1. MANIFESTO PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK
Menuju Masyarakat Adil Makmur
Tanpa Penindasan Manusia Atas
Manusia Dan Bangsa Atas Bangsa
2. Tanggal: 25 Juli 2010
Mulai: 9.30
Selesai: 12.23
Catatan: tambah ttg UUD, Demokrasi, dan Pancasila
I. JALAN PANJANG MEMBANGUN NASION
A. Pasang Surut Membangun Nasion
Tahap pasang surut membangun nasion di masa feodalisme
Sejarah bangsa-bangsa di Nusantara adalah juga sejarah membangun persatuan dalam
menghadapi penjajahan asing. Sebagai sebuah peradaban, masyarakat Nusantara sudah
memiliki cara produksi yang mandiri yaitu gotong-royong dan terbuka pada pengaruh luar yang
tidak eksploitatif. Interaksi antar kerajaan-kerajaan Nusantara sendiri semakin dipertajam
melalui hubungan perdagangan. Hubungan ini kian lancar karena semakin terintegrasinya
kepentingan ekonomi, politik dan budaya di Nusantara, meskipun proses integrasi ini bisa
disertai penaklukan. Sejarah mencatat adanya kemajuan-kemajuan dari proses integrasi itu
seperti konsep Bhineka Tunggal Ika dan terbentuknya bahasa pergaulan terutama di dunia
dagang di Nusantara yang menjadi cikal bakal bahasa Persatuan Indonesia.
Interaksi dengan peradaban luar itu diakui telah memajukan tenaga produksi, tetapi juga
membentuk masyarakat feodal hirarkis-asiatik. Pengaruh kebudayaan luar, India dan Tiongkok,
kemudian Islam tampak begitu kuat dalam tata sosial dan politik di Nusantara sampai pada
datangnya bangsa-bangsa penjajah dari Barat yang dengan ganas menghancurkan impian raja-
raja kecil di Nusantara pasca ambruknya Negara Maritim Majapahit untuk membangun kota-
kota dagang yang berpengaruh. Walau begitu di tengah gencarnya proses kolonisasi yang mulai
mengarah ke Nusantara pasca Malaka jatuh ke tangan Portugis, 1511, karakter Nusantara yang
bersatu tetap muncul dan bertahan. Adipati Unus alias Pangeran Sabrang Lor tampil memimpin
persatuan bangsa-bangsa di Nusantara menghadapi intervensi asing.
Penghancuran oleh kolonialisme
Namun kerajaan-kerajaan Nusantara terbukti tidak sanggup melawan intervensi kolonialisme
Barat. Satu persatu dengan politik adu domba ditekuk atau dipaksa bertekuk pada sang penjajah
dari negeri kecil di Eropa, yang kita kenal sebagai Belanda. Hindia Belanda menggantikan
Nusantara. Nusantara semakin tak lagi dapat diingat di bangku sekolah bersamaan dengan
proses penghancuran peradaban Nusantara oleh kolonialisme. Penindasan, penghinaan dan
pelecehan akibat kolonialisme menimbulkan kesadaran sebagai bangsa senasib-
3. sepenanggungan. Max Havelar, karya Multatuli semakin menyadarkan banyak kaum terpelajar
tentang kondisi keterjajahan dan betapa menderitanya rakyat Hindia Belanda.
Kesadaran Nasional yang bersifat modern muncul pada pendirian Serikat Priyayi, 1907, dengan
pimpinan Tirto Adhi Soerjo. Bersama Medan Prijaji, Tirto Adhi Soerjo mendorong kembali bahasa
Melayu yang dikenal rakyat Nusantara sebagai bahasa lingua franca menjadi bahasa untuk
membangkitkan kesadaran nasional akan adanya kolonialisme. Sejak itu pergerakan nasional
untuk kemerdekaan tumbuh berkembang di pelosok Nusantara melawan penjajahan, hendak
merobohkannya dan mendirikan Negara baru yang merdeka, adil dan makmur bernama
Indonesia, Indonesia yang tentu saja berbeda 180 derajat dengan Hindia Belanda yang terjajah.
Penemuan Indonesia ini, sebagai tanah air baru dengan cita-cita baru tentu saja adalah bagian
dari semakin berkembangnya tuntutan politik untuk kemerdekaan yang oleh Bung Karno
disebut sebagai Jembatan Emas.
Pembangunan Nasion (1945-1965)
Alangkah membanggakan jiwa kemerdekaan Bangsa Indonesia ini. Untuk pertama kalinya dalam
sejarah beratus-ratus tahun perjuangan negara jajahan, rakyat Indonesia bisa mencapai
kemerdekaan tanah-air. Proklamasi kemerdekaan itu adalah pekik “berhenti” kepada
penjajahan.
Sangat membanggakan pula, karena kemerdekaan Indonesia bukan hadiah dari pihak kolonialis,
melainkan hasil perjuangan yang gigih dari Rakyat Indonesia dan terutama, para pemuda
revolusioner. Pemuda-pemuda revolusioner inilah yang sesudah mendengar kekalahan Jepang
pada tanggal 14 Agustus 1945, mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk memproklamasikan
kemerdekaan dan berdirinya Republik Indonesia yang berdaulat, 17 Agustus 1945.
