'Pembunuh bayaran' berseragam itu bernama densus 88
Demokrasi sistem gagal
1. 5/2/2014
Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Demokrasi: Sistem Gagal
Demokrasi: Sistem Gagal
February 4th, 2014 by solihan
Bentuk pemerintahan demokrasi atau republik atau kerakyatan menjadi trenddunia pasca
sekularisme politik di Eropa selepas Perjanjian Westphalia 1648. Kekuasaan politik benar-benar
dilepaskan dari kekuasaan agama agar dapat benar-benar berjalan sesuai dengan idealitas
rasionalitas manusia. Perjanjian Westphalia dianggap sebagai titik lahirnya negara-negara nasional
yang modern. Melalui Perjanjian Westphalia hubungan negara dilepaskan dari hubungan
kegerejaan (keagamaan). Perjanjian Westphalia meletakkan dasar bagi susunan masyarakat
Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional
(tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai dan hakikat pemerintahannya
yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja.
Demokrasi atau demos kratos alias pemerintahan rakyat disepadankan dengan re publica,
mengembalikan kekuasaan kepada public (rakyat). Inilah gagasan yang mengemuka pada
Revolusi Prancis. Bentuk pemerintahan ini adalah kritik terhadap kekuasaan absolut para raja
(monarki /mono archi) dan kekuasaan para bangsawan (aristokrasi). Saat itu puncak absolutisme
Prancis terjadi pada pemerintahan Raja Louis XIV (1643-1715) dengan semboyanl’etat cest
moi (negara adalah saya). Penyerbuan Penjara Bastille pada 14 Juli 1789 menjadi tonggak dari
Revolusi Prancis untuk mengakhiri absolutisme Kerajaan. Robespierre kemudian mencetuskan
semboyan Liberte(kebebasan), Egalite (persamaan) dan Fraternite (persaudara-an) sebagai
prinsip dari demokrasi yang ke-mudian diabadikan dalam warna-warna bendera nasional Prancis
(merah, putih dan biru).
Samuel P. Huntinton dalam bukunya, The Third Wave: Democratization in the Late Twenti-eth
Century (1991), mencatat ada tiga gelombang demokratisasi yang menjadi trend politik dunia saat
ini. Para analis Barat lainnya menyebutkan bahwa Arab Spring adalah gelombang demokratisasi
keempat, yang menandakan bahwa demokrasi sudah diakui dan diterapkan di semua belahan
bumi ini, tanpa kecuali.
Gelombang pertama adalah awal demokrasi yang digagas ratusan abad lalu oleh para pemikir
Yunani seperti Aristoteles dalam Politea-nya. Demokrasi kemudian dibangkitkan kembali pada
masa renaissance oleh para pemikir Barat seperti Charles Louis de Secondat Baron de
Montesquieu (1689-1755) dalam bukunya, L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws), yang
memunculkan konsep Trias Politika; John Locke (1632-1704) dalam bukunya, Two Treatises on
Civil Government (1690), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dalam bukunya, Du Contract
Social (1762).
Kini demokrasi diterapkan secara luas hampir meliputi semua negara di dunia. Menurut Freedom
House, pada tahun 2007 terdapat 123 negara demokrasi elektoral (naik dari 40 pada tahun 1972).
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/02/04/demokrasi-sistem-gagal/
1/7
2. 5/2/2014
Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Demokrasi: Sistem Gagal
Menurut World Forum on Democracy, jumlah negara demokrasi elektoral mencapai 120 dari 192
negara di dunia dan mencakup 58,2 penduduk dunia. Pada saat yang sama, negara-negara
demokrasi liberal (yang dianggap Freedom House sebagai negara yang bebas dan menghormati
hukum dan HAM) berjumlah 85 dan mencakup 38 persen penduduk dunia. Hanya ada 25 negara
yang dikategorikan sebagai demokrasi penuh oleh Democracy Index pada tahun 2011, di
antaranya Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan di Asia.Democracy Index memasukkan 53
negara dalam kategori demokrasi tidak sempurna yang pada umumnya negara-negara di Afrika
dan Asia, termasuk di dalamnya Indonesia. Bahkan pada tahun 2010, Perserikatan BangsaBangsa menyatakan 15 September sebagai Hari Demokrasi Internasional.
