ketertiban dalam keteraturan terhadap tata tertib
sekolah, meliputi kewajiban, keharusan dan larangan – larangan. Tata
tertib sekolah merupakan patokan atau standar untuk hal – hal tertentu.
Sesuai dengan keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Nomor 158/C/Kep/T.81 Tanggal 24 September 1981 (Tim
Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP Malang, 1989:145)
ketertiban berarti kondisi dinamis yang menimbulkan keserasian,
keselarasan dan keseimbangan dalam tata hidup bersama makhluk Tuhan
Yang Maha Esa. Ketertiban sekolah tersebut dituangkan dalam sebuah tata
tertib sekolah.
(Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP Malang,
1989:146) mengartikan tata tertib sekolah: sebagai kesediaan mematuhi
ketentuan berupa peraturan – peraturan tentang kehidupan sekolah sehari –
13
29. 14
hari. Tata tertib sekolah disusun secara operasional guna mengatur tingkah
laku dan sikap hidup siswa, Guru dan karyawan administrasi.
Secara umum tata tertib sekolah dapat diartikan sebagai ikatan
atau aturan yang harus dipatuhi setiap warga sekolah tempat
berlangsungnya proses belajar mengajar. Pelaksanaan tata tertib sekolah
akan dapat berjalan dengan baik jika Guru, aparat sekolah dan siswa telah
saling mendukung terhadap tata tertib sekolah itu sendiri, kurangnya
dukungan dari siswa akan mengakibatkan kurang berartinya tata tertib
sekolah yang diterapkan di sekolah.
Peraturan sekolah yang berupa tata tertib sekolah merupakan
kumpulan aturan – aturan yang dibuat secara tertulis dan mengikat di
lingkungan sekolah. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tata
tertib sekolah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain sebagai aturan yang berlaku di sekolah agar proses
pendidikan dapat berlangsung dengan efektif dan efisien.
2. Tujuan Tata Tertib Sekolah
Secara umum dibuatnya tata tertib sekolah mempunyai tujuan
utama agar semua warga sekolah mengetahui apa tugas, hak dan
kewajiban serta melaksanakan dengan baik sehingga kegiatan sekolah
dapat berjalan dengan lancar. Prinsip tata tertib sekolah adalah diharuskan,
dianjurkan dan ada yang tidak boleh dilakukan dalam pergaulan di
lingkungan sekolah.
30. 15
Tata tertib sekolah harus ada sanksi atau hukuman bagi yang
melanggarnya. Menjatuhkan hukuman sebagai jalan keluar terakhir, harus
dipertimbangkan perkembangan siswa. Sehingga perkembangan jiwa
siswa tidak dan jangan sampai dirugikan. Tata tertib sekolah dibuat dengan
tujuan sebagai berikut:
a Agar siswa mengetahui tugas, hak dan kewajibannya.
b Agar siswa mengetahui hal – hal yang diperbolehkan dan
kreatifitas meningkat serta terhindar dari masalah – masalah
yang dapat menyulitkan dirinya.
c Agar siswa mengetahui dan melaksanakan dengan baik dan
sungguh – sungguh seluruh kegiatan yang telah diprogramkan
oleh sekolah baik intrakurikuler maupun ektrakurikuler.
3. Isi Tata Tertib Sekolah
Tata tertib sekolah sebagaimana tercantum di dalam Instruksi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14/4/1974 Tanggal 1 Mei
1974 (Nawawi, 1986:161) mencakup aspek – aspek sebagai berikut:
a. Tugas dan kewajiban.
1). Dalam kegiatan intra kurikuler.
2). Dalam kegiatam ekstra kurikuler.
b. Larangan – larangan bagi para siswa.
c. Sanksi – sanksi bagi siswa.
Tata tertib sekolah termasuk dalam administrasi ko – kurikulum
yaitu merupakan kegiatan – kegiatan yang diselenggarakan di sekolah
untuk menunjang dan meningkatkan daya dan hasil guna kegiatan
31. 16
kurikulum. (Arikunto, 1990:123) berpendapat batasan antara peraturan dan
tata tertib sekolah sebagai berikut:
a Peraturan menunjuk pada patokan atau standar yang sifatnya
umum yang harus dipenuhi oleh siswa. Misalnya peraturan tentang
kondisi yang harus dipenuhi oleh siswa di dalam kelas pada waktu
pelajaran sedang berlangsung.
b Tata tertib sekolah menunjuk pada patokan atau standar yang
sifatnya khusus yang harus dipenuhi oleh siswa. Tata tertib sekolah
menunjuk pada patokan atau standar untuk aktifitas khusus, seperti
penggunaan pakaian seragam, penggunaan laboratorium, mengikuti
upacara bendera, mengerjakan tugas rumah, pembayaran SPP dan
sebagainya.
Tata tertib sekolah bukan hanya sekedar kelengkapan dari
sekolah, tetapi merupakan kebutuhan yang harus mendapat perhatian dari
semua pihak yang terkait, terutama dari pelajar atau siswa itu sendiri.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka sekolah pada umumnya menyusun
pedoman tata tertib sekolah bagi semua pihak yang terkait baik Guru,
tenaga administrasi maupun siswa. Isi tata tertib sekolah secara garis besar
adalah berupa tugas dan kewajiban siswa yang harus dilaksanakan,
larangan dan sanksi.
Pada hakikatnya tata tertib sekolah baik yang berlaku umum
maupun khusus meliputi tiga unsur (Arikunto, 1990:123 – 124) yaitu:
a Perbuatan atau tingkah laku yang diharuskan dan yang
dilarang;
b Akibat atau sanksi yang menjadi tanggung jawab pelaku atau
pelanggar peraturan;
c Cara atau prosedur untuk menyampaikan peraturan kepada
subjek yang dikenai tata tertib sekolah tersebut.
4. Tipe – Tipe Kepatuhan Siswa Terhadap Tata Tertib Sekolah
32. 17
Graham (Sanjaya, 2006:272 – 273) melihat empat faktor yang
merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu:
a. Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma – norma hukum.
Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga
bentuk, yaitu, (1) Kepatuhan terhadap nilai atau norma itu sendiri;
(2) Kepatuhan pada proses tanpa memedulikan normanya sendiri;
(3) Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari
peraturan itu.
b. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan
pertimbangan – pertimbangan yang rasional.
c. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekadar
basa basi.
d. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap
individu tentu saja yang kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat
normativist, sebab kepatuhan semacam ini adalah kepatuhan didasari
kesadaran akan nilai, tanpa memedulikan apakah tingkah laku itu
menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Selanjutnya dalam sumber yang sama dijelaskan, dari empat
faktor ini terdapat lima tipe kepatuhan:
a. Otoritarian. Suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang
ikut – ikutan.
33. 18
b. Conformist. Kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu: (1)
conformist directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau
orang lain; (2) conformist hedonist, yakni kepatuhan yang
berorientasi pada “untung – rugi”, dan (3) conformist integral,
adalah kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri
dengan kepentingan masyarakat.
c. Compulsive deviant. Kepatuhan yang tidak konsisten.
d. Hedonik psikopatik, yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa
memperhitungkan kepentingan orang lain.
e. Supramoralist. Kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap
nilai – nilai moral.
