Tulisan ini membahas definisi dan cakupan istilah Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) sebagai paham keislaman yang inklusif dan toleran menurut pandangan para ulama. Tulisan menjelaskan bahwa pengertian Aswaja tidak jelas karena tidak disebutkan secara tegas dalam al-Quran dan Hadis, sehingga para ulama memberikan definisi yang berbeda-beda. Tulisan ini juga menjelaskan etimologi istilah Aswaja dan perbed
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Ahlu Sunah Waljama'ah (Aswaja)
1. AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH;
Sebagai Paham Keislaman Yang Inklusif dan Toleran
Oleh: Khoirul Anwar
“Innal mubadira ila takfiri man yukhalifu al-asy’ari au ghairahu jahilun mujazifun”
[Abu Hamid Al-Ghazali]1
“Biar bagaimanapun juga, tidak akan ada kesepakatan cara (wasa’il, metode) di kalangan
kaum muslimin, dan tetap akan ada perbedaan pendapat (ikhtilaf al-ara`) di antara mereka
sebagai akibat sebagaimana diperkuat oleh kaidah ikhtilaf al-ummah rahmah.”
[KH. Abdurrahman Wahid]2
Pendahuluan
Mayoritas umat Islam dengan beragam pemahaman, keyakinan dan ritual
keislamannya berharap dan mengklaim dirinya sebagai ahlissunnah wal jama’ah (aswaja).
Klaim sebagai sunni (sebutan bagi pengikut aswaja) ini adalah bagian dari ekspresi
pemahamannya yang meyakini bahwa umat Islam telah terpecah belah menjadi beberapa
aliran, namun di antara mereka yang selamat dan akan masuk sorga hanya satu, yaitu aliran
yang bernama ahlissunnah wal jama’ah. Sehingga orang yang merasa dirinya sebagai sunni
beranggapan bahwa dirinya telah menemukan kebenaran agama, sedangkan orang lain keliru,
sehingga ia berhak memberikan label “sesat” atau “kafir” kepada orang yang memiliki
pemahaman keislaman yang berbeda dengannya. Mengklaim dirinya sebagai orang yang
paling benar dan yang lain sesat menurut al-Quran adalah sebuah kesalahan, karena secara
tegas Allah berfirman bahwa yang akan menentukan kebenaran manusia dalam beragama
adalah Allah sendiri, bukan makhluknya, dan akan diputuskan kelak di akhirat, bukan di
dunia (QS. Al-Hajj 17). Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Faishal al-Tafriqah baina al-Islam
wa al-Zandaqah, menyatakan bahwa setiap pemahaman atau madzhab keislaman dengan
semua perbedaannya memiliki kemungkinan benar, karena kebenaran ada di dalam setiap
pendapat (al-haqq yadur fi kulli madzhab).3 Oleh karena itu menurut al-Ghazali, seseorang
tidak boleh menyesatkan orang lain walaupun berlainan akidah.4
Sementara di sisi lain pengertian dan cakupan aswaja sendiri tidak jelas, para ulama
mendefinisikannya dengan berbeda-beda. Hal ini lantaran istilah ahlissunnah wal jama’ah
berikut definisinya tidak pernah disampaikan oleh Allah dan rasul-Nya secara jelas baik
dalam al-Quran maupun Hadis.
Oleh karena itu mengkaji apa yang dimaksud dengan ahlussunnah wal jama’ah dan
siapa saja yang dapat disebut dengannya adalah hal yang urgen. Hal ini lantaran term
“ahlissunnah wal jama’ah” menjadi salah satu faktor yang menjadikan sebagian orang yang
merasa dirinya sebagai sunni dengan mudahnya mengklaim sebagai pemilik kebenaran,
sedangkan orang lain salah dan sesat. Tulisan sederhana ini akan mendedahkan istilah
tersebut dalam pandangan ulama muslim, asal usulnya, dan diakhiri dengan penjelasan
aswaja sebagai paham keislaman yang inklusif dan toleran.
Keberagaman Definisi Aswaja; Dari Etimologi Hingga Terminologi
1 Abu Hamid al-Ghazali, Faishal al-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah, t.p. cet. I, 1993, hal. 74.
2 Abdurrahman Wahid, Pengembangan Ahlussunnah wal Jama’ah di Lingkungan Nahdlatul Ulama, dalam kata
pengantar buku karya Sa’id Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, Jakarta: Pustaka
Cendekiamuda, cet. I, 2008, hal. vii.
3 Baca Abu Hamid al-Ghazali, Faishal al-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah, hal. 19-23.
4 Abu Hamid al-Ghazali, Faishal al-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah, hal. 53.
1
2. Ahlussunnah wal jama’ah atau biasa disingkat “aswaja” adalah istilah yang terdiri
dari tiga kata; ahlu, sunnah, dan al-jama’ah.
1B Ahlu
Kata ini memiliki beberapa makna, antara lain keluarga, pengikut, dan yang lainnya.
