1. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V
BAB V
KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL
5.1 Umum
Implementasi otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab beserta
desentralisasi fiskal yang mengikutinya, saat ini telah memasuki dasawarsa kedua. Perlu
dipahami bahwa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan
instrumen yang digunakan dalam penyelenggaraan pembangunan negara dan bukan tujuan
bernegara itu sendiri. Instrumen ini digunakan agar pencapaian tujuan bernegara, yaitu
kesejahteraan masyarakat, dapat lebih mudah dicapai. Oleh karena itu, otonomi daerah
dan desentralisasi fiskal dilakukan dengan menempatkan motor penggerak pembangunan
pada tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu pemerintah
daerah. Dekatnya tingkat pemerintahan dengan masyarakatnya diharapkan dapat membuat
kebijakan fiskal daerah akan benar-benar sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas
daerah.
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, secara legal formal, dituangkan dalam Undang-
Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangan
kepada pemerintah daerah serta pendanaan bagi pelaksanaan kewenangan tersebut. Selain
itu, terdapat juga Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang mengatur hal-hal mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam
melakukan pemungutan kepada masyarakat daerah guna mendapatkan sumber pendanaan
bagi pembangunan daerah.
Kedua UU pokok dan UU mengenai pajak daerah dan retribusi daerah tersebut di atas, pada
dasarnya dihubungkan dalam suatu prinsip dasar yang sering disebut sebagai money follows
function. Dengan prinsip ini, fungsi yang telah diserahkan ke daerah melalui UU Nomor 32
Tahun 2004 diikuti dengan pendanaan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi dimaksud.
Namun, perlu dipahami bahwa ketersediaan pendanaan selalu mempunyai constraint
(kendala), karena pada dasarnya anggaran selalu terbatas. Oleh karena itu, UU Nomor 33
Tahun 2004 mengatur sumber-sumber pendanaan yang terbatas tersebut yang bisa
digunakan oleh daerah, yaitu melalui pemanfaatan sumber di daerah itu sendiri maupun
melalui transfer ke daerah.
Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, instrumen utama yang digunakan adalah
pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power)
dan transfer ke daerah. Meskipun kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak
daerah masih sangat terbatas, tetapi dari tahun ke tahun terdapat peningkatan peran
pendapatan asli daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Secara nominal, pada tahun 2009 dan 2010 jumlah keseluruhan PAD untuk provinsi dan
kabupaten/kota masing-masing sebesar Rp62,6 triliun (16,5 persen dari total pendapatan
APBD) dan Rp71,8 triliun (17,9 persen dari total pendapatan APBD). UU Nomor 28 Tahun
2009 yang baru saja dikeluarkan dan berlaku efektif sejak 1 Januari 2010 merupakan salah
satu wujud upaya penguatan taxing power daerah, yaitu dengan perluasan basis pajak daerah
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-1
2. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal
dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah,
peningkatan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, dan pemberian diskresi penetapan
tarif pajak.
Mengingat bahwa pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah
sendiri masih sangat terbatas, maka Pemerintah melakukan transfer ke daerah untuk
mendukung pendanaan penyelenggaraan fungsi-fungsi yang telah diserahkan ke daerah.
Transfer ke daerah direalisasikan dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana
Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Alokasi transfer ke daerah terus meningkat seiring dengan
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001. Pada
tahun 2005, alokasi transfer ke daerah sebesar Rp150,5 triliun dan terus meningkat hingga
menjadi Rp344,6 triliun pada APBN-P tahun 2010.
Apabila dilihat dalam konteks yang lebih luas, maka sebenarnya dana Pemerintah yang
bergulir ke daerah pada dasarnya tidak hanya yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Di daerah, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program
dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah dalam bentuk Dana
Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan. Jumlah dana tersebut akan menjadi lebih
besar lagi apabila ditambahkan dengan dana yang digulirkan ke daerah melalui program
nasional yang menjadi Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, seperti Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS),
serta program nasional melalui subsidi yang sebagian besar juga dibelanjakan di daerah,
seperti subsidi energi dan subsidi non-energi. Besarnya dana yang bergulir ke daerah, baik
yang dikelola dalam APBD maupun APBN pada tahun 2010 mencapai hingga 60,62 persen
dari total belanja dalam APBN-P Tahun 2010 (lihat Grafik V.1).
Dalam konteks pendanaan desentralisasi, hal yang sangat krusial untuk dilihat adalah
efektivitas dana yang semakin besar bergulir ke daerah dibelanjakan oleh daerah dan dampak
kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, antara lain dipengaruhi oleh kebijakan belanja
masing-masing pemerintah daerah. Kebijakan belanja pemerintah daerah dapat tercermin
dari besaran alokasi belanja untuk tiap fungsi dan jenis belanja. Berdasarkan fungsi, pada
tahun 2009 belanja daerah yang digunakan untuk melaksanakan fungsi pelayanan umum
menempati urutan teratas yaitu 33,7 persen dari total belanja daerah, dan belanja daerah
yang digunakan untuk mendanai fungsi pendidikan mencapai 26 persen, fungsi perumahan
dan fasilitas umum 17,1 persen, dan fungsi kesehatan 8,8 persen. Sementara itu, berdasarkan
jenis belanja, maka porsi belanja pegawai untuk kabupaten/kota masih menempati peringkat
tertinggi yaitu mencapai 44,8 persen di tahun 2010, belanja modal mencapai 21,7 persen
dan belanja barang 18,5 persen, serta sisanya sebesar 15,1 persen untuk jenis belanja lainnya.
Seiring dengan peningkatan dana yang didesentralisasikan dan diikuti dengan upaya
percepatan realisasi belanja dan peningkatan kualitas belanja, telah terjadi perbaikan dalam
berbagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam dua tahun terakhir, tingkat
kemiskinan telah menurun relatif signifikan pada sebagian besar provinsi. Demikian pula,
tingkat pengangguran di sebagian besar daerah telah mengalami penurunan yang relatif
cukup signifikan. Di samping itu, dalam lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan
pemerataan pembangunan daerah yang tercermin dari semakin membaiknya indikator
statistik pemerataan PDRB antarprovinsi.
V-2 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
3. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V
Kebijakan desentralisasi fiskal ke depan diarahkan pada upaya untuk melakukan penguatan
taxing power daerah dan perbaikan kebijakan transfer. Penguatan taxing power ke daerah
telah diawali dengan terbitnya UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan menyerahkan sebagian
kewenangan perpajakan ke daerah, terutama dilakukan melalui penyiapan daerah untuk
menghadapi transisi pengalihan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, baik
melalui penguatan sistem di daerah maupun capacity building. Sementara itu, kebijakan
anggaran transfer ke daerah pada tahun 2011 akan diarahkan diantaranya untuk mendukung
kesinambungan fiskal nasional (fiscal sustainability) dalam rangka kebijakan ekonomi makro.
Dengan demikian, kesinambungan pertumbuhan ekonomi nasional dapat dicapai.
