SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 28
Descargar para leer sin conexión
6



                                      BAB II
                             TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Konsep Terkait
   1.      Konsep Cacingan
        a. Pengertian
              Cacingan atau sering disebut kecacingan merupakan penyekit
           endemik dan kronik diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi
           tinggi, tidak mematikan tetapi mengganggu kesehatan tubuh manusia
           sehingga     berakibat   menurunkan    kondisi   gizi    dan   kesehatan
           masyarakat. Kecacingan umumnya akibat infeksi cacing gelang
           (ascaris lumbricoides), cacing kremi (Oxyuris vermecularis), cacing
           pita (Taenea solium) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale)
           (Zulkoni Akhsin, 2007).
              Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang
           sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa
           jenis cacing yang termasuk Nematoda usus. Sebagian besar dari
           Nematoda ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
           Indonesia.
              Diantara     Nematoda    usus    tedapat   sejumlah    spesies   yang
           penularannya melalui tanah (Soil Transmitted Helminths) diantaranya
           yang tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus,
           Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Srisasi Gandahusada,
           2006).
              Cacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh beberapa
           nematoda saluran cerna yang ditularkan melalui tanah. Penularan dapat
           terjadi melalui dua cara yaitu infeksi langsung / menelan telur dan
           larva yang menembus kulit. Kerugian yang ditimbulkan akibat
           kecacingan sangat besar terhadap perkembangan fisik, intelegensia,
           dan produktivitas anak yang merupakan generasi penerus bangsa (Aru
           Sudoyo, 2006).
7




b. Cara Penularan

      Penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah termasuk dalam
   keluarga nematoda saluran cerna. Penularan dapat terjadi melalui 2
   cara yaitu ( Aru Sudoyo, 2006) :
   1. Infeksi langsung

          Penularan langsung dapat terjadi bila telur cacing dari tepi anal
      masuk ke mulut tanpa pernah berkembang dulu di tanah. Cara ini
      terjadi pada cacing kremi (Oxyuris vermicularis) dan trikuriasis
      (Trichuris trichura). Penularan langsung dapat juga terjadi setelah
      periode berkembangnya telur ditanah kemudian telur tertelan
      melelui      tangan   atau     makanan   yang   tercemar    (Ascaris
      Lumbricoides)
   2. Larva menembus kulit

          Penularan melalui kulit terjadi pada cacing tambang /
      ankilostomiasis dan strongiloidiasis dimana telur terlebih dahulu
      menetas di tanah baru kemudian larva filariform menginfeksi
      melalui kulit.
c. Macam-macam Cacing Nematoda Usus

      Manusia merupakan hospes definitive beberapa nematoda usus.
   Sebagian besar daripada nematoda ini menyebabkan masalah
   kesehatan masyarakat di Indonesia. Di antara nematoda usus terdapat
   sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan disebut “soil
   transmitted helminths” yang terpenting bagi manusia adalah Ascaris
   lumbricoides,       Ancylostoma    duodenale,   Necator    americanus,
   Strongyloides stercoralis, Trichuris trichura dan beberapa spesies
   Trichostrongylus. Nematoda usus lainnya yang penting bagi manusia
   adalah Oxyuris vermicularis dan Trichinella spiralis (Srisasi
   Gandahusada, 2006).
8



1. Ascaris lumbricoides

      Ascaris lumbricoides adalah caing bulat yang besar dan hidup
   dalam usus halus manusia (Aru Sudoyo, 2006). Manusia
   merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Penyakit
   yang disebabkannya disebut askariasis (Srisasi Gandahusada,
   2006).
   a. Morfologi dan daur hidup

            Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan yang betina
      22-35 cm. Stadium dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor
      cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir
      sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan tidak dibuahi.
            Telur yang dibuahi, besarnya kurang lebih 65 x 45 mikron
      dan yang tidak dibuahi 90 x 40 mikron. Dalam lingkungan
      yang sesuia, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk
      infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif
      ini, bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya
      menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau
      saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti
      aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding
      pembuluh darah, lalu dinding alveolus, kemudian naik ke
      trakea mellaui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini
      menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada
      faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan
      tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju usus halus. Di usus
      halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang
      tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu
      kurang lebih 2 bulan (Srisasi Gandahusada, 2006).
9




           Gambar 1. Daur hidup Ascaris lumbricoides
(repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21589/4/Chapter%20II.p
                               df).
 b. Epidemiologi

        Ascaris lumbricoides dijumpai diseluruh dunia dan
    diperkirakan 1,3 milyar orang pernah terinfeksi dengan cacing
    ini. Tidak jarang dijumpai infeksi campuran dengan cacing
    lain, terutama Tricuris trichiura. Telur yang infektif ditemukan
    di tanah, yang dapat bertahan bertahun-tahun. Manusia
    mendapat    infeksi   dengan      cara   tertelan   telur   Ascaris
    lumbricoides yang infektif (telur yang mengandung larva). Hal
    ini terjadi karena termakan makanan atau minuman yang
    tercemar oleh cacing tadi (Soedarmo, 2008).
        Di indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pasa
    anak. Frekuensinya antara 60-90%. Kurangnya pemakaian
    jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja
    di sekitar halaman rumah, dibawah pohon, di tempat mencuci
    dan di tempat pembuangan sampah. Di negara-negara tertentu
    terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk. Tanah liat,
10



   kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antaran 25-350 C
   merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya
   telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif (Srisasi
   Gandahusada, 2006).
c. Patofisiologi

       Selain itu gangguan dapat disebabkan oleh larva yang
   masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan
   pada dinding alveolus yang disebut sindrom looffler. Gangguan
   yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-
   kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti
   berkurangnya nafsu makan, mual, diare, dan konstipasi. Pada
   infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan
   penyerapan (malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing
   mengumpal di dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada
   usus (ileus obstruktive) (Surat Keputusan Menteri Nomor :
   424/MENKES/SK/VI, 2006).