Sedangkan makna terminologinya adalah pemeluk aliran atau pengikut madzhab.5
2B Sunnah
Kata sunnah dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna, antara lain tindak laku
yang baik maupun buruk (al-sirah hasanah kanat au qabihah).6 Arti lainnya adalah
penjelasan (al-bayan) sebagaimana dalam QS. al-Ahzab 62, tradisi yang berlaku dan hidup di
tengah-tengah masyarakat (al-‘adah al-tsabitah al-mustaqirrah) sebagaimana digunakan
dalam QS. al-Isra` 77, mengkilapkan dan menghiasi (al-shaql wa al-tazyin), menguatkan (al-
taqwiyyah),7 wajah (al-wajh), kening (al-jabhah), kurma di madinah (tamr bi al-madinah),
dan yang lainnya.8 Namun yang paling masyhur dikalangan ahli bahasa adalah jalan atau
tindak laku (al-thariqah wa al-sirah). Ibn al-Atsir (w. 606 H.) dalam bukunya, al-nihayah fi
gharib al-hadits wa al-Atsar, menyatakan, bahwa dalam hadis nabi Muhammad Saw. kata
sunnah banyak disebut, arti asal kata ini adalah jalan atau tindak laku.9
Sedangkan pengertian sunnah secara terminologi para ulama mendefinisikannya
bermacam-macam sesuai dengan bidang kajiannya masing-masing. Ulama hadis
(muhadditsin) dan pakar teori hukum Islam (ushuliyyin) mendefinisikannya dengan
“perkataan, perbuatan nabi Muhammad Saw. dan pengakuannya terhadap pernyataan dan
tindakan sahabatnya.”10 Kendati muhadditsin memberikan definisi sebagaimana yang
diajukan ushuliyyin, namun keberadaan sunnah di tangan keduanya diperlakukan secara
berbeda. Di tangan ahli hadis, kajian sunnah lebih ditekankan pada pembahasan isi (matan)
dan mata rantainya (sanad), sedangkan di tangan ahli ushul fikih pembahasan sunnah lebih
diprioritaskan pada kajian hukum yang dikandungnya, berisi perintah (amr), larangan (nahy),
dan yang lainnya. Ahli fikih (fuqaha) mendefinisikan sunnah dengan perbuatan yang
dilakukan mendapatkan pahala dan ditinggalkan tidak mendapatkan siksa. Sedangkan
menurut pakar Akidah, sunnah adalah jalan yang ditempuh oleh nabi Saw. dan sahabatnya,
baik kaitanya dengan ilmu, amal, keyakinan, etika, maupun budi pekerti. Singkatnya, bagi
ulama ahli akidah, sunnah adalah syari’at Islam itu sendiri.11
Sebagian ulama berpendapat bahwa sunnah sinonim dengan hadis. Sedangkan
menurut pendapat lain, keduanya adalah dua istilah yang berbeda. Hal ini seperti yang
tercermin dalam pernyataan Abdurrahman Ibn Mahdi, ia mengatakan:
،الناس على وجوه: فمنهم من هو إمام في السنة إمام في الحديث، ومنهم من هو إمام في الحديث
.فأما من هو إمام في السنة وإمام في الحديث فسفيان الثوري
5 Al-Fairu al-Zabadi, al-Qamus al-Muhith, Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1987, hal. 1245.
6 Ibn Mandzur al-Anshari, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, cet. III, 1414, vol. XIII, hal. 225.
7 Muhammad Yusri, ‘Ilm al-Tauhid ‘Inda Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, tp. cet. I, 2004, hal. 15.
8 Lihat Abi al-Fadlal, al-Kawakib al-Lama’ah fi Tahqiq al-Musamma bi Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah,
Surabaya: Maktabah wa Mathba’ah al-Hidayah, tt. hal. 43-44.
9 Ibn al-Atsir, al-nihâyah fî gharîb al-hadits wa al-Atsar, Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1979, vol. II, hal.
409.
10 Muhammad bin Khalifah, al-Nukhbah al-Nabhaniyyah Syarh al-Mandzumah al-Baiquniyyah, Mesir:
Mathba’ah Mushthafa al-Babi al-Halbi, cet. I, 1938, hal. 6-7. Tajuddin al-Subki, Jam’ al-Jawami’, dalam
Hasyiyah al-‘Allamah al-Bannani, Beirut-Libanon: Dar Ibn ‘Ashashah, 2007, vol. II, hal. 95-96.