GRAFIK V.1
DANA KE DAERAH YANG DIKELOLA DALAM APBD DAN APBN TAHUN 2010
Belanja APBN-P 2010 Total Belanja = 1.126,15 T
(triliun rupiah)
Belanja Negara di Daerah Bantuan ke Masyarakat
Sumber: APBN-P 2010 35,37 (3,14%)
126,37 (11,22%) Subsidi
176,33 (15,66%)
Belanja Negara di Pusat Transfer ke Daerah
443,46 (39,38%) 344,61 (30,60%)
Dana ke Daerah = 682,69 T (60,62%)
Melalui Angg. K/L dan Melalui Angg. Transfer ke Daerah
Melalui APP (Subsidi) Melalui Angg. K/L
APP (Program Nasional) (Masuk APBD)
- PNPM 10,42 0,93% - BBM 88,89 7,89% - DBH 89,62 7,96% - Dana Dekon 11,93 1,06%
- BOS 19,84 1,76% - Listrik 55,10 4,89% - DAU 203,61 18,08% - Dana TP 7,64 0,68%
- Jamkes 5,10 0,45% - Pangan 13,92 1,24% - DAK 21,14 1,88% - Dana Vertikal 106,80 9,48%
- Pupuk 18,41 1,63% - Otsus 9,09 0,81%
- Penyesuaian 21,15 1,88%
*)
APP = Anggaran Pembiayaan
dan Perhitungan
Total 35,37 (3,14%) Total 176,33 (15,66%) Total 344,61 (30,60%) Total 126,37 (11,22%)
5.2 Perkembangan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal
Tahun 2005 - 2010
5.2.1 Perkembangan Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Hakikat dari hubungan antara otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya
merupakan pengejawantahan dari prinsip money follows function, yang berarti bahwa
pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan. Dalam implementasinya, seiring dengan
penyerahan kewenangan kepada daerah, maka kepada daerah diberikan sumber-sumber
pendanaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Mekanisme pendanaan atas
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-3
4. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal
pelaksanaan kewenangan yang telah diserahkan ke daerah tersebut dilakukan melalui azas
desentralisasi. Di samping itu, untuk melaksanakan kewenangan yang masih dipegang oleh
Pemerintah, karena alasan efisiensi dan efektivitas seringkali pelaksanaannya dilaksanakan
di daerah melalui azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Dalam konteks pelaksanaan azas desentralisasi, salah satu bentuk dukungan pendanaan
kepada daerah dilakukan melalui pemberian sumber perpajakan daerah dan retribusi daerah
yang dapat dipungut oleh daerah. Mengingat sumber tersebut sangat terbatas, maka kepada
daerah diberikan dukungan pendanaan melalui transfer dari Pemerintah dalam bentuk Dana
Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Selain sumber penerimaan dari
daerah sendiri dan transfer dari Pemerintah, daerah juga diberi kewenangan untuk
melakukan pinjaman dalam rangka pembiayaan pembangunan daerah, dan juga
penerimaan dalam bentuk hibah baik yang berasal dari Pemerintah maupun pihak lain.
Pemberian sumber penerimaan daerah sendiri terutama dilakukan melalui kewenangan
perpajakan daerah dan retribusi daerah. Kebijakan mengenai perpajakan daerah dan retribusi
daerah telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2010.
Ada empat kebijakan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Pertama
adalah closed-list system untuk jenis pajak dan retribusi yang bisa dipungut oleh daerah.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha
tentang jenis pungutan yang harus mereka bayar. Kedua adalah penguatan local taxing
power. Hal ini dilakukan, antara lain melalui perluasan basis pajak daerah dan retribusi
daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak dan retribusi daerah (seperti pajak rokok
dan pengalihan PBB menjadi pajak daerah), meningkatkan tarif maksimum beberapa jenis
pajak daerah, serta pemberian diskresi penetapan tarif pajak. Ketiga adalah perbaikan sistem
pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak provinsi
yang lebih ideal dan kebijakan earmarking jenis pajak daerah tertentu (seperti earmarking
sebagian Pajak Kendaraan Bermotor untuk pemeliharaan jalan). Keempat adalah
peningkatan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme
pengawasan represif menjadi preventif dan korektif.
Selain penerimaan sendiri, sumber pendanaan kebijakan transfer ke daerah tersebut dilakukan
melalui alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dalam
pelaksanaannya, Dana Perimbangan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh karena
masing-masing komponen mempunyai tujuan yang saling melengkapi satu dengan lainnya.
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan instrumen untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara
Pemerintah dan daerah. Disadari bahwa instrumen DBH tersebut menimbulkan kesenjangan
fiskal antardaerah karena adanya variasi sumber daya antardaerah. Oleh karena itu,
instrumen Dana Alokasi Umum (DAU) ditujukan untuk mengurangi kesenjangan
antardaerah. Di samping itu, untuk membantu daerah dengan kemampuan keuangan yang
relatif rendah, dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung pencapaian tujuan
dan prioritas nasional serta meningkatkan pemerataan akses terhadap layanan publik.
Penyempurnaan terus dilakukan terhadap ketiga komponen transfer tersebut, antara lain,
melalui peningkatan akurasi data DBH sehingga penetapan alokasi dan penyaluran DBH
dapat dilakukan secara tepat waktu dan tepat jumlah, penyempurnaan formulasi DAU
melalui penerapan pembobotan masing-masing variabel yang diarahkan untuk pemerataan
kemampuan keuangan daerah, serta penajaman kriteria DAK agar lebih tepat sasaran.
V-4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
5. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V
Dalam rangka mendukung peningkatan kinerja daerah, mulai tahun 2010 kepada daerah
diberikan Dana Insentif Daerah (DID), yang pada dasarnya merupakan penghargaan kepada
daerah yang berprestasi dari segi pengelolaan keuangan dan perekonomian daerah. Dana
tersebut dialokasikan berdasarkan capaian output dan outcome pembangunan daerah.
Selanjutnya, untuk memperkuat pendanaan daerah dan sekaligus memacu percepatan
pembangunan ekonomi daerah, maka daerah juga diberikan kesempatan untuk melakukan
pinjaman daerah. Pelaksanaan pinjaman daerah harus dilakukan dengan hati-hati (prudent),
mengingat bahwa penerimaan pinjaman harus dikembalikan dananya dan mengandung
konsekuensi biaya, seperti bunga. Oleh karena itu, kebijakan pinjaman yang ada sampai
saat ini dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan fiskal dengan mengatur batasan
pinjaman, sumber pinjaman, jenis dan jangka waktu pinjaman, penggunaan pinjaman,
persyaratan pinjaman, prosedur pinjaman daerah, dan pelaporan pinjaman beserta sanksinya.
Dalam pelaksanaannya, pinjaman daerah harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh
Pemerintah, seperti pemerintah daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman pihak
lain, pendapatan daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah kecuali untuk proyek
yang dibiayai dari obligasi daerah, pemerintah daerah tidak dapat melakukan pinjaman
langsung ke luar negeri, jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang
akan ditarik tidak melebihi 75 persen dari jumlah penerimaan umum APBD tahun
sebelumnya, Debt Service Coverage Ratio paling sedikit 2,5 (dua koma lima), dan tidak
melampaui batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah yang dapat dibiayai dari
pinjaman daerah.
Dalam periode ini, hibah kepada daerah mengalami perkembangan yang signifikan, terutama
setelah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2008 tentang
Hibah Daerah dan PMK Nomor 169 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyaluran Hibah Kepada
Pemerintah Daerah. Kebijakan hibah kepada daerah sampai saat ini diarahkan pada
peningkatan transparansi dan akuntabilitas dana hibah yang diterima oleh daerah dari
Pemerintah, terutama yang bersumber dari penerusan hibah dari luar negeri.
Di samping dukungan kebijakan dan pendanaan dalam bentuk dana desentralisasi, dalam
upaya peningkatan sinergitas antara pusat dan daerah, Pemerintah juga mengalokasikan
dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di
daerah melalui Dana Dekonsentrasi, Dana Tugas Pembantuan, dan dana untuk
melaksanakan program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Dana dekonsentrasi adalah
dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah
yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan
dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.
Sementara itu, Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh daerah dan desa, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran
dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan.
Pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan
kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan yang tersedia bagi penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7
Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, proses perencanaan dan
penganggaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap program dan kegiatan
yang akan didekonsentrasikan/ditugaskan disusun dengan memperhatikan kemampuan
keuangan negara, keseimbangan pendanaan di daerah, dan kebutuhan pembangunan di
daerah. Ketiga parameter penyusunan perencanaan dan penganggaran itu mengandung
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-5
6. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal
makna bahwa pengalokasian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan disesuaikan dengan
kemampuan APBN dalam mendanai urusan Pemerintah Pusat serta mempertimbangkan
besarnya transfer belanja Pusat ke daerah dan kemampuan keuangan daerah, agar alokasi
dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi lebih efektif, efisien, dan tidak
terkonsentrasi di suatu daerah tertentu. Selain itu, penyusunan perencanaan dan
penganggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan juga diarahkan agar sesuai dengan
prioritas pembangunan nasional dan prioritas pembangunan daerah.
5.2.2 Perkembangan Transfer ke Daerah
Desentralisasi fiskal telah dilaksanakan selama satu dasawarsa. Selama kurun waktu tersebut,
perkembangan alokasi Transfer ke Daerah dari tahun ke tahun secara nominal terus
meningkat. Dalam enam tahun terakhir dari tahun 2005 hingga 2010, secara lebih detail
perkembangan Transfer ke Daerah dapat dilihat pada Grafik V.2 dan Tabel V.1.