d. Gejala klinis

       Gejala penyakit cacingan memang tidak jelas dan sering
   dikacaukan dengan penyakit yang lain. Pada permulaan
   mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Penderita cacingan
   biasanya lesu, tidak bergairah dan konsentrasi belajar kurang.
   Pada anak-anak yang menderita Askariasis perutnya tampak
   buncit (karena jumlah cacing dan kembung perut, biasanya
   matanya pucat dan kotor seperti sakit mata (rembes), dan
   seperti batuk pilek. Perut sering sakit, diare, dan nafsu makan
   berkurang. Penderita masih dapat berjalan dan sekolah atau
   bekerja, sering kali dianggap tidak sakit, sehingga terjadi salah
   diagnosis       dan   pengobatan.   Secara   ekonomis      sudah
   menunjukkan kerugian yaitu menurunkan prodiktivitas kerja
11



   dan mengurangi kemampuan belajar (Surat Keputusan Menteri
   Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006).
e. Diagnosis

       Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja
   dan cacing dewasa yang keluar melalui mulut / anus (Pinardi
   Hadidjaja, 2008).
f. Pengobatan

       Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara
   masal pada masyarakat. Untuk perorangan dapat digunakan
   bermacam-macam obat misalnya piperasin, pirantel pamoat
   atau mebendazol.
       Untuk pengobatan masal perlu beberapa syarat, yaitu (Aru
   Sudoyo, 2006) :
   -   obat mudah diterima masyarakat

   -   aturan pemakaian sederhana

   -   mempunyai efek samping yang minim

   -   bersifat polivalen, sehingga dapat berkhasiat terhadap
       beberapa jenis cacing

   -   harganya murah

g. Pencegahan

       Perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi serta lingkungan
   sangat mempunyai arti dalam penangulangan infeksi cacing
   gelang ini. Suatu pengalaman oleh E. Kosin pada tahun 1973,
   telah dilakukan suatu penelitian kontrol askaris di suatu desa di
   daerah Belawan, sumatera utara, diketahui prevalensi cacing
   gelang pada anak 85%, setelah pengobatan massal, angka
   infeksi turun secara drastis menjadi 10%. Tiga bulan kemudian,
   saat anak-anak tersebut diperiksa kembali, diperoleh hasil yang
12



      sangat mengejutkan, yaitu angka infeksi naik menjadi 100%.
      Setelah dilakukan penelitian, ternyata cacing yang berhasil
      dikeluarkan dengan pengobatan tadi tersebar di sembarang
      tempat, berarti terjadi pencemaran tanah disekitar desa dengan
      telur cacing dan ini merupakan sumber infeksi (Soedarmo,
      2008).
   h. Prognosis

          Selama tidak terjadi obstruksi oleh cacing dewasa yang
      bermigrasi,     mempunyai prognosis       yang   baik.   Tanpa
      pengobatan, infeksi cacing dapat sembuh sendiri dalam waktu
      1,5 tahun. Dengan pengobatan, kesembuhan diperoleh antara
      80-90% (Aru Sudoyo, 2006).
2. Cacing Cambuk (Trichuris trichura)

   a. Morfologi dan daur hidup

          Cacing jantang panjangnya kurang kebih 4 cm, dengan
      bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor melingkar,
      sedangkan pada cacing betina panjangnya kurang lebih 5 cm,
      dengan bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor lurus
      berujung tumpul. Telurnya berukuran kurang lebih 50 x 22
      mikron, bentuk seperti tempayan dengan kedua ujung
      menonjol, berdinding tebal dan berisi larva (Pinardi Hadidjaja,
      2008).
          Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan
      bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari
      hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam
      waktu 3 sampai 6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu
      pada tanah yang lembab dan temapat yang teduh. Telur matang
      ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif .
      cara infeksi langsung yaitu bila secara kebetulan hospes
      menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan
      masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing
13



   turun ke bagaian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama
   sekum. Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa
   pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai menjadi
   cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari
   (Srisasi Gandahusada, 2006).




     Gambar 2. Daur Hidup Trichuris trichiura (Surat Keputusan
            Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006).
b. Epidemiologi

       Trichuris trichura, cacing ini tersebar diseluruh dunia,
   tetapi lebih banyak terdapat di daerah panas dan lembab dan
   sering   terlihat   bersarma-sama   dengan   infeksi   ascaris.
   Trichuriasis banyak ditemukan di Asia dimana prevalensinya
   lebih dari 50% didaerah pedesaan. Di Afrika, prevalensinya
   25% dan di Amerika Latin 12% (Soedarmo, 2008).
c. Patofisiologi

       Cacing cambuk pada manusia dapat hidup dalam sekum,
   dapat juga ditemukan di kolon asendens.pada infeksi berat,
   terutama pada anak cacing ini menyebar diseluruh kolon dan
   rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang
14



   mengalami prolapsus akibat mengajannya penderita pada
   waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam
   usus, sehingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan
   peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat
   terjadi perdarahan. Disamping itu rupanya cacing ini mengisap
   darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia (Surat
   Keputusan Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006).
d. Gejala klinis

       Penderita terutama anak-nak dengan infeksi trichuris yang
   berat dan menahun menunjukkan gejala-gejala nyata seperti
   diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia,
   berat badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rectum
   (Srisasi Gandahusada, 2006).
e. Diagnosis

       Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam tinja
   (Srisasi Gandahusada, 2006).
f. Pengobatan

   Perawatan umum
       Higiene pasien diperbaiki dan diberikan diet tinggi kalori,
   sedangkan anemia dapat diatasi dengan pemberian preparat
   besi (Aru Sudoyo, 2006).
   Perawatan spesifik
       Bila keadaan ringan dan tak menimbulkan gejala, penyakit
   ini tidak diobati. Tetapi bila menimbulkan gejala, dapat
   diberikan obat-obat (Aru Sudoyo, 2006) :
   -   Diltiasiamin jodida. Diberikan dengan dosisi 10-15
       mg/kgBB/hari, selama 3-5 hari

   -   Stilbazium    yodida.   Diberikan      dengan   dosis   10
       mg/kgBB/hari, 2 kali sehari selama 3 hari dan bila
       diperlukan dapat diberikan dalam waktu yang lebih lama.
15



            Efek samping obat ini adalah rasa mual, nyeri pada perut
            dan warna tinja menjadi merah.

      -     Heksiresorsinol 0,2%. Dapat diberikan 500 ml dlam bentuk
            enema, dalam waktu 1 jam.

