SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 41
Descargar para leer sin conexión
Kebijakan Desentralisasi Fiskal                                                     Bab V




                                       BAB V
               KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL

5.1     Umum
Implementasi otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab beserta
desentralisasi fiskal yang mengikutinya, saat ini telah memasuki dasawarsa kedua. Perlu
dipahami bahwa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan
instrumen yang digunakan dalam penyelenggaraan pembangunan negara dan bukan tujuan
bernegara itu sendiri. Instrumen ini digunakan agar pencapaian tujuan bernegara, yaitu
kesejahteraan masyarakat, dapat lebih mudah dicapai. Oleh karena itu, otonomi daerah
dan desentralisasi fiskal dilakukan dengan menempatkan motor penggerak pembangunan
pada tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu pemerintah
daerah. Dekatnya tingkat pemerintahan dengan masyarakatnya diharapkan dapat membuat
kebijakan fiskal daerah akan benar-benar sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas
daerah.
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, secara legal formal, dituangkan dalam Undang-
Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangan
kepada pemerintah daerah serta pendanaan bagi pelaksanaan kewenangan tersebut. Selain
itu, terdapat juga Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang mengatur hal-hal mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam
melakukan pemungutan kepada masyarakat daerah guna mendapatkan sumber pendanaan
bagi pembangunan daerah.
Kedua UU pokok dan UU mengenai pajak daerah dan retribusi daerah tersebut di atas, pada
dasarnya dihubungkan dalam suatu prinsip dasar yang sering disebut sebagai money follows
function. Dengan prinsip ini, fungsi yang telah diserahkan ke daerah melalui UU Nomor 32
Tahun 2004 diikuti dengan pendanaan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi dimaksud.
Namun, perlu dipahami bahwa ketersediaan pendanaan selalu mempunyai constraint
(kendala), karena pada dasarnya anggaran selalu terbatas. Oleh karena itu, UU Nomor 33
Tahun 2004 mengatur sumber-sumber pendanaan yang terbatas tersebut yang bisa
digunakan oleh daerah, yaitu melalui pemanfaatan sumber di daerah itu sendiri maupun
melalui transfer ke daerah.
Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, instrumen utama yang digunakan adalah
pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power)
dan transfer ke daerah. Meskipun kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak
daerah masih sangat terbatas, tetapi dari tahun ke tahun terdapat peningkatan peran
pendapatan asli daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Secara nominal, pada tahun 2009 dan 2010 jumlah keseluruhan PAD untuk provinsi dan
kabupaten/kota masing-masing sebesar Rp62,6 triliun (16,5 persen dari total pendapatan
APBD) dan Rp71,8 triliun (17,9 persen dari total pendapatan APBD). UU Nomor 28 Tahun
2009 yang baru saja dikeluarkan dan berlaku efektif sejak 1 Januari 2010 merupakan salah
satu wujud upaya penguatan taxing power daerah, yaitu dengan perluasan basis pajak daerah


Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                          V-1
Bab V                                                             Kebijakan Desentralisasi Fiskal



dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah,
peningkatan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, dan pemberian diskresi penetapan
tarif pajak.
Mengingat bahwa pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah
sendiri masih sangat terbatas, maka Pemerintah melakukan transfer ke daerah untuk
mendukung pendanaan penyelenggaraan fungsi-fungsi yang telah diserahkan ke daerah.
Transfer ke daerah direalisasikan dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana
Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Alokasi transfer ke daerah terus meningkat seiring dengan
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001. Pada
tahun 2005, alokasi transfer ke daerah sebesar Rp150,5 triliun dan terus meningkat hingga
menjadi Rp344,6 triliun pada APBN-P tahun 2010.
Apabila dilihat dalam konteks yang lebih luas, maka sebenarnya dana Pemerintah yang
bergulir ke daerah pada dasarnya tidak hanya yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Di daerah, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program
dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah dalam bentuk Dana
Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan. Jumlah dana tersebut akan menjadi lebih
besar lagi apabila ditambahkan dengan dana yang digulirkan ke daerah melalui program
nasional yang menjadi Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, seperti Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS),
serta program nasional melalui subsidi yang sebagian besar juga dibelanjakan di daerah,
seperti subsidi energi dan subsidi non-energi. Besarnya dana yang bergulir ke daerah, baik
yang dikelola dalam APBD maupun APBN pada tahun 2010 mencapai hingga 60,62 persen
dari total belanja dalam APBN-P Tahun 2010 (lihat Grafik V.1).
Dalam konteks pendanaan desentralisasi, hal yang sangat krusial untuk dilihat adalah
efektivitas dana yang semakin besar bergulir ke daerah dibelanjakan oleh daerah dan dampak
kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, antara lain dipengaruhi oleh kebijakan belanja
masing-masing pemerintah daerah. Kebijakan belanja pemerintah daerah dapat tercermin
dari besaran alokasi belanja untuk tiap fungsi dan jenis belanja. Berdasarkan fungsi, pada
tahun 2009 belanja daerah yang digunakan untuk melaksanakan fungsi pelayanan umum
menempati urutan teratas yaitu 33,7 persen dari total belanja daerah, dan belanja daerah
yang digunakan untuk mendanai fungsi pendidikan mencapai 26 persen, fungsi perumahan
dan fasilitas umum 17,1 persen, dan fungsi kesehatan 8,8 persen. Sementara itu, berdasarkan
jenis belanja, maka porsi belanja pegawai untuk kabupaten/kota masih menempati peringkat
tertinggi yaitu mencapai 44,8 persen di tahun 2010, belanja modal mencapai 21,7 persen
dan belanja barang 18,5 persen, serta sisanya sebesar 15,1 persen untuk jenis belanja lainnya.
Seiring dengan peningkatan dana yang didesentralisasikan dan diikuti dengan upaya
percepatan realisasi belanja dan peningkatan kualitas belanja, telah terjadi perbaikan dalam
berbagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam dua tahun terakhir, tingkat
kemiskinan telah menurun relatif signifikan pada sebagian besar provinsi. Demikian pula,
tingkat pengangguran di sebagian besar daerah telah mengalami penurunan yang relatif
cukup signifikan. Di samping itu, dalam lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan
pemerataan pembangunan daerah yang tercermin dari semakin membaiknya indikator
statistik pemerataan PDRB antarprovinsi.



V-2                                                              Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Kebijakan Desentralisasi Fiskal                                                                                                          Bab V



Kebijakan desentralisasi fiskal ke depan diarahkan pada upaya untuk melakukan penguatan
taxing power daerah dan perbaikan kebijakan transfer. Penguatan taxing power ke daerah
telah diawali dengan terbitnya UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan menyerahkan sebagian
kewenangan perpajakan ke daerah, terutama dilakukan melalui penyiapan daerah untuk
menghadapi transisi pengalihan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, baik
melalui penguatan sistem di daerah maupun capacity building. Sementara itu, kebijakan
anggaran transfer ke daerah pada tahun 2011 akan diarahkan diantaranya untuk mendukung
kesinambungan fiskal nasional (fiscal sustainability) dalam rangka kebijakan ekonomi makro.
Dengan demikian, kesinambungan pertumbuhan ekonomi nasional dapat dicapai.

                                               GRAFIK V.1
                      DANA KE DAERAH YANG DIKELOLA DALAM APBD DAN APBN TAHUN 2010


        Belanja APBN-P 2010                                                                               Total Belanja = 1.126,15 T
          (triliun rupiah)

                                    Belanja Negara di Daerah         Bantuan ke Masyarakat
   Sumber: APBN-P 2010                                                   35,37 (3,14%)
                                        126,37 (11,22%)                                                    Subsidi
                                                                                                       176,33 (15,66%)




                 Belanja Negara di Pusat                                                               Transfer ke Daerah
                    443,46 (39,38%)                                                                     344,61 (30,60%)


                                                  Dana ke Daerah = 682,69 T (60,62%)

     Melalui Angg. K/L dan                                          Melalui Angg. Transfer ke Daerah
                                         Melalui APP (Subsidi)                                                   Melalui Angg. K/L
    APP (Program Nasional)                                                   (Masuk APBD)
   - PNPM      10,42 0,93%          -   BBM       88,89    7,89%   - DBH             89,62    7,96%      - Dana Dekon         11,93   1,06%
   - BOS       19,84 1,76%          -   Listrik   55,10    4,89%   - DAU            203,61   18,08%      - Dana TP             7,64   0,68%
   - Jamkes     5,10 0,45%          -   Pangan    13,92    1,24%   - DAK             21,14    1,88%      - Dana Vertikal    106,80    9,48%
                                    -   Pupuk      18,41   1,63%   - Otsus            9,09    0,81%
                                                                   - Penyesuaian      21,15   1,88%
   *)
        APP = Anggaran Pembiayaan
        dan Perhitungan

   Total          35,37 (3,14%)     Total         176,33 (15,66%) Total             344,61 (30,60%)     Total              126,37 (11,22%)




5.2 Perkembangan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal
    Tahun 2005 - 2010

5.2.1 Perkembangan Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Hakikat dari hubungan antara otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya
merupakan pengejawantahan dari prinsip money follows function, yang berarti bahwa
pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan. Dalam implementasinya, seiring dengan
penyerahan kewenangan kepada daerah, maka kepada daerah diberikan sumber-sumber
pendanaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Mekanisme pendanaan atas


Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                                                                  V-3
Bab V                                                            Kebijakan Desentralisasi Fiskal



pelaksanaan kewenangan yang telah diserahkan ke daerah tersebut dilakukan melalui azas
desentralisasi. Di samping itu, untuk melaksanakan kewenangan yang masih dipegang oleh
Pemerintah, karena alasan efisiensi dan efektivitas seringkali pelaksanaannya dilaksanakan
di daerah melalui azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Dalam konteks pelaksanaan azas desentralisasi, salah satu bentuk dukungan pendanaan
kepada daerah dilakukan melalui pemberian sumber perpajakan daerah dan retribusi daerah
yang dapat dipungut oleh daerah. Mengingat sumber tersebut sangat terbatas, maka kepada
daerah diberikan dukungan pendanaan melalui transfer dari Pemerintah dalam bentuk Dana
Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Selain sumber penerimaan dari
daerah sendiri dan transfer dari Pemerintah, daerah juga diberi kewenangan untuk
melakukan pinjaman dalam rangka pembiayaan pembangunan daerah, dan juga
penerimaan dalam bentuk hibah baik yang berasal dari Pemerintah maupun pihak lain.
Pemberian sumber penerimaan daerah sendiri terutama dilakukan melalui kewenangan
perpajakan daerah dan retribusi daerah. Kebijakan mengenai perpajakan daerah dan retribusi
daerah telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2010.
Ada empat kebijakan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Pertama
adalah closed-list system untuk jenis pajak dan retribusi yang bisa dipungut oleh daerah.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha
tentang jenis pungutan yang harus mereka bayar. Kedua adalah penguatan local taxing
power. Hal ini dilakukan, antara lain melalui perluasan basis pajak daerah dan retribusi
daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak dan retribusi daerah (seperti pajak rokok
dan pengalihan PBB menjadi pajak daerah), meningkatkan tarif maksimum beberapa jenis
pajak daerah, serta pemberian diskresi penetapan tarif pajak. Ketiga adalah perbaikan sistem
pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak provinsi
yang lebih ideal dan kebijakan earmarking jenis pajak daerah tertentu (seperti earmarking
sebagian Pajak Kendaraan Bermotor untuk pemeliharaan jalan). Keempat adalah
peningkatan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme
pengawasan represif menjadi preventif dan korektif.
Selain penerimaan sendiri, sumber pendanaan kebijakan transfer ke daerah tersebut dilakukan
melalui alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dalam
pelaksanaannya, Dana Perimbangan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh karena
masing-masing komponen mempunyai tujuan yang saling melengkapi satu dengan lainnya.
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan instrumen untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara
Pemerintah dan daerah. Disadari bahwa instrumen DBH tersebut menimbulkan kesenjangan
fiskal antardaerah karena adanya variasi sumber daya antardaerah. Oleh karena itu,
instrumen Dana Alokasi Umum (DAU) ditujukan untuk mengurangi kesenjangan
antardaerah. Di samping itu, untuk membantu daerah dengan kemampuan keuangan yang
relatif rendah, dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung pencapaian tujuan
dan prioritas nasional serta meningkatkan pemerataan akses terhadap layanan publik.
Penyempurnaan terus dilakukan terhadap ketiga komponen transfer tersebut, antara lain,
melalui peningkatan akurasi data DBH sehingga penetapan alokasi dan penyaluran DBH
dapat dilakukan secara tepat waktu dan tepat jumlah, penyempurnaan formulasi DAU
melalui penerapan pembobotan masing-masing variabel yang diarahkan untuk pemerataan
kemampuan keuangan daerah, serta penajaman kriteria DAK agar lebih tepat sasaran.


V-4                                                             Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Kebijakan Desentralisasi Fiskal                                                        Bab V


Dalam rangka mendukung peningkatan kinerja daerah, mulai tahun 2010 kepada daerah
diberikan Dana Insentif Daerah (DID), yang pada dasarnya merupakan penghargaan kepada
daerah yang berprestasi dari segi pengelolaan keuangan dan perekonomian daerah. Dana
tersebut dialokasikan berdasarkan capaian output dan outcome pembangunan daerah.
Selanjutnya, untuk memperkuat pendanaan daerah dan sekaligus memacu percepatan
pembangunan ekonomi daerah, maka daerah juga diberikan kesempatan untuk melakukan
pinjaman daerah. Pelaksanaan pinjaman daerah harus dilakukan dengan hati-hati (prudent),
mengingat bahwa penerimaan pinjaman harus dikembalikan dananya dan mengandung
konsekuensi biaya, seperti bunga. Oleh karena itu, kebijakan pinjaman yang ada sampai
saat ini dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan fiskal dengan mengatur batasan
pinjaman, sumber pinjaman, jenis dan jangka waktu pinjaman, penggunaan pinjaman,
persyaratan pinjaman, prosedur pinjaman daerah, dan pelaporan pinjaman beserta sanksinya.
Dalam pelaksanaannya, pinjaman daerah harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh
Pemerintah, seperti pemerintah daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman pihak
lain, pendapatan daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah kecuali untuk proyek
yang dibiayai dari obligasi daerah, pemerintah daerah tidak dapat melakukan pinjaman
langsung ke luar negeri, jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang
akan ditarik tidak melebihi 75 persen dari jumlah penerimaan umum APBD tahun
sebelumnya, Debt Service Coverage Ratio paling sedikit 2,5 (dua koma lima), dan tidak
melampaui batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah yang dapat dibiayai dari
pinjaman daerah.
Dalam periode ini, hibah kepada daerah mengalami perkembangan yang signifikan, terutama
setelah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2008 tentang
Hibah Daerah dan PMK Nomor 169 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyaluran Hibah Kepada
Pemerintah Daerah. Kebijakan hibah kepada daerah sampai saat ini diarahkan pada
peningkatan transparansi dan akuntabilitas dana hibah yang diterima oleh daerah dari
Pemerintah, terutama yang bersumber dari penerusan hibah dari luar negeri.
Di samping dukungan kebijakan dan pendanaan dalam bentuk dana desentralisasi, dalam
upaya peningkatan sinergitas antara pusat dan daerah, Pemerintah juga mengalokasikan
dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di
daerah melalui Dana Dekonsentrasi, Dana Tugas Pembantuan, dan dana untuk
melaksanakan program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Dana dekonsentrasi adalah
dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah
yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan
dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.
Sementara itu, Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh daerah dan desa, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran
dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan.
Pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan
kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan yang tersedia bagi penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7
Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, proses perencanaan dan
penganggaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap program dan kegiatan
yang akan didekonsentrasikan/ditugaskan disusun dengan memperhatikan kemampuan
keuangan negara, keseimbangan pendanaan di daerah, dan kebutuhan pembangunan di
daerah. Ketiga parameter penyusunan perencanaan dan penganggaran itu mengandung

Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                              V-5
Bab V                                                                                                                                Kebijakan Desentralisasi Fiskal



makna bahwa pengalokasian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan disesuaikan dengan
kemampuan APBN dalam mendanai urusan Pemerintah Pusat serta mempertimbangkan
besarnya transfer belanja Pusat ke daerah dan kemampuan keuangan daerah, agar alokasi
dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi lebih efektif, efisien, dan tidak
terkonsentrasi di suatu daerah tertentu. Selain itu, penyusunan perencanaan dan
penganggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan juga diarahkan agar sesuai dengan
prioritas pembangunan nasional dan prioritas pembangunan daerah.