11 Muhammad Yusri, ‘Ilm al-Tauhid ‘Inda Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, vol. I, hal. 15.
2
3. “Manusia itu beragam, di antara mereka ada yang menjadi pemimpin dalam sunnah sekaligus
dalam hadis, sebagian ada yang hanya menjadi pemimpin dalam hadis. Orang yang menjadi
pemimpin dalam sunnah sekaligus hadis adalah Sufyan al-Tsauri.”12
Demikian pula dengan perkataan Ibn al-Shalah (w. 643 H.), pakar fikih madzhab
Syafi’i, ketika ditanya tentang perbedaan antara sunnah dan hadis, ia menjawab:
السنة ها هنا ضد البدعة وقد يكون النسان من أهل الحديث وهو مبتدع ومالك رضي ا عنه جمع
بين السنتين فكان عالما بالسنة أي الحديث ومعتقدا للسنة أي كان مذهبه مذهب أهل الحق من غير
.بدعة
“Sunnah dalam persoalan ini adalah kebalikan bid’ah. Seseorang terkadang membidangi
hadis namun berbuat bid’ah. Sedangkan Imam Malik membidangi keduanya, ia mengerti
tentang hadis dan beri’tikad mengikuti madzhab yang benar, bukan madzhab ahli bid’ah.”13
Dengan demikian menurut Ibn al-Shalah dan yang sependapat dengannya, sunnah
berbeda dengan hadis. Sunnah adalah praktik keislaman nabi Saw. dan sahabatnya, sehingga
kebalikannya adalah bid’ah. Sedangkan hadis adalah ungkapan dan perkataan nabi
Muhammad Saw. serta pengakuan nabi Muhammad Saw. terhadap ungkapan dan tindakan
sahabat yang berkaitan dengan persoalan hukum.
3B Al-Jama’ah
Al-jama’ah adalah isim mashdar dari kata ijtama’a, yajtami’u, ijtima’an, wa jama’ah.
Artinya adalah perkumpulan. Oleh karena itu kata ini diungkapkan untuk menyebut kaum
yang berkumpul untuk berpindah (al-qaum al-mujtami’in bi al-naql).14
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan istilah jama’ah secara
terminologi. Menurut al-Thabari ada empat pendapat: 1) Kelompok besar dari penganut
agama Islam (al-sawad al-a’dzam min ahl al-Islam), 2) Mujtahid yang menempuh jalan
kelompok yang selamat (a`immah al-‘ulama al-mujtahidin al-mutabbi’in li manhaj al-furqah
al-najiyah), 3) Sahabat secara khusus, dan 4) orang-orang yang menyepakati pemimpin
syar’i.15 Sedangkan menurut al-Syathibi ada lima pendapat, yaitu empat pendapat di atas dan
pendapat yang mendefinisikan al-jama’ah dengan “mayoritas umat Islam (jama’ah ahl al-
Islam)”.16
Sebagian ulama lainnya mendefinisikan al-jama’ah dengan sahabat nabi Muhammad
Saw., ahli ilmu dan hadis, ijma’, dan kelompok besar. Keberagaman definisi al-jama’ah ini
sebenarnya memiliki inti yang sama, yaitu berkumpul untuk mengikuti apa yang telah
ditempuh oleh rasulullah Saw. dan sahabatnya. Jumlah perkumpulan atau kesepakatan ini
tidak harus berjumlah banyak, melainkan dengan jumlah sedikit, bahkan hanya satu orang
pun selama benar-benar mengikuti nabi Saw. dan sahabatnya maka disebut dengan al-
jama’ah. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ibn Mas’ud saat ditanya oleh ‘Amr bin
Maimun. ‘Amr bertanya kepada Ibn Mas’ud:
وكيف لنا بالجماعة؟
“Bagaimana aku berjama’ah?”
Ibn Mas’ud menjawab:
12 Abu al-Qasim al-Lalika`i, Syarh Ushul I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Arab Saudi: Dar Thayyibah,
cet. VIII, 2003, vol. I, hal. 70.
13 Ibn al-Shalah, Fatawa Ibn al-Shalah, Beirut: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, cet. I, 1407, hal. 213.
14 Ibn Mandzur al-Anshari, Lisan al-‘Arab, vol. II, hal. 355-361.
15 Baca Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379, vol. XIII,
hal. 37.