B. Pendidikan Moral
1. Nilai dan Moral
Nilai merupakan ukuran atau pedoman perbuatan manusia. Karena
itu maka nilai diungkapkan dalam bentuk norma dan norma ini mengatur
tingkah laku manusia. Pengertian nilai adalah (Daroeso, 1986:20):
Nilai adalah suatu penghargaan atau kualitas terhadap sesuatu atau
hal, yang dapat dasar penentu tingkah laku seseorang, karena sesuatu atau
hal itu menyenangkan (pleasant), memuaskan (satifying), menarik
(interest), berguna (usefull), menguntungkan (profitable), atau merupakan
suatu sistem keyakinan (belief)
Di antara beberapa macam nilai, ada nilai etik. Nilai etik atau nilai
yang bersifat susila, memberi kualitas perbuatan manusia yang bersifat
susila, sifatnya universal tidak tergantung waktu, ruang dan keadaan. Nilai
34. 19
etik tersebut diwujudkan dalam norma moral. Norma moral merupakan
landasan perbuatan manusia, yang sifatnya tergantung pada tempat, waktu
dan keadaan. Sehingga norma moral itu dapat berubah – ubah sesuai
dengan waktu, tempat dan keadaannya.
Pelaksanaan norma moral yang merupakan perwujudan dari nilai
etik itu, tergantung pada manusianya. Penilaian moral dari perbuatan
manusia ini meliputi semua penghidupan, dalam hal ini hubungan manusia
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri sendiri, terhadap
masyarakat maupun terhadap alam. Perbuatan manusia dinilai secara
moral bilamana perbuatan itu didasarkan pada kesadaran moral.
Adanya nilai – nilai yang merupakn rangsangan (stimulus) diterima
oleh pancaindera, menimbulkan suatu proses dalam diri individu yang
dapat berupa suatu kebutuhan, motif, perasaan, perhatian dan pengambilan
keputusan. Perbuatan susila adalah merupakan wujud dari norma moral
dan norma moral merupakan ungkapan dari nilai etis (Daroeso, 1986:28).
Karena itulah nilai etis menjadi pedoman tingkah laku dan perbuatan
manusia dalam kehidupan sehari – hari. Nilai etis bersifat normatif dan
tingkah laku perbuatan manusia mengarah kepadanya.
2. Batasan Moral
Moral berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan: ajaran kesusilaan.
Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan (Salam, 2000:80). Driyakara
mengatakan bahwa “moral atau kesusilaan” adalah nilai yang sebenarnya
bagi manusia. Dengan kata lain moral atau kesusilaan adalah
35. 20
kesempurnaan sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat
manusia (Daroeso, 1986:22).
Huky (Daroeso, 1986:22) mengatakan: kita dapat memahami
moral dengan tiga cara:
a. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan
diri pada kesadaraan, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk
mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku
dalam lingkungannya.
b. Moral sebagai perangkat ide – ide tentang tingkah laku hidup,
dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok
manusia di dalam lingkungan tertentu.
c. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik
berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.
Pengertian lain tentang moral berasal dari P. J. Bouman yang
mengatakan bahwa ”moral adalah suatu perbuatan atau tingkah laku
manusia yang timbul karena adanya interaksi antara individu – individu di
dalam pergaulan”. Dari beberapa pengertian moral, dapat dilihat bahwa
moral memegang peran penting dalam kehidupan manusia yang
berhubungan dengan baik buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah
laku ini mendasarkan diri pada norma – norma yang berlaku dalam
masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang tersebut
bertingkah laku sesuai dengan norma – norma yang terdapat dalam
masyarakat.
Seorang individu yang tingkah lakunya mentaati kaidah – kaidah
yang berlaku dalam masyarakatnya disebut baik secara moral, dan jika
sebaliknya, ia disebut jelek secara moral (immoral). Dengan demikian
moral selalu berhubungan dengan nilai – nilai. Ciri khas yang menandai
36. 21
nilai moral yaitu tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja, secara
mau dan tahu; dan tindakan itu secara langsung berkenaan dengan nilai
pribadi (person) manusia dan masyarakat Indonesia (Salam, 2000:74).
Dengan demikian, moral adalah keseluruhan norma yang
mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan
perbuatan yang baik dan benar. Objek moral adalah tingkah laku manusia,
perbuatan manusia, tindakan manusia, baik secara individual maupun
secara kelompok (Daroeso, 1986:26). Dalam melaksanakan perbuatan
tersebut manusia didorong oleh tiga unsur, yaitu:
a. Kehendak yaitu pendorong pada jiwa manusia yang memberi alasan
pada manusia untuk melakukan perbuatan.
b. Perwujudan dari kehendak yang berbentuk cara melakukan
perbuatan dalam segala situasi dan kondisi.
c. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dan kesadaran inilah
yang memberikan corak dan warna perbuatan tersebut.
3. Pengertian Pendidikan Moral
Pendidikan moral adalah upaya dari orang dewasa dalam
membentuk tingkah laku yang baik, yaitu tingkah laku yang sesuai dengan
harapan masyarakat yang dilakukan secara sadar. (Daryono, 1998:13)
mengemukakan bahwa: ”Pendidikan moral adalah merupakan suatu usaha
sadar untuk menanamkan nilai – nilai moral pada anak didik sehingga
anak bisa bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai – nilai moral
tersebut”.
Dewey (Daroeso, 1986:32) menyatakan pendidikan moral
seperti pendidikan intelektual mempunyai basis pada berfikir aktif
mengenai masalah – masalah moral dan keputusan – keputusan
37. 22
selanjutnya ia mengatakan tujuan pendidikan adalah pertumbuhan atau
perkembangan moral dan intelektual.
Sementara itu (Sudarminta, 004:108) menyatakan bahwa
pendidikan moral pada umumnya, baik di dalam keluarga maupun di
sekolah, sebagai bagian pendidikan nilai, adalah upaya untuk membantu
subjek didik mengenal, menyadari pentingnya, dan menghayati nilai –
nilai moral yang seharusnya dijadikan panduan bagi sikap dan tingkah
lakunya sebagai manusia, baik secara perorangan maupun bersama – sama
dalam suatu masyarakat. (Daroeso, 1986:45), berpendapat tentang
pendidikan moral bahwa: “pendidikan moral adalah pendidikan yang
menyangkut aspek dari pada watak seseorang yang sama pendidikannya,
watak itu tidak baru dimulai pada saat ia masuk sekolah”.
Pendidikan moral dapat dirumuskan sebagai: suatu proses yang
disengaja di mana para warga muda dari masyarakat dibantu supaya
berkembang dari orientasi yang berpusat pada diri sendiri mengenai hak –
hak dan kewajiban mereka, ke arah pandangan yang lebih luas, yaitu
bahwa dirinya berada dalam masyarakat dan ke arah pandangan yang lebih
mendalam mengenai diri sendiri (Salam, 2000:76).