5.2.2 Perkembangan Transfer ke Daerah
Desentralisasi fiskal telah dilaksanakan selama satu dasawarsa. Selama kurun waktu tersebut,
perkembangan alokasi Transfer ke Daerah dari tahun ke tahun secara nominal terus
meningkat. Dalam enam tahun terakhir dari tahun 2005 hingga 2010, secara lebih detail
perkembangan Transfer ke Daerah dapat dilihat pada Grafik V.2 dan Tabel V.1.
Pada tahun ke lima pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu pada tahun 2005, transfer ke
daerah masih sekitar Rp150,5 triliun, namun pada APBN-P tahun 2010 jumlah transfer ke
daerah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat sehingga menjadi Rp344,6 triliun.
Peningkatan tersebut terjadi
merata pada semua jenis                                               GRAFIK. V.2
                                                     PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH
transfer ke daerah. DAU yang            (DANA PERIMBANGAN, DANA OTSUS, DAN DANA PENYESUAIAN)
merupakan           komponen                                      TAHUN 2005 - 2010

terbesar dari transfer ke daerah   350
                                                                                                         314,36
                                                                                             287,25
meningkat dari Rp88,7 triliun      300                               243,97
                                                                                278,71

pada tahun 2005 menjadi            250
                                                        222,13
                                                             triliun rupiah




Rp203,6 triliun pada tahun         200     143,22
2010, suatu peningkatan yang       150

sangat signifikan karena           100
                                                                                                     30,25
                                                                             13,72       21,33
meningkat hampir tiga kali          50  7,24         4,05         9,30

lipat. Peningkatan terbesar          0
                                         2005         2006         2007       2008        2009         2010
terjadi pada DAK. Pada tahun            LKPP         LKPP          LKPP       LKPP        LKPP       APBN-P

2005 nilai DAK masih berada                       Dana Otsus dan Penyesuaian           Dana Perimbangan

di bawah Rp4 triliun, tetapi Sumber : Kementerian Keuangan


                                                                                        TABEL V.1
                                              PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH, 2005 - 2010
                                                                                      (miliar rupiah)


                                                                                           LKPP A udited                                                        A PBN-P

              Uraian                                %                          %                                                %                      %
                                                                                                        % thd                                                             % th d
                                     2005          thd     2006               thd         2007                     2008        thd       2009         thd    2010
                                                                                                        PDB                                                               PDB
                                                   PDB                        PDB                                              PDB                    PDB


I. Dana Perim bangan                143.221,3      5,1    222.130,6           6,7        243.967 ,1      6,2     27 8.7 14,7   5,6      287 .251,5    5,1   314.363,3      5,0
a. Dana Bagi Hasil                   50.47 9,2      1,8    64.900,3            1 ,9        62.941,9       1 ,6    7 8.420,2     1,6      7 6.129,9    1,4    89.61 8,4      1,4
b. Dana Alokasi Umum                 88.7 65,4     3,2    145.664,2           4,4        164.7 87 ,4      4,2    17 9.507 ,1   3,6       1 86.414,1   3,3   203.606,5       3,3
c. Dana Alokasi Khusus                3.97 6,7     0,1      11 .566,1         0,3          16.237 ,8     0,4      20.7 87 ,3   0,4       24.7 07 ,4   0,4    21.1 38,4     0,3
II . Dana Otsu s dan Peny esuaian     7 .242,6     0,3      4.049,3           0,1          9.296,0       0,2       13.7 18,8   0,3       21.333,8     0,4   30.249,6       0,5
a. Dana Otonomi Khusus                1 .7 7 5,3   0,1       3.488,3          0,1          4.045,7        0,1       7 .510,3   0,2         9.526,6    0,2     9.099,6       0,1
b. Dana Peny esuaian                  5.467 ,3     0,2           561,1        0,0           5.250,3       0,1       6.208,5    0,1       1 1.807 ,2   0,2    21 .150,0     0,3

              Ju m lah              150.463,9      5,4    226.17 9,9          6,8        253.263,1       6,4     292.433,5     5,9     308.585,2      5,5   344.612,9       5,5

Sumber : Kementerian Keuangan




V-6                                                                                                                             Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Kebijakan Desentralisasi Fiskal                                                      Bab V



pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp24,7 triliun, meskipun kemudian pada tahun 2010
turun menjadi Rp21,1 triliun. Tentunya semua ini tidak terlepas dari kerja keras seluruh
komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat, sehingga pendapatan
negara senantiasa meningkat untuk turut mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, transfer DBH dihitung berdasarkan
persentase tertentu dari realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan, baik dari
penerimaan pajak maupun penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Penerimaan negara
yang berasal dari penerimaan pajak yang dibagihasilkan ke daerah meliputi Pajak
Penghasilan, yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB).
Penerimaan negara yang berasal dari SDA yang dibagihasilkan ke daerah meliputi minyak
bumi, gas bumi, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. Sejak tahun 2006, DBH
SDA Kehutanan juga mencakup DBH Dana Reboisasi (DR), yang merupakan pengalihan
dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR). Sejak tahun 2009, Pemerintah telah
mengalokasikan DBH Cukai Hasil Tembakau yang merupakan amanat dari UU Nomor 39
Tahun 2007 tentang Cukai. Selain itu, dalam APBN-P 2009 juga telah dialokasikan DBH
Panas Bumi tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. Adapun kebijakan pengalokasian dari
tahun ke tahun adalah menyempurnakan proses perhitungan, penetapan alokasi dan
ketepatan waktu penyaluran melalui peningkatan koordinasi dengan institusi pengelola
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam rangka penyediaan data yang lebih akurat.
Sejalan dengan peningkatan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan, realisasi DBH
menunjukkan adanya peningkatan dari Rp50,5 triliun dalam tahun 2005 menjadi Rp76,1
triliun pada tahun 2009, serta meningkat lagi menjadi Rp89,6 triliun pada tahun 2010, atau
rata-rata tumbuh sebesar 13 persen per tahun.
Selanjutnya, pada Grafik V.3 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah
yang menerima DBH SDA tertinggi adalah daerah se-Provinsi Kalimantan Timur, dengan
proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA, masing-masing sebesar
35,24 persen dan 34,06 persen. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa wilayah tersebut
memang penyumbang utama hasil migas nasional, diikuti oleh wilayah Riau dan Sumatera
Selatan. Sedangkan daerah yang menerima DBH SDA paling rendah pada tahun 2009 adalah
daerah se-Provinsi Bali dan pada tahun 2010 adalah daerah se-Provinsi DI Yogyakarta,
dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA yang sama besar
nya yaitu 0,004 persen.
Sementara itu, pada Grafik V.4 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah
yang menerima DBH Pajak tertinggi adalah daerah se-Provinsi DKI Jakarta, dengan proporsi
penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan DBH Pajak, masing-masing sebesar 22,50
persen dan 23,70 persen, sedangkan daerah yang menerima DBH Pajak paling rendah adalah
daerah se-Provinsi Gorontalo, dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan
DBH Pajak pada tahun 2009 dan 2010, masing-masing sebesar 0,34 persen dan 0,28 persen.
Peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun juga terjadi pada DAU, yang terjadi karena
peningkatan rasio alokasi DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri (PDN) neto, yaitu 25,5
persen pada tahun 2005 dan kemudian meningkat menjadi 26 persen dalam periode tahun
2006-2010. Sejalan dengan peningkatan rasio DAU terhadap PDN neto tersebut, maka dalam


Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                           V-7
Bab V                                                                                                                                  Kebijakan Desentralisasi Fiskal




                                                                    GRAFIK. V.3
                                      PETA DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM DAERAH PER PROVINSI DI INDONESIA*)
                                                                 TAHUN 2009 − 2010

                      14.000
                                                                            2009                                                2010
                                       Uraian
                      12.000                             Daerah             Jumlah                 %          Daerah             Jumlah           %
                                  Total                    33                 35.632,17              100         33                31.870,56        100
                                  Tertinggi              Kaltim               12.555,56            35,24       Kaltim              10.853,70      34,06
                      10.000      Terendah                Bali                     1,29            0,004     Yogyakarta                 1,24      0,004
                                  Rata-Rata                33                  1.079,76                -         33                   965,77          -

                      8.000
      miliar rupiah




                      6.000


                      4.000
                                              2009
                                              2010
                      2.000


                           0
                                                 Bengkulu



                                                   Sulteng
                                                    Sumut
                                                 Gorontalo




                                                                                                    Kalteng
                                                   Sumbar

                                                    Sultra




                                                                                                                                                      Sumsel
                                                     Sulut




                                                    Jateng
                                Yogyakarta




                                                    Sulbar




                                                     Sulsel



                                                                                                      Malut



                                                                                                   Lampung
                                   Banten




                                                                                                                                                      Kaltim
                                                                                                     Kalbar




                                                                                                     Papua



                                                                                                                                                       Kalsel
                                                   Maluku
                                      Bali

                                      NTT




                                                                                                      Jatim
                                                                                                      Babel
                                                                                                       DKI




                                                                                                                                                         Riau
                                                                                                     Jambi
                                                                                                      Jabar

                                                                                                       NAD

                                                                                                                                                  Papua Barat
                                                                                                       NTB




                                                                                                                                                        Kepri
                         *) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi dan
                            Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan


 Sumber : Kementerian Keuangan



                                                                                  GRAFIK. V.4
                                                                      PETA DANA BAGI HASIL PAJAK DAERAH
                                                                          PER PROVINSI DI INDONESIA*)
                                                                               TAHUN 2009 - 2010
             12.000
                                                                       2009                                          2010
                                      Uraian
                                                      Daerah           Jumlah            %           Daerah          Jumlah               %
            10.000
                                  Total                   33          39.271,24           100          33                 45.997,51       100
                                  Tertinggi              DKI           8.688,80        22,1%           DKI            10.905,84         23,7%
                  8.000           Terendah           Gorontalo            132,21       0,34%        Gorontalo               129,00      0,28%
                                  Rata-Rata               33            1.190,04               -       33                 1.393,86            -
 miliar rupiah




                  6.000


                  4.000
                                        2009          2010

                  2.000


                         0



                        *) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi
                          dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan


Sumber : Kementerian Keuangan




V-8                                                                                                                                   Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Kebijakan Desentralisasi Fiskal                                                      Bab V



rentang waktu 2005–2010, realisasi DAU meningkat dari Rp88,8 triliun pada tahun 2005,
menjadi Rp186,4 triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi menjadi Rp203,6 triliun pada
tahun 2010 atau rata-rata tumbuh sebesar 18,65 persen per tahun.
Pengalokasikan DAU ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang didasarkan
pada data dasar perhitungan DAU. Sebelum tahun 2006, formula DAU terbagi menjadi dua
komponen utama, yaitu alokasi minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan kesenjangan
fiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai.
Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006,
komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi alokasi dasar (AD) dan celah fiskal
(CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan
keuangan antardaerah, dengan mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas
fiskal masing-masing daerah.
Pada Grafik V.5, dapat dilihat bahwa pada tahun 2010, daerah yang menerima DAU
tertinggi adalah daerah se-Provinsi Jawa Timur, dengan alokasi sekitar 11,06 persen dari
total DAU. Dalam kurun waktu 2005 sampai dengan saat ini, upaya untuk mewujudkan
fungsi DAU sebagai equalization grant dilakukan melalui kebijakan sebagai berikut:
(1) Melakukan pembobotan alokasi dasar dengan persentase di bawah 50 persen dari DAU
    Nasional agar memberikan porsi alokasi yang lebih besar untuk menutup celah fiskal.
    Dengan kebijakan ini berarti besaran rata-rata gaji PNSD per daerah dihitung di bawah
    100 persen.
(2) Melakukan pembobotan pada setiap variabel kebutuhan fiskal dengan asumsi bahwa
    pemanfaatan Transfer ke Daerah adalah untuk pelayanan kepada penduduk dan
    pengelolaan wilayah, sehingga bobot untuk penduduk seimbang dengan bobot untuk
    wilayah.
(3) Menetapkan persentase tertentu dalam menghitung variabel kapasitas fiskal untuk
    mendapatkan indek pemerataan yang terbaik yang dicerminkan dari semakin rendahnya
    Williamson Index.
Pada tahun 2005, DAK dialokasikan untuk 8 bidang, yaitu pendidikan, kesehatan, jalan,
irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, air bersih, serta pertanian.
Selanjutnya, pada tahun 2006 bidang yang didanai melalui DAK ditambah bidang lingkungan
hidup. Bahkan pada tahun 2008 bertambah dua bidang, yaitu bidang Keluarga Berencana
(KB) dan bidang kehutanan. Sedangkan pada tahun 2009 bertambah dua bidang lagi yaitu
bidang perdagangan dan bidang sarana prasarana perdesaan, sehingga menjadi 13 bidang.
Selanjutnya, pada tahun 2010 menjadi 14 bidang sebagai akibat dari dipisahkannya DAK
Air Minum dan DAK Sanitasi yang pada tahun sebelumnya tergabung dalam satu bidang.
Untuk menunjukkan komitmen daerah dalam pelaksanaan DAK, kepada daerah diwajibkan
menganggarkan dana pendamping dalam APBD, sekurang-kurangnya 10 persen dari besaran
alokasi DAK yang diterima. Sejalan dengan penambahan bidang yang dibiayai dengan DAK,
alokasi DAK juga terus meningkat, dari Rp3,97 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun
2005, menjadi Rp20,8 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2008, dan meningkat
menjadi Rp24,7 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2009. Pada tahun 2010,
alokasi DAK mengalami penurunan menjadi Rp21,1 triliun sebagai akibat dari terbatasnya
kemampuan keuangan negara. Sementara itu, dengan semakin bertambahnya daerah
otonom baru berdampak terhadap bertambahnya jumlah daerah yang menerima DAK. Hal


Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                           V-9
Bab V                                                                                                      Kebijakan Desentralisasi Fiskal




                                                                   GRAFIK. V.5
                                               PETA DANA ALOKASI UMUM PER PROVINSI DI INDONESIA*)
                                                               TAHUN 2009 - 2010

                 25.000

                                                       2009                           2010
                              Uraian
                                              Daerah   Jumlah         %      Daerah   Jumlah        %
                 20.000    Total                 33    186.414,10     100      33     192.490,34    100
                           Tertinggi           Jatim    20.854,97    11,19    Jatim    21.290,50   11,06
                           Terendah             DKI          0,00    0,00      DKI          0,00   0,00
                           Rata-Rata            33       5.648,91        -     33       5.833,04       -
                 15.000
 miliar rupiah




                 10.000

                                       2009     2010

                  5.000



                     0




      *) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi
         dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan

            Sumber : Kementerian Keuangan



ini dapat dilihat dari jumlah penerima DAK pada tahun 2005, yaitu dari 377 kabupaten/
kota dan 2 Provinsi pada tahun 2005, menjadi 485 kabupaten/kota dan 32 provinsi pada
tahun 2010.
Adapun sebaran DAK untuk pemerintah daerah se-provinsi di Indonesia disajikan pada
Grafik V.6 di bawah. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan
2010, daerah yang menerima DAK tertinggi adalah daerah se-provinsi Jawa Timur dan
Jawa Tengah dengan proporsi masing-masing sama sebesar 8,65 persen dan 9,32 persen
terhadap total penerimaan DAK seluruh daerah.
Selain Dana Perimbangan, juga dialokasikan Dana Otsus dan Penyesuaian. Dana Otsus
dialokasikan untuk Provinsi Papua dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU nasional
selama 20 tahun, yang diutamakan untuk mendanai pendidikan dan kesehatan. Selain itu,
diberikan juga dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur yang besarnya ditetapkan
antara Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan provinsi setiap tahun. Sementara itu, Dana
Otsus juga dialokasikan untuk Provinsi NAD dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU
nasional selama 15 tahun, untuk tahun ke-16 hingga ke-20 menjadi sebesar 1 persen dari
pagu DAU nasional.
Selanjutnya, Dana Penyesuaian sampai dengan tahun 2007, terutama dialokasikan berupa
Dana Penyeimbang kepada daerah yang menerima DAU lebih kecil dari DAU yang diterima
tahun sebelumnya, sehingga DAU yang diterima minimal sama dengan DAU yang diterima
tahun sebelumnya. Pengalokasian Dana Penyeimbang tersebut bertujuan agar penerapan
formula DAU tidak menimbulkan adanya daerah yang memperoleh DAU lebih kecil dari
DAU tahun sebelumnya, yang selanjutnya dikenal dengan prinsip non-hold harmless. Dalam
perkembangannya, pada tahun 2009 kebijakan non-hold harmless telah dihapuskan.



V-10                                                                                                   Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Kebijakan Desentralisasi Fiskal                                                                                                                                                                                                                                                                                           Bab V




                                                               GRAFIK .V.6
                                           PETA DANA ALOKASI KHUSUS PER PROVINSI DI INDONESIA*)
                                                            TAHUN 2009 - 2010

                 2500
                                                                                                            2009                                                                                               2010
                                       Uraian
                                                                             Daerah                         Jumlah                                         %                   Daerah                          Jumlah                               %
                               Total                                           33                           24.707,42                                       100                    33                             21.133,38                         100
                 2000          Tertinggi                                      Jatim                          2.138,18                                      8,65                  Jateng                            1.969,34                        9,32
                               Terendah                                        DKI                               0,00                                      0,00                   DKI                                  0,00                        0,00
                               Rata-Rata                                       33                              748,71                                         -                    33                                640,41                           -
                 1500
miliar rupiah




                                       2009                        2010
                 1000


                  500


                     0



                                                                                                                                                                                                                                Kalbar




                                                                                                                                                                                                                                                                                                 Jabar
                                                                                                                Banten




                                                                                                                                                                     Jambi




                                                                                                                                                                                                                                         Lampung
                                                                                                                         Bengkulu
                                                                                                         Bali




                                                                                                                                                                             Sulteng
                                       Babel




                                                                                                                                                                                                               Sumsel




                                                                                                                                                                                                                                                                        Sulsel


                                                                                                                                                                                                                                                                                         Papua
                                               Sulbar




                                                                                                                                                                                                                                                               Sumbar




                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 Jateng
                                                                                                 Malut




                                                                                                                                                                                                                        Sulut




                                                                                                                                                                                                                                                                                 Sumut
                         DKI




                                                                             Riau




                                                                                                                                                  Maluku
                                                                                                                                                           Kalteng




                                                                                                                                                                                             Sultra
                                                                                                                                                                                                      Kalsel




                                                                                                                                                                                                                                                   NTT




                                                                                                                                                                                                                                                                                                         Jatim
                                                                                    Yogyakarta




                                                                                                                                    Papua Barat
                               Kepri



                                                        Kaltim




                                                                                                                                                                                                                                                         NAD
                                                                 Gorontalo




                                                                                                                                                                                       NTB




            *) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi
               dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan
                Sumber : Kementerian Keuangan


Pengalokasian Dana Penyesuaian tersebut juga menampung program-program tertentu
untuk jangka waktu tertentu (ad hoc) dengan nomenklatur yang berganti-ganti hingga
tahun 2009 dengan sebutan Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan
Pembangunan Daerah (DPDF & PPD). Selain DPDF & PPD, terdapat alokasi dana untuk
meningkatkan penghasilan bagi guru PNSD yang belum mendapatkan tunjangan profesi,
besarnya adalah Rp250.000, per orang per bulan dalam 12 bulan setahun. Dari alokasi
anggaran Dana Tambahan Penghasilan bagi Guru PNSD tahun 2009 sebesar Rp7,49 triliun
hanya terserap sekitar Rp4,57 triliun atau 61,01 persen.
Pada tahun 2010, DPDF & PPD dialokasikan kembali sebesar Rp7,1 triliun. Sementara itu,
pendanaan untuk guru PNSD selain Dana Tambahan Penghasilan Guru sebesar Rp5,8 triliun
juga dialokasikan Dana Tunjangan Profesi Guru sebesar Rp10,99 triliun. Tunjangan Profesi
Guru tersebut merupakan pengalihan alokasi anggaran dari Kementerian Pendidikan
Nasional.
Secara umum, Dana Penyesuaian tersebut dimaksudkan untuk menampung alokasi
anggaran untuk mendanai kebijakan tertentu pemerintah dan anggaran yang disediakan
untuk mendorong atau menguatkan desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan
daerah. Perkembangan nomenklatur Dana Penyesuaian tahun 2005–2010 dapat dilihat
pada Tabel V.2.




Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                                                                                                                                                                                                                                               V-11
Bab V                                                                                                   Kebijakan Desentralisasi Fiskal



Dalam Grafik V.7, dapat dilihat                                                           TABEL V.2
                                                                   PERKEMBANGAN NOMENKLATUR DANA PENYESUAIAN, TAHUN 2005 - 2010
bahwa realisasi Dana Otsus dan                           No.                Nomenklatur                 2005   2006    2007   2008   2009   2010
Penyesuaian dalam periode 2005–                           1    Dana Penyesuaian Murni                     •     •
2010 mengalami peningkatan yang                           2    Dana Penyesuaian DAU                                      •
                                                          3    Dana Penyeimbang DAU                                            •
signifikan, dari Rp7,2 triliun dalam                      4    Dana Tunjangan Kependidikan                               •     •
tahun 2005, menjadi Rp21,3 triliun                        5    Dana Tambahan DAU                                                      •
                                                          6 Dana Penyesuaian Ad Hoc                       •     •
pada tahun 2009, dan meningkat lagi                       7 Dana Penyesuaian Infrastruktur Jalan                         •
menjadi Rp30,2 triliun dalam APBN-                        8 Dana Penyesuaian Infrastruktur Sarana
                                                                                                                               •
                                                            dan Prasarana (DISP)
P 2010. Peningkatan ini tidak terlepas                    9 Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal &
dari kebijakan Pemerintah untuk                             Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF                                       •      •
                                                            & PPD)
lebih mendorong peran daerah dalam                       10 Dana Penguatan Infrastruktur dan
                                                                                                                                             •
era otonomi daerah yang ditandai                            Prasarana Daerah (DPIPD)
                                                          11 Dana Percepatan Pembangunan
dengan makin beragamnya jenis                                Infrastruktur Pendidikan (DPPIP)                                                •

Dana Penyesuaian dari tahun ke                           12 Dana Insentif Daerah                                                             •
                                                         13 Dana Tambahan Penghasilan Guru                                            •      •
tahun.                                                   14 Kurang Bayar DAK dan DISP                                                 •      •
                                                         Sumber: Kementerian Keuangan



                                                  GRAFIK V.7
                                 PERKEMBANGAN DANA OTSUS DAN DANA PENYESUAIAN
                                               TAHUN 2005 - 2010


                   35

                   30
                               Dana Penyesuaian   Dana Otonomi Khusus

                   25
  triliun rupiah




                   20                                                                                                 21,2


                   15                                                                           11,8 

                   10                                                       6,2

                                                   5,3
                    5    5,5          0,6                                                        9,5                  9,1
                                                                            7,5
                                    3,5            4,0
                         1,8
                   0
                        2005       2006           2007                    2008                  2009                 2010
                        LKPP       LKPP           LKPP                    LKPP                  LKPP                APBN-P
  Sumber : Kementerian Keuangan




5.2.3 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) merupakan komponen utama Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah senantiasa mendorong peningkatan
penerimaan daerah yang bersumber dari PDRD tersebut melalui penyempurnaan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah sesuai dengan
perkembangan keadaan.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan perpajakan daerah dan
retribusi daerah diarahkan untuk memberikan taxing power yang lebih besar kepada daerah.



V-12                                                                                                   Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Kebijakan Desentralisasi Fiskal                                                        Bab V



Dengan pemberian taxing power yang lebih besar tersebut diharapkan pemerintah daerah
dapat memungut sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di masing-masing daerah
untuk mendanai kebutuhan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Saat ini ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang PDRD adalah UU Nomor
28 Tahun 2009 sebagai pengganti dari UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000.
Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tersebut antara
lain adalah:
(1) Mengubah kewenangan pemungutan dari sistem open list menjadi closed list, artinya
    pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum
    dalam UU dimaksud. Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah masih
    dimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan
    Pemerintah. Kebijakan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian kewenangan
    kepada daerah untuk menciptakan jenis pungutan baru sebagaimana diatur dalam UU
    Nomor 34 Tahun 2000 telah menyebabkan timbulnya banyak pungutan daerah yang
    bermasalah. Dengan tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan
    jenis PDRD baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang
    pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
    memenuhi kewajiban perpajakannya.
(2) Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah dengan memperluas
    basis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif.
    Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik, tidak
    menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu
    lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor impor. Berdasarkan
    pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas
    basis pajak daerah yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan menambah jenis
    pajak baru.
    Upaya perluasan basis pajak yang sudah ada antara lain dilakukan dengan menambah
    objek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (termasuk
    kendaraan Pemerintah/TNI/Polri). Sementara itu, terdapat 4 (empat) jenis pajak baru
    bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), Bea
    Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet, dan
    Pajak Rokok. PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB sebelumnya merupakan pajak
    pusat, kini dialihkan menjadi pajak kabupaten/kota, sementara Pajak Sarang Burung
    Walet sebagai pajak kabupaten/kota, dan Pajak Rokok sebagai Pajak Provinsi.
    Selain perluasan basis pajak, perluasan juga dilakukan terhadap beberapa objek retribusi
    dan penambahan jenis retribusi, misalnya Retribusi Izin Gangguan yang diperluas
    sehingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus
    untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum,
    memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan
    kerja.
    Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif, daerah hanya dapat
    menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam UU PDRD
    dimaksud untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah


Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                            V-13
Bab V                                                                    Kebijakan Desentralisasi Fiskal



       beban bagi masyarakat secara berlebihan. Selain penetapan batas maksimum, ditetapkan
       pula ketentuan tarif minimum untuk menghindari terjadinya perang tarif antardaerah
       terutama untuk objek pajak yang mudah bergerak seperti kendaraan bermotor.
(3) Memperbaiki sistem pengelolaan PDRD melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada
    kabupaten/kota, insentif pemungutan PDRD, dan earmarking penerimaan pajak daerah.
    Kebijakan earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan
    pungutan dimana sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk mendanai
    kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut. Sebagai contoh, sebagian penerimaan
    Pajak Penerangan Jalan dialokasikan untuk mendanai penerangan jalan, paling sedikit
    10 persen dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dialokasikan untuk pembangunan
    dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
(4) Dalam rangka mengefektifkan pengawasan PDRD, mekanisme pengawasan diubah dari
    represif menjadi preventif. Setiap peraturan daerah tentang PDRD sebelum dilaksanakan
    harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap daerah
    yang menetapkan kebijakan di bidang PDRD yang melanggar ketentuan peraturan
    perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/
    atau pemotongan DAU dan/atau DBH atau restitusi.
UU Nomor 28 Tahun 2009 mengatur tentang 16 (enam belas) jenis pajak yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah, yaitu 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas) jenis
pajak kabupaten/kota. Sedangkan jenis retribusi yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah
meliputi 14 (empat belas) jenis retribusi jasa umum, 11 (sebelas) jenis retribusi jasa usaha
dan 5 (lima) jenis retribusi perizinan tertentu.
Penetapan jenis PDRD tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis PDRD tersebut
secara umum dipungut hampir disemua daerah dan secara teori maupun praktik merupakan
jenis pungutan yang baik serta memenuhi kriteria sebagai pungutan daerah. Pemerintah
daerah boleh tidak memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum dalam UU tersebut
dengan pertimbangan, antara lain, apabila potensi jenis PDRD di daerah tersebut tidak
memadai. Jenis pajak daerah dan retribusi
                                                             TABEL V.3
daerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun                    JENIS PAJAK DAERAH
2009 masing-masing dapat dilihat pada
                                               Provinsi                Kabupaten/Kota
Tabel V.3 dan Tabel V.4.
                                             1. Pajak Kendaraan Bermotor 1. Pajak Hotel
Sama halnya dengan pajak daerah,
                                             2. Bea Balik Nama               2. Pajak Restoran
pemerintah       daerah    juga     tidak       Kendaraan Bermotor
diperkenankan untuk memungut jenis           3. Pajak Bahan Bakar            3. Pajak Hiburan
                                                Kendaraan Bermotor
retribusi selain yang telah diatur dalam
                                             4. Pajak Air Permukaan          4.    Pajak Reklame
UU Nomor 28 Tahun 2009. Namun                5. Pajak Rokok                  5.    Pajak Penerangan Jalan
demikian,      untuk     mengantisipasi                                      6.    Pajak Parkir
                                                                             7.    Pajak Mineral Bukan Logam dan
perkembangan         keadaan,      maka                                            Batuan
dimungkinkan untuk menambah jenis                                             8.   Pajak Air Tanah
retribusi sepanjang memenuhi kriteria                                         9.   Pajak Sarang Burung Walet
                                                                             10.   PBB Perdesaan dan Perkotaan
yang ditetapkan dalam UU dimaksud                                            11.   Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dengan       menerbitkan      Peraturan                                            dan Bangunan
Pemerintah.
                                            Sumber: UU Nomor 28 Tahun 2009




V-14                                                                    Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Kebijakan Desentralisasi Fiskal                                                                                           Bab V



                                                       TABEL V.4
                                                JENIS RETRIBUSI DAERAH

             Jasa Umum                                   Jasa Usaha                            Perizinan Tertentu
 1 Retribusi Pelayanan Kesehatan        1   Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah        1 Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
 2 Retribusi Kebersihan                 2   Retribusi Pasar Grosir/Pertokoan           2 Retribusi Izin Tempat Penjualan
                                                                                         Minuman Beralkohol
 3 Retribusi KTP dan Akte Capil         3   Retribusi Tempat Pelelangan                3 Retribusi Izin Gangguan
 4 Retribusi Pemakaman/ Pengabuan       4   Retribusi Terminal                         4 Retribusi Izin Trayek
   Mayat
 5 Retribusi Parkir di Tepi             5   Retribusi Tempat Khusus Parkir             5 Retribusi Izin Usaha Perikanan
   Jalan Umum
 6 Retribusi Pelayanan Dasar            6   Retribusi Tempat Penginapan/
                                            Pesanggrahan/Villa
 7 Retribusi Pengujian Kendaraan        7   Retribusi Rumah Potong Hewan
   Bermotor
 8 Retribusi Pemeriksaan Alat           8   Retribusi Pelayanan Kepelabuhan
   Pemadam Kebakaran
 9 Retribusi Penggantian Biaya          9   Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
   Cetak Peta
10 Retribusi Pelayanan Tera/            10 Retribusi Penyeberangan di Air
   Tera Ulang
11   Retribusi Penyedotan Kakus         11 Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah
12   Retribusi Pengolahan Limbah Cair
13   Retribusi Pelayanan Pendidikan
14   Retribusi Pengendalian Menara
     Telekomunikasi

Sumber: UU Nomor 28 Tahun 2009


Penentuan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu yang dapat dipungut
oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota didasarkan pada
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan masing-masing daerah sesuai peraturan
perundang-undangan, sedangkan untuk retribusi jasa usaha didasarkan pada siapa yang
menyediakan jasa. Pemanfaatan hasil penerimaan masing-masing jenis retribusi daerah
diutamakan untuk mendanai kegiatan yang bersangkutan dengan tujuan agar pelayanan
yang disediakan dapat senantiasa ditingkatkan.
Lebih lanjut dalam ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009, Pemerintah melakukan
pengawasan secara preventif dan korektif terhadap Perda-perda tentang PDRD yang
ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pengawasan preventif dilakukan dengan mengevaluasi
raperda sebelum ditetapkan menjadi perda, sedangkan pengawasan korektif dilakukan
dengan mengevaluasi perda tentang PDRD yang telah ditetapkan oleh kepala daerah.
Apabila dalam pengawasan tersebut ditemukan perda yang bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah dapat
melakukan pembatalan atas perda bermasalah tersebut. Sejak tahun 2001 sampai dengan
2010, terdapat 13.623 perda tentang PDRD yang diterima dan telah dievaluasi sebanyak
13.252 perda. Dari jumlah yang dievaluasi tersebut, 4.885 perda (37 persen) diantaranya
direkomendasikan untuk dibatalkan karena tidak sesuai dengan kepentingan umum dan/
atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk raperda, dari 2.765 yang
diterima, sejumlah 2.754 diantaranya telah dievaluasi dengan hasil                   352
(13 persen) raperda ditolak dan 1.522 (55 persen) raperda direkomendasikan untuk direvisi.




Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                                               V-15
Bab V                                                          Kebijakan Desentralisasi Fiskal



Terkait dengan kepatuhan hukum, Pemerintah dapat mengenakan sanksi kepada daerah
yang tetap melakukan pemungutan PDRD walaupun telah diberikan ketetapan pembatalan
atas perda PDRD tersebut. Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009, pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAU dan/atau
DBH atau restitusi, dengan ketentuan sebagai berikut:
(1) Pelanggaran terhadap prosedur penetapan raperda menjadi perda adalah berupa
    penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan bagi daerah yang tidak memperoleh DAU
    sebesar 10 persen untuk setiap periode penyaluran;
(2) Pelanggaran terhadap daerah yang tetap melaksanakan pemungutan PDRD berdasarkan
    perda yang dibatalkan adalah berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan
    sebesar perkiraan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah dipungut
    untuk setiap periode penyaluran DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan atau 5 persen
    dari jumlah DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan yang disalurkan untuk setiap periode
    penyaluran.
Selanjutnya, beberapa hal krusial dalam pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah
sebagai berikut:
(1) Pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah mulai berlaku efektif pada
    tanggal 1 Januari 2011, sehingga penerimaan BPHTB tidak lagi dianggarkan dalam
    APBN tahun 2011;
(2) Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pajak pusat menjadi pajak daerah
    dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 1 Januari 2014. Dengan demikian,
    penerimaan PBB sektor perdesaan dan perkotaan tidak lagi dianggarkan dalam APBN
    apabila perda tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan sudah berlaku di daerah;
(3) Penerimaan terhadap jenis pungutan yang tidak terdapat dalam UU Nomor 28 Tahun
    2009 tidak dianggarkan lagi dalam APBD tahun 2011;
(4) Untuk perda tentang PDRD yang berlaku saat ini dan masih tercantum sebagai jenis
    PDRD menurut UU Nomor 28 Tahun 2009, maka ketentuan pemungutannya harus
    disesuaikan dengan UU dimaksud paling lambat tanggal 31 Desember 2012;
(5) Terkait dengan PBB Perdesaan dan Perkotaan, Pemerintah perlu melakukan konsultasi/
    koordinasi/sosialisasi dengan instansi terkait dan mempersiapkan sarana dan prasarana
    serta sumber daya manusia, khususnya tenaga administrator, pendataan, penilaian,
    dan penetapan.

5.2.4 Pinjaman dan Hibah Daerah
5.2.4.1 Pinjaman Daerah
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2005 tentang Pinjaman Daerah, diamanatkan bahwa Pemerintah menetapkan batas
maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan
keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional. Batas maksimal kumulatif
dimaksud adalah 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun anggaran yang



V-16                                                          Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Kebijakan Desentralisasi Fiskal                                                          Bab V



bersangkutan. Dalam rangka menjaga batas tersebut, setiap tahun Pemerintah menetapkan
batas maksimal kumulatif defisit APBD, batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah,
dan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah.
Untuk menutup defisit APBD, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman daerah yang
bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga
keuangan bukan bank, dan masyarakat dalam bentuk obligasi daerah. Grafik V.8
menggambarkan perkembangan kontribusi pinjaman daerah terhadap pembiayaan defisit
APBD. Kontribusi tersebut dihitung dari besarnya penarikan pinjaman daerah dibandingkan
dengan besarnya defisit pada
APBD. Berdasarkan grafik                                                GRAFIK. V.8
                                                    PERKEMBANGAN KONTRIBUSI PINJAMAN DAERAH
tersebut, dari tahun 2007 sampai               TERHADAP PEMBIAYAAN DEFISIT APBD TAHUN 2007-2010
dengan tahun 2010, kontribusi
                                                                     6,13
pinjaman daerah terhadap              7%                   5,32
pembiayaan defisit APBD sangat        6%                                         4,63
                                                                                       4,21
kecil dan berfluktuasi antara 4       5%
persen sampai dengan 7 persen.        4%
                                      3%
Defisit APBD pada umumnya
                                      2%
ditutup dari Sisa Lebih               1%
Pembiayaan Anggaran (SILPA)           0%
tahun sebelumnya masing-                           2007         2008         2009     2010

masing Pemerintah Daerah.         Sumber: Kementerian Keuangan


Dalam era otonomi daerah, sebagian besar pinjaman daerah yang digunakan untuk menutup
defisit bersumber dari Pemerintah dan lembaga keuangan bank. Pemerintah dapat
memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah yang dananya bersumber dari pendapatan
APBN dan/atau pengadaan pinjaman Pemerintah dari dalam negeri maupun luar negeri.
Pengadaan pinjaman luar negeri dikelola melalui mekanisme penerusan pinjaman luar negeri
(Subsidiary Loan Agreement/SLA). Penerusan pinjaman luar negeri pada umumnya
merupakan pinjaman jangka panjang yang digunakan untuk mendanai proyek investasi
yang menghasilkan penerimaan. Beberapa sumber pinjaman luar negeri tersebut adalah
pinjaman yang bersumber dari badan-badan yang sifatnya multilateral seperti Bank Dunia
(World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Bank Pembangunan
Islam (Islamic Development Bank), dan negara-negara lain secara bilateral. Di samping
itu, Pemerintah terus berupaya mendorong pemerintah daerah untuk mengoptimalkan
sumber pinjaman dalam negeri berupa obligasi daerah yang diperdagangkan di pasar modal
domestik.

5.2.4.2 Hibah Daerah
Pemberian hibah kepada pemerintah daerah merupakan wujud pelaksanaan hubungan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah yang merupakan suatu sistem
pendanaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selanjutnya,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara memberikan
kewenangan kepada Pemerintah untuk dapat memberikan hibah kepada pemerintah daerah.
Kebijakan pemberian hibah kepada daerah tersebut kemudian dipertegas dalam Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004. Peraturan-peraturan tersebut mengatur secara tegas bahwa
pemberian hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari

Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                               V-17
Bab V                                                           Kebijakan Desentralisasi Fiskal



penerimaan dalam negeri, pinjaman dalam negeri serta penerusan pinjaman luar negeri
dan hibah luar negeri dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan pemberian hibah kepada pemerintah
daerah adalah sebagai berikut:
(1) Hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah dilaksanakan dalam kerangka
    hubungan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Hibah dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah,
    pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
(3) Hibah dilaksanakan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah berdasarkan
    peta kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Hibah bersifat bantuan untuk melaksanakan kegiatan urusan pemerintahan yang
    merupakan kewenangan pemerintah daerah.
Hibah kepada daerah dalam kerangka hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan
pemerintah daerah, mulai dilaksanakan pada tahun 2009 dengan ditandatanganinya Naskah
Perjanjian Penerusan Hibah (NPPH) antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta untuk kegiatan Mass Rapid Transit (MRT). Hibah ini bersumber dari pinjaman
luar negeri yang berasal dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Proyek MRT
merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan transportasi di Jakarta
yang menjadi prioritas pembangunan nasional dan telah tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang akan dilaksanakan oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hibah ini dilakukan secara bertahap dan direncanakan
mulai direalisasikan pada tahun 2010.
Pada APBN tahun 2009 telah dialokasikan dana hibah kepada daerah sebesar Rp31,6 miliar
yang merupakan kegiatan penerusan hibah untuk kegiatan Local Basic Education Capacity
(L-BEC) dan Support to Community Health Services (SCHS). L-BEC adalah kegiatan
penerusan hibah yang bersumber dari hibah Uni Eropa dan Pemerintah Kerajaan Belanda
(dikelola oleh Bank Dunia) untuk kegiatan peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam
bidang pendidikan dasar. Hibah L-BEC diteruskan kepada 50 kabupaten/kota. Sementara
itu, hibah SCHS bersumber dari bantuan Uni Eropa (dikelola oleh WHO) ditujukan untuk
peningkatan fasilitas ruang isolasi pasien flu burung yang diberikan kepada 10 rumah sakit
yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
Selanjutnya pada tahun 2010, APBN mengalokasikan dana hibah kepada daerah sebesar
Rp243,21 miliar. Dana tersebut merupakan penerusan hibah untuk 5 kegiatan. Hibah untuk
kegiatan MRT merupakan rencana realisasi hibah yang penandatanganan NPPH-nya sudah
dilakukan pada tahun 2009. Kegiatan L-BEC merupakan lanjutan dari tahun 2009 dan
direncanakan berakhir pada tahun 2012. Selain dua kegiatan tersebut, APBN 2010 juga
mengalokasikan hibah yang bersumber dari AusAID dan Bank Dunia. AusAID memberikan
hibah untuk kegiatan Hibah Air Minum dan Hibah Air Limbah. Hibah Air Minum tersebut
ditujukan untuk peningkatan akses penyediaan air minum bagi masyarakat yang belum
memiliki akses sambungan air minum perpipaan. Sedangkan Hibah Air Limbah ditujukan
untuk peningkatan akses sistem air limbah perpipaan bagi masyarakat. Selanjutnya, dalam
kegiatan WASAP-D, Bank Dunia memberikan hibah yang ditujukan untuk pembangunan
sarana pengelolaan air limbah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. (lihat Tabel V.5)