      -     Mebendazol. Diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari
            selama 3 hari, atau dosis tunggal 600 mg

   g. Pencegahan

            Didaerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah
      dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban
      yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan
      perorangan. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan
      baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di
      negeri-negeri yang memakai tinja sebagai pupuk (Srisasi
      Gandahusada, 2006).
   h. Prognosis

            Dengan pengobatan yang adekuat, prognosis baik ( Srisasi
      Gandahusada, 2006).
3. Cacing     tambang    (Necator    americanus    dan   Ancylostoma
duodenale)
   a. Morfologi dan daur hidup

      Ancylostoma duodenale (Pinardi Hadidjaja, 2008)
      -     panjang badannya kurang lebih 1 cm, menyerupai huruf C

      -     dibagian mulutnya terdapat dua pasang gigi

      -     cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks pada bagian
            ekornya.

      -     Cacing betina ekornya runcing

      Necator americanus (Pinardi Hadidjaja, 2008)
16



-   panjang badannya kurang lebih 1 cm, menyerupai huruf S

-   bagian mulutnya menyerupai benda kitin

-   cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks pada bagian
    ekornya

-   cacing betina ekornya runcing.

-   Telurnya berukuran kurang lebih 70 x 45 mikron, bulat
    lonjong,   berdinding    tipis,   kedua   kutup   mendatar.
    Didalamnya terdapat beberapa sel.

-   Larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron,
    rongga mulut panjang dan sempit. Esofagus dengan dua
    bulbus dan menempati 1/3 panjang badan bagian anterior.

-   Larva filariform panjangnya kurang lebih 500 mikron,
    ruang mulut tertutup, esofagus menempati ¼ panjang badan
    bagian anterior

Daur hidupnya ialah sebagai berikut
    Telur  larva rabditiform  larva filariform  menembus
kulit  kapiler darah  jantung kanan  paru  bronkus 
trakea  laring  usus halus.
    Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi
A. Duodenale juga mungkin dengan menelan larva filariform
(Srisasi Gandahusada, 2006).
17




             Gambar 3. Daur hidup Necator americanus dan
       Ancylostoma duodenale (Surat Keputusan Menteri Nomor :
                     424/MENKES/SK/VI, 2006).
b. Epidemiologi

       Insiden tinggi ditemukan pada penduduk Indonesia,
   terutama di daerah perkebunan. Seringkali golongan pekerja
   perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah,
   mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defekasi di tanah
   dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun penting dalam
   penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva
   ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimun untuk
   Necator americanus 28-320 C, sedangkan untuk Ancylostoma
   duodenale lebih rendah (23-250 C). Pada umunya Ancylostoma
   duodenale lebih kuat (Srisasi Gandahusada, 2006).
c. Patofisiologi

       Cacing tambang hidup di usus halus manusia melekatkan
   dengan giginya pada dinding usus dan menghisapnya. Infeksi
18



   cacing    tambang    menyebabkan      kerusakan   darah    secara
   perlahan-lahan, sehingga penderita mengalami kekurang darah
   (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta
   menurunkan      produktifitasnya.    Tetapi   kekurangan   darah
   (anemia) biasanya tidak dianggap cacingan karena kekurangan
   darah dapat terjadi oleh banyak sebab anemia (Surat Keputusan
   Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006).
d. Gejala klinis

       Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis adalah sebagai
   berikut (Srisasi Gandahusada, 2006) :
   1. stadium larva

            Bila banyak larva filariform menembus kulit, maka
       terjadi perubahan kulit yang disebut “ground itch”.
       Perubahan pada paru biasanya ringan.
   2. stadium dewasa

            Gejala tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan
       keadaan gizi penderita (fe dan protein). Tiap cacing N.
       americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak
       0,005-0,1 cc sehari, sedangkan A. doudenale, 0,08-0,34 cc.
       Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Disamping
       itu juga terdapat eosinofilia.
e. Diagnosis

       Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja
   segar. Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk
   membedakan spesies larva N. Americanus dan A. Duodenale
   dapat dilakukan biakan tinja misalnya dengan cara Harada-
   Mori (Srisasi Gandahusada, 2006).
19



f. Pengobatan

   Perawatan umum
       Perawatan umum dilakukan dengan memberikan nutrisi
   yang baik, suplemen preparat besi diperlukan oleh pasien
   dengan gejala klinis yang berat, terutama bila ditemukan
   bersama-sama anemia (Aru Sudoyo, 2006).
   Perawatan khusus (Aru Sudoyo, 2006)
   -   Albendazol. Diberikan dengan dosis tunggal 400 mg
   -   Mebendazol. Diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari
       selama 3 hari.
   -   Tetrakloretilen. Merupakan obat pilahan utama (drug of
       choise) terutama untuk pasien ansilostomiasis. Dosis
       diberikan 0,12 ml/kgBB, dosisi tunggal tidak boleh lebih
       dari 5 ml. Pengobatan dapat diulang 2 minggu kemudian
       dilakukan pemeriksaan telur tinja tetap positif. Pemberian
       obat ini sebaiknya dalam keadaan perut kosong disertai
       pemberian 30 g MgSO4. kontraindikasi pemberian obat ini
       pada pasien alkoholisme, kelainan pencernaan, konstipasi.
   -   Befanium hidroksinaftat. Obat pilahan utama untuk
       ankilostomiasis dan baik untuk pengobatan massal pada
       anak. Obat ini relatif tidak toksik. Dosis diberikan 5 g 2 kali
       sehari, dan dapat diulang bilamana diperlukan. Untuk
       pengobatan necator americanus, dosis diberikan untuk 3
       hari.
   -   Pirantel pamoat. Obat ini cukup efektif dengan toksisitas
       yang rendah dan dosi yang diberikan 10 mg/kgBB/hari
       sebagai dosis tunggal.
   -   Heksilresinol. Diberikan sebagai obat alternatif yang cukup
       efektif dan dosis pemberian obat ini sama seperti pada
       pengobatn askariasis
20



       g. Pencegahan (Soedarmo, 2008)

          -   pemberantasan sumber infeksi pada populasi

          -   perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi / lingkungan

          -   mencegah terjadinya kontak dengan larva dengan cara
              memakai sandal atau sepatu