Pada tahun ke lima pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu pada tahun 2005, transfer ke
daerah masih sekitar Rp150,5 triliun, namun pada APBN-P tahun 2010 jumlah transfer ke
daerah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat sehingga menjadi Rp344,6 triliun.
Peningkatan tersebut terjadi
merata pada semua jenis GRAFIK. V.2
PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH
transfer ke daerah. DAU yang (DANA PERIMBANGAN, DANA OTSUS, DAN DANA PENYESUAIAN)
merupakan komponen TAHUN 2005 - 2010
terbesar dari transfer ke daerah 350
314,36
287,25
meningkat dari Rp88,7 triliun 300 243,97
278,71
pada tahun 2005 menjadi 250
222,13
triliun rupiah
Rp203,6 triliun pada tahun 200 143,22
2010, suatu peningkatan yang 150
sangat signifikan karena 100
30,25
13,72 21,33
meningkat hampir tiga kali 50 7,24 4,05 9,30
lipat. Peningkatan terbesar 0
2005 2006 2007 2008 2009 2010
terjadi pada DAK. Pada tahun LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P
2005 nilai DAK masih berada Dana Otsus dan Penyesuaian Dana Perimbangan
di bawah Rp4 triliun, tetapi Sumber : Kementerian Keuangan
TABEL V.1
PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH, 2005 - 2010
(miliar rupiah)
LKPP A udited A PBN-P
Uraian % % % %
% thd % th d
2005 thd 2006 thd 2007 2008 thd 2009 thd 2010
PDB PDB
PDB PDB PDB PDB
I. Dana Perim bangan 143.221,3 5,1 222.130,6 6,7 243.967 ,1 6,2 27 8.7 14,7 5,6 287 .251,5 5,1 314.363,3 5,0
a. Dana Bagi Hasil 50.47 9,2 1,8 64.900,3 1 ,9 62.941,9 1 ,6 7 8.420,2 1,6 7 6.129,9 1,4 89.61 8,4 1,4
b. Dana Alokasi Umum 88.7 65,4 3,2 145.664,2 4,4 164.7 87 ,4 4,2 17 9.507 ,1 3,6 1 86.414,1 3,3 203.606,5 3,3
c. Dana Alokasi Khusus 3.97 6,7 0,1 11 .566,1 0,3 16.237 ,8 0,4 20.7 87 ,3 0,4 24.7 07 ,4 0,4 21.1 38,4 0,3
II . Dana Otsu s dan Peny esuaian 7 .242,6 0,3 4.049,3 0,1 9.296,0 0,2 13.7 18,8 0,3 21.333,8 0,4 30.249,6 0,5
a. Dana Otonomi Khusus 1 .7 7 5,3 0,1 3.488,3 0,1 4.045,7 0,1 7 .510,3 0,2 9.526,6 0,2 9.099,6 0,1
b. Dana Peny esuaian 5.467 ,3 0,2 561,1 0,0 5.250,3 0,1 6.208,5 0,1 1 1.807 ,2 0,2 21 .150,0 0,3
Ju m lah 150.463,9 5,4 226.17 9,9 6,8 253.263,1 6,4 292.433,5 5,9 308.585,2 5,5 344.612,9 5,5
Sumber : Kementerian Keuangan
V-6 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
7. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V
pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp24,7 triliun, meskipun kemudian pada tahun 2010
turun menjadi Rp21,1 triliun. Tentunya semua ini tidak terlepas dari kerja keras seluruh
komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat, sehingga pendapatan
negara senantiasa meningkat untuk turut mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, transfer DBH dihitung berdasarkan
persentase tertentu dari realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan, baik dari
penerimaan pajak maupun penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Penerimaan negara
yang berasal dari penerimaan pajak yang dibagihasilkan ke daerah meliputi Pajak
Penghasilan, yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB).
Penerimaan negara yang berasal dari SDA yang dibagihasilkan ke daerah meliputi minyak
bumi, gas bumi, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. Sejak tahun 2006, DBH
SDA Kehutanan juga mencakup DBH Dana Reboisasi (DR), yang merupakan pengalihan
dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR). Sejak tahun 2009, Pemerintah telah
mengalokasikan DBH Cukai Hasil Tembakau yang merupakan amanat dari UU Nomor 39
Tahun 2007 tentang Cukai. Selain itu, dalam APBN-P 2009 juga telah dialokasikan DBH
Panas Bumi tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. Adapun kebijakan pengalokasian dari
tahun ke tahun adalah menyempurnakan proses perhitungan, penetapan alokasi dan
ketepatan waktu penyaluran melalui peningkatan koordinasi dengan institusi pengelola
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam rangka penyediaan data yang lebih akurat.
Sejalan dengan peningkatan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan, realisasi DBH
menunjukkan adanya peningkatan dari Rp50,5 triliun dalam tahun 2005 menjadi Rp76,1
triliun pada tahun 2009, serta meningkat lagi menjadi Rp89,6 triliun pada tahun 2010, atau
rata-rata tumbuh sebesar 13 persen per tahun.
Selanjutnya, pada Grafik V.3 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah
yang menerima DBH SDA tertinggi adalah daerah se-Provinsi Kalimantan Timur, dengan
proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA, masing-masing sebesar
35,24 persen dan 34,06 persen. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa wilayah tersebut
memang penyumbang utama hasil migas nasional, diikuti oleh wilayah Riau dan Sumatera
Selatan. Sedangkan daerah yang menerima DBH SDA paling rendah pada tahun 2009 adalah
daerah se-Provinsi Bali dan pada tahun 2010 adalah daerah se-Provinsi DI Yogyakarta,
dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA yang sama besar
nya yaitu 0,004 persen.
Sementara itu, pada Grafik V.4 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah
yang menerima DBH Pajak tertinggi adalah daerah se-Provinsi DKI Jakarta, dengan proporsi
penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan DBH Pajak, masing-masing sebesar 22,50
persen dan 23,70 persen, sedangkan daerah yang menerima DBH Pajak paling rendah adalah
daerah se-Provinsi Gorontalo, dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan
DBH Pajak pada tahun 2009 dan 2010, masing-masing sebesar 0,34 persen dan 0,28 persen.
Peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun juga terjadi pada DAU, yang terjadi karena
peningkatan rasio alokasi DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri (PDN) neto, yaitu 25,5
persen pada tahun 2005 dan kemudian meningkat menjadi 26 persen dalam periode tahun
2006-2010. Sejalan dengan peningkatan rasio DAU terhadap PDN neto tersebut, maka dalam
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-7
8. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal
GRAFIK. V.3
PETA DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM DAERAH PER PROVINSI DI INDONESIA*)
TAHUN 2009 − 2010
14.000
2009 2010
Uraian
12.000 Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %
Total 33 35.632,17 100 33 31.870,56 100
Tertinggi Kaltim 12.555,56 35,24 Kaltim 10.853,70 34,06
10.000 Terendah Bali 1,29 0,004 Yogyakarta 1,24 0,004
Rata-Rata 33 1.079,76 - 33 965,77 -
8.000
miliar rupiah
6.000
4.000
2009
2010
2.000
0
Bengkulu
Sulteng
Sumut
Gorontalo
Kalteng
Sumbar
Sultra
Sumsel
Sulut
Jateng
Yogyakarta
Sulbar
Sulsel
Malut
Lampung
Banten
Kaltim
Kalbar
Papua
Kalsel
Maluku
Bali
NTT
Jatim
Babel
DKI
Riau
Jambi
Jabar
NAD
Papua Barat
NTB
Kepri
*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan
Sumber : Kementerian Keuangan
GRAFIK. V.4
PETA DANA BAGI HASIL PAJAK DAERAH
PER PROVINSI DI INDONESIA*)
TAHUN 2009 - 2010
12.000
2009 2010
Uraian
Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %
10.000
Total 33 39.271,24 100 33 45.997,51 100
Tertinggi DKI 8.688,80 22,1% DKI 10.905,84 23,7%
8.000 Terendah Gorontalo 132,21 0,34% Gorontalo 129,00 0,28%
Rata-Rata 33 1.190,04 - 33 1.393,86 -
miliar rupiah
6.000
4.000
2009 2010
2.000
0
*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan
Sumber : Kementerian Keuangan
V-8 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
9. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V
rentang waktu 2005–2010, realisasi DAU meningkat dari Rp88,8 triliun pada tahun 2005,
menjadi Rp186,4 triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi menjadi Rp203,6 triliun pada
tahun 2010 atau rata-rata tumbuh sebesar 18,65 persen per tahun.