V-18                                                          Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Kebijakan Desentralisasi Fiskal                                                                                                   Bab V




                                         TABEL V.5
                  ALOKASI HIBAH KEPADA DAERAH DALAM APBN, TAHUN 2009-2010

                                                                                 2009                                2010

No.          Kegiatan                         Sum ber                    Ju m l a h        Da er a h       Ju m l a h        Da er a h
                                                                       (m i l i a r Rp)   Pen er i m a   (m i l i a r Rp)   Pen er i m a


      Mass Rapid Transit
 1                              Pinjaman dari JICA                                                             34,38                 1
      (MRT)

      Local Basic Education     Hibah dari Pemerintah Belanda dan
 2                                                                            22,5             25              80,08               50
      Capacity (L-BEC)          Uni Eropa (dikelola World Bank)
      Support to Community      Hibah dari Uni Eropa (dikelola World
 3                                                                              9,1            10
      Health Serv ices (SCHS)   Health Organisation)

 4    Hibah Air Minum           Hibah dari AusA id                                                            1 06,1 5             22

 5    Hibah Air Limbah          Hibah dari AusA id                                                                  10               1

 6    WA SA P-D                 Hibah dari World Bank                                                            1 2,6               6

Sumber : Kementerian Keuangan

Pelaksanaan hibah kepada daerah, khususnya yang bersumber dari luar negeri, telah
mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Namun, masih terbuka kemungkinan-
kemungkinan upaya optimalisasi dalam kebijakan pemberian hibah kepada daerah sehingga
diharapkan dapat memperkuat kapasitas fiskal daerah dan mewujudkan pemerataan
antardaerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan
potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.
Upaya optimalisasi tersebut salah satunya dilakukan dengan mengidentifikasi terlebih dahulu
permasalahan-permasalahan yang menyangkut hibah kepada daerah yang bersumber dari
pinjaman luar negeri ataupun hibah luar negeri. Untuk itu, kebijakan yang akan diterapkan
dalam pelaksanaan hibah ke depan antara lain:
(1) Pelaksanaan hibah ke daerah, baik yang bersumber dari pinjaman luar negeri ataupun
    hibah luar negeri, harus dituangkan seluruhnya dalam suatu Naskah Perjanjian Hibah
    antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(2) Penerusan hibah luar negeri kepada Pemerintah Daerah dilakukan melalui Menteri
    Keuangan, sehingga dicatat dalam APBN dan APBD.
(3) Prosedur/aturan yang lebih fleksibel sehingga dapat mengakomodasi prosedur yang
    memudahkan bagi negara pemberi hibah.
(4) Pengakuan, pencatatan, dan pelaporan hibah dalam APBD sesuai ketentuan yang berlaku.
(5) Peningkatan koordinasi antarinstansi Pemerintah dalam mengelola hibah yang ditujukan
    kepada pemerintah daerah dengan melaksanakan peraturan perundang-undangan
    secara tertib.
Hal lainnya adalah terkait dengan pemberian hibah kepada daerah yang bersumber dari
penerimaan dalam negeri. Selain penerapan kebijakan-kebijakan di atas, upaya optimalisasi
dapat dilakukan antara lain dengan penataan ulang atas dana APBN yang didesentralisasikan.
Perlu adanya konsistensi dan ketegasan kriteria antar dana-dana yang dilaksanakan di daerah
agar tercipta pola pendanaan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.


Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                                                        V-19
Bab V                                                                                    Kebijakan Desentralisasi Fiskal



5.2.5 Gambaran Pelaksanaan APBD
Total realisasi pendapatan seluruh provinsi tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar
35,1 persen dari tahun 2007, yang kenaikan terbesarnya disumbangkan oleh Dana
Perimbangan sebesar 53,3 persen. Sementara itu, Lain-lain Pendapatan Daerah justru
mengalami penurunan sebesar 1,7 persen (lihat Tabel V.6).
Berbeda halnya dengan realisasi pendapatan                                        Tabel V.6
provinsi, seluruh kelompok pendapatan                                 REALISASI PENDAPATAN PROVINSI
                                                                            TAHUN 2007 dan 2008
kabupaten dan kota mengalami kenaikan.                                         (miliar rupiah)
Kenaikan realisasi pendapatan kabupaten
dan kota tersebut adalah sebesar 25,2 persen      Kelompok Pendapatan                    2007                2008
                                                                                                                                    Perubahan
                                                                                                                                       (%)
pada tahun 2008 (lihat Tabel V.7).
                                                 Pendapatan Asli Daerah                  35.1 7 7 ,1         44.51 5,5                    21 ,0

Peningkatan pendapatan juga diikuti              Dana Perimbangan                        22.1 96,6           47 .553,7                    53,3

dengan pertumbuhan pada sisi belanja.            Lain-lain Pendapatan Daerah              4.7 37 ,0               4.658,2                  -1 ,7

Dalam empat tahun terakhir, belanja APBD                         T otal                 64.117 ,7           98.7 35 ,3                   35 ,1

provinsi mengalami pertumbuhan yang              Sumber : Kementerian Keuangan

cukup tinggi. Setiap jenis belanja tumbuh,
tak terkecuali belanja modal yang                                                 Tabel V.7
                                                                 REALISASI PENDAPATAN KABUPATEN DAN KOTA
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar                                      TAHUN 2007 dan 2008
                                                                                (miliar rupiah)
20,13 persen. Pertumbuhan rata-rata
                                                                                                                                    Perubahan
tertinggi ada pada belanja barang dan jasa         Kelompok Pendapatan                     2007                   2008
                                                                                                                                       (%)
diikuti dengan belanja pegawai. Di lain          Pendapatan Asli Daerah                    16.727,3           20.230,4                     20,9
pihak, pertumbuhan terendah adalah pada          Dana Perimbangan                        196.284,3           246.688,4                     25,7
Belanja Lainnya. Belanja Lainnya                 Lain-lain Pendapatan Daerah              10.439,0                12.788,1                 22,5
merupakan gabungan dari belanja bunga,                           Total
                                                                                        223.450,6           279.706,9                     25,2
subsidi, hibah, bantuan sosial, bantuan          Sumber : Kementerian Keuangan

keuangan, dan belanja tak terduga. (lihat
Tabel V.8).
                                                                                     TABEL V.8
Komposisi belanja pemerintah provinsi pada                         TOTAL ALOKASI BELANJA APBD PROVINSI PER JENIS
                                                                                TAHUN 2007 DAN 2010
dasarnya tidak mengalami banyak                                                    (miliar rupiah)


perubahan. Berbeda halnya dengan                   Jenis Belanja           2007           2010
                                                                                                              Rasio (%)              Pertumbuhan
                                                                                                                                     Rata-rata (%)
pemerintah kabupaten dan kota. Jika pada                                                                   2007          2010

                                                 Pegawai                    14.648,7      29.838,3        24,08         26,37              26,76
tahun 2007 belanja pegawai mengambil             Barang dan Jasa            11.596,7       26.871,6       19,07         23,75              32,33
porsi sebesar 40,91 persen dari total belanja,   Modal                      15.174,8      26.307,2        24,95         23,25              20,13

pada tahun 2010 porsi tersebut meningkat         Lainnya
                                                         Total
                                                                            19.406,7
                                                                          60.827,0
                                                                                          30.166,2
                                                                                        113.113,3
                                                                                                          31,90
                                                                                                         100,00
                                                                                                                        26,62
                                                                                                                      100,00
                                                                                                                                            15,8
                                                                                                                                          22,98
menjadi 50,74 persen. Sebaliknya, belanja        Sumber : Kementerian Keuangan


modal dari total belanja turun dari 31,16
persen pada tahun 2007 menjadi 21,90
                                                                                   TABEL V.9
persen pada tahun 2010 (lihat Tabel V.9).                  TOTAL ALOKASI BELANJA APBD KABUPATEN DAN KOTA PER JENIS
                                                                             TAHUN 2007 DAN 2010
                                                                                 (miliar rupiah)
Dilihat dari belanja per fungsi, alokasi                                                                      Rasio (%)
                                                                                                                                     Pertumbuhan
belanja pada APBD provinsi mengalami               Jenis Belanja           2007             2010
                                                                                                           2007         2010         Rata-rata (%)

perkembangan yang cukup menarik. Dari            Pegawai                   103.238,77       160.646,77      40,91        50,74            15,88

tahun 2007 ke tahun 2009, belanja untuk          Barang dan Jasa
                                                 Modal
                                                                            42.984,31
                                                                            78.645,63
                                                                                             53.213,50
                                                                                             69.314,08
                                                                                                            17,03
                                                                                                            31,16
                                                                                                                            16,81
                                                                                                                             21,9
                                                                                                                                            7,38
                                                                                                                                          (4,12)
fungsi pendidikan mengalami pertumbuhan          Lainnya                    27.502,20        33.406,31      10,90           10,55            6,7

tertinggi hampir mendekati 53 persen.                    Total            252.370,90
                                                 Sumber : Kementerian Keuangan
                                                                                          316.580,67      100,00      100,00               7,85




V-20                                                                                    Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Kebijakan Desentralisasi Fiskal                                                                                                  Bab V



Urutan berikutnya ditempati                                                 TABEL V. 10
                                                          TOTAL ALOKASI BELANJA APBD PROVINSI PER FUNGSI
masing-masing oleh fungsi kesehatan                                     TAHUN 2007 dan 2009
                                                                           (miliar rupiah)
dan pelayanan umum. Urutan
                                                                                                        % thd Total
terakhir adalah fungsi lainnya yang                                                                      Belanja           Pertumbuhan
                                               No.        Fungsi          2007           2009
merupakan gabungan dari fungsi                                                                         2007     2009
                                                                                                                           Rata-rata (%)

ekonomi,       lingkungan     hidup,            1    Pelay anan Umum      32.251 ,6      51 .088,5      5 3,0     5 6,8             25,9
                                                2    Pendidikan               4.524,6    1 0.5 51 ,6     7 ,4     1 1 ,7            5 2,7
ketentraman       dan    ketertiban,            3    Kesehatan                4.055 ,0    8.099,1        6,7       9,0              41 ,3

perumahan dan fasilitas umum,                   4    Lainny a             1 9.995,8      20.241 ,9      32,9      22,5               0,6
                                               Sumber: Kementerian Keuangan
pariwisata dan budaya, serta
perlindungan sosial. Pertumbuhan                                             TABEL V. 11
total belanja APBD provinsi per fungsi               TOTAL ALOKASI BELANJA APBD KABUPATEN DAN KOTA PER FUNGSI
                                                                        TAHUN 2007 dan 2009
dapat dilihat pada Tabel V.10.                                              (miliar rupiah)
                                                                                                         % thd Total
Belanja per fungsi pada total APBD No.         Fungsi       2007       2009           Belanja       Pertumbuhan
                                                                                                    Rata-rata (%)
kabupaten dan kota juga mengalami                                                  2007    2009
                                       1 Pelayanan Umum      77.333,67   93.593,84  30,53    28,92       10.01
perkembangan serupa. Pertumbuhan 2 Pendidikan               69.589,85   101.046,70  27,48     31,22     20.50
rata-rata belanja untuk Fungsi 3 Kesehatan                  24.606,03    29.697,56   9,71      9,18      9.86
                                       4 Lainnya             81.754,56   99.292,18  32,28    30,68       10.21
Pendidikan hampir mendekati 21 Sumber: Kementerian Keuangan
persen. Porsi belanja untuk total
Fungsi Pendidikan pada APBD kabupaten dan kota sudah sesuai dengan Undang-Undang
bidang Pendidikan yang pada tahun 2007 sebesar 27,48 persen kemudian meningkat menjadi
31,22 persen pada tahun 2009. Urutan berikutnya ditempati masing-masing oleh Fungsi
Lainnya dan Fungsi Pelayanan Umum. Sementara itu, Fungsi Kesehatan mengalami
pertumbuhan rata-rata sebesar 9,86 persen. Pertumbuhan total belanja APBD kabupaten
dan kota per fungsi dapat dilihat pada Tabel V.11.

5.2.6 Implikasi Desentralisasi Fiskal terhadap Perkembangan
Ekonomi Daerah
Desentralisasi fiskal di Indonesia dilakukan dengan pemberian diskresi belanja daerah yang
luas dengan didukung oleh pendanaan transfer dari pusat dan penguatan local taxing power.
Desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaran
pemerintahan dan pelayanan publik di daerah. Hal ini dikarenakan dekatnya tingkatan
pemerintahan yang memberikan layanan dengan masyarakat yang dilayaninya, sehingga
pemerintah daerah memahami kebutuhan dan prioritas daerah mereka. Selanjutnya,
peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan akan mendorong semakin baiknya
akses layanan publik dan pada akhirnya akan mendorong perekonomian daerah serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi dapat dinilai dari beberapa indikator. Salah
satu indikator outcome yang lazim digunakan adalah pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah adalah tingkat konsumsi, investasi,
ketenagakerjaan, dan multiplier effect dari belanja pemerintah, serta kegiatan perdagangan
daerah.
Pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi nasional adalah 6,1 persen. Pada Grafik V.9
terlihat bahwa terdapat 14 provinsi yang tingkat pertumbuhan ekonominya di atas
pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu, pada tahun 2009, dengan pertumbuhan
ekonomi nasional sebesar 4,55 persen terdapat 22 provinsi yang berada di atas pertumbuhan


Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                                                       V-21
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Más contenido relacionado

La actualidad más candente

Keuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerahKeuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerahEfry Ghani
 
Tugas asp 2 analisis apbn 2016
Tugas asp 2 analisis apbn 2016Tugas asp 2 analisis apbn 2016
Tugas asp 2 analisis apbn 2016EnvaPya
 
ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MENJELASKAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) (KASUS: KA...
ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MENJELASKAN  DANA ALOKASI UMUM (DAU) (KASUS: KA...ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MENJELASKAN  DANA ALOKASI UMUM (DAU) (KASUS: KA...
ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MENJELASKAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) (KASUS: KA...fajrillah
 
FINAL REKOMENDASI DPRD SULTRA ATAS LKPJ 2009
FINAL REKOMENDASI DPRD SULTRA ATAS LKPJ 2009FINAL REKOMENDASI DPRD SULTRA ATAS LKPJ 2009
FINAL REKOMENDASI DPRD SULTRA ATAS LKPJ 2009Ade Suerani
 
Strategi peningkatan pad
Strategi peningkatan padStrategi peningkatan pad
Strategi peningkatan padZulfikri Armada
 
ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH ...
ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH ...ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH ...
ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH ...STIE Mulia Pratama
 
(Fiscally distressed) municipal merger
(Fiscally distressed) municipal merger(Fiscally distressed) municipal merger
(Fiscally distressed) municipal mergerBeta Uliansyah
 
Kebijakan dana-alokasi-umum-2021
Kebijakan dana-alokasi-umum-2021Kebijakan dana-alokasi-umum-2021
Kebijakan dana-alokasi-umum-2021BappedaLampungUtara
 
APBN dan APBD Materi Ekonomi Kelas 12 MA/SMA
APBN dan APBD Materi Ekonomi Kelas 12 MA/SMAAPBN dan APBD Materi Ekonomi Kelas 12 MA/SMA
APBN dan APBD Materi Ekonomi Kelas 12 MA/SMAPraktisiMadrasah
 
Anggaran-sektor-publik
 Anggaran-sektor-publik Anggaran-sektor-publik
Anggaran-sektor-publikRESTU AGUSTI
 
Cara cepat memahami transfer
Cara cepat memahami transferCara cepat memahami transfer
Cara cepat memahami transferpramudjo pratopo
 
Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara (APBN)
Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara (APBN)Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara (APBN)
Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara (APBN)Jogo Hera
 
Cara cepat memahami transfer
Cara cepat memahami transferCara cepat memahami transfer
Cara cepat memahami transferPramudjo211052
 
Ringkasan APBN 2017
Ringkasan APBN 2017Ringkasan APBN 2017
Ringkasan APBN 2017Tony Hidayat
 

La actualidad más candente (20)

Keuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerahKeuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerah
 
Tugas asp 2 analisis apbn 2016
Tugas asp 2 analisis apbn 2016Tugas asp 2 analisis apbn 2016
Tugas asp 2 analisis apbn 2016
 
Makalah apbd
Makalah apbdMakalah apbd
Makalah apbd
 
Sistem pengelolaan keuangan daerah
Sistem pengelolaan keuangan daerah Sistem pengelolaan keuangan daerah
Sistem pengelolaan keuangan daerah
 
ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MENJELASKAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) (KASUS: KA...
ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MENJELASKAN  DANA ALOKASI UMUM (DAU) (KASUS: KA...ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MENJELASKAN  DANA ALOKASI UMUM (DAU) (KASUS: KA...
ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MENJELASKAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) (KASUS: KA...
 
FINAL REKOMENDASI DPRD SULTRA ATAS LKPJ 2009
FINAL REKOMENDASI DPRD SULTRA ATAS LKPJ 2009FINAL REKOMENDASI DPRD SULTRA ATAS LKPJ 2009
FINAL REKOMENDASI DPRD SULTRA ATAS LKPJ 2009
 
Strategi peningkatan pad
Strategi peningkatan padStrategi peningkatan pad
Strategi peningkatan pad
 
ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH ...
ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH ...ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH ...
ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH ...
 