Pertanyaannya: Sudahkan demokrasi mencapai tujuannya? Ataukah demokrasi malah menjadi
bentuk pemerintahan yang merusak dan utopia sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Aristoletes?
Demokrasi dan Kesejahteraan
Salah satu yang diimpikan dengan penerapan demokrasi adalah terwujudnya kesejahteraan
masyarakat. Ini merupakan salah satu utopia dari demokrasi. Mengapa? Karena tidak ada
hubungannya sama sekali antara demokrasi dan kesejahteraan. Negara-negara yang dianggap
sejahtera yang secara faktual menerapkan demokrasi dianggap sebagai role model. Namun, fakta
lain menunjukkan banyak negara non demokrasi yang tingkat kesejahtera-annya juga tinggi. Tengok
saja Singapura, negara dengan indeks demokrasi yang lebih rendah dibandingkan negara-negara
Asia Tenggara lainnya bahkan tidak terkategori negera demokratis justru memiliki PDB 40.920
pada tahun 2010 dibandingkan Indonesia yang pada tahun yang sama hanya memiliki PDB 2.580.
Bukti lain adalah RRC, negara yang secara ideologi politik masih menerapkan sistem komunis,
sekarang dianggap sebagai negara maju. Bahkan kejayaan Khilafah Islam pada abad pertengahan
sama sekali tidak menerapkan demokrasi.
Penerapan demokrasi menunjukkan peng-hambur-hamburan dana negara dan dana masyarakat
untuk apa yang disebut sebagai ‘pesta demokrasi’. Pemilihan umum sebagai mekanisme
perwujudan partisipasi masyarakat baik dalam pemilihan presiden dan pemilihan wakil rakyat
adalah pemborosan uang untuk apa yang dinamakan ‘partisipasi’. Contoh biaya kampanye di
Amerika pada American Presidential Election 2008 mencapai $5 billion, biaya yang dikeluarkan
oleh Obama $730 million dan McCain $333 million. Pendanaan ini kebanyakan datang dari para
pemilik modal/punya hubungan modal yang dalam American Presidential Election 2008 tersebut
mencapai 72%.
Di Indonesia, menurut catatan The Nielsen Co.Ind, belanja iklan pada Pemilu 2009 mencapai Rp
2,154 triliun; meningkat sekitar 335% dibanding Pemilu 2004. Jumlah biaya iklan politik yang
realistis sulit diketahui karena banyak iklan terselubung.
Hal inilah yang menjadikan demokrasi secara efektif memberi para pemilik modal “majority vote”.
Karena itu para pemilik modal memiliki kemampuan dan kesempatan untuk mempengaruhi
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/02/04/demokrasi-sistem-gagal/
2/7
3. 5/2/2014
Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Demokrasi: Sistem Gagal
kebijakan pemerintah. Wajar jika pada akhirnya kebijakan pemerintah terpilih lebih mementingkan
kaum ‘kaya’.
Kolaborasi elit politik dan ekonomi dengan pihak asing di Indonesia telah menimbulkan apa yang
disebut dengan governance as private enterprise (Arif, 1996) atau corporation state (Gatra, 2006).
Dalam kondisi seperti itu, politik dan administrasi negara diperlakukan seperti kegiatan bisnis
swasta. Akibatnya, perhitungan bisnis telah dijadikan dasar pengambilan keputusan ekonomi agar
tujuan pihak swasta besar menjadi manunggal dengan tujuan pemegang kekuasaan. Ujungujungnya, kepentingan rakyat terabaikan. Rakyat harus membayar mahal untuk mendapatkan
haknya.
Faktor inilah yang membuat demokrasi hanya menguntungkan segelintir orang. Demokrasi di
Indonesia tidak membuat rakyat sejahtera, tetapi malah sengsara.
Maka dari itu, tidak aneh jika ada yang mengungkapkan bahwa melalui demokrasi, kesejahteraan
rakyat pun sudah diwakili oleh wakil rakyat. Artinya, rakyat tetap miskin, wakil rakyatlah yang
kekayaannya berlipat dan menikmati kesejahteraan.
