SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 140
Descargar para leer sin conexión
TATA TERTIB SEKOLAH SEBAGAI SARANA

  PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH MENENGAH

      KEJURUAN (SMK) NEGERI 5 SEMARANG




                       SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Pancasila dan

  Kewarganegaraan pada Universitas Negeri Semarang




                         Oleh

                 Giri Harto Wiratomo

                   NIM 3401403057




              FAKULTAS ILMU SOSIAL

   JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN

                         2007
PERSETUJUAN PEMBIMBING



Skripsi ini telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian

skripsi pada:

       Hari           : Kamis

       Tanggal        : 19 Juli 2007




       Pembimbing I                          Pembimbing II




       Drs. Makmuri                          Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si

       NIP. 130675638                        NIP. 131813668




                                  Mengetahui,

                  Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan




                           Drs. Slamet Sumarto, M.Pd

                                NIP. 131570070




                                       iii
PENGESAHAN KELULUSAN



Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas

Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang pada:

       Hari           : Sabtu

       Tanggal        : 4 Agustus 2007



                                  Penguji Skripsi




                                Drs. Suprayogi, M.Pd

                                  NIP. 131474095

       Anggota I                              Anggota II




       Drs. Makmuri                           Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si

       NIP. 130675638                         NIP. 131813668



                                    Mengetahui,

                          Dekan Fakultas Ilmu Sosial




                                 Drs. Sunardi, M.M

                                  NIP. 130367998




                                         iv
PERNYATAAN



Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar – benar hasil

karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau

seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini

dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.




                                                     Semarang, 19 Juli 2007

                                                     Peneliti




                                                     Giri Harto Wiratomo

                                                     NIM. 3401403057




                                        v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN



MOTTO

    “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya
    yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”
    (Al Baqarah:45)


    Hidup hanya sekali jadikanlah lebih berarti bagi diri dengan hiasan
    prestasi (Peneliti)




                               PERSEMBAHAN

                               Ayah dan Ibu,

                               Kakakku Lilian Maharani, S.Pd dan Anton

                               Sundargo, S.Pd

                               Adikku Kopral Taruna Pramudyo Wardani di

                               Akademi Militer Magelang




                                  vi
PRAKATA



        Segala rasa syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT Raab semesta

alam atas limpahan rahmat, hidayah serta karunia sehingga peneliti dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi dengan lancar dan tepat pada waktunya dengan

judul ”Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang”.

        Penyusunan skripsi ini dilakukan adalah sebagai salah satu syarat dalam

menyelesaikan studi Strata Satu (S1) pada Program Studi Pendidikan Pancasila

dan Kewarganegaraan Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu

Sosial Universitas Negeri Semarang. Peneliti menyadari bahwa dengan tanpa

adanya bantuan dari berbagai pihak penulisan skripsi ini tidak dapat terwujud.

Oleh karena itu peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:

   1. Prof. DR. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si, Rektor Universitas Negeri

        Semarang.

   2.   Drs. Sunardi, M.M, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

        Semarang.

   3. Drs. Slamet Sumarto, M.Pd, Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan

        Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan

        kesempatan peneliti untuk berkarya dan menyelesaikan studi di Program

        Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Hukum dan

        Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.




                                      vii
4. Drs. Makmuri, Pembimbing Skripsi I yang dengan keikhlasan dan

      ketelitian memberikan bimbingan baik berupa motivasi dan masukan bagi

      penyusunan skripsi ini.

   5. Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si, Pembimbing Skripsi II yang dengan

      kesabaran membimbing dan mengarahkan peneliti baik saran dan petunjuk

      dari awal hingga akhir guna penyusunan skripsi ini.

   6. Drs. H. M. Saidi, Kepala Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5

      Semarang yang telah bersedia memberikan kemudahan dan perizinan

      dalam penyusunan skripsi ini.

   7. Ayah dan Ibu yang selalu memelukku dalam ruang sandaran hati dan kasih

      sayang yang tiada hentinya dengan segala dorongan motivasinya.

   8. Teman – teman seperjuangan ”Almamater Pendidikan Pancasila dan

      Kewarganegaraan Angkatan 2003”.

   9. Semua pihak – pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu atas

      bantuan yang diberikan baik secara langsung maupun tidak langsung

      untuk penyelesaian skripsi ini.

      ”Tak ada gading yang tak retak” serta sebagai insan biasa, peneliti

menyadari atas kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Kritik dan saran yang

sifatnya membangun selalu peneliti harapkan demi perbaikan di masa depan.

Semoga peyusunan skripsi dapat memberikan manfaat khususnya bagi diri

peneliti dan pembaca pada umumnya. Amin

                                                  Semarang, 19 Juli 2007

                                                  Peneliti




                                        viii
SARI

Giri Harto Wiratomo. 2007. Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana Pendidikan
Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang. Jurusan
Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
125h.

Kata Kunci: Tata Tertib, Sarana, Pendidikan Moral
        Kondisi akhir – akhir ini menunjukkan telah terjadi degradasi moral pada
kualitas personal bangsa Indonesia terutama generasi muda. Banyak faktor yang
mempengaruhi gejala – gejala degradasi moral tersebut. Permasalahan yang dikaji
dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah benar tertib sekolah berisi muatan sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?,
(2) Bagaimana pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?, (3) Bagaimana kendala
– kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?.
Dasar penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif. Ada 2 (dua) variabel yang
dikaji dalam penelitian ini, yaitu: (1) Tingkah laku siswa dalam implementasi tata
tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Negeri 5 Semarang, (2) Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang, dan
(3) Kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata tertib sekolah
sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang.
        Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap tata tertib
sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang tergolong tinggi. Pelanggaran tata tertib sekolah tersebut
meliputi tidak masuk tanpa keterangan (alpa), meninggalkan pelajaran tanpa izin,
baju tidak dimasukkan, mencorat – coret seragam sekolah, berkelahi, tidak segera
menempuh atau menyelesaikan remidi. Bentuk – bentuk pelanggaran tata tertib
sekolah bersifat ringan, sedang, dan berat. Faktor – faktor penyebab siswa
melanggar tata tertib sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang adalah faktor internal dan eksternal. Berdasarkan penelitian pendidikan
moral selain diajarkan melalui bentuk formal dalam mata pelajaran juga dapat
diberikan dalam bentuk informal melalui bentuk – bentuk lain seperti adanya tata
tertib sekolah. Pendidikan moral pada intinya adalah mengajarkan dan melatih
siswa terhadap kesadaran moral. Implementasi tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral adalah pada isi tata tertib sekolah (content), berperan sebagai
alat pencegah (preventif) dan sanksi yang mendidik. Perbedaannya hanya terletak
pada bentuk dan cara menggunakannya. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai
sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang menggunakan sistem credit poin. Kendala – kendala utama yang
dihadapi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang adalah
kurangnya konsistensi Guru dalam penegakan tata tertib sekolah. Upaya – upaya




                                        ix
sekolah dalam penegakan tata tertib sekolah adalah secara preventif, kuratif atau
rehabilitatif dan represif.
        Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi sekolah, orang tua
dan masyarakat. Kepala Sekolah hendaknya terus berkomitmen dan lebih intensif
mengadakan penegakan kedisiplinan siswa serta fasilitas pendukung dalam upaya
menekan tingkat pelanggaran siswa terhadap tata tertib sekolah. Guru hendaknya
terus melakukan kontrol terhadap pelanggaran tata tertib sekolah terutama
membina kedisiplinan siswa. Siswa hendaknya dengan penuh kesadaran diri untuk
mematuhi tata tertib sekolah. Orang tua hendaknya ikut serta melakukan
pembinaan moral anaknya agar patuh dan taat terhadap tata tertib sekolah.




                                       x
DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. ii

PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................... iii

PERNYATAAN ............................................................................................. iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. v

PRAKATA ..................................................................................................... vi

SARI ............................................................................................................... viii

DAFTAR ISI .................................................................................................. x

DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv

BAB I          PENDAHULUAN ......................................................................... 1

               A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

               B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ...................................... 7

               C. Perumusan Masalah ................................................................. 8

               D. Tujuan Penelitian ..................................................................... 9

               E. Kegunaan Penelitian ................................................................ 10

               F. Sistematika Penulisan Skripsi .................................................. 11

BAB II         LANDASAN TEORI ..................................................................... 13

               A. Tata Tertib Sekolah .................................................................. 13

               B. Pendidikan Moral ..................................................................... 18




                                                            xi
C. Hubungan Tata Tertib Sekolah dan Pendidikan Moral ............ 35

           D. Sarana Pendidikan Moral ......................................................... 40

           E. Kerangka Berpikir.................................................................... 44

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 46

           A. Dasar Penelitian ....................................................................... 46

           B. Fokus Penelitian ....................................................................... 47

           C. Sumber Data Penelitian ........................................................... 48

           D. Alat dan Teknik Pengumpulan Data ........................................ 50

           E. Objektivitas dan Keabsahan Data ............................................ 54

           F. Metode Analisis Data .............................................................. 57

           G. Prosedur Penelitian .................................................................. 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 61

           A. Hasil Penelitian ........................................................................ 61

                1. Gambaran Umum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

                     Negeri 5 Semarang ............................................................. 61

                2. Keadaan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

                     Negeri 5 Semarang ............................................................. 64

                3. Keadaan Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

                     Negeri 5 Semarang ............................................................. 65

                4. Tingkat Kedisiplinan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan

                     (SMK) Negeri 5 Semarang ................................................ 67




                                                    xii
5. Isi Tata Tertib Sekolah Kaitannya Dengan Pelaksanaan

                        Pendidikan Moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

                        Negeri 5 Semarang ............................................................. 70

              B. Pembahasan .............................................................................. 73

                   1. Pelaksanaan             Tata      Tertib       Sekolah        Sebagai        Sarana

                        Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

                        Negeri 5 Semarang ............................................................. 73

                   2. Kendala – Kendala Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah

                        Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah

                        Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.................................. 98

BAB V PENUTUP ...................................................................................... 105

              A. Simpulan .................................................................................. 105

              B. Saran ......................................................................................... 106

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

LAMPIRAN ...................................................................................................




                                                        xiii
DAFTAR TABEL



1. Tabel 1 Jumlah Siswa SMK Negeri 5 Semarang ..................................... 65

2. Tabel 2 Data Guru Normatif/Adaptif SMK Negeri 5 Semarang ............ 66

3. Tabel 3 Data Guru Produktif SMK Negeri 5 Semarang .......................... 67

4. Tabel 4 Jenis Pelanggaran Tata Tertib Sekolah SMK Negeri 5

    Semarang .................................................................................................. 69

5. Tabel 5 Perbandingan Penerapan Sistem Credit Poin ............................. 86




                                                        xiv
DAFTAR GAMBAR



1. Gambar 1 Bagan components of good character .................................... 34

2. Gambar 2 Hubungan Moral, Etika dan Hukum ....................................... 37

3. Gambar 3 Bagan Kerangka Berpikir ........................................................ 44

4. Gambar 4 Bagan Metode Analisis Data ................................................... 59

5. Gambar 5 Pola Pembinaan Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah ................. 81

6. Gambar 6 Faktor – Faktor Mempengaruhi Moral Siswa ......................... 93




                                               xv
DAFTAR LAMPIRAN



1. Instrumen Wawancara

2. Hasil Wawancara

3. Daftar Nama Responden

4. Foto – Foto Wawancara

5. Surat Penelitian

6. Tata Tertib Siswa

7. Jadwal Piket Pembinaan Ketertiban Guru dan Siswa Sekolah Menengah

   Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang

8. Analisis Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Komponen Sekolah

   Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang

9. Struktur Organisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang

10. Pola Umum Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

   Negeri 5 Semarang

11. Daftar Nama Guru dan Karyawan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri

   5 Semarang




                                   xvi
BAB I

                              PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah

            Merebaknya isu – isu moral di kalangan remaja seperti penggunaan

   obat – obat terlarang (narkoba), tawuran pelajar, pornografi dan lain – lain,

   sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara

   tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap

   sebagai suatu persoalan sederhana, karena tindakan – tindakan tersebut sudah

   menjurus kepada tindakan – tindakan yang bersifat kriminal.

            Remaja merupakan usia atau tahap seorang siswa mencari jati diri

   yang dilakukan melalui peniruan diri atau imitasi. Pergaulan remaja yang

   tanpa arah dan pengawasan terhadap tingkah laku mereka akan mempunyai

   kecenderungan mengarah pada pergaulan remaja yang negatif. Banyak

   anggapan dari siswa selama ini bahwa tata tertib sekolah hanya membatasi

   kebebasan mereka sehingga berakibat pelanggaran terhadap peraturan itu

   sendiri. Tanpa disadari bahwa kebebasan yang kurang bertanggung jawab

   akan merugikan diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

            Pendidikan moral kepada anak diawali saat mereka berada pada

   lingkungan keluarga terutama orang tua melalui proses sosialisasi norma dan

   aturan moral dalam keluarga sendiri serta lingkungan dekat pergaulan sosial

   anak. Kemudian saat anak masuk ke sekolah mulai diperkenalkan dan

   diajarkan sesuatu yang baru yang tidak diajarkan dalam keluarga. Sekolah,



                                       1
2



sebagai tempat sosialisasi kedua setelah keluarga serta tempat anak ditatapkan

kepada kebiasaan dan cara hidup bersama yang lebih luas lingkupnya serta ada

kemungkinan berbeda dengan kebiasaan dan cara hidup dalam keluarganya,

sehingga berperan besar dalam menumbuhkan kesadaran moral diri anak.

Penanaman kebiasaan bersikap dan berbuat baik atau sebaliknya bersikap dan

berbuat buruk, pada tahap awal pertumbuhannya, anak dapat sangat

dipengaruhi oleh lingkungan sekolah tempat ia belajar.

         Subjek didik tidak begitu saja lahir sebagai pribadi bermoral atau

berakhlak mulia. Lingkungan sekolah merupakan lembaga pendidikan yang

dapat menunjang terjadinya rekonstruksi sosial ke arah masyarakat yang lebih

baik, dan mengemban misi membentuk watak yang baik dari anak bangsa.

Pembukaan UUD 1945 alinea keempat tentang tujuan negara Indonesia

menyatakan dengan jelas “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu

Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ”.

         Pada aspek tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam pasal 3

Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warganegara yang

demokratis serta bertanggung jawab. Mencerdaskan kehidupan bangsa
3



merupakan lingkup filosofis serta yuridis arti pendidikan yang melandasi

pendidikan di Indonesia. Pandangan Ki Hajar Dewantara (Munib, 2004:32)

menyatakan bahwa: ”pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk

memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran

(intelek), dan tubuh anak”.

            Berkaitan dengan Pendidikan, Tilaar dalam Mulyasa (2002)

mengemukakan bahwa Pendidikan Nasional dewasa ini sedikitnya ada tujuh

masalah pokok Sistem Pendidikan Nasional:

       1. Menurunnya akhlak peserta didik;
       2. Pemerataan kesempatan belajar;
       3. Masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan;
       4. Terjadinya degradasi moral peserta didik;
       5. Status kelembagaan;
       6. Manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan
          nasional;
       7. Sumber daya yang belum profesional.

            Pendidikan harus dipahami sebagai bagian dari proses pembudayaan

subjek didik sehingga bukan hanya pengalihan dan penguasaan ilmu

pengetahuan serta pelatihan serta penguasaan keterampilan – keterampilan

teknis tertentu, namun juga perlu dipahami sebagai penumbuhan dan

pengembangan subjek didik menjadi pribadi manusia yang berbudaya dan

beradab. Tujuan menjadi pribadi manusia yang berbudaya dan beradab adalah

mewujudkan personal yang tidak hanya cerdas dalam segi kognitif akan tetapi

mampu mengembangkan dan menanamkan kemampuan tertinggi dalam

mengaktualisasikan budaya yang dimiliki suatu bangsa agar tidak kehilangan

jati diri sebagai suatu bangsa akibat tergerus oleh perubahan zaman.
4



          Pada saat remaja inilah masa anak berhadapan dengan cara

bertindak dan cara bernalar berbeda dengan apa yang selama ini sudah

menjadi kebiasaannya, anak mulai ditantang untuk memilih dan mengambil

keputusan sendiri, entah ia akan meneruskan kebiasaan yang selama ini telah

ditanamkan dalam keluarganya atau mengambil jarak terhadapnya dan lebih

menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya di sekolah. Kondisi saat ini

adalah ketika anak berada pada masa memulai pilihan dirinya akan

pendewasaan diri dari masa anak – anak ke masa dewasa.

          Meski tugas dan tanggung jawab utama untuk melakukan

pendidikan moral terhadap anak terletak di pundak orang tua dalam

lingkungan keluarga tempat anak itu lahir dan dibesarkan, namun itu tidak

berarti sekolah tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan

pendidikan moral khususnya pada tahap pendidikan dasar dan menengah,

tempat remaja masih dalam proses pembiasaan diri mengenal dan mematuhi

aturan hidup bersama yang berlaku dalam masyarakatnya, berlatih displin,

berbuat baik dan mengalami proses pembentukan identitas diri moral mereka,

pendidikan moral perlu secara khusus mendapat perhatian para Guru dan

pendidik di sekolah.

          Di sekolah banyak sekali ditemui komponen yang bisa menjadi

sarana dari pendidikan moral. Salah satu komponen sekolah yang menjadi

sarana pendidikan moral tersebut adalah tata tertib sekolah. Tata tertib sekolah

sebagai bentuk peraturan dalam tingkatan hierarki terendah tata perundang –

undangan memuat adanya aspek pendidikan moral dan rule of law. Peraturan
5



yang dibuat tidak hanya legal formal akan tetapi menuntut adanya penerapan

moral di dalamnya. Hubungan tersebut erat kaitannya dengan hakikat dan isi

dari pembuatan peraturan. Internalisasi nilai – nilai moral kepada subjek didik

diperlukan upaya yang optimal dalam rangka menegakkan tata tertib sehingga

pelaksanaan tidak hanya bersifat rule of law saja akan tetapi didasari oleh

esensi adanya pendidikan moral.

          Dari hasil pengamatan awal lapangan di Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang oleh peneliti, diketahui kasus atau

pelanggaran terhadap tata tertib sekolah masih sering dilakukan siswa. Pada

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang khususnya, diketahui

pula pada periode tahun pelajaran 2003/2004 terjadi sebanyak 162 kasus atau

pelanggaran kemudian tahun pelajaran 2004/2005 meningkat sebanyak 430

kasus atau pelanggaran dan pada tahun pelajaran 2005/2006 sebanyak 209

kasus atau pelanggaran yang meliputi antara lain tidak masuk tanpa

keterangan (alpa), meninggalkan pelajaran tanpa izin, baju tidak dimasukkan,

mencorat – coret seragam sekolah, berkelahi, tidak segera menempuh atau

menyelesaikan remidi dan lain – lain. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

kasus atau pelanggaran terhadap tata tertib sekolah yang dilakukan oleh siswa

masih cukup tinggi.

          Pelanggaran terhadap tata tertib sekolah menunjukkan siswa kurang

patuh terhadap peraturan sekolah. Berbagai upaya yang telah dilaksanakan di

sekolah sering kurang dihargai dan diperhatikan oleh siswa. Sekolah

memegang peran yang sangat penting dalam menanamkan dan menumbuhkan
6



aspek pendidikan moral. Kasus atau pelanggaran tata tertib sekolah tersebut

terkait dengan karakteristik siswa seperti perbedaan – perbedaan yang dimiliki

setiap individu yang dipengaruhi oleh sikap, minat, keinsyafan, pengetahuan

dan faktor lain yang mempengaruhinya. Kepatuhan terhadap tata tertib

sekolah adalah sebuah kesiapan yang harus ditanamkan kepada siswa di

sekolah agar mempunyai sikap dan perbuatan sesuai dengan norma – norma

yang berlaku di masyarakat. Seseorang akan patuh atau sadar dalam mematuhi

peraturan atau hukum berkaitan pula dengan faktor peraturan atau hukum itu

sendiri.

            Berkaitan dengan hal tersebut diatas peneliti memilih Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang sebagai objek yang akan

diteliti karena: (1) Kasus atau pelanggaran terhadap tata tertib sekolah yang

masih tinggi terutama sebagai penerapan konsep pendidikan moral, (2) Aspek

pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan kurang diperhatikan karena

dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan digabung dengan Sejarah

sehingga kurang optimal, (3) Sekolah Menengah Kejuruan mempersiapkan

siswa untuk siap bekerja di masyarakat sehingga diperlukan nilai – nilai moral

dalam bekerja dan letak sekolah yang strategis mudah dijangkau peneliti serta

dapat memudahkan peneliti untuk memperoleh data – data dalam melakukan

penelitian.

            Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti ingin mengetahui

tentang pelaksanaan dan kendala – kendala yang dihadapi Guru serta sekolah

dalam      menerapkan   peraturan   sebagai   implementasi   atau   penerapan
7



   konseptualisasi pendidikan moral di sekolah maka peneliti mengambil judul

   penelitian:   “   TATA       TERTIB    SEKOLAH        SEBAGAI         SARANA

   PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK)

   NEGERI 5 SEMARANG ”.



B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

   1. Identifikasi Masalah

                 Pada lingkup tahap siswa merupakan masa yang penuh gejolak.

      Siswa adalah bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari sekolah.