Pengalokasikan DAU ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang didasarkan
pada data dasar perhitungan DAU. Sebelum tahun 2006, formula DAU terbagi menjadi dua
komponen utama, yaitu alokasi minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan kesenjangan
fiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai.
Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006,
komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi alokasi dasar (AD) dan celah fiskal
(CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan
keuangan antardaerah, dengan mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas
fiskal masing-masing daerah.
Pada Grafik V.5, dapat dilihat bahwa pada tahun 2010, daerah yang menerima DAU
tertinggi adalah daerah se-Provinsi Jawa Timur, dengan alokasi sekitar 11,06 persen dari
total DAU. Dalam kurun waktu 2005 sampai dengan saat ini, upaya untuk mewujudkan
fungsi DAU sebagai equalization grant dilakukan melalui kebijakan sebagai berikut:
(1) Melakukan pembobotan alokasi dasar dengan persentase di bawah 50 persen dari DAU
Nasional agar memberikan porsi alokasi yang lebih besar untuk menutup celah fiskal.
Dengan kebijakan ini berarti besaran rata-rata gaji PNSD per daerah dihitung di bawah
100 persen.
(2) Melakukan pembobotan pada setiap variabel kebutuhan fiskal dengan asumsi bahwa
pemanfaatan Transfer ke Daerah adalah untuk pelayanan kepada penduduk dan
pengelolaan wilayah, sehingga bobot untuk penduduk seimbang dengan bobot untuk
wilayah.
(3) Menetapkan persentase tertentu dalam menghitung variabel kapasitas fiskal untuk
mendapatkan indek pemerataan yang terbaik yang dicerminkan dari semakin rendahnya
Williamson Index.
Pada tahun 2005, DAK dialokasikan untuk 8 bidang, yaitu pendidikan, kesehatan, jalan,
irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, air bersih, serta pertanian.
Selanjutnya, pada tahun 2006 bidang yang didanai melalui DAK ditambah bidang lingkungan
hidup. Bahkan pada tahun 2008 bertambah dua bidang, yaitu bidang Keluarga Berencana
(KB) dan bidang kehutanan. Sedangkan pada tahun 2009 bertambah dua bidang lagi yaitu
bidang perdagangan dan bidang sarana prasarana perdesaan, sehingga menjadi 13 bidang.
Selanjutnya, pada tahun 2010 menjadi 14 bidang sebagai akibat dari dipisahkannya DAK
Air Minum dan DAK Sanitasi yang pada tahun sebelumnya tergabung dalam satu bidang.
Untuk menunjukkan komitmen daerah dalam pelaksanaan DAK, kepada daerah diwajibkan
menganggarkan dana pendamping dalam APBD, sekurang-kurangnya 10 persen dari besaran
alokasi DAK yang diterima. Sejalan dengan penambahan bidang yang dibiayai dengan DAK,
alokasi DAK juga terus meningkat, dari Rp3,97 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun
2005, menjadi Rp20,8 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2008, dan meningkat
menjadi Rp24,7 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2009. Pada tahun 2010,
alokasi DAK mengalami penurunan menjadi Rp21,1 triliun sebagai akibat dari terbatasnya
kemampuan keuangan negara. Sementara itu, dengan semakin bertambahnya daerah
otonom baru berdampak terhadap bertambahnya jumlah daerah yang menerima DAK. Hal
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-9
10. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal
GRAFIK. V.5
PETA DANA ALOKASI UMUM PER PROVINSI DI INDONESIA*)
TAHUN 2009 - 2010
25.000
2009 2010
Uraian
Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %
20.000 Total 33 186.414,10 100 33 192.490,34 100
Tertinggi Jatim 20.854,97 11,19 Jatim 21.290,50 11,06
Terendah DKI 0,00 0,00 DKI 0,00 0,00
Rata-Rata 33 5.648,91 - 33 5.833,04 -
15.000
miliar rupiah
10.000
2009 2010
5.000
0
*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan
Sumber : Kementerian Keuangan
ini dapat dilihat dari jumlah penerima DAK pada tahun 2005, yaitu dari 377 kabupaten/
kota dan 2 Provinsi pada tahun 2005, menjadi 485 kabupaten/kota dan 32 provinsi pada
tahun 2010.
Adapun sebaran DAK untuk pemerintah daerah se-provinsi di Indonesia disajikan pada
Grafik V.6 di bawah. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan
2010, daerah yang menerima DAK tertinggi adalah daerah se-provinsi Jawa Timur dan
Jawa Tengah dengan proporsi masing-masing sama sebesar 8,65 persen dan 9,32 persen
terhadap total penerimaan DAK seluruh daerah.
Selain Dana Perimbangan, juga dialokasikan Dana Otsus dan Penyesuaian. Dana Otsus
dialokasikan untuk Provinsi Papua dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU nasional
selama 20 tahun, yang diutamakan untuk mendanai pendidikan dan kesehatan. Selain itu,
diberikan juga dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur yang besarnya ditetapkan
antara Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan provinsi setiap tahun. Sementara itu, Dana
Otsus juga dialokasikan untuk Provinsi NAD dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU
nasional selama 15 tahun, untuk tahun ke-16 hingga ke-20 menjadi sebesar 1 persen dari
pagu DAU nasional.
Selanjutnya, Dana Penyesuaian sampai dengan tahun 2007, terutama dialokasikan berupa
Dana Penyeimbang kepada daerah yang menerima DAU lebih kecil dari DAU yang diterima
tahun sebelumnya, sehingga DAU yang diterima minimal sama dengan DAU yang diterima
tahun sebelumnya. Pengalokasian Dana Penyeimbang tersebut bertujuan agar penerapan
formula DAU tidak menimbulkan adanya daerah yang memperoleh DAU lebih kecil dari
DAU tahun sebelumnya, yang selanjutnya dikenal dengan prinsip non-hold harmless. Dalam
perkembangannya, pada tahun 2009 kebijakan non-hold harmless telah dihapuskan.
V-10 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
11. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V
GRAFIK .V.6
PETA DANA ALOKASI KHUSUS PER PROVINSI DI INDONESIA*)
TAHUN 2009 - 2010
2500
2009 2010
Uraian
Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %
Total 33 24.707,42 100 33 21.133,38 100
2000 Tertinggi Jatim 2.138,18 8,65 Jateng 1.969,34 9,32
Terendah DKI 0,00 0,00 DKI 0,00 0,00
Rata-Rata 33 748,71 - 33 640,41 -
1500
miliar rupiah
2009 2010
1000
500
0
Kalbar
Jabar
Banten
Jambi
Lampung
Bengkulu
Bali
Sulteng
Babel
Sumsel
Sulsel
Papua
Sulbar
Sumbar
Jateng
Malut
Sulut
Sumut
DKI
Riau
Maluku
Kalteng
Sultra
Kalsel
NTT
Jatim
Yogyakarta
Papua Barat
Kepri
Kaltim
NAD
Gorontalo
NTB
*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan
Sumber : Kementerian Keuangan
Pengalokasian Dana Penyesuaian tersebut juga menampung program-program tertentu
untuk jangka waktu tertentu (ad hoc) dengan nomenklatur yang berganti-ganti hingga
tahun 2009 dengan sebutan Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan
Pembangunan Daerah (DPDF & PPD). Selain DPDF & PPD, terdapat alokasi dana untuk
meningkatkan penghasilan bagi guru PNSD yang belum mendapatkan tunjangan profesi,
besarnya adalah Rp250.000, per orang per bulan dalam 12 bulan setahun. Dari alokasi
anggaran Dana Tambahan Penghasilan bagi Guru PNSD tahun 2009 sebesar Rp7,49 triliun
hanya terserap sekitar Rp4,57 triliun atau 61,01 persen.