Demokrasi dan Keamanan Masyarakat
Penerapan demokrasi diharapkan dapat mewujudakan rasa keamanan masyarakat (society
security). Dengan partisipasi tinggi, tidak adanya otoritarianisme, maka dengan demokrasi
masyarakat menjadi terbebas dari kekangan penguasa. Masyarakat dapat mewujudkan ekspresi
kebebasan individualnya sehingga akan meningkatkan indeks kebahagiaannya, dan akhirnya
keamanan masyarakat akan terwujud.Benarkah?
Kebebasan individu sebagaimana dalam Revolusi Prancis dicanangkan dalam deklarasi hak-hak
manusia dan hak warga Negara (Declaration des Droits de’l Homme et du Citoyoen) pada tanggal
27 Agustus 1789. Awalnya ia merupakan solusi atas kekangan penguasa. Namun, solusi ini
menimbulkan masalah ikutan. Justru yang ada adalah kewibawaaan pemerintah menjadi memudar.
Seiring dengan meningkatnya tingkat kebebasan masyarakat, rasa keamanan malah semakin
menipis. Ekspresi partisipasi masyarakat yang tidak terkendali malah menimbulkan kekhawa-tiran
elemen masyarakat lain yang memiliki nilai, norma dan kebiasaan yang berbeda. Tengok saja
bagaimana maraknya pornografi yang lahir dari kebebasan berprilaku malah menimbulkan
berbagai aksi kriminalitas baru. Munculnya berbagai tempat hiburan sebagai wujud kebebasan
menjadi pusat berbagai kriminalitas mulai dari narkoba, premanisme dan lainnya.
Demokrasi dan Penegakan Hukum
Penerapan demokrasi adalah impian untuk lepas dari kelaliman penguasa yang absolut. Dengan
demokrasi, hukum dibuat bukan berdasar hasrat dan hawa nafsu seorang raja yang otoriter, namun
berdasarkan ‘kebaikan’ bersama yang tumbuh di tengah masyarakat. Dengan demokrasi,
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/02/04/demokrasi-sistem-gagal/
3/7
4. 5/2/2014
Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Demokrasi: Sistem Gagal
diharapkan hukum yang muncul adalah hukum yang partisipatif dan mewujudkan keadilan bersama.
Kenyataannya, hukum di alam demokrasi adalah hukum buatan manusia; walau dibuat bersama,
‘hawa nafsu’ manusia akan tetap dasarnya. Inilah yang dikhawatirkan oleh Aristoteles sehingga dia
menawarkan sistem hukum alternatif yang ideal, yaitu nomokrasi.
Dalam sistem demokrasi hukum menjadi penuh dengan kepentingan. Lihat saja bagaimana
keberadaan hukum-hukum yang penuh dengan kepentingan ekonomi; hukum dan aturan
diperjualbelikan sesuai dengan keinginan personal dan kelompok tertentu. Lalu bagaimana
mungkin sistem demokrasi bisa melahirkan peradilan yang adil ketika persepsi tentang keadilan
pun tidak memiliki standar yang jelas? Bila demikian, bagaimana bisa muncul peradilan yang
solutif, peradilan yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah
masyarakat; yang dapat menenetramkan kehidupan sosial, tidak hanya di dunia, namun juga
berdimensi ukhrawi?
Demokrasi dan Korupsi
Pameo yang diluncurkan oleh Lord Acton bahwa power tends to corrupt, absolute power corrupt
absolutely. Karena itu kekuasaan harus dibagi. Inilah yang melahirkan konsep sharing of
power atau distribution of power dalam demokrasi yang lebih dikenal dengan trias politica.
Kekuasaan dibagi menjadi kekuasan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun kenyataannya, trias
politicatidak lebih menjadi trias corruptica. Lembaga Legistalif, Eksekutif dan Yudikatif adalah
poros dari penyalahgunaan wewenang dan korupsi.