Hanya sehari setelah proklamasi kemerdekaan, pihak kolonialis mulai berbalap untuk kembali
menguasai dan menjajah Indonesia. Usaha ini dilawan dengan gagah berani oleh pemuda dan
rakyat Indonesia. Hanya dalam sehari itu pula, negara muda ini berhasil menyusun dan
menyempurnakan syarat-syarat sebagai negara modern, yaitu menyusun konstitusi Republik
Indonesia (UUD), memilih presiden dan wakil presiden, dan membentuk parlemen sementara
(dalam hal ini, Komite Nasional Indonesia Pusat-KNIP). Kaum terpelajar di daerah-daerah mulai
membentuk pemerintahan setempat dan menyatakan dukungan kepada pemerintahan
Republik, yang dipimpin Sukarno-Hatta.
Di lapangan ekonomi, semua milik imperialis, perkebunan-perkebunan, tambang-tambang,
pabrik-pabrik, bank-bank dan alat-alat pengangkutan disita Republik. Meskipun, karena berbagai
tekanan dari agresi pihak musuh, perusahaan-perusahaan tersebut beralih tangan kembali atau
ditinggalkan.
Di Lapangan Ikada, Jakarta, 19 September 1945, Sukarno menegaskan kembali kemerdekaan
Indonesia di hadapan puluhan ribu massa rakyat; “Kita akan tetap mempertahankan
kemerdekaan kita. Kita tidak akan mundur satu patah kata pun. Sekali merdeka tetap merdeka!”
Buah dari perjuangan rakyat di segala lini adalah membesarnya tenaga-tenaga revolusi nasional
di seluruh aspek kehidupan rakyat Indonesia. Kita, bangsa Indonesia memekikkan “Merdeka
atau Mati”.
4. Perjuangan rakyat Indonesia sampai tahun 1950, mengikuti penamaan Bung Karno, disebut
sebagai revolusi fisik atau tahap mempertahankan kekuasaan yang berhasil direbut dari tangan
imperialis. Meskipun, patut dicatat, capaian perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun
1949 merugikan pihak Republik. Hasil perundingan tersebut antara lain menyatakan tanah
Papua tetap menjadi jajahan Belanda, dan utang kolonial harus dilunasi oleh Republik.
Selanjutnya, tahun 1950-1955 disebut sebagai tahap survival, yaitu periode bertahan dari
penderitaan dan luka-luka akibat kolonialisme. Republik baru ini hampir saja dikoyak-koyak oleh
provokasi imperialis, baik melalui gerakan separatis di berbagai daerah maupun sabotase
ekonomi dan politik, namun ternyata kita sanggup bertahan dan melewati itu. Bahkan, di tahun
1955 kita sanggup menjalankan pemilu secara aman dan demokratis.
Tahap ketiga, yaitu tahun 1956, disebut juga tahun penentuan ( “a year of decision”), merupakan
tahap untuk menghentikan penyelewengan-penyelewengan dan membetulkan arah perjuangan
bangsa kita. Kemudian tahun 1959 disebut sebagai tahun “penemuan kembali revolusi kita”
(rediscover our revolution).
Dalam tahap ini, perjuangan nasional kita telah berhasil melikuidasi hasil perjanjian KMB,
menghapus utang-utang Hindia-Belanda, merebut kembali asset-aset strategis dari tangan
imperialis, dan berjuang untuk bergabungnya Papua dengan Republik. Pada tahun 1961, telah
diletakkan proyek besar bernama Sosialisme Indonesia.
Periode ini kita sebut sebagai perjuangan membangun nasion dan karakter bangsa Indonesia
(national and character building). Sebagai bagian dari itu, telah dirumuskan tiga prinsip utama
perjuangan nasional, yaitu Tri Sakti; berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan
berkepribadian secara budaya.
Semangat Tri Sakti tidak hanya digunakan untuk perjuangan nasional di dalam negeri, namun
juga dalam politik internasional.
Nation and character destruction
Tampilnya Jendral Soeharto pasca G 30 S 1965 sampai dengan jatuhnya Bung Karno dari tampuk
pimpinan Revolusi adalah titik balik dari proses pembangunan nasion Indonesia. Proses
penghancuran pembangunan nasion Indonesia ini tak pelak untuk memuluskan rencana
pembangunan mereka. Agar tanpa gangguan, penghancuran pun dilaksanakan dengan kekejian
pada kemanusiaan. Ratusan ribu rakyat yang dianggap sebagai pendukung politik Bung Karno
dibunuh, disiksa dan dipenjarakan. Berbagai organisasi yang dianggap bisa membangkitkan
ingatan politik pada masa bergolak Revolusi Belum Selesai pun dihancurkan dan dilarang
beraktivitas. Kehidupan politik Rakyat dikontrol.
Ini berarti kebalikan dari proses nation and character building seperti yang dicita-citakan Bung
Karno. Tak ada cita-cita Indonesia berdaulat di bidang politik. Tak ada cita-cita Indonesia
Berdikari di bidang ekonomi. Tak ada cita-cita Indonesia berkepribadian dalam bidang
kebudayaan. Yang ada adalah menerima kembali kolonialisme. Modal Asing yang sudah ditolak
kembali diterima melalui UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 sebagai tindak lanjut dari
Konferensi Jenewa bulan November 1967. Sejak tahun 1967 itulah, orientasi pembangunan
5. terus melayani kepentingan modal asing dan peran modal asing terus diperkuat untuk
mengelola dan mengeruk kekayaan alam Indonesia.
Proses nation and character destruction pun terus berlangsung. Partai-partai politik dikerdilkan.