Kehidupan manusia memang mempunyai otonomi, tetapi
manusia tidak bebas sepenuhnya. Kehidupan manusia terkait oleh
ketentuan – ketentuan yang ada dalam masyarakat. Ketentuan – ketentuan
itu menurut Daroeso (1986:23) sebagai berikut:
1. ketentuan agama yang berdasarkan wahyu.
38. 23
2. ketentuan kodrat yang terutama dalam diri manusia, termasuk
didalamya ketentuan moral universal yaitu moral yang seharusnya.
3. ketentuan adat istiadat buatan manusia termasuk didalamnya
ketentuan moral yang sedang berlaku pada suatu waktu.
4. ketentuan hukum buatan manusia, baik berbentuk adat istiadat
atau hukum negara.
Diungkapkan oleh Magnis (Daroeso, 1986:27) bahwa:
berkesadaran moral tidak lain adalah merasa wajib untuk melakukan
tindakan yang bermoral. Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan
tindakan yang bermoral itu ada dan terjadi di dalam hati sanubari manusia,
siapapun, dimanapun dan kapanpun juga.
Kohlberg seorang pakar Perkembangan Moral secara Kognitif
(Cognitive Moral Development) memandang pendidikan moral adalah
pendidikan mengenai prinsip – prinsip umum tentang moralitas dengan
menggunakan metode pertimbangan moral atau cara – cara memberi
pertimbangan moral. Prinsip – prinsip moralitas adalah prinsip mengenai
pilihan. Kohlberg melihat pendidikan moral adalah kegiatan untuk
membantu peserta didik menuju kearah yang sesuai dengan kesiapan
mereka, dan tidak memaksakan pola – pola eksternal terhadapnya. Dalam
pendidikan moral senantiasa melibatkan stimulasi perkembangan melalui
tahap – tahap, dan tidak sekedar mengajarkan kebenaran – kebenaran yang
sudah baku. Secara umum pendidikan moral berkenaan dengan aturan –
aturan (moral rules), sikap – sikap (behavior), dan tingkah laku (action).
Pandangan Wilson tentang esensi dari pendidikan moral adalah
menanamkan pilihan – pilihan yang benar dan klarifikasi akan perasaan
dan disposisi tersebut. Pendidikan moral umumnya lebih menunjuk kepada
39. 24
pengembangan konsepsi keadilan yang begitu dipengaruhi oleh pemikiran
– pemikiran Kant (Haricahyono, 1995:210) moralitas mencakup makna
yang begitu luas, antara lain:
a Tingkah laku membantu orang lain;
b Tingkah laku yang sesuai dengan norma – norma sosial;
c Internaliasasi norma – norma sosial;
d Timbulnya empati atau rasa salah, atau bahkan keduanya;
e Penalaran tentang keadilan, dan
f Memperhatikan kepentingan orang lain.
4. Tujuan Pendidikan Moral
Sasaran dari moral adalah keselarasan dari perbuatan manusia
dengan aturan – aturan yang mengenai perbuatan – perbuatan manusia itu
(Salam, 2000:9). Tujuan secara khusus pendidikan moral: untuk
berkembangnya siswa dalam penalaran moral (moral reasioning) dan
melaksanakan nilai – nilai moral (Salam, 2000:77).
Pandangan Salam (2000: 80) tentang tujuan pendidikan moral
adalah:
membimbing para generasi muda untuk memahami dan menghayati
Pancasila secara keseluruhan dan setiap sila. Tujuan akhirnya adalah
agar dapat menumbuhkan manusia – manusia pembangunan yang
dapat membangun dirinya sendiri serta bersama – bersama
bertanggungjawab atas pembangunan
Ditambahkan bahwa tujuan pendidikan moral adalah: (1)
Meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2)
Meningkatkan kecerdasan dan keterampilan dan mempertinggi budi
pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan.
Tujuan utama pendidikan moral adalah untuk meningkatkan
kapasitas berpikir secara moral dan mengambil keputusan moral.
40. 25
mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan moral ditekankan pada metode
pertimbangan moral dan untuk membantu anak – anak untuk mengenal
apa yang menjadi dasar untuk menerima suatu nilai. Selain itu tujuan
pendidikan moral adalah untuk mengusahakan perkembangan yang
optimal bagi setiap individu. Lickona (Koyan, 2000:85) mengemukakan
tentang dua tujuan utama pendidikan moral, yaitu kebijakan dan kebaikan.
Selain itu sebagai intrakulikuler dalam mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) tujuan pendidikan moral (Daryono,
1998:31) yaitu:
meneruskan dan mengembangkan jiwa semangat dan nilai – nilai
yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 kepada generasi
muda, dengan menekankan ranah sikap dan nilai – nilai yang
mendorong semangat, merangsang ilham, dan menyeimbangkan
kepribadian peserta didik
Tujuan Pendidikan moral perlu diefektifkan, karena adanya
kecenderungan remaja bertingkah laku menyimpang. Membangun
manusia seutuhnya adalah masalah dan tugas pendidikan di lingkungan
keluarga, sekolah, lingkungan manusia seutuhnya adalah tugas untuk
membantu manusia dalam perkembangannya menjadi manusia insan
kamil/manusia yang sempurna, manusia yang sehat jasmani dan rohani,
manusia yang seimbang dalam perkembangannya sebagai insan sosial
yang adil (Daroeso, 1986:43). Adapun pendidikan moral memiliki tujuan
dan sasaran sebagai berikut:
1. Perkembangan anak seutuhnya;
2. Membina warga negara yang bertanggung jawab;
3. Mengembangkan rasa hormat menghormati martabat individu dan
kesucian hak asasi manusia;
41. 26
4. Menanamkan patriotisme dan integrasi nasional;
5. Mengembangkan cara hidup dan berpikir demokratis;
6. Mengembangkan toleransi, mengerti perbedaan;
7. Mengembangkan persaudaraan;
8. Mendorong tumbuhnya iman;
9. Menanamkan prinsip moral.
5. Prinsip – Prinsip Pendidikan Moral
Pendidikan moral memang menanamkan prinsip moral yang
lazim disebut sosialisasi moral. Mengenai prinsip – prinsip moral,
Durkheim menjelaskan sebagai berikut : (1) Pada dasarnya tidak ada
seperangkat prinsip – prinsip moral dalam artian serangkaian pernyataan
apriori dapat dianggap universal dan menentukan kehidupan moral semua
makhluk manusia. (2) Pernyataan tentang prinsip – prinsip moral tidak
berakar dalam naluri individualistik, akan tetapi lebih berakar dalam
masyarakat beserta sifat – sifat sosial manusianya, yang sekaligus
merupakan prinsip utama yang dibenarkan dalam eksistensi manusia. (3)
Moralitas adalah suatu sistem aturan tingkah laku tertentu merefleksikan
realitas moral dari masyarakat tertentu dimana aturan – aturan tersebut
disertai dengan otoritas dan sanksi berdasarkan kepentingan masyarakat
yang bersangkutan (Haricahyono, 1995:96 – 102). Dengan demikian,
dalam pendidikan moral, prinsip – prinsip moral itu adalah subjek dan
sekaligus konteks yang esensial bagi pendidikan moral.