      Perubahan sosial yang begitu cepat, kemudahan akses teknologi yang

      sedemikian maju, perbenturan antara nilai lokal dan nilai global

      menyebabkan     kondisi    dan   situasi   yang   sangat   rawan   terhadap

      pembentukan serta perkembangan moral siswa yang baik.

                 Pendidikan adalah upaya untuk mendewasakan manusia yang

      memiliki identitas sebagai manusia sebenarnya. Penyimpangan tingkah

      laku siswa mencerminkan adanya kesenjangan antara harapan dan

      kenyataan. Menemukan pendekatan dan strategi itulah diperlukan suatu

      penelitian yang memadai sehingga dapat memberikan bahan pertimbangan

      yang diperlukan seperti masih adanya hal – hal yang berkaitan dengan tata

      tertib sekolah yang belum tertangani dengan baik, harus ada paparan

      tentang sistem pengelolaan tata tertib sekolah yang dijadikan rujukan guna

      penanganan masalah – masalah ketertiban.
8



               Ketertiban sekolah sering dijadikan indikasi keberhasilan

     pembinaan mental dan tingkah laku siswa, latar belakang sosial keluarga

     dan lingkungan banyak memberikan pengaruh terhadap ketaatan

     melaksanakan tata tertib sekolah. Ketaatan dalam melaksanakan tata tertib

     sekolah juga akan menumbuhkan dampak nuansa yang mendukung

     pembelajaran yang lebih optimal pada diri siswa dan pihak sekolah.

  2. Pembatasan Masalah

               Berkaitan dengan luasnya permasalahan serta agar tidak terjadi

     kesalahpahaman dalam menanggapi isi atau uraian dalam lingkup

     pembahasan ini, maka berikut ini akan dijelaskan beberapa fokus utama

     dan indikator yang disajikan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

        1. Hal – hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tata tertib sekolah

            sebagai media dalam maksud atau tujuan mencapai pendidikan

            moral.

        2. Tata tertib sekolah dalam penelitian ini dibatasi pada tata tertib

            yang berlaku bagi siswa.

        3. Tata tertib sekolah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

            sejumlah aturan yang ditetapkan sekolah yang harus dipatuhi oleh

            siswa di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.



C. Perumusan Masalah

           Kenyataan di sekolah masih ditemui banyak kasus atau pelanggaran

  terhadap tata tertib sekolah. Kenyataan tersebut menimbulkan berbagai
9



   persoalan dan permasalahan mengenai pelaksanaan pendidikan moral. Sesuai

   dengan pembatasan masalah diatas maka penelitian ini mengambil rumusan

   masalah sebagai berikut:

      1.    Apakah benar tata tertib sekolah berisi muatan sarana pendidikan

            moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?

      2.    Bagaimana pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan

            moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?

      3.    Bagaimana kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata

            tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah

            Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?



D. Tujuan Penelitian

             Berdasarkan      rumusan   masalah   diatas   maka   penelitian   ini

   mempunyai tujuan yaitu:

     1.    Untuk mengetahui implementasi konsep tata tertib sekolah sebagai

           sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

           Negeri 5 Semarang.

     2.    Untuk mengetahui pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana

           pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5

           Semarang.

     3.    Untuk mengetahui kendala – kendala yang dihadapi sekolah terutama

           terhadap tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di

           Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
10



E. Kegunaan Penelitian

   1. Kegunaan Teoritis

                  Penelitian ini dapat dipergunakan untuk menambah khasanah

      pengembangan pustaka ilmu pengetahuan secara umum dan secara khusus

      pada kajian lingkup pendidikan moral serta dapat digunakan sebagai

      referensi bagi yang akan melakukan penelitian sejenis. Oleh karena itu,

      hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap

      kajian – kajian dan teori – teori yang berkaitan dengan persoalan tersebut.

   2. Kegunaan Praktis

      b    Bagi Guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

           masukan yang berharga dalam upaya meningkatkan pendidikan moral

           terutama di sekolah.

      c    Bagi Siswa, sebagai motivasi untuk meningkatkan sikap dan tingkah

           lakunya dalam mematuhi tata tertib yang dibuat oleh sekolah.

      d    Bagi     Orang   tua,   sebagai   bahan   pertimbangan   untuk    lebih

           meningkatkan kualitas dalam mendidik dan memupuk pendidikan

           moral khususnya di lingkungan keluarga.

      e    Bagi Sekolah, diharapkan dapat memberikan masukan yang

           digunakan untuk melaksanakan tata tertib sebagai sarana pendidikan

           moral di sekolah dan menerapkan kebijakan – kebijakan sekolah

           dalam rangka meningkatkan pendidikan moral khususnya kepada

           siswa.
11



F. Sistematika Penelitian Skripsi

             Sistematika skripsi adalah pokok persoalan yang akan disajikan

   dalam bab – bab yang terangkum dalam suatu skripsi. Adapun sistematika

   skripsi yang akan dibahas sebagai berikut:

   1. Bagian Pendahuluan skripsi, terdiri atas: (a) Halaman Judul, (b) Abstrak,

       (c) Halaman Persetujuan, (d) Halaman Pengesahan, (e) Halaman Motto

       dan Persembahan, (f) Prakata, (g) Daftar Isi, (h) Daftar Gambar / Foto, (i)

       Daftar Lampiran.

   2. Bagian Inti skripsi terdiri atas

       Bab I Pendahuluan berisi Latar Belakang Masalah, Identifikasi dan

       Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan

       Penelitian dan Sistematika Penelitian Skripsi.

       Bab II Landasan Teori berisi bab yang menguraikan tentang Pengertian

       Tata Tertib Sekolah, Tujuan Tata Tertib Sekolah, Isi Tata Tertib Sekolah,

       Tipe – Tipe Kepatuhan Siswa Terhadap Tata Tertib Sekolah, Nilai dan

       Moral, Batasan Moral, Pengertian Pendidikan Moral, Tujuan Pendidikan

       Moral, Prinsip – Prinsip          Pendidikan Moral, Tahap – Tahap

       Perkembangan Moral Manusia, Hubungan Antara Tata Tertib Sekolah dan

       Pendidikan Moral, Sarana Pendidikan Moral.

       Bab III Metode Penelitian merupakan bab yang berisi Dasar Penelitian,

       Fokus Penelitian, Sumber Data Penelitian, Alat dan Teknik Pengumpulan

       Data, Objektivitas dan Keabsahan Data, Metode Analisis Data dan

       Prosedur Penelitian.
12



   Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan menguraikan tentang Hasil

   Penelitian dan Pembahasan Hasil Penelitian.

   Bab V Penutup berisi Simpulan dan Saran.

3. Bagian Akhir skripsi berisi Daftar Pustaka, Lampiran – lampiran.
BAB II

                              LANDASAN TEORI



A. Tata Tertib Sekolah

   1. Pengertian Tata Tertib Sekolah

                  (Mulyono, 2000:14) tata tertib adalah kumpulan aturan – aturan

      yang dibuat secara tertulis dan mengikat anggota masyarakat. (Dekdikbud,

      1989:37) tata tertib sekolah adalah aturan atau peraturan yang baik dan

      merupakan hasil pelaksanaan yang konsisten (tatap azas) dari peraturan

      yang ada.

                  Aturan – aturan ketertiban dalam keteraturan terhadap tata tertib

      sekolah, meliputi kewajiban, keharusan dan larangan – larangan. Tata

      tertib sekolah merupakan patokan atau standar untuk hal – hal tertentu.

      Sesuai dengan keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan

      Menengah Nomor 158/C/Kep/T.81 Tanggal 24 September 1981 (Tim

      Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP Malang, 1989:145)

      ketertiban berarti kondisi dinamis yang menimbulkan keserasian,

      keselarasan dan keseimbangan dalam tata hidup bersama makhluk Tuhan

      Yang Maha Esa. Ketertiban sekolah tersebut dituangkan dalam sebuah tata

      tertib sekolah.

                  (Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP Malang,

      1989:146) mengartikan tata tertib sekolah: sebagai kesediaan mematuhi

      ketentuan berupa peraturan – peraturan tentang kehidupan sekolah sehari –



                                        13
14



   hari. Tata tertib sekolah disusun secara operasional guna mengatur tingkah

   laku dan sikap hidup siswa, Guru dan karyawan administrasi.

             Secara umum tata tertib sekolah dapat diartikan sebagai ikatan

   atau aturan yang harus dipatuhi setiap warga sekolah tempat

   berlangsungnya proses belajar mengajar. Pelaksanaan tata tertib sekolah

   akan dapat berjalan dengan baik jika Guru, aparat sekolah dan siswa telah

   saling mendukung terhadap tata tertib sekolah itu sendiri, kurangnya

   dukungan dari siswa akan mengakibatkan kurang berartinya tata tertib

   sekolah yang diterapkan di sekolah.

             Peraturan sekolah yang berupa tata tertib sekolah merupakan

   kumpulan aturan – aturan yang dibuat secara tertulis dan mengikat di

   lingkungan sekolah. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tata

   tertib sekolah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu

   dengan yang lain sebagai aturan yang berlaku di sekolah agar proses

   pendidikan dapat berlangsung dengan efektif dan efisien.

2. Tujuan Tata Tertib Sekolah

             Secara umum dibuatnya tata tertib sekolah mempunyai tujuan

   utama agar semua warga sekolah mengetahui apa tugas, hak dan

   kewajiban serta melaksanakan dengan baik sehingga kegiatan sekolah

   dapat berjalan dengan lancar. Prinsip tata tertib sekolah adalah diharuskan,

   dianjurkan dan ada yang tidak boleh dilakukan dalam pergaulan di

   lingkungan sekolah.
15



              Tata tertib sekolah harus ada sanksi atau hukuman bagi yang

   melanggarnya. Menjatuhkan hukuman sebagai jalan keluar terakhir, harus

   dipertimbangkan perkembangan siswa. Sehingga perkembangan jiwa

   siswa tidak dan jangan sampai dirugikan. Tata tertib sekolah dibuat dengan

   tujuan sebagai berikut:

         a     Agar siswa mengetahui tugas, hak dan kewajibannya.

         b     Agar siswa mengetahui hal – hal yang diperbolehkan dan

               kreatifitas meningkat serta terhindar dari masalah – masalah

               yang dapat menyulitkan dirinya.

         c     Agar siswa mengetahui dan melaksanakan dengan baik dan

               sungguh – sungguh seluruh kegiatan yang telah diprogramkan

               oleh sekolah baik intrakurikuler maupun ektrakurikuler.

3. Isi Tata Tertib Sekolah

              Tata tertib sekolah sebagaimana tercantum di dalam Instruksi

   Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14/4/1974 Tanggal 1 Mei

   1974 (Nawawi, 1986:161) mencakup aspek – aspek sebagai berikut:

         a.    Tugas dan kewajiban.
               1). Dalam kegiatan intra kurikuler.
               2). Dalam kegiatam ekstra kurikuler.
         b.    Larangan – larangan bagi para siswa.
         c.    Sanksi – sanksi bagi siswa.

              Tata tertib sekolah termasuk dalam administrasi ko – kurikulum

   yaitu merupakan kegiatan – kegiatan yang diselenggarakan di sekolah

   untuk menunjang dan meningkatkan daya dan hasil guna kegiatan
16



   kurikulum. (Arikunto, 1990:123) berpendapat batasan antara peraturan dan

   tata tertib sekolah sebagai berikut:

      a       Peraturan menunjuk pada patokan atau standar yang sifatnya
              umum yang harus dipenuhi oleh siswa. Misalnya peraturan tentang
              kondisi yang harus dipenuhi oleh siswa di dalam kelas pada waktu
              pelajaran sedang berlangsung.
      b       Tata tertib sekolah menunjuk pada patokan atau standar yang
              sifatnya khusus yang harus dipenuhi oleh siswa. Tata tertib sekolah
              menunjuk pada patokan atau standar untuk aktifitas khusus, seperti
              penggunaan pakaian seragam, penggunaan laboratorium, mengikuti
              upacara bendera, mengerjakan tugas rumah, pembayaran SPP dan
              sebagainya.

                Tata tertib sekolah bukan hanya sekedar kelengkapan dari

   sekolah, tetapi merupakan kebutuhan yang harus mendapat perhatian dari

   semua pihak yang terkait, terutama dari pelajar atau siswa itu sendiri.

   Sehubungan dengan hal tersebut, maka sekolah pada umumnya menyusun

   pedoman tata tertib sekolah bagi semua pihak yang terkait baik Guru,

   tenaga administrasi maupun siswa. Isi tata tertib sekolah secara garis besar

   adalah berupa tugas dan kewajiban siswa yang harus dilaksanakan,

   larangan dan sanksi.

                Pada hakikatnya tata tertib sekolah baik yang berlaku umum

   maupun khusus meliputi tiga unsur (Arikunto, 1990:123 – 124) yaitu:

          a      Perbuatan atau tingkah laku yang diharuskan dan yang
                 dilarang;
          b      Akibat atau sanksi yang menjadi tanggung jawab pelaku atau
                 pelanggar peraturan;
          c      Cara atau prosedur untuk menyampaikan peraturan kepada
                 subjek yang dikenai tata tertib sekolah tersebut.

4. Tipe – Tipe Kepatuhan Siswa Terhadap Tata Tertib Sekolah
17



          Graham (Sanjaya, 2006:272 – 273) melihat empat faktor yang

merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu:

  a. Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma – norma hukum.

      Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga

      bentuk, yaitu, (1) Kepatuhan terhadap nilai atau norma itu sendiri;

      (2) Kepatuhan pada proses tanpa memedulikan normanya sendiri;

      (3) Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari

      peraturan itu.

  b. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan

      pertimbangan – pertimbangan yang rasional.

  c. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekadar

      basa basi.

  d. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.

          Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap

individu tentu saja yang kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat

normativist, sebab kepatuhan semacam ini adalah kepatuhan didasari

kesadaran akan nilai, tanpa memedulikan apakah tingkah laku itu

menguntungkan untuk dirinya atau tidak.

          Selanjutnya dalam sumber yang sama dijelaskan, dari empat

faktor ini terdapat lima tipe kepatuhan:

  a. Otoritarian. Suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang

      ikut – ikutan.
18



        b. Conformist. Kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu: (1)

            conformist directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau

            orang lain; (2) conformist hedonist, yakni kepatuhan yang

            berorientasi pada “untung – rugi”, dan (3) conformist integral,

            adalah kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri

            dengan kepentingan masyarakat.

        c. Compulsive deviant. Kepatuhan yang tidak konsisten.

        d. Hedonik psikopatik, yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa

            memperhitungkan kepentingan orang lain.

        e. Supramoralist. Kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap

            nilai – nilai moral.



B. Pendidikan Moral

   1. Nilai dan Moral

             Nilai merupakan ukuran atau pedoman perbuatan manusia. Karena

      itu maka nilai diungkapkan dalam bentuk norma dan norma ini mengatur

      tingkah laku manusia. Pengertian nilai adalah (Daroeso, 1986:20):

              Nilai adalah suatu penghargaan atau kualitas terhadap sesuatu atau
      hal, yang dapat dasar penentu tingkah laku seseorang, karena sesuatu atau
      hal itu menyenangkan (pleasant), memuaskan (satifying), menarik
      (interest), berguna (usefull), menguntungkan (profitable), atau merupakan
      suatu sistem keyakinan (belief)

             Di antara beberapa macam nilai, ada nilai etik. Nilai etik atau nilai

      yang bersifat susila, memberi kualitas perbuatan manusia yang bersifat

      susila, sifatnya universal tidak tergantung waktu, ruang dan keadaan. Nilai
19



   etik tersebut diwujudkan dalam norma moral. Norma moral merupakan

   landasan perbuatan manusia, yang sifatnya tergantung pada tempat, waktu

   dan keadaan. Sehingga norma moral itu dapat berubah – ubah sesuai

   dengan waktu, tempat dan keadaannya.

          Pelaksanaan norma moral yang merupakan perwujudan dari nilai

   etik itu, tergantung pada manusianya. Penilaian moral dari perbuatan

   manusia ini meliputi semua penghidupan, dalam hal ini hubungan manusia

   terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri sendiri, terhadap

   masyarakat maupun terhadap alam. Perbuatan manusia dinilai secara

   moral bilamana perbuatan itu didasarkan pada kesadaran moral.

          Adanya nilai – nilai yang merupakn rangsangan (stimulus) diterima

   oleh pancaindera, menimbulkan suatu proses dalam diri individu yang

   dapat berupa suatu kebutuhan, motif, perasaan, perhatian dan pengambilan

   keputusan. Perbuatan susila adalah merupakan wujud dari norma moral

   dan norma moral merupakan ungkapan dari nilai etis (Daroeso, 1986:28).

   Karena itulah nilai etis menjadi pedoman tingkah laku dan perbuatan

   manusia dalam kehidupan sehari – hari. Nilai etis bersifat normatif dan

   tingkah laku perbuatan manusia mengarah kepadanya.

2. Batasan Moral

            Moral berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan: ajaran kesusilaan.

   Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan (Salam, 2000:80). Driyakara

   mengatakan bahwa “moral atau kesusilaan” adalah nilai yang sebenarnya

   bagi manusia. Dengan kata lain moral atau kesusilaan adalah
20



kesempurnaan sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat

manusia (Daroeso, 1986:22).

         Huky (Daroeso, 1986:22) mengatakan: kita dapat memahami

moral dengan tiga cara:

     a. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan
        diri pada kesadaraan, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk
        mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku
        dalam lingkungannya.
     b. Moral sebagai perangkat ide – ide tentang tingkah laku hidup,
        dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok
        manusia di dalam lingkungan tertentu.
     c. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik
        berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.

         Pengertian lain tentang moral berasal dari P. J. Bouman yang

mengatakan bahwa ”moral adalah suatu perbuatan atau tingkah laku

manusia yang timbul karena adanya interaksi antara individu – individu di

dalam pergaulan”. Dari beberapa pengertian moral, dapat dilihat bahwa

moral memegang peran penting dalam kehidupan manusia yang

berhubungan dengan baik buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah

laku ini mendasarkan diri pada norma – norma yang berlaku dalam

masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang tersebut

bertingkah laku sesuai dengan norma – norma yang terdapat dalam

masyarakat.

         Seorang individu yang tingkah lakunya mentaati kaidah – kaidah

yang berlaku dalam masyarakatnya disebut baik secara moral, dan jika

sebaliknya, ia disebut jelek secara moral (immoral). Dengan demikian

moral selalu berhubungan dengan nilai – nilai. Ciri khas yang menandai
21



   nilai moral yaitu tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja, secara

   mau dan tahu; dan tindakan itu secara langsung berkenaan dengan nilai

   pribadi (person) manusia dan masyarakat Indonesia (Salam, 2000:74).

                Dengan demikian, moral adalah keseluruhan norma yang

   mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan

   perbuatan yang baik dan benar. Objek moral adalah tingkah laku manusia,

   perbuatan manusia, tindakan manusia, baik secara individual maupun

   secara kelompok (Daroeso, 1986:26). Dalam melaksanakan perbuatan

   tersebut manusia didorong oleh tiga unsur, yaitu:

     a. Kehendak yaitu pendorong pada jiwa manusia yang memberi alasan
        pada manusia untuk melakukan perbuatan.
     b. Perwujudan dari kehendak yang berbentuk cara melakukan
        perbuatan dalam segala situasi dan kondisi.
     c. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dan kesadaran inilah
        yang memberikan corak dan warna perbuatan tersebut.

3. Pengertian Pendidikan Moral

                Pendidikan moral adalah upaya dari orang dewasa dalam

   membentuk tingkah laku yang baik, yaitu tingkah laku yang sesuai dengan

   harapan masyarakat yang dilakukan secara sadar. (Daryono, 1998:13)

   mengemukakan bahwa: ”Pendidikan moral adalah merupakan suatu usaha

   sadar untuk menanamkan nilai – nilai moral pada anak didik sehingga

   anak bisa bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai – nilai moral

   tersebut”.

                Dewey (Daroeso, 1986:32) menyatakan pendidikan moral

   seperti pendidikan intelektual mempunyai basis pada berfikir aktif

   mengenai masalah – masalah moral dan keputusan – keputusan
22



selanjutnya ia mengatakan tujuan pendidikan adalah pertumbuhan atau

perkembangan moral dan intelektual.

         Sementara itu (Sudarminta, 004:108) menyatakan bahwa

pendidikan moral pada umumnya, baik di dalam keluarga maupun di

sekolah, sebagai bagian pendidikan nilai, adalah upaya untuk membantu

subjek didik mengenal, menyadari pentingnya, dan menghayati nilai –

nilai moral yang seharusnya dijadikan panduan bagi sikap dan tingkah

lakunya sebagai manusia, baik secara perorangan maupun bersama – sama

dalam suatu masyarakat. (Daroeso, 1986:45), berpendapat tentang

pendidikan moral bahwa: “pendidikan moral adalah pendidikan yang

menyangkut aspek dari pada watak seseorang yang sama pendidikannya,

watak itu tidak baru dimulai pada saat ia masuk sekolah”.

         Pendidikan moral dapat dirumuskan sebagai: suatu proses yang

disengaja di mana para warga muda dari masyarakat dibantu supaya

berkembang dari orientasi yang berpusat pada diri sendiri mengenai hak –

hak dan kewajiban mereka, ke arah pandangan yang lebih luas, yaitu

bahwa dirinya berada dalam masyarakat dan ke arah pandangan yang lebih

mendalam mengenai diri sendiri (Salam, 2000:76).