Rakyat dijauhkan dari kehidupan politik praktis dan dibiarkan menjadi massa mengambang yang
tak perlu tahu nasib bangsanya. Pemilu demi Pemilu dilaksanakan untuk menampilkan wajah
demokrasi Soeharto yang tak lain adalah alat legitimasi kekuasaan politik Soeharto. Politik gaya
kolonial kembali tampil: adu domba sesama rakyat sambil terus merawat fobia terhadap
komunisme disertai intimidasi agar selalu mendukung kekuasaan Soeharto. Pancasila pun hanya
dijadikan alat untuk membungkam kesadaran kritis rakyat terhadap pemerintah Soeharto
dengan tuduhan anti pembangunan dan anti Pancasila. Kebudayaan dalam artian seni tradisional
rakyat Indonesia semakin terpuruk dan tenggelam dalam hingar-bingar budaya kapitalistik,
hedonis dan konsumtif, dan sering kali mati tanpa pembelaan.
Dalam merancang pembangunan, Indonesia menjadi negeri yang tergantung pada lembaga-
lembaga asing: terutama IMF dan World Bank. Hutang Luar Negeri terus membengkak
sementara derajat kesejahteraan rakyat terus merosot bersamaan krisis ekonomi tahun 1997.
Inikah negeri yang hendak dimerdekakan pada 17 Agustus 1945? Tentu saja tidak. Pembangunan
yang tak berorientasi pada rakyat dan tak memberikan ruang demokrasi ini membawa Soeharto
pada keruntuhannya, Mei 1998.
B. Di Bawah Belenggu Neokolonialisme Baru
Pergeseran Dari Unipolar ke Multipolar
Krisis kapitalisme, dan dunia yang berganti rupa. Begitulah perumpamaan untuk menjelaskan
perubahan penting di tingkat dunia saat ini. Untuk pertama-kalinya setelah 21 tahun, dunia yang
digenggam sendirian oleh imperialisme Amerika Serikat (AS), kini bergeser ke banyak kutub.
Dengan penuh antusias, kita menyambut pergeseran ini sebagai pertanda hadirnya dunia baru;
dari unipolarisme menjadi multipolarisme.
Sejak perang dunia kedua berakhir, AS bangkit menjadi imperialis nomor satu dunia,
mengalahkan negara-negara kolonial sebelumnya. Namun kebangkitan ini masih tertahan oleh
kebangkitan Soviet dan kubu sosialis di sepertiga dunia saat itu. Ada polar lain yang mampu
mengimbangi. Maka, sesaat setelah runtuhnya Sovyet dan kubu sosialis di Eropa Timur, para
intelektual borjuis pun bersorak girang; “Sejarah telah berakhir! Kapitalisme telah menang!”.
Melalui dominasi militer, imperialisme AS berhasil mengontrol 191 (seratus sembilan puluh satu)
pemerintahan di seluruh dunia. Bersamaan dengan itu, AS berhasil mengontrol pula; (1)
ekonomi dunia dan pasar finansial, (2) mengusai sumber daya alam (sumber daya utama dan
sumber daya tak terbaharui).
Di bidang budaya, sebagaimana dicatat oleh cendikiawan Noam Chomsky, imperialisme AS
punya cita-cita untuk mengamerika-kan kebudayaan dunia, dimana seluruh warga dunia
mengikuti kebudayaan Amerika sebagai way of life-nya.
6. Sekarang ini, melalui rahimnya perjuangan bangsa-bangsa dan dunia ketiga, telah lahir bayinya
“dunia baru”, yakni dunia multipolar. Rencana “pax americana” telah dibendung di halaman
belakangnya sendiri, oleh rakyat di sejumlah negeri Amerika Latin dan Karibia, seperti
Venezuela, Bolivia, Cuba, Brazil, Paraguay, Uruguay, Argentina, Ekuador dan Nikaragua.
Hampir bersamaan dengan itu, sebuah kekuatan baru pun sedang merekah di Asia Timur yaitu
negeri Tiongkok. Setelah memenangkan revolusi dan memulai perjuangan berat untuk bertahan
(survival), kini negeri Tiongkok sedang memperlihatkan kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan,
kesusastraan, dan lain sebagainya.
Pergeseran ini, seperti juga pergeseran kulit bumi, menciptakan keretakan, penaikan dan
penurunan, dan perubahan-perubahan struktural. Kapitalisme secara global sedang dijangkiti
wabah krisis yang struktural dan berkepanjangan. Kapitalisme AS menjadi sumber penyakit ini,
dan telah menularkannya ke seluruh dunia melalui sistem finansial.
Yunani, negeri tertua di dunia, hampir saja terhapus dari peta karena hutang dan kebijakan
penyesuaian struktural. Selain Yunani yang meradang karena krisis, negeri-negeri lain pun
sedang ditekan oleh krisis dan perlawanan rakyat pekerja seperti di Spanyol, Portugal, Rumania,
dan Bulgaria.
Sampai di sini kita bisa mencatat dua kesimpulan; pertama, munculnya imbangan kekuatan baru
di tingkat global, yaitu menguatnya peran Tiongkokdan Rusia, blok progressif Amerika Latin dan
Negara Karibia (CELAC), ada juga Iran di Timur Tengah, dan independensi politik negara-negara
Afrika di pan-Afrika. Kedua, Krisis kapitalisme global turut menurunkan popularitas AS, di
samping kegagalan mereka mencaplok penuh Irak dan Afghanistan.
