Dokumen tersebut membahas sistem hukum internasional dan pengadilan internasional. Ia menjelaskan latar belakang hukum internasional termasuk definisi, asas-asas, dan subjek hukum internasional seperti negara, organisasi internasional, dan individu. Dokumen tersebut juga membahas berbagai jenis organisasi internasional seperti organisasi antarpemerintah, organisasi nonpemerintah, organisasi regional, dan organisasi yang bersifat universal
Bab iv hukum internasional dan pengadilan internasional
1. BAB IV
SISTEM HUKUM INTERNASIONAL DAN
PENGADILAN INTERNASIONAL
A. LATAR BELAKANG
1. Makna Hukum Internasional
Definisi Hukum Internasional menurut Pendapat Pakar Hukum Internasional :
a. Hugo de Groot
kemauan bebas atau hukum alam dan persetujuan beberapa atau semua negara. Ini
ditujukan demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di
dalamnya.
b. Prof. Dr. J.G. Starke
Hukum internasional adalah sekumpulan hukum (body of law) yang sebagian
besar terdiri dari asas-asas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan
antarnegara.
c. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja,S.H.
Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antar negara
dengan negara, negara dengan subjek hukum internasional lainnya bukan negara
atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.
d. Wirjono Prodjodikoro
Hukum internasional adalah hukum yang mengatur perhubungan hukum
antarbangsa di berbagai negara.
Berdasarkan makna atau pengertian dari para ahli hukum internasional dalam
penerapannya dapat dibedakan menjadi hukum perdata internasional dan hukum
publik internasional :
a. Hukum perdata internasional adalah hukum internasional yang mengatur
hubungan hukum antara warga negara di suatu negara dengan warga negara dari
negara lain (hukum antarbangsa).
2. b. Hukum publik internasional adalah hukum internasional yang mengatur negara
yang satu dengan negara yang lain dalam hubungan internasional (hukum
antarnegara).
2. Asas Hukum Internasional
Berlakunya hukum internasional dalam rangka menjalin hubungan antarbangsa,
terlebih dahulu harus memperhatikan asas-asas berikut :
a. Asas Teritorial
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya. Menurut asas ini, negara
melaksanakan hukum bagi semua orang dan semua barang yang ada di wilayahnya. Jadi,
terhadap semua barang atau orang yang berada di luar wilayah tersebut, berlaku hukum
asing (internasional) sepenuhnya.
b. Asas Kebangsaan
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negaranya. Menurut asas ini,
setiap warga negara di mana pun berada, tetap mendapat perlakuan hukum dari
negaranya. Asas ini mempunyai kekuatan extrateritorial. Artinya, hukum dari negara
tersebut tetap berlaku juga bagi warga negara, walaupun berada di negara asing.
c. Asas Kepentingan Umum
Asas ini didasarkan pada kewenangan negara untuk melindungi dan mengatur
kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, negara dapat menyesuaikan
diri dengan semua keadaan dan peristiwa yang bersangkut paut dengan kepentingan
umum. Jadi, hukum tidak terikat pada batas-batas wilayah suatu negara.
Apabila ketiga asas ini tidak diperhatikan, akan timbul kekacauan hukum dalam
hubungan antarbangsa. Oleh sebab itu, antara satu negara dengan negara lain perlu ada
hubungan yang teratur dan tertib dalam bentuk hukum internasional.
3. Subjek Hukum Internasional
Pada masa sebelum Perang Dunia I meliputi negara-negara yang bertindak melalui
pemerintahan yang telah diakui dan organisasi internasional.
3. Namun, dalam perkembangannya, setelah Perang Dunia I setiap individu bertanggung
jawab langsung bagi tindakan-tindakan negara. Individu yang semula bukan sebagai
subjek hukum internasional menjadi subjek internasional. Contoh :
Para pemimpin Perang Nazi dan pemerintah Jepang yang terlibat dalam perang dunia
II telah diadili di Pengadilan Nurrenberg dan Tokyo karena kejahatan perang. Mereka
telah dijatuhi hukuman yang berat seperti hukuman mati, hukuman seumur hidup, dan
hukuman penjara dalam jangka waktu yang telah cukup lama atas perbuatan-perbuatan
individu yang dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional.
Negara yang diakui sebagai subjek hukum internasional harus mendapat pengakuan
dari negara-negara lain. Dalam hal mengakui suatu negara sebagai subjek hukum
internasional, terdapat dua teori pengakuan yang saling bertentangan.
1) Pengakuan yang konstitutif (constitutive theory at recognition).
Teori ini menyatakan bahwa meskipun sebelumnya sudah diakui secara legal sebagai
negara, namun kenyataannya belum eksis sebelum diakui oleh negara lain.
2) Pengakuan yang bersifat politis atau disebut pengakuan deklaratif (declarative
theory at recognition).
Menyatakan bahwa suatu negara atau pemerintah yang baru biasanya dianggap eksis
melalui penerapan pengujian yang objektif, seperti kemampuan pemerintah untuk
mengontrol dan memelihara penduduknya tanpa menghiraukan apakah negara lain
akan mengakui atau tidak.
Dalam perkembangannya teori pengakuan deklaratif lebih realistis dan
kemungkinannya lebih baik digunakan untuk menjelaskan berbagai praktik pengakuan yang
digunakan oleh pemerintah zaman sekarang.