         Kehidupan manusia memang mempunyai otonomi, tetapi

manusia tidak bebas sepenuhnya. Kehidupan manusia terkait oleh

ketentuan – ketentuan yang ada dalam masyarakat. Ketentuan – ketentuan

itu menurut Daroeso (1986:23) sebagai berikut:

    1. ketentuan agama yang berdasarkan wahyu.
23



    2. ketentuan kodrat yang terutama dalam diri manusia, termasuk
       didalamya ketentuan moral universal yaitu moral yang seharusnya.
    3. ketentuan adat istiadat buatan manusia termasuk didalamnya
       ketentuan moral yang sedang berlaku pada suatu waktu.
    4. ketentuan hukum buatan manusia, baik berbentuk adat istiadat
       atau hukum negara.

           Diungkapkan    oleh   Magnis     (Daroeso,    1986:27)    bahwa:

berkesadaran moral tidak lain adalah merasa wajib untuk melakukan

tindakan yang bermoral. Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan

tindakan yang bermoral itu ada dan terjadi di dalam hati sanubari manusia,

siapapun, dimanapun dan kapanpun juga.

           Kohlberg seorang pakar Perkembangan Moral secara Kognitif

(Cognitive Moral Development) memandang pendidikan moral adalah

pendidikan mengenai prinsip – prinsip umum tentang moralitas dengan

menggunakan metode pertimbangan moral atau cara – cara memberi

pertimbangan moral. Prinsip – prinsip moralitas adalah prinsip mengenai

pilihan.   Kohlberg melihat pendidikan moral adalah kegiatan untuk

membantu peserta didik menuju kearah yang sesuai dengan kesiapan

mereka, dan tidak memaksakan pola – pola eksternal terhadapnya. Dalam

pendidikan moral senantiasa melibatkan stimulasi perkembangan melalui

tahap – tahap, dan tidak sekedar mengajarkan kebenaran – kebenaran yang

sudah baku. Secara umum pendidikan moral berkenaan dengan aturan –

aturan (moral rules), sikap – sikap (behavior), dan tingkah laku (action).

           Pandangan Wilson tentang esensi dari pendidikan moral adalah

menanamkan pilihan – pilihan yang benar dan klarifikasi akan perasaan

dan disposisi tersebut. Pendidikan moral umumnya lebih menunjuk kepada
24



   pengembangan konsepsi keadilan yang begitu dipengaruhi oleh pemikiran

   – pemikiran Kant (Haricahyono, 1995:210) moralitas mencakup makna

   yang begitu luas, antara lain:

        a     Tingkah laku membantu orang lain;
        b     Tingkah laku yang sesuai dengan norma – norma sosial;
        c     Internaliasasi norma – norma sosial;
        d     Timbulnya empati atau rasa salah, atau bahkan keduanya;
        e     Penalaran tentang keadilan, dan
        f     Memperhatikan kepentingan orang lain.

4. Tujuan Pendidikan Moral

               Sasaran dari moral adalah keselarasan dari perbuatan manusia

   dengan aturan – aturan yang mengenai perbuatan – perbuatan manusia itu

   (Salam, 2000:9). Tujuan secara khusus pendidikan moral: untuk

   berkembangnya siswa dalam penalaran moral (moral reasioning) dan

   melaksanakan nilai – nilai moral (Salam, 2000:77).

               Pandangan Salam (2000: 80) tentang tujuan pendidikan moral

   adalah:

            membimbing para generasi muda untuk memahami dan menghayati
            Pancasila secara keseluruhan dan setiap sila. Tujuan akhirnya adalah
            agar dapat menumbuhkan manusia – manusia pembangunan yang
            dapat membangun dirinya sendiri serta bersama – bersama
            bertanggungjawab atas pembangunan

               Ditambahkan bahwa tujuan pendidikan moral adalah: (1)

   Meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2)

   Meningkatkan kecerdasan dan keterampilan dan mempertinggi budi

   pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan.

               Tujuan utama pendidikan moral adalah untuk meningkatkan

   kapasitas berpikir secara moral dan mengambil keputusan moral.
25



mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan moral ditekankan pada metode

pertimbangan moral dan untuk membantu anak – anak untuk mengenal

apa yang menjadi dasar untuk menerima suatu nilai. Selain itu tujuan

pendidikan moral adalah untuk mengusahakan perkembangan yang

optimal bagi setiap individu. Lickona (Koyan, 2000:85) mengemukakan

tentang dua tujuan utama pendidikan moral, yaitu kebijakan dan kebaikan.

         Selain   itu sebagai   intrakulikuler   dalam mata    pelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) tujuan pendidikan moral (Daryono,

1998:31) yaitu:

      meneruskan dan mengembangkan jiwa semangat dan nilai – nilai
      yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 kepada generasi
      muda, dengan menekankan ranah sikap dan nilai – nilai yang
      mendorong semangat, merangsang ilham, dan menyeimbangkan
      kepribadian peserta didik

         Tujuan Pendidikan moral perlu diefektifkan, karena adanya

kecenderungan remaja bertingkah laku menyimpang. Membangun

manusia seutuhnya adalah masalah dan tugas pendidikan di lingkungan

keluarga, sekolah, lingkungan manusia seutuhnya adalah tugas untuk

membantu manusia dalam perkembangannya menjadi manusia insan

kamil/manusia yang sempurna, manusia yang sehat jasmani dan rohani,

manusia yang seimbang dalam perkembangannya sebagai insan sosial

yang adil (Daroeso, 1986:43). Adapun pendidikan moral memiliki tujuan

dan sasaran sebagai berikut:

    1. Perkembangan anak seutuhnya;
    2. Membina warga negara yang bertanggung jawab;
    3. Mengembangkan rasa hormat menghormati martabat individu dan
       kesucian hak asasi manusia;
26



       4.   Menanamkan patriotisme dan integrasi nasional;
       5.   Mengembangkan cara hidup dan berpikir demokratis;
       6.   Mengembangkan toleransi, mengerti perbedaan;
       7.   Mengembangkan persaudaraan;
       8.   Mendorong tumbuhnya iman;
       9.   Menanamkan prinsip moral.

5. Prinsip – Prinsip Pendidikan Moral

             Pendidikan moral memang menanamkan prinsip moral yang

   lazim disebut sosialisasi moral. Mengenai prinsip – prinsip moral,

   Durkheim menjelaskan sebagai berikut : (1) Pada dasarnya tidak ada

   seperangkat prinsip – prinsip moral dalam artian serangkaian pernyataan

   apriori dapat dianggap universal dan menentukan kehidupan moral semua

   makhluk manusia. (2) Pernyataan tentang prinsip – prinsip moral tidak

   berakar dalam naluri individualistik, akan tetapi lebih berakar dalam

   masyarakat beserta sifat – sifat sosial manusianya, yang sekaligus

   merupakan prinsip utama yang dibenarkan dalam eksistensi manusia. (3)

   Moralitas adalah suatu sistem aturan tingkah laku tertentu merefleksikan

   realitas moral dari masyarakat tertentu dimana aturan – aturan tersebut

   disertai dengan otoritas dan sanksi berdasarkan kepentingan masyarakat

   yang bersangkutan (Haricahyono, 1995:96 – 102). Dengan demikian,

   dalam pendidikan moral, prinsip – prinsip moral itu adalah subjek dan

   sekaligus konteks yang esensial bagi pendidikan moral.

             Keller dan Reuss (Haricahyono, 1995:207) menegaskan adanya

   empat prinsip yang mendasari moral, yang tidak harus berkaitan satu sama

   lain antara lain;
27



   a   Prinsip justifikasi, yang mengimplikasikan adanya kepentingan

       untuk menjustifikasi perbagai tindakan yang menarik perhatian

       kita;

   b   Prinsip kejujuran, yang menjamin keseimbangan secara adil dalam

       mendistribusikan perbagai usaha dan pengorbanan;

   c   Prinsip konsekuensi, yang mengandung implikasi bahwa setiap

       orang harus mengatasi konsekuensi dari tindakan atau pun

       kelalaiannya;

   d   Prinsip universalitas, yang berimplikasi adanya konsistensi dalam

       pertimbangan dan kehendak untuk mengambil peranan dari pribadi

       – pribadi yang menarik.

         Dalam pendidikan moral, mengajarkan proses penalaran moral

semata – mata, akan tetapi harus diarahkan kepada pensosialisasian

individu secara moral agar bisa bertindak dengan cara – cara tertentu

sesuai dengan norma – norma yang berlaku dalam masyarakat.

         Durkheim (Haricahyono, 1995:337) memandang pendidikan

moral berkaitan dengan sosialisasi moral, sementara penalaran dianggap

mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam proses penting tersebut.

Prinsip moral menginginkan agar manusia atau personal individu

bertanggungjawab terhadap antara lain:

    a. Pengembangan personal yang diinginkan;
    b. Pengembangan atribut – atribut sosial (nilai – nilai yang dijunjung
       tinggi);
    c. Memperoleh prinsip moral sebagai bahan membuat pertimbangan
       dan putusan moral;
    d. Menemukan hakikat hidup.
28



              Supaya menjadi bermoral, maka harus menghargai disiplin,

  menempatkan diri dalam kelompok masyarakat, dan mengetahui alasan

  tertentu akan tingkah lakunya secara otonom. Dengan demikian akan

  tampak, bahwa pribadi yang terdidik secara moral akan bertindak sesuai

  dengan iklim dan budaya masyarakat.

6. Tahap –Tahap Perkembangan Moral Manusia

  Tahap – tahap perkembangan moral manusia ditinjau melalui pendekatan

  kognitif Piaget dalam Haricahyono (1995) adalah terkait dengan aspek

  mental dan kognitif. Tentang tahap perkembangan moral sendiri, Piaget

  mengemukakan adanya dua tahap yang harus dilewati setiap individu.

              Yang pertama disebut tahap Heteronomous atau Realisme

  Moral. Dalam tahap ini anak cenderung menerima begitu saja aturan –

  aturan yang diberikan oleh orang – orang yang dianggap kompeten untuk

  itu; Tahap yang kedua disebut Autonomous Morality atau Independensi

  Moral. Dalam tahap ini anak sudah mempunyai pemikiran akan perlunya

  memodifikasi aturan – aturan untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi

  yang ada.

              Tahap perkembangan moral Bull (Daroeso, 1986:29 – 30)

  menyimpulkan empat tahapan perkembangan moral yaitu:

     a    Anomi (without law), adalah anak belum memiliki perasaan

          moral dan belum ada perasaan untuk menaati peraturan –

          peraturan yang ada.
29



   b    Heternomi (law imposed by others), adalah tahap moralitas

        terbentuk karena pengaruh luar (external morality). Pada

        heternomi peraturan dipaksakan oleh orang lain, dengan

        pengawasan, kekuatan atau paksaan, karena itulah peraturan

        tersebut di atas.

   c    Sosionomi (law driving from society), adalah suatu kenyataan

        adanya kerjasama antar individu, menjadi individu sadar bahwa

        dirinya merupakan anggota kelompok.

   d    Autonomi (law driving from self), adalah tahapan perkembangan

        pertimbangan moral yang paling tinggi. Pembentukan moral dari

        individu bersumber pada diri individu sendiri, termasuk di

        dalamnya pengawasan tingkah laku moral individu tersebut.

         Tahap perkembangan lainnya dikemukakan oleh Kohlberg

terdiri dari tiga tingkatan perkembangan moral yang masing – masing

tingkat memuat pula dua tahap perkembangan yaitu:

   a.   Tingkat prakonvesional

                  Pada tingkat ini setiap individu memandang moral

        berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral

        didasarkan    pada   pandangannya      secara   individual   tanpa

        menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat.

        Pada tingkat prakonvensional ini terdiri dari dua tahap.

           1). Orientasi hukuman dan kepatuhan
30



                       Pada tahap ini tingkah laku anak didasarkan

            kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Artinya, anak

            hanya berpikir bahwa tingkah laku yang benar itu adalah

            tingkah laku yang tidak mengakibatkan hukuman. Dengan

            demikian, setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak

            menimbulkan konsekuensi negatif.

        2). Orientasi instrumental – relatif

                      Pada tahap ini tingkah laku anak didasarkan

            kepada rasa ”adil” berdasarkan aturan permainan yang

            telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas

            tingkah laku kita yang anggap baik. Dengan demikian

            tingkah laku itu didasarkan kepada saling menolong dan

            saling memberi.

b.   Tingkat konvensional

               Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada

     hubungan individu – masyarakat. Kesadaran dalam diri anak

     mulai tumbuh bahwa tingkah laku itu harus sesuai dengan norma

     – norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Dengan

     demikian, pemecahan masalah itu sesuai dengan norma

     masyarakat atau tidak. Pada tingkat konvensional itu mempunyai

     dua tahap sebagai lanjutan dari tahap yang ada pada tingkat

     prakonvensional, yaitu tahap keselarasan interpersonal serta tahap

     sistem sosial dan kata hati.
31



        1). Keselarasan interpersonal

                     Pada tahap ini ditandai dengan setiap tingkah

            laku yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan

            untuk memenuhi harapan orang lain. Kesadaran individu

            mulai tumbuh bahwa ada orang lain di luar dirinya untuk

            bertingkah laku sesuai dengan harapannya. Artinya, anak

            sadar bahwa ada hubungan antara dirinya dengan orang

            lain. Dan, hubungan itu tidak boleh dirusak.

        2). Sistem sosial dan kata hati

                     Pada tahap ini tingkah laku individu bukan

            didasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang

            lain yang dihormatinya, akan tetapi didasarkan pada

            tuntutan dan harapan masyarakat. Ini berarti telah terjadi

            pergeseran dari kesadaran individu kepada kesadaran

            sosial. Artinya, anak sudah menerima adanya sistem sosial

            yang mengatur tingkah laku individu.

c.   Tingkat postkonvensional

               Pada tingkat ini tingkah laku bukan hanya didasarkan

     pada kepatuhan terhadap norma – norma masyarakat yang

     berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan

     nilai – nilai yang dimilikinya secara individu. Seperti pada tingkat

     sebelumnya, pada tingkat ini juga terdiri dua tahap:

        1). Kontrak sosial
32



                          Pada tahap ini tingkah laku individu didasarkan

                 pada kebenaran – kebenaran yang diakui oleh masyarakat.

                 kesadaran individu untuk bertingkah laku tumbuh karena

                 kesadaran untuk menerapkan prinsip – prinsip sosial.

                 Dengan demikian, kewajiban moral dipandang sebagai

                 kontrak sosial yang harus dipatuhi, bukan sekadar

                 pemenuhan sistem nilai.

             2). Prinsip etis yang universal aturan – aturan

                          Pada tahap terakhir, tingkah laku manusia

                 didasarkan pada prinsip – prinsip universal. Segala macam

                 tindakan bukan hanya didasarkan sebagai kontrak sosial

                 yang harus dipatuhi, akan tetapi didasarkan pada suatu

                 kewajiban sebagai manusia. Setiap individu wajib

                 menolong orang lain, apakah orang itu sebagai orang yang

                 kita benci atau tidak, orang yang kita suka atau tidak.

                 Pertolongan yang diberikan bukan didasarkan pada alasan

                 subjektif, akan tetapi didasarkan pada kesadaran yang

                 bersifat universal.

7. Muatan Pendidikan Moral

            Pendidikan moral pada tiap – tiap negara berbeda satu dengan

   yang lainnya. Dalam negara yang menjadikan agama sebagai hukum

   dasarnya maka pendidikan moral bersumber pada agama yang berlaku di

   negara itu. Bagi masyarakat Indonesia mengenai dasar pendidikan moral
33



sudah jelas, berdasarkan religi, adat istiadat dan kebudayaan Indonesia

yaitu Pancasila. Moral sesuatu masyarakat adalah merupakan identitas

bagi masyarakat itu (Daroeso, 1986:55).

          Pandangan Durkheim (Haricahyono, 1995:327) terhadap muatan

moralitas pada dasarnya berkaitan dengan isi, tindakan, aturan – aturan,

atau tingkah laku – tingkah laku tertentu. ”Morality is not a system of

abstract truth which can be derived from some fundamental notion,

posited as self – efident”, demikian Durkheim. Lebih lanjut dikemukakan,

”...it belongs to the realm of life, not to speculation. It is a set of rules of

conduct, of practical imperatives which have grown up historically under

the influence of specific social necessities” (Durkheim, 1961:34).

          Mengacu pada pandangan di atas Durkheim melihat adanya satu

fenomena dalam kehidupan manusia yang menduduki rangking teratas.

Fenomena dimaksud adalah serangkaian aturan yang dapat dibatasi secara

jelas dan spesifik. Dalam konteks ini pribadi yang bermoral tidak lantas

dikaitkan dengan kesediaan yang bersangkutan untuk selalu memenuhi

prosedur – prosedur tertentu, akan tetapi pribadi – pribadi semacam ini,

paling tidak, mampu bertindak sesuai dengan aturan – aturan atau norma –

norma yang berlaku.

          Di dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat norma - norma

yang mengatur tingkah laku anggotanya. Dalam hubungan ini, F. Von

Magnis membedakan tiga macam norma kelakuan umum, yaitu : (1)

peraturan sopan santun atau kebiasaan, (2) norma – norma hukum, dan
34



norma – norma moral. Muatan pendidikan moral dapat dilihat pada

gambar 1 sebagai berikut:




                                              MORAL FEELING
    MORAL KNOWING                               1. Conscience
      1. Moral awareness                        2. Self – esteem
      2. Knowing moral                          3. Empathy
         values                                 4. Loving the good
      3. Perspective – taking                   5. Self – control
      4. Moral reasioning                       6. Humility
      5. Decision making
      6. Self knowledge




                            MORAL ACTION
                              1. Competence
                              2. Will
                              3. Habit




         Gambar 1. Bagan components of good character
             Sumber: Lickona (Koyan, 2000:86)
35



C. Hubungan Tata Tertib Sekolah dan Pendidikan Moral

             Hubungan antara kenyataan hukum atau tata tertib sekolah dan

   moralitas atau pendidikan moral yang efektif sangat intensif, pada hakikatnya

   karena hukum itu hanya penglogisan dari nilai – nilai moral. Gerakannya

   dikekang oleh generalisasi dan penentuan kebutuhannya, hukum itu berubah –

   ubah secara lebih langsung sebagai suatu fungsi dari perubahan – perubahan

   moralitas (Johnson, 2006:286).

            Moral berkaitan dengan disiplin dan kemajuan kualitas perasaan,

   emosi dan kecenderungan manusia; sedangkan aturan pelaksanaanya

   merupakan aturan praktis tingkah laku yang tunduk pada sejumlah

   pertimbangan dan konversi lainnya (Tim Dosen Jurusan Administrasi

   Pendidikan FIP IKIP Malang, 1989:211).

            Moralitas adalah keseluruhan norma – norma, nilai – nilai dan sikap

   moral seseorang atau sebuah masyarakat. Nilai – nilai moral itu berada dalam

   suatu wadah yang disebut moralitas, karena di dalamnya terdapat unsur –

   unsur keyakinan dan sikap batin dan bukan hanya sekedar penyesuaian diri

   dengan aturan dari luar diri manusia. Moralitas dapat bersifat intrinsik dan

   ekstrinsik. Moralitas yang bersifat intrinsik berasal dari diri manusia itu

   sendiri, sehingga perbuatan manusia itu baik atau buruk terlepas atau tidak

   dipengaruhi oleh peraturan hukum yang ada (Tedjosaputro, 2003:6). Moralitas

   intrinsik ini esensinya terdapat dalam perbuatan diri manusia itu sendiri.

            Moralitas yang bersifat ekstrinsik penilaiannya didasarkan pada

   peraturan hukum yang berlaku, baik yang bersifat perintah maupun larangan.
36



Moralitas yang bersifat ekstrinsik ini merupakan realitas bahwa manusia

terikat pada nilai – nilai atau norma – norma yang diberlakukan dalam

kehidupan bersama (Tedjosaputro, 2003:7).

         Sudarto (Tedjosaputro, 2003:31) mengatakan bahwa ada hubungan

erat antara nilai, norma, sanksi dan peraturan – peraturan. Beliau mengatakan

sebagai berikut:

         Nilai adalah ukuran yang disadari atau tidak disadari oleh suatu
         masyarakat atau golongan untuk menetapkan apa yang benar, yang
         baik dan sebagainya. Norma adalah anggapan bagaimana seseorang
         harus berbuat. Agar normanya dipatuhi, maka masyarakat atau
         golongan itu mengadakan sanksi dan penguat.

         Ilmu hukum (pidana) normatif pada hakikatnya bukan semata –

mata ilmu tentang norma, justru ilmu tentang nilai. Aspek norma merupakan

aspek luar atau aspek lahiriah yang tampak dan terwujud dalam perumusan

perundang – undangan atau tata tertib, sedangkan aspek nilai merupakan

aspek dalam atau aspek batiniah/kejiwaan yang ada di balik atau di belakang

norma.