16 Al-Syathibi, al-I’tisham, Arab Saudi: Dar Ibn ‘Affan, cet. I, 1992, hal. 770-771.
3
4. يا عمرو بن ميمون، إن جمهور الجماعة هي التي تفارق الجماعة، إنما الجماعة ما وافق طاعة ا
.وإن كنت وحدك
“Wahai ‘Amr bin Maimun, sesungguhnya perkumpulan dengan jumlah orang banyak juga
dapat dinamakan dengan memisah dari jama’ah, berkumpul (berjama’ah) adalah menunaikan
sesuatu yang sesuai dengan taat kepada Allah walaupun engkau hanya seorang.”17
Itu semua merupakan definisi penggalan kata yang bila disatukan menjadi “ahlu-
sunnah-wal jama’ah.” Sedangkan definisi ahlussunnah wal jama’ah (gabungan tiga kata di
atas) para ulama berbeda pendapat. Ibn Hazm (w. 456 H.) dalam kitabnya, al-Fashl fi al-Milal
wa al-Ahwa` wa al-Nihal, mendefinisikan ahlussunnah dengan “sahabat, tabi’in yang
mengikuti metode sahabat, ahli hadis, fuqaha yang mengikuti ahli hadis dari masa ke masa,
dan orang awam yang mengikuti mereka.”18
Ibn Katsir mendefinisikannya dengan:
المتمسكون بكتاب ا وسنة رسول ا صلى ا عليه وسلم، وبما كان عليه الصدر الول من
.الصحابة والتابعين وأئمة المسلمين في قديم الدهر وحديثه
“Orang-orang yang berpegang teguh pada al-Quran, hadis, pegangan generasi pertama, para
sahabat, tabi’in, dan pemuka umat Islam, baik pada masa lalu maupun sekarang.”19
Sufyan bin ‘Uyainah mendefinisikan ahlus sunnah wal jama’ah dengan “orang-orang
yang menyepakati kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin Khathab, khalifah setelahnya, serta
menerima kebijakan pemimpinnya, baik kebijakan yang baik maupun tidak”.
Ketika Sufyan bin ‘Uyainah ditanya oleh masyarakatnya tentang pengertian al-
Sunnah wal jama’ah yang disampaikan orang-orang saat itu. Sufyan menjawab:
الجماعة ما اجتمع عليه أصحاب محمد صلى ا عليه وسلم من بيعة أبي بكر وعمر. والسنة الصبر
.على الولة وإن جاروا وإن ظلموا
“Al-jama’ah adalah kesepakatan sahabat nabi Muhammad Saw. atas dibai’atnya Abu Bakar
dan ‘Umar. Sedangkan makna al-sunnah adalah sabar terhadap para pemimpin sekalipun
berbuat buruk dan dzalim.”20
Ibn Taimiyah (w. 728 H.) dalam bukunya, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqdli
Kalam al-Syi’ah al-Qadariyah, menyatakan:
فلفظ أهل السنة يراد به من أثبت خلفة الخلفاء الثلثة، فيدخل في ذلك جميع
الطوائف إل الرافضة، وقد يراد به أهل الحديث والسنة المحضة، فل يدخل فيه إل من
يثبت الصفات لله تعالى ويقول: إن القرآن غير مخلوق، وإن ا يرى في الخرة، ويثبت
.القدر، وغير ذلك من الصول المعروفة عند أهل الحديث والسنة
“Yang dikehendaki dengan ahlissunnah adalah orang yang menetapkan (baca; mengakui)
kepemimpinan tiga khalifah (Abu Bakar, Umar, dan Utsman). Dengan demikian semua aliran
kecuali aliran rafidlah yang mengakui kepemimpinan tiga khalifah tersebut dinamakan
17 Abu al-Qasim al-Lalika`i, Syarh Ushul I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Arab Saudi: Dar Thayyibah,
cet. VIII, 2003, vol. I, hal. 121.
18 Ibn Hazm, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa` wa al-Nihal, Kairo: Maktabah al-Khanji, vol. II, hal. 90.
19 Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Adzim, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. I, 1419, vol. VI, hal. 285.
20 Muhammad Yusri, ‘Ilm al-Tauhid ‘Inda Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, hal. 23
4
5. dengan ahlissunnah. Namun terkadang juga yang dikehendaki dengan istilah ahlissunnah
adalah ahli hadis dan sunnah murni, sehingga aliran yang dapat dikatagorikan sebagai
ahlissunnah hanya tertentu pada aliran yang menetapkan sifat bagi Allah, mengatakan al-
Quran bukan makhluk, di akhirat Allah dapat dilihat, menetapkan qadar, dan yang lainnya,
yakni dasar-dasar akidah yang sudah diketahui menurut Ahli hadis dan sunnah.21
Muhammad Shadiq Hasan Khan memberikan definisi aswaja dengan:
أهل السنة والجماعة هم المحدثون المتبعون الموحدون المقتدون بكتاب ا العزيز وسنة رسوله
.المطهرة
“Ahlussunnah wal jama’ah adalah ahli hadis yang berpegang teguh pada al-Quran dan hadis
rasul yang suci.”