Oleh karena negara bukan satu-satunya subjek hukum internasonal, subjek-subjek
hukum internasional dikelompokkan menjadi sebagai berikut :
a. Negara
Sejak lahirnya hukum internasional, negara adalah subjek hukum internasional dalam
arti yang klasik. Bahkan hingga sekarang masih ada anggapan bahwa hukum
internasional itu pada hakikatnya adalah hukum antarnegara.
4. b. Tahta Suci (Vatican)
Tahta Suci (Vatican) sudah ada sejak dahulu selain negara. Menurut sejarah, “Paus”
tidak hanya merupakan Kepala Gereja Roma tetapi memiliki
Pula kekuasaan duniawi. Tahta Suci memiliki perwakilan-perwakilan diplomatik di
berbagai negara di dunia yang kedudukannya sejajar dengan wakil-wakil diplomat
negara-negara lain. Perjanjian antara Italia dengan Takhta Suci tanggal 11 Februari
1929 memungkinkan didirikannya negara “Vatican” di Roma.
c. Palang Merah Internasional
Organisasi Palang Merah Internasional lahir sebagai subjek hukum internasional
karena sejarah. Kemudian, kedudukannya diperkuat dalam perjanjian-perjanjian dan
konvensi-konvensi Palang Merah tentang Perlindungan Korban Perang.
d. Organisasi
1. Organisasi Internasional Publik atau Antarpemerintah (Intergovermental
Organization).
Organisasi Internasional publik meliputi keanggotaan negara-negara yang diakui
menurut salah satu pandangan teori pengakuan atau keduanya. Tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh pemerintah adalah mewakili negaranya sebagai pihak dari
organisasi internasional tersebut. Organisasi internasional hanya akan dibedakan
menurut prinsip-prinsip keanggotaannya yang akan dianut prinsip-prinsip
keanggotaan itu antara lain sebagai berikut :
a. Prinsip Universitas (University)
Prinsip ini dianut oleh PBB termasuk badan-badan khususnya yang
keanggotaannya tidak membedakan besar atau kecilnya suatu negara meskipun
untuk menjadi anggota dari organisasi jenis ini masih mempunyai syarat-syarat
tertentu lainnya. Dalam Pasal 4 Piagam PBB bahwa keanggotaan PBB terbuka
untuk semua negara yang cinta damai yang menerima kewajiban-kewajiban
internasional dan ditetapkan oleh Majelis Umum PBB atas rekomendasi Dewan
Keamanan.
b. Prinsip Kedekatan Wilayah (Geographic Proximity)
Prinsip kedekatan wilayah memiliki anggota yang dibatasi pada negara-negara
yang berada di wilayah tertentu saja. Misalnya, ASEAN meliputi keanggotaan
tidak hanya 6 negara melainkan pula termasuk 4 negara lainnya seperti Vietnam,
Kamboja, Laos, dan Myanmar. Negara di luar kawasan tersebut tidak dapat
5. menjadi anggota. Contoh lain adalah Organisasi Persatuan Afrika, Forum Pasifik
Selatan, Organisasi Negara-Negara Amerika, atau organisasi.
c. Prinsip selektivitas (selectivity) yang melihat dari segi kebudayaan, agama, etnis,
pengalaman sejarah dan sesama produsen seperti Liga Arab, Organisasi Negara-
Negara Pesemakmuran, Organisasi Konferensi Islam,OPEC, Masyarakat Eropa,
Persemakmuran Negara-Negara Merdeka dan persyaratan selektif lainnya.
2. Organisasi Internasional Privat (Private International Organization)
Organisasi ini dibentuk atas dasar mewujudkan lembaga yang independen, faktual,
atau demokrasi, karena itu sering disebut Organisasi Nonpemerintahan (Non
Goverment Organization, NGO) atau yang kita sebut sebagai Lembaga Swadaya
Masyarakat yang anggotanya badan-badan swasta. Dalam kaitannya dengan
organisasi internasional, NGO dapat memperoleh status konsultatif. Misalnya dalam
Pasal 71 Piagam PBB memungkinkan bagi ECOSOC untuk melakukan hal semacam
itu dengan NGO yang mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah yang berada
di bawah wawanangnya dan setelah berkonsultasi dengan anggotanya dapat
menentukan organisasi-organisasi nonpemerintah yang patut memperoleh kedudukan
konsultatif tersebut.
Bagi NGO-NGO yang mempunyai status konsultatif dibagi dalam 3 kelompok :
Pertama, kelompok NGO yang mempunyai perhatian utama dalam hampir semua
kegiatan ECOSOC, seperti International Chamber of Commerce, World Federation of
U.N Association. Bahkan di dalam kelompok ini dapat memasukkan mata acara dalam
agenda sidang ECOSOC. Kedua, kelompok NGO yang mempunyai wewenang
tertentu dan menangani secara khusus beberapa masalah yang termasuk didalam
kegiatan ECOSOC seperti Amnesty International, International Commission of
Jurists. Ketiga,kelompok NGO yang tercatat sebagai badan-badan konsultatif secara
ad hoc seperti American Foreign Insurance Association, World Association of Girls
Guides and Girls Scout.