Alhasil, sharing of power tidak serta-merta menghilangkan korupsi. Alasannya, karena masalahnya
bukan dari terpusatnya kekuasaan, namun dari asal-muasal kekuasaan. Kalau kekuasaan masih
berasal dari rakyat/kelompok yang penuh dengan kepentingan, maka penyalahgunaan akan selalu
terjadi dan korupsi akan selalu marak. Namun, bila kekuasaan berasal dari amanah sang Pencipta,
ada relasi spiritual, maka pengawasan tidak hanya bersifat duniawi; kekuasaan akan digunakan
untuk menjalan amanah dari sang Pencipta.
Demokrasi dan Integrasi Masyarakat
Demokrasi digembar-gemborkan sebagai sistem yang compatible dengan masyarakat majemuk.
Pluralitas masyarakat membutuhkan sistem yang dapat menjamin setiap aspirasi rakyat. Dalam
demokrasi, katanya, tidak ada dominasi dan hegemoni mayoritas terhadap minoritas, sehingga
akan tercapai suatu konsensus dengan prosedur demokrasi yang disepakati bersama.
Namun yang terjadi malah sebaliknya, prosedur demokrasi adalah kesepakatan yang kadang tidak
disepakati oleh semua pihak. Alih-alih menciptakan integrasi masyarakat, demokrasi malah
melahirkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Tidak hanya konflik horisontal antarmasyarakat,
prosedur demokrasi juga melahirkan konflik vertikal antara elit dengan masyarakat luas.
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/02/04/demokrasi-sistem-gagal/
4/7
5. 5/2/2014
Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Demokrasi: Sistem Gagal
Demokrasi dan Diskriminasi Masyarakat
Prinsip demokrasi secara prosedural dibuat sebagai mekanisme penyaluran aspirasi dan
perwujudan keinginan bersama. Melalui demokrasi, kehendak rakyat, bahkan kedaula-tan rakyat,
diwujudkan. Semestinya dengan mekanisme demokrasi, mayoritaslah yang memegang kehendak
karena merekalah yang menguasai kekuasaan ketika prosedur itu dijalankan.
Namun yang terjadi, kadang demokrasi menimbulkan anomali lain, yakni adanya tirani minoritas.
Kontradiksi antara mayoritas yang diam (silent majority) dengan minoritas yang tirani (tyrani
minority) melahirkan kondisi bahwa tidak selalu keinginan atau kehendak mayoritas yang harus
dijalankan. Bila mayoritas masyarakat diam, bisa jadi yang sangat berpengaruh di tengah-tengah
masyarakat adalah kalangan minoritas sehingga terjadilah tirani minoritas. Jadinya, kaum
mayoritas gagal terayomi bahkan terlindungi. Mereka malah menjadi korban dari kalangan
minoritas. Inilah kontradiksi dari demokrasi.
Demokrasi dan Kemandirian Politik
Demokrasi sebagai tren dunia adalah sistem yang trial and error. Tidak ada bentuk ideal dari
sistem demokrasi ini, di belahan bumi manapun. Namun demikian, negara-negara yang memiliki
kepentingan terhadap proses demokratisasi berupaya membuat standar sesuai dengan keinginan
mereka. Salah satu contohnya adalah democracy index. Dibuatlah seolah-olah ada standar
demokrasi yang harus diseragamkan secara mendunia; dinilai dan dievaluasi tanpa menyentuh
esensi dari demokrasi itu sendiri.
Hal ini melahirkan kebergantungan kepada negara lain. Seolah-oleh suatu negara harus membebek
kepada negara lain. Seakan tidak boleh ada negara yang tidak menganut demokrasi. Bila ada
maka harus dilakukan proses demokratisasi di sana, tanpa peduli rakyatnya paham atau tidak,
rakyatnya suka atau tidak. Setelah hal itu dapat dilakukan, terjadilah kebergantungan (dependecy)
dari negara tersebut kepada negara yang dia ikuti.