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya cacingan
       Menurut Peter J. Hotes (2003:17) mengemukakan bahwa faktor-
   faktor risiko (Risk factors) yang dapat mempengaruhi terjadinya
   penyakit cacingan yang penyebarannya melalui tanah antara lain
   (repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21589/4/Chapter%20II.pdf
   )
   1. Lingkungan
          Penyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh
       terutama di daerah kota atau daerah pinggiran (Peter J. Hotes,
       2003:17). Sedangkan menurut Phiri (2000) yang dikutip Peter J.
       Hotes bahwa jumlah prevalensi Ascaris lumbricoides banyak
       ditemukan di daerah perkotaan, sedangkan menurut Albonico yang
       dikutip peter J. Hotes bahwa jumlah prevalensi tertinggi ditemukan
       di daerah pinggiran atau pedesaan yang masyarakat sebagian besar
       masih hidup dalam kekurangan.
       1.1 Kepemilikan jamban
              Bertambahnya penduduk yang tidak seimbang dengan area
          pemukiman timbul masalah yang disebabkan pembuangan
          kotoran manusia yang meningkat. Penyebaran penyakit yang
          bersumber pada kotoran manusia (faeces) dapat melalui
          berbagai macam jalan atau cara. Peranan tinja dalam
          penyebaran penyakit sangat besar. Di samping dapat langsung
          mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, air, tanah,
          serangga (lalat, kecoa, dan sebagainya), dan bagian-bagian
          tubuh dapat terkontaminasi oleh tinja tersebut. Benda-benda
21



      yang telah terkontaminasi oleh tinja dari seseorang yang sudah
      menderita suatu penyakit tertentu merupakan penyebab
      penyakit bagi orang lain. Kurangnya perhatian terhadap
      pengelolaan tinja disertai dengan cepatnya pertambahan
      penduduk, akan mempercepat penyebaran penyakit-penyakit
      yang ditularkan lewat tinja. Penyakit yang dapat disebarkan
      oleh tinja manusia antara lain: tipus, disentri, kolera,
      bermacam-macam cacing (cacing gelang, cacing kremi, cacing
      tambang, cacing pita), schistosomiasis, dan sebagainya
   1.2 Lantai rumah
           Rumah sehat secara sederhana yaitu bangunan rumah harus
      cukup kuat, lantainya mudah dibersihkan.
   1.3 Ketersediaan air bersih
           Akibat air yang tidak sehat dapat menimbulkan: gangguan
      kesehatan seperti penyakit perut (kolera, diare, disentri,
      keracunan, dan penyakit perut lainnya), penyakit cacingan
      (misalnya: cacing pita, cacing gelang, cacing kremi, demam
      keong, kaki gajah).
2. Tanah
      Penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya
   tanah dengan tinja yang mengandung telur Trichuris trichiura,
   telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah dengan suhu
   optimal ± 300C (Depkes RI, 2004). Tanah liat dengan kelembapan
   tinggi dan suhu yang berkisar antara 250C-300C sangat baik untuk
   berkembangnya telur Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk
   infektif. Sedangkan untuk pertumbuhan larva Necator americanus
   yaitu memerlukan suhu optimum 280C-320C dan tanah gembur
   seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih
   rendah yaitu 230C-250C (Srisasi Gandahusada, 2006).
3. Iklim
      Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu
   di daerah tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi.
22



   Sedangkan untuk Necator americanus dan Ancylostoma duodenale
   penyebaran ini paling banyak di daerah panas dan lembab.
   Lingkungan yang paling cocok sebagai habitat dengan suhu dan
   kelembapan yang tinggi terutama di daerah perkebunan dan
   pertambangan (Srisasi Gandahusada, 2006).
4. Perilaku
   4.1 Kebiasaan memakai alas kaki
          Kesehatan anak sangat penting karena kesehatan semasa
      kecil menentukan kesehatan pada masa dewasa. Anak yang
      sehat akan menjadi manusia dewasa yang sehat. Membina
      kesehatan semasa anak berarti mempersiapkan terbentuknya
      generasi yang sehat akan memperkuat ketahanan bangsa.
      Pembinaan kesehatan anak dapat dilakukan oleh petugas
      kesehatan, ayah, ibu, saudara, anggota keluarga anak itu serta
      anak itu sendiri. Anak harus menjaga kesehatannya sendiri
      salah satunya membiasakan memakai alas/sandal (Depkes RI,
      1998).
          Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah
      gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator
      americanus 28-320C sedangkan untuk Ancylostoma duodenale
      lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antara lain ialah
      memakai sandal atau sepatu (Srisasi Gandahusada, 2006).
   4.2 Kebiasaan mencuci tangan
          Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan
      karena biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam
      mulut, atau makan nasi tanpa cuci tangan, namun demikian
      sesekali orang dewasa juga perutnya terdapat cacing.
   4.3 Kebiasaan memotong kuku
          Kebersihan perorangan penting untuk pencegahan. Kuku
      sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari penularan
      cacing dari tangan ke mulut (Srisasi Gandahusada, 2006).
   4.4 Kebiasaan makan
23



                Kebiasaan penggunaan faeces manusia sebagai pupuk
          tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah,
          persediaan air rumah tangga dan makanan tertentu, misalnya
          sayuran akan meningkatkan jumlah penderita helminthiasis.
          Demikian juga kebiasaan makan masyarakat, menyebabkan
          terjadinya penularan penyakit cacing tertentu. Misalnya,
          kebiasaan makan secara mentah atau setengah matang, ikan,
          kerang, daging dan sayuran. Bila dalam makanan tersebut
          terdapat kista atau larva cacing, maka siklus hidup cacingnya
          menjadi lengkap, sehingga terjadi infeksi pada manusia.
   5. Sosial Ekonomi
          Sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya cacingan menurut
      Tshikuka (1995) dikutip Peter J. Hotes (2003:22) yaitu faktor
      sanitasi yang buruk berhubungan dengan sosial ekonomi yang
      rendah.
   6. Status Gizi
          Cacingan     dapat   mempengaruhi      pemasukan      (intake),
      pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme
      makanan. Secara keseluruhan (kumulatif), infeksi cacingan dapat
      menimbulkan kekurangan zat gizi berupa kalori dan dapat
      menyebabkan kekurangan protein serta kehilangan darah. Selain
      dapat menghambat perkembangan fisik,anemia, kecerdasan dan
      produktifitas kerja, juga berpengaruh besar dapat menurunkan
      ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya
e. Kerugian Akibat Kecacingan