3. Organisasi regional atau sub-regional.
Pembentukan organisasi regional maupun sub-regional anggotanya didasarkan atas
prinsip kedekatan wilayah seperti South Pasific Forum, South Asian Regional
Cooperation,Gulf Cooperation Council, Union Arab Maghreb, atau OAU. Kaitan
organisasi regional tersebut dengan PBB telah mengatur dalam Bab VIII Pasal 52
khususnya yang berkaitan dengan kewajiban organisasi-organisasi regional untuk ikut
6. serta dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan regional dan untuk
menyelesaikan pertikaian lokal secara damai sebelum diajukan ke Dewan Keamanan.
4. Organisasi yang bersifat universal
Pada umumnya organisasi internasional yang bersifat lebih memberikan kesempatan
kepada anggotanya seluas mungkin tidak peduli apakah negara itu besar atau kecil,
kuat atau lemah, karena itu prinsip persamaan kedaulatan merupakan faktor penting
dengan menggunakan hak suara yang sama. PBB termasuk badan-badan khusus dapat
digolongkan dalam jenis organisasi ini.
Prof. Henry G. Schremer telah memberikan tiga ciri umum bagi jenis organisasi ini.
a. Universality, suatu organisasi yang biasanya bergerak dengan kegiatan yang luas.
Organisasi dengan ciri ini seharusnya tidak memberikan persyaratan-persyaratan
yang berat bagi keanggotaannya di samping tidak akan mengenakan sanksi untuk
mengusir anggotanya.
b. Ultimate necessity, menyangkut berbagai aspek kehidupan internasional yang
sangat luas yang diperlukan oleh semua negara seperti masalah cuaca, pelayaran,
penerbangan dan lain-lain. Organisasi ini lebih berbentuk teknis seperti badan-
badan khusus PBB yang ada.
c. Heterogenity, karena keanggotaannya yang luas maka akan mempunyai
perbedaan pandangan, baik di bidang politik maupun tingkat perekonomiannya
serta budaya yang berbeda-beda. Dalam sifatnya yang heterogen itu bagi negara
anggota yang mempunyai penduduk yang besar akan mempunyai hak suara yang
sama dengan negara yang penduduknya kecil. Dalam Konvensi Wina 1975
mengenai Keterwakilan Negara dalam hubungannya dengan Organisasi
Internasional yang bersifat universal diartikan sebagai Badan PBB termasuk juga
Badan-badan Khusus PBB, Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan
organisasi serupa yang keanggotaan dan tanggung jawabnya dalam skala yang
luas (world-wide scale).
Organisasi Internasional seperti PBB dan ILO mempunyai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional.
Mahkamah Internasional menyatakan bahwa PBB dan Organisasi seperti Badan-
Badan Khusus PBB sebagai subjek hukum menurut hukum internasional tidak
usah lagi diragukan.
7. Badan-badan Kuhsus PBB itu antara lain sebagai berikut :
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO); Organisasi Perburuhan Internasional
(ILO); Organisasi Kesehatan seluruh Dunia (WHO); Organisasi Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO); Bank Pembangunan dan
Perkembangan Internasional (IBRD); Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-
Bangsa (UNICEF).
5. Orang Perorangan (Individu)
Dalam perjanjian perdamaian Versailles 1919 yang mengakhiri Perang Dunia I antara
Jerman dengan Inggris dan Prancis serta masing-masing sekutunya, sudah ada pasal
yang memungkinkan orang-per orang mengajukan perkara ke muka mahkamah-
mahkamah arbitrase internasional, sehingga tidak hanya negara yang bisa menjadi
pihak di hadapan suatu peradilan internasional.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut, maka individu dijadikan sebagai subjek hukum
internasional bertujuan untuk melindungi hak minoritasnya.
6. Pemberontakan dan Pihak dalam Sengketa
Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai
pihak yang bersengketa dalam keadaan tertentu.
Misalnya. Gerakan Pembebasan Palestina (PLO). Para pemberontak dan pihak yang
bersengketa dianggap sebagai salah satu subjek hukum karena memiliki beberapa hak
asasi seperti hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk secara bebas memilih
sistem ekonomi, politik dan sosial budaya sendiri dan hak untuk menguasai sumber
kekayaan alam dari wilayah yng didudukinya.
4. Sumber Hukum Internasional
Sumber hukum internasional, dapat dibedakan antara sumber hukum material dan
sumber hukum dalam arti formal. Sumber hukum material adalah sumber hukum yang
membahas dasar berlakunya hukum suatu negara, sedangkan sumber hukum formal
adalah sumber dari mana kita mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan hukum
internasional.
Menurut Brierly, sumber hukum internasional dalam arti formal merupakan sumber
hukum paling utama dan memiliki otoritas tertinggi dan otentik yang dapat dipergunakan
8. oleh Mahkamah Internasional di dalam memutuskan suatu sengketa internasional adalah
Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional Pasal 38, adalah sebagai berikut :
a. Perjanjian internasional (traktar = treaty).
b. Kebiasaan-kebiasaan internasional yang terbukti dalam praktik umum dan diterima
sebagai hukum.
c. Asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab.
d. Keputusan-keputusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari
berbagai negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum.
e. Pendapat-pendapat para ahli hukum yang terkemuka.