         Keduanya bersifat saling menunjang secara terpadu. Nilai selalu

menjiwai secara konsisten berbagai norma yang berlaku di dalam masyarakat,

baik norma agama, moral (etika), kesopanan maupun hukum. Hubungan tata

tertib sekolah dan pendidikan moral lebih jelas pada gambar 2 sebagai berikut:
37




                               MORAL



                               ETIKA




                              HUKUM




            Gambar 2. Hubungan Moral, Etika dan Hukum
                    Sumber: Marpaung (1996:3)




         Piaget (Salam, 2000: 67) bahwa pikiran manusia menjadi semakin

hormat pada peraturan. Manusia mempunyai daya tahu (budi) dan daya

memilih karena adanya dua macam daya inilah timbul penilaian etis atau

moral terhadap tingkah laku manusia. Dalam masyarakat yang hendak teratur

dan tertib, diadakanlah aturan – aturan yang semuanya justru untuk
38



melindungi kemanusiaan, aturan untuk ketertiban hidup manusia dalam

masyarakat.

         Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang tersebut bertingkah

laku sesuai dengan norma – norma yang terdapat dalam masyarakat. Dengan

demikian moral atau kesusilaan adalah keseluruhan norma yang mengatur

tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan baik dan

benar. Perlu diingat baik dan benar menurut seseorang, tidak pasti baik dan

benar bagi orang lain. Karena itulah diperlukan adanya prinsip – prinsip

kesusilaan/moral yang dapat berlaku umum, yang telah diakui kebaikan dan

kebenarannya oleh semua orang. Moral dipakai untuk memberikan penilaian

atau predikat terhadap tingkah laku seseorang.

         Dengan sendirinya menurut indentitas, ukuran manusia yang baik

adalah yang mampu memenuhi ketentuan – ketentuan kodrat yang tertanam

dalam dirinya sendiri. Ukuran ini tentunya tidak bertentangan dengan norma

yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan syarat untuk menjadi manusia

yang bermoral, adalah memenuhi salah satu ketentuan kodrat yaitu adanya

kehendak yang baik. Kehendak yang baik ini mensyaratkan adanya bertingkah

laku dan tujuan yang baik pula. Jadi predikat moral mensyaratkan adanya

kebaikan yang berkesinambungan, mulai munculnya kehendak yang baik

sampai dengan tingkah laku dalam mencapai tujuan yang juga baik.

         Meskipun pada dasarnya manusia itu selalu cenderung berbuat baik,

tetapi kesadaran tidak datang dengan sendirinya. Kesusilaan harus diajarkan

dengan contoh yang baik, sehingga dengan demikian dapatlah terbentuk
39



manusia susila lahir dan batin. Pokok pembicaraan tata tertib sekolah dan

pendidikan moral ini adalah perbuatan manusia dengan tujuan yang hampir

sama. Kalau tujuan tata tertib sekolah mengatur adalah mengatur tata – tertib

masyarakat dan tingkah laku warga masyarakat dalam bermasyarakat dan

bernegara sesuai dengan aturan – aturan hukum yang berlaku. Sedangkan

pendidikan moral mempunyai tujuan mengatur tingkah laku manusia sebagai

manusia.

           Lingkungan pendidikan moral lebih luas daripada lingkungan tata

tertib sekolah. Tata tertib sekolah berisikan perintah – perintah dan larangan –

larangan agar tingkah laku manusia tidak melanggar aturan – aturan tertulis

maupun tidak tertulis. Sedangkan pendidikan moral memerintahkan manusia

untuk berbuat apa yang berguna dan melarang segala yang tidak baik. Norma

moral memberikan memberi kewajiban moral pada manusia agar kepentingan

hukum dan kepentingan umum jangan dilanggar.

           Karakter atau watak warga negara yang bermoral salah satunya bisa

dilakukan melalui jalur pendidikan di sekolah. Pendidikan moral bukan

sesuatu entitas abstraksi ide semata namun nyata dalam kehidupan sehari –

hari yang harus diajarkan pada manusia. Pendidikan moral merupakan suatu

wadah bagi sekolah untuk mendidik, mengajar dan melatih siswa agar

mempunyai sikap dan berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan nilai – nilai

moral dan norma – norma yang ada di masyarakat. Tata tertib sekolah

mengatur dan memberi petunjuk pedoman aturan atau hukum tingkah laku

siswa terhadap moral yang baik. Tata tertib sekolah sebagai aturan hukum di
40



   dalamnya terkandung makna implementasi pendidikan moral untuk siswa

   dalam bertingkah laku.



D. Sarana Pendidikan Moral

            Pandangan Daryanto (2001:51) tentang sarana pendidikan moral

   adalah seperti alat langsung untuk mencapai tujuan pendidikan. Sarana

   pendidikan moral dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai alat pendidikan.

   Alat pendidikan adalah hal yang tidak saja memuat kondisi – kondisi yang

   memungkinkan terlaksananya pekerjaan mendidik, tetapi alat pendidikan itu

   telah mewujudkan diri sebagai perbuatan atau situasi mana, dicita – citakan

   dengan tegas, untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat pendidikan ialah suatu

   tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan

   untuk mencapai suatu tujuan pendidikan.

            Suwarno (Daryanto, 2001:141) membedakan alat pendidikan dari

   bermacam – macam segi salah satunya adalah alat pendidikan preventif dan

   korektif. Alat pendidikan preventif diartikan sebagai jika maksudnya

   mencegah anak sebelum ia berbuat sesuatu yang tidak baik, misalnya contoh:

   pembiasaan perintah, pujian, ganjaran. Kedua adalah alat pendidikan korektif,

   jika maksudnya memperbaiki karena anak telah melanggar ketertiban atau

   berbuat sesuatu yang buruk, misalnya: celaan, ancaman, hukuman.

            Alat pendidikan yang preventif ialah alat – alat pendidikan yang

   bersifat pencegahan yaitu untuk mencegah masuknya pengaruh – pengaruh

   buruk dari luar ke dalam diri siswa. Kewajiban pendidik adalah mendidik
41



   siswa menjadi anak yang baik dan mencegah/membentengi siswa dari

   masuknya pengaruh – pengaruh yang buruk ke dalam dirinya. Jenis alat – alat

   pendidikan preventif yang abstrak seperti tata tertib, anjuran, larangan,

   perintah, disiplin dan semisalnya.

             Hal – hal yang diperbaiki (korektif) adalah perbuatan – perbuatan

   jelek yang sudah menjadi kebiasaan diperbuat siswa, seperti suka berkelahi,

   suka bertengkar, suka mengambil barang milik orang lain, suka menghina,

   suka mengejek, suka mengganggu dan sebagainya.



E. Kerangka Berpikir

             Perkembangan dan perubahan masyarakat yang berlangsung cepat

   dan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi; khususnya kemajuan

   di bidang teknologi komunikasi dan informasi, di satu sisi dapat berdampak

   positif namun di sisi lain menimbulkan pengaruh yang berdampak negatif,

   terutama nilai – nilai budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai – nilai luhur

   budaya bangsa.

             Gejala – gejala pengaruh negatif itu, kini telah tampak di kalangan

   generasi muda, terutama di kota – kota besar di Indonesia. Gejala – gejala

   negatif tersebut merupakan tantangan bagi sekolah untuk lebih memperhatikan

   siswanya dan lebih menggiatkan pelaksanaan pendidikan moral di lingkungan

   sekolah secara khusus.

             Selain melalui komponen kurikulum komponen formal seperti

   Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Agama juga lewat jalur
42



hidden curriculum. Namun harus dipahami salah satu usaha untuk

melaksanakan pendidikan moral secara intensif dan komprehensif di sekolah

adalah melalui hidden curriculum antara lain seperti penegakkan aturan moral

melalui tata tertib sekolah. Menurut konsep pendidikan dewasa ini, bahwa

pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan pendidikan untuk semua

(education for all).

          Pelaksanaan pendidikan moral harus dimulai dari dalam lingkungan

keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan

utama di dalam kehidupan manusia. Sekolah memiliki peranan penting dalam

pembentukan kepribadian, mentransmisi dan mentransformasi nilai – nilai

moral; serta seleksi dan pra aloksi tenaga kerja. Baik dan buruknya moral

siswa tergantung pada berhasil atau tidaknya pendidikan moral di sekolah dan

penegakan tata tertib sekolah. Tata tertib sekolah memberikan bentuk nyata

dari pendidikan moral yang harus diberikan pada siswa yang berisikan nilai –

nilai moral. Moral siswa yang baik dapat diketahui dari indikator berupa taat

dan patuh pada tata tertib sekolah yang dapat dilihat melalui pengamatan

berupa aturan moral, sikap dan tingkah laku atau tingkah laku yang

mencerminkan nilai – nilai moral yang sesuai dengan kehidupan masyarakat.

          Pelaksanaan tata tertib sekolah tersebut tentunya bergantung pada

kemampuan sekolah dalam implementasi pendidikan moral yang banyak

ditemui kendala – kendala sehingga dirasa belum optimal guna menekan

tingkat pelanggaran tata tertib sekolah. Belum optimalnya pelaksanaan tata

tertib sekolah tersebut dapat dilihat melalui profil pribadi siswa sehari – hari
43



baik di sekolah, keluarga maupun masyarakat sudah menunjukan tingkah laku

yang mencerminkan pribadi – pribadi yang bermoral atau sebaliknya.

         Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mendidik siswa agar memiliki

keterampilan atau keahlian (skill) tertentu. Pemberian muatan moral terhadap

tingkah laku siswa kadang hanya sebatas bersifat temporal tidak bersifat

kontiunitas. Kontrol dari pihak sekolah yang lemah mengakibatkan siswa

cenderung mengabaikan aturan moral atau tata tertib sekolah. Siswa Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) mempunyai kecenderungan yang besar untuk

berbuat penyimpangan. Indikasi ini diakibatkan oleh karakteristik siswa yang

berbeda dan stimuli siswa untuk langsung mendapatkan pekerjaan (ready

work) sehingga menimbulkan dampak tidak terlalu memedulikan aspek

moralitas diri sendiri. Interaksi antar siswa dengan Guru dan lingkungan ikut

mempengaruhi dan membentuk tingkah laku siswa.

         Apabila tingkah laku siswa tanpa kontrol dan penanganan secara

tidak serius maka akan dapat menimbulkan tingkah laku yang menyimpang

bahkan cenderung menuju tindakan kriminalitas. Tentu saja sebagai lanjutan

tingkah laku siswa yang menyimpang akan dapat merugikan tidak hanya baik

diri sendiri akan tetapi keluarga serta lingkungan masyarakat. Mengingat

kompleksnya kehidupan manusia, maka dalam pelaksanaan pendidikan moral,

perlu diciptakan dan ditemukan metode yang tepat sehingga bisa menjangkau

seluruh aspek kehidupan manusia. Untuk mempermudah dalam memahami

penelitian ini maka disajikan gambar 3 sebagai berikut:
44




                             Sistem Pendidikan Nasional



                             Tujuan Pendidikan Nasional



                                         Moral Siswa



                            SMK NEGERI 5 SEMARANG



            Kurikulum           Guru                   Siswa    Fasilitas



            Pendidikan                            Tata Tertib
              Moral                                Sekolah



Aturan         Sikap            Tingkah Laku



                         Baik                     Buruk




     Keterangan:
                   : Proses distribusi
                   : Proses kontrol




                         Gambar 3 Bagan Kerangka Berpikir
45



Keterangan:

              Pendidikan diartikan tidak hanya sebagai formal transfer of

   knowledge namun bagaimana membentuk pribadi – pribadi manusia yang

   memiliki nilai moralitas yang tinggi. Oleh karena itu Sistem Pendidikan

   Nasional yang tercantum pada tujuan pendidikan nasional menghendaki agar

   siswa tumbuh dan berkembang dari sisi akhlak, moralitas yang baik. Moral

   siswa yang baik atau buruk tercermin dari tingkah laku siswa baik di rumah,

   sekolah dan masyarakat. Tentunya sekolah terutama Sekolah Menengah

   Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang mempunyai tanggung jawab terhadap

   pembentukan moral siswa tersebut.

              Pada komponen sekolah yang berperan dalam mewujudkan cita –

   cita tersebut salah satunya melalui komponen pendidikan moral dan tata tertib

   sekolah. Guru mengontrol tingkah laku siswa melalui tata tertib sekolah.

   Tingkah laku siswa yang baik atau buruk akan mencerminkan dan

   menentukan pandangan masyarakat terhadap kadar moralitas siswa Sekolah

   Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
BAB III

                             METODE PENELITIAN



A. Dasar Penelitian

               Suatu penelitian untuk mendapatkan hasil yang optimal harus

   menggunakan metode penelitian yang tepat. Ditinjau dari permasalahan

   penelitian ini yaitu tentang pelaksanaan dan kendala – kendala tata tertib

   sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan

   (SMK) Negeri 5 Semarang maka penelitian ini bersifat non eksperimen yaitu

   penelitian kualitatif deskriptif.

               Karl dan Milles (Moleong, 2002:3), penelitian kualitatif adalah

   tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental

   bergantung pada pengamatan kepada manusia dalam kawasannya sendiri dan

   berhubungan dengan orang tersebut. Di samping itu penelitian deskriptif yaitu

   merupakan      metode     penelitian   yang   berusaha    menggambarkan   dan

   menginterprestasikan objek sesuai dengan apa adanya. Dengan metode

   deskriptif, peneliti memungkinkan untuk melakukan hubungan antara variabel,

   menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori

   yang memiliki validitas universal. Penelitian deskriptif pada umumnya

   dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta

   dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.

               Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan

   kualitatif deskriptif yaitu mengamati, mencatat, dan mendokumentasi



                                          46
47



   pelaksanaan dan kendala – kendala tata tertib sekolah sebagai sarana

   pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.

   Peneliti berinteraksi dengan lingkungan sekolah dan berusaha memahaminya.

   Dimana dalam penelitian tersebut memiliki ciri – ciri sebagai berikut:

        1. Sumber data langsung berupa tata situasi alami dan peneliti adalah
           instrumen kunci.
        2. Bersifat deskriptif dimana data yang dikumpulkan umumnya
           berbentuk kata – kata, gambar – gambar dan bukan angka – angka,
           kalaupun ada angka – angka sifatnya hanya sebagai penunjang.
        3. Lebih menekankan pada makna proses ketimbang hasil.
        4. Analisis data bersifat induktif.
        5. Makna merupakan perhatian utama dalam pendekatan penelitian
           (Sudarwan, 2002:6).


B. Fokus Penelitian

             Di dalam penelitian kualitatif deskriptif menghendaki ditetapkannya

   batas atas dasar fokus penelitian. Dalam pemikiran fokus terliput di dalamnya

   perumusan latar belakang, studi permasalahan, fokus juga berarti penentuan

   keluasan (scope) permasalahan dan batas penelitian. Penentuan fokus

   memiliki tujuan sebagai berikut:

        1. Menentukan keterikatan studi, ketentuan lokasi studi.

        2. Menentukan kriteria inklusi dan eksklusi bagi informasi baru. Fokus

           membantu bagi penelitian kualitatif deskriptif membuat keputusan

           untuk membuang atau menyimpan informasi yang diperolehnya

           (Rachman, 1999:121).

             Fokus penelitian merupakan pokok persoalan apa yang menjadi

   pusat perhatian dalam penelitian. Fokus dalam penelitian ini adalah tata tertib

   sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan
48



   (SMK) Negeri 5 Semarang. Sebagai indikator dari fokus tersebut di atas

   adalah:

       1. Tingkah laku siswa dalam implementasi tata tertib sekolah sebagai

             sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

             Negeri 5 Semarang.

       2. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di

             Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.

       3. Kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata tertib

             sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah

             Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.



C. Sumber Data Penelitian

              Data adalah bentuk jamak dari datum. Data merupakan keterangan –

   keterangan tentang suatu hal, dapat berupa sesuatu yang diketahui atau yang

   dianggap. Atau suatu fakta yang digambarkan lewat angka, simbol, kode dan

   lain – lain. Data perlu dikelompok – kelompokkan terlebih dahulu sebelum

   dipakai dalam proses analisis. Pengelompokkan data disesuaikan dengan

   karakteristik yang menyertainya (Hasan, 2002:82).

              Sumber data penelitian adalah subjek di mana data dapat diperoleh

   (Arikunto, 2002:107). Berdasarkan sumber pengambilannya, data dibedakan

   menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

      1. Data Primer
49



            Data primer adalah data yang dikumpulkan atau diperoleh

   langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang

   bersangkutan. Sumber data primer yaitu kata – kata atau tindakan

   orang yang diamati atau diwawancarai (Arikunto, 2002:122). Data

   primer ini disebut juga data asli atau data baru. Sumber data primer

   diperoleh peneliti melalui wawancara dengan responden. Responden

   orang yang diminta keterangan tentang suatu fakta atau pendapat,

   keterangan dapat disampaikan dalam bentuk tulisan, yaitu ketika

   mengisi angket, atau lisan ketika menjawab wawancara (Arikunto,

   2002:122).

            Responden dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah,

   Wakil    Kepala   Sekolah   Bidang   Kesiswaan,   Guru   Pendidikan

   Kewarganegaraan (PKn), Guru bidang Bimbingan Konseling (BK) dan

   siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang atau

   yang terkait dengan pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana

   pendidikan moral. Data yang diperoleh peneliti melalui responden,

   termasuk dalam kategori data sekunder. Sebagaimana data yang

   diperoleh melalui informan di atas sehingga data sifatnya juga masih

   asli dan baru.

2. Data sekunder

            Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan

   oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber – sumber yang

   telah ada. Data ini biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari
50



         laporan – laporan penelitian terdahulu. Data sekunder disebut juga data

         tersedia (Hasan, 2002:82). Dokumen adalah setiap bahan yang tertulis

         maupun film (Moleong, 2002:113). Dokumen dalam penelitian ini

         berupa tata tertib siswa, buku – buku, dan literatur lain yang ada

         hubungan dengan masalah yang akan diteliti. Tujuannya adalah data

         didapatkan berupa data tambahan yang merupakan data sekunder.



D. Alat dan Teknik Pengumpulan Data

   1. Alat Pegumpulan Data

              Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

      adalah observasi, wawancara (interviu) dan dokumentasi.

         a. Observasi

                        Dalam penelitian ini, observasi diartikan sebagai

             pengamatan dan pencatatan secara sistemik terhadap gejala yang

             tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan yang

             dilakukan terhadap objek ditempat terjadi atau berlangsungnya

             peristiwa, sehingga peneliti berada bersama objek yang diselidiki,

             disebut observasi langsung. Sedangkan observasi tidak langsung

             adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya

             peristiwa tersebut diamati melalui film, rangkaian slide atau

             rangkaian foto (Rachman, 1999:77).

                        Berkaitan dengan jenis observasi yang digunakan

             peneliti dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
51



   observasi secara langsung dan tidak langsung yaitu di Sekolah

   Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.

b. Wawancara (Interviu)

              Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu,

   percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu wawancara yang

   mengajak pertanyaan – pertanyaan dan yang diwawancarai

   memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2002:135).

   Wawancara merupakan data informasi dengan cara mengajukan

   sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula

   (Rachman, 1999, 83).

              Penelitian ini menggunakan alat pengumpul data berupa

   pedoman atau instrumen wawancara yaitu berbentuk pertanyaan

   yang diajukan kepada subjek penelitian. Sedangkan wawancara

   yang diterapkan adalah wawancara berstruktur. Wawancara

   berstruktur, yaitu pedoman wawancara yang disusun secara

   terperinci sehingga menyerupai check – list (Arikunto, 2002:20).

              Selain itu wawancara dilakukan melalui wawancara tak

   berstruktur yaitu wawancara dilakukan secara informal, dimana

   pertanyaan tentang pandangan sikap, keyakinan subjek atau

   tentang keterangan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tata

   tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah

   Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang yang diajukan

   secara bebas kepada subjek penelitian.
52



                    Di samping itu wawancara ini dapat dikembangkan

         apabila diperlukan untuk melengkapi data – data yang masih

         kurang. Kelebihan tersebut wawancara tak berstruktur antara lain:

            1). Memungkinkan peneliti untuk mendapatkan keterangan
                dengan lebih cepat.
            2). Ada keyakinan bahwa penafsiran responden terhadap
                pertanyaan yang diajukan adalah tepat.
            3). Sifatnya lebih luas.
            4). Pembatasan – pembatasan dapat dilakukan secara langsung,
                apabila jawaban yang diberikan melewati batas ruang
                lingkup masalah yang diteliti.
            5). Kebenaran jawaban dapat diperiksa secara langsung.
                (Soekanto, 1984:25)

                Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa wawancara

       adalah untuk mendapatkan gambaran yang sejelas – jelasnya dan

       informasi yang selengkap – lengkapnya. Melalui wawancara ini

       diharapkan peneliti mendapatkan gambaran mengenai pelaksanaan

       tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah

       Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.

     c. Dokumentasi

                Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari

       data mengenai hal – hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip,

       buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, surat, lengger, agenda

       dan sebagainya (Arikunto, 2002:206).