Keller dan Reuss (Haricahyono, 1995:207) menegaskan adanya
empat prinsip yang mendasari moral, yang tidak harus berkaitan satu sama
lain antara lain;
42. 27
a Prinsip justifikasi, yang mengimplikasikan adanya kepentingan
untuk menjustifikasi perbagai tindakan yang menarik perhatian
kita;
b Prinsip kejujuran, yang menjamin keseimbangan secara adil dalam
mendistribusikan perbagai usaha dan pengorbanan;
c Prinsip konsekuensi, yang mengandung implikasi bahwa setiap
orang harus mengatasi konsekuensi dari tindakan atau pun
kelalaiannya;
d Prinsip universalitas, yang berimplikasi adanya konsistensi dalam
pertimbangan dan kehendak untuk mengambil peranan dari pribadi
– pribadi yang menarik.
Dalam pendidikan moral, mengajarkan proses penalaran moral
semata – mata, akan tetapi harus diarahkan kepada pensosialisasian
individu secara moral agar bisa bertindak dengan cara – cara tertentu
sesuai dengan norma – norma yang berlaku dalam masyarakat.
Durkheim (Haricahyono, 1995:337) memandang pendidikan
moral berkaitan dengan sosialisasi moral, sementara penalaran dianggap
mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam proses penting tersebut.
Prinsip moral menginginkan agar manusia atau personal individu
bertanggungjawab terhadap antara lain:
a. Pengembangan personal yang diinginkan;
b. Pengembangan atribut – atribut sosial (nilai – nilai yang dijunjung
tinggi);
c. Memperoleh prinsip moral sebagai bahan membuat pertimbangan
dan putusan moral;
d. Menemukan hakikat hidup.
43. 28
Supaya menjadi bermoral, maka harus menghargai disiplin,
menempatkan diri dalam kelompok masyarakat, dan mengetahui alasan
tertentu akan tingkah lakunya secara otonom. Dengan demikian akan
tampak, bahwa pribadi yang terdidik secara moral akan bertindak sesuai
dengan iklim dan budaya masyarakat.
6. Tahap –Tahap Perkembangan Moral Manusia
Tahap – tahap perkembangan moral manusia ditinjau melalui pendekatan
kognitif Piaget dalam Haricahyono (1995) adalah terkait dengan aspek
mental dan kognitif. Tentang tahap perkembangan moral sendiri, Piaget
mengemukakan adanya dua tahap yang harus dilewati setiap individu.
Yang pertama disebut tahap Heteronomous atau Realisme
Moral. Dalam tahap ini anak cenderung menerima begitu saja aturan –
aturan yang diberikan oleh orang – orang yang dianggap kompeten untuk
itu; Tahap yang kedua disebut Autonomous Morality atau Independensi
Moral. Dalam tahap ini anak sudah mempunyai pemikiran akan perlunya
memodifikasi aturan – aturan untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi
yang ada.
Tahap perkembangan moral Bull (Daroeso, 1986:29 – 30)
menyimpulkan empat tahapan perkembangan moral yaitu:
a Anomi (without law), adalah anak belum memiliki perasaan
moral dan belum ada perasaan untuk menaati peraturan –
peraturan yang ada.
44. 29
b Heternomi (law imposed by others), adalah tahap moralitas
terbentuk karena pengaruh luar (external morality). Pada
heternomi peraturan dipaksakan oleh orang lain, dengan
pengawasan, kekuatan atau paksaan, karena itulah peraturan
tersebut di atas.
c Sosionomi (law driving from society), adalah suatu kenyataan
adanya kerjasama antar individu, menjadi individu sadar bahwa
dirinya merupakan anggota kelompok.
d Autonomi (law driving from self), adalah tahapan perkembangan
pertimbangan moral yang paling tinggi. Pembentukan moral dari
individu bersumber pada diri individu sendiri, termasuk di
dalamnya pengawasan tingkah laku moral individu tersebut.
Tahap perkembangan lainnya dikemukakan oleh Kohlberg
terdiri dari tiga tingkatan perkembangan moral yang masing – masing
tingkat memuat pula dua tahap perkembangan yaitu:
a. Tingkat prakonvesional
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral
berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral
didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa
menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat.
Pada tingkat prakonvensional ini terdiri dari dua tahap.
1). Orientasi hukuman dan kepatuhan
45. 30
Pada tahap ini tingkah laku anak didasarkan
kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Artinya, anak
hanya berpikir bahwa tingkah laku yang benar itu adalah
tingkah laku yang tidak mengakibatkan hukuman. Dengan
demikian, setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak
menimbulkan konsekuensi negatif.
2). Orientasi instrumental – relatif
Pada tahap ini tingkah laku anak didasarkan
kepada rasa ”adil” berdasarkan aturan permainan yang
telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas
tingkah laku kita yang anggap baik. Dengan demikian
tingkah laku itu didasarkan kepada saling menolong dan
saling memberi.
b. Tingkat konvensional
Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada
hubungan individu – masyarakat. Kesadaran dalam diri anak
mulai tumbuh bahwa tingkah laku itu harus sesuai dengan norma
– norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Dengan
demikian, pemecahan masalah itu sesuai dengan norma
masyarakat atau tidak. Pada tingkat konvensional itu mempunyai
dua tahap sebagai lanjutan dari tahap yang ada pada tingkat
prakonvensional, yaitu tahap keselarasan interpersonal serta tahap
sistem sosial dan kata hati.
46. 31
1). Keselarasan interpersonal
Pada tahap ini ditandai dengan setiap tingkah
laku yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan
untuk memenuhi harapan orang lain. Kesadaran individu
mulai tumbuh bahwa ada orang lain di luar dirinya untuk
bertingkah laku sesuai dengan harapannya. Artinya, anak
sadar bahwa ada hubungan antara dirinya dengan orang
lain. Dan, hubungan itu tidak boleh dirusak.
2). Sistem sosial dan kata hati
Pada tahap ini tingkah laku individu bukan
didasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang
lain yang dihormatinya, akan tetapi didasarkan pada
tuntutan dan harapan masyarakat. Ini berarti telah terjadi
pergeseran dari kesadaran individu kepada kesadaran
sosial. Artinya, anak sudah menerima adanya sistem sosial
yang mengatur tingkah laku individu.
c. Tingkat postkonvensional
Pada tingkat ini tingkah laku bukan hanya didasarkan
pada kepatuhan terhadap norma – norma masyarakat yang
berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan
nilai – nilai yang dimilikinya secara individu. Seperti pada tingkat
sebelumnya, pada tingkat ini juga terdiri dua tahap:
1). Kontrak sosial
47. 32
Pada tahap ini tingkah laku individu didasarkan
pada kebenaran – kebenaran yang diakui oleh masyarakat.
kesadaran individu untuk bertingkah laku tumbuh karena
kesadaran untuk menerapkan prinsip – prinsip sosial.