(Fiscally distressed) municipal merger
(Fiscally distressed) municipal merger(Fiscally distressed) municipal merger
(Fiscally distressed) municipal merger
 
Kebijakan dana-alokasi-umum-2021
Kebijakan dana-alokasi-umum-2021Kebijakan dana-alokasi-umum-2021
Kebijakan dana-alokasi-umum-2021
 
APBN dan APBD Materi Ekonomi Kelas 12 MA/SMA
APBN dan APBD Materi Ekonomi Kelas 12 MA/SMAAPBN dan APBD Materi Ekonomi Kelas 12 MA/SMA
APBN dan APBD Materi Ekonomi Kelas 12 MA/SMA
 
Gambaran umum uu 28 2009
Gambaran umum uu 28 2009Gambaran umum uu 28 2009
Gambaran umum uu 28 2009
 
Anggaran-sektor-publik
 Anggaran-sektor-publik Anggaran-sektor-publik
Anggaran-sektor-publik
 
Cara cepat memahami transfer
Cara cepat memahami transferCara cepat memahami transfer
Cara cepat memahami transfer
 
anggaran pemerintah
anggaran pemerintahanggaran pemerintah
anggaran pemerintah
 
Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara (APBN)
Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara (APBN)Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara (APBN)
Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara (APBN)
 
Uu 01 2002 Pjls
Uu 01 2002 PjlsUu 01 2002 Pjls
Uu 01 2002 Pjls
 
Apbd
Apbd  Apbd
Apbd
 
Cara cepat memahami transfer
Cara cepat memahami transferCara cepat memahami transfer
Cara cepat memahami transfer
 
Ringkasan APBN 2017
Ringkasan APBN 2017Ringkasan APBN 2017
Ringkasan APBN 2017
 

Destacado

Destacado (9)

Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab III)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab III)Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab III)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab III)
 
Pertemuan ke-17 Menteri Keuangan APEC
Pertemuan ke-17 Menteri Keuangan APECPertemuan ke-17 Menteri Keuangan APEC
Pertemuan ke-17 Menteri Keuangan APEC
 
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (BAB I)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (BAB I)Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (BAB I)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (BAB I)
 
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab IV)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab IV)Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab IV)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab IV)
 
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab VI)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab VI)Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab VI)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab VI)
 
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab II)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab II)Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab II)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab II)
 
Ministry of Finance Green Paper
Ministry of Finance Green PaperMinistry of Finance Green Paper
Ministry of Finance Green Paper
 
SEJARAH KOSMOLOGI
SEJARAH KOSMOLOGISEJARAH KOSMOLOGI
SEJARAH KOSMOLOGI
 
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Daftar Isi)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Daftar Isi)Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Daftar Isi)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Daftar Isi)
 

Similar a Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

4A-TEMPLATE- PENELITIAN DOSEN PEMULA DASAR.pdf
4A-TEMPLATE- PENELITIAN DOSEN PEMULA DASAR.pdf4A-TEMPLATE- PENELITIAN DOSEN PEMULA DASAR.pdf
4A-TEMPLATE- PENELITIAN DOSEN PEMULA DASAR.pdfWildaFatmala
 
Tinjauan atas formula Perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) ppt
Tinjauan atas formula Perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) pptTinjauan atas formula Perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) ppt
Tinjauan atas formula Perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) pptEnvaPya
 
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FISKAL DALAM RANGKA MENDUKUNG PEMULIHAN EKONOMI DAN RE...
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FISKAL DALAM RANGKA MENDUKUNG PEMULIHAN EKONOMI DAN RE...IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FISKAL DALAM RANGKA MENDUKUNG PEMULIHAN EKONOMI DAN RE...
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FISKAL DALAM RANGKA MENDUKUNG PEMULIHAN EKONOMI DAN RE...BappedaLampungUtara
 
Keuangan pusat dan daerah
Keuangan pusat dan daerahKeuangan pusat dan daerah
Keuangan pusat dan daerahDian Herdiana
 
Desentralisasi fiskla arah kebijakan 2014
Desentralisasi fiskla arah kebijakan 2014Desentralisasi fiskla arah kebijakan 2014
Desentralisasi fiskla arah kebijakan 2014Mulyadi Yusuf
 
APBN_APBD_Fungsi_Tujuannya_Serta_Tingkat.pptx
APBN_APBD_Fungsi_Tujuannya_Serta_Tingkat.pptxAPBN_APBD_Fungsi_Tujuannya_Serta_Tingkat.pptx
APBN_APBD_Fungsi_Tujuannya_Serta_Tingkat.pptxindridesiyanti
 
Potensi Pendanaan Program Sanitasi
Potensi Pendanaan Program SanitasiPotensi Pendanaan Program Sanitasi
Potensi Pendanaan Program Sanitasiinfosanitasi
 
Strategi Percepatan Implementasi SPM Untuk Mendukung Peningkatan Kualitas Pel...
Strategi Percepatan Implementasi SPM Untuk Mendukung Peningkatan Kualitas Pel...Strategi Percepatan Implementasi SPM Untuk Mendukung Peningkatan Kualitas Pel...
Strategi Percepatan Implementasi SPM Untuk Mendukung Peningkatan Kualitas Pel...Tri Widodo W. UTOMO
 
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amj
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amjBab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amj
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amjCahyo Wiryanto
 
Analisis efektivitas dan efisiensi pada program dana desa sebagai fungsi dist...
Analisis efektivitas dan efisiensi pada program dana desa sebagai fungsi dist...Analisis efektivitas dan efisiensi pada program dana desa sebagai fungsi dist...
Analisis efektivitas dan efisiensi pada program dana desa sebagai fungsi dist...ANTON HILMAN
 
MAKALAH KEUANGAN DAERAH
MAKALAH KEUANGAN DAERAHMAKALAH KEUANGAN DAERAH
MAKALAH KEUANGAN DAERAHRAMASYAFARADI
 
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan PencapaianDesentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan PencapaianIsnu Rahadi Wiratama
 
PPT_optimalisasi_PAD_PDRB_19Jul22.pdf
PPT_optimalisasi_PAD_PDRB_19Jul22.pdfPPT_optimalisasi_PAD_PDRB_19Jul22.pdf
PPT_optimalisasi_PAD_PDRB_19Jul22.pdfAsepSuparman21
 
KONTRIBUSI DAN PERTUMBUHAN DANA BAGI HASIL PAJAK DALAM MENINGKATKAN PENDAPATA...
KONTRIBUSI DAN PERTUMBUHAN DANA BAGI HASIL PAJAK DALAM MENINGKATKAN PENDAPATA...KONTRIBUSI DAN PERTUMBUHAN DANA BAGI HASIL PAJAK DALAM MENINGKATKAN PENDAPATA...
KONTRIBUSI DAN PERTUMBUHAN DANA BAGI HASIL PAJAK DALAM MENINGKATKAN PENDAPATA...Faridaabraham
 
PPT BANPOL OKT.pptx
PPT BANPOL OKT.pptxPPT BANPOL OKT.pptx
PPT BANPOL OKT.pptxAbilNabil5
 

Similar a Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V) (20)

4A-TEMPLATE- PENELITIAN DOSEN PEMULA DASAR.pdf
4A-TEMPLATE- PENELITIAN DOSEN PEMULA DASAR.pdf4A-TEMPLATE- PENELITIAN DOSEN PEMULA DASAR.pdf
4A-TEMPLATE- PENELITIAN DOSEN PEMULA DASAR.pdf
 
Tinjauan atas formula Perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) ppt
Tinjauan atas formula Perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) pptTinjauan atas formula Perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) ppt
Tinjauan atas formula Perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) ppt
 
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FISKAL DALAM RANGKA MENDUKUNG PEMULIHAN EKONOMI DAN RE...
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FISKAL DALAM RANGKA MENDUKUNG PEMULIHAN EKONOMI DAN RE...IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FISKAL DALAM RANGKA MENDUKUNG PEMULIHAN EKONOMI DAN RE...
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FISKAL DALAM RANGKA MENDUKUNG PEMULIHAN EKONOMI DAN RE...
 
Keuangan pusat dan daerah
Keuangan pusat dan daerahKeuangan pusat dan daerah
Keuangan pusat dan daerah
 
Desentralisasi fiskla arah kebijakan 2014
Desentralisasi fiskla arah kebijakan 2014Desentralisasi fiskla arah kebijakan 2014
Desentralisasi fiskla arah kebijakan 2014
 
APBN_APBD_Fungsi_Tujuannya_Serta_Tingkat.pptx
APBN_APBD_Fungsi_Tujuannya_Serta_Tingkat.pptxAPBN_APBD_Fungsi_Tujuannya_Serta_Tingkat.pptx
APBN_APBD_Fungsi_Tujuannya_Serta_Tingkat.pptx
 
Bhn
BhnBhn
Bhn
 
Potensi Pendanaan Program Sanitasi
Potensi Pendanaan Program SanitasiPotensi Pendanaan Program Sanitasi
Potensi Pendanaan Program Sanitasi
 
Strategi Percepatan Implementasi SPM Untuk Mendukung Peningkatan Kualitas Pel...
Strategi Percepatan Implementasi SPM Untuk Mendukung Peningkatan Kualitas Pel...Strategi Percepatan Implementasi SPM Untuk Mendukung Peningkatan Kualitas Pel...
Strategi Percepatan Implementasi SPM Untuk Mendukung Peningkatan Kualitas Pel...
 
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amj
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amjBab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amj
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amj
 
Analisis efektivitas dan efisiensi pada program dana desa sebagai fungsi dist...
Analisis efektivitas dan efisiensi pada program dana desa sebagai fungsi dist...Analisis efektivitas dan efisiensi pada program dana desa sebagai fungsi dist...
Analisis efektivitas dan efisiensi pada program dana desa sebagai fungsi dist...
 
MAKALAH KEUANGAN DAERAH
MAKALAH KEUANGAN DAERAHMAKALAH KEUANGAN DAERAH
MAKALAH KEUANGAN DAERAH
 
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan PencapaianDesentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
 
PPT_optimalisasi_PAD_PDRB_19Jul22.pdf
PPT_optimalisasi_PAD_PDRB_19Jul22.pdfPPT_optimalisasi_PAD_PDRB_19Jul22.pdf
PPT_optimalisasi_PAD_PDRB_19Jul22.pdf
 
Keuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerahKeuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerah
 
Fiskal
FiskalFiskal
Fiskal
 
Kebijakan dana alokasi umum 2021
Kebijakan dana alokasi umum 2021Kebijakan dana alokasi umum 2021
Kebijakan dana alokasi umum 2021
 
Tugas kebijakan fiskal
Tugas kebijakan fiskalTugas kebijakan fiskal
Tugas kebijakan fiskal
 
KONTRIBUSI DAN PERTUMBUHAN DANA BAGI HASIL PAJAK DALAM MENINGKATKAN PENDAPATA...
KONTRIBUSI DAN PERTUMBUHAN DANA BAGI HASIL PAJAK DALAM MENINGKATKAN PENDAPATA...KONTRIBUSI DAN PERTUMBUHAN DANA BAGI HASIL PAJAK DALAM MENINGKATKAN PENDAPATA...
KONTRIBUSI DAN PERTUMBUHAN DANA BAGI HASIL PAJAK DALAM MENINGKATKAN PENDAPATA...
 
PPT BANPOL OKT.pptx
PPT BANPOL OKT.pptxPPT BANPOL OKT.pptx
PPT BANPOL OKT.pptx
 

Más de Badan Kebijakan Fiskal

Global financial safety net: A three tier approach
Global financial safety net: A three tier approachGlobal financial safety net: A three tier approach
Global financial safety net: A three tier approachBadan Kebijakan Fiskal
 
Recent Economic Development: August 2010
Recent Economic Development: August 2010Recent Economic Development: August 2010
Recent Economic Development: August 2010Badan Kebijakan Fiskal
 
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010Badan Kebijakan Fiskal
 
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal BorrowingStudi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal BorrowingBadan Kebijakan Fiskal
 

Más de Badan Kebijakan Fiskal (20)

Global financial safety net: A three tier approach
Global financial safety net: A three tier approachGlobal financial safety net: A three tier approach
Global financial safety net: A three tier approach
 
Pidato Menkeu
Pidato MenkeuPidato Menkeu
Pidato Menkeu
 
Indonesia oecd
Indonesia   oecdIndonesia   oecd
Indonesia oecd
 
Rekonstruksi Kebijakan P3B Indonesia
Rekonstruksi Kebijakan P3B IndonesiaRekonstruksi Kebijakan P3B Indonesia
Rekonstruksi Kebijakan P3B Indonesia
 
Communique
CommuniqueCommunique
Communique
 
Pelantikan Eselon II
Pelantikan Eselon IIPelantikan Eselon II
Pelantikan Eselon II
 
Recent Economic Development: August 2010
Recent Economic Development: August 2010Recent Economic Development: August 2010
Recent Economic Development: August 2010
 
PMK Nomor 144/PMK.011/2010
PMK Nomor 144/PMK.011/2010PMK Nomor 144/PMK.011/2010
PMK Nomor 144/PMK.011/2010
 
PMK Nomor 131/PMK.011/2010
PMK Nomor 131/PMK.011/2010PMK Nomor 131/PMK.011/2010
PMK Nomor 131/PMK.011/2010
 
PMK Nomor 128/PMK.011/2010
PMK Nomor 128/PMK.011/2010PMK Nomor 128/PMK.011/2010
PMK Nomor 128/PMK.011/2010
 
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
 
Policy Paper Nomor 1 Agustus 2010
Policy Paper Nomor 1 Agustus 2010Policy Paper Nomor 1 Agustus 2010
Policy Paper Nomor 1 Agustus 2010
 
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal BorrowingStudi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
 
Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2010
Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2010Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2010
Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2010
 
PMK Nomor 44 Tahun 2008
PMK Nomor 44 Tahun 2008PMK Nomor 44 Tahun 2008
PMK Nomor 44 Tahun 2008
 
Perpres Nomor 91 Tahun 2007
Perpres Nomor 91 Tahun 2007Perpres Nomor 91 Tahun 2007
Perpres Nomor 91 Tahun 2007
 
PMK Nomor 30 Tahun 2007
PMK Nomor  30 Tahun 2007PMK Nomor  30 Tahun 2007
PMK Nomor 30 Tahun 2007
 
PP Nomor 1 Tahun 2007
PP Nomor 1 Tahun 2007PP Nomor 1 Tahun 2007
PP Nomor 1 Tahun 2007
 
Perpres Nomor 103 Tahun 2006
Perpres Nomor 103 Tahun 2006Perpres Nomor 103 Tahun 2006
Perpres Nomor 103 Tahun 2006
 
Keppres Nomor 104 Tahun 2003
Keppres Nomor 104 Tahun 2003Keppres Nomor 104 Tahun 2003
Keppres Nomor 104 Tahun 2003
 

Último

Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar Bisnis
Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar BisnisMenganalisis Pasar Konsumen dan Pasar Bisnis
Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar BisnisGallynDityaManggala
 
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).ppt
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).pptSIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).ppt
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).pptDenzbaguseNugroho
 
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptx
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptxMATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptx
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptxDenzbaguseNugroho
 
Teori Biaya Produksi dalam Ekonomi Mikro.pptx
Teori Biaya Produksi dalam Ekonomi Mikro.pptxTeori Biaya Produksi dalam Ekonomi Mikro.pptx
Teori Biaya Produksi dalam Ekonomi Mikro.pptxPutraAgung19
 
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.ppt
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.pptmengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.ppt
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.pptharis916240
 
PPT UTANG JANGA PENDEK DAN BERSYARAT.pptx
PPT UTANG JANGA PENDEK DAN BERSYARAT.pptxPPT UTANG JANGA PENDEK DAN BERSYARAT.pptx
PPT UTANG JANGA PENDEK DAN BERSYARAT.pptxsailimuna9
 
manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptx
manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptxmanajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptx
manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptxMyusuf852079
 
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotex
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotexPengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotex
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotexquotex
 
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.pptKonsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.pptAchmadHasanHafidzi
 
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesia
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesiaBAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesia
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesiaTriskaDP
 
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptx
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptxV5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptx
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptxBayuUtaminingtyas
 
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGAN
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGANMENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGAN
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGANGallynDityaManggala
 

Último (13)

Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar Bisnis
Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar BisnisMenganalisis Pasar Konsumen dan Pasar Bisnis
Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar Bisnis
 
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).ppt
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).pptSIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).ppt
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).ppt
 
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptx
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptxMATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptx
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptx
 
Teori Biaya Produksi dalam Ekonomi Mikro.pptx
Teori Biaya Produksi dalam Ekonomi Mikro.pptxTeori Biaya Produksi dalam Ekonomi Mikro.pptx
Teori Biaya Produksi dalam Ekonomi Mikro.pptx
 
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.ppt
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.pptmengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.ppt
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.ppt
 
ANALISIS SENSITIVITAS METODE GRAFIK.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS METODE GRAFIK.pptxANALISIS SENSITIVITAS METODE GRAFIK.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS METODE GRAFIK.pptx
 
PPT UTANG JANGA PENDEK DAN BERSYARAT.pptx
PPT UTANG JANGA PENDEK DAN BERSYARAT.pptxPPT UTANG JANGA PENDEK DAN BERSYARAT.pptx
PPT UTANG JANGA PENDEK DAN BERSYARAT.pptx
 
manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptx
manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptxmanajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptx
manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptx
 
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotex
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotexPengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotex
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotex
 
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.pptKonsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
 
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesia
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesiaBAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesia
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesia
 
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptx
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptxV5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptx
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptx
 
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGAN
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGANMENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGAN
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGAN
 

Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

  • 1. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL 5.1 Umum Implementasi otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab beserta desentralisasi fiskal yang mengikutinya, saat ini telah memasuki dasawarsa kedua. Perlu dipahami bahwa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan instrumen yang digunakan dalam penyelenggaraan pembangunan negara dan bukan tujuan bernegara itu sendiri. Instrumen ini digunakan agar pencapaian tujuan bernegara, yaitu kesejahteraan masyarakat, dapat lebih mudah dicapai. Oleh karena itu, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilakukan dengan menempatkan motor penggerak pembangunan pada tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu pemerintah daerah. Dekatnya tingkat pemerintahan dengan masyarakatnya diharapkan dapat membuat kebijakan fiskal daerah akan benar-benar sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, secara legal formal, dituangkan dalam Undang- Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah serta pendanaan bagi pelaksanaan kewenangan tersebut. Selain itu, terdapat juga Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur hal-hal mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan kepada masyarakat daerah guna mendapatkan sumber pendanaan bagi pembangunan daerah. Kedua UU pokok dan UU mengenai pajak daerah dan retribusi daerah tersebut di atas, pada dasarnya dihubungkan dalam suatu prinsip dasar yang sering disebut sebagai money follows function. Dengan prinsip ini, fungsi yang telah diserahkan ke daerah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 diikuti dengan pendanaan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi dimaksud. Namun, perlu dipahami bahwa ketersediaan pendanaan selalu mempunyai constraint (kendala), karena pada dasarnya anggaran selalu terbatas. Oleh karena itu, UU Nomor 33 Tahun 2004 mengatur sumber-sumber pendanaan yang terbatas tersebut yang bisa digunakan oleh daerah, yaitu melalui pemanfaatan sumber di daerah itu sendiri maupun melalui transfer ke daerah. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, instrumen utama yang digunakan adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power) dan transfer ke daerah. Meskipun kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak daerah masih sangat terbatas, tetapi dari tahun ke tahun terdapat peningkatan peran pendapatan asli daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Secara nominal, pada tahun 2009 dan 2010 jumlah keseluruhan PAD untuk provinsi dan kabupaten/kota masing-masing sebesar Rp62,6 triliun (16,5 persen dari total pendapatan APBD) dan Rp71,8 triliun (17,9 persen dari total pendapatan APBD). UU Nomor 28 Tahun 2009 yang baru saja dikeluarkan dan berlaku efektif sejak 1 Januari 2010 merupakan salah satu wujud upaya penguatan taxing power daerah, yaitu dengan perluasan basis pajak daerah Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-1
  • 2. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah, peningkatan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, dan pemberian diskresi penetapan tarif pajak. Mengingat bahwa pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah sendiri masih sangat terbatas, maka Pemerintah melakukan transfer ke daerah untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan fungsi-fungsi yang telah diserahkan ke daerah. Transfer ke daerah direalisasikan dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Alokasi transfer ke daerah terus meningkat seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001. Pada tahun 2005, alokasi transfer ke daerah sebesar Rp150,5 triliun dan terus meningkat hingga menjadi Rp344,6 triliun pada APBN-P tahun 2010. Apabila dilihat dalam konteks yang lebih luas, maka sebenarnya dana Pemerintah yang bergulir ke daerah pada dasarnya tidak hanya yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Di daerah, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah dalam bentuk Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan. Jumlah dana tersebut akan menjadi lebih besar lagi apabila ditambahkan dengan dana yang digulirkan ke daerah melalui program nasional yang menjadi Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), serta program nasional melalui subsidi yang sebagian besar juga dibelanjakan di daerah, seperti subsidi energi dan subsidi non-energi. Besarnya dana yang bergulir ke daerah, baik yang dikelola dalam APBD maupun APBN pada tahun 2010 mencapai hingga 60,62 persen dari total belanja dalam APBN-P Tahun 2010 (lihat Grafik V.1). Dalam konteks pendanaan desentralisasi, hal yang sangat krusial untuk dilihat adalah efektivitas dana yang semakin besar bergulir ke daerah dibelanjakan oleh daerah dan dampak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, antara lain dipengaruhi oleh kebijakan belanja masing-masing pemerintah daerah. Kebijakan belanja pemerintah daerah dapat tercermin dari besaran alokasi belanja untuk tiap fungsi dan jenis belanja. Berdasarkan fungsi, pada tahun 2009 belanja daerah yang digunakan untuk melaksanakan fungsi pelayanan umum menempati urutan teratas yaitu 33,7 persen dari total belanja daerah, dan belanja daerah yang digunakan untuk mendanai fungsi pendidikan mencapai 26 persen, fungsi perumahan dan fasilitas umum 17,1 persen, dan fungsi kesehatan 8,8 persen. Sementara itu, berdasarkan jenis belanja, maka porsi belanja pegawai untuk kabupaten/kota masih menempati peringkat tertinggi yaitu mencapai 44,8 persen di tahun 2010, belanja modal mencapai 21,7 persen dan belanja barang 18,5 persen, serta sisanya sebesar 15,1 persen untuk jenis belanja lainnya. Seiring dengan peningkatan dana yang didesentralisasikan dan diikuti dengan upaya percepatan realisasi belanja dan peningkatan kualitas belanja, telah terjadi perbaikan dalam berbagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam dua tahun terakhir, tingkat kemiskinan telah menurun relatif signifikan pada sebagian besar provinsi. Demikian pula, tingkat pengangguran di sebagian besar daerah telah mengalami penurunan yang relatif cukup signifikan. Di samping itu, dalam lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan pemerataan pembangunan daerah yang tercermin dari semakin membaiknya indikator statistik pemerataan PDRB antarprovinsi. V-2 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 3. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V Kebijakan desentralisasi fiskal ke depan diarahkan pada upaya untuk melakukan penguatan taxing power daerah dan perbaikan kebijakan transfer. Penguatan taxing power ke daerah telah diawali dengan terbitnya UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan menyerahkan sebagian kewenangan perpajakan ke daerah, terutama dilakukan melalui penyiapan daerah untuk menghadapi transisi pengalihan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, baik melalui penguatan sistem di daerah maupun capacity building. Sementara itu, kebijakan anggaran transfer ke daerah pada tahun 2011 akan diarahkan diantaranya untuk mendukung kesinambungan fiskal nasional (fiscal sustainability) dalam rangka kebijakan ekonomi makro. Dengan demikian, kesinambungan pertumbuhan ekonomi nasional dapat dicapai. GRAFIK V.1 DANA KE DAERAH YANG DIKELOLA DALAM APBD DAN APBN TAHUN 2010 Belanja APBN-P 2010 Total Belanja = 1.126,15 T (triliun rupiah) Belanja Negara di Daerah Bantuan ke Masyarakat Sumber: APBN-P 2010 35,37 (3,14%) 126,37 (11,22%) Subsidi 176,33 (15,66%) Belanja Negara di Pusat Transfer ke Daerah 443,46 (39,38%) 344,61 (30,60%) Dana ke Daerah = 682,69 T (60,62%) Melalui Angg. K/L dan Melalui Angg. Transfer ke Daerah Melalui APP (Subsidi) Melalui Angg. K/L APP (Program Nasional) (Masuk APBD) - PNPM 10,42 0,93% - BBM 88,89 7,89% - DBH 89,62 7,96% - Dana Dekon 11,93 1,06% - BOS 19,84 1,76% - Listrik 55,10 4,89% - DAU 203,61 18,08% - Dana TP 7,64 0,68% - Jamkes 5,10 0,45% - Pangan 13,92 1,24% - DAK 21,14 1,88% - Dana Vertikal 106,80 9,48% - Pupuk 18,41 1,63% - Otsus 9,09 0,81% - Penyesuaian 21,15 1,88% *) APP = Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan Total 35,37 (3,14%) Total 176,33 (15,66%) Total 344,61 (30,60%) Total 126,37 (11,22%) 5.2 Perkembangan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Tahun 2005 - 2010 5.2.1 Perkembangan Kebijakan Desentralisasi Fiskal Hakikat dari hubungan antara otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari prinsip money follows function, yang berarti bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan. Dalam implementasinya, seiring dengan penyerahan kewenangan kepada daerah, maka kepada daerah diberikan sumber-sumber pendanaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Mekanisme pendanaan atas Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-3
  • 4. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal pelaksanaan kewenangan yang telah diserahkan ke daerah tersebut dilakukan melalui azas desentralisasi. Di samping itu, untuk melaksanakan kewenangan yang masih dipegang oleh Pemerintah, karena alasan efisiensi dan efektivitas seringkali pelaksanaannya dilaksanakan di daerah melalui azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam konteks pelaksanaan azas desentralisasi, salah satu bentuk dukungan pendanaan kepada daerah dilakukan melalui pemberian sumber perpajakan daerah dan retribusi daerah yang dapat dipungut oleh daerah. Mengingat sumber tersebut sangat terbatas, maka kepada daerah diberikan dukungan pendanaan melalui transfer dari Pemerintah dalam bentuk Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Selain sumber penerimaan dari daerah sendiri dan transfer dari Pemerintah, daerah juga diberi kewenangan untuk melakukan pinjaman dalam rangka pembiayaan pembangunan daerah, dan juga penerimaan dalam bentuk hibah baik yang berasal dari Pemerintah maupun pihak lain. Pemberian sumber penerimaan daerah sendiri terutama dilakukan melalui kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah. Kebijakan mengenai perpajakan daerah dan retribusi daerah telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2010. Ada empat kebijakan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Pertama adalah closed-list system untuk jenis pajak dan retribusi yang bisa dipungut oleh daerah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha tentang jenis pungutan yang harus mereka bayar. Kedua adalah penguatan local taxing power. Hal ini dilakukan, antara lain melalui perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak dan retribusi daerah (seperti pajak rokok dan pengalihan PBB menjadi pajak daerah), meningkatkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, serta pemberian diskresi penetapan tarif pajak. Ketiga adalah perbaikan sistem pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak provinsi yang lebih ideal dan kebijakan earmarking jenis pajak daerah tertentu (seperti earmarking sebagian Pajak Kendaraan Bermotor untuk pemeliharaan jalan). Keempat adalah peningkatan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme pengawasan represif menjadi preventif dan korektif. Selain penerimaan sendiri, sumber pendanaan kebijakan transfer ke daerah tersebut dilakukan melalui alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dalam pelaksanaannya, Dana Perimbangan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh karena masing-masing komponen mempunyai tujuan yang saling melengkapi satu dengan lainnya. Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan instrumen untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan daerah. Disadari bahwa instrumen DBH tersebut menimbulkan kesenjangan fiskal antardaerah karena adanya variasi sumber daya antardaerah. Oleh karena itu, instrumen Dana Alokasi Umum (DAU) ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. Di samping itu, untuk membantu daerah dengan kemampuan keuangan yang relatif rendah, dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung pencapaian tujuan dan prioritas nasional serta meningkatkan pemerataan akses terhadap layanan publik. Penyempurnaan terus dilakukan terhadap ketiga komponen transfer tersebut, antara lain, melalui peningkatan akurasi data DBH sehingga penetapan alokasi dan penyaluran DBH dapat dilakukan secara tepat waktu dan tepat jumlah, penyempurnaan formulasi DAU melalui penerapan pembobotan masing-masing variabel yang diarahkan untuk pemerataan kemampuan keuangan daerah, serta penajaman kriteria DAK agar lebih tepat sasaran. V-4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 5. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V Dalam rangka mendukung peningkatan kinerja daerah, mulai tahun 2010 kepada daerah diberikan Dana Insentif Daerah (DID), yang pada dasarnya merupakan penghargaan kepada daerah yang berprestasi dari segi pengelolaan keuangan dan perekonomian daerah. Dana tersebut dialokasikan berdasarkan capaian output dan outcome pembangunan daerah. Selanjutnya, untuk memperkuat pendanaan daerah dan sekaligus memacu percepatan pembangunan ekonomi daerah, maka daerah juga diberikan kesempatan untuk melakukan pinjaman daerah. Pelaksanaan pinjaman daerah harus dilakukan dengan hati-hati (prudent), mengingat bahwa penerimaan pinjaman harus dikembalikan dananya dan mengandung konsekuensi biaya, seperti bunga. Oleh karena itu, kebijakan pinjaman yang ada sampai saat ini dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan fiskal dengan mengatur batasan pinjaman, sumber pinjaman, jenis dan jangka waktu pinjaman, penggunaan pinjaman, persyaratan pinjaman, prosedur pinjaman daerah, dan pelaporan pinjaman beserta sanksinya. Dalam pelaksanaannya, pinjaman daerah harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah, seperti pemerintah daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain, pendapatan daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah kecuali untuk proyek yang dibiayai dari obligasi daerah, pemerintah daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung ke luar negeri, jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75 persen dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya, Debt Service Coverage Ratio paling sedikit 2,5 (dua koma lima), dan tidak melampaui batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah yang dapat dibiayai dari pinjaman daerah. Dalam periode ini, hibah kepada daerah mengalami perkembangan yang signifikan, terutama setelah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2008 tentang Hibah Daerah dan PMK Nomor 169 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyaluran Hibah Kepada Pemerintah Daerah. Kebijakan hibah kepada daerah sampai saat ini diarahkan pada peningkatan transparansi dan akuntabilitas dana hibah yang diterima oleh daerah dari Pemerintah, terutama yang bersumber dari penerusan hibah dari luar negeri. Di samping dukungan kebijakan dan pendanaan dalam bentuk dana desentralisasi, dalam upaya peningkatan sinergitas antara pusat dan daerah, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah melalui Dana Dekonsentrasi, Dana Tugas Pembantuan, dan dana untuk melaksanakan program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Sementara itu, Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan yang tersedia bagi penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, proses perencanaan dan penganggaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap program dan kegiatan yang akan didekonsentrasikan/ditugaskan disusun dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara, keseimbangan pendanaan di daerah, dan kebutuhan pembangunan di daerah. Ketiga parameter penyusunan perencanaan dan penganggaran itu mengandung Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-5
  • 6. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal makna bahwa pengalokasian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan disesuaikan dengan kemampuan APBN dalam mendanai urusan Pemerintah Pusat serta mempertimbangkan besarnya transfer belanja Pusat ke daerah dan kemampuan keuangan daerah, agar alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi lebih efektif, efisien, dan tidak terkonsentrasi di suatu daerah tertentu. Selain itu, penyusunan perencanaan dan penganggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan juga diarahkan agar sesuai dengan prioritas pembangunan nasional dan prioritas pembangunan daerah. 5.2.2 Perkembangan Transfer ke Daerah Desentralisasi fiskal telah dilaksanakan selama satu dasawarsa. Selama kurun waktu tersebut, perkembangan alokasi Transfer ke Daerah dari tahun ke tahun secara nominal terus meningkat. Dalam enam tahun terakhir dari tahun 2005 hingga 2010, secara lebih detail perkembangan Transfer ke Daerah dapat dilihat pada Grafik V.2 dan Tabel V.1. Pada tahun ke lima pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu pada tahun 2005, transfer ke daerah masih sekitar Rp150,5 triliun, namun pada APBN-P tahun 2010 jumlah transfer ke daerah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat sehingga menjadi Rp344,6 triliun. Peningkatan tersebut terjadi merata pada semua jenis GRAFIK. V.2 PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH transfer ke daerah. DAU yang (DANA PERIMBANGAN, DANA OTSUS, DAN DANA PENYESUAIAN) merupakan komponen TAHUN 2005 - 2010 terbesar dari transfer ke daerah 350 314,36 287,25 meningkat dari Rp88,7 triliun 300 243,97 278,71 pada tahun 2005 menjadi 250 222,13 triliun rupiah Rp203,6 triliun pada tahun 200 143,22 2010, suatu peningkatan yang 150 sangat signifikan karena 100 30,25 13,72 21,33 meningkat hampir tiga kali 50 7,24 4,05 9,30 lipat. Peningkatan terbesar 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 terjadi pada DAK. Pada tahun LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P 2005 nilai DAK masih berada Dana Otsus dan Penyesuaian Dana Perimbangan di bawah Rp4 triliun, tetapi Sumber : Kementerian Keuangan TABEL V.1 PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH, 2005 - 2010 (miliar rupiah) LKPP A udited A PBN-P Uraian % % % % % thd % th d 2005 thd 2006 thd 2007 2008 thd 2009 thd 2010 PDB PDB PDB PDB PDB PDB I. Dana Perim bangan 143.221,3 5,1 222.130,6 6,7 243.967 ,1 6,2 27 8.7 14,7 5,6 287 .251,5 5,1 314.363,3 5,0 a. Dana Bagi Hasil 50.47 9,2 1,8 64.900,3 1 ,9 62.941,9 1 ,6 7 8.420,2 1,6 7 6.129,9 1,4 89.61 8,4 1,4 b. Dana Alokasi Umum 88.7 65,4 3,2 145.664,2 4,4 164.7 87 ,4 4,2 17 9.507 ,1 3,6 1 86.414,1 3,3 203.606,5 3,3 c. Dana Alokasi Khusus 3.97 6,7 0,1 11 .566,1 0,3 16.237 ,8 0,4 20.7 87 ,3 0,4 24.7 07 ,4 0,4 21.1 38,4 0,3 II . Dana Otsu s dan Peny esuaian 7 .242,6 0,3 4.049,3 0,1 9.296,0 0,2 13.7 18,8 0,3 21.333,8 0,4 30.249,6 0,5 a. Dana Otonomi Khusus 1 .7 7 5,3 0,1 3.488,3 0,1 4.045,7 0,1 7 .510,3 0,2 9.526,6 0,2 9.099,6 0,1 b. Dana Peny esuaian 5.467 ,3 0,2 561,1 0,0 5.250,3 0,1 6.208,5 0,1 1 1.807 ,2 0,2 21 .150,0 0,3 Ju m lah 150.463,9 5,4 226.17 9,9 6,8 253.263,1 6,4 292.433,5 5,9 308.585,2 5,5 344.612,9 5,5 Sumber : Kementerian Keuangan V-6 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 7. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp24,7 triliun, meskipun kemudian pada tahun 2010 turun menjadi Rp21,1 triliun. Tentunya semua ini tidak terlepas dari kerja keras seluruh komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat, sehingga pendapatan negara senantiasa meningkat untuk turut mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, transfer DBH dihitung berdasarkan persentase tertentu dari realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan, baik dari penerimaan pajak maupun penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Penerimaan negara yang berasal dari penerimaan pajak yang dibagihasilkan ke daerah meliputi Pajak Penghasilan, yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Penerimaan negara yang berasal dari SDA yang dibagihasilkan ke daerah meliputi minyak bumi, gas bumi, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. Sejak tahun 2006, DBH SDA Kehutanan juga mencakup DBH Dana Reboisasi (DR), yang merupakan pengalihan dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR). Sejak tahun 2009, Pemerintah telah mengalokasikan DBH Cukai Hasil Tembakau yang merupakan amanat dari UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Selain itu, dalam APBN-P 2009 juga telah dialokasikan DBH Panas Bumi tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. Adapun kebijakan pengalokasian dari tahun ke tahun adalah menyempurnakan proses perhitungan, penetapan alokasi dan ketepatan waktu penyaluran melalui peningkatan koordinasi dengan institusi pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam rangka penyediaan data yang lebih akurat. Sejalan dengan peningkatan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan, realisasi DBH menunjukkan adanya peningkatan dari Rp50,5 triliun dalam tahun 2005 menjadi Rp76,1 triliun pada tahun 2009, serta meningkat lagi menjadi Rp89,6 triliun pada tahun 2010, atau rata-rata tumbuh sebesar 13 persen per tahun. Selanjutnya, pada Grafik V.3 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah yang menerima DBH SDA tertinggi adalah daerah se-Provinsi Kalimantan Timur, dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA, masing-masing sebesar 35,24 persen dan 34,06 persen. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa wilayah tersebut memang penyumbang utama hasil migas nasional, diikuti oleh wilayah Riau dan Sumatera Selatan. Sedangkan daerah yang menerima DBH SDA paling rendah pada tahun 2009 adalah daerah se-Provinsi Bali dan pada tahun 2010 adalah daerah se-Provinsi DI Yogyakarta, dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA yang sama besar nya yaitu 0,004 persen. Sementara itu, pada Grafik V.4 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah yang menerima DBH Pajak tertinggi adalah daerah se-Provinsi DKI Jakarta, dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan DBH Pajak, masing-masing sebesar 22,50 persen dan 23,70 persen, sedangkan daerah yang menerima DBH Pajak paling rendah adalah daerah se-Provinsi Gorontalo, dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan DBH Pajak pada tahun 2009 dan 2010, masing-masing sebesar 0,34 persen dan 0,28 persen. Peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun juga terjadi pada DAU, yang terjadi karena peningkatan rasio alokasi DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri (PDN) neto, yaitu 25,5 persen pada tahun 2005 dan kemudian meningkat menjadi 26 persen dalam periode tahun 2006-2010. Sejalan dengan peningkatan rasio DAU terhadap PDN neto tersebut, maka dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-7