2. Teknik Pengumpulan Data

           Guna mendapatkan informasi yang diharapkan penelitian ini

  teknik pengumpulan data dilakukan melalui:
53



a. Teknik Observasi

          Berkaitan dengan teknik observasi (Kartono, 1996:57)

  mengemukakan, observasi adalah studi yang disengaja dan

  sistematis tentang fenomena sosial dan gejala – gejala alam dengan

  jalan pengamatan dan pencatatan. Ditambahkan bahwa observasi

  ialah pengujian secara internasional atau bertujuan suatu hal,

  khususnya untuk maksud mengumpulkan data. Teknik observasi

  yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi yang

  menerapkan observasi sistematis, yang dilakukan oleh pengamat

  dengan menggunakan pedoman sebagai intrumen pengamatan.

b. Teknik Komunikasi

          Teknik komunikasi adalah cara mengumpulkan data

  melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data

  dengan sumber data (Rachman, 1999:82). Dalam pelaksanaannya

  peneliti menggunakan teknik komunikasi langsung yaitu teknik

  pengumpulan data dengan mempergunakan wawancara atau interviu

  sebagai alatnya.

c. Teknik Dokumentasi

          Berkaitan     teknik   dokumentasi    (Hasan,       2002:88)

  mengemukakan        bahwa   teknik   dokumentasi   adalah     teknik

  pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada subjek

  penelitian, namun melalui dokumen, dimana dokumen yang
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT
TATA TERT

Más contenido relacionado

Similar a TATA TERT

Penanaman kedisiplinan melalui program kegiatan hansek (ketahanan sekolah
Penanaman kedisiplinan melalui program kegiatan hansek (ketahanan sekolahPenanaman kedisiplinan melalui program kegiatan hansek (ketahanan sekolah
Penanaman kedisiplinan melalui program kegiatan hansek (ketahanan sekolahdamarpstika
 
50091904 s kripsi-kimia
50091904 s kripsi-kimia50091904 s kripsi-kimia
50091904 s kripsi-kimiagusty_21
 
Pengembangan multimedia pembelajaran
Pengembangan multimedia pembelajaranPengembangan multimedia pembelajaran
Pengembangan multimedia pembelajaranrsd kol abundjani
 
Hambatan belajar bio
Hambatan belajar bioHambatan belajar bio
Hambatan belajar bioHeppiNiwer
 
sekripsi
sekripsisekripsi
sekripsiboiys
 
SKRIPSI EKA NUR JANNAH_NIM 07108248007.pdf
SKRIPSI EKA NUR JANNAH_NIM 07108248007.pdfSKRIPSI EKA NUR JANNAH_NIM 07108248007.pdf
SKRIPSI EKA NUR JANNAH_NIM 07108248007.pdfEvyFitriaCahyaN
 
UPAYA GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KESADA...
UPAYA GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KESADA...UPAYA GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KESADA...
UPAYA GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KESADA...Muhamad Yogi
 
Skripsi pendidikan penggunaan metode pembelajaran berdasarkan masalah
Skripsi pendidikan penggunaan metode pembelajaran berdasarkan masalahSkripsi pendidikan penggunaan metode pembelajaran berdasarkan masalah
Skripsi pendidikan penggunaan metode pembelajaran berdasarkan masalahPoetra Chebhungsu
 
26707467 pengaruh-motivasi-belajar-dan-metode-pembelajaran-terhadap-prestasi
26707467 pengaruh-motivasi-belajar-dan-metode-pembelajaran-terhadap-prestasi26707467 pengaruh-motivasi-belajar-dan-metode-pembelajaran-terhadap-prestasi
26707467 pengaruh-motivasi-belajar-dan-metode-pembelajaran-terhadap-prestasiFitriani Susiloningrum
 
Kooperatif tipe inside outside circle dan kemampuan komunikasi
Kooperatif tipe inside outside circle dan kemampuan komunikasiKooperatif tipe inside outside circle dan kemampuan komunikasi
Kooperatif tipe inside outside circle dan kemampuan komunikasiUlfah Faoziyah
 
Jiptummpp gdl-s1-2009-fikapurwid-16716-pendahul-n(1)
Jiptummpp gdl-s1-2009-fikapurwid-16716-pendahul-n(1)Jiptummpp gdl-s1-2009-fikapurwid-16716-pendahul-n(1)
Jiptummpp gdl-s1-2009-fikapurwid-16716-pendahul-n(1)hasansanung
 

Similar a TATA TERT (20)

6469
64696469
6469
 
doc
docdoc
doc
 
Penanaman kedisiplinan melalui program kegiatan hansek (ketahanan sekolah
Penanaman kedisiplinan melalui program kegiatan hansek (ketahanan sekolahPenanaman kedisiplinan melalui program kegiatan hansek (ketahanan sekolah
Penanaman kedisiplinan melalui program kegiatan hansek (ketahanan sekolah
 
50091904 s kripsi-kimia
50091904 s kripsi-kimia50091904 s kripsi-kimia
50091904 s kripsi-kimia
 
Pengembangan multimedia pembelajaran
Pengembangan multimedia pembelajaranPengembangan multimedia pembelajaran
Pengembangan multimedia pembelajaran
 
Ghghghgh
GhghghghGhghghgh
Ghghghgh
 
Hambatan belajar bio
Hambatan belajar bioHambatan belajar bio
Hambatan belajar bio
 
sekripsi
sekripsisekripsi
sekripsi
 
Alat peraga
Alat peragaAlat peraga
Alat peraga
 
SKRIPSI EKA NUR JANNAH_NIM 07108248007.pdf
SKRIPSI EKA NUR JANNAH_NIM 07108248007.pdfSKRIPSI EKA NUR JANNAH_NIM 07108248007.pdf
SKRIPSI EKA NUR JANNAH_NIM 07108248007.pdf
 
UPAYA GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KESADA...
UPAYA GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KESADA...UPAYA GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KESADA...
UPAYA GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KESADA...
 
Skripsi pendidikan penggunaan metode pembelajaran berdasarkan masalah
Skripsi pendidikan penggunaan metode pembelajaran berdasarkan masalahSkripsi pendidikan penggunaan metode pembelajaran berdasarkan masalah
Skripsi pendidikan penggunaan metode pembelajaran berdasarkan masalah
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
 
26707467 pengaruh-motivasi-belajar-dan-metode-pembelajaran-terhadap-prestasi
26707467 pengaruh-motivasi-belajar-dan-metode-pembelajaran-terhadap-prestasi26707467 pengaruh-motivasi-belajar-dan-metode-pembelajaran-terhadap-prestasi
26707467 pengaruh-motivasi-belajar-dan-metode-pembelajaran-terhadap-prestasi
 
Skripsi
SkripsiSkripsi
Skripsi
 
Kooperatif tipe inside outside circle dan kemampuan komunikasi
Kooperatif tipe inside outside circle dan kemampuan komunikasiKooperatif tipe inside outside circle dan kemampuan komunikasi
Kooperatif tipe inside outside circle dan kemampuan komunikasi
 
Jiptummpp gdl-s1-2009-fikapurwid-16716-pendahul-n(1)
Jiptummpp gdl-s1-2009-fikapurwid-16716-pendahul-n(1)Jiptummpp gdl-s1-2009-fikapurwid-16716-pendahul-n(1)
Jiptummpp gdl-s1-2009-fikapurwid-16716-pendahul-n(1)
 

Más de Ahmad Wahyudin Rock'n Roll

Más de Ahmad Wahyudin Rock'n Roll (20)

Uugd
UugdUugd
Uugd
 
Sejarah pendidika indonesia
Sejarah pendidika indonesiaSejarah pendidika indonesia
Sejarah pendidika indonesia
 
Pennas
PennasPennas
Pennas
 
Karakteristik sekolah efektif
Karakteristik sekolah efektifKarakteristik sekolah efektif
Karakteristik sekolah efektif
 
Pakemfinal
PakemfinalPakemfinal
Pakemfinal
 
Utama 1
Utama 1Utama 1
Utama 1
 
Umm student research_abstract_7033
Umm student research_abstract_7033Umm student research_abstract_7033
Umm student research_abstract_7033
 
Panduan evaluasi pembelajaran
Panduan evaluasi pembelajaranPanduan evaluasi pembelajaran
Panduan evaluasi pembelajaran
 
Pakem
PakemPakem
Pakem
 
Model model pembelajaran
Model model pembelajaranModel model pembelajaran
Model model pembelajaran
 
Media pembelajaran
Media pembelajaranMedia pembelajaran
Media pembelajaran
 
Katalog
KatalogKatalog
Katalog
 
Jiptummpp gdl-s1-2005-nurpatarsi-2712-pendahul-n
Jiptummpp gdl-s1-2005-nurpatarsi-2712-pendahul-nJiptummpp gdl-s1-2005-nurpatarsi-2712-pendahul-n
Jiptummpp gdl-s1-2005-nurpatarsi-2712-pendahul-n
 
Gapura basa smp ix
Gapura basa smp ixGapura basa smp ix
Gapura basa smp ix
 
Dkv02040102
Dkv02040102Dkv02040102
Dkv02040102
 
Dgggfg
DgggfgDgggfg
Dgggfg
 
Desain dan pengembangan mmi offline teknologi dasar serta aplikasinya pada pe...
Desain dan pengembangan mmi offline teknologi dasar serta aplikasinya pada pe...Desain dan pengembangan mmi offline teknologi dasar serta aplikasinya pada pe...
Desain dan pengembangan mmi offline teknologi dasar serta aplikasinya pada pe...
 
Artikel
ArtikelArtikel
Artikel
 
11 pembelajaran-matematika-kontekstual-sd-ktsp-supinah
11 pembelajaran-matematika-kontekstual-sd-ktsp-supinah11 pembelajaran-matematika-kontekstual-sd-ktsp-supinah
11 pembelajaran-matematika-kontekstual-sd-ktsp-supinah
 
4 perencanaan kegiatan_belajar_mengajarsdasd
4 perencanaan kegiatan_belajar_mengajarsdasd4 perencanaan kegiatan_belajar_mengajarsdasd
4 perencanaan kegiatan_belajar_mengajarsdasd
 