Dengan demikian, kewajiban moral dipandang sebagai
kontrak sosial yang harus dipatuhi, bukan sekadar
pemenuhan sistem nilai.
2). Prinsip etis yang universal aturan – aturan
Pada tahap terakhir, tingkah laku manusia
didasarkan pada prinsip – prinsip universal. Segala macam
tindakan bukan hanya didasarkan sebagai kontrak sosial
yang harus dipatuhi, akan tetapi didasarkan pada suatu
kewajiban sebagai manusia. Setiap individu wajib
menolong orang lain, apakah orang itu sebagai orang yang
kita benci atau tidak, orang yang kita suka atau tidak.
Pertolongan yang diberikan bukan didasarkan pada alasan
subjektif, akan tetapi didasarkan pada kesadaran yang
bersifat universal.
7. Muatan Pendidikan Moral
Pendidikan moral pada tiap – tiap negara berbeda satu dengan
yang lainnya. Dalam negara yang menjadikan agama sebagai hukum
dasarnya maka pendidikan moral bersumber pada agama yang berlaku di
negara itu. Bagi masyarakat Indonesia mengenai dasar pendidikan moral
48. 33
sudah jelas, berdasarkan religi, adat istiadat dan kebudayaan Indonesia
yaitu Pancasila. Moral sesuatu masyarakat adalah merupakan identitas
bagi masyarakat itu (Daroeso, 1986:55).
Pandangan Durkheim (Haricahyono, 1995:327) terhadap muatan
moralitas pada dasarnya berkaitan dengan isi, tindakan, aturan – aturan,
atau tingkah laku – tingkah laku tertentu. ”Morality is not a system of
abstract truth which can be derived from some fundamental notion,
posited as self – efident”, demikian Durkheim. Lebih lanjut dikemukakan,
”...it belongs to the realm of life, not to speculation. It is a set of rules of
conduct, of practical imperatives which have grown up historically under
the influence of specific social necessities” (Durkheim, 1961:34).
Mengacu pada pandangan di atas Durkheim melihat adanya satu
fenomena dalam kehidupan manusia yang menduduki rangking teratas.
Fenomena dimaksud adalah serangkaian aturan yang dapat dibatasi secara
jelas dan spesifik. Dalam konteks ini pribadi yang bermoral tidak lantas
dikaitkan dengan kesediaan yang bersangkutan untuk selalu memenuhi
prosedur – prosedur tertentu, akan tetapi pribadi – pribadi semacam ini,
paling tidak, mampu bertindak sesuai dengan aturan – aturan atau norma –
norma yang berlaku.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat norma - norma
yang mengatur tingkah laku anggotanya. Dalam hubungan ini, F. Von
Magnis membedakan tiga macam norma kelakuan umum, yaitu : (1)
peraturan sopan santun atau kebiasaan, (2) norma – norma hukum, dan
49. 34
norma – norma moral. Muatan pendidikan moral dapat dilihat pada
gambar 1 sebagai berikut:
MORAL FEELING
MORAL KNOWING 1. Conscience
1. Moral awareness 2. Self – esteem
2. Knowing moral 3. Empathy
values 4. Loving the good
3. Perspective – taking 5. Self – control
4. Moral reasioning 6. Humility
5. Decision making
6. Self knowledge
MORAL ACTION
1. Competence
2. Will
3. Habit
Gambar 1. Bagan components of good character
Sumber: Lickona (Koyan, 2000:86)
50. 35
C. Hubungan Tata Tertib Sekolah dan Pendidikan Moral
Hubungan antara kenyataan hukum atau tata tertib sekolah dan
moralitas atau pendidikan moral yang efektif sangat intensif, pada hakikatnya
karena hukum itu hanya penglogisan dari nilai – nilai moral. Gerakannya
dikekang oleh generalisasi dan penentuan kebutuhannya, hukum itu berubah –
ubah secara lebih langsung sebagai suatu fungsi dari perubahan – perubahan
moralitas (Johnson, 2006:286).
Moral berkaitan dengan disiplin dan kemajuan kualitas perasaan,
emosi dan kecenderungan manusia; sedangkan aturan pelaksanaanya
merupakan aturan praktis tingkah laku yang tunduk pada sejumlah
pertimbangan dan konversi lainnya (Tim Dosen Jurusan Administrasi
Pendidikan FIP IKIP Malang, 1989:211).
Moralitas adalah keseluruhan norma – norma, nilai – nilai dan sikap
moral seseorang atau sebuah masyarakat. Nilai – nilai moral itu berada dalam
suatu wadah yang disebut moralitas, karena di dalamnya terdapat unsur –
unsur keyakinan dan sikap batin dan bukan hanya sekedar penyesuaian diri
dengan aturan dari luar diri manusia. Moralitas dapat bersifat intrinsik dan
ekstrinsik. Moralitas yang bersifat intrinsik berasal dari diri manusia itu
sendiri, sehingga perbuatan manusia itu baik atau buruk terlepas atau tidak
dipengaruhi oleh peraturan hukum yang ada (Tedjosaputro, 2003:6). Moralitas
intrinsik ini esensinya terdapat dalam perbuatan diri manusia itu sendiri.
Moralitas yang bersifat ekstrinsik penilaiannya didasarkan pada
peraturan hukum yang berlaku, baik yang bersifat perintah maupun larangan.
51. 36
Moralitas yang bersifat ekstrinsik ini merupakan realitas bahwa manusia
terikat pada nilai – nilai atau norma – norma yang diberlakukan dalam
kehidupan bersama (Tedjosaputro, 2003:7).
Sudarto (Tedjosaputro, 2003:31) mengatakan bahwa ada hubungan
erat antara nilai, norma, sanksi dan peraturan – peraturan. Beliau mengatakan
sebagai berikut:
Nilai adalah ukuran yang disadari atau tidak disadari oleh suatu
masyarakat atau golongan untuk menetapkan apa yang benar, yang
baik dan sebagainya. Norma adalah anggapan bagaimana seseorang
harus berbuat. Agar normanya dipatuhi, maka masyarakat atau
golongan itu mengadakan sanksi dan penguat.
Ilmu hukum (pidana) normatif pada hakikatnya bukan semata –
mata ilmu tentang norma, justru ilmu tentang nilai. Aspek norma merupakan
aspek luar atau aspek lahiriah yang tampak dan terwujud dalam perumusan
perundang – undangan atau tata tertib, sedangkan aspek nilai merupakan
aspek dalam atau aspek batiniah/kejiwaan yang ada di balik atau di belakang
norma.
Keduanya bersifat saling menunjang secara terpadu. Nilai selalu
menjiwai secara konsisten berbagai norma yang berlaku di dalam masyarakat,
baik norma agama, moral (etika), kesopanan maupun hukum. Hubungan tata
tertib sekolah dan pendidikan moral lebih jelas pada gambar 2 sebagai berikut:
52. 37
MORAL
ETIKA
HUKUM
Gambar 2. Hubungan Moral, Etika dan Hukum
Sumber: Marpaung (1996:3)
Piaget (Salam, 2000: 67) bahwa pikiran manusia menjadi semakin
hormat pada peraturan. Manusia mempunyai daya tahu (budi) dan daya
memilih karena adanya dua macam daya inilah timbul penilaian etis atau
moral terhadap tingkah laku manusia. Dalam masyarakat yang hendak teratur
dan tertib, diadakanlah aturan – aturan yang semuanya justru untuk
53. 38
melindungi kemanusiaan, aturan untuk ketertiban hidup manusia dalam
masyarakat.
Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang tersebut bertingkah
laku sesuai dengan norma – norma yang terdapat dalam masyarakat. Dengan
demikian moral atau kesusilaan adalah keseluruhan norma yang mengatur
tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan baik dan
benar. Perlu diingat baik dan benar menurut seseorang, tidak pasti baik dan
benar bagi orang lain. Karena itulah diperlukan adanya prinsip – prinsip
kesusilaan/moral yang dapat berlaku umum, yang telah diakui kebaikan dan
kebenarannya oleh semua orang. Moral dipakai untuk memberikan penilaian
atau predikat terhadap tingkah laku seseorang.
Dengan sendirinya menurut indentitas, ukuran manusia yang baik
adalah yang mampu memenuhi ketentuan – ketentuan kodrat yang tertanam
dalam dirinya sendiri. Ukuran ini tentunya tidak bertentangan dengan norma
yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan syarat untuk menjadi manusia
yang bermoral, adalah memenuhi salah satu ketentuan kodrat yaitu adanya
kehendak yang baik. Kehendak yang baik ini mensyaratkan adanya bertingkah
laku dan tujuan yang baik pula. Jadi predikat moral mensyaratkan adanya
kebaikan yang berkesinambungan, mulai munculnya kehendak yang baik
sampai dengan tingkah laku dalam mencapai tujuan yang juga baik.
Meskipun pada dasarnya manusia itu selalu cenderung berbuat baik,
tetapi kesadaran tidak datang dengan sendirinya. Kesusilaan harus diajarkan
dengan contoh yang baik, sehingga dengan demikian dapatlah terbentuk
54. 39
manusia susila lahir dan batin. Pokok pembicaraan tata tertib sekolah dan
pendidikan moral ini adalah perbuatan manusia dengan tujuan yang hampir
sama. Kalau tujuan tata tertib sekolah mengatur adalah mengatur tata – tertib
masyarakat dan tingkah laku warga masyarakat dalam bermasyarakat dan
bernegara sesuai dengan aturan – aturan hukum yang berlaku. Sedangkan
pendidikan moral mempunyai tujuan mengatur tingkah laku manusia sebagai
manusia.
Lingkungan pendidikan moral lebih luas daripada lingkungan tata
tertib sekolah. Tata tertib sekolah berisikan perintah – perintah dan larangan –
larangan agar tingkah laku manusia tidak melanggar aturan – aturan tertulis
maupun tidak tertulis. Sedangkan pendidikan moral memerintahkan manusia
untuk berbuat apa yang berguna dan melarang segala yang tidak baik. Norma
moral memberikan memberi kewajiban moral pada manusia agar kepentingan
hukum dan kepentingan umum jangan dilanggar.
Karakter atau watak warga negara yang bermoral salah satunya bisa
dilakukan melalui jalur pendidikan di sekolah. Pendidikan moral bukan
sesuatu entitas abstraksi ide semata namun nyata dalam kehidupan sehari –
hari yang harus diajarkan pada manusia. Pendidikan moral merupakan suatu
wadah bagi sekolah untuk mendidik, mengajar dan melatih siswa agar
mempunyai sikap dan berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan nilai – nilai
moral dan norma – norma yang ada di masyarakat. Tata tertib sekolah
mengatur dan memberi petunjuk pedoman aturan atau hukum tingkah laku
siswa terhadap moral yang baik. Tata tertib sekolah sebagai aturan hukum di
55. 40
dalamnya terkandung makna implementasi pendidikan moral untuk siswa
dalam bertingkah laku.
D. Sarana Pendidikan Moral
Pandangan Daryanto (2001:51) tentang sarana pendidikan moral
adalah seperti alat langsung untuk mencapai tujuan pendidikan. Sarana
pendidikan moral dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai alat pendidikan.
Alat pendidikan adalah hal yang tidak saja memuat kondisi – kondisi yang
memungkinkan terlaksananya pekerjaan mendidik, tetapi alat pendidikan itu
telah mewujudkan diri sebagai perbuatan atau situasi mana, dicita – citakan
dengan tegas, untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat pendidikan ialah suatu
tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan
untuk mencapai suatu tujuan pendidikan.
Suwarno (Daryanto, 2001:141) membedakan alat pendidikan dari
bermacam – macam segi salah satunya adalah alat pendidikan preventif dan
korektif. Alat pendidikan preventif diartikan sebagai jika maksudnya
mencegah anak sebelum ia berbuat sesuatu yang tidak baik, misalnya contoh:
pembiasaan perintah, pujian, ganjaran. Kedua adalah alat pendidikan korektif,
jika maksudnya memperbaiki karena anak telah melanggar ketertiban atau
berbuat sesuatu yang buruk, misalnya: celaan, ancaman, hukuman.
Alat pendidikan yang preventif ialah alat – alat pendidikan yang
bersifat pencegahan yaitu untuk mencegah masuknya pengaruh – pengaruh
buruk dari luar ke dalam diri siswa. Kewajiban pendidik adalah mendidik
56. 41
siswa menjadi anak yang baik dan mencegah/membentengi siswa dari
masuknya pengaruh – pengaruh yang buruk ke dalam dirinya. Jenis alat – alat
pendidikan preventif yang abstrak seperti tata tertib, anjuran, larangan,
perintah, disiplin dan semisalnya.
Hal – hal yang diperbaiki (korektif) adalah perbuatan – perbuatan
jelek yang sudah menjadi kebiasaan diperbuat siswa, seperti suka berkelahi,
suka bertengkar, suka mengambil barang milik orang lain, suka menghina,
suka mengejek, suka mengganggu dan sebagainya.
E. Kerangka Berpikir
Perkembangan dan perubahan masyarakat yang berlangsung cepat
dan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi; khususnya kemajuan
di bidang teknologi komunikasi dan informasi, di satu sisi dapat berdampak
positif namun di sisi lain menimbulkan pengaruh yang berdampak negatif,
terutama nilai – nilai budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai – nilai luhur
budaya bangsa.
Gejala – gejala pengaruh negatif itu, kini telah tampak di kalangan
generasi muda, terutama di kota – kota besar di Indonesia. Gejala – gejala
negatif tersebut merupakan tantangan bagi sekolah untuk lebih memperhatikan
siswanya dan lebih menggiatkan pelaksanaan pendidikan moral di lingkungan
sekolah secara khusus.
Selain melalui komponen kurikulum komponen formal seperti
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Agama juga lewat jalur
57. 42
hidden curriculum. Namun harus dipahami salah satu usaha untuk
melaksanakan pendidikan moral secara intensif dan komprehensif di sekolah
adalah melalui hidden curriculum antara lain seperti penegakkan aturan moral
melalui tata tertib sekolah. Menurut konsep pendidikan dewasa ini, bahwa
pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan pendidikan untuk semua
(education for all).