Demokrasi dan Pertahanan Aset Negara
Demokrasi yang merupakan turunan dari Kapitalisme adalah cara legal yang menjadi justifikasi
atas perampokan harta rakyat. Dengan berdalih pada keputusan wakil rakyat, muncullah berbagai
perundangan yang isinya justru merampas dan menguras kekayaan rakyat. Hal ini terjadi karena
para wakil rakyat yang harusnya menjadi wakil rakyat, ketika menyusun perundang-undangan malah
menjadi wakil kaum kapitalis yang sedari awal menanam sahamnya di dunia politik agar
kepentingannya tetap terjaga.
Jadilah melalui demokrasi aset dan kekayaan negara terkuras habis, diputuskan untuk diprivatisasi
dan dikuasai oleh swasta. Anggaran negara menjadi bancakan proyek-proyek yang minim dalam
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/02/04/demokrasi-sistem-gagal/
5/7
6. 5/2/2014
Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Demokrasi: Sistem Gagal
mensejahterakan rakyat namun justru menjadi sarana untuk memupuk kekayaan swasta yang
bermain di sana.
Demokrasi dan Masyarakat Bertakwa
Demokrasi adalah sistem paganis, sistem yang menjadikan manusia sebagai sumber hukum,
bukan sang Pencipta. Melalui sistem demokrasi, hawa nafsu manusia senantiasa mendapatkan
salurannya dan pembenarannya.
Bagaimana bisa membangun masyarakat yang bertakwa ketika negara menyerahkan ketakwaan
hanya menjadi persoalan personal dan invididual, saat kebenaran dan kebatilan dibiarkan
bertarung secara bebas? Akibatnya, dalam sistem demokrasi, individu-individu jauh dari nilai-nilai
ketuhanan karena negara abai terlibat untuk menjaga masyarakatnya.
Demokrasi dan Keberpihakan pada Islam dan Umat Islam
Demokrasi dan Islam adalah dua sisi yang saling bertolak belakang. Demokrasi menjadikan
manusia sebagai tuhan, sedangkan Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang harus
tunduk pada sang Pencipta alam semesta, tuhannya yang hakiki.
Maka dari itu, tidak aneh bila demokrasi tidak memiliki keberpihakan terhadap Islam. Bahkan Islam
hanya dijadikan stempel bagi penerapan sistem demokrasi. Tidak ada tempat bagi Islam dalam
sistem demokrasi kecuali menjadi korban dan dikorbankan. Demikian juga bagi umat Islam. Umat
mengira bahwa Islam bisa diterapkan melalui demokrasi. Umat mengira bahwa demokrasi
membuka peluang untuk beraspirasi, menerapkan hukum-hukum Allah. Namun, kenyataaanya tidak.
Sekali lagi tidak ada tempat bagi Islam dan umat Islam dalam sistem demokrasi.
Apa yang terjadi di Mesir dan Aljazair semestinya menjadi pelajaran bagi kita bahwa
memanfaatkan demokrasi untuk Islam akan berujung pada pengkhianatan demokrasi itu sendiri.
Pasalnya, demokrasi tidak menghendaki sistemnya hancur. Ia memiliki imunitas walau dengan
cara-cara yang tidak demokratis seperti kudeta dan kecurangan-kecurangan.
Penutup
Demikianlah, demokrasi adalah sistem yang gagal (failed system); gagal sedari konsep awalnya,
gagal dalam proses penerapannya, dan gagal dalam mencapai tujuannya yang utopis. Tidak layak
umat Islam sebagai khayru ummah menerapkan demokrasi. Maka dari itu, tinggalkanlah
demokrasi, terapkan Islam! Hanya Islam, bukan lainnya. WalLahu’alam. [Dari berbagai sumber] [H.
Budi Mulyana, S.IP., M.Si.; Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Unikom Bandung]
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/02/04/demokrasi-sistem-gagal/
6/7
7. 5/2/2014
Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Demokrasi: Sistem Gagal
Baca juga :
1.
2.
3.
4.
5.
Demokrasi: Sistem Gagal dan Merusak
Demokrasi; Gagal, Mahal, dan Kufur!
Pesta Demokrasi Gagal Membangun Bangsa Indonesia Lebih Baik
Konflik Sosial, Buah Sistem yang Gagal
Konflik Sosial, Buah Sistem yang Gagal
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/02/04/demokrasi-sistem-gagal/
7/7