Nashir al-‘Aql mendefinisikannya dengan:
.الذين اجتمعوا على السنة وأجمعوا عليها، واجتمعوا على الحق وعلى أئمتهم
“Orang-orang yang berkumpul mengikuti sunnah dan menyepakatinya, serta mengikuti
kebenaran dan pemimpin umat Islam”.22
Al-Buraikan dalam bukunya, al-Madkhal li ‘Aqidah Ahl al-Sunnah,
mendefinisikannya dengan:
المتبعون للعقيدة السلمية الصحيحة، الملتزمون منهج الرسول صلى ا عليه وسلم وأصحابه
.والتابعين وتابعيهم بإحسان إلى يوم الدين
“Para pengikut akidah Islam yang benar, yakni orang-orang yang berpegang teguh pada jalan
(manhaj) yang ditempuh oleh rasulullah Saw. para sahabat, tabi’in, pengikut tabi’in hingga
hari kiamat.23
Mahmud Syukri al-Alusi menyatakan bahwa ahlussunnah adalah pengikut keluarga
rasulullah Saw., yakni orang-orang yang mengikuti thariqah keluarga rasul, dan memenuhi
seruannya. Para pemuka madzhab seperti Abu Hanifah, Malik, dan yang lainnya adalah para
pemimpin ahlussunnah wal jama’ah karena mereka mengambil ilmu dari para leluhurnya
yang mengikuti petunjuk rasul Saw. dan keluarganya.24
Latar Historis Istilah Aswaja
Dalam al-Quran maupun hadis istilah “ahlussunnah wal jama’ah” tidak ada. Al-Quran
dan hadis hanya menyebut kata sunnah. Dalam hadis disebutkan:
.عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين بعدي
“Ikutilah sunnahku dan sunnah khulafa` al-rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku.”25
21 Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqdli Kalam al-Syi’ah al-Qadariyah, Saudi: Universitas
Imam Muhammad bin Su’ud, cet. I, 1986, vol. II, hal. 221.
22 Nashir al-‘Aql, Mafhum Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘inda Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, hal. 75-77.
23 Al-Buraikan, al-Madkhal li ‘Aqidah Ahl al-Sunnah, hal. 13.
24 Nashir bin ‘Ali, ‘Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah fi al-Shahabah al-Kiram, Riyadl: Maktabah al-
Rusyd, cet. I, 1993, vol. I, hal. 30.
25 Menurut Abu Umar Yusuf (w. 463 H.) hadis ini shahih, lihat Abu Umar Yusuf, Jami’ Bayan al-‘Ilm wa
Fadlluh, Arab Saudi: Dar Ibn al-Jauzi, cet. I, 1994, vol. II, hal. 923. Al-Thahawi, Syarh Musykil al-Atsar,
Mu’assasah al-Risalah, cet. I, 1415, vol. III, hal. 223. Al-Marwazi, al-Sunnah, Beirut: Mu’assasah al-Kutub al-
Tsaqafiyah, cet. I, 1408, hal. 27.
5
6. Melalui hadis ini para ulama memahami bahwa umat Islam harus mengikuti ajaran
yang dipraktikkan oleh nabi Muhammad Saw. dan sahabatnya. Hal ini sesuai dengan QS. al-
Ahzab 21 yang menyatakan bahwa pada prilaku nabi Muhammad Saw. terdapat teladan yang
baik (laqad kana lakum fi rasulillahi uswatun hasanah).
Dikemudian hari tepatnya pada abad ke IV H. istilah ahlussunnah wal jama’ah mulai
disebutkan dengan makna yang berkaitan dengan persoalan akidah, yakni dijadikan sebagai
nama kelompok umat Islam yang mengikuti pendapat Abu al-Hasan al-Asy’ari. Orang-orang
yang masyhur sebagai sunni ini antara lain; Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, al-Syafi’i,
Abu Hanifah, al-Laits bin Sa’d, al-Auza’i, Hammad Ibn Zaid, Hammad bin Salamah, Nu’aim
bin Hammad, dan Ishaq bin Rahawaih.26
Al-Zabidi dalam kitabnya yang berisi komentar (syarh) atas kitab ihya’ ‘ulum al-din
karya al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Sa’id Aqil Siraj menyatakan:
.إذا أطلق أهل السنة فالمراد به الشاعرة والماتردية
“Apabila ahlussunnah disebutkan maka yang dimaksud adalah orang-orang yang mengikuti
pendapat al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi.”27
Istilah ahlissunnah wal jama’ah bukan istilah yang dibuat dan digunakan oleh al-
Syari’ (Allah dan rasul-Nya) baik dalam al-Quran maupun hadis, juga bukan istilah yang
sejak dulu sudah ada (lughawi), melainkan istilah baru (‘urfi) yang dimunculkan sebagian
umat Islam yang merasa dirinya masih setia dengan ajaran rasulullah Saw. dan sahabatnya di
tengah paham keislaman yang saat itu sangat beragam yang sebagian disebabkan oleh faktor
kekuasaan (baca; politik) yang dimulai sudah lama, yakni sejak terjadinya perang Shiffin
yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan.
Oleh karena itu dalam rentang sejarah istilah ahlussunnah wal jama’ah seringkali
disandingkan dengan nama-nama partai politik masa lalu, seperti Syi’ah, Khawarij, dan yang
lainnya. Pemahaman ini berdasarkan pada perkataan yang diklaim sebagai hadis nabi
Muhammad Saw. yang menceritakan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan,
semuanya akan masuk neraka kecuali satu yang selamat, yaitu ahlussunnah wal jama’ah.