Pada tahun 2010, DPDF & PPD dialokasikan kembali sebesar Rp7,1 triliun. Sementara itu,
pendanaan untuk guru PNSD selain Dana Tambahan Penghasilan Guru sebesar Rp5,8 triliun
juga dialokasikan Dana Tunjangan Profesi Guru sebesar Rp10,99 triliun. Tunjangan Profesi
Guru tersebut merupakan pengalihan alokasi anggaran dari Kementerian Pendidikan
Nasional.
Secara umum, Dana Penyesuaian tersebut dimaksudkan untuk menampung alokasi
anggaran untuk mendanai kebijakan tertentu pemerintah dan anggaran yang disediakan
untuk mendorong atau menguatkan desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan
daerah. Perkembangan nomenklatur Dana Penyesuaian tahun 2005–2010 dapat dilihat
pada Tabel V.2.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-11
12. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Dalam Grafik V.7, dapat dilihat TABEL V.2
PERKEMBANGAN NOMENKLATUR DANA PENYESUAIAN, TAHUN 2005 - 2010
bahwa realisasi Dana Otsus dan No. Nomenklatur 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Penyesuaian dalam periode 2005– 1 Dana Penyesuaian Murni • •
2010 mengalami peningkatan yang 2 Dana Penyesuaian DAU •
3 Dana Penyeimbang DAU •
signifikan, dari Rp7,2 triliun dalam 4 Dana Tunjangan Kependidikan • •
tahun 2005, menjadi Rp21,3 triliun 5 Dana Tambahan DAU •
6 Dana Penyesuaian Ad Hoc • •
pada tahun 2009, dan meningkat lagi 7 Dana Penyesuaian Infrastruktur Jalan •
menjadi Rp30,2 triliun dalam APBN- 8 Dana Penyesuaian Infrastruktur Sarana
•
dan Prasarana (DISP)
P 2010. Peningkatan ini tidak terlepas 9 Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal &
dari kebijakan Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF • •
& PPD)
lebih mendorong peran daerah dalam 10 Dana Penguatan Infrastruktur dan
•
era otonomi daerah yang ditandai Prasarana Daerah (DPIPD)
11 Dana Percepatan Pembangunan
dengan makin beragamnya jenis Infrastruktur Pendidikan (DPPIP) •
Dana Penyesuaian dari tahun ke 12 Dana Insentif Daerah •
13 Dana Tambahan Penghasilan Guru • •
tahun. 14 Kurang Bayar DAK dan DISP • •
Sumber: Kementerian Keuangan
GRAFIK V.7
PERKEMBANGAN DANA OTSUS DAN DANA PENYESUAIAN
TAHUN 2005 - 2010
35
30
Dana Penyesuaian Dana Otonomi Khusus
25
triliun rupiah
20 21,2
15 11,8
10 6,2
5,3
5 5,5 0,6 9,5 9,1
7,5
3,5 4,0
1,8
0
2005 2006 2007 2008 2009 2010
LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P
Sumber : Kementerian Keuangan
5.2.3 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) merupakan komponen utama Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah senantiasa mendorong peningkatan
penerimaan daerah yang bersumber dari PDRD tersebut melalui penyempurnaan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah sesuai dengan
perkembangan keadaan.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan perpajakan daerah dan
retribusi daerah diarahkan untuk memberikan taxing power yang lebih besar kepada daerah.
V-12 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
13. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V
Dengan pemberian taxing power yang lebih besar tersebut diharapkan pemerintah daerah
dapat memungut sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di masing-masing daerah
untuk mendanai kebutuhan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Saat ini ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang PDRD adalah UU Nomor
28 Tahun 2009 sebagai pengganti dari UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000.
Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tersebut antara
lain adalah:
(1) Mengubah kewenangan pemungutan dari sistem open list menjadi closed list, artinya
pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum
dalam UU dimaksud. Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah masih
dimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Kebijakan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian kewenangan
kepada daerah untuk menciptakan jenis pungutan baru sebagaimana diatur dalam UU
Nomor 34 Tahun 2000 telah menyebabkan timbulnya banyak pungutan daerah yang
bermasalah. Dengan tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan
jenis PDRD baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang
pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya.
(2) Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah dengan memperluas
basis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif.
Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik, tidak
menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu
lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor impor. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas
basis pajak daerah yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan menambah jenis
pajak baru.
Upaya perluasan basis pajak yang sudah ada antara lain dilakukan dengan menambah
objek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (termasuk
kendaraan Pemerintah/TNI/Polri). Sementara itu, terdapat 4 (empat) jenis pajak baru
bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet, dan
Pajak Rokok. PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB sebelumnya merupakan pajak
pusat, kini dialihkan menjadi pajak kabupaten/kota, sementara Pajak Sarang Burung
Walet sebagai pajak kabupaten/kota, dan Pajak Rokok sebagai Pajak Provinsi.
Selain perluasan basis pajak, perluasan juga dilakukan terhadap beberapa objek retribusi
dan penambahan jenis retribusi, misalnya Retribusi Izin Gangguan yang diperluas
sehingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus
untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum,
memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan
kerja.
Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif, daerah hanya dapat
menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam UU PDRD
dimaksud untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-13
14. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal
beban bagi masyarakat secara berlebihan. Selain penetapan batas maksimum, ditetapkan
pula ketentuan tarif minimum untuk menghindari terjadinya perang tarif antardaerah
terutama untuk objek pajak yang mudah bergerak seperti kendaraan bermotor.
(3) Memperbaiki sistem pengelolaan PDRD melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada
kabupaten/kota, insentif pemungutan PDRD, dan earmarking penerimaan pajak daerah.
Kebijakan earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan
pungutan dimana sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk mendanai
kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut. Sebagai contoh, sebagian penerimaan
Pajak Penerangan Jalan dialokasikan untuk mendanai penerangan jalan, paling sedikit
10 persen dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dialokasikan untuk pembangunan
dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
(4) Dalam rangka mengefektifkan pengawasan PDRD, mekanisme pengawasan diubah dari
represif menjadi preventif. Setiap peraturan daerah tentang PDRD sebelum dilaksanakan
harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap daerah
yang menetapkan kebijakan di bidang PDRD yang melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/
atau pemotongan DAU dan/atau DBH atau restitusi.
UU Nomor 28 Tahun 2009 mengatur tentang 16 (enam belas) jenis pajak yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah, yaitu 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas) jenis
pajak kabupaten/kota. Sedangkan jenis retribusi yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah
meliputi 14 (empat belas) jenis retribusi jasa umum, 11 (sebelas) jenis retribusi jasa usaha
dan 5 (lima) jenis retribusi perizinan tertentu.
Penetapan jenis PDRD tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis PDRD tersebut
secara umum dipungut hampir disemua daerah dan secara teori maupun praktik merupakan
jenis pungutan yang baik serta memenuhi kriteria sebagai pungutan daerah. Pemerintah
daerah boleh tidak memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum dalam UU tersebut
dengan pertimbangan, antara lain, apabila potensi jenis PDRD di daerah tersebut tidak
memadai. Jenis pajak daerah dan retribusi
TABEL V.3
daerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun JENIS PAJAK DAERAH
2009 masing-masing dapat dilihat pada
Provinsi Kabupaten/Kota
Tabel V.3 dan Tabel V.4.
1. Pajak Kendaraan Bermotor 1. Pajak Hotel
Sama halnya dengan pajak daerah,
2. Bea Balik Nama 2. Pajak Restoran
pemerintah daerah juga tidak Kendaraan Bermotor
diperkenankan untuk memungut jenis 3. Pajak Bahan Bakar 3. Pajak Hiburan
Kendaraan Bermotor
retribusi selain yang telah diatur dalam
4. Pajak Air Permukaan 4. Pajak Reklame
UU Nomor 28 Tahun 2009. Namun 5. Pajak Rokok 5. Pajak Penerangan Jalan
demikian, untuk mengantisipasi 6. Pajak Parkir
7. Pajak Mineral Bukan Logam dan
perkembangan keadaan, maka Batuan
dimungkinkan untuk menambah jenis 8. Pajak Air Tanah
retribusi sepanjang memenuhi kriteria 9. Pajak Sarang Burung Walet
10. PBB Perdesaan dan Perkotaan
yang ditetapkan dalam UU dimaksud 11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dengan menerbitkan Peraturan dan Bangunan
Pemerintah.