TATA TERT

  • 1. TATA TERTIB SEKOLAH SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 5 SEMARANG SKRIPSI Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan pada Universitas Negeri Semarang Oleh Giri Harto Wiratomo NIM 3401403057 FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN 2007
  • 2. PERSETUJUAN PEMBIMBING Skripsi ini telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi pada: Hari : Kamis Tanggal : 19 Juli 2007 Pembimbing I Pembimbing II Drs. Makmuri Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si NIP. 130675638 NIP. 131813668 Mengetahui, Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Drs. Slamet Sumarto, M.Pd NIP. 131570070 iii
  • 3. PENGESAHAN KELULUSAN Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang pada: Hari : Sabtu Tanggal : 4 Agustus 2007 Penguji Skripsi Drs. Suprayogi, M.Pd NIP. 131474095 Anggota I Anggota II Drs. Makmuri Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si NIP. 130675638 NIP. 131813668 Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Drs. Sunardi, M.M NIP. 130367998 iv
  • 4. PERNYATAAN Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar – benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Semarang, 19 Juli 2007 Peneliti Giri Harto Wiratomo NIM. 3401403057 v
  • 5. MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu” (Al Baqarah:45) Hidup hanya sekali jadikanlah lebih berarti bagi diri dengan hiasan prestasi (Peneliti) PERSEMBAHAN Ayah dan Ibu, Kakakku Lilian Maharani, S.Pd dan Anton Sundargo, S.Pd Adikku Kopral Taruna Pramudyo Wardani di Akademi Militer Magelang vi
  • 6. PRAKATA Segala rasa syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT Raab semesta alam atas limpahan rahmat, hidayah serta karunia sehingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan lancar dan tepat pada waktunya dengan judul ”Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang”. Penyusunan skripsi ini dilakukan adalah sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi Strata Satu (S1) pada Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. Peneliti menyadari bahwa dengan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak penulisan skripsi ini tidak dapat terwujud. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Prof. DR. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si, Rektor Universitas Negeri Semarang. 2. Drs. Sunardi, M.M, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. 3. Drs. Slamet Sumarto, M.Pd, Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan peneliti untuk berkarya dan menyelesaikan studi di Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. vii
  • 7. 4. Drs. Makmuri, Pembimbing Skripsi I yang dengan keikhlasan dan ketelitian memberikan bimbingan baik berupa motivasi dan masukan bagi penyusunan skripsi ini. 5. Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si, Pembimbing Skripsi II yang dengan kesabaran membimbing dan mengarahkan peneliti baik saran dan petunjuk dari awal hingga akhir guna penyusunan skripsi ini. 6. Drs. H. M. Saidi, Kepala Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang yang telah bersedia memberikan kemudahan dan perizinan dalam penyusunan skripsi ini. 7. Ayah dan Ibu yang selalu memelukku dalam ruang sandaran hati dan kasih sayang yang tiada hentinya dengan segala dorongan motivasinya. 8. Teman – teman seperjuangan ”Almamater Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Angkatan 2003”. 9. Semua pihak – pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu atas bantuan yang diberikan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk penyelesaian skripsi ini. ”Tak ada gading yang tak retak” serta sebagai insan biasa, peneliti menyadari atas kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Kritik dan saran yang sifatnya membangun selalu peneliti harapkan demi perbaikan di masa depan. Semoga peyusunan skripsi dapat memberikan manfaat khususnya bagi diri peneliti dan pembaca pada umumnya. Amin Semarang, 19 Juli 2007 Peneliti viii
  • 8. SARI Giri Harto Wiratomo. 2007. Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang. Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. 125h. Kata Kunci: Tata Tertib, Sarana, Pendidikan Moral Kondisi akhir – akhir ini menunjukkan telah terjadi degradasi moral pada kualitas personal bangsa Indonesia terutama generasi muda. Banyak faktor yang mempengaruhi gejala – gejala degradasi moral tersebut. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah benar tertib sekolah berisi muatan sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?, (2) Bagaimana pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?, (3) Bagaimana kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?. Dasar penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif. Ada 2 (dua) variabel yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu: (1) Tingkah laku siswa dalam implementasi tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang, (2) Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang, dan (3) Kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang tergolong tinggi. Pelanggaran tata tertib sekolah tersebut meliputi tidak masuk tanpa keterangan (alpa), meninggalkan pelajaran tanpa izin, baju tidak dimasukkan, mencorat – coret seragam sekolah, berkelahi, tidak segera menempuh atau menyelesaikan remidi. Bentuk – bentuk pelanggaran tata tertib sekolah bersifat ringan, sedang, dan berat. Faktor – faktor penyebab siswa melanggar tata tertib sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang adalah faktor internal dan eksternal. Berdasarkan penelitian pendidikan moral selain diajarkan melalui bentuk formal dalam mata pelajaran juga dapat diberikan dalam bentuk informal melalui bentuk – bentuk lain seperti adanya tata tertib sekolah. Pendidikan moral pada intinya adalah mengajarkan dan melatih siswa terhadap kesadaran moral. Implementasi tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral adalah pada isi tata tertib sekolah (content), berperan sebagai alat pencegah (preventif) dan sanksi yang mendidik. Perbedaannya hanya terletak pada bentuk dan cara menggunakannya. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang menggunakan sistem credit poin. Kendala – kendala utama yang dihadapi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang adalah kurangnya konsistensi Guru dalam penegakan tata tertib sekolah. Upaya – upaya ix
  • 9. sekolah dalam penegakan tata tertib sekolah adalah secara preventif, kuratif atau rehabilitatif dan represif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi sekolah, orang tua dan masyarakat. Kepala Sekolah hendaknya terus berkomitmen dan lebih intensif mengadakan penegakan kedisiplinan siswa serta fasilitas pendukung dalam upaya menekan tingkat pelanggaran siswa terhadap tata tertib sekolah. Guru hendaknya terus melakukan kontrol terhadap pelanggaran tata tertib sekolah terutama membina kedisiplinan siswa. Siswa hendaknya dengan penuh kesadaran diri untuk mematuhi tata tertib sekolah. Orang tua hendaknya ikut serta melakukan pembinaan moral anaknya agar patuh dan taat terhadap tata tertib sekolah. x
  • 10. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. ii PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................... iii PERNYATAAN ............................................................................................. iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. v PRAKATA ..................................................................................................... vi SARI ............................................................................................................... viii DAFTAR ISI .................................................................................................. x DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ...................................... 7 C. Perumusan Masalah ................................................................. 8 D. Tujuan Penelitian ..................................................................... 9 E. Kegunaan Penelitian ................................................................ 10 F. Sistematika Penulisan Skripsi .................................................. 11 BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................... 13 A. Tata Tertib Sekolah .................................................................. 13 B. Pendidikan Moral ..................................................................... 18 xi
  • 11. C. Hubungan Tata Tertib Sekolah dan Pendidikan Moral ............ 35 D. Sarana Pendidikan Moral ......................................................... 40 E. Kerangka Berpikir.................................................................... 44 BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 46 A. Dasar Penelitian ....................................................................... 46 B. Fokus Penelitian ....................................................................... 47 C. Sumber Data Penelitian ........................................................... 48 D. Alat dan Teknik Pengumpulan Data ........................................ 50 E. Objektivitas dan Keabsahan Data ............................................ 54 F. Metode Analisis Data .............................................................. 57 G. Prosedur Penelitian .................................................................. 60 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 61 A. Hasil Penelitian ........................................................................ 61 1. Gambaran Umum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang ............................................................. 61 2. Keadaan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang ............................................................. 64 3. Keadaan Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang ............................................................. 65 4. Tingkat Kedisiplinan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang ................................................ 67 xii
  • 12. 5. Isi Tata Tertib Sekolah Kaitannya Dengan Pelaksanaan Pendidikan Moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang ............................................................. 70 B. Pembahasan .............................................................................. 73 1. Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang ............................................................. 73 2. Kendala – Kendala Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.................................. 98 BAB V PENUTUP ...................................................................................... 105 A. Simpulan .................................................................................. 105 B. Saran ......................................................................................... 106 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... LAMPIRAN ................................................................................................... xiii
  • 13. DAFTAR TABEL 1. Tabel 1 Jumlah Siswa SMK Negeri 5 Semarang ..................................... 65 2. Tabel 2 Data Guru Normatif/Adaptif SMK Negeri 5 Semarang ............ 66 3. Tabel 3 Data Guru Produktif SMK Negeri 5 Semarang .......................... 67 4. Tabel 4 Jenis Pelanggaran Tata Tertib Sekolah SMK Negeri 5 Semarang .................................................................................................. 69 5. Tabel 5 Perbandingan Penerapan Sistem Credit Poin ............................. 86 xiv
  • 14. DAFTAR GAMBAR 1. Gambar 1 Bagan components of good character .................................... 34 2. Gambar 2 Hubungan Moral, Etika dan Hukum ....................................... 37 3. Gambar 3 Bagan Kerangka Berpikir ........................................................ 44 4. Gambar 4 Bagan Metode Analisis Data ................................................... 59 5. Gambar 5 Pola Pembinaan Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah ................. 81 6. Gambar 6 Faktor – Faktor Mempengaruhi Moral Siswa ......................... 93 xv
  • 15. DAFTAR LAMPIRAN 1. Instrumen Wawancara 2. Hasil Wawancara 3. Daftar Nama Responden 4. Foto – Foto Wawancara 5. Surat Penelitian 6. Tata Tertib Siswa 7. Jadwal Piket Pembinaan Ketertiban Guru dan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang 8. Analisis Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Komponen Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang 9. Struktur Organisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang 10. Pola Umum Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang 11. Daftar Nama Guru dan Karyawan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang xvi
  • 16. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Merebaknya isu – isu moral di kalangan remaja seperti penggunaan obat – obat terlarang (narkoba), tawuran pelajar, pornografi dan lain – lain, sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana, karena tindakan – tindakan tersebut sudah menjurus kepada tindakan – tindakan yang bersifat kriminal. Remaja merupakan usia atau tahap seorang siswa mencari jati diri yang dilakukan melalui peniruan diri atau imitasi. Pergaulan remaja yang tanpa arah dan pengawasan terhadap tingkah laku mereka akan mempunyai kecenderungan mengarah pada pergaulan remaja yang negatif. Banyak anggapan dari siswa selama ini bahwa tata tertib sekolah hanya membatasi kebebasan mereka sehingga berakibat pelanggaran terhadap peraturan itu sendiri. Tanpa disadari bahwa kebebasan yang kurang bertanggung jawab akan merugikan diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Pendidikan moral kepada anak diawali saat mereka berada pada lingkungan keluarga terutama orang tua melalui proses sosialisasi norma dan aturan moral dalam keluarga sendiri serta lingkungan dekat pergaulan sosial anak. Kemudian saat anak masuk ke sekolah mulai diperkenalkan dan diajarkan sesuatu yang baru yang tidak diajarkan dalam keluarga. Sekolah, 1
  • 17. 2 sebagai tempat sosialisasi kedua setelah keluarga serta tempat anak ditatapkan kepada kebiasaan dan cara hidup bersama yang lebih luas lingkupnya serta ada kemungkinan berbeda dengan kebiasaan dan cara hidup dalam keluarganya, sehingga berperan besar dalam menumbuhkan kesadaran moral diri anak. Penanaman kebiasaan bersikap dan berbuat baik atau sebaliknya bersikap dan berbuat buruk, pada tahap awal pertumbuhannya, anak dapat sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekolah tempat ia belajar. Subjek didik tidak begitu saja lahir sebagai pribadi bermoral atau berakhlak mulia. Lingkungan sekolah merupakan lembaga pendidikan yang dapat menunjang terjadinya rekonstruksi sosial ke arah masyarakat yang lebih baik, dan mengemban misi membentuk watak yang baik dari anak bangsa. Pembukaan UUD 1945 alinea keempat tentang tujuan negara Indonesia menyatakan dengan jelas “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ”. Pada aspek tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam pasal 3 Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab. Mencerdaskan kehidupan bangsa
  • 18. 3 merupakan lingkup filosofis serta yuridis arti pendidikan yang melandasi pendidikan di Indonesia. Pandangan Ki Hajar Dewantara (Munib, 2004:32) menyatakan bahwa: ”pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak”. Berkaitan dengan Pendidikan, Tilaar dalam Mulyasa (2002) mengemukakan bahwa Pendidikan Nasional dewasa ini sedikitnya ada tujuh masalah pokok Sistem Pendidikan Nasional: 1. Menurunnya akhlak peserta didik; 2. Pemerataan kesempatan belajar; 3. Masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan; 4. Terjadinya degradasi moral peserta didik; 5. Status kelembagaan; 6. Manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional; 7. Sumber daya yang belum profesional. Pendidikan harus dipahami sebagai bagian dari proses pembudayaan subjek didik sehingga bukan hanya pengalihan dan penguasaan ilmu pengetahuan serta pelatihan serta penguasaan keterampilan – keterampilan teknis tertentu, namun juga perlu dipahami sebagai penumbuhan dan pengembangan subjek didik menjadi pribadi manusia yang berbudaya dan beradab. Tujuan menjadi pribadi manusia yang berbudaya dan beradab adalah mewujudkan personal yang tidak hanya cerdas dalam segi kognitif akan tetapi mampu mengembangkan dan menanamkan kemampuan tertinggi dalam mengaktualisasikan budaya yang dimiliki suatu bangsa agar tidak kehilangan jati diri sebagai suatu bangsa akibat tergerus oleh perubahan zaman.
  • 19. 4 Pada saat remaja inilah masa anak berhadapan dengan cara bertindak dan cara bernalar berbeda dengan apa yang selama ini sudah menjadi kebiasaannya, anak mulai ditantang untuk memilih dan mengambil keputusan sendiri, entah ia akan meneruskan kebiasaan yang selama ini telah ditanamkan dalam keluarganya atau mengambil jarak terhadapnya dan lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya di sekolah. Kondisi saat ini adalah ketika anak berada pada masa memulai pilihan dirinya akan pendewasaan diri dari masa anak – anak ke masa dewasa. Meski tugas dan tanggung jawab utama untuk melakukan pendidikan moral terhadap anak terletak di pundak orang tua dalam lingkungan keluarga tempat anak itu lahir dan dibesarkan, namun itu tidak berarti sekolah tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pendidikan moral khususnya pada tahap pendidikan dasar dan menengah, tempat remaja masih dalam proses pembiasaan diri mengenal dan mematuhi aturan hidup bersama yang berlaku dalam masyarakatnya, berlatih displin, berbuat baik dan mengalami proses pembentukan identitas diri moral mereka, pendidikan moral perlu secara khusus mendapat perhatian para Guru dan pendidik di sekolah. Di sekolah banyak sekali ditemui komponen yang bisa menjadi sarana dari pendidikan moral. Salah satu komponen sekolah yang menjadi sarana pendidikan moral tersebut adalah tata tertib sekolah. Tata tertib sekolah sebagai bentuk peraturan dalam tingkatan hierarki terendah tata perundang – undangan memuat adanya aspek pendidikan moral dan rule of law. Peraturan
  • 20. 5 yang dibuat tidak hanya legal formal akan tetapi menuntut adanya penerapan moral di dalamnya. Hubungan tersebut erat kaitannya dengan hakikat dan isi dari pembuatan peraturan. Internalisasi nilai – nilai moral kepada subjek didik diperlukan upaya yang optimal dalam rangka menegakkan tata tertib sehingga pelaksanaan tidak hanya bersifat rule of law saja akan tetapi didasari oleh esensi adanya pendidikan moral. Dari hasil pengamatan awal lapangan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang oleh peneliti, diketahui kasus atau pelanggaran terhadap tata tertib sekolah masih sering dilakukan siswa. Pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang khususnya, diketahui pula pada periode tahun pelajaran 2003/2004 terjadi sebanyak 162 kasus atau pelanggaran kemudian tahun pelajaran 2004/2005 meningkat sebanyak 430 kasus atau pelanggaran dan pada tahun pelajaran 2005/2006 sebanyak 209 kasus atau pelanggaran yang meliputi antara lain tidak masuk tanpa keterangan (alpa), meninggalkan pelajaran tanpa izin, baju tidak dimasukkan, mencorat – coret seragam sekolah, berkelahi, tidak segera menempuh atau menyelesaikan remidi dan lain – lain. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kasus atau pelanggaran terhadap tata tertib sekolah yang dilakukan oleh siswa masih cukup tinggi. Pelanggaran terhadap tata tertib sekolah menunjukkan siswa kurang patuh terhadap peraturan sekolah. Berbagai upaya yang telah dilaksanakan di sekolah sering kurang dihargai dan diperhatikan oleh siswa. Sekolah memegang peran yang sangat penting dalam menanamkan dan menumbuhkan
  • 21. 6 aspek pendidikan moral. Kasus atau pelanggaran tata tertib sekolah tersebut terkait dengan karakteristik siswa seperti perbedaan – perbedaan yang dimiliki setiap individu yang dipengaruhi oleh sikap, minat, keinsyafan, pengetahuan dan faktor lain yang mempengaruhinya. Kepatuhan terhadap tata tertib sekolah adalah sebuah kesiapan yang harus ditanamkan kepada siswa di sekolah agar mempunyai sikap dan perbuatan sesuai dengan norma – norma yang berlaku di masyarakat. Seseorang akan patuh atau sadar dalam mematuhi peraturan atau hukum berkaitan pula dengan faktor peraturan atau hukum itu sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut diatas peneliti memilih Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang sebagai objek yang akan diteliti karena: (1) Kasus atau pelanggaran terhadap tata tertib sekolah yang masih tinggi terutama sebagai penerapan konsep pendidikan moral, (2) Aspek pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan kurang diperhatikan karena dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan digabung dengan Sejarah sehingga kurang optimal, (3) Sekolah Menengah Kejuruan mempersiapkan siswa untuk siap bekerja di masyarakat sehingga diperlukan nilai – nilai moral dalam bekerja dan letak sekolah yang strategis mudah dijangkau peneliti serta dapat memudahkan peneliti untuk memperoleh data – data dalam melakukan penelitian. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti ingin mengetahui tentang pelaksanaan dan kendala – kendala yang dihadapi Guru serta sekolah dalam menerapkan peraturan sebagai implementasi atau penerapan
  • 22. 7 konseptualisasi pendidikan moral di sekolah maka peneliti mengambil judul penelitian: “ TATA TERTIB SEKOLAH SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 5 SEMARANG ”. B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah 1. Identifikasi Masalah Pada lingkup tahap siswa merupakan masa yang penuh gejolak. Siswa adalah bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari sekolah. Perubahan sosial yang begitu cepat, kemudahan akses teknologi yang sedemikian maju, perbenturan antara nilai lokal dan nilai global menyebabkan kondisi dan situasi yang sangat rawan terhadap pembentukan serta perkembangan moral siswa yang baik. Pendidikan adalah upaya untuk mendewasakan manusia yang memiliki identitas sebagai manusia sebenarnya. Penyimpangan tingkah laku siswa mencerminkan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Menemukan pendekatan dan strategi itulah diperlukan suatu penelitian yang memadai sehingga dapat memberikan bahan pertimbangan yang diperlukan seperti masih adanya hal – hal yang berkaitan dengan tata tertib sekolah yang belum tertangani dengan baik, harus ada paparan tentang sistem pengelolaan tata tertib sekolah yang dijadikan rujukan guna penanganan masalah – masalah ketertiban.
  • 23. 8 Ketertiban sekolah sering dijadikan indikasi keberhasilan pembinaan mental dan tingkah laku siswa, latar belakang sosial keluarga dan lingkungan banyak memberikan pengaruh terhadap ketaatan melaksanakan tata tertib sekolah. Ketaatan dalam melaksanakan tata tertib sekolah juga akan menumbuhkan dampak nuansa yang mendukung pembelajaran yang lebih optimal pada diri siswa dan pihak sekolah. 2. Pembatasan Masalah Berkaitan dengan luasnya permasalahan serta agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menanggapi isi atau uraian dalam lingkup pembahasan ini, maka berikut ini akan dijelaskan beberapa fokus utama dan indikator yang disajikan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 1. Hal – hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai media dalam maksud atau tujuan mencapai pendidikan moral. 2. Tata tertib sekolah dalam penelitian ini dibatasi pada tata tertib yang berlaku bagi siswa. 3. Tata tertib sekolah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sejumlah aturan yang ditetapkan sekolah yang harus dipatuhi oleh siswa di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang. C. Perumusan Masalah Kenyataan di sekolah masih ditemui banyak kasus atau pelanggaran terhadap tata tertib sekolah. Kenyataan tersebut menimbulkan berbagai
  • 24. 9 persoalan dan permasalahan mengenai pelaksanaan pendidikan moral. Sesuai dengan pembatasan masalah diatas maka penelitian ini mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah benar tata tertib sekolah berisi muatan sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang? 2. Bagaimana pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang? 3. Bagaimana kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penelitian ini mempunyai tujuan yaitu: 1. Untuk mengetahui implementasi konsep tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang. 2. Untuk mengetahui pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang. 3. Untuk mengetahui kendala – kendala yang dihadapi sekolah terutama terhadap tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
  • 25. 10 E. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Penelitian ini dapat dipergunakan untuk menambah khasanah pengembangan pustaka ilmu pengetahuan secara umum dan secara khusus pada kajian lingkup pendidikan moral serta dapat digunakan sebagai referensi bagi yang akan melakukan penelitian sejenis. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kajian – kajian dan teori – teori yang berkaitan dengan persoalan tersebut. 2. Kegunaan Praktis b Bagi Guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berharga dalam upaya meningkatkan pendidikan moral terutama di sekolah. c Bagi Siswa, sebagai motivasi untuk meningkatkan sikap dan tingkah lakunya dalam mematuhi tata tertib yang dibuat oleh sekolah. d Bagi Orang tua, sebagai bahan pertimbangan untuk lebih meningkatkan kualitas dalam mendidik dan memupuk pendidikan moral khususnya di lingkungan keluarga. e Bagi Sekolah, diharapkan dapat memberikan masukan yang digunakan untuk melaksanakan tata tertib sebagai sarana pendidikan moral di sekolah dan menerapkan kebijakan – kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan pendidikan moral khususnya kepada siswa.