Pelaksanaan pendidikan moral harus dimulai dari dalam lingkungan
keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan
utama di dalam kehidupan manusia. Sekolah memiliki peranan penting dalam
pembentukan kepribadian, mentransmisi dan mentransformasi nilai – nilai
moral; serta seleksi dan pra aloksi tenaga kerja. Baik dan buruknya moral
siswa tergantung pada berhasil atau tidaknya pendidikan moral di sekolah dan
penegakan tata tertib sekolah. Tata tertib sekolah memberikan bentuk nyata
dari pendidikan moral yang harus diberikan pada siswa yang berisikan nilai –
nilai moral. Moral siswa yang baik dapat diketahui dari indikator berupa taat
dan patuh pada tata tertib sekolah yang dapat dilihat melalui pengamatan
berupa aturan moral, sikap dan tingkah laku atau tingkah laku yang
mencerminkan nilai – nilai moral yang sesuai dengan kehidupan masyarakat.
Pelaksanaan tata tertib sekolah tersebut tentunya bergantung pada
kemampuan sekolah dalam implementasi pendidikan moral yang banyak
ditemui kendala – kendala sehingga dirasa belum optimal guna menekan
tingkat pelanggaran tata tertib sekolah. Belum optimalnya pelaksanaan tata
tertib sekolah tersebut dapat dilihat melalui profil pribadi siswa sehari – hari
58. 43
baik di sekolah, keluarga maupun masyarakat sudah menunjukan tingkah laku
yang mencerminkan pribadi – pribadi yang bermoral atau sebaliknya.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mendidik siswa agar memiliki
keterampilan atau keahlian (skill) tertentu. Pemberian muatan moral terhadap
tingkah laku siswa kadang hanya sebatas bersifat temporal tidak bersifat
kontiunitas. Kontrol dari pihak sekolah yang lemah mengakibatkan siswa
cenderung mengabaikan aturan moral atau tata tertib sekolah. Siswa Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) mempunyai kecenderungan yang besar untuk
berbuat penyimpangan. Indikasi ini diakibatkan oleh karakteristik siswa yang
berbeda dan stimuli siswa untuk langsung mendapatkan pekerjaan (ready
work) sehingga menimbulkan dampak tidak terlalu memedulikan aspek
moralitas diri sendiri. Interaksi antar siswa dengan Guru dan lingkungan ikut
mempengaruhi dan membentuk tingkah laku siswa.
Apabila tingkah laku siswa tanpa kontrol dan penanganan secara
tidak serius maka akan dapat menimbulkan tingkah laku yang menyimpang
bahkan cenderung menuju tindakan kriminalitas. Tentu saja sebagai lanjutan
tingkah laku siswa yang menyimpang akan dapat merugikan tidak hanya baik
diri sendiri akan tetapi keluarga serta lingkungan masyarakat. Mengingat
kompleksnya kehidupan manusia, maka dalam pelaksanaan pendidikan moral,
perlu diciptakan dan ditemukan metode yang tepat sehingga bisa menjangkau
seluruh aspek kehidupan manusia. Untuk mempermudah dalam memahami
penelitian ini maka disajikan gambar 3 sebagai berikut:
59. 44
Sistem Pendidikan Nasional
Tujuan Pendidikan Nasional
Moral Siswa
SMK NEGERI 5 SEMARANG
Kurikulum Guru Siswa Fasilitas
Pendidikan Tata Tertib
Moral Sekolah
Aturan Sikap Tingkah Laku
Baik Buruk
Keterangan:
: Proses distribusi
: Proses kontrol
Gambar 3 Bagan Kerangka Berpikir
60. 45
Keterangan:
Pendidikan diartikan tidak hanya sebagai formal transfer of
knowledge namun bagaimana membentuk pribadi – pribadi manusia yang
memiliki nilai moralitas yang tinggi. Oleh karena itu Sistem Pendidikan
Nasional yang tercantum pada tujuan pendidikan nasional menghendaki agar
siswa tumbuh dan berkembang dari sisi akhlak, moralitas yang baik. Moral
siswa yang baik atau buruk tercermin dari tingkah laku siswa baik di rumah,
sekolah dan masyarakat. Tentunya sekolah terutama Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang mempunyai tanggung jawab terhadap
pembentukan moral siswa tersebut.
Pada komponen sekolah yang berperan dalam mewujudkan cita –
cita tersebut salah satunya melalui komponen pendidikan moral dan tata tertib
sekolah. Guru mengontrol tingkah laku siswa melalui tata tertib sekolah.
Tingkah laku siswa yang baik atau buruk akan mencerminkan dan
menentukan pandangan masyarakat terhadap kadar moralitas siswa Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
61. BAB III
METODE PENELITIAN
A. Dasar Penelitian
Suatu penelitian untuk mendapatkan hasil yang optimal harus
menggunakan metode penelitian yang tepat. Ditinjau dari permasalahan
penelitian ini yaitu tentang pelaksanaan dan kendala – kendala tata tertib
sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Negeri 5 Semarang maka penelitian ini bersifat non eksperimen yaitu
penelitian kualitatif deskriptif.
Karl dan Milles (Moleong, 2002:3), penelitian kualitatif adalah
tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung pada pengamatan kepada manusia dalam kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang tersebut. Di samping itu penelitian deskriptif yaitu
merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan
menginterprestasikan objek sesuai dengan apa adanya. Dengan metode
deskriptif, peneliti memungkinkan untuk melakukan hubungan antara variabel,
menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori
yang memiliki validitas universal. Penelitian deskriptif pada umumnya
dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta
dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan
kualitatif deskriptif yaitu mengamati, mencatat, dan mendokumentasi
46
62. 47
pelaksanaan dan kendala – kendala tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
Peneliti berinteraksi dengan lingkungan sekolah dan berusaha memahaminya.
Dimana dalam penelitian tersebut memiliki ciri – ciri sebagai berikut:
1. Sumber data langsung berupa tata situasi alami dan peneliti adalah
instrumen kunci.
2. Bersifat deskriptif dimana data yang dikumpulkan umumnya
berbentuk kata – kata, gambar – gambar dan bukan angka – angka,
kalaupun ada angka – angka sifatnya hanya sebagai penunjang.
3. Lebih menekankan pada makna proses ketimbang hasil.
4. Analisis data bersifat induktif.
5. Makna merupakan perhatian utama dalam pendekatan penelitian
(Sudarwan, 2002:6).
B. Fokus Penelitian
Di dalam penelitian kualitatif deskriptif menghendaki ditetapkannya
batas atas dasar fokus penelitian. Dalam pemikiran fokus terliput di dalamnya
perumusan latar belakang, studi permasalahan, fokus juga berarti penentuan
keluasan (scope) permasalahan dan batas penelitian. Penentuan fokus
memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Menentukan keterikatan studi, ketentuan lokasi studi.