Sumber: UU Nomor 28 Tahun 2009
V-14 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
15. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V
TABEL V.4
JENIS RETRIBUSI DAERAH
Jasa Umum Jasa Usaha Perizinan Tertentu
1 Retribusi Pelayanan Kesehatan 1 Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah 1 Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
2 Retribusi Kebersihan 2 Retribusi Pasar Grosir/Pertokoan 2 Retribusi Izin Tempat Penjualan
Minuman Beralkohol
3 Retribusi KTP dan Akte Capil 3 Retribusi Tempat Pelelangan 3 Retribusi Izin Gangguan
4 Retribusi Pemakaman/ Pengabuan 4 Retribusi Terminal 4 Retribusi Izin Trayek
Mayat
5 Retribusi Parkir di Tepi 5 Retribusi Tempat Khusus Parkir 5 Retribusi Izin Usaha Perikanan
Jalan Umum
6 Retribusi Pelayanan Dasar 6 Retribusi Tempat Penginapan/
Pesanggrahan/Villa
7 Retribusi Pengujian Kendaraan 7 Retribusi Rumah Potong Hewan
Bermotor
8 Retribusi Pemeriksaan Alat 8 Retribusi Pelayanan Kepelabuhan
Pemadam Kebakaran
9 Retribusi Penggantian Biaya 9 Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
Cetak Peta
10 Retribusi Pelayanan Tera/ 10 Retribusi Penyeberangan di Air
Tera Ulang
11 Retribusi Penyedotan Kakus 11 Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah
12 Retribusi Pengolahan Limbah Cair
13 Retribusi Pelayanan Pendidikan
14 Retribusi Pengendalian Menara
Telekomunikasi
Sumber: UU Nomor 28 Tahun 2009
Penentuan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu yang dapat dipungut
oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota didasarkan pada
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan masing-masing daerah sesuai peraturan
perundang-undangan, sedangkan untuk retribusi jasa usaha didasarkan pada siapa yang
menyediakan jasa. Pemanfaatan hasil penerimaan masing-masing jenis retribusi daerah
diutamakan untuk mendanai kegiatan yang bersangkutan dengan tujuan agar pelayanan
yang disediakan dapat senantiasa ditingkatkan.
Lebih lanjut dalam ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009, Pemerintah melakukan
pengawasan secara preventif dan korektif terhadap Perda-perda tentang PDRD yang
ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pengawasan preventif dilakukan dengan mengevaluasi
raperda sebelum ditetapkan menjadi perda, sedangkan pengawasan korektif dilakukan
dengan mengevaluasi perda tentang PDRD yang telah ditetapkan oleh kepala daerah.
Apabila dalam pengawasan tersebut ditemukan perda yang bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah dapat
melakukan pembatalan atas perda bermasalah tersebut. Sejak tahun 2001 sampai dengan
2010, terdapat 13.623 perda tentang PDRD yang diterima dan telah dievaluasi sebanyak
13.252 perda. Dari jumlah yang dievaluasi tersebut, 4.885 perda (37 persen) diantaranya
direkomendasikan untuk dibatalkan karena tidak sesuai dengan kepentingan umum dan/
atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk raperda, dari 2.765 yang
diterima, sejumlah 2.754 diantaranya telah dievaluasi dengan hasil 352
(13 persen) raperda ditolak dan 1.522 (55 persen) raperda direkomendasikan untuk direvisi.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-15
16. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Terkait dengan kepatuhan hukum, Pemerintah dapat mengenakan sanksi kepada daerah
yang tetap melakukan pemungutan PDRD walaupun telah diberikan ketetapan pembatalan
atas perda PDRD tersebut. Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009, pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAU dan/atau
DBH atau restitusi, dengan ketentuan sebagai berikut:
(1) Pelanggaran terhadap prosedur penetapan raperda menjadi perda adalah berupa
penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan bagi daerah yang tidak memperoleh DAU
sebesar 10 persen untuk setiap periode penyaluran;
(2) Pelanggaran terhadap daerah yang tetap melaksanakan pemungutan PDRD berdasarkan
perda yang dibatalkan adalah berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan
sebesar perkiraan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah dipungut
untuk setiap periode penyaluran DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan atau 5 persen
dari jumlah DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan yang disalurkan untuk setiap periode
penyaluran.
Selanjutnya, beberapa hal krusial dalam pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah
sebagai berikut:
(1) Pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah mulai berlaku efektif pada
tanggal 1 Januari 2011, sehingga penerimaan BPHTB tidak lagi dianggarkan dalam
APBN tahun 2011;
(2) Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pajak pusat menjadi pajak daerah
dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 1 Januari 2014. Dengan demikian,
penerimaan PBB sektor perdesaan dan perkotaan tidak lagi dianggarkan dalam APBN
apabila perda tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan sudah berlaku di daerah;
(3) Penerimaan terhadap jenis pungutan yang tidak terdapat dalam UU Nomor 28 Tahun
2009 tidak dianggarkan lagi dalam APBD tahun 2011;
(4) Untuk perda tentang PDRD yang berlaku saat ini dan masih tercantum sebagai jenis
PDRD menurut UU Nomor 28 Tahun 2009, maka ketentuan pemungutannya harus
disesuaikan dengan UU dimaksud paling lambat tanggal 31 Desember 2012;
(5) Terkait dengan PBB Perdesaan dan Perkotaan, Pemerintah perlu melakukan konsultasi/
koordinasi/sosialisasi dengan instansi terkait dan mempersiapkan sarana dan prasarana
serta sumber daya manusia, khususnya tenaga administrator, pendataan, penilaian,
dan penetapan.
5.2.4 Pinjaman dan Hibah Daerah
5.2.4.1 Pinjaman Daerah
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2005 tentang Pinjaman Daerah, diamanatkan bahwa Pemerintah menetapkan batas
maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan
keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional. Batas maksimal kumulatif
dimaksud adalah 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun anggaran yang
V-16 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
17. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V
bersangkutan. Dalam rangka menjaga batas tersebut, setiap tahun Pemerintah menetapkan
batas maksimal kumulatif defisit APBD, batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah,
dan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah.
Untuk menutup defisit APBD, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman daerah yang
bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga
keuangan bukan bank, dan masyarakat dalam bentuk obligasi daerah. Grafik V.8
menggambarkan perkembangan kontribusi pinjaman daerah terhadap pembiayaan defisit
APBD. Kontribusi tersebut dihitung dari besarnya penarikan pinjaman daerah dibandingkan
dengan besarnya defisit pada
APBD. Berdasarkan grafik GRAFIK. V.8
PERKEMBANGAN KONTRIBUSI PINJAMAN DAERAH
tersebut, dari tahun 2007 sampai TERHADAP PEMBIAYAAN DEFISIT APBD TAHUN 2007-2010
dengan tahun 2010, kontribusi
6,13
pinjaman daerah terhadap 7% 5,32
pembiayaan defisit APBD sangat 6% 4,63
4,21
kecil dan berfluktuasi antara 4 5%
persen sampai dengan 7 persen. 4%
3%
Defisit APBD pada umumnya
2%
ditutup dari Sisa Lebih 1%
Pembiayaan Anggaran (SILPA) 0%
tahun sebelumnya masing- 2007 2008 2009 2010
masing Pemerintah Daerah. Sumber: Kementerian Keuangan
Dalam era otonomi daerah, sebagian besar pinjaman daerah yang digunakan untuk menutup
defisit bersumber dari Pemerintah dan lembaga keuangan bank. Pemerintah dapat
memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah yang dananya bersumber dari pendapatan
APBN dan/atau pengadaan pinjaman Pemerintah dari dalam negeri maupun luar negeri.