Neoliberalisme dan Neo-Kolonialisme Di Indonesia
Sayang sekali, ketika sedang terjadi perubahan di dunia, Indonesia tidak memanfaatkan
munculnya imbangan kekuatan yang baru itu untuk memajukan kepentingan nasional, malah
menjadi pendukung setia dari penguasa dunia lama. Indonesia tetap menjadi penganut garis
keras neoliberalisme, sebuah sistim yang akrab dengan dominasi dan hegemoni AS dalam 40
tahun terakhir.
Jika Soeharto telah menjadi “pencetus” kembalinya modal asing, sehingga pada masa
pemerintahannya modal asing mulai “merembes” masuk, maka pada saat ini, di tangan rejim-
rejim neoliberal, modal asing telah menjadi banjir bah.
Neoliberalismelah yang merampas lahan dan membabat hutan untuk perkebunan sawit atau
akasia. Mereka memburu batubara, minyak bumi, gas bumi, untuk menggerakkan mesin-mesin
di seluruh dunia. Menambang berpuluh jenis bebatuan dan mineral, emas, nikel, besi, timah,
marmer, mangan, tembaga, dan lain-lain, setelah itu meninggalkan lubang-lubang raksasa yang
menganga dan rakyat yang kelaparan.
Sementara modal perbankan dibebaskan menarik uang nasabah sebanyak-banyaknya tanpa
imbalan kemudahan akses kredit bagi rakyat. Harga hasil pertanian terus merosot sementara
harga kebutuhan hidup terus meningkat. Urbanisasi terjadi dalam skala besar tanpa jaminan
7. pekerjaan layak di kota-kota. Pengangguran, pedagang kaki lima, pengamen, dan beragam jenis
lumpen proletariat, berdesakan di kota dikejar-kejar satuan polisi pamong praja atau aparat
kekerasan. Penggusuran demi penggusuran terjadi untuk menyulap pemukiman rakyat menjadi
pusat-pusat bisnis, mall atau plaza, ruko, apartemen, dan hotel berbintang.
Itulah neoliberalisme, sebuah bungkus baru dari modus penjajahan modern terhadap bangsa-
bangsa. “Cara pengeduk yang berubah, namun tujuan dan dampaknya bagi kehidupan rakyat
tetap sama.” demikian dikatakan Bung Karno.
Kalau kolonialisme menaklukkan negara bangsa, maka neoliberalisme juga melakukan hal yang
hampir serupa, melakukan penyusutan atau deformasi negara, terutama yang berkaitan dengan
persoalan kepentingan nasional dan kesejahteraan publik.
Mengikuti anjuran duo terompet imperialisme global, yaitu IMF dan Bank Dunia, rejim neoliberal
di Indonesia telah melikuidasi peran negara di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan
kebutuhan dasar rakyat lainnya.
Modal asing telah mengambil porsi yang lebih besar dibanding modal dalam negeri di beberapa
sektor ekonomi yang penting.
Pemerintahan paska reformasi, tanpa melalui konsultasi luas dengan rakyat, telah melakukan
empat kali perubahan (amandemen) terhadap konstitusi UUD 1945. Sebagian besar perubahan
tersebut berusaha melucuti watak anti-kolonialnya.
Presiden Indonesia seakan menjadi pejabat gubernur jenderal AS di Indonesia, yang mana
tindakan dan kebijakan politiknya selalu mengacu pada hal-hal yang sudah digariskan oleh
Washington.
Supaya mereka bisa berpesta pora di atas kereta “stabilisasi politik”, maka diperkenalkan model
demokrasi dari barat, yaitu demokrasi liberal, sebuah tipe demokrasi yang berulang-ulang
dinyatakan oleh Bung Karno sebagai “alam fikir lama/kuno”. “Marilah kita kubur, kubur, kubur!”
–begitulah Bung Karno berseru, berbicara soal keburukan sistim demokrasi liberal ini.
Namun, sayang sekali, di mata para teknokrat dan intelektual Indonesia, demokrasi liberal
dianggap sebagai sesuatu yang modern, sesuatu yang mewakili semangat jaman saat ini. Akan
tetapi, pada kenyataannya, demokrasi liberal ini telah mengeluarkan sebagian besar rakyat
Indonesia dari kehidupan politik.
Dengan demikian, demokrasi liberal merupakan tuntutan paling logis dari kehendak bebas
modal untuk berkembang-biak di negeri ini, sama halnya ketika modal partikelir membutuhkan
politik etis dan Volksraad di jaman kolonialisme.
Bersamaan dengan proses pengedukan ini, selain dengan mekanisme demokrasi liberal tadi,
neoliberalisme juga menggunakan “kuasa hegemoni” untuk menaklukkan kesadaran mayoritas
rakyat dan mencerai-beraikan ikatan solidaritasnya. Masyarakat kita yang dulunya dikenal
dengan semangat “gotong royong”-nya, kini telah berubah menjadi masyarakat apatis, sinis, dan
sangat individualis.
8. Nyatalah, bahwa tidak ada perbedaan substansial antara kolonialisme di masa lalu dan
rekolonialisme sekarang ini, kecuali hanya perbedaan soal mana cara yang kasar dan cara halus.