      Cacingan      mempengaruhi    pemasukan     (intake),   pencernaan
   (digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara
   kumulatif, infeksi kecacingan menimbulkan kerugian baik berupa
   kalori, protein dan darah. Selin dapat menghambat perkembangan
   fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja, bahkan pada gilirannnya
   dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit
24



        lainnya (Surat Keputusan Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI,
        2006).
2.      Konsep Pengetahuan
     a. Pengertian
           Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil
        penggunaan panca inderamya. Berbeda dengan kepercayaan (beliefes),
        takhayul (superstition), dan penerangan-penerangan yang keliru
        (misinformation) (Soekanto, 2003). Pengetahuan adalah merupakan
        hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang
        pernah dialami secara sengaja maupun tidak sengaja dan ini terjadi
        setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek
        tertentu (wahit, dan kawan-kawan 2006). Perilaku yang didasari oleh
        pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak
        didasari oleh pengetahuan, sebab perilaku itu terjadi akibat adanya
        paksaan atau aturan yang mengharuskan untuk berbuat (Wahit
        Mubarak, 2005).
           Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah melakukan
        pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
        pancaindra   manusia,       yakni   indra   penglihatan,   pendengaran,
        penciuman, ras, dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia
        diperolah melalui mata dan telinga (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).
           Penelitian rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang
        mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam diri orang tersebut
        terjadi peroses yang berurutan, yakni (Soekidjo Notoatmodjo, 2007) :
        1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam
           arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
        2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut.
           Disini sikap subjek sudah mulai timbul.
        3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya
           stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden
           sudah lebih baik lagi.
25



   4. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai
       dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
   5. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
       pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
       Namun        demikian,   dari   penelitian    selanjutnya    Rogers
   menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-
   tahap di atas.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
       Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang
   yaitu (Wahit Mubarak, 2005) :
   1. Pendidikan
          Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada
       orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami.
       Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang
       semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada
       akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya.
       Sebaliknya, jika seseorang tingkan pendidikannya rendah, akan
       menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan,
       informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan.
   2. Pekerjaan
          lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh
       pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak
       langsung.
   3. Umur
          dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan
       pada aspek fisik dan psikologis (mental). Pertumbuhan pada fisik
       secara garis besar ada empat kategori perubahan Pertama,
       perubuhan ukuran, kedua, perubahan proporsi, ketiga, hilangnya
       ciri-ciri lama, keempat, timbulnya ciri-ciri baru. Ini terjadi akibat
       pematangan fungsi organ.
   4. Minat
26



             Minat sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi
         terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan
         menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperolah pengetahuan yang
         lebih mendalam.
      5. Pengalaman
             Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami
         seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
      f. Kebudayaan
             Kebudayaan lingkungan sekitar, kebudayaan dimana kita hidup
         dan di besarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan
         sikap kita. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk
         menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin masyarakat
         sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan
         lingkungan,    karena   lingkungan    sangat   berpengaruh     dalam
         pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang.
      g. Informasi
             Kemudahan      untuk   memperoleh      suatu   informasi   dapat
         membantu       mempercepat     seseorang       untuk    memperoleh
         pengetahuan yang baru.
3. Konsep Sikap
   a. Pengertian
         Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari
      seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dapat disimpulkan
      bahwa sikap tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi hanya dapat
      ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang ditutup. Sikap secara
      nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap
      stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi
      yang   bersifat   emosional   terhadap   stimulus     sosial   (Soekidjo
      Notoatmodjo, 2007).
         Newcomb, salah seorang psikologis sosial, menyatakan bahwa
      sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan
      merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu
27



      tindakan atau aktivitas. Akan tetapi merupakan predisposisi tindakan
      suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan
      merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap
      merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dilingkungan
      tertentu sebagai suatu pengahayatan terhadap objek (Soekidjo
      Notoatmodjo, 2007).
   b. Komponen sikap
         Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 komponen
      pokok, yaitu (Soekidjo Notoatmodjo, 2007) :
      1. kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
      2. kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
      3. kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
         Ketiga komponen tersebut membentuk sikap yang utuh (total
      attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,
      keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
   c. Pengukuran Sikap
         Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak
      langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau
      pernyataan responden terhadap suatu objek (Soekidjo Notoatmodjo,
      2007).
4. Konsep Perilaku
   a. Pengertian
         Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas
      organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari
      sudut pandang biologis semua mahluk hidup mulai tumbuh-tumbuhan,
      binatang sampai dengan manusia itu berprilaku, karena mereka
      mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan
      perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari
      manusia itu sendriri yang mempunyai bentangan yang sangat luas
      anatara lain : berjalan, berbicara menangis, tertawa, kuliah, menulis,
      membaca, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah
      semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung,
28



   maupun yang tidak diamati oleh pihak luar (Soekidjo Notoatmodjo,
   2007).
      Menurut Robert Kwick (1974) perilaku adalah tindakan atau
   perbuatan suatu oraganisme yang dapat diamati dan bahkan dapat
   dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu
   kecendrungan untuk mengadakan tindakan terhadap duatu objek,
   dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk
   menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap hanyalah
   sebagian dari perilaku manusia (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).
      Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme
   tersebut dipengaruhi baik oleh faktor genetik (keturunan) dan
   lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan
   lingkungan itu merupakan penentu dari perilaku manusia. Hereditas
   atau faktor keturunan adalah konsepsi dasar atau modal untuk
   perkembangan perilaku      mahluk    hidup   itu   untuk selanjutnya.
   Sedangkan lingkungan adalah kondisi atau lahan untuk perkembangan
   perilaku tersebut (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).
      Skiner (1938) seoarang ahli psikologi, merumuskan bahwa
   perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
   (rangsangan dari luar). Oleh karena itu terjadi melalui proses adanya
   stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut
   merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus
   Oragnisme Respons (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).
b. Bentuk-bentuk perilaku
     Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon
   organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar
   objek tersebut. Respon ini berbentuk 2 macam, yakni (Soekidjo
   Notoatmodjo, 2007) :
   1. Bentuk pasif adalah respon internal, yaitu yang terjadi didalam diri
      manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain,
      misalnya berpikir, tangggapan atau sikap batin dan pengetahuan.
29