  • 8. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal GRAFIK. V.3 PETA DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM DAERAH PER PROVINSI DI INDONESIA*) TAHUN 2009 − 2010 14.000 2009 2010 Uraian 12.000 Daerah Jumlah % Daerah Jumlah % Total 33 35.632,17 100 33 31.870,56 100 Tertinggi Kaltim 12.555,56 35,24 Kaltim 10.853,70 34,06 10.000 Terendah Bali 1,29 0,004 Yogyakarta 1,24 0,004 Rata-Rata 33 1.079,76 - 33 965,77 - 8.000 miliar rupiah 6.000 4.000 2009 2010 2.000 0 Bengkulu Sulteng Sumut Gorontalo Kalteng Sumbar Sultra Sumsel Sulut Jateng Yogyakarta Sulbar Sulsel Malut Lampung Banten Kaltim Kalbar Papua Kalsel Maluku Bali NTT Jatim Babel DKI Riau Jambi Jabar NAD Papua Barat NTB Kepri *) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan Sumber : Kementerian Keuangan GRAFIK. V.4 PETA DANA BAGI HASIL PAJAK DAERAH PER PROVINSI DI INDONESIA*) TAHUN 2009 - 2010 12.000 2009 2010 Uraian Daerah Jumlah % Daerah Jumlah % 10.000 Total 33 39.271,24 100 33 45.997,51 100 Tertinggi DKI 8.688,80 22,1% DKI 10.905,84 23,7% 8.000 Terendah Gorontalo 132,21 0,34% Gorontalo 129,00 0,28% Rata-Rata 33 1.190,04 - 33 1.393,86 - miliar rupiah 6.000 4.000 2009 2010 2.000 0 *) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan Sumber : Kementerian Keuangan V-8 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 9. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V rentang waktu 2005–2010, realisasi DAU meningkat dari Rp88,8 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp186,4 triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi menjadi Rp203,6 triliun pada tahun 2010 atau rata-rata tumbuh sebesar 18,65 persen per tahun. Pengalokasikan DAU ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang didasarkan pada data dasar perhitungan DAU. Sebelum tahun 2006, formula DAU terbagi menjadi dua komponen utama, yaitu alokasi minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan kesenjangan fiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai. Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006, komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi alokasi dasar (AD) dan celah fiskal (CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan keuangan antardaerah, dengan mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal masing-masing daerah. Pada Grafik V.5, dapat dilihat bahwa pada tahun 2010, daerah yang menerima DAU tertinggi adalah daerah se-Provinsi Jawa Timur, dengan alokasi sekitar 11,06 persen dari total DAU. Dalam kurun waktu 2005 sampai dengan saat ini, upaya untuk mewujudkan fungsi DAU sebagai equalization grant dilakukan melalui kebijakan sebagai berikut: (1) Melakukan pembobotan alokasi dasar dengan persentase di bawah 50 persen dari DAU Nasional agar memberikan porsi alokasi yang lebih besar untuk menutup celah fiskal. Dengan kebijakan ini berarti besaran rata-rata gaji PNSD per daerah dihitung di bawah 100 persen. (2) Melakukan pembobotan pada setiap variabel kebutuhan fiskal dengan asumsi bahwa pemanfaatan Transfer ke Daerah adalah untuk pelayanan kepada penduduk dan pengelolaan wilayah, sehingga bobot untuk penduduk seimbang dengan bobot untuk wilayah. (3) Menetapkan persentase tertentu dalam menghitung variabel kapasitas fiskal untuk mendapatkan indek pemerataan yang terbaik yang dicerminkan dari semakin rendahnya Williamson Index. Pada tahun 2005, DAK dialokasikan untuk 8 bidang, yaitu pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, air bersih, serta pertanian. Selanjutnya, pada tahun 2006 bidang yang didanai melalui DAK ditambah bidang lingkungan hidup. Bahkan pada tahun 2008 bertambah dua bidang, yaitu bidang Keluarga Berencana (KB) dan bidang kehutanan. Sedangkan pada tahun 2009 bertambah dua bidang lagi yaitu bidang perdagangan dan bidang sarana prasarana perdesaan, sehingga menjadi 13 bidang. Selanjutnya, pada tahun 2010 menjadi 14 bidang sebagai akibat dari dipisahkannya DAK Air Minum dan DAK Sanitasi yang pada tahun sebelumnya tergabung dalam satu bidang. Untuk menunjukkan komitmen daerah dalam pelaksanaan DAK, kepada daerah diwajibkan menganggarkan dana pendamping dalam APBD, sekurang-kurangnya 10 persen dari besaran alokasi DAK yang diterima. Sejalan dengan penambahan bidang yang dibiayai dengan DAK, alokasi DAK juga terus meningkat, dari Rp3,97 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, menjadi Rp20,8 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2008, dan meningkat menjadi Rp24,7 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2009. Pada tahun 2010, alokasi DAK mengalami penurunan menjadi Rp21,1 triliun sebagai akibat dari terbatasnya kemampuan keuangan negara. Sementara itu, dengan semakin bertambahnya daerah otonom baru berdampak terhadap bertambahnya jumlah daerah yang menerima DAK. Hal Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-9
  • 10. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal GRAFIK. V.5 PETA DANA ALOKASI UMUM PER PROVINSI DI INDONESIA*) TAHUN 2009 - 2010 25.000 2009 2010 Uraian Daerah Jumlah % Daerah Jumlah % 20.000 Total 33 186.414,10 100 33 192.490,34 100 Tertinggi Jatim 20.854,97 11,19 Jatim 21.290,50 11,06 Terendah DKI 0,00 0,00 DKI 0,00 0,00 Rata-Rata 33 5.648,91 - 33 5.833,04 - 15.000 miliar rupiah 10.000 2009 2010 5.000 0 *) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan Sumber : Kementerian Keuangan ini dapat dilihat dari jumlah penerima DAK pada tahun 2005, yaitu dari 377 kabupaten/ kota dan 2 Provinsi pada tahun 2005, menjadi 485 kabupaten/kota dan 32 provinsi pada tahun 2010. Adapun sebaran DAK untuk pemerintah daerah se-provinsi di Indonesia disajikan pada Grafik V.6 di bawah. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah yang menerima DAK tertinggi adalah daerah se-provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan proporsi masing-masing sama sebesar 8,65 persen dan 9,32 persen terhadap total penerimaan DAK seluruh daerah. Selain Dana Perimbangan, juga dialokasikan Dana Otsus dan Penyesuaian. Dana Otsus dialokasikan untuk Provinsi Papua dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU nasional selama 20 tahun, yang diutamakan untuk mendanai pendidikan dan kesehatan. Selain itu, diberikan juga dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan provinsi setiap tahun. Sementara itu, Dana Otsus juga dialokasikan untuk Provinsi NAD dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU nasional selama 15 tahun, untuk tahun ke-16 hingga ke-20 menjadi sebesar 1 persen dari pagu DAU nasional. Selanjutnya, Dana Penyesuaian sampai dengan tahun 2007, terutama dialokasikan berupa Dana Penyeimbang kepada daerah yang menerima DAU lebih kecil dari DAU yang diterima tahun sebelumnya, sehingga DAU yang diterima minimal sama dengan DAU yang diterima tahun sebelumnya. Pengalokasian Dana Penyeimbang tersebut bertujuan agar penerapan formula DAU tidak menimbulkan adanya daerah yang memperoleh DAU lebih kecil dari DAU tahun sebelumnya, yang selanjutnya dikenal dengan prinsip non-hold harmless. Dalam perkembangannya, pada tahun 2009 kebijakan non-hold harmless telah dihapuskan. V-10 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 11. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V GRAFIK .V.6 PETA DANA ALOKASI KHUSUS PER PROVINSI DI INDONESIA*) TAHUN 2009 - 2010 2500 2009 2010 Uraian Daerah Jumlah % Daerah Jumlah % Total 33 24.707,42 100 33 21.133,38 100 2000 Tertinggi Jatim 2.138,18 8,65 Jateng 1.969,34 9,32 Terendah DKI 0,00 0,00 DKI 0,00 0,00 Rata-Rata 33 748,71 - 33 640,41 - 1500 miliar rupiah 2009 2010 1000 500 0 Kalbar Jabar Banten Jambi Lampung Bengkulu Bali Sulteng Babel Sumsel Sulsel Papua Sulbar Sumbar Jateng Malut Sulut Sumut DKI Riau Maluku Kalteng Sultra Kalsel NTT Jatim Yogyakarta Papua Barat Kepri Kaltim NAD Gorontalo NTB *) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan Sumber : Kementerian Keuangan Pengalokasian Dana Penyesuaian tersebut juga menampung program-program tertentu untuk jangka waktu tertentu (ad hoc) dengan nomenklatur yang berganti-ganti hingga tahun 2009 dengan sebutan Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF & PPD). Selain DPDF & PPD, terdapat alokasi dana untuk meningkatkan penghasilan bagi guru PNSD yang belum mendapatkan tunjangan profesi, besarnya adalah Rp250.000, per orang per bulan dalam 12 bulan setahun. Dari alokasi anggaran Dana Tambahan Penghasilan bagi Guru PNSD tahun 2009 sebesar Rp7,49 triliun hanya terserap sekitar Rp4,57 triliun atau 61,01 persen. Pada tahun 2010, DPDF & PPD dialokasikan kembali sebesar Rp7,1 triliun. Sementara itu, pendanaan untuk guru PNSD selain Dana Tambahan Penghasilan Guru sebesar Rp5,8 triliun juga dialokasikan Dana Tunjangan Profesi Guru sebesar Rp10,99 triliun. Tunjangan Profesi Guru tersebut merupakan pengalihan alokasi anggaran dari Kementerian Pendidikan Nasional. Secara umum, Dana Penyesuaian tersebut dimaksudkan untuk menampung alokasi anggaran untuk mendanai kebijakan tertentu pemerintah dan anggaran yang disediakan untuk mendorong atau menguatkan desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan daerah. Perkembangan nomenklatur Dana Penyesuaian tahun 2005–2010 dapat dilihat pada Tabel V.2. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-11
  • 12. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal Dalam Grafik V.7, dapat dilihat TABEL V.2 PERKEMBANGAN NOMENKLATUR DANA PENYESUAIAN, TAHUN 2005 - 2010 bahwa realisasi Dana Otsus dan No. Nomenklatur 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Penyesuaian dalam periode 2005– 1 Dana Penyesuaian Murni • • 2010 mengalami peningkatan yang 2 Dana Penyesuaian DAU • 3 Dana Penyeimbang DAU • signifikan, dari Rp7,2 triliun dalam 4 Dana Tunjangan Kependidikan • • tahun 2005, menjadi Rp21,3 triliun 5 Dana Tambahan DAU • 6 Dana Penyesuaian Ad Hoc • • pada tahun 2009, dan meningkat lagi 7 Dana Penyesuaian Infrastruktur Jalan • menjadi Rp30,2 triliun dalam APBN- 8 Dana Penyesuaian Infrastruktur Sarana • dan Prasarana (DISP) P 2010. Peningkatan ini tidak terlepas 9 Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal & dari kebijakan Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF • • & PPD) lebih mendorong peran daerah dalam 10 Dana Penguatan Infrastruktur dan • era otonomi daerah yang ditandai Prasarana Daerah (DPIPD) 11 Dana Percepatan Pembangunan dengan makin beragamnya jenis Infrastruktur Pendidikan (DPPIP) • Dana Penyesuaian dari tahun ke 12 Dana Insentif Daerah • 13 Dana Tambahan Penghasilan Guru • • tahun. 14 Kurang Bayar DAK dan DISP • • Sumber: Kementerian Keuangan GRAFIK V.7 PERKEMBANGAN DANA OTSUS DAN DANA PENYESUAIAN TAHUN 2005 - 2010 35 30 Dana Penyesuaian Dana Otonomi Khusus 25 triliun rupiah 20 21,2 15 11,8  10 6,2 5,3 5 5,5 0,6 9,5 9,1 7,5 3,5 4,0 1,8 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P Sumber : Kementerian Keuangan 5.2.3 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah senantiasa mendorong peningkatan penerimaan daerah yang bersumber dari PDRD tersebut melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan keadaan. Dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan perpajakan daerah dan retribusi daerah diarahkan untuk memberikan taxing power yang lebih besar kepada daerah. V-12 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 13. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V Dengan pemberian taxing power yang lebih besar tersebut diharapkan pemerintah daerah dapat memungut sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di masing-masing daerah untuk mendanai kebutuhan pemerintahan dan pembangunan daerah. Saat ini ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang PDRD adalah UU Nomor 28 Tahun 2009 sebagai pengganti dari UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000. Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tersebut antara lain adalah: (1) Mengubah kewenangan pemungutan dari sistem open list menjadi closed list, artinya pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum dalam UU dimaksud. Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah masih dimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Kebijakan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk menciptakan jenis pungutan baru sebagaimana diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 telah menyebabkan timbulnya banyak pungutan daerah yang bermasalah. Dengan tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan jenis PDRD baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. (2) Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah dengan memperluas basis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif. Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik, tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor impor. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak daerah yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan menambah jenis pajak baru. Upaya perluasan basis pajak yang sudah ada antara lain dilakukan dengan menambah objek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (termasuk kendaraan Pemerintah/TNI/Polri). Sementara itu, terdapat 4 (empat) jenis pajak baru bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet, dan Pajak Rokok. PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB sebelumnya merupakan pajak pusat, kini dialihkan menjadi pajak kabupaten/kota, sementara Pajak Sarang Burung Walet sebagai pajak kabupaten/kota, dan Pajak Rokok sebagai Pajak Provinsi. Selain perluasan basis pajak, perluasan juga dilakukan terhadap beberapa objek retribusi dan penambahan jenis retribusi, misalnya Retribusi Izin Gangguan yang diperluas sehingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif, daerah hanya dapat menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam UU PDRD dimaksud untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-13
  • 14. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal beban bagi masyarakat secara berlebihan. Selain penetapan batas maksimum, ditetapkan pula ketentuan tarif minimum untuk menghindari terjadinya perang tarif antardaerah terutama untuk objek pajak yang mudah bergerak seperti kendaraan bermotor. (3) Memperbaiki sistem pengelolaan PDRD melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota, insentif pemungutan PDRD, dan earmarking penerimaan pajak daerah. Kebijakan earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan dimana sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut. Sebagai contoh, sebagian penerimaan Pajak Penerangan Jalan dialokasikan untuk mendanai penerangan jalan, paling sedikit 10 persen dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. (4) Dalam rangka mengefektifkan pengawasan PDRD, mekanisme pengawasan diubah dari represif menjadi preventif. Setiap peraturan daerah tentang PDRD sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap daerah yang menetapkan kebijakan di bidang PDRD yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/ atau pemotongan DAU dan/atau DBH atau restitusi. UU Nomor 28 Tahun 2009 mengatur tentang 16 (enam belas) jenis pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, yaitu 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas) jenis pajak kabupaten/kota. Sedangkan jenis retribusi yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah meliputi 14 (empat belas) jenis retribusi jasa umum, 11 (sebelas) jenis retribusi jasa usaha dan 5 (lima) jenis retribusi perizinan tertentu. Penetapan jenis PDRD tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis PDRD tersebut secara umum dipungut hampir disemua daerah dan secara teori maupun praktik merupakan jenis pungutan yang baik serta memenuhi kriteria sebagai pungutan daerah. Pemerintah daerah boleh tidak memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum dalam UU tersebut dengan pertimbangan, antara lain, apabila potensi jenis PDRD di daerah tersebut tidak memadai. Jenis pajak daerah dan retribusi TABEL V.3 daerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun JENIS PAJAK DAERAH 2009 masing-masing dapat dilihat pada Provinsi Kabupaten/Kota Tabel V.3 dan Tabel V.4. 1. Pajak Kendaraan Bermotor 1. Pajak Hotel Sama halnya dengan pajak daerah, 2. Bea Balik Nama 2. Pajak Restoran pemerintah daerah juga tidak Kendaraan Bermotor diperkenankan untuk memungut jenis 3. Pajak Bahan Bakar 3. Pajak Hiburan Kendaraan Bermotor retribusi selain yang telah diatur dalam 4. Pajak Air Permukaan 4. Pajak Reklame UU Nomor 28 Tahun 2009. Namun 5. Pajak Rokok 5. Pajak Penerangan Jalan demikian, untuk mengantisipasi 6. Pajak Parkir 7. Pajak Mineral Bukan Logam dan perkembangan keadaan, maka Batuan dimungkinkan untuk menambah jenis 8. Pajak Air Tanah retribusi sepanjang memenuhi kriteria 9. Pajak Sarang Burung Walet 10. PBB Perdesaan dan Perkotaan yang ditetapkan dalam UU dimaksud 11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dengan menerbitkan Peraturan dan Bangunan Pemerintah. Sumber: UU Nomor 28 Tahun 2009 V-14 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 15. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V TABEL V.4 JENIS RETRIBUSI DAERAH Jasa Umum Jasa Usaha Perizinan Tertentu 1 Retribusi Pelayanan Kesehatan 1 Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah 1 Retribusi Izin Mendirikan Bangunan 2 Retribusi Kebersihan 2 Retribusi Pasar Grosir/Pertokoan 2 Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol 3 Retribusi KTP dan Akte Capil 3 Retribusi Tempat Pelelangan 3 Retribusi Izin Gangguan 4 Retribusi Pemakaman/ Pengabuan 4 Retribusi Terminal 4 Retribusi Izin Trayek Mayat 5 Retribusi Parkir di Tepi 5 Retribusi Tempat Khusus Parkir 5 Retribusi Izin Usaha Perikanan Jalan Umum 6 Retribusi Pelayanan Dasar 6 Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/Villa 7 Retribusi Pengujian Kendaraan 7 Retribusi Rumah Potong Hewan Bermotor 8 Retribusi Pemeriksaan Alat 8 Retribusi Pelayanan Kepelabuhan Pemadam Kebakaran 9 Retribusi Penggantian Biaya 9 Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga Cetak Peta 10 Retribusi Pelayanan Tera/ 10 Retribusi Penyeberangan di Air Tera Ulang 11 Retribusi Penyedotan Kakus 11 Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah 12 Retribusi Pengolahan Limbah Cair 13 Retribusi Pelayanan Pendidikan 14 Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Sumber: UU Nomor 28 Tahun 2009 Penentuan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota didasarkan pada urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan masing-masing daerah sesuai peraturan perundang-undangan, sedangkan untuk retribusi jasa usaha didasarkan pada siapa yang menyediakan jasa. Pemanfaatan hasil penerimaan masing-masing jenis retribusi daerah diutamakan untuk mendanai kegiatan yang bersangkutan dengan tujuan agar pelayanan yang disediakan dapat senantiasa ditingkatkan. Lebih lanjut dalam ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009, Pemerintah melakukan pengawasan secara preventif dan korektif terhadap Perda-perda tentang PDRD yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pengawasan preventif dilakukan dengan mengevaluasi raperda sebelum ditetapkan menjadi perda, sedangkan pengawasan korektif dilakukan dengan mengevaluasi perda tentang PDRD yang telah ditetapkan oleh kepala daerah. Apabila dalam pengawasan tersebut ditemukan perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah dapat melakukan pembatalan atas perda bermasalah tersebut. Sejak tahun 2001 sampai dengan 2010, terdapat 13.623 perda tentang PDRD yang diterima dan telah dievaluasi sebanyak 13.252 perda. Dari jumlah yang dievaluasi tersebut, 4.885 perda (37 persen) diantaranya direkomendasikan untuk dibatalkan karena tidak sesuai dengan kepentingan umum dan/ atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk raperda, dari 2.765 yang diterima, sejumlah 2.754 diantaranya telah dievaluasi dengan hasil 352 (13 persen) raperda ditolak dan 1.522 (55 persen) raperda direkomendasikan untuk direvisi. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-15