Pengadaan pinjaman luar negeri dikelola melalui mekanisme penerusan pinjaman luar negeri
(Subsidiary Loan Agreement/SLA). Penerusan pinjaman luar negeri pada umumnya
merupakan pinjaman jangka panjang yang digunakan untuk mendanai proyek investasi
yang menghasilkan penerimaan. Beberapa sumber pinjaman luar negeri tersebut adalah
pinjaman yang bersumber dari badan-badan yang sifatnya multilateral seperti Bank Dunia
(World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Bank Pembangunan
Islam (Islamic Development Bank), dan negara-negara lain secara bilateral. Di samping
itu, Pemerintah terus berupaya mendorong pemerintah daerah untuk mengoptimalkan
sumber pinjaman dalam negeri berupa obligasi daerah yang diperdagangkan di pasar modal
domestik.
5.2.4.2 Hibah Daerah
Pemberian hibah kepada pemerintah daerah merupakan wujud pelaksanaan hubungan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah yang merupakan suatu sistem
pendanaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selanjutnya,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara memberikan
kewenangan kepada Pemerintah untuk dapat memberikan hibah kepada pemerintah daerah.
Kebijakan pemberian hibah kepada daerah tersebut kemudian dipertegas dalam Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004. Peraturan-peraturan tersebut mengatur secara tegas bahwa
pemberian hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-17
18. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal
penerimaan dalam negeri, pinjaman dalam negeri serta penerusan pinjaman luar negeri
dan hibah luar negeri dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan pemberian hibah kepada pemerintah
daerah adalah sebagai berikut:
(1) Hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah dilaksanakan dalam kerangka
hubungan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Hibah dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
(3) Hibah dilaksanakan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah berdasarkan
peta kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Hibah bersifat bantuan untuk melaksanakan kegiatan urusan pemerintahan yang
merupakan kewenangan pemerintah daerah.
Hibah kepada daerah dalam kerangka hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan
pemerintah daerah, mulai dilaksanakan pada tahun 2009 dengan ditandatanganinya Naskah
Perjanjian Penerusan Hibah (NPPH) antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta untuk kegiatan Mass Rapid Transit (MRT). Hibah ini bersumber dari pinjaman
luar negeri yang berasal dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Proyek MRT
merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan transportasi di Jakarta
yang menjadi prioritas pembangunan nasional dan telah tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang akan dilaksanakan oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hibah ini dilakukan secara bertahap dan direncanakan
mulai direalisasikan pada tahun 2010.
Pada APBN tahun 2009 telah dialokasikan dana hibah kepada daerah sebesar Rp31,6 miliar
yang merupakan kegiatan penerusan hibah untuk kegiatan Local Basic Education Capacity
(L-BEC) dan Support to Community Health Services (SCHS). L-BEC adalah kegiatan
penerusan hibah yang bersumber dari hibah Uni Eropa dan Pemerintah Kerajaan Belanda
(dikelola oleh Bank Dunia) untuk kegiatan peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam
bidang pendidikan dasar. Hibah L-BEC diteruskan kepada 50 kabupaten/kota. Sementara
itu, hibah SCHS bersumber dari bantuan Uni Eropa (dikelola oleh WHO) ditujukan untuk
peningkatan fasilitas ruang isolasi pasien flu burung yang diberikan kepada 10 rumah sakit
yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
Selanjutnya pada tahun 2010, APBN mengalokasikan dana hibah kepada daerah sebesar
Rp243,21 miliar. Dana tersebut merupakan penerusan hibah untuk 5 kegiatan. Hibah untuk
kegiatan MRT merupakan rencana realisasi hibah yang penandatanganan NPPH-nya sudah
dilakukan pada tahun 2009. Kegiatan L-BEC merupakan lanjutan dari tahun 2009 dan
direncanakan berakhir pada tahun 2012. Selain dua kegiatan tersebut, APBN 2010 juga
mengalokasikan hibah yang bersumber dari AusAID dan Bank Dunia. AusAID memberikan
hibah untuk kegiatan Hibah Air Minum dan Hibah Air Limbah. Hibah Air Minum tersebut
ditujukan untuk peningkatan akses penyediaan air minum bagi masyarakat yang belum
memiliki akses sambungan air minum perpipaan. Sedangkan Hibah Air Limbah ditujukan
untuk peningkatan akses sistem air limbah perpipaan bagi masyarakat. Selanjutnya, dalam
kegiatan WASAP-D, Bank Dunia memberikan hibah yang ditujukan untuk pembangunan
sarana pengelolaan air limbah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. (lihat Tabel V.5)
V-18 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
19. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V
TABEL V.5
ALOKASI HIBAH KEPADA DAERAH DALAM APBN, TAHUN 2009-2010
2009 2010
No. Kegiatan Sum ber Ju m l a h Da er a h Ju m l a h Da er a h
(m i l i a r Rp) Pen er i m a (m i l i a r Rp) Pen er i m a
Mass Rapid Transit
1 Pinjaman dari JICA 34,38 1
(MRT)
Local Basic Education Hibah dari Pemerintah Belanda dan
2 22,5 25 80,08 50
Capacity (L-BEC) Uni Eropa (dikelola World Bank)
Support to Community Hibah dari Uni Eropa (dikelola World
3 9,1 10
Health Serv ices (SCHS) Health Organisation)
4 Hibah Air Minum Hibah dari AusA id 1 06,1 5 22
5 Hibah Air Limbah Hibah dari AusA id 10 1
6 WA SA P-D Hibah dari World Bank 1 2,6 6
Sumber : Kementerian Keuangan
Pelaksanaan hibah kepada daerah, khususnya yang bersumber dari luar negeri, telah
mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Namun, masih terbuka kemungkinan-
kemungkinan upaya optimalisasi dalam kebijakan pemberian hibah kepada daerah sehingga
diharapkan dapat memperkuat kapasitas fiskal daerah dan mewujudkan pemerataan
antardaerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan
potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.
Upaya optimalisasi tersebut salah satunya dilakukan dengan mengidentifikasi terlebih dahulu
permasalahan-permasalahan yang menyangkut hibah kepada daerah yang bersumber dari
pinjaman luar negeri ataupun hibah luar negeri. Untuk itu, kebijakan yang akan diterapkan
dalam pelaksanaan hibah ke depan antara lain:
(1) Pelaksanaan hibah ke daerah, baik yang bersumber dari pinjaman luar negeri ataupun
hibah luar negeri, harus dituangkan seluruhnya dalam suatu Naskah Perjanjian Hibah
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(2) Penerusan hibah luar negeri kepada Pemerintah Daerah dilakukan melalui Menteri
Keuangan, sehingga dicatat dalam APBN dan APBD.
(3) Prosedur/aturan yang lebih fleksibel sehingga dapat mengakomodasi prosedur yang
memudahkan bagi negara pemberi hibah.
(4) Pengakuan, pencatatan, dan pelaporan hibah dalam APBD sesuai ketentuan yang berlaku.
(5) Peningkatan koordinasi antarinstansi Pemerintah dalam mengelola hibah yang ditujukan
kepada pemerintah daerah dengan melaksanakan peraturan perundang-undangan
secara tertib.
Hal lainnya adalah terkait dengan pemberian hibah kepada daerah yang bersumber dari
penerimaan dalam negeri. Selain penerapan kebijakan-kebijakan di atas, upaya optimalisasi
dapat dilakukan antara lain dengan penataan ulang atas dana APBN yang didesentralisasikan.
Perlu adanya konsistensi dan ketegasan kriteria antar dana-dana yang dilaksanakan di daerah
agar tercipta pola pendanaan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-19
20. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal
5.2.5 Gambaran Pelaksanaan APBD
Total realisasi pendapatan seluruh provinsi tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar
35,1 persen dari tahun 2007, yang kenaikan terbesarnya disumbangkan oleh Dana
Perimbangan sebesar 53,3 persen. Sementara itu, Lain-lain Pendapatan Daerah justru
mengalami penurunan sebesar 1,7 persen (lihat Tabel V.6).
Berbeda halnya dengan realisasi pendapatan Tabel V.6
provinsi, seluruh kelompok pendapatan REALISASI PENDAPATAN PROVINSI
TAHUN 2007 dan 2008
kabupaten dan kota mengalami kenaikan. (miliar rupiah)
Kenaikan realisasi pendapatan kabupaten
dan kota tersebut adalah sebesar 25,2 persen Kelompok Pendapatan 2007 2008
Perubahan
(%)
pada tahun 2008 (lihat Tabel V.7).