  • 26. 11 F. Sistematika Penelitian Skripsi Sistematika skripsi adalah pokok persoalan yang akan disajikan dalam bab – bab yang terangkum dalam suatu skripsi. Adapun sistematika skripsi yang akan dibahas sebagai berikut: 1. Bagian Pendahuluan skripsi, terdiri atas: (a) Halaman Judul, (b) Abstrak, (c) Halaman Persetujuan, (d) Halaman Pengesahan, (e) Halaman Motto dan Persembahan, (f) Prakata, (g) Daftar Isi, (h) Daftar Gambar / Foto, (i) Daftar Lampiran. 2. Bagian Inti skripsi terdiri atas Bab I Pendahuluan berisi Latar Belakang Masalah, Identifikasi dan Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian dan Sistematika Penelitian Skripsi. Bab II Landasan Teori berisi bab yang menguraikan tentang Pengertian Tata Tertib Sekolah, Tujuan Tata Tertib Sekolah, Isi Tata Tertib Sekolah, Tipe – Tipe Kepatuhan Siswa Terhadap Tata Tertib Sekolah, Nilai dan Moral, Batasan Moral, Pengertian Pendidikan Moral, Tujuan Pendidikan Moral, Prinsip – Prinsip Pendidikan Moral, Tahap – Tahap Perkembangan Moral Manusia, Hubungan Antara Tata Tertib Sekolah dan Pendidikan Moral, Sarana Pendidikan Moral. Bab III Metode Penelitian merupakan bab yang berisi Dasar Penelitian, Fokus Penelitian, Sumber Data Penelitian, Alat dan Teknik Pengumpulan Data, Objektivitas dan Keabsahan Data, Metode Analisis Data dan Prosedur Penelitian.
  • 27. 12 Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan menguraikan tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil Penelitian. Bab V Penutup berisi Simpulan dan Saran. 3. Bagian Akhir skripsi berisi Daftar Pustaka, Lampiran – lampiran.
  • 28. BAB II LANDASAN TEORI A. Tata Tertib Sekolah 1. Pengertian Tata Tertib Sekolah (Mulyono, 2000:14) tata tertib adalah kumpulan aturan – aturan yang dibuat secara tertulis dan mengikat anggota masyarakat. (Dekdikbud, 1989:37) tata tertib sekolah adalah aturan atau peraturan yang baik dan merupakan hasil pelaksanaan yang konsisten (tatap azas) dari peraturan yang ada. Aturan – aturan ketertiban dalam keteraturan terhadap tata tertib sekolah, meliputi kewajiban, keharusan dan larangan – larangan. Tata tertib sekolah merupakan patokan atau standar untuk hal – hal tertentu. Sesuai dengan keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 158/C/Kep/T.81 Tanggal 24 September 1981 (Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP Malang, 1989:145) ketertiban berarti kondisi dinamis yang menimbulkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam tata hidup bersama makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Ketertiban sekolah tersebut dituangkan dalam sebuah tata tertib sekolah. (Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP Malang, 1989:146) mengartikan tata tertib sekolah: sebagai kesediaan mematuhi ketentuan berupa peraturan – peraturan tentang kehidupan sekolah sehari – 13
  • 29. 14 hari. Tata tertib sekolah disusun secara operasional guna mengatur tingkah laku dan sikap hidup siswa, Guru dan karyawan administrasi. Secara umum tata tertib sekolah dapat diartikan sebagai ikatan atau aturan yang harus dipatuhi setiap warga sekolah tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Pelaksanaan tata tertib sekolah akan dapat berjalan dengan baik jika Guru, aparat sekolah dan siswa telah saling mendukung terhadap tata tertib sekolah itu sendiri, kurangnya dukungan dari siswa akan mengakibatkan kurang berartinya tata tertib sekolah yang diterapkan di sekolah. Peraturan sekolah yang berupa tata tertib sekolah merupakan kumpulan aturan – aturan yang dibuat secara tertulis dan mengikat di lingkungan sekolah. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tata tertib sekolah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain sebagai aturan yang berlaku di sekolah agar proses pendidikan dapat berlangsung dengan efektif dan efisien. 2. Tujuan Tata Tertib Sekolah Secara umum dibuatnya tata tertib sekolah mempunyai tujuan utama agar semua warga sekolah mengetahui apa tugas, hak dan kewajiban serta melaksanakan dengan baik sehingga kegiatan sekolah dapat berjalan dengan lancar. Prinsip tata tertib sekolah adalah diharuskan, dianjurkan dan ada yang tidak boleh dilakukan dalam pergaulan di lingkungan sekolah.
  • 30. 15 Tata tertib sekolah harus ada sanksi atau hukuman bagi yang melanggarnya. Menjatuhkan hukuman sebagai jalan keluar terakhir, harus dipertimbangkan perkembangan siswa. Sehingga perkembangan jiwa siswa tidak dan jangan sampai dirugikan. Tata tertib sekolah dibuat dengan tujuan sebagai berikut: a Agar siswa mengetahui tugas, hak dan kewajibannya. b Agar siswa mengetahui hal – hal yang diperbolehkan dan kreatifitas meningkat serta terhindar dari masalah – masalah yang dapat menyulitkan dirinya. c Agar siswa mengetahui dan melaksanakan dengan baik dan sungguh – sungguh seluruh kegiatan yang telah diprogramkan oleh sekolah baik intrakurikuler maupun ektrakurikuler. 3. Isi Tata Tertib Sekolah Tata tertib sekolah sebagaimana tercantum di dalam Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14/4/1974 Tanggal 1 Mei 1974 (Nawawi, 1986:161) mencakup aspek – aspek sebagai berikut: a. Tugas dan kewajiban. 1). Dalam kegiatan intra kurikuler. 2). Dalam kegiatam ekstra kurikuler. b. Larangan – larangan bagi para siswa. c. Sanksi – sanksi bagi siswa. Tata tertib sekolah termasuk dalam administrasi ko – kurikulum yaitu merupakan kegiatan – kegiatan yang diselenggarakan di sekolah untuk menunjang dan meningkatkan daya dan hasil guna kegiatan
  • 31. 16 kurikulum. (Arikunto, 1990:123) berpendapat batasan antara peraturan dan tata tertib sekolah sebagai berikut: a Peraturan menunjuk pada patokan atau standar yang sifatnya umum yang harus dipenuhi oleh siswa. Misalnya peraturan tentang kondisi yang harus dipenuhi oleh siswa di dalam kelas pada waktu pelajaran sedang berlangsung. b Tata tertib sekolah menunjuk pada patokan atau standar yang sifatnya khusus yang harus dipenuhi oleh siswa. Tata tertib sekolah menunjuk pada patokan atau standar untuk aktifitas khusus, seperti penggunaan pakaian seragam, penggunaan laboratorium, mengikuti upacara bendera, mengerjakan tugas rumah, pembayaran SPP dan sebagainya. Tata tertib sekolah bukan hanya sekedar kelengkapan dari sekolah, tetapi merupakan kebutuhan yang harus mendapat perhatian dari semua pihak yang terkait, terutama dari pelajar atau siswa itu sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, maka sekolah pada umumnya menyusun pedoman tata tertib sekolah bagi semua pihak yang terkait baik Guru, tenaga administrasi maupun siswa. Isi tata tertib sekolah secara garis besar adalah berupa tugas dan kewajiban siswa yang harus dilaksanakan, larangan dan sanksi. Pada hakikatnya tata tertib sekolah baik yang berlaku umum maupun khusus meliputi tiga unsur (Arikunto, 1990:123 – 124) yaitu: a Perbuatan atau tingkah laku yang diharuskan dan yang dilarang; b Akibat atau sanksi yang menjadi tanggung jawab pelaku atau pelanggar peraturan; c Cara atau prosedur untuk menyampaikan peraturan kepada subjek yang dikenai tata tertib sekolah tersebut. 4. Tipe – Tipe Kepatuhan Siswa Terhadap Tata Tertib Sekolah
  • 32. 17 Graham (Sanjaya, 2006:272 – 273) melihat empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu: a. Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma – norma hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu, (1) Kepatuhan terhadap nilai atau norma itu sendiri; (2) Kepatuhan pada proses tanpa memedulikan normanya sendiri; (3) Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu. b. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan – pertimbangan yang rasional. c. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekadar basa basi. d. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri. Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individu tentu saja yang kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat normativist, sebab kepatuhan semacam ini adalah kepatuhan didasari kesadaran akan nilai, tanpa memedulikan apakah tingkah laku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak. Selanjutnya dalam sumber yang sama dijelaskan, dari empat faktor ini terdapat lima tipe kepatuhan: a. Otoritarian. Suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut – ikutan.
  • 33. 18 b. Conformist. Kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu: (1) conformist directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain; (2) conformist hedonist, yakni kepatuhan yang berorientasi pada “untung – rugi”, dan (3) conformist integral, adalah kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri dengan kepentingan masyarakat. c. Compulsive deviant. Kepatuhan yang tidak konsisten. d. Hedonik psikopatik, yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain. e. Supramoralist. Kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai – nilai moral. B. Pendidikan Moral 1. Nilai dan Moral Nilai merupakan ukuran atau pedoman perbuatan manusia. Karena itu maka nilai diungkapkan dalam bentuk norma dan norma ini mengatur tingkah laku manusia. Pengertian nilai adalah (Daroeso, 1986:20): Nilai adalah suatu penghargaan atau kualitas terhadap sesuatu atau hal, yang dapat dasar penentu tingkah laku seseorang, karena sesuatu atau hal itu menyenangkan (pleasant), memuaskan (satifying), menarik (interest), berguna (usefull), menguntungkan (profitable), atau merupakan suatu sistem keyakinan (belief) Di antara beberapa macam nilai, ada nilai etik. Nilai etik atau nilai yang bersifat susila, memberi kualitas perbuatan manusia yang bersifat susila, sifatnya universal tidak tergantung waktu, ruang dan keadaan. Nilai
  • 34. 19 etik tersebut diwujudkan dalam norma moral. Norma moral merupakan landasan perbuatan manusia, yang sifatnya tergantung pada tempat, waktu dan keadaan. Sehingga norma moral itu dapat berubah – ubah sesuai dengan waktu, tempat dan keadaannya. Pelaksanaan norma moral yang merupakan perwujudan dari nilai etik itu, tergantung pada manusianya. Penilaian moral dari perbuatan manusia ini meliputi semua penghidupan, dalam hal ini hubungan manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri sendiri, terhadap masyarakat maupun terhadap alam. Perbuatan manusia dinilai secara moral bilamana perbuatan itu didasarkan pada kesadaran moral. Adanya nilai – nilai yang merupakn rangsangan (stimulus) diterima oleh pancaindera, menimbulkan suatu proses dalam diri individu yang dapat berupa suatu kebutuhan, motif, perasaan, perhatian dan pengambilan keputusan. Perbuatan susila adalah merupakan wujud dari norma moral dan norma moral merupakan ungkapan dari nilai etis (Daroeso, 1986:28). Karena itulah nilai etis menjadi pedoman tingkah laku dan perbuatan manusia dalam kehidupan sehari – hari. Nilai etis bersifat normatif dan tingkah laku perbuatan manusia mengarah kepadanya. 2. Batasan Moral Moral berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan: ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan (Salam, 2000:80). Driyakara mengatakan bahwa “moral atau kesusilaan” adalah nilai yang sebenarnya bagi manusia. Dengan kata lain moral atau kesusilaan adalah
  • 35. 20 kesempurnaan sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia (Daroeso, 1986:22). Huky (Daroeso, 1986:22) mengatakan: kita dapat memahami moral dengan tiga cara: a. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaraan, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya. b. Moral sebagai perangkat ide – ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu. c. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu. Pengertian lain tentang moral berasal dari P. J. Bouman yang mengatakan bahwa ”moral adalah suatu perbuatan atau tingkah laku manusia yang timbul karena adanya interaksi antara individu – individu di dalam pergaulan”. Dari beberapa pengertian moral, dapat dilihat bahwa moral memegang peran penting dalam kehidupan manusia yang berhubungan dengan baik buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku ini mendasarkan diri pada norma – norma yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang tersebut bertingkah laku sesuai dengan norma – norma yang terdapat dalam masyarakat. Seorang individu yang tingkah lakunya mentaati kaidah – kaidah yang berlaku dalam masyarakatnya disebut baik secara moral, dan jika sebaliknya, ia disebut jelek secara moral (immoral). Dengan demikian moral selalu berhubungan dengan nilai – nilai. Ciri khas yang menandai
  • 36. 21 nilai moral yaitu tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja, secara mau dan tahu; dan tindakan itu secara langsung berkenaan dengan nilai pribadi (person) manusia dan masyarakat Indonesia (Salam, 2000:74). Dengan demikian, moral adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan yang baik dan benar. Objek moral adalah tingkah laku manusia, perbuatan manusia, tindakan manusia, baik secara individual maupun secara kelompok (Daroeso, 1986:26). Dalam melaksanakan perbuatan tersebut manusia didorong oleh tiga unsur, yaitu: a. Kehendak yaitu pendorong pada jiwa manusia yang memberi alasan pada manusia untuk melakukan perbuatan. b. Perwujudan dari kehendak yang berbentuk cara melakukan perbuatan dalam segala situasi dan kondisi. c. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dan kesadaran inilah yang memberikan corak dan warna perbuatan tersebut. 3. Pengertian Pendidikan Moral Pendidikan moral adalah upaya dari orang dewasa dalam membentuk tingkah laku yang baik, yaitu tingkah laku yang sesuai dengan harapan masyarakat yang dilakukan secara sadar. (Daryono, 1998:13) mengemukakan bahwa: ”Pendidikan moral adalah merupakan suatu usaha sadar untuk menanamkan nilai – nilai moral pada anak didik sehingga anak bisa bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai – nilai moral tersebut”. Dewey (Daroeso, 1986:32) menyatakan pendidikan moral seperti pendidikan intelektual mempunyai basis pada berfikir aktif mengenai masalah – masalah moral dan keputusan – keputusan
  • 37. 22 selanjutnya ia mengatakan tujuan pendidikan adalah pertumbuhan atau perkembangan moral dan intelektual. Sementara itu (Sudarminta, 004:108) menyatakan bahwa pendidikan moral pada umumnya, baik di dalam keluarga maupun di sekolah, sebagai bagian pendidikan nilai, adalah upaya untuk membantu subjek didik mengenal, menyadari pentingnya, dan menghayati nilai – nilai moral yang seharusnya dijadikan panduan bagi sikap dan tingkah lakunya sebagai manusia, baik secara perorangan maupun bersama – sama dalam suatu masyarakat. (Daroeso, 1986:45), berpendapat tentang pendidikan moral bahwa: “pendidikan moral adalah pendidikan yang menyangkut aspek dari pada watak seseorang yang sama pendidikannya, watak itu tidak baru dimulai pada saat ia masuk sekolah”. Pendidikan moral dapat dirumuskan sebagai: suatu proses yang disengaja di mana para warga muda dari masyarakat dibantu supaya berkembang dari orientasi yang berpusat pada diri sendiri mengenai hak – hak dan kewajiban mereka, ke arah pandangan yang lebih luas, yaitu bahwa dirinya berada dalam masyarakat dan ke arah pandangan yang lebih mendalam mengenai diri sendiri (Salam, 2000:76). Kehidupan manusia memang mempunyai otonomi, tetapi manusia tidak bebas sepenuhnya. Kehidupan manusia terkait oleh ketentuan – ketentuan yang ada dalam masyarakat. Ketentuan – ketentuan itu menurut Daroeso (1986:23) sebagai berikut: 1. ketentuan agama yang berdasarkan wahyu.
  • 38. 23 2. ketentuan kodrat yang terutama dalam diri manusia, termasuk didalamya ketentuan moral universal yaitu moral yang seharusnya. 3. ketentuan adat istiadat buatan manusia termasuk didalamnya ketentuan moral yang sedang berlaku pada suatu waktu. 4. ketentuan hukum buatan manusia, baik berbentuk adat istiadat atau hukum negara. Diungkapkan oleh Magnis (Daroeso, 1986:27) bahwa: berkesadaran moral tidak lain adalah merasa wajib untuk melakukan tindakan yang bermoral. Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral itu ada dan terjadi di dalam hati sanubari manusia, siapapun, dimanapun dan kapanpun juga. Kohlberg seorang pakar Perkembangan Moral secara Kognitif (Cognitive Moral Development) memandang pendidikan moral adalah pendidikan mengenai prinsip – prinsip umum tentang moralitas dengan menggunakan metode pertimbangan moral atau cara – cara memberi pertimbangan moral. Prinsip – prinsip moralitas adalah prinsip mengenai pilihan. Kohlberg melihat pendidikan moral adalah kegiatan untuk membantu peserta didik menuju kearah yang sesuai dengan kesiapan mereka, dan tidak memaksakan pola – pola eksternal terhadapnya. Dalam pendidikan moral senantiasa melibatkan stimulasi perkembangan melalui tahap – tahap, dan tidak sekedar mengajarkan kebenaran – kebenaran yang sudah baku. Secara umum pendidikan moral berkenaan dengan aturan – aturan (moral rules), sikap – sikap (behavior), dan tingkah laku (action). Pandangan Wilson tentang esensi dari pendidikan moral adalah menanamkan pilihan – pilihan yang benar dan klarifikasi akan perasaan dan disposisi tersebut. Pendidikan moral umumnya lebih menunjuk kepada
  • 39. 24 pengembangan konsepsi keadilan yang begitu dipengaruhi oleh pemikiran – pemikiran Kant (Haricahyono, 1995:210) moralitas mencakup makna yang begitu luas, antara lain: a Tingkah laku membantu orang lain; b Tingkah laku yang sesuai dengan norma – norma sosial; c Internaliasasi norma – norma sosial; d Timbulnya empati atau rasa salah, atau bahkan keduanya; e Penalaran tentang keadilan, dan f Memperhatikan kepentingan orang lain. 4. Tujuan Pendidikan Moral Sasaran dari moral adalah keselarasan dari perbuatan manusia dengan aturan – aturan yang mengenai perbuatan – perbuatan manusia itu (Salam, 2000:9). Tujuan secara khusus pendidikan moral: untuk berkembangnya siswa dalam penalaran moral (moral reasioning) dan melaksanakan nilai – nilai moral (Salam, 2000:77). Pandangan Salam (2000: 80) tentang tujuan pendidikan moral adalah: membimbing para generasi muda untuk memahami dan menghayati Pancasila secara keseluruhan dan setiap sila. Tujuan akhirnya adalah agar dapat menumbuhkan manusia – manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama – bersama bertanggungjawab atas pembangunan Ditambahkan bahwa tujuan pendidikan moral adalah: (1) Meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) Meningkatkan kecerdasan dan keterampilan dan mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan. Tujuan utama pendidikan moral adalah untuk meningkatkan kapasitas berpikir secara moral dan mengambil keputusan moral.
  • 40. 25 mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan moral ditekankan pada metode pertimbangan moral dan untuk membantu anak – anak untuk mengenal apa yang menjadi dasar untuk menerima suatu nilai. Selain itu tujuan pendidikan moral adalah untuk mengusahakan perkembangan yang optimal bagi setiap individu. Lickona (Koyan, 2000:85) mengemukakan tentang dua tujuan utama pendidikan moral, yaitu kebijakan dan kebaikan. Selain itu sebagai intrakulikuler dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) tujuan pendidikan moral (Daryono, 1998:31) yaitu: meneruskan dan mengembangkan jiwa semangat dan nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 kepada generasi muda, dengan menekankan ranah sikap dan nilai – nilai yang mendorong semangat, merangsang ilham, dan menyeimbangkan kepribadian peserta didik Tujuan Pendidikan moral perlu diefektifkan, karena adanya kecenderungan remaja bertingkah laku menyimpang. Membangun manusia seutuhnya adalah masalah dan tugas pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, lingkungan manusia seutuhnya adalah tugas untuk membantu manusia dalam perkembangannya menjadi manusia insan kamil/manusia yang sempurna, manusia yang sehat jasmani dan rohani, manusia yang seimbang dalam perkembangannya sebagai insan sosial yang adil (Daroeso, 1986:43). Adapun pendidikan moral memiliki tujuan dan sasaran sebagai berikut: 1. Perkembangan anak seutuhnya; 2. Membina warga negara yang bertanggung jawab; 3. Mengembangkan rasa hormat menghormati martabat individu dan kesucian hak asasi manusia;
  • 41. 26 4. Menanamkan patriotisme dan integrasi nasional; 5. Mengembangkan cara hidup dan berpikir demokratis; 6. Mengembangkan toleransi, mengerti perbedaan; 7. Mengembangkan persaudaraan; 8. Mendorong tumbuhnya iman; 9. Menanamkan prinsip moral. 5. Prinsip – Prinsip Pendidikan Moral Pendidikan moral memang menanamkan prinsip moral yang lazim disebut sosialisasi moral. Mengenai prinsip – prinsip moral, Durkheim menjelaskan sebagai berikut : (1) Pada dasarnya tidak ada seperangkat prinsip – prinsip moral dalam artian serangkaian pernyataan apriori dapat dianggap universal dan menentukan kehidupan moral semua makhluk manusia. (2) Pernyataan tentang prinsip – prinsip moral tidak berakar dalam naluri individualistik, akan tetapi lebih berakar dalam masyarakat beserta sifat – sifat sosial manusianya, yang sekaligus merupakan prinsip utama yang dibenarkan dalam eksistensi manusia. (3) Moralitas adalah suatu sistem aturan tingkah laku tertentu merefleksikan realitas moral dari masyarakat tertentu dimana aturan – aturan tersebut disertai dengan otoritas dan sanksi berdasarkan kepentingan masyarakat yang bersangkutan (Haricahyono, 1995:96 – 102). Dengan demikian, dalam pendidikan moral, prinsip – prinsip moral itu adalah subjek dan sekaligus konteks yang esensial bagi pendidikan moral. Keller dan Reuss (Haricahyono, 1995:207) menegaskan adanya empat prinsip yang mendasari moral, yang tidak harus berkaitan satu sama lain antara lain;
  • 42. 27 a Prinsip justifikasi, yang mengimplikasikan adanya kepentingan untuk menjustifikasi perbagai tindakan yang menarik perhatian kita; b Prinsip kejujuran, yang menjamin keseimbangan secara adil dalam mendistribusikan perbagai usaha dan pengorbanan; c Prinsip konsekuensi, yang mengandung implikasi bahwa setiap orang harus mengatasi konsekuensi dari tindakan atau pun kelalaiannya; d Prinsip universalitas, yang berimplikasi adanya konsistensi dalam pertimbangan dan kehendak untuk mengambil peranan dari pribadi – pribadi yang menarik. Dalam pendidikan moral, mengajarkan proses penalaran moral semata – mata, akan tetapi harus diarahkan kepada pensosialisasian individu secara moral agar bisa bertindak dengan cara – cara tertentu sesuai dengan norma – norma yang berlaku dalam masyarakat. Durkheim (Haricahyono, 1995:337) memandang pendidikan moral berkaitan dengan sosialisasi moral, sementara penalaran dianggap mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam proses penting tersebut. Prinsip moral menginginkan agar manusia atau personal individu bertanggungjawab terhadap antara lain: a. Pengembangan personal yang diinginkan; b. Pengembangan atribut – atribut sosial (nilai – nilai yang dijunjung tinggi); c. Memperoleh prinsip moral sebagai bahan membuat pertimbangan dan putusan moral; d. Menemukan hakikat hidup.
  • 43. 28 Supaya menjadi bermoral, maka harus menghargai disiplin, menempatkan diri dalam kelompok masyarakat, dan mengetahui alasan tertentu akan tingkah lakunya secara otonom. Dengan demikian akan tampak, bahwa pribadi yang terdidik secara moral akan bertindak sesuai dengan iklim dan budaya masyarakat. 6. Tahap –Tahap Perkembangan Moral Manusia Tahap – tahap perkembangan moral manusia ditinjau melalui pendekatan kognitif Piaget dalam Haricahyono (1995) adalah terkait dengan aspek mental dan kognitif. Tentang tahap perkembangan moral sendiri, Piaget mengemukakan adanya dua tahap yang harus dilewati setiap individu. Yang pertama disebut tahap Heteronomous atau Realisme Moral. Dalam tahap ini anak cenderung menerima begitu saja aturan – aturan yang diberikan oleh orang – orang yang dianggap kompeten untuk itu; Tahap yang kedua disebut Autonomous Morality atau Independensi Moral. Dalam tahap ini anak sudah mempunyai pemikiran akan perlunya memodifikasi aturan – aturan untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Tahap perkembangan moral Bull (Daroeso, 1986:29 – 30) menyimpulkan empat tahapan perkembangan moral yaitu: a Anomi (without law), adalah anak belum memiliki perasaan moral dan belum ada perasaan untuk menaati peraturan – peraturan yang ada.
  • 44. 29 b Heternomi (law imposed by others), adalah tahap moralitas terbentuk karena pengaruh luar (external morality). Pada heternomi peraturan dipaksakan oleh orang lain, dengan pengawasan, kekuatan atau paksaan, karena itulah peraturan tersebut di atas. c Sosionomi (law driving from society), adalah suatu kenyataan adanya kerjasama antar individu, menjadi individu sadar bahwa dirinya merupakan anggota kelompok. d Autonomi (law driving from self), adalah tahapan perkembangan pertimbangan moral yang paling tinggi. Pembentukan moral dari individu bersumber pada diri individu sendiri, termasuk di dalamnya pengawasan tingkah laku moral individu tersebut. Tahap perkembangan lainnya dikemukakan oleh Kohlberg terdiri dari tiga tingkatan perkembangan moral yang masing – masing tingkat memuat pula dua tahap perkembangan yaitu: a. Tingkat prakonvesional Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat prakonvensional ini terdiri dari dua tahap. 1). Orientasi hukuman dan kepatuhan
  • 45. 30 Pada tahap ini tingkah laku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Artinya, anak hanya berpikir bahwa tingkah laku yang benar itu adalah tingkah laku yang tidak mengakibatkan hukuman. Dengan demikian, setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak menimbulkan konsekuensi negatif. 2). Orientasi instrumental – relatif Pada tahap ini tingkah laku anak didasarkan kepada rasa ”adil” berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas tingkah laku kita yang anggap baik. Dengan demikian tingkah laku itu didasarkan kepada saling menolong dan saling memberi. b. Tingkat konvensional Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu – masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa tingkah laku itu harus sesuai dengan norma – norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian, pemecahan masalah itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Pada tingkat konvensional itu mempunyai dua tahap sebagai lanjutan dari tahap yang ada pada tingkat prakonvensional, yaitu tahap keselarasan interpersonal serta tahap sistem sosial dan kata hati.
  • 46. 31 1). Keselarasan interpersonal Pada tahap ini ditandai dengan setiap tingkah laku yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain. Kesadaran individu mulai tumbuh bahwa ada orang lain di luar dirinya untuk bertingkah laku sesuai dengan harapannya. Artinya, anak sadar bahwa ada hubungan antara dirinya dengan orang lain. Dan, hubungan itu tidak boleh dirusak. 2). Sistem sosial dan kata hati Pada tahap ini tingkah laku individu bukan didasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya, akan tetapi didasarkan pada tuntutan dan harapan masyarakat. Ini berarti telah terjadi pergeseran dari kesadaran individu kepada kesadaran sosial. Artinya, anak sudah menerima adanya sistem sosial yang mengatur tingkah laku individu. c. Tingkat postkonvensional Pada tingkat ini tingkah laku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma – norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai – nilai yang dimilikinya secara individu. Seperti pada tingkat sebelumnya, pada tingkat ini juga terdiri dua tahap: 1). Kontrak sosial