B. SEBAB-SEBAB SENGKETA INTERNASIONAL
1. Umum
Istilah sengketa-sengketa internasional (international disputes) mencakup bukan
saja sengketa-sengketa antara negara-negara melainkan juga kasus-kasus lain yang
berada dalam lingkup pengaturan internasional, yakni beberapa kategori sengketa
tertentu antara negara di satu pihak dan individu-individu, badan-badan korporasi
serta badan-badan bukan negara di pihak lain.
Namun, Bab ini terutama akan membahas sengketa-sengketa antara negara-negara
dan hal ini akan menjangkau mulai dari perbedaan-perbedaan kecil yang hampir tidak
menimbulkan gelombang di permukaan internasional sampai dengan situasi-situasi
ekstrem dari friksi dan ketegangan yang berkepanjangan antara negara-negara yang
berpuncak pada ancaman terhadap perdamaian dan keamanan.
2. Bidang POLEKSOSBUD HANKAM
Dalam tata pergaulan dunia, hubungan antarnegara meskipun telah diatur dalam
hukum atau perjanjian internasional, ternyata masih terdapat sengketa internasional.
Peran PBB dalam mencari dan menemukan serta menyelesaikan sengketa
internasional, belum banyak memuaskan seluruh anggotanya. Hal itu dikarenakan
bahwa lembaga PBB sering tidak mampu berbuat banyak jika ada anggotanya
(terutama pemegang hak veto) yang melakukan pelanggaran.
9. Berbagai pelanggaran terhadap hukum atau perjanjian internasional, dapat
menyebabkan timbulnya sengketa internasional. Beberapa contoh timbulnya sengketa
internasional, antara lain sebagai berikut :
a. Segi Politis (Adanya Pakta Pertahanan atau Pakta Perdamaian)
Pasca perang dunia kedua (1945) muncul dua blok kekuatan besar, yaitu blok
Barat (liberal membentuk pakta pertahanan Warsawa) dipimpin Uno Soviet. Kedua
blok tersebut, saling berebut pengaruh di bidang ideologi dan ekonomi serta saling
berlomba memperkuat senjata. Akibatnya sering terjadi konflik (sengketa) di berbagai
negara yang menjadi korban. Misalnya; krisis Kuba, Korea yang terbagi menjadi
Korea Utara (komunis) dan Korea Selatan (liberal), Kamboja, Vietnam, dan
sebagainya.
b. Segi Batas Wilayah (Laut Teritorial dan Alam Daratan)
Adanya ketidakjelasan batas laut teritorial antara Malaysia dengan Pulau Sipadan
dan Ligitan (di Kalimantan). Sengketa tersebut diserahkan ke Mahkamah
Internasional, hingga akhirnya pada tahun 2003 sengketa tersebut dimenangkan oleh
Malaysia. Demikian juga masalah perbatasan di Kamsir yang hingga kini masih
diperdebatkan antara India dan Pakistan. Masalah kepulauan “Spratly’s dan Paracel”
di laut Cina Selatan,sampai sekarang masih diperebutkan oleh negara Filipina,
Malaysia, Thailand, RRC, dan Vietnam.
Sengketa-sengketa yang ditimbulkan baik antara karena faktor politis atau batas
wilayah, merupakan faktor potensial timbulnya ketegangan dan sengketa internasional
yang dapat memicu terjadi perang terbuka. Hal itu sudah terjadi di beberapa belahan
dunia, antara lain di Korea, Kamboja, serta antara India dan Pakistan itu sendiri.
Era baru runtuhnya Uni Soviet, kekuatan dunia terpusat pada Amerika yang
dipercaya PBB menjadi polisi dunia. Namun, Amerika yang sering menerapkan
standar ganda untuk beberapa negara sekutunya (Inggris, Israel, Arab Saudi,
Kuwait,atau Australia) justru kerap tidak adil dalam menyelesaikan sengketa-sengketa
internasional. Salah satu contohnya adalah sengketa antara Palestina dan Israel yang
sampai sekarang masih berlarut-larut atau tindakan invasi Amerika ke negara Irak
dengan alasan mencari senjata pemusnah massal, meskipun akhirnya tidak ditemukan.
10. C. PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL MELALUI MAHKAMAH
INTERNASIONAL
Upaya untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional dilakukan sedini
mungkin dengan cara seadil-adilnya bagi para pihak yang terlibat. Hal itu merupakan
tujuan hukum internasional sejak lama, dan kaidah-kaidah serta prosedur-prosedur yang
terkait sebagian merupakan kebiasaan dan penting, sebagian lagi merupakan sejumlah
konvensi yang membuat hukum yang sangat penting. Misalnya Konvensi Den Haag 1899
dan 1907 dalam hal penyelesaian secara damai sengketa-sengketa internasional dan
Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirumuskan di San Fransisco tahun 1945.
Salah satu dari tujuan pojok charter tersebut adalah membentuk organisasi persetujuan
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mempermudah penyelesaian secara damai mengenai
perselisihan antara negara-negara di dunia. Hal inipun merupakan tujuan dari Liga
Bangsa-Bangsa selama periode aktivitasnya di antara dua Perang Dunia.
Umumnya, metode-metode penyelesaian sengketa internasional yang dilakukan
Mahkamah Internasional digolongkan dalam dua kategori :
a. Cara-cara penyelesaian damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk
menemukan suatu solusi yang bersahabat.
b. Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, apabila solusi yang
dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan.