Pendapatan Asli Daerah 35.1 7 7 ,1 44.51 5,5 21 ,0
Peningkatan pendapatan juga diikuti Dana Perimbangan 22.1 96,6 47 .553,7 53,3
dengan pertumbuhan pada sisi belanja. Lain-lain Pendapatan Daerah 4.7 37 ,0 4.658,2 -1 ,7
Dalam empat tahun terakhir, belanja APBD T otal 64.117 ,7 98.7 35 ,3 35 ,1
provinsi mengalami pertumbuhan yang Sumber : Kementerian Keuangan
cukup tinggi. Setiap jenis belanja tumbuh,
tak terkecuali belanja modal yang Tabel V.7
REALISASI PENDAPATAN KABUPATEN DAN KOTA
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar TAHUN 2007 dan 2008
(miliar rupiah)
20,13 persen. Pertumbuhan rata-rata
Perubahan
tertinggi ada pada belanja barang dan jasa Kelompok Pendapatan 2007 2008
(%)
diikuti dengan belanja pegawai. Di lain Pendapatan Asli Daerah 16.727,3 20.230,4 20,9
pihak, pertumbuhan terendah adalah pada Dana Perimbangan 196.284,3 246.688,4 25,7
Belanja Lainnya. Belanja Lainnya Lain-lain Pendapatan Daerah 10.439,0 12.788,1 22,5
merupakan gabungan dari belanja bunga, Total
223.450,6 279.706,9 25,2
subsidi, hibah, bantuan sosial, bantuan Sumber : Kementerian Keuangan
keuangan, dan belanja tak terduga. (lihat
Tabel V.8).
TABEL V.8
Komposisi belanja pemerintah provinsi pada TOTAL ALOKASI BELANJA APBD PROVINSI PER JENIS
TAHUN 2007 DAN 2010
dasarnya tidak mengalami banyak (miliar rupiah)
perubahan. Berbeda halnya dengan Jenis Belanja 2007 2010
Rasio (%) Pertumbuhan
Rata-rata (%)
pemerintah kabupaten dan kota. Jika pada 2007 2010
Pegawai 14.648,7 29.838,3 24,08 26,37 26,76
tahun 2007 belanja pegawai mengambil Barang dan Jasa 11.596,7 26.871,6 19,07 23,75 32,33
porsi sebesar 40,91 persen dari total belanja, Modal 15.174,8 26.307,2 24,95 23,25 20,13
pada tahun 2010 porsi tersebut meningkat Lainnya
Total
19.406,7
60.827,0
30.166,2
113.113,3
31,90
100,00
26,62
100,00
15,8
22,98
menjadi 50,74 persen. Sebaliknya, belanja Sumber : Kementerian Keuangan
modal dari total belanja turun dari 31,16
persen pada tahun 2007 menjadi 21,90
TABEL V.9
persen pada tahun 2010 (lihat Tabel V.9). TOTAL ALOKASI BELANJA APBD KABUPATEN DAN KOTA PER JENIS
TAHUN 2007 DAN 2010
(miliar rupiah)
Dilihat dari belanja per fungsi, alokasi Rasio (%)
Pertumbuhan
belanja pada APBD provinsi mengalami Jenis Belanja 2007 2010
2007 2010 Rata-rata (%)
perkembangan yang cukup menarik. Dari Pegawai 103.238,77 160.646,77 40,91 50,74 15,88
tahun 2007 ke tahun 2009, belanja untuk Barang dan Jasa
Modal
42.984,31
78.645,63
53.213,50
69.314,08
17,03
31,16
16,81
21,9
7,38
(4,12)
fungsi pendidikan mengalami pertumbuhan Lainnya 27.502,20 33.406,31 10,90 10,55 6,7
tertinggi hampir mendekati 53 persen. Total 252.370,90
Sumber : Kementerian Keuangan
316.580,67 100,00 100,00 7,85
V-20 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
21. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V
Urutan berikutnya ditempati TABEL V. 10
TOTAL ALOKASI BELANJA APBD PROVINSI PER FUNGSI
masing-masing oleh fungsi kesehatan TAHUN 2007 dan 2009
(miliar rupiah)
dan pelayanan umum. Urutan
% thd Total
terakhir adalah fungsi lainnya yang Belanja Pertumbuhan
No. Fungsi 2007 2009
merupakan gabungan dari fungsi 2007 2009
Rata-rata (%)
ekonomi, lingkungan hidup, 1 Pelay anan Umum 32.251 ,6 51 .088,5 5 3,0 5 6,8 25,9
2 Pendidikan 4.524,6 1 0.5 51 ,6 7 ,4 1 1 ,7 5 2,7
ketentraman dan ketertiban, 3 Kesehatan 4.055 ,0 8.099,1 6,7 9,0 41 ,3
perumahan dan fasilitas umum, 4 Lainny a 1 9.995,8 20.241 ,9 32,9 22,5 0,6
Sumber: Kementerian Keuangan
pariwisata dan budaya, serta
perlindungan sosial. Pertumbuhan TABEL V. 11
total belanja APBD provinsi per fungsi TOTAL ALOKASI BELANJA APBD KABUPATEN DAN KOTA PER FUNGSI
TAHUN 2007 dan 2009
dapat dilihat pada Tabel V.10. (miliar rupiah)
% thd Total
Belanja per fungsi pada total APBD No. Fungsi 2007 2009 Belanja Pertumbuhan
Rata-rata (%)
kabupaten dan kota juga mengalami 2007 2009
1 Pelayanan Umum 77.333,67 93.593,84 30,53 28,92 10.01
perkembangan serupa. Pertumbuhan 2 Pendidikan 69.589,85 101.046,70 27,48 31,22 20.50
rata-rata belanja untuk Fungsi 3 Kesehatan 24.606,03 29.697,56 9,71 9,18 9.86
4 Lainnya 81.754,56 99.292,18 32,28 30,68 10.21
Pendidikan hampir mendekati 21 Sumber: Kementerian Keuangan
persen. Porsi belanja untuk total
Fungsi Pendidikan pada APBD kabupaten dan kota sudah sesuai dengan Undang-Undang
bidang Pendidikan yang pada tahun 2007 sebesar 27,48 persen kemudian meningkat menjadi
31,22 persen pada tahun 2009. Urutan berikutnya ditempati masing-masing oleh Fungsi
Lainnya dan Fungsi Pelayanan Umum. Sementara itu, Fungsi Kesehatan mengalami
pertumbuhan rata-rata sebesar 9,86 persen. Pertumbuhan total belanja APBD kabupaten
dan kota per fungsi dapat dilihat pada Tabel V.11.
5.2.6 Implikasi Desentralisasi Fiskal terhadap Perkembangan
Ekonomi Daerah
Desentralisasi fiskal di Indonesia dilakukan dengan pemberian diskresi belanja daerah yang
luas dengan didukung oleh pendanaan transfer dari pusat dan penguatan local taxing power.
Desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaran
pemerintahan dan pelayanan publik di daerah. Hal ini dikarenakan dekatnya tingkatan
pemerintahan yang memberikan layanan dengan masyarakat yang dilayaninya, sehingga
pemerintah daerah memahami kebutuhan dan prioritas daerah mereka. Selanjutnya,
peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan akan mendorong semakin baiknya
akses layanan publik dan pada akhirnya akan mendorong perekonomian daerah serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi dapat dinilai dari beberapa indikator. Salah
satu indikator outcome yang lazim digunakan adalah pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah adalah tingkat konsumsi, investasi,
ketenagakerjaan, dan multiplier effect dari belanja pemerintah, serta kegiatan perdagangan
daerah.
Pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi nasional adalah 6,1 persen. Pada Grafik V.9
terlihat bahwa terdapat 14 provinsi yang tingkat pertumbuhan ekonominya di atas
pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu, pada tahun 2009, dengan pertumbuhan
ekonomi nasional sebesar 4,55 persen terdapat 22 provinsi yang berada di atas pertumbuhan
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-21