Menurut al-Bazzar (w. 292 H.) hadis ini diceritakan oleh Nu’aim bin Hammad yang
riwayatnya tidak boleh diikuti.28 Perkataan tersebut sesungguhnya bukan hadis, melainkan
perkataan sebagian umat Islam yang memiliki kepentingan politik untuk bersaing dengan
partai-partai politik saat itu, seperti syi’ah, khawarij, dan yang lainnya.
Berkaitan dengan hadis palsu ini al-Ghazali menyampaikan hadis serupa namun
dengan makna terbalik, yakni semua kelompok umat Islam akan selamat atau masuk sorga
kecuali satu yang masuk neraka, yaitu orang-orang zindiq. Hadis versi al-Ghazali berbunyi:
.ستفترق أمتي بضعا وسبعين فرقة كلهم في الجنة إل الزنادقة
“Umatku akan terpecah belah menjadi 70 golongan lebih, semuanya akan masuk sorga
kecuali orang-orang zindiq.”
Dengan demikian dapat diketahui bahwa istilah ahlissunnah wal jama’ah yang
memiliki akar pada hadis nabi Muhammad Saw. yang memerintahkan umatnya untuk
mengikuti sunnahnya (‘alaikum bi sunnati) oleh sebagian umat Islam masa lalu yang
memiliki kepentingan politik “dimanfaatkan” sebagai propaganda untuk menggait hati
masyarakat supaya ikut serta mendukung kebijakan penguasa saat itu. Faktor inilah yang
dikemudian hari bahkan sampai sekarang sebagian umat Islam banyak yang memahami
26 Nashir bin ‘Ali, ‘Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah fi al-Shahabah al-Kiram, vol. I, hal. 31.
27 Sa’id Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, hal. 7.
28 Al-Bazzar, Musnad al-Bazzar, Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, cet. I, 2009, vol. VII, hal. 186.
6
7. aswaja sebagai lawan dari Syi’ah, dan kelompok-kelompok lain. Sehingga menurut mereka
orang Syi’ah dan yang lainnya walaupun dalam beragama mengikuti praktik yang dilakukan
nabi Saw. dan sahabatnya (sunnah al-rasul wa ashhabih) tidak dapat dikategorikan sebagai
ahlissunnah wal jama’ah.
Definisi Aswaja Versi NU
Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU), dalam kitabnya, Risalah
Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah, menceritakan bahwa umat Islam di Jawa pada masa lalu
memiliki kesatuan dalam meyakini dan menjalankan praktik keagamaannya, seragam dalam
bermadzhab dan mengambil referensi keagamaan (al-ma’khadz). Dalam hukum Islam (fikih)
umat Islam di Jawa mengikuti pendapat Muhammad bin Idris al-Syafi’i (madzhab Syafi’i),
dalam persoalan akidah (ushul al-din) mengikuti madzhab Abi al-Hasan al-Asy’ari, dalam
tasawwuf mengikuti pendapat al-Ghazali dan Abi al-Hasan al-Syadzili.
Namun kemudian pada tahun 1330 H. muncul beragam aliran keagamaan yang
beragam, sebagian ada yang masih tetap mengikuti pendapat ulama salaf dengan mengikuti
madzhab-madzhab di atas dan berpegang teguh pada kitab-kitab mu’tabarah, 29 mencintai
keluarga nabi Muhammad Saw. (ahlul bait), para wali, orang-orang shalih, dan mengharap
berkah darinya (tabarrukan), baik di saat orang-orang shalih itu masih hidup maupun sudah
wafat, ziarah kubur, talqin mayyit, memberikan sedekah kepada masyarakat sembari berharap
pahala sedekahnya kembali kepada mayyit, meyakini syafa’at, meyakini manfaat do’a,
tawassul, dan yang lainnya. Sebagian umat Islam lainnya ada yang mengikuti pendapat
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla serta mengakomodir pendapat Muhammad bin Abdul
Wahab (pendiri aliran wahabi), Ibnu Taimiyyah, Ibnu al-Qayyim, dan Ibnu Abdil Hadi, yakni
ulama-ulama yang mengharamkan ritual yang dijalankan umat Islam dan telah disepakati
sebagai ritual sunnah seperti bepergian untuk ziarah ke makam rasulullah Saw. dan ritual-
ritual lainnya sebagaimana yang telah disebutkan.30
Kondisi sosial keagamaan masyarakat muslim Jawa pra berdirinya NU ini merupakan
dasar yang mendorong Hasyim Asy’ari bersama kyai-kyai Jawa lainnya memberikan definisi
aswaja dengan kelompok umat Islam yang dalam berfikih mengikuti salah satu dari madzhab
empat, yaitu Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali, dalam bidang akidah mengikuti pendapat
Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, dan dalam bidang tasawuf mengikuti
pendapat Abu Hamid al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi.