2. Menentukan kriteria inklusi dan eksklusi bagi informasi baru. Fokus
membantu bagi penelitian kualitatif deskriptif membuat keputusan
untuk membuang atau menyimpan informasi yang diperolehnya
(Rachman, 1999:121).
Fokus penelitian merupakan pokok persoalan apa yang menjadi
pusat perhatian dalam penelitian. Fokus dalam penelitian ini adalah tata tertib
sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan
63. 48
(SMK) Negeri 5 Semarang. Sebagai indikator dari fokus tersebut di atas
adalah:
1. Tingkah laku siswa dalam implementasi tata tertib sekolah sebagai
sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang.
2. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
3. Kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata tertib
sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
C. Sumber Data Penelitian
Data adalah bentuk jamak dari datum. Data merupakan keterangan –
keterangan tentang suatu hal, dapat berupa sesuatu yang diketahui atau yang
dianggap. Atau suatu fakta yang digambarkan lewat angka, simbol, kode dan
lain – lain. Data perlu dikelompok – kelompokkan terlebih dahulu sebelum
dipakai dalam proses analisis. Pengelompokkan data disesuaikan dengan
karakteristik yang menyertainya (Hasan, 2002:82).
Sumber data penelitian adalah subjek di mana data dapat diperoleh
(Arikunto, 2002:107). Berdasarkan sumber pengambilannya, data dibedakan
menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1. Data Primer
64. 49
Data primer adalah data yang dikumpulkan atau diperoleh
langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang
bersangkutan. Sumber data primer yaitu kata – kata atau tindakan
orang yang diamati atau diwawancarai (Arikunto, 2002:122). Data
primer ini disebut juga data asli atau data baru. Sumber data primer
diperoleh peneliti melalui wawancara dengan responden. Responden
orang yang diminta keterangan tentang suatu fakta atau pendapat,
keterangan dapat disampaikan dalam bentuk tulisan, yaitu ketika
mengisi angket, atau lisan ketika menjawab wawancara (Arikunto,
2002:122).
Responden dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah,
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Guru Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn), Guru bidang Bimbingan Konseling (BK) dan
siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang atau
yang terkait dengan pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral. Data yang diperoleh peneliti melalui responden,
termasuk dalam kategori data sekunder. Sebagaimana data yang
diperoleh melalui informan di atas sehingga data sifatnya juga masih
asli dan baru.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber – sumber yang
telah ada. Data ini biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari
65. 50
laporan – laporan penelitian terdahulu. Data sekunder disebut juga data
tersedia (Hasan, 2002:82). Dokumen adalah setiap bahan yang tertulis
maupun film (Moleong, 2002:113). Dokumen dalam penelitian ini
berupa tata tertib siswa, buku – buku, dan literatur lain yang ada
hubungan dengan masalah yang akan diteliti. Tujuannya adalah data
didapatkan berupa data tambahan yang merupakan data sekunder.
D. Alat dan Teknik Pengumpulan Data
1. Alat Pegumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah observasi, wawancara (interviu) dan dokumentasi.
a. Observasi
Dalam penelitian ini, observasi diartikan sebagai
pengamatan dan pencatatan secara sistemik terhadap gejala yang
tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan yang
dilakukan terhadap objek ditempat terjadi atau berlangsungnya
peristiwa, sehingga peneliti berada bersama objek yang diselidiki,
disebut observasi langsung. Sedangkan observasi tidak langsung
adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya
peristiwa tersebut diamati melalui film, rangkaian slide atau
rangkaian foto (Rachman, 1999:77).
Berkaitan dengan jenis observasi yang digunakan
peneliti dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
66. 51
observasi secara langsung dan tidak langsung yaitu di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
b. Wawancara (Interviu)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu,
percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu wawancara yang
mengajak pertanyaan – pertanyaan dan yang diwawancarai
memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2002:135).
Wawancara merupakan data informasi dengan cara mengajukan
sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula
(Rachman, 1999, 83).
Penelitian ini menggunakan alat pengumpul data berupa
pedoman atau instrumen wawancara yaitu berbentuk pertanyaan
yang diajukan kepada subjek penelitian. Sedangkan wawancara
yang diterapkan adalah wawancara berstruktur. Wawancara
berstruktur, yaitu pedoman wawancara yang disusun secara
terperinci sehingga menyerupai check – list (Arikunto, 2002:20).
Selain itu wawancara dilakukan melalui wawancara tak
berstruktur yaitu wawancara dilakukan secara informal, dimana
pertanyaan tentang pandangan sikap, keyakinan subjek atau
tentang keterangan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tata
tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang yang diajukan
secara bebas kepada subjek penelitian.
67. 52
Di samping itu wawancara ini dapat dikembangkan
apabila diperlukan untuk melengkapi data – data yang masih
kurang. Kelebihan tersebut wawancara tak berstruktur antara lain:
1). Memungkinkan peneliti untuk mendapatkan keterangan
dengan lebih cepat.
2). Ada keyakinan bahwa penafsiran responden terhadap
pertanyaan yang diajukan adalah tepat.
3). Sifatnya lebih luas.
4). Pembatasan – pembatasan dapat dilakukan secara langsung,
apabila jawaban yang diberikan melewati batas ruang
lingkup masalah yang diteliti.
5). Kebenaran jawaban dapat diperiksa secara langsung.
(Soekanto, 1984:25)
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa wawancara
adalah untuk mendapatkan gambaran yang sejelas – jelasnya dan
informasi yang selengkap – lengkapnya. Melalui wawancara ini
diharapkan peneliti mendapatkan gambaran mengenai pelaksanaan
tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari
data mengenai hal – hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip,
buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, surat, lengger, agenda
dan sebagainya (Arikunto, 2002:206).
2. Teknik Pengumpulan Data
Guna mendapatkan informasi yang diharapkan penelitian ini
teknik pengumpulan data dilakukan melalui:
68. 53
a. Teknik Observasi
Berkaitan dengan teknik observasi (Kartono, 1996:57)
mengemukakan, observasi adalah studi yang disengaja dan
sistematis tentang fenomena sosial dan gejala – gejala alam dengan
jalan pengamatan dan pencatatan. Ditambahkan bahwa observasi
ialah pengujian secara internasional atau bertujuan suatu hal,
khususnya untuk maksud mengumpulkan data. Teknik observasi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi yang
menerapkan observasi sistematis, yang dilakukan oleh pengamat
dengan menggunakan pedoman sebagai intrumen pengamatan.
b. Teknik Komunikasi
Teknik komunikasi adalah cara mengumpulkan data
melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data
dengan sumber data (Rachman, 1999:82). Dalam pelaksanaannya
peneliti menggunakan teknik komunikasi langsung yaitu teknik
pengumpulan data dengan mempergunakan wawancara atau interviu
sebagai alatnya.
c. Teknik Dokumentasi
Berkaitan teknik dokumentasi (Hasan, 2002:88)
mengemukakan bahwa teknik dokumentasi adalah teknik
pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada subjek
penelitian, namun melalui dokumen, dimana dokumen yang