Di bawah ini akan dibahas masing-masing golongan tersebut diatas.
1. Cara- cara Penyelesaian Damai atau Bersahabat
Metode-metode penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara damai atau
bersahabat dapat dibagi dalam klasifikasi berikut :
a. Arbitrasi (arbitration)
b. Penyelesaian yudisial (judicial settlement)
c. Negoisasi, jasa-jasa baik (good offices), mediasi, konsiliasi
d. Penyelidikan (inquiry)
e. Penyelesaian di bawah naungan organisasi PBB
11. a. Arbitrasi
Arbitrasi adalah suatu institusi yang sudah cukup tua tetapi sejarah arbitrasi modern
yang diakui adalah sejak Jak Treaty 1974 antara Amerika Serikat dan Inggris, yang
mengatur pembentukan tiga “Joint Mixed Commissions” untuk menyelesaikan beberapa
perselisihan tertentu yang tidak dapat diselesaikan selama perundingan traktat tersebut.
Biasanya arbitrasi menunjukkan prosedur yang persis sama seperti hukum nasional,
yaitu menyerahkan sengketa pada orang-orang tertentu yang dinamakan para arbitrator.
Arbitrator adalah yang dipilih secara bebas oleh berbagai pihak sekaligus yang
memutuskan, tanpa perlu terikat pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Namun,
pengalaman yang diperlihatkan oleh praktik internasional menunjukkan bahwa beberapa
sengketa yang hanya menyangkut masalah hukum diserahkan kepada para arbitrator
untuk diselesaikan berdasarkan hukum. Selanjutnya, dalam berbagai macam traktat yang
menyepakati agar sengketa-sengketa harus diajukan kepada arbitrasi. Seringkali
dipergunakan sebagai tambahan pada arahan untuk memutuskan berdasarkan prinsip
keadilan atau ex aequo et bono. Pengadilan-pengadilan arbitrasi secara khusus
diinstruksikan untuk menerapkan hukum internasional.
b. Penyelesaian Yudisial
Penyelesaian yudisial adalah suatu penyelesaian dihasilkan melalui suatu peradilan
yudisial internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya, dengan memberlakukan
kaidah-kaidah hukum.
Satu-satunya organ umum untuk penyelesaian yudisial yang pada saat ini tersedia
dalam masyarakat internasional adalah “International Court of Justice”, yang
berkedudukan di Den Haag. Lembaga internasional ini menggantikan dan melanjutkan
kontinuitas Permanent Court of International Justice. Pengukuhan kedudukan
International Court of Justice dilaksanakan pada tanggal 18 April 1946 sekaligus
dibubarkan oleh majelis bangsa-bangsa pada sidang terakhirnya. Perbedaan pokok antara
mahkamah dan pengadilan arbitrasi antara lain sebagai berikut :
1. Mahkamah secara permanen merupakan sebuah pengadilan yang diatur dengan
statuta dan serangkaian ketentuan prosedurnya yang mengikat terhadap semua
pihak yang berhubungan dengan mahkamah.
12. 2. Mahkamah memiliki panitera (register tetap) yang menjalankan semua fungsi
yang diperlukan dalam menerima dokumen-dokumen untuk diarsip, dilakukan
pencatatan, dan pengesahan pelayanan umum.
3. Proses peradilan dilakukan secara terbuka, pembelaan dan catatan-catatan dengar
pendapat serta keputusan-keputusannya dipublikasikan.
4. Pada prinsipnya mahkamah dapat dimasuki oleh semua negara untuk proses
penyelesaian yudisial.
5. Keanggotaan mahkamah adalah berupa wakil-wakil dari bagian terbesar
masyarakat internasional dan mewakili sistem hukum utama, sejauh tidak
bertentangan dengan pengadilan lain. Saat ini, terdapat enam orang hakim
mahkamah berasal dari negara-negara Afrika dan Asia yang semula hanya dua.
c. Negoisasi, Jasa-Jasa Baik, Mediasi, Konsolidasi, dan Penyelidikan
Negoisasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsolidasi, dan penyelidikan adalah metode-
metode penyelesaian yang kurang begitu formal dibanding dengan penyelesaian yudisial
atau arbitrasi.
Metode negoisasi ini sering diadakan dalam hubungan dengan jasa-jasa baik (good
office) atau mediasi, meskipun perlu dikemukakan juga mengenai kecenderungan yang
berkembang dewasa ini. Ketika pengaturan dengan instrumen atau dengan persetujuan
internasional. Kerangka kerja hukum untuk dua proses adalah konsultasi, baik konsultasi
sebelum terjadinya peristiwa dan komunikasi. Tanpa kedua media ini, beberapa hal
mengenai negoisasi tidak dapat berjalan. Contoh dari konsultasi adalah ketentuan-
ketentuan untuk melakukan konsultasi dalam sebuah Australia-New Zealand Free Trade
States and Soviet Memorandum of Understanding, di Jenewa tanggal 20 Juni 1961 dalam
hubungan komunikasi langsung. Konsultasi ini dinamakan hot line antara Washington
dan Moskow dalam hal terjadi krisis. Nilai dari suatu negoisasi yang berkesinambungan
diperlihatkan oleh pembentukan United States-Soviet Intermediate-Range Nuclear
Agreement (INF) pada bulan Desember 1987 menyusul perundingan-perundingan yang
gagal yang dilakukan sebelumnya antara kedua negara itu di Reykjavik, Eslandia;
perundingan-perundingan selanjutnya meskipun mengalami kegagalan namun telah dapat
menjernihkan beberapa masalah yang masih menggantung.