Di kemudian hari setelah para kyai membentuk organisasi sosial kemasyarakatan dan
keagamaan yang diberi nama “Nahdlatul Ulama” aswaja dengan definisi di atas dijadikan
sebagai “sikap keberagamaannya”. Kendati ulama-ulama NU dalam beragama mengikuti
kepada imam-imam tersebut (taqlid), namun taqlid mereka tidak membebek buta. Dalam
beberapa persoalan ulama-ulama NU menetapkan hukum yang berbeda dengan yang
diwacanakan oleh fuqaha empat yang telah ditetapkan sebagai imam-imam yang harus
diikutinya. Sebagai sampel misalnya, penerimaan ulama NU terhadap Pancasila, padahal
dalam fikih madzahib al-arba’ah sistem pemerintahan bagi umat Islam adalah khilafah.
Dalam kaitannya dengan hubungan muslim dengan umat agama lain dalam fikih madzahib
al-arba’ah umat Islam dilarang berbuat baik dengan penganut agama lain, non muslim dalam
kitab kuning selalu dilabeli dengan “harbi (non muslim yang memusuhi umat Islam dan
wajib diperangi)” dan “dzimmiy (non muslim yang tunduk terhadap umat Islam dan
29 Kitab mu’tabarah menurut Hasyim Asya’ari adalah kitab-kitab karya al-Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hanbali dan
ulama-ulama yang mengikutinya dalam bidang fikih, karya Abu al-Hasan al-Asy’ari, Abu Manshur al-Maturidi
dan yang mengikutinya dalam bidang akidah, karya al-Ghazali, Abu Manshur al-Maturidi dan yang ulama yang
mengikutinya dalam bidang tasawuf.
30 Baca selengkapnya, Muhammad Hasyim Asy’ari, Risalah Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah, Tebuireng-
Jombang: Maktabah al-Turats al-Islami, cet. I, 1418, hal. 9-14.
7
8. mengadakan perjanjian damai dengan membayar pajak)”. Menurut fikih tersebut dalam
menyikapi kafir harbi umat Islam diperintahkan untuk memeranginya hingga mereka tunduk
terhadap umat Islam, sedangkan kafir dzimmiy tidak boleh diperangi namun diposisikan
sebagai warga Negara kelas dua. Pandangan fikih ekslusif yang ditawarkan oleh a`immah al-
arba’ah ini oleh kyai-kyai NU sama sekali tidak dipakai. Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama
NU lainnya dalam memperlakukan non muslim di Indonesia malah terbalik dari wacana fikih
di atas. Ulama-ulama NU sangat melindungi non muslim, dalam pergaulan sosial
kemasyarakatan mereka memposisikan umat agama lain sama seperti umat Islam sendiri,
dalam berbangsa dan bernegara mereka juga memperlakukan non muslim sama seperti
dirinya sendiri, yakni memiliki hak politik yang sama sebagai warga Negara Indonesia.
Kendati dalam beberapa persolan Hasyim Asy’ari tidak sepandang dengan imam-
imam madzhab tersebut, namun ahlussunnah wal jama’ah di tangan beliau didefinisikan
sebagaimana di atas, karena di antara sekian banyaknya produk pemikiran keislaman dalam
rentang sejarah yang dianggap paling sesuai dengan “Islam ala Jawa” adalah para pemimpin
madzhab tersebut. Sehingga dengan menggunakan referensi dari karya-karya mereka dan
ulama-ulama lain yang sepaham dengannya Hasyim Asy’ari bersama ulama-ulama NU
lainnya dapat melakukan perlawanan terhadap gerakan puritan yang saat itu sedang melaju
kencang memberangus “Islam khas Jawa” yang menurut pelakunya dianggap bid’ah.
Dengan demikian definisi aswaja yang disepakati oleh kyai-kyai pendiri NU tersebut
merupakan definisi yang sangat sesuai pada masanya, mengingat pada saat itu tantangan yang
dihadapi adalah gerakan purifikasi yang mengharamkan tradisi-tradisi lokal Jawa yang sudah
dimodifikasi dengan nilai-nilai keislaman oleh walisongo.