   2. Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi
      secara langsung.
      Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dan sikap merupakan
   respon seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang masih
   bersifat terselubung, dan disebut ‘covert bahviour’. Sedangkan
   tindakan nyata seseorang sebagai respon terhadap stimulus (practice)
   adalah ‘overt bahaviour’ (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).
c. Perilaku kesehatan
     Menurut Skiner Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu
  respom seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan
  sakit dan penyakit, sistem pelayan kesehatan, makanan serta
  lingkungan. Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3
  kelompok (Soekidjo Notoatmodjo, 2007) :
  1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health Maintanance)
        Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara
     atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk
     penyembuhan bilamana sakit. Oleh karena itu, perilaku pemeliharaan
     kesehatan terdiri dari 3 aspek yaitu :
     a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila
        sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari
        penyakit.
     b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan
        sehat. Perlu dijelaskan di sini,bahwa kesehatan itu sangat dinamis
        dan relatif, maka dari itu orang yang sehat pun perlu diupayakan
        supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
     c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman
        dapat memelihara serta meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi
        sebaliknnya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab
        menurunya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan
        penyakit. Hal ini tergantung pada perilaku orang terhadap
        makanan dan minuman tersebut.
30



         2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan
            kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (Healt
            seeking behaviour)
               Perilaku ini menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat
            menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan dan perilaku ini
            dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari
            pengobatan ke luar negeri.
         3. Perilaku kesehatan lingkungan
               Yaitu    bagaimana    seseorang    merespons   lingkungan,   baik
            lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya, sehingga
            lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya.
II.2. Penelitian Terkait
        Bebrapa penelitian yang terkait yang pernah dilakukan mengenai
     penyakit cacingan antara lain sebagai berikut :
     1. Penelitian yang dilakukan oleh Hariyani pada tahun 2010 dengan judul
        hubungan hygiene sanitasi perorangan dengan kejadian penyakit
        cacingan pada siswa Sekolah Dasar Yayasan Dinamika Indonesia Bantar
        Gerbang Bekasi Jawa Barat . penelitian ini menggunakan desain cross
        sectional dan jumlah sampel yang digunakan 186 siswa. Hasil dari
        penelitian ini didapatkan angka kejadian cacingan pada Sekolah Dasar
        Dinamika Indonesia sebesar 34%. Dari hasil uji statistik diperoleh
        adanya hubungan antara       hygiene seseorang dari kebiasaan mencuci
        tangan dengan baik dan kebersihan kuku dengan kejadian infeksi
        cacingan pada Sekolah Dasar Dinamika Indonesia Bantar Gerbang
        Bekasi Jawa Barat.

     2. Penelitian yang dilakukan oleh Luh Gde Nita Sri Wahyuningsih pada
        tahun 2009 dengan judul hubungan pengetahuan tentang cacingan
        dengan perilaku pencegahan cacingan pada siswa kelas IV dan V
        Sekolah Dasar Negeri 01 Krutut Kecamatan Limo Depok. Pada
        penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan jumlah sampel
        yang digunakan sebanyak 143 siswa. Hasil penelitian menunjukkan
        responden yang memiliki nilai pengetahuan tinggi tentang cacingan
31



   sebanyak 82 orang (57,3%) dan responden yang memiliki pengetahuan
   yang rendah tentang cacingan sebanyak 61 orang (42,7%). Dari hasil uji
   statistik adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang
   cacingan dengan perilaku pencegahan cacingan pada siswa kelas IV dan
   V SD Negeri 01 Krutut, dengan P value 0,001.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Juanda tahun 2005 dengan judul faktor-
   faktor yang berhubungan dengan kejadian cacingan dan hubungan
   kejadian cacingan dengan anemia pada anak SD di Komplek SD Muara
   Ciujung Barat Kecamatan Rangka Sibitung Kabupaten Lebak. Pada
   penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan jumlah sampel
   yang diambil secara acak sebanyak 125 orang. Hasil penelitian
   menunjukkan responden yang memiliki pengetahuan yang rendah
   tentang penyakit cacingan sebanyak 84 orang (67,2%) dan responden
   yang memiliki pengetahuan tinggi tentang penyakit cacingan sebanyak
   41 orang (32,8%). Dari hasil uji statistic diperoleh adanya hubungan
   yang signifikan antara hubungan tentang cacingan (p=0,000) dan
   perilaku hidup sehat yang meliputi cuci tangan sebelum makan, cuci
   tangan dengan sabun, pakai alas kaki, bauang air besar di WC, tidak
   jajan sembarangan dan membersihkan kuku tangam (P=0,021) dengan
   kejadian cacingan.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Nina Septiana Dwi Indarti pada tahun
   2004 dengan judul hubungan perilaku anak sehari-hari dengan kejadian
   cacingan pada anak Sekolah Dasar di 10 Propinsi di Indonesia. Pada
   penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Dengan jumlah
   sampel yang digunakan sebanyak 100 anak yang dipilih berdasarkan
   random sederhana. Hasil dari penelitian ini didapatkan angka prevalensi
   cacingan di 10 propinsi di Indonesia adalah sebesar 31%, dengan
   prevalensi propinsi tetinggi adalah Bangka Belitung sebesar 80%. Dari
   hasil uji pengettatistik didapatkan adanya hubungan perilaku anak
   sehari-hari yaitu dari kebiasaan buang air besar, memakai alas kaki,
32



          mencuci tangan sebelum makan dan buanng air besar dengan kejadian
          cacingan pada Sekolah Dasar di 10 propinsi di Indonesia.

    5. Penelitian yang dilakukan oleh D. Anwar Musadad pada tahun 1998
          dengan judul studi perbandingan pengetahuan, sikap dan tindakan anak-
          anak SD dalam pemberantasan penyakit cacing perut di 2 sekolah dasar
          di Kecamatan Tanjung Priok Jakarta. Pada penelitian ini menggunakan
          desain cross sectional. Hasil penelitian ini didapatkan pengetahuan,
          sikap dan tindakan murid-murid kelas IV, V dan VI SDN Kebun
          Bawang 02 Petang dalam pemberantasan penyakit cacing perut lebih
          baik dibandingkan dengan pengetahuan, sikap dan tindakan SDN Bambu
          02 Petang. Pada SD binaan, pengetahuan, sikap dan tindakan murid-
          murid kelas IV, V dan IV SD dapat meningkatkan pemberantasan
          penyakit cacingan.