13. Dalam Deklarasi Manila tahun 1982 telah ditetapkan hal-hal khusus sebagai berikut :
1. Negara-negara harus tetap mengingat bahwa negoisasi-negoisasi langsung merupakan
suatu cara yang fleksibel dan efektif untuk menyelesaiakan sengketa-sengketa secara
damai dan apabila memilih untuk melakukan negoisasi-negoisasi langsung, maka
mereka harus bernegoisasi sepenuh hati.
2. Negara-negara diingatkan untuk mempertimbangkan penggunaan lebih besar
kapasitas pencarian fakta dari Dewan Keamanan sesuai dengan Charter PBB.
3. Penyerahan kepada penyelesaian yudisial atau sengketa-sengketa hukum terutama
dengan cara menyerahkan kepada Internasional Court of Justice, tidak boleh
dianggap sebagai suatu tindakan bersahabat diantara negara-negara.
4. Sekretaris Jenderal PBB harus menggunakan sepenuhnya ketentuan-ketentuan
Charter mengenai tanggung jawab khusus. Misalnya, meminta perhatian Dewan
Keamanan atas setiap masalah yang menurut pendapatnya dapat mengancam
pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
d. Penyelidikan (inquiry)
Ruang lingkup jasa-jasa baik dan mediasi agak terbatas; ada kekurangan prosedur
dalam kedua metode untuk melakukan penyelidikan atas fakta hukum secara mendalam.
Oleh karena itu, di masa mendatang, kemungkinan besar kedua metode ini akan menjadi
semacam langkah pendahuluan atau sebagai bantuan bagi tehnik-tehnik penyelesaian
khusus seperti konsiliasi, penyelidikan (inquiry) dan penyelesaian melalui PBB.
Komisi-komisi konsiliasi diatur dalam konvensi-konvensi The Hague 1899 dan 1907
untuk penyelesaian damai sengketa-sengketa internasional. Komisi tersebut dapat
dibentuk melalui perjanjian khusus antara para pihak dan tugasnya harus menyelidiki
serta melaporkan tentang situasi fakta dengan ketentuan bahwa isi laporan itu
bagaimanapun tidak mengikat para pihak dalam sengketa. Ketentuan-ketentuan yang
aktual dalam konvensi-konvensi itu menghindari kata-kata yang dapat dianggap sebagai
mewajibkan para pihak untuk menerima suatu laporan komisi. Komisi serupa itu juga
ditetapkan berdasarkan serangkaian traktat yang dirundingkan oleh Amerika Serikat pada
tahun 1913 dan di tahun-tahun berikutnya, yang dikenal sebagai “Traktat Bryan”. Traktat-
traktat yang lebih yang mengatur konsiliasi adalah Traktat Brussel 17 Maret 1948 dan
Pakta Bogota 1948, yang telah dikemukakan di atas.
14. e. Penyelesaian di Bawah Naungan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Sebagai pengganti Liga Bangsa-Bangsa, Organisasi PBB, yang dibentuk tahun 1945,
telah mengambil alih sebagian besar tanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa-
sengketa internasional. Salah satu dari tujuan-tujuan organisasi itu adalah penyelesaian
perselisihan antara negara-negara, dan melalui Pasal 2 Charter PBB, anggota-anggota
organisasi harus berusaha untuk menyelesaikan sengketa-sengketa mereka melalui cara-
cara damai dan untuk menghindarkan ancaman-ancaman perang atau penggunaan
kekerasan.
Dalam kaitan ini, tanggung jawab penting beralih ke tangan Majelis Umum dan
Dewan Keamanan, sesuai dengan wewenang luas yang dipercayakan kepada kedua badan
tersebut. Majelis Umum diberi wewenang, tunduk pada wewenang penyelenggaraan
perdamaian dari Dewan Keamanan, untuk merekomendasikan tindakan-tindakan untuk
penyelesaian damai atas suatu keadaan yang kemungkinan mengganggu kesejahteraan
umum atau hubungan-hubungan bersahabat antara bangsa-bangsa (lihat Pasal 14 Charter).
Namun, kekuasaan yang lebih luas telah diserahkan kepada Dewan Keamanan
sehingga badan ini akan menyelenggarakan kebijaksanaan PBB secara tepat dan tegas.
Dewan pada umumnya bertindak terhadap dua jenis sengketa.
1) Sengketa-sengketa yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan
internasional.
2) Kasus-kasus yang mengancam perdamaian, atau melanggar perdamaian, atau
tindakan-tindakan agresi. Dalam kasus-kasus yang disebut pertama, Mahkamah jika
dipandang perlu boleh meminta para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa mereka dengan metode-metode yang disebutkan di atas, yaitu
arbitrasi, penyelesaian yudisial, negoisasi, penyelidikan, mediasi, dan konsiliasi. Juga
dewan pada setiap tahap merekomendasikan prosedur-prosedur atau metode-metode
penyelesaian yang tepat untuk menyelesaikan sengketa-sengketa demikian. Dalam
kasus-kasus yang disebut kedua, Dewan diberi wewenang untuk membuat
rekomendasi-rekomendasi atau memutuskan tindakan-tindakan apa yang harus
diambil untuk memelihara dan memperbaiki perdamaian dan keamanan internasional
dan badan ini dapat meminta para pihak yang terkait untuk mematuhi beberapa
ketentuan tertentu.