  • 47. 32 Pada tahap ini tingkah laku individu didasarkan pada kebenaran – kebenaran yang diakui oleh masyarakat. kesadaran individu untuk bertingkah laku tumbuh karena kesadaran untuk menerapkan prinsip – prinsip sosial. Dengan demikian, kewajiban moral dipandang sebagai kontrak sosial yang harus dipatuhi, bukan sekadar pemenuhan sistem nilai. 2). Prinsip etis yang universal aturan – aturan Pada tahap terakhir, tingkah laku manusia didasarkan pada prinsip – prinsip universal. Segala macam tindakan bukan hanya didasarkan sebagai kontrak sosial yang harus dipatuhi, akan tetapi didasarkan pada suatu kewajiban sebagai manusia. Setiap individu wajib menolong orang lain, apakah orang itu sebagai orang yang kita benci atau tidak, orang yang kita suka atau tidak. Pertolongan yang diberikan bukan didasarkan pada alasan subjektif, akan tetapi didasarkan pada kesadaran yang bersifat universal. 7. Muatan Pendidikan Moral Pendidikan moral pada tiap – tiap negara berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam negara yang menjadikan agama sebagai hukum dasarnya maka pendidikan moral bersumber pada agama yang berlaku di negara itu. Bagi masyarakat Indonesia mengenai dasar pendidikan moral
  • 48. 33 sudah jelas, berdasarkan religi, adat istiadat dan kebudayaan Indonesia yaitu Pancasila. Moral sesuatu masyarakat adalah merupakan identitas bagi masyarakat itu (Daroeso, 1986:55). Pandangan Durkheim (Haricahyono, 1995:327) terhadap muatan moralitas pada dasarnya berkaitan dengan isi, tindakan, aturan – aturan, atau tingkah laku – tingkah laku tertentu. ”Morality is not a system of abstract truth which can be derived from some fundamental notion, posited as self – efident”, demikian Durkheim. Lebih lanjut dikemukakan, ”...it belongs to the realm of life, not to speculation. It is a set of rules of conduct, of practical imperatives which have grown up historically under the influence of specific social necessities” (Durkheim, 1961:34). Mengacu pada pandangan di atas Durkheim melihat adanya satu fenomena dalam kehidupan manusia yang menduduki rangking teratas. Fenomena dimaksud adalah serangkaian aturan yang dapat dibatasi secara jelas dan spesifik. Dalam konteks ini pribadi yang bermoral tidak lantas dikaitkan dengan kesediaan yang bersangkutan untuk selalu memenuhi prosedur – prosedur tertentu, akan tetapi pribadi – pribadi semacam ini, paling tidak, mampu bertindak sesuai dengan aturan – aturan atau norma – norma yang berlaku. Di dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat norma - norma yang mengatur tingkah laku anggotanya. Dalam hubungan ini, F. Von Magnis membedakan tiga macam norma kelakuan umum, yaitu : (1) peraturan sopan santun atau kebiasaan, (2) norma – norma hukum, dan
  • 49. 34 norma – norma moral. Muatan pendidikan moral dapat dilihat pada gambar 1 sebagai berikut: MORAL FEELING MORAL KNOWING 1. Conscience 1. Moral awareness 2. Self – esteem 2. Knowing moral 3. Empathy values 4. Loving the good 3. Perspective – taking 5. Self – control 4. Moral reasioning 6. Humility 5. Decision making 6. Self knowledge MORAL ACTION 1. Competence 2. Will 3. Habit Gambar 1. Bagan components of good character Sumber: Lickona (Koyan, 2000:86)
  • 50. 35 C. Hubungan Tata Tertib Sekolah dan Pendidikan Moral Hubungan antara kenyataan hukum atau tata tertib sekolah dan moralitas atau pendidikan moral yang efektif sangat intensif, pada hakikatnya karena hukum itu hanya penglogisan dari nilai – nilai moral. Gerakannya dikekang oleh generalisasi dan penentuan kebutuhannya, hukum itu berubah – ubah secara lebih langsung sebagai suatu fungsi dari perubahan – perubahan moralitas (Johnson, 2006:286). Moral berkaitan dengan disiplin dan kemajuan kualitas perasaan, emosi dan kecenderungan manusia; sedangkan aturan pelaksanaanya merupakan aturan praktis tingkah laku yang tunduk pada sejumlah pertimbangan dan konversi lainnya (Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP Malang, 1989:211). Moralitas adalah keseluruhan norma – norma, nilai – nilai dan sikap moral seseorang atau sebuah masyarakat. Nilai – nilai moral itu berada dalam suatu wadah yang disebut moralitas, karena di dalamnya terdapat unsur – unsur keyakinan dan sikap batin dan bukan hanya sekedar penyesuaian diri dengan aturan dari luar diri manusia. Moralitas dapat bersifat intrinsik dan ekstrinsik. Moralitas yang bersifat intrinsik berasal dari diri manusia itu sendiri, sehingga perbuatan manusia itu baik atau buruk terlepas atau tidak dipengaruhi oleh peraturan hukum yang ada (Tedjosaputro, 2003:6). Moralitas intrinsik ini esensinya terdapat dalam perbuatan diri manusia itu sendiri. Moralitas yang bersifat ekstrinsik penilaiannya didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku, baik yang bersifat perintah maupun larangan.
  • 51. 36 Moralitas yang bersifat ekstrinsik ini merupakan realitas bahwa manusia terikat pada nilai – nilai atau norma – norma yang diberlakukan dalam kehidupan bersama (Tedjosaputro, 2003:7). Sudarto (Tedjosaputro, 2003:31) mengatakan bahwa ada hubungan erat antara nilai, norma, sanksi dan peraturan – peraturan. Beliau mengatakan sebagai berikut: Nilai adalah ukuran yang disadari atau tidak disadari oleh suatu masyarakat atau golongan untuk menetapkan apa yang benar, yang baik dan sebagainya. Norma adalah anggapan bagaimana seseorang harus berbuat. Agar normanya dipatuhi, maka masyarakat atau golongan itu mengadakan sanksi dan penguat. Ilmu hukum (pidana) normatif pada hakikatnya bukan semata – mata ilmu tentang norma, justru ilmu tentang nilai. Aspek norma merupakan aspek luar atau aspek lahiriah yang tampak dan terwujud dalam perumusan perundang – undangan atau tata tertib, sedangkan aspek nilai merupakan aspek dalam atau aspek batiniah/kejiwaan yang ada di balik atau di belakang norma. Keduanya bersifat saling menunjang secara terpadu. Nilai selalu menjiwai secara konsisten berbagai norma yang berlaku di dalam masyarakat, baik norma agama, moral (etika), kesopanan maupun hukum. Hubungan tata tertib sekolah dan pendidikan moral lebih jelas pada gambar 2 sebagai berikut:
  • 52. 37 MORAL ETIKA HUKUM Gambar 2. Hubungan Moral, Etika dan Hukum Sumber: Marpaung (1996:3) Piaget (Salam, 2000: 67) bahwa pikiran manusia menjadi semakin hormat pada peraturan. Manusia mempunyai daya tahu (budi) dan daya memilih karena adanya dua macam daya inilah timbul penilaian etis atau moral terhadap tingkah laku manusia. Dalam masyarakat yang hendak teratur dan tertib, diadakanlah aturan – aturan yang semuanya justru untuk
  • 53. 38 melindungi kemanusiaan, aturan untuk ketertiban hidup manusia dalam masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang tersebut bertingkah laku sesuai dengan norma – norma yang terdapat dalam masyarakat. Dengan demikian moral atau kesusilaan adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan baik dan benar. Perlu diingat baik dan benar menurut seseorang, tidak pasti baik dan benar bagi orang lain. Karena itulah diperlukan adanya prinsip – prinsip kesusilaan/moral yang dapat berlaku umum, yang telah diakui kebaikan dan kebenarannya oleh semua orang. Moral dipakai untuk memberikan penilaian atau predikat terhadap tingkah laku seseorang. Dengan sendirinya menurut indentitas, ukuran manusia yang baik adalah yang mampu memenuhi ketentuan – ketentuan kodrat yang tertanam dalam dirinya sendiri. Ukuran ini tentunya tidak bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan syarat untuk menjadi manusia yang bermoral, adalah memenuhi salah satu ketentuan kodrat yaitu adanya kehendak yang baik. Kehendak yang baik ini mensyaratkan adanya bertingkah laku dan tujuan yang baik pula. Jadi predikat moral mensyaratkan adanya kebaikan yang berkesinambungan, mulai munculnya kehendak yang baik sampai dengan tingkah laku dalam mencapai tujuan yang juga baik. Meskipun pada dasarnya manusia itu selalu cenderung berbuat baik, tetapi kesadaran tidak datang dengan sendirinya. Kesusilaan harus diajarkan dengan contoh yang baik, sehingga dengan demikian dapatlah terbentuk
  • 54. 39 manusia susila lahir dan batin. Pokok pembicaraan tata tertib sekolah dan pendidikan moral ini adalah perbuatan manusia dengan tujuan yang hampir sama. Kalau tujuan tata tertib sekolah mengatur adalah mengatur tata – tertib masyarakat dan tingkah laku warga masyarakat dalam bermasyarakat dan bernegara sesuai dengan aturan – aturan hukum yang berlaku. Sedangkan pendidikan moral mempunyai tujuan mengatur tingkah laku manusia sebagai manusia. Lingkungan pendidikan moral lebih luas daripada lingkungan tata tertib sekolah. Tata tertib sekolah berisikan perintah – perintah dan larangan – larangan agar tingkah laku manusia tidak melanggar aturan – aturan tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan pendidikan moral memerintahkan manusia untuk berbuat apa yang berguna dan melarang segala yang tidak baik. Norma moral memberikan memberi kewajiban moral pada manusia agar kepentingan hukum dan kepentingan umum jangan dilanggar. Karakter atau watak warga negara yang bermoral salah satunya bisa dilakukan melalui jalur pendidikan di sekolah. Pendidikan moral bukan sesuatu entitas abstraksi ide semata namun nyata dalam kehidupan sehari – hari yang harus diajarkan pada manusia. Pendidikan moral merupakan suatu wadah bagi sekolah untuk mendidik, mengajar dan melatih siswa agar mempunyai sikap dan berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan nilai – nilai moral dan norma – norma yang ada di masyarakat. Tata tertib sekolah mengatur dan memberi petunjuk pedoman aturan atau hukum tingkah laku siswa terhadap moral yang baik. Tata tertib sekolah sebagai aturan hukum di
  • 55. 40 dalamnya terkandung makna implementasi pendidikan moral untuk siswa dalam bertingkah laku. D. Sarana Pendidikan Moral Pandangan Daryanto (2001:51) tentang sarana pendidikan moral adalah seperti alat langsung untuk mencapai tujuan pendidikan. Sarana pendidikan moral dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai alat pendidikan. Alat pendidikan adalah hal yang tidak saja memuat kondisi – kondisi yang memungkinkan terlaksananya pekerjaan mendidik, tetapi alat pendidikan itu telah mewujudkan diri sebagai perbuatan atau situasi mana, dicita – citakan dengan tegas, untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat pendidikan ialah suatu tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan. Suwarno (Daryanto, 2001:141) membedakan alat pendidikan dari bermacam – macam segi salah satunya adalah alat pendidikan preventif dan korektif. Alat pendidikan preventif diartikan sebagai jika maksudnya mencegah anak sebelum ia berbuat sesuatu yang tidak baik, misalnya contoh: pembiasaan perintah, pujian, ganjaran. Kedua adalah alat pendidikan korektif, jika maksudnya memperbaiki karena anak telah melanggar ketertiban atau berbuat sesuatu yang buruk, misalnya: celaan, ancaman, hukuman. Alat pendidikan yang preventif ialah alat – alat pendidikan yang bersifat pencegahan yaitu untuk mencegah masuknya pengaruh – pengaruh buruk dari luar ke dalam diri siswa. Kewajiban pendidik adalah mendidik
  • 56. 41 siswa menjadi anak yang baik dan mencegah/membentengi siswa dari masuknya pengaruh – pengaruh yang buruk ke dalam dirinya. Jenis alat – alat pendidikan preventif yang abstrak seperti tata tertib, anjuran, larangan, perintah, disiplin dan semisalnya. Hal – hal yang diperbaiki (korektif) adalah perbuatan – perbuatan jelek yang sudah menjadi kebiasaan diperbuat siswa, seperti suka berkelahi, suka bertengkar, suka mengambil barang milik orang lain, suka menghina, suka mengejek, suka mengganggu dan sebagainya. E. Kerangka Berpikir Perkembangan dan perubahan masyarakat yang berlangsung cepat dan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi; khususnya kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi, di satu sisi dapat berdampak positif namun di sisi lain menimbulkan pengaruh yang berdampak negatif, terutama nilai – nilai budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai – nilai luhur budaya bangsa. Gejala – gejala pengaruh negatif itu, kini telah tampak di kalangan generasi muda, terutama di kota – kota besar di Indonesia. Gejala – gejala negatif tersebut merupakan tantangan bagi sekolah untuk lebih memperhatikan siswanya dan lebih menggiatkan pelaksanaan pendidikan moral di lingkungan sekolah secara khusus. Selain melalui komponen kurikulum komponen formal seperti Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Agama juga lewat jalur
  • 57. 42 hidden curriculum. Namun harus dipahami salah satu usaha untuk melaksanakan pendidikan moral secara intensif dan komprehensif di sekolah adalah melalui hidden curriculum antara lain seperti penegakkan aturan moral melalui tata tertib sekolah. Menurut konsep pendidikan dewasa ini, bahwa pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan pendidikan untuk semua (education for all). Pelaksanaan pendidikan moral harus dimulai dari dalam lingkungan keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama di dalam kehidupan manusia. Sekolah memiliki peranan penting dalam pembentukan kepribadian, mentransmisi dan mentransformasi nilai – nilai moral; serta seleksi dan pra aloksi tenaga kerja. Baik dan buruknya moral siswa tergantung pada berhasil atau tidaknya pendidikan moral di sekolah dan penegakan tata tertib sekolah. Tata tertib sekolah memberikan bentuk nyata dari pendidikan moral yang harus diberikan pada siswa yang berisikan nilai – nilai moral. Moral siswa yang baik dapat diketahui dari indikator berupa taat dan patuh pada tata tertib sekolah yang dapat dilihat melalui pengamatan berupa aturan moral, sikap dan tingkah laku atau tingkah laku yang mencerminkan nilai – nilai moral yang sesuai dengan kehidupan masyarakat. Pelaksanaan tata tertib sekolah tersebut tentunya bergantung pada kemampuan sekolah dalam implementasi pendidikan moral yang banyak ditemui kendala – kendala sehingga dirasa belum optimal guna menekan tingkat pelanggaran tata tertib sekolah. Belum optimalnya pelaksanaan tata tertib sekolah tersebut dapat dilihat melalui profil pribadi siswa sehari – hari
  • 58. 43 baik di sekolah, keluarga maupun masyarakat sudah menunjukan tingkah laku yang mencerminkan pribadi – pribadi yang bermoral atau sebaliknya. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mendidik siswa agar memiliki keterampilan atau keahlian (skill) tertentu. Pemberian muatan moral terhadap tingkah laku siswa kadang hanya sebatas bersifat temporal tidak bersifat kontiunitas. Kontrol dari pihak sekolah yang lemah mengakibatkan siswa cenderung mengabaikan aturan moral atau tata tertib sekolah. Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mempunyai kecenderungan yang besar untuk berbuat penyimpangan. Indikasi ini diakibatkan oleh karakteristik siswa yang berbeda dan stimuli siswa untuk langsung mendapatkan pekerjaan (ready work) sehingga menimbulkan dampak tidak terlalu memedulikan aspek moralitas diri sendiri. Interaksi antar siswa dengan Guru dan lingkungan ikut mempengaruhi dan membentuk tingkah laku siswa. Apabila tingkah laku siswa tanpa kontrol dan penanganan secara tidak serius maka akan dapat menimbulkan tingkah laku yang menyimpang bahkan cenderung menuju tindakan kriminalitas. Tentu saja sebagai lanjutan tingkah laku siswa yang menyimpang akan dapat merugikan tidak hanya baik diri sendiri akan tetapi keluarga serta lingkungan masyarakat. Mengingat kompleksnya kehidupan manusia, maka dalam pelaksanaan pendidikan moral, perlu diciptakan dan ditemukan metode yang tepat sehingga bisa menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia. Untuk mempermudah dalam memahami penelitian ini maka disajikan gambar 3 sebagai berikut:
  • 59. 44 Sistem Pendidikan Nasional Tujuan Pendidikan Nasional Moral Siswa SMK NEGERI 5 SEMARANG Kurikulum Guru Siswa Fasilitas Pendidikan Tata Tertib Moral Sekolah Aturan Sikap Tingkah Laku Baik Buruk Keterangan: : Proses distribusi : Proses kontrol Gambar 3 Bagan Kerangka Berpikir
  • 60. 45 Keterangan: Pendidikan diartikan tidak hanya sebagai formal transfer of knowledge namun bagaimana membentuk pribadi – pribadi manusia yang memiliki nilai moralitas yang tinggi. Oleh karena itu Sistem Pendidikan Nasional yang tercantum pada tujuan pendidikan nasional menghendaki agar siswa tumbuh dan berkembang dari sisi akhlak, moralitas yang baik. Moral siswa yang baik atau buruk tercermin dari tingkah laku siswa baik di rumah, sekolah dan masyarakat. Tentunya sekolah terutama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang mempunyai tanggung jawab terhadap pembentukan moral siswa tersebut. Pada komponen sekolah yang berperan dalam mewujudkan cita – cita tersebut salah satunya melalui komponen pendidikan moral dan tata tertib sekolah. Guru mengontrol tingkah laku siswa melalui tata tertib sekolah. Tingkah laku siswa yang baik atau buruk akan mencerminkan dan menentukan pandangan masyarakat terhadap kadar moralitas siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
  • 61. BAB III METODE PENELITIAN A. Dasar Penelitian Suatu penelitian untuk mendapatkan hasil yang optimal harus menggunakan metode penelitian yang tepat. Ditinjau dari permasalahan penelitian ini yaitu tentang pelaksanaan dan kendala – kendala tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang maka penelitian ini bersifat non eksperimen yaitu penelitian kualitatif deskriptif. Karl dan Milles (Moleong, 2002:3), penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan kepada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang tersebut. Di samping itu penelitian deskriptif yaitu merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterprestasikan objek sesuai dengan apa adanya. Dengan metode deskriptif, peneliti memungkinkan untuk melakukan hubungan antara variabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang memiliki validitas universal. Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan kualitatif deskriptif yaitu mengamati, mencatat, dan mendokumentasi 46
  • 62. 47 pelaksanaan dan kendala – kendala tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang. Peneliti berinteraksi dengan lingkungan sekolah dan berusaha memahaminya. Dimana dalam penelitian tersebut memiliki ciri – ciri sebagai berikut: 1. Sumber data langsung berupa tata situasi alami dan peneliti adalah instrumen kunci. 2. Bersifat deskriptif dimana data yang dikumpulkan umumnya berbentuk kata – kata, gambar – gambar dan bukan angka – angka, kalaupun ada angka – angka sifatnya hanya sebagai penunjang. 3. Lebih menekankan pada makna proses ketimbang hasil. 4. Analisis data bersifat induktif. 5. Makna merupakan perhatian utama dalam pendekatan penelitian (Sudarwan, 2002:6). B. Fokus Penelitian Di dalam penelitian kualitatif deskriptif menghendaki ditetapkannya batas atas dasar fokus penelitian. Dalam pemikiran fokus terliput di dalamnya perumusan latar belakang, studi permasalahan, fokus juga berarti penentuan keluasan (scope) permasalahan dan batas penelitian. Penentuan fokus memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Menentukan keterikatan studi, ketentuan lokasi studi. 2. Menentukan kriteria inklusi dan eksklusi bagi informasi baru. Fokus membantu bagi penelitian kualitatif deskriptif membuat keputusan untuk membuang atau menyimpan informasi yang diperolehnya (Rachman, 1999:121). Fokus penelitian merupakan pokok persoalan apa yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian. Fokus dalam penelitian ini adalah tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan
  • 63. 48 (SMK) Negeri 5 Semarang. Sebagai indikator dari fokus tersebut di atas adalah: 1. Tingkah laku siswa dalam implementasi tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang. 2. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang. 3. Kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang. C. Sumber Data Penelitian Data adalah bentuk jamak dari datum. Data merupakan keterangan – keterangan tentang suatu hal, dapat berupa sesuatu yang diketahui atau yang dianggap. Atau suatu fakta yang digambarkan lewat angka, simbol, kode dan lain – lain. Data perlu dikelompok – kelompokkan terlebih dahulu sebelum dipakai dalam proses analisis. Pengelompokkan data disesuaikan dengan karakteristik yang menyertainya (Hasan, 2002:82). Sumber data penelitian adalah subjek di mana data dapat diperoleh (Arikunto, 2002:107). Berdasarkan sumber pengambilannya, data dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut: 1. Data Primer
  • 64. 49 Data primer adalah data yang dikumpulkan atau diperoleh langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan. Sumber data primer yaitu kata – kata atau tindakan orang yang diamati atau diwawancarai (Arikunto, 2002:122). Data primer ini disebut juga data asli atau data baru. Sumber data primer diperoleh peneliti melalui wawancara dengan responden. Responden orang yang diminta keterangan tentang suatu fakta atau pendapat, keterangan dapat disampaikan dalam bentuk tulisan, yaitu ketika mengisi angket, atau lisan ketika menjawab wawancara (Arikunto, 2002:122). Responden dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Guru bidang Bimbingan Konseling (BK) dan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang atau yang terkait dengan pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral. Data yang diperoleh peneliti melalui responden, termasuk dalam kategori data sekunder. Sebagaimana data yang diperoleh melalui informan di atas sehingga data sifatnya juga masih asli dan baru. 2. Data sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber – sumber yang telah ada. Data ini biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari
  • 65. 50 laporan – laporan penelitian terdahulu. Data sekunder disebut juga data tersedia (Hasan, 2002:82). Dokumen adalah setiap bahan yang tertulis maupun film (Moleong, 2002:113). Dokumen dalam penelitian ini berupa tata tertib siswa, buku – buku, dan literatur lain yang ada hubungan dengan masalah yang akan diteliti. Tujuannya adalah data didapatkan berupa data tambahan yang merupakan data sekunder. D. Alat dan Teknik Pengumpulan Data 1. Alat Pegumpulan Data Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara (interviu) dan dokumentasi. a. Observasi Dalam penelitian ini, observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistemik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan yang dilakukan terhadap objek ditempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa, sehingga peneliti berada bersama objek yang diselidiki, disebut observasi langsung. Sedangkan observasi tidak langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya peristiwa tersebut diamati melalui film, rangkaian slide atau rangkaian foto (Rachman, 1999:77). Berkaitan dengan jenis observasi yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
  • 66. 51 observasi secara langsung dan tidak langsung yaitu di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang. b. Wawancara (Interviu) Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu wawancara yang mengajak pertanyaan – pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2002:135). Wawancara merupakan data informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula (Rachman, 1999, 83). Penelitian ini menggunakan alat pengumpul data berupa pedoman atau instrumen wawancara yaitu berbentuk pertanyaan yang diajukan kepada subjek penelitian. Sedangkan wawancara yang diterapkan adalah wawancara berstruktur. Wawancara berstruktur, yaitu pedoman wawancara yang disusun secara terperinci sehingga menyerupai check – list (Arikunto, 2002:20). Selain itu wawancara dilakukan melalui wawancara tak berstruktur yaitu wawancara dilakukan secara informal, dimana pertanyaan tentang pandangan sikap, keyakinan subjek atau tentang keterangan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang yang diajukan secara bebas kepada subjek penelitian.
  • 67. 52 Di samping itu wawancara ini dapat dikembangkan apabila diperlukan untuk melengkapi data – data yang masih kurang. Kelebihan tersebut wawancara tak berstruktur antara lain: 1). Memungkinkan peneliti untuk mendapatkan keterangan dengan lebih cepat. 2). Ada keyakinan bahwa penafsiran responden terhadap pertanyaan yang diajukan adalah tepat. 3). Sifatnya lebih luas. 4). Pembatasan – pembatasan dapat dilakukan secara langsung, apabila jawaban yang diberikan melewati batas ruang lingkup masalah yang diteliti. 5). Kebenaran jawaban dapat diperiksa secara langsung. (Soekanto, 1984:25) Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa wawancara adalah untuk mendapatkan gambaran yang sejelas – jelasnya dan informasi yang selengkap – lengkapnya. Melalui wawancara ini diharapkan peneliti mendapatkan gambaran mengenai pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang. c. Dokumentasi Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal – hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, surat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2002:206). 2. Teknik Pengumpulan Data Guna mendapatkan informasi yang diharapkan penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan melalui:
  • 68. 53 a. Teknik Observasi Berkaitan dengan teknik observasi (Kartono, 1996:57) mengemukakan, observasi adalah studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala – gejala alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan. Ditambahkan bahwa observasi ialah pengujian secara internasional atau bertujuan suatu hal, khususnya untuk maksud mengumpulkan data. Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi yang menerapkan observasi sistematis, yang dilakukan oleh pengamat dengan menggunakan pedoman sebagai intrumen pengamatan. b. Teknik Komunikasi Teknik komunikasi adalah cara mengumpulkan data melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data dengan sumber data (Rachman, 1999:82). Dalam pelaksanaannya peneliti menggunakan teknik komunikasi langsung yaitu teknik pengumpulan data dengan mempergunakan wawancara atau interviu sebagai alatnya. c. Teknik Dokumentasi Berkaitan teknik dokumentasi (Hasan, 2002:88) mengemukakan bahwa teknik dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada subjek penelitian, namun melalui dokumen, dimana dokumen yang