II.3. Kerangka Teori

      Faktor Host                                Faktor Environment
      -    Pengetahuan                               -   Lingkungan
      -    Sikap                                         -   Kepemilikan jamban
      -    Perilaku                                      -   Ketersedian air
           -   Kebiasaan mencuci tangan                      bersih
           -   Kebiasaan memotang                        -   Lantai rumah
               kuku                                  -   Tanah
           -   Kebiasaan makan                       -   Iklim
               makanan mentah
           -   Kebiasaan memakai alas
               kaki
      -    Sosial ekonomi
      -    Status gizi



                                 Penyakit Kecacingan
33



II.4. Kerangka Konsep

       Variabel Independen                              Variabel Dependen

        Pengetahuan

        Sikap                                             Penyakit Kecacingan

        Perilaku


II.5. Hipotesis
         Pada hakikatnya hipotesis adalah sebuah pernyataan tentang hubungan
     yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat diuji secara
     empiris. Biasanya hipotesis terdiri dari pernyataan terhadap ada atau
     tidaknya hubungan antara dua variabel, yaitu variabel independen dan
     variabel dependen (Soekidjo Notoatmodjo, 2005).
         Adapun hipotesis dari penelitian ini yaitu sebagai berikut :
     1. Ada hubungan antara penggetahuan siswa kelas V terhadap penyakit
         cacingan.
     2. Ada hubungan antara sikap siswa kelas V terhadap penyakit cacingan.
3.     Ada hubungan antara perilaku siswa kelas V terhadap penyakit cacingan.

Más contenido relacionado

La actualidad más candente

Cacing tambang klp 77
Cacing tambang klp 77Cacing tambang klp 77
Cacing tambang klp 77sinupid
 
PPT parasitologi - strongiloides stercoralis & trichinella spiralis
PPT parasitologi - strongiloides stercoralis & trichinella spiralisPPT parasitologi - strongiloides stercoralis & trichinella spiralis
PPT parasitologi - strongiloides stercoralis & trichinella spiralisRiskymessyana99
 
IDENTIFIKASI NYAMUK
IDENTIFIKASI NYAMUKIDENTIFIKASI NYAMUK
IDENTIFIKASI NYAMUKArini Utami
 
Sosialisasi flu burung
Sosialisasi flu burungSosialisasi flu burung
Sosialisasi flu burungJoni Iswanto
 
Enterobius vermicularis
Enterobius vermicularisEnterobius vermicularis
Enterobius vermicularisMulkan Fadhli
 
Ppt parasit kelompok iv
Ppt parasit kelompok ivPpt parasit kelompok iv
Ppt parasit kelompok ivFredy Talebong
 
Cimex lectularius
Cimex lectulariusCimex lectularius
Cimex lectulariusIshaqHaris
 
Bahan kuliah embriologi sistem pernapasan
Bahan kuliah embriologi sistem pernapasanBahan kuliah embriologi sistem pernapasan
Bahan kuliah embriologi sistem pernapasanDhanie Pradoto
 
Lap. parasitologi ii nyamuk
Lap. parasitologi ii nyamukLap. parasitologi ii nyamuk
Lap. parasitologi ii nyamukArini Utami
 
Materi penyuluhan filariasis
Materi penyuluhan filariasisMateri penyuluhan filariasis
Materi penyuluhan filariasisRegina Rere
 
Kutu busuk, kutu kepala, kutu kelamin dan Pengendaliannya
Kutu busuk, kutu kepala, kutu kelamin dan PengendaliannyaKutu busuk, kutu kepala, kutu kelamin dan Pengendaliannya
Kutu busuk, kutu kepala, kutu kelamin dan Pengendaliannyasiska fiany
 
Dengue hemoragic fever (dhf)
Dengue hemoragic fever (dhf)Dengue hemoragic fever (dhf)
Dengue hemoragic fever (dhf)Ramlah Al Baseri
 
Porifera leucosolenia viriabilis
Porifera leucosolenia viriabilisPorifera leucosolenia viriabilis
Porifera leucosolenia viriabilisSinggih Azwar Anas
 

La actualidad más candente (20)

Cacing tambang klp 77
Cacing tambang klp 77Cacing tambang klp 77
Cacing tambang klp 77
 
Entomologi kedokteran
Entomologi kedokteranEntomologi kedokteran
Entomologi kedokteran
 
PPT parasitologi - strongiloides stercoralis & trichinella spiralis
PPT parasitologi - strongiloides stercoralis & trichinella spiralisPPT parasitologi - strongiloides stercoralis & trichinella spiralis
PPT parasitologi - strongiloides stercoralis & trichinella spiralis
 
IDENTIFIKASI NYAMUK
IDENTIFIKASI NYAMUKIDENTIFIKASI NYAMUK
IDENTIFIKASI NYAMUK
 
Sosialisasi flu burung
Sosialisasi flu burungSosialisasi flu burung
Sosialisasi flu burung
 
Enterobius vermicularis
Enterobius vermicularisEnterobius vermicularis
Enterobius vermicularis
 
Ppt parasit kelompok iv
Ppt parasit kelompok ivPpt parasit kelompok iv
Ppt parasit kelompok iv
 
Mansonia
MansoniaMansonia
Mansonia
 
Cimex lectularius
Cimex lectulariusCimex lectularius
Cimex lectularius
 
Bahan kuliah embriologi sistem pernapasan
Bahan kuliah embriologi sistem pernapasanBahan kuliah embriologi sistem pernapasan
Bahan kuliah embriologi sistem pernapasan
 
ENTAMOEBA HISTOLYTICA
ENTAMOEBA HISTOLYTICAENTAMOEBA HISTOLYTICA
ENTAMOEBA HISTOLYTICA
 
Myriapoda (Chilopoda)
Myriapoda (Chilopoda)Myriapoda (Chilopoda)
Myriapoda (Chilopoda)
 
Lap. parasitologi ii nyamuk
Lap. parasitologi ii nyamukLap. parasitologi ii nyamuk
Lap. parasitologi ii nyamuk
 
Materi penyuluhan filariasis
Materi penyuluhan filariasisMateri penyuluhan filariasis
Materi penyuluhan filariasis
 
Soal dan Jawaban Bakteriologi
Soal dan Jawaban BakteriologiSoal dan Jawaban Bakteriologi
Soal dan Jawaban Bakteriologi
 
Kutu busuk, kutu kepala, kutu kelamin dan Pengendaliannya
Kutu busuk, kutu kepala, kutu kelamin dan PengendaliannyaKutu busuk, kutu kepala, kutu kelamin dan Pengendaliannya
Kutu busuk, kutu kepala, kutu kelamin dan Pengendaliannya
 
Dengue hemoragic fever (dhf)
Dengue hemoragic fever (dhf)Dengue hemoragic fever (dhf)
Dengue hemoragic fever (dhf)
 