15. Penyelesaian sengketa-sengketa internasional dengan menggunakan metode-metode
di atas, sebenarnya telah dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap negara-negara
tetangganya sebelum diajukan naik banding ke Mahkamah Internasional. Namun, apabila
tidak mencapai titik temu dari kedua belah pihak sangat dibutuhkan lembaga peradilan
internasional untuk mencapai kesepakatan damai.
Sebagai contoh, perselisihan antara Indonesia dan Malaysia dalam pengakuan
kedaulatan Pulau Sipadan dan Ligitan. Awalnya, kedua negara tidak mampu
menyelesaikan secara hukum nasional.melalui kesepakatan kedua negara, akhirnya
permasalahan itu diajukan ke Mahkamah Internasional.
Contoh lain adalah kasus lepasnya wilayah Timor Timur dari negara kesatuan
Republik Indonesia. Sebagian rakyat Timor Timur mengklaim bahwa wilayahnya bukan
merupakan bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia. Namun berdasarkan konsep
sejarah negara Indonesia, sebagian besar rakyat Timor Timur menghendaki untuk
berintegrasi ke dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.
2. Cara-Cara Penyelesaian Paksa atau Kekerasan
Apabila negara-negara tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa-
sengketa mereka secara persahabatan maka cara pemecahan yang mungkin adalah dengan
melalui cara-cara kekerasan. Prinsip-prinsip dari cara penyelesaian melalui kekerasan
adalah :
a. Perang dan tindakan bersenjata nonperang
b. Retorsi
c. Tindakan-tindakan pembalasan
d. Blokade secara damai
e. Intervensi
16. D. PERANAN MAHKAMAH INTERNASIONAL TERHADAP PELANGGARAN
HAM
1. Perihal Mahkamah Internasionala
Mahkamah Internasional adalah salah satu badan perlengkapan PBB yang
berkedudukan di Den Haag (Belanda). Para anggotanya terdiri atas ahli hukum
terkemuka, yakni 15 orang yang dipilih dari 15 negara berdasarkan kecapakannya dalam
hukum. Masa jabatan mereka 9 tahun, sedangkan tugasnya antara lain memberi nasehat
tentang persoalan hukum kepada Majelis Umum dan Dewan Keamanan, juga memeriksa
perselisihan atau sengketa antara negara-negara anggota PBB yang diserahkan kepada
Mahkamah Internasional.
Mahkamah Agung Internasional atau biasa disebut dengan Mahkamah Internasionial,
merupakan mahkamah pengadilan tertingggi di seluruh dunia. Pengadilan Internasional
dapat mengadili semua perselisihan yang terjadi antara negara bukan anggota PBB.
Dalam penyelesaian ini, jalan damai yang selaras dengan asas-asas keadilan dan hukum
internasional, mengadili perselisihan dan perselisihan kepentingan hukum.
Mahkamah Internasional dalam mengadili suatu perkara, berpedoman pada
perjanjian-perjanjian internasional (traktat-traktat dan kebiasaan-kebiasaan internasional)
sebagai sumber-sumber hukum. Keputusan Mahkamah Internasional, merupakan
keputusan terakhir walaupun dapat diminta banding. Selain pengadilan Mahkamah
Internasional, terdapat juga pengadilan arbitrasi internasional. Arbitrasi internasional
hanya untuk perselisihan hukum, dan keputusan para arbitet tidak perlu berdasarkan
peraturan-peraturan hukum.
Mahkamah Internasional dalam tugasnya untuk memeriksa perselisihan atau sengketa
antara negara-negara anggota PBB yang diserahkan kepadanya, dapat melakukan
perannya untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional. Hal ini dapat kita lihat
pada contoh-contoh berikut :
a. Runtuhnya Federasi Yugoslavia (1992), melahirkan perang saudara di antara bekas
negara anggotanya (Kroasia, Slovenia, Serbia, dan Bosnia Herzegovina). Namun,
pemerintahan Yugoslavia yang dulu dikuasai oleh Serbia, tidak membiarkan begitu
saja sehingga terjadi pembersihan etnik terutama kepada etnik Kroasia dan Bosnia.
Campur tangan PBB menghasilkan keputusan Mahkamah Internasional yang
17. didukung oleh pasukan NATO, memaksa Serbia menghentikan langkah-langkah
pembersihan etnik yang kemudian mengadili para penjahat perang. Mahkamah
Internasional sangat aktif mengadili perkara kejahatan perang. Hingga sekarang
proses tersebut masih terus berlangsung.
b. Masalah perbatasan teritorial di pulau Sipadan dan Ligitan (Kalimantan) antara
Indonesia dan Malaysia yang tidak kunjung ada titik temu, disepakati untuk dibawa
ke Mahkamah Internasional. Setelah melalui perdebatan dan perjuangan panjang,
pada awal tahun 2003 Mahkamah Internasional memutuskan untuk memenangkan
Malaysia sebagai pemilik sah pulau tersebut.