C. Di Seberang Jembatan Emas: Sosialisme Indonesia
Untuk merajut unsur-unsur yang berpihak pada kepentingan nasional ke
dalam suatu alat politik yang bertujuan menuntaskan revolusi nasional,
dibutuhkan suatu ideologi pemersatu berupa Pancasila. Untuk tujuan
itu, Pancasila harus diletakkan kepada penjabaran yang sesuai dengan
gagasan Bung Karno; yakni sebagai nasionalisme,
internasionalisme/kemanusiaan, sosialisme, demokrasi, dan ketuhanan
sebagai dasar negara RI. Dengan begitu Pancasila merupakan wadah yang
mampu menampung unsur-unsur progresif di atas ke dalam suatu kerja dan
perjuangan gotong royong untuk mewujudkan sosialisme indonesia.
Medan pertempuran yang akan dimasuki oleh kekuatan politik di atas
merupakan arena demokrasi liberal yang dikuasai oleh kekuatan
pro-penjajah. Untuk merebut kembali kedaulatan nasional, dilancarkan
perjuangan demokrasi nasional yang bertujuan memenangkan kepentingan
nasion di atas kepentingan penjajah dan memberikan kekuasaan kepada
pihak-pihak pro-rakyat. Perjuangan ini berlangsung di berbagai
tingkatan masyarakat, dari tingkat daerah hingga nasional.
Tugas kita bersama adalah membangkitkan ingatan kolektif rakyat Indonesia tentang jatuh
bangun usaha, keberanian yang menyala-nyala, heroisme, kesabaran revolusioner, kisah
perjuangan para pembangun nasion Indonesia. Ini sekaligus membantah mitos bahwa rakyat
Indonesia memiliki ingatan yang pendek. Juga perlu memahami berbagai kisah tragis,
mengenang segenap tahanan politik yang gugur di pengasingan demi terusirnya penjajah.
Semua sejarah bangsa harus dibaca baik-baik oleh kaum muda, para pemanggul Sejarah di Abad
21. Ini adalah syarat utama membangun Republik Baru bagi Indonesia.
Massa Rakyat dalam Republik Baru haruslah masyarakat berbudaya yang mampu berdiri sejajar
di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Bukan menjadi bangsa inlander dan tidak phobi terhadap
asing. Para pemudanya harus memastikan Nusantara tetap berdaulat, dan membangun
hubungan dengan Bangsa lain atas dasar kesetaraan. Demi kesetaraan ini, sejak masa Revolusi
Perancis, orang telah banyak berperang untuknya. Kita pun akan berjuang terus untuk
kesetaraan sejati bagi seluruh rakyat di dalam sistem yang sosialistik. Benar, sistem ekonomi
yang paling tepat digunakan untuk Republik yang Baru adalah sebuah sistem sosialis ala
Indonesia, karena Indonesia memiliki keunikan sendiri.
Sosialisme Indonesia akan diisi oleh gotong royong, kerja keras, banjir keringat dari 100 juta
angkatan kerja, tanpa seorang pun menjadi pengangguran. Puluhan juta kanak-kanak dan
puluhan juta remaja memperoleh pendidikan yang gratis dan berkualitas. Sementara negara
menjamin kesehatan dan keselamatan mereka dan orang tuanya secara cuma-cuma. Sosialisme
Indonesia adalah sebuah Republik Baru tanpa korupsi, karena dalam masyarakat yang
9. bermartabat dan ekstra produktif, setiap orang akan merasa malu mencuri (korup) hasil kerja
orang lain.
Sosialisme Indonesia adalah pemerataan pendapatan nasional, daerah-daerah miskin harus
diprioritaskan untuk makmur. Sosialisme Indonesia adalah pergeseran sentra logistik dan
demografi Indonesia dari Jawa ke luar Jawa. Kunci sosialisme Indonesia adalah membangkitkan
tenaga produktif rakyat secara nasional dengan sistem pasar domestik yang dikendalikan ketat
oleh negara. Kapitalis Nasional dapat dilibatkan dalam proyek ini dengan catatan mereka
bersedia untuk dipajaki lebih tinggi (progresif) dan menggaji wajar pekerjanya.
10. II. KAWAN DAN LAWAN
Soekarno pernah berkata, “revolusi apapun mestilah punya kawan dan punya lawan, dan
kekuatan-kekuatan revolusi harus tahu siapa kawan dan siapa lawan”. Ini adalah salah satu
hukum dari sebuah revolusi, yaitu adanya pertentangan.
Siapa kawan? Penjajahan, akan melahirkan perjuangan pembebasan. Kesadaran kebangsaan,
dalam perjuangan kemerdekaan, telah memperluas perlawanan di seluruh penjuru tanah air,
bahu membahu di antara kekuatan yang ada, petani, kaum miskin kota dan desa, buruh yang
berlawan, pemuda nasionalis revolusioner, pengusaha nasional yang tidak tergantung pada
modal asing, pengusaha kecil menengah, organisasi politik yang berjuang untuk kemandirian
bangsa, organisasi massa yang menolak penjajahan, media massa yang berpihak pada
kepentingan nasional. Inilah kekuatan inti yang akan berjuang bersama-sama merebut
kedaulatan dari cengkeraman penjajahan.
Kawan adalah siapa-siapa atau kekuatan-kekuatan dalam negeri yang melawan imperialisme dan
memihak kepentingan nasional. Mereka adalah sektor-sektor yang telah menjadi korban dari
neoliberalisme dan bersedia untuk melakukan perlawanan terhadap berbagai praktik
imperialisme.
