PPT DENIES SUSANTO AHLI MADYA BANGUNAN PERAWATAN GEDUNG 1.pptx
Upaya penegakan hukum di sektor kehutanan dalam memberantas pembalakan liar
1. UPAYA PENEGAKAN HUKUM DI SEKTOR KEHUTANAN
DALAM MEMBERANTAS PEMBALAKAN LIAR
JAKSA AGUNG MUDA TINDAK PIDANA UMUM
KEJAKSAAN AGUNG R.I.
2. LATAR BELAKANG
Pembalakan liar akan berujung pada perdagangan kayu
secara ilegal dan berkaitan dengan uang haram hasil
aktivitas finansial tak sah;
Aktor pembalakan liar melibatkan masyarakat,
kebanyakan bersifat sporadis dan skala kecil /kelas teri
(dimanfaatkan cukong bermodal besar);
Kerusakan lebih parah disebabkan oleh para pemegang
lisensi resmi pengelolaan hutan (melanggar konsesi
resmi, kontrak, dan regulasi manajemen serta
merambah areal di luar kewenangan lisensi yang
dimiliki, bahkan sampai ke areal yang dilindungi);
Terdapat hubungan simbiosis erat antara korupsi dan
aktivitas pembalakan liar (jenis korupsi di kehutanan:
yang bersifat kolusi dan nonkolusi)
3. BENTUK KEJAHATAN KEHUTANAN BERDASARKAN
UU 41/1999 TENTANG KEHUTANAN
1. Merusak infrastruktur yang digunakan untuk
perlindungan hutan;
2. Terlibat didalam kegiatan yang mendukung degradasi
hutan;
3. Menggunakan atau menempati sebagian dari Kawasan
Hutan tanpa persetujuan Menteri;
4. Menebang pohon dalam batas 500 meter dari tepi waduk
atau danau;
5. Membakar hutan;
6. Memanen hasil hutan tanpa memiliki izin atau hak;
7. Menambang didalam kawasan hutan tanpa izin Menteri;
8. Mengangkut hasil hutan tanpa dokumen yang syah;
9. Membawa peralatan berat ke kawasan hutan tanpa
memiliki izin.
4. HASIL PEMBALAKAN LIAR
Secara umum pembalakan liar di Indonesia,
diperkirakan antara 60 sampai 80 persen dari 60
sampai dengan 70 juta m3 kayu yang dikonsumsi
oleh industri kayu domestik setiap tahun
diperoleh secara ilegal
5. OKNUM YANG TERLIBAT DALAM
BERBAGAI PEMBALAKAN LIAR
Pegawai yang korup;
Personel TNI dan Polri;
Broker kayu ilegal;
Pemegang hak konsensi hutan yang beroperasi diluar
kontrak HPH mereka;
Penduduk lokal yang terlibat didalam penebangan
informal;
Jasa pengangkutan;
Eksportir, dan
Pegawai Bea Cukai.
6. BENTUK KETERLIBATAN OKNUM
Korupsi, berupa uang suap sebagai imbalan untuk
pemberian hak konsesi dan izin pemanfaatan hasil
hutan;
Penggelapan pajak atau tax evasion, dengan
melaporkan penebangan kayu yang lebih rendah
dari seharusnya;
Tindak pidana kejahatan perbankan, dengan
melakukan mark-up biaya investasi mereka;
Penyelundupan, juga sangat menonjol di sektor
kehutanan yang terlihat dari besarnya volume kayu
dan hasil hutan lainnya yang dikirimkan keluar
Indonesia tanpa dilengkapi surat-surat yang syah.
7. UPAYA PENEGAKAN HUKUM DI SEKTOR KEHUTANAN
Membangun sistem terintegrasi, yaitu lebih
menitikberatkan pada “mengikuti arus uang” atau follow
the money daripada “mengikuti arus kayu” atau follow
the wood;
Diharapkan dapat menjerat otak kejahatan dan atau
pemberi dana yang pastinya mendapatkan keuntungan
besar atas tindakan perusakan hutan dan lingkungan;
Jika „kejahatan kehutanan‟ secara spesifik masuk
kedalam daftar predicate offense pada UU tindak pidana
pencucian uang Indonesia, masing-masing perusahaan
dapat dituntut terlibat pencucian uang;
Mengkaitkan tindak pidana kehutanan dengan dengan
tindak pidana pencucian uang.
8. MANFAAT MENGKAITKAN
TINDAK PIDANA KEHUTANAN
DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Bank akan meningkatkan praktek due diligence dalam
memberikan pinjaman disektor kehutanan;
Bank diminta untuk memonitor dan melaporkan
transaksi yang mencurigakan;
Pemerintah akan memiliki alat baru untuk menegakkan
peraturan kehutanan dan keuangan;
Ketentuan hukum baru akan tersedia untuk penegakan
hukum dan penuntutan.
9. KELEMAHAN MENDASAR SEHINGGA PELAKU
KEJAHATAN KEHUTANAN SULIT DIJERAT DENGAN
UNDANG UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999
1.Undang-undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan
mengarahkan penegak hukum untuk menemukan bukti fisik
tentang penguasaan kayu ilegal, antara lain memiliki,
memegang, dan membawa kayu bulat dan produk hutan
lainnya tanpa dokumen yang sah;
2.Kapasitas dan sumber daya Aparat penegak hukum mungkin
belum memiliki pengalaman dalam menerapkan UU Nomor
25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;
3.Kurangnya koordinasi dan pemahaman antara instansi
penegak hukum, kehakiman, perbankan, dan kehutanan;
4.Kurangnya insentif untuk menjerat cukong pencurian kayu.
10. UPAYA MENGATASI KELEMAHAN MENDASAR
UNDANG UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999
DALAM MENJERAT PELAKU KEJAHATAN
KEHUTANAN
1. Menerapkan UU Nomor 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
yang memberikan wewenang kepada penegak hukum untuk melihat dan
membuktikan hubungan keuangan antara cukong, para pelaku pencuri
kayu, dan para pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya (korupsi)
dengan memperoleh imbalan dari para cukong;
2. Meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum dan hakim dalam bentuk
pelatihan dan lokakarya, baik pada tingkat pusat maupun daerah;
3. Meningkatkan koordinasi yang intensif antara penegak hukum dalam
penanganan kejahatan di bidang kehutanan;
4. Memberikan penghargaan dan sanksi kepada Pegawai bank dan PJK yang
melaporkan para cukong pencuri kayu dan koruptor di bidang kehutanan,
bank yang kooperatif harus diberi penghargaan oleh Bank Indonesia,
Polisi dan jaksa yang berhasil menjerat dan memejahijaukan para cukong
dan koruptor juga harus mendapatkan promosi.