  • 16. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terkait dengan kepatuhan hukum, Pemerintah dapat mengenakan sanksi kepada daerah yang tetap melakukan pemungutan PDRD walaupun telah diberikan ketetapan pembatalan atas perda PDRD tersebut. Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009, pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH atau restitusi, dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Pelanggaran terhadap prosedur penetapan raperda menjadi perda adalah berupa penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan bagi daerah yang tidak memperoleh DAU sebesar 10 persen untuk setiap periode penyaluran; (2) Pelanggaran terhadap daerah yang tetap melaksanakan pemungutan PDRD berdasarkan perda yang dibatalkan adalah berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan sebesar perkiraan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah dipungut untuk setiap periode penyaluran DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan atau 5 persen dari jumlah DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan yang disalurkan untuk setiap periode penyaluran. Selanjutnya, beberapa hal krusial dalam pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai berikut: (1) Pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2011, sehingga penerimaan BPHTB tidak lagi dianggarkan dalam APBN tahun 2011; (2) Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pajak pusat menjadi pajak daerah dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 1 Januari 2014. Dengan demikian, penerimaan PBB sektor perdesaan dan perkotaan tidak lagi dianggarkan dalam APBN apabila perda tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan sudah berlaku di daerah; (3) Penerimaan terhadap jenis pungutan yang tidak terdapat dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tidak dianggarkan lagi dalam APBD tahun 2011; (4) Untuk perda tentang PDRD yang berlaku saat ini dan masih tercantum sebagai jenis PDRD menurut UU Nomor 28 Tahun 2009, maka ketentuan pemungutannya harus disesuaikan dengan UU dimaksud paling lambat tanggal 31 Desember 2012; (5) Terkait dengan PBB Perdesaan dan Perkotaan, Pemerintah perlu melakukan konsultasi/ koordinasi/sosialisasi dengan instansi terkait dan mempersiapkan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia, khususnya tenaga administrator, pendataan, penilaian, dan penetapan. 5.2.4 Pinjaman dan Hibah Daerah 5.2.4.1 Pinjaman Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, diamanatkan bahwa Pemerintah menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional. Batas maksimal kumulatif dimaksud adalah 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun anggaran yang V-16 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 17. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V bersangkutan. Dalam rangka menjaga batas tersebut, setiap tahun Pemerintah menetapkan batas maksimal kumulatif defisit APBD, batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah, dan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah. Untuk menutup defisit APBD, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat dalam bentuk obligasi daerah. Grafik V.8 menggambarkan perkembangan kontribusi pinjaman daerah terhadap pembiayaan defisit APBD. Kontribusi tersebut dihitung dari besarnya penarikan pinjaman daerah dibandingkan dengan besarnya defisit pada APBD. Berdasarkan grafik GRAFIK. V.8 PERKEMBANGAN KONTRIBUSI PINJAMAN DAERAH tersebut, dari tahun 2007 sampai TERHADAP PEMBIAYAAN DEFISIT APBD TAHUN 2007-2010 dengan tahun 2010, kontribusi 6,13 pinjaman daerah terhadap 7% 5,32 pembiayaan defisit APBD sangat 6% 4,63 4,21 kecil dan berfluktuasi antara 4 5% persen sampai dengan 7 persen. 4% 3% Defisit APBD pada umumnya 2% ditutup dari Sisa Lebih 1% Pembiayaan Anggaran (SILPA) 0% tahun sebelumnya masing- 2007 2008 2009 2010 masing Pemerintah Daerah. Sumber: Kementerian Keuangan Dalam era otonomi daerah, sebagian besar pinjaman daerah yang digunakan untuk menutup defisit bersumber dari Pemerintah dan lembaga keuangan bank. Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah yang dananya bersumber dari pendapatan APBN dan/atau pengadaan pinjaman Pemerintah dari dalam negeri maupun luar negeri. Pengadaan pinjaman luar negeri dikelola melalui mekanisme penerusan pinjaman luar negeri (Subsidiary Loan Agreement/SLA). Penerusan pinjaman luar negeri pada umumnya merupakan pinjaman jangka panjang yang digunakan untuk mendanai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan. Beberapa sumber pinjaman luar negeri tersebut adalah pinjaman yang bersumber dari badan-badan yang sifatnya multilateral seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank), dan negara-negara lain secara bilateral. Di samping itu, Pemerintah terus berupaya mendorong pemerintah daerah untuk mengoptimalkan sumber pinjaman dalam negeri berupa obligasi daerah yang diperdagangkan di pasar modal domestik. 5.2.4.2 Hibah Daerah Pemberian hibah kepada pemerintah daerah merupakan wujud pelaksanaan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah yang merupakan suatu sistem pendanaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk dapat memberikan hibah kepada pemerintah daerah. Kebijakan pemberian hibah kepada daerah tersebut kemudian dipertegas dalam Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004. Peraturan-peraturan tersebut mengatur secara tegas bahwa pemberian hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-17
  • 18. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal penerimaan dalam negeri, pinjaman dalam negeri serta penerusan pinjaman luar negeri dan hibah luar negeri dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan pemberian hibah kepada pemerintah daerah adalah sebagai berikut: (1) Hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah dilaksanakan dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah. (2) Hibah dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. (3) Hibah dilaksanakan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah berdasarkan peta kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (4) Hibah bersifat bantuan untuk melaksanakan kegiatan urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan pemerintah daerah. Hibah kepada daerah dalam kerangka hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, mulai dilaksanakan pada tahun 2009 dengan ditandatanganinya Naskah Perjanjian Penerusan Hibah (NPPH) antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk kegiatan Mass Rapid Transit (MRT). Hibah ini bersumber dari pinjaman luar negeri yang berasal dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Proyek MRT merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan transportasi di Jakarta yang menjadi prioritas pembangunan nasional dan telah tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hibah ini dilakukan secara bertahap dan direncanakan mulai direalisasikan pada tahun 2010. Pada APBN tahun 2009 telah dialokasikan dana hibah kepada daerah sebesar Rp31,6 miliar yang merupakan kegiatan penerusan hibah untuk kegiatan Local Basic Education Capacity (L-BEC) dan Support to Community Health Services (SCHS). L-BEC adalah kegiatan penerusan hibah yang bersumber dari hibah Uni Eropa dan Pemerintah Kerajaan Belanda (dikelola oleh Bank Dunia) untuk kegiatan peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam bidang pendidikan dasar. Hibah L-BEC diteruskan kepada 50 kabupaten/kota. Sementara itu, hibah SCHS bersumber dari bantuan Uni Eropa (dikelola oleh WHO) ditujukan untuk peningkatan fasilitas ruang isolasi pasien flu burung yang diberikan kepada 10 rumah sakit yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Selanjutnya pada tahun 2010, APBN mengalokasikan dana hibah kepada daerah sebesar Rp243,21 miliar. Dana tersebut merupakan penerusan hibah untuk 5 kegiatan. Hibah untuk kegiatan MRT merupakan rencana realisasi hibah yang penandatanganan NPPH-nya sudah dilakukan pada tahun 2009. Kegiatan L-BEC merupakan lanjutan dari tahun 2009 dan direncanakan berakhir pada tahun 2012. Selain dua kegiatan tersebut, APBN 2010 juga mengalokasikan hibah yang bersumber dari AusAID dan Bank Dunia. AusAID memberikan hibah untuk kegiatan Hibah Air Minum dan Hibah Air Limbah. Hibah Air Minum tersebut ditujukan untuk peningkatan akses penyediaan air minum bagi masyarakat yang belum memiliki akses sambungan air minum perpipaan. Sedangkan Hibah Air Limbah ditujukan untuk peningkatan akses sistem air limbah perpipaan bagi masyarakat. Selanjutnya, dalam kegiatan WASAP-D, Bank Dunia memberikan hibah yang ditujukan untuk pembangunan sarana pengelolaan air limbah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. (lihat Tabel V.5) V-18 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 19. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V TABEL V.5 ALOKASI HIBAH KEPADA DAERAH DALAM APBN, TAHUN 2009-2010 2009 2010 No. Kegiatan Sum ber Ju m l a h Da er a h Ju m l a h Da er a h (m i l i a r Rp) Pen er i m a (m i l i a r Rp) Pen er i m a Mass Rapid Transit 1 Pinjaman dari JICA 34,38 1 (MRT) Local Basic Education Hibah dari Pemerintah Belanda dan 2 22,5 25 80,08 50 Capacity (L-BEC) Uni Eropa (dikelola World Bank) Support to Community Hibah dari Uni Eropa (dikelola World 3 9,1 10 Health Serv ices (SCHS) Health Organisation) 4 Hibah Air Minum Hibah dari AusA id 1 06,1 5 22 5 Hibah Air Limbah Hibah dari AusA id 10 1 6 WA SA P-D Hibah dari World Bank 1 2,6 6 Sumber : Kementerian Keuangan Pelaksanaan hibah kepada daerah, khususnya yang bersumber dari luar negeri, telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Namun, masih terbuka kemungkinan- kemungkinan upaya optimalisasi dalam kebijakan pemberian hibah kepada daerah sehingga diharapkan dapat memperkuat kapasitas fiskal daerah dan mewujudkan pemerataan antardaerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah. Upaya optimalisasi tersebut salah satunya dilakukan dengan mengidentifikasi terlebih dahulu permasalahan-permasalahan yang menyangkut hibah kepada daerah yang bersumber dari pinjaman luar negeri ataupun hibah luar negeri. Untuk itu, kebijakan yang akan diterapkan dalam pelaksanaan hibah ke depan antara lain: (1) Pelaksanaan hibah ke daerah, baik yang bersumber dari pinjaman luar negeri ataupun hibah luar negeri, harus dituangkan seluruhnya dalam suatu Naskah Perjanjian Hibah antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. (2) Penerusan hibah luar negeri kepada Pemerintah Daerah dilakukan melalui Menteri Keuangan, sehingga dicatat dalam APBN dan APBD. (3) Prosedur/aturan yang lebih fleksibel sehingga dapat mengakomodasi prosedur yang memudahkan bagi negara pemberi hibah. (4) Pengakuan, pencatatan, dan pelaporan hibah dalam APBD sesuai ketentuan yang berlaku. (5) Peningkatan koordinasi antarinstansi Pemerintah dalam mengelola hibah yang ditujukan kepada pemerintah daerah dengan melaksanakan peraturan perundang-undangan secara tertib. Hal lainnya adalah terkait dengan pemberian hibah kepada daerah yang bersumber dari penerimaan dalam negeri. Selain penerapan kebijakan-kebijakan di atas, upaya optimalisasi dapat dilakukan antara lain dengan penataan ulang atas dana APBN yang didesentralisasikan. Perlu adanya konsistensi dan ketegasan kriteria antar dana-dana yang dilaksanakan di daerah agar tercipta pola pendanaan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-19
  • 20. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal 5.2.5 Gambaran Pelaksanaan APBD Total realisasi pendapatan seluruh provinsi tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 35,1 persen dari tahun 2007, yang kenaikan terbesarnya disumbangkan oleh Dana Perimbangan sebesar 53,3 persen. Sementara itu, Lain-lain Pendapatan Daerah justru mengalami penurunan sebesar 1,7 persen (lihat Tabel V.6). Berbeda halnya dengan realisasi pendapatan Tabel V.6 provinsi, seluruh kelompok pendapatan REALISASI PENDAPATAN PROVINSI TAHUN 2007 dan 2008 kabupaten dan kota mengalami kenaikan. (miliar rupiah) Kenaikan realisasi pendapatan kabupaten dan kota tersebut adalah sebesar 25,2 persen Kelompok Pendapatan 2007 2008 Perubahan (%) pada tahun 2008 (lihat Tabel V.7). Pendapatan Asli Daerah 35.1 7 7 ,1 44.51 5,5 21 ,0 Peningkatan pendapatan juga diikuti Dana Perimbangan 22.1 96,6 47 .553,7 53,3 dengan pertumbuhan pada sisi belanja. Lain-lain Pendapatan Daerah 4.7 37 ,0 4.658,2 -1 ,7 Dalam empat tahun terakhir, belanja APBD T otal 64.117 ,7 98.7 35 ,3 35 ,1 provinsi mengalami pertumbuhan yang Sumber : Kementerian Keuangan cukup tinggi. Setiap jenis belanja tumbuh, tak terkecuali belanja modal yang Tabel V.7 REALISASI PENDAPATAN KABUPATEN DAN KOTA mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar TAHUN 2007 dan 2008 (miliar rupiah) 20,13 persen. Pertumbuhan rata-rata Perubahan tertinggi ada pada belanja barang dan jasa Kelompok Pendapatan 2007 2008 (%) diikuti dengan belanja pegawai. Di lain Pendapatan Asli Daerah 16.727,3 20.230,4 20,9 pihak, pertumbuhan terendah adalah pada Dana Perimbangan 196.284,3 246.688,4 25,7 Belanja Lainnya. Belanja Lainnya Lain-lain Pendapatan Daerah 10.439,0 12.788,1 22,5 merupakan gabungan dari belanja bunga, Total 223.450,6 279.706,9 25,2 subsidi, hibah, bantuan sosial, bantuan Sumber : Kementerian Keuangan keuangan, dan belanja tak terduga. (lihat Tabel V.8). TABEL V.8 Komposisi belanja pemerintah provinsi pada TOTAL ALOKASI BELANJA APBD PROVINSI PER JENIS TAHUN 2007 DAN 2010 dasarnya tidak mengalami banyak (miliar rupiah) perubahan. Berbeda halnya dengan Jenis Belanja 2007 2010 Rasio (%) Pertumbuhan Rata-rata (%) pemerintah kabupaten dan kota. Jika pada 2007 2010 Pegawai 14.648,7 29.838,3 24,08 26,37 26,76 tahun 2007 belanja pegawai mengambil Barang dan Jasa 11.596,7 26.871,6 19,07 23,75 32,33 porsi sebesar 40,91 persen dari total belanja, Modal 15.174,8 26.307,2 24,95 23,25 20,13 pada tahun 2010 porsi tersebut meningkat Lainnya Total 19.406,7 60.827,0 30.166,2 113.113,3 31,90 100,00 26,62 100,00 15,8 22,98 menjadi 50,74 persen. Sebaliknya, belanja Sumber : Kementerian Keuangan modal dari total belanja turun dari 31,16 persen pada tahun 2007 menjadi 21,90 TABEL V.9 persen pada tahun 2010 (lihat Tabel V.9). TOTAL ALOKASI BELANJA APBD KABUPATEN DAN KOTA PER JENIS TAHUN 2007 DAN 2010 (miliar rupiah) Dilihat dari belanja per fungsi, alokasi Rasio (%) Pertumbuhan belanja pada APBD provinsi mengalami Jenis Belanja 2007 2010 2007 2010 Rata-rata (%) perkembangan yang cukup menarik. Dari Pegawai 103.238,77 160.646,77 40,91 50,74 15,88 tahun 2007 ke tahun 2009, belanja untuk Barang dan Jasa Modal 42.984,31 78.645,63 53.213,50 69.314,08 17,03 31,16 16,81 21,9 7,38 (4,12) fungsi pendidikan mengalami pertumbuhan Lainnya 27.502,20 33.406,31 10,90 10,55 6,7 tertinggi hampir mendekati 53 persen. Total 252.370,90 Sumber : Kementerian Keuangan 316.580,67 100,00 100,00 7,85 V-20 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 21. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V Urutan berikutnya ditempati TABEL V. 10 TOTAL ALOKASI BELANJA APBD PROVINSI PER FUNGSI masing-masing oleh fungsi kesehatan TAHUN 2007 dan 2009 (miliar rupiah) dan pelayanan umum. Urutan % thd Total terakhir adalah fungsi lainnya yang Belanja Pertumbuhan No. Fungsi 2007 2009 merupakan gabungan dari fungsi 2007 2009 Rata-rata (%) ekonomi, lingkungan hidup, 1 Pelay anan Umum 32.251 ,6 51 .088,5 5 3,0 5 6,8 25,9 2 Pendidikan 4.524,6 1 0.5 51 ,6 7 ,4 1 1 ,7 5 2,7 ketentraman dan ketertiban, 3 Kesehatan 4.055 ,0 8.099,1 6,7 9,0 41 ,3 perumahan dan fasilitas umum, 4 Lainny a 1 9.995,8 20.241 ,9 32,9 22,5 0,6 Sumber: Kementerian Keuangan pariwisata dan budaya, serta perlindungan sosial. Pertumbuhan TABEL V. 11 total belanja APBD provinsi per fungsi TOTAL ALOKASI BELANJA APBD KABUPATEN DAN KOTA PER FUNGSI TAHUN 2007 dan 2009 dapat dilihat pada Tabel V.10. (miliar rupiah) % thd Total Belanja per fungsi pada total APBD No. Fungsi 2007 2009 Belanja Pertumbuhan Rata-rata (%) kabupaten dan kota juga mengalami 2007 2009 1 Pelayanan Umum 77.333,67 93.593,84 30,53 28,92 10.01 perkembangan serupa. Pertumbuhan 2 Pendidikan 69.589,85 101.046,70 27,48 31,22 20.50 rata-rata belanja untuk Fungsi 3 Kesehatan 24.606,03 29.697,56 9,71 9,18 9.86 4 Lainnya 81.754,56 99.292,18 32,28 30,68 10.21 Pendidikan hampir mendekati 21 Sumber: Kementerian Keuangan persen. Porsi belanja untuk total Fungsi Pendidikan pada APBD kabupaten dan kota sudah sesuai dengan Undang-Undang bidang Pendidikan yang pada tahun 2007 sebesar 27,48 persen kemudian meningkat menjadi 31,22 persen pada tahun 2009. Urutan berikutnya ditempati masing-masing oleh Fungsi Lainnya dan Fungsi Pelayanan Umum. Sementara itu, Fungsi Kesehatan mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 9,86 persen. Pertumbuhan total belanja APBD kabupaten dan kota per fungsi dapat dilihat pada Tabel V.11. 5.2.6 Implikasi Desentralisasi Fiskal terhadap Perkembangan Ekonomi Daerah Desentralisasi fiskal di Indonesia dilakukan dengan pemberian diskresi belanja daerah yang luas dengan didukung oleh pendanaan transfer dari pusat dan penguatan local taxing power. Desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaran pemerintahan dan pelayanan publik di daerah. Hal ini dikarenakan dekatnya tingkatan pemerintahan yang memberikan layanan dengan masyarakat yang dilayaninya, sehingga pemerintah daerah memahami kebutuhan dan prioritas daerah mereka. Selanjutnya, peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan akan mendorong semakin baiknya akses layanan publik dan pada akhirnya akan mendorong perekonomian daerah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi dapat dinilai dari beberapa indikator. Salah satu indikator outcome yang lazim digunakan adalah pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah adalah tingkat konsumsi, investasi, ketenagakerjaan, dan multiplier effect dari belanja pemerintah, serta kegiatan perdagangan daerah. Pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi nasional adalah 6,1 persen. Pada Grafik V.9 terlihat bahwa terdapat 14 provinsi yang tingkat pertumbuhan ekonominya di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu, pada tahun 2009, dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4,55 persen terdapat 22 provinsi yang berada di atas pertumbuhan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-21