Selain korban langsung neoliberalisme, terdapat juga kekuatan-kekuatan politik yang
menyimpan keprihatinan dan bersiap melawan imperialisme, misalnya kalangan intelektual
progressif, kaum agamawan, para seniman, dan kalangan militer.
Siapa Lawan? Dari pertentangan pokok itu, maka sudah jelas pula siapa musuh-musuh paling
pokok dalam revolusi nasional rakyat Indonesia saat ini. Mereka adalah instrumen penghisapan
neoliberal terhadap rakyat Indonesia. Atau yang berada dalam kesatuan sistem tersebut untuk
merawat ketidaktahuan rakyat sambil mengadu-domba. Di sini terdapat negara imperialis AS
sebagai kelanjutan dari misi kolonialisme di masa lalu. Terdapat juga korporasi raksasa MNC/TNC
yang menggerus kekayaan nasional. Kemudian agen penyelenggara imperialisme seperti IMF,
WTO, dan Bank Dunia.
Di dalam negeri, kita temukan tiap pemerintahan yang pro-asing sebagai lawan. Praktik
neoliberalisme akan mustahil berhasil dipraktekkan di Indonesia jikalau tidak ada sokongan
politik dari dalam, yaitu lapisan politik yang telah mengkhianati kepentingan nasional dan malah
memihak kepentingan asing. Kita juga dapat menemukan pengusaha-pengusaha pro-asing.
Dalam lapisan borjuasi Indonesia, ada borjuis komprador dan kapitalis birokrat yang anti-
nasional, dan adapula borjuis nasional yang bukan komprador.
Borjuis komprador adalah lapisan borjuis yang langsung mengabdi pada kepentingan dan
mendapat jaminan dari kaum imperialis. Mereka sangat bergantung kepada bantuan atau belas
kasihan dari kaum imperialis dan perusahaan besar multinasional, sehingga politik mereka
adalah melawan kepentingan nasional.
11. Selanjutnya, kapitalis birokrat adalah mereka yang menjadi kapitalis karena kedudukannya di
dalam pemerintahan atau perusahaan negara, seringkali menjadi kaya dan berkembang
bisnisnya karena praktik korupsi dan suap.
Baik borjuis komprador maupun kapitalis birokrat, kedunya adalah anti kepentingan nasional,
anti-rakyat, dan memusuhi demokrasi, sehingga lebih tepat disebut sebagai pengusaha pro-
asing.
Sebaliknya, ada pula borjuis nasional yang menjadi korban dari neoliberalisme, yaitu borjuis yang
kepentingan bisnisnya berkontradiksi langsung dengan kepentingan imperialis.
Di dalam maupun luar negeri, dapat kita temukan lembaga-lembaga yang bekerja untuk
kepentingan asing. Di dalamnya, terdapat organisasi massa, LSM, lembaga penerbitan, lembaga
survey, dan sebagainya, yang pengabdiannya adalah untuk kepentingan imperialisme. Mereka
biasanya mendapatkan bantuan dana dari negeri-negeri imperialis, untuk menjalankan kegiatan
atau mengusung isu/kampanye yang menyerang kepentingan nasional, menciptakan kondisi
depolitisasi, dan memecah-belah persatuan nasional.
Organisasi-organisasi reaksioner dan fundamentalis, yang seolah-olah menentang imperialisme
dan kapitalisme tapi tindakan politiknya selalu berusaha mengacaukan atau memecah belah
persatuan nasional, sebetulnya adalah agen-agen imperialisme juga.
Siapa Kaum Peragu? Tidak dapat dinafikan, bahwa dalam setiap perjuangan akan selalu muncul
golongan bimbang atau peragu. Di sini, golongan peragu didefenisikan sebagai golongan atau
individu yang sudah mengerti dengan baik mengenai dampak imperialisme dan keharusan
melakukan perjuangan, namun masih bersikap tidak ikut ambil bagian, alias netral, dalam
perjuangan melawan imperialisme.
12. III. MENUJU REPUBLIK BARU
Menuntaskan Revolusi Nasional
Di manakah kita kini? Setelah empat puluh empat tahun nation and character destruction
mengaibkan bangsa ini, adakah kebanggaan yang masih tersisa? Pulau-pulau indah yang terus
digerus ketamakan itu kah? Adakah kekayaan yang masih bisa dikelola untuk kemakmuran
bersama? Berapa banyak manusia Indonesia yang siap sedia menanggung tugas sejarah saat ini
demi mencapai kebaikan anak-cucu di masa depan? Kekalahan bangsa ini telah dibuat
sedemikian telak hingga begitu sulit untuk bangkit. Demikianlah, kita seolah dipaksa
membenarkan berbagai ungkapan klise yang menyiratkan rasa putus asa dan kepasrahan, yang
akan berujung di lorong gelap apatisme dan dekadensi.
Sementara, di tengah pergeseran wajah dunia sekarang, pengetahuan sejarah menyediakan
kembali terang untuk membangun jembatan hari depan. Sejarah ini seperti berseru-seru, agar
Republik Indonesia dikembalikan pada visinya sebagai jembatan emas, yaitu berhimpunnya
bangsa-bangsa Nusantara, bergotong-royong menuju masyarakat adil dan makmur, tanpa
penindasan manusia atas manusia dan penindasan bangsa atas bangsa.