Aswaja Sebagai Paham Keislaman Yang Inklusif dan Toleran
Seiring dengan berubahnya problematika keagamaan yang terjadi di masyarakat yang
tentunya tidak terjadi di masa Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama pendiri NU lainnya, kyai-
kyai NU generasi berikutnya mengusulkan definisi baru terhadap aswaja. Definisi aswaja
versi baru yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang dihadapi saat itu pertama kali
ditawarkan oleh Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil Gus Dur. Namun tawaran
Gus Dur ini tidak sistematis. Yang sistematis adalah definisi aswaja yang ditawarkan oleh
Sa’id Aqil Siraj, yaitu:
أهل السنة والجماعة أهل منهج الفكر الديني المشتمل على شؤون الحياة ومقتضاياتها القائم على
.أساس التوسط والتوازن والتعادل والتسامح
“Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan
yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi,
menjaga keseimbangan dan toleran.”31
Prinsip moderasi (tawassuth) dijadikan sebagai landasan dalam menggali hukum
Islam, yakni memadukan antara wahyu dengan rasio, sehingga aswaja tidak terlalu “ngeteks”
terpaku pada al-nushus al-syar’iyyah (al-Quran dan Hadis), juga tidak liar dalam
menggunakan akal pikiran atau lepas dari wahyu. Di samping itu moderasi aswaja juga dapat
menjembatani dua kelompok keislaman yang saling berseberangan, yakni kelompok
tekstualis dan rasionalis. Prinsip netral (tawazun) aswaja berkelindan dengan sikapnya dalam
dunia politik, yakni tidak setuju dengan kelompok garis keras yang merongrong
pemerintahan, namun tidak membenarkan tindakan penguasa yang lalim. Sedangkan prinsip
keseimbangan (ta’adul) aswaja terefleksikan dalam ruang kehidupan sosial kemasyarakatan,
31 Baca Sa’id Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, hal. 4-8.
8
9. akomodatif terhadap budaya setempat, tidak mengkafirkan sesama umat Islam (ahl al-bait),
dan toleran terhadap non muslim.32
Melalui definisi demikian Sa’id hendak menyatakan bahwa sesungguhnya aswaja itu
bukan nama salah satu aliran keislaman (firqah min al-firaq al-Islamiyyah) seperti yang
dipahami oleh kebanyakan umat Islam, melainkan aswaja adalah sebuah metode berfikir
(manhaj al-fikr) yang mencakup semua aspek kehidupan, baik dalam bidang keagamaan,
perpolitikkan, maupun sosial kemasyarakatan yang didasarkan pada prinsip tawassuth,
tawazun, dan ta’adul. Sehingga siapa saja, baik dari Syi’ah, Khawarij, NU, Muhammadiyah,
maupun yang lainnya, selama menggunakan metode berfikir yang didasarkan pada sikap
tawassuth, tawazun, ta’adul, dan tasamuh maka patut disebut sebagai “ahlussunnah wal
jama’ah”.
Definisi aswaja versi Sa’id Aqil merupakan definisi aswaja yang sangat baik dan
relevan dibanding definisi-definisi lainnya, karena melalui pemaknaan aswaja dengan seperti
ini orang-orang yang menganutnya dapat berjiwa inklusif, toleran, dan pluralis sebagaimana
yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya. Dalam al-Quran secara tegas Allah melarang
umat Islam mencaci maki kepercayaan orang lain (QS. Al-An’am 108). Nabi Muhammad
Saw. bersabda, “Allah sangat mencintai agama yang toleran (al-samhah).”33
Penutup
Ahlussunnah wal jama’ah yang selama ini dipahami sebagai kelompok keagamaan
yang seringkali disejajarkan dengan Syi’ah, Khawarij, dan yang lainnya sesungguhnya tidak
memiliki dasar yang kuat, baik fakta sejarah, al-Quran maupun hadis. Nama-nama kelompok
keislaman (al-firaq al-Islamiyyah) seperti Syi’ah dan Khawarij sebenarnya tidak lebih dari
partai politik pada masa lalu yang kemudian merambah ke dunia wacana agama, sehingga
produk pemikiran yang dihasilkannya sangat subyektif dan sarat dengan kepentingan politik.
Ahlussunnah wal jama’ah adalah istilah yang berakar pada hadis nabi Saw. yang
memerintahkan umat Islam untuk mengikutinya. Sehingga aswaja adalah praktik
keberagamaan yang meniru rasulullah Saw. yang sangat toleran terhadap orang-orang yang
berbeda akidah dengannya, bahkan dengan orang-orang yang memusuhinya sekalipun.
Dalam beberapa hadis diceritakan ketika umat Kristiani Habsyah sowan kepada Nabi
Muhammad Saw., nabi Saw. menempatkannya di Masjid dan beliau menjamunya dengan
tangan sendiri. Begitu juga kepada umat Kristiani Najran, bahkan nabi Saw. mempersilahkan
mereka untuk beribadah di masjidnya.34
Istilah aswaja berikut keberagaman definisinya adalah produk pemikiran ulama abad
pertengahan yang memiliki konteks tertentu, namun esensinya berakar urat dari nabi Saw.
Dengan demikian karena istilah dan definisi tersebut bersifat ‘urfi maka aswaja dapat
didefinisikan dengan apa saja sesuai dengan kebutuhan masyarakat muslim, namun definisi-
definisi tersebut tidak boleh menyalahi keislaman nabi Muhammad Saw. yang selalu
mengajarkan toleransi, moderasi, dan liberasi.
32 Sa’id Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, hal. 8.
33 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thuq al-Najah, cet. I, 1422, vol. I, hal. 16.
34 Baca selengkapnya Khoirul Anwar, Menghapus Sekat Agama, Menghidupkan Toleransi,
http://elsaonline.com/?p=1235
9