Dari contoh kasus di atas Indonesia menyetujui hasil keputusan tersebut sebagai
dukungan terhadap keputusan mahkamah internasional.
2. Penyelesaian Kasus HAM di Mahkamah Internasional
Prosedur penyelesaian kasus HAM atau kejahatan humaniter di suatu negara dapat
dilakukan Mahkamah Internasional dengan melalui prosedur berikut :
a. Apabila terjadi pelanggaran HAM atau kejahatan humaniter (kemanusiaan) di suatu
negara terhadap negara lain atau rakyat negara lain, pengaduan disampaikan ke
Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM Internasional lainnya
oleh si korban (rakyat) dan pemerintahan negara yang menjadi korban.
b. Pengaduan ditindaklanjuti dengan penyelidikan, pemeriksaan, dan penyidikan.
c. Jika ditemui bukti-bukti kuat terjadinya pelanggaran HAM atau kejahatan
kemanusiaan lainnya, pemerintahan dari negara yang didakwa melakukan kejahatan
humaniter dapat diajukan ke Mahkamah Internasional atau Pengadilan Internasional.
d. Kemudian dilakukan proses peradilan sampai dijatuhkan sanksi.
e. Sanksi dapat dijatuhkan bila terbukti bahwa yang bersangkutan telah melakukan
pelanggaran terhadap konvemsi-konvensi internasional berkaitan dengan pelanggaran
HAM atau kejahatan humaniter.
Selain dari prosedur di atas, rakyat suatu negara yang merasa mengalami pelanggaran
HAM oleh pemerintaha juga dapat mengajukan pemerintahannya ke Mahkamah
Internasional atau pengadilan Internasional dengan melalui prosedur berikut :
18. a. Melaporkan pemerintahannya sebagai pelaku pelanggaran HAM atau kejahatan
humaniter (kemanusiaan) di suatu negara kepada komisi Tinggi HAM PBB atau
melalui lembaga-lembaga HAM inernasional lainnya.
b. Pengaduan ditindaklanjuti dengan penyelidikan, pemeriksaan, dan penyidikan.
c. Jika ditemui cukup bukti terjadinya pelanggaran HAM atau kejahatan kemanusiaan
lainnya, pemerintah negara yang bersangkutan dapat diajukan ke Mahkamah
Internasional Pengadilan Internasional.
19. KESIMPULAN
Hukum internasional, disebut juga sebagai hukum bangsa-bangsa yang dilakukan oleh
suatu negara atau bangsa dalam mengadakan hubungan dengan negara lain agar
terjalin kerja sama yang baik dan saling menguntungkan.
Menurut para ahli, bahwa penekanan tentang hukum internasional adalah terletak
pada kaidah-kaidah yang mengatur hubungan atau yang melintasi batas-batas negara
lain. Dengan demikian, dalam hukum internasional dapat dibedakan antarhukum
perdata internasional dan hukum publik internasional. Asas-asas yang digunakan
dalam membina hubungan dengan negara lain adalah asas teritorial, asas kebangsaan,
asas kepentingan umum.
Sumber hukum internasional dapat dibedakan menjadi sumber yang bersifat material
dan formal, sedangkan sumber-sumbernya berasal dari traktat, kebiasaan-kebiasaan
internasional, asas-asas umum yang diakui bangsa beradab, keputusan-keputusan
hakim, dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka.
Ratifikasi merupakan proses penandatanganan yang dilakukan oleh pemerintah
dengan lembaga perwakilan rakyat. Dalam praktiknya, ratifikasi dapat dibedakan
antara lain; ratifikasi oleh badan eksekutif, ratifikasi oleh badan legislatif, dan
ratifikasi campuran (pemerintah dan parlemen). Ratifikasi campuran, merupakan
ratifikasi yang paling banyak diterapkan.
Beberapa penyebab timbulnya sengketa internasional, mahkamah internasional
mempunyai peranan penting dalam upaya penyelesaian berbagai sengketa atau
konflik-konflik baik bilateral, regional, maupun internasional. Misalnya, upaya
penyelesaian mengadili para penjahat perang di kawasan Balkan.
Prinsip hidup berdampingan secara damai, merupakan dambaan semua bangsa-bangsa
beradab dimuka bumi ini. Oleh sebab itu, PBB yang dibentuk untuk menjaga
ketertiban dan perdamaian dunia memiliki organ Dewan Keamanan yang salah satu
fungsinya adalah untuk menyelesaikan berbagai sengketa internasional secara damai.
20. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, H. Rozali dan Syamsir. 2002. Perkembangan HAM dan keberadaan Peradilan
HAM di Indonesia. Jakarta: PT Ghalia Indonesia.
Bahar, Saafrodin. 1996. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Effendi, H.A. Masykur. HAM dalam Hukum Nasional dan Internasional.
Munandar, Haris. 1994. Pembangunan Politik, Situasi Global dan Hak Asasi di Indonesia.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Sanit, Arbi. 2002. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Grafindo Persada.
Starke J.G. 2003. Pengantar Hukum Internasional 1. Jakarta: Sinar Grafika.
Tilaar, H.A.R, et al. 2001. Dimensi-Dimensi Hak Asasi Manusia dalam Kurikulum
Persekolahan Indonesia. Bandung: PT Alumni.