Akan tetapi, perjuangan menuju masyarakat Indonesia yang sosialistis tersebut hanya mungkin
terwujud apabila ada landasan baginya untuk berdiri. Tak lain, landasan bagi bangunan
sosialisme adalah kedaulatan nasion Indonesia atas seluruh sumber daya ekonomi; tanah,
modal, bahan baku, alat-alat kerja berteknologi tinggi, serta adanya manusia-manusia Indonesia
yang berkarakter dan berilmupengetahuan. Sosialisme, atau keadilan sosial, tidak mungkin
berdiri di atas sebuah bangsa yang sumber dayanya sedang terhisap oleh korporasi-korporasi
asing atau kapitalis multinasional. Sosialisme, atau keadilan sosial, tidak mungkin terbangun
tanpa ada cukup gizi, cukup pakaian, cukup makanan, cukup perumahan, dan pencerahan
sebanyak mungkin bagi manusia-manusia penggeraknya.
Oleh karena itu, Bumi Pertiwi dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya harus
dikembalikan oleh kapitalis multinasional kepada yang empunya: Rakyat Indonesia. Semua
kontrak karya yang telah berjalan harus dirundingkan kembali di atas prinsip berpihak kepada
yang empunya. Terutama bagi perusahaan-perusahaan yang telah lebih dari sepuluh tahun
mengeksploitasi kekayaan Indonesia, seperti Freeport, Chevron, ExxonMobil, Inco, Haliburton,
BHP Biliton, Newmont, Conoco Philips, Vico, dan lain-lain. Setidaknya harus ada pembagian
kontrak yang lebih berimbang, dan, kenaikan kepemilikan saham Indonesia di setiap
perusahaan, untuk menjamin adanya transfer teknologi kepada sumber daya manusia Indonesia.
Setiap korporat yang melawan akan kita usir dari Indonesia, kemudian pengacara kita dan
pengacara mereka akan bertanding di meja arbritasi internasional. Sementara, sampai hasilnya
diputuskan di meja perundingan, dan Massa Rakyat terorganisir sudah akan menduduki dan
menasionalisasi kilang dan tambang yang diklaim milik korporat bermasalah tersebut. Seluruh
kekayaan alam yang berhasil direbut kembali, harus dimanfaatkan semaksimalnya demi
menyuplai bahan baku dan energi industri nasional tanpa terkecuali.
13. Pembayaran utang luar negeri harus ditunda sampai seluruh rakyat menjadi sejarahtera. Akan
sangat melegakan, bila kita dapat melakukan 60% hair cut dan 40% moratorium selama 40
tahun. Negeri kita, Nusantara memiliki piutang tersebut kepada seluruh negeri imperialis di
Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat – yang harus mereka lunasi. Pencadangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara akibat Republik Indonesia melakukan hair cut dan moratorium
kemudian akan dimaksimalkan untuk mencerdaskan dan menyehatkan rakyat tanpa harus
kembali memungut biaya dari rakyat.
Pembangunan infrastruktur harus ditujukan untuk memenuhi rancangan industrialisasi nasional.
Sementara industrialisasi nasional harus dimulai dari pengolahan hasil-hasil pertanian dan
kelautan, sehingga meningkatkan harga jualnya di pasar lokal, tanpa harus membawanya ke
pasar bebas komoditi yang sudah dimonopoli para kartel. Pengadaan listrik melalui berbagai
sumber energi harus diratakan di seluruh Nusantara.
Lembaga-lembaga pendidikan tidak lagi diarahkan sebagai pedagang ilmu pengetahuan. Di
republik ini kita menghargai ilmu pengetahuan sebagai hasil reproduksi sosial yang berhak
diakses oleh siapa saja. Kasta-kasta dalam pendidikan harus dicegah dengan standarisasi mutu
seluruh sekolah dengan panduan dan dukungan penuh dari negara. Gerakan pemberantasan
buta huruf digalakkan melalui program-program yang melibatkan masyarakat. Pendidikan
nasional harus mampu melahirkan manusia-manusia Indonesia yang baru, yang lepas dari segala
beban mentalitas terbelakang di masa lalu, dan siap mendedikasikan segala kapasitas dirinya
bagi kemajuan seluruh rakyat.
Jaminan kesehatan rakyat sepenuhnya diberikan oleh negara, tanpa perlu melibatkan korporasi
perasuransian yang hanya memburu laba. Struktur dan infrastruktur kesehatan harus
menjangkau seluruh pelosok tanah air, sejalan dengan struktur dan infrastruktur pendidikan,
jalan, listrik, perumahan, air bersih, dan lain-lain. Pendidikan kedokteran harus dibuka di
berbagai daerah dan murah agar bisa memfasilitasi siapapun yang berminat dan hendak
membaktikan diri untuk kesehatan rakyat. Kecukupan gizi harus dijamin sejak dini melalui
penyediaan dapur umum di sekolah-sekolah, taman bermain anak-anak, dan taman-taman
bacaan. Gizi bagi pekerja tidak lagi berada di standar minimum 1200 kalori per hari tapi
ditingkatkan melalui kenaikan upah dan standar kesejahteraan.
Republik Indonesia tidak akan tertutup dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di seluruh
dunia. Namun pergaulan yang dikehendaki adalah pergaulan yang setara dan saling memajukan.
Dalam kancah internasional, Republik Baru ini akan memperjuangkan tatanan dunia multipolar
yang adil dan damai.
Pemerintahan Pro Kepentingan Nasional
Program-program penuntasan revolusi nasional harus diperjuangkan agar menjadi nyata. Untuk
itu, Rakyat Indonesia harus memiliki sebuah alat perjuangan politik bersama. Alat perjuangan
bersama ini haruslah kuat dan efektif dalam melaksanakan program di atas. Alat ini adalah
sebuah pemerintahan, dengan struktur dan infrastrukturnya, yang merupakan ruang bagi
seluruh golongan bermufakat menyelesaikan persoalan nasional: neoliberalisme. Inilah yang
oleh Bung Karno disebut sebagai sammenbundeling van alle revolutionaire krachten.
14. Perlahan tapi pasti, situasi obyektif tergambar dalam bentuk fakta dan pengetahuan tentang
hilangnya kedaulatan negeri ini. Tentu ada banyak cerita yang dihembuskan oleh pihak lawan
untuk mendistorsikan kenyataan ini. Tapi, seperti kata pepatah leluhur, sepandai-pandainya
tupai meloncat akhirnya jatuh juga. Sepandai-pandainya penguasa berbohong, dari pengalaman
pula rakyat mengetahui fakta yang sebenarnya. Keadaan-keadaan ini berakumulasi dan
merangkai menjadi konsep yang hidup dan bekerja, mendesak setiap orang untuk bersikap,
apakah berpihak pada kepentingan nasional, atau berpihak pada kepentingan asing. Tak ada
tempat bagi kaum peragu dalam pemerintahan ini.
Metode Perjuangan
Metode perjuangan adalah langkah demi langkah, dari kita semua, Bangsa Indonesia, tanpa
membedakan latar belakang masing-masing, untuk memenangkan satu hal, yaitu kedaulatan
nasional. Bung Karno pernah menyimpulkan dua metode perjuangan menuju kemerdekaan,
yaitu massa aksi dan membangun kekuasaan (macthvorming).
Massa aksi, sebagaimana dikatakan oleh Bung Karno, bukanlah sesuatu yang akan terjadi nanti,
suatu gelombang besar massa rakyat di waktu mendatang, seperti yang terjadi di tahun 1998.
Bukan itu yang dimaksud. Massa aksi adalah aktivitas revolusioner sehari-hari. Revolusioner
dalam pengertian sikap politik yang membenarkan diperlukannya segera, secepat-cepatnya,
perubahan haluan perjalanan bangsa, dari jalan kolonialisme dan neoliberalisme, menuju jalan
kedaulatan nasional. Atas sikap politik tersebut, teremban konsekuensi-konsekuensi praktis yang
diatasi bersama, Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing.
Perjuangan massa aksi yang terjadi pada hari-hari ini mewujud dalam berbagai bentuk, mulai
dari menulis untuk berbagai penerbitan, selebaran atau bacaan, menyebarkan bacaan-bacaan
kepada rakyat, menyelenggarakan rapat-rapat, diskusi-diskusi, mengadakan aksi demonstrasi,
vergadering, mimbar-mimbar kebudayaan, dan lain-lain. Dalam massa aksi, segenap rakyat
menjadi unsur pembangun organisasi-organisasi massa dan organisasi politik, meluaskan
anggota dan memberi mutu pada organisasinya. Massa aksi bukanlah aktivitas rutinitas biasa,
melainkan sebuah aktivitas terencana dalam kesatuan semangat berlawan, kesatuan semangat
pembebasan nasional. Karena sifatnya yang terencana itu, maka massa aksi ini akan selalu
memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru. Semua ini berguna dan mendukung metode
perjuangan yang kedua, yaitu macthvorming.
Macthvorming, atau menyusun kekuatan, merupakan capaian dialektis dari massa aksi. Dalam
metode macthvorming terkandung prinsip kewenangan atas ruang untuk berpropaganda dan
mengorganisasikan kekuatan politik yang konsisten berpihak pada kepentingan rakyat. Proses
macthvorming ini dapat dilakukan melalui intervensi ruang-ruang elektoral, atau celah politik
lainnya dalam demokrasi borjuis saat ini. Macthvorming juga dilakukan dengan mendorong
bentuk demokrasi partisipatoris, yaitu demokrasi yang melibataktifkan rakyat dalam
mengidentifikasi, merumuskan, dan memecahkan masalah-masalahnya.
Secara terang-terangan kita nyatakan kekuasaan politik sebagai sasaran dalam perjuangan
pembebasan nasional, pada berbagai level. Kita tidak ingin mengkorup defenisi kekuasaan,
bahwa segala jenis kekuasaan pastilah korup. Tidak, karena bagi kita tiap-tiap kekuasaan
mempunyai keberpihakan sendiri-sendiri. Sedangkan korupsi telah inheren berada dalam
15. kapitalisme, sistem tempat kita hidup saat ini. Kekuasaan tidak akan menjadi korup bila
diarahkan untuk membangun tata masyarakat yang produktif, sehingga tidak ada seorangpun
(kecuali anak-anak dan orang jompo) dibiarkan menjadi pengangguran dan setiap orang
mendapatkan imbalan sesuai andilnya.
Mari, dengan bersemangat kita pekikkan kembali kemerdekaan. Merdeka yang sebenar-
benarnya bagi seluruh rakyat Indonesia: ADIL MAKMUR TANPA PENINDASAN MANUSIA ATAS
MANUSIA DAN BANGSA ATAS BANGSA.
Jakarta, 27 Juli 2010