Arachnida
ArachnidaArachnida
Arachnida
 
Helmintologi
 Helmintologi Helmintologi
Helmintologi
 
Porifera leucosolenia viriabilis
Porifera leucosolenia viriabilisPorifera leucosolenia viriabilis
Porifera leucosolenia viriabilis
 

Destacado

Sistem peredaran-darah lapooran
Sistem peredaran-darah lapooranSistem peredaran-darah lapooran
Sistem peredaran-darah lapooranJeending Wong
 
Ascariasis final
Ascariasis finalAscariasis final
Ascariasis finalNEB2011
 
Penyakit kecacingan
Penyakit kecacinganPenyakit kecacingan
Penyakit kecacinganAchmad Nur
 
Child health education
Child health education Child health education
Child health education Vivianaemerald
 
02modulpengajaranpendkesihatanthn1 120223235428-phpapp02 (1)
02modulpengajaranpendkesihatanthn1 120223235428-phpapp02 (1)02modulpengajaranpendkesihatanthn1 120223235428-phpapp02 (1)
02modulpengajaranpendkesihatanthn1 120223235428-phpapp02 (1)Cik BaCo
 
LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI DASAR 1
LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI DASAR 1LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI DASAR 1
LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI DASAR 1Awe Wardani
 
36 Jenis Penyakit
36 Jenis Penyakit36 Jenis Penyakit
36 Jenis Penyakitazmihamid
 
Ascaris Lumbricoides Dan Trichuris Trichiura
Ascaris Lumbricoides Dan Trichuris TrichiuraAscaris Lumbricoides Dan Trichuris Trichiura
Ascaris Lumbricoides Dan Trichuris Trichiurarika ferlianti
 
Infeksi cacing pada manusia
Infeksi cacing pada manusiaInfeksi cacing pada manusia
Infeksi cacing pada manusiaBudi Riyanto
 
KONSEP PENJAGAAN KESIHATAN PRIMER
KONSEP PENJAGAAN KESIHATAN PRIMERKONSEP PENJAGAAN KESIHATAN PRIMER
KONSEP PENJAGAAN KESIHATAN PRIMERMuhammad Nasrullah
 

Destacado (20)

Makalah cacing
Makalah cacingMakalah cacing
Makalah cacing
 
Kti 10
Kti 10Kti 10
Kti 10
 
Ascaris.ppt
Ascaris.pptAscaris.ppt
Ascaris.ppt
 
Sistem peredaran-darah lapooran
Sistem peredaran-darah lapooranSistem peredaran-darah lapooran
Sistem peredaran-darah lapooran
 
Maklumat penyakit
Maklumat penyakitMaklumat penyakit
Maklumat penyakit
 
Hepatitis abc
Hepatitis abcHepatitis abc
Hepatitis abc
 
Ascariasis final
Ascariasis finalAscariasis final
Ascariasis final
 
Kafer stikes amanah
Kafer stikes amanahKafer stikes amanah
Kafer stikes amanah
 
Nemathelmintes
NemathelmintesNemathelmintes
Nemathelmintes
 
Penyakit kecacingan
Penyakit kecacinganPenyakit kecacingan
Penyakit kecacingan
 
Child health education
Child health education Child health education
Child health education
 
02modulpengajaranpendkesihatanthn1 120223235428-phpapp02 (1)
02modulpengajaranpendkesihatanthn1 120223235428-phpapp02 (1)02modulpengajaranpendkesihatanthn1 120223235428-phpapp02 (1)
02modulpengajaranpendkesihatanthn1 120223235428-phpapp02 (1)
 
Cacing Gelang
Cacing GelangCacing Gelang
Cacing Gelang
 
Evaluasi program stbm
Evaluasi program stbmEvaluasi program stbm
Evaluasi program stbm
 
LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI DASAR 1
LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI DASAR 1LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI DASAR 1
LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI DASAR 1
 
36 Jenis Penyakit
36 Jenis Penyakit36 Jenis Penyakit
36 Jenis Penyakit
 
KEGAGALAN GINJAL
KEGAGALAN GINJALKEGAGALAN GINJAL
KEGAGALAN GINJAL
 
Ascaris Lumbricoides Dan Trichuris Trichiura
Ascaris Lumbricoides Dan Trichuris TrichiuraAscaris Lumbricoides Dan Trichuris Trichiura
Ascaris Lumbricoides Dan Trichuris Trichiura
 
Infeksi cacing pada manusia
Infeksi cacing pada manusiaInfeksi cacing pada manusia
Infeksi cacing pada manusia
 
KONSEP PENJAGAAN KESIHATAN PRIMER
KONSEP PENJAGAAN KESIHATAN PRIMERKONSEP PENJAGAAN KESIHATAN PRIMER
KONSEP PENJAGAAN KESIHATAN PRIMER
 

Similar a CEKINGAN

Similar a CEKINGAN (20)

PENYAKIT KECACINGAN (klp.7).pptx
PENYAKIT KECACINGAN (klp.7).pptxPENYAKIT KECACINGAN (klp.7).pptx
PENYAKIT KECACINGAN (klp.7).pptx
 
Makalah penyakit kecacingan
Makalah penyakit kecacinganMakalah penyakit kecacingan
Makalah penyakit kecacingan
 
Parasitologi. Nematoda
Parasitologi. NematodaParasitologi. Nematoda
Parasitologi. Nematoda
 
Bahan ajar2 nemathelminthes
Bahan ajar2 nemathelminthesBahan ajar2 nemathelminthes
Bahan ajar2 nemathelminthes
 
Helmintologi
 Helmintologi Helmintologi
Helmintologi
 
Helmintologi
 Helmintologi Helmintologi
Helmintologi
 
Ankilostmiasis dan necatoriasis
Ankilostmiasis dan necatoriasisAnkilostmiasis dan necatoriasis
Ankilostmiasis dan necatoriasis
 
Thrichuris trichiura
Thrichuris trichiuraThrichuris trichiura
Thrichuris trichiura
 
Miasis
MiasisMiasis
Miasis
 
Usus converted
Usus convertedUsus converted
Usus converted
 
Cacing nematoda
Cacing nematodaCacing nematoda
Cacing nematoda
 
nematoda usus
nematoda ususnematoda usus
nematoda usus
 
ancylostama duodenale .ppt
ancylostama duodenale .pptancylostama duodenale .ppt
ancylostama duodenale .ppt
 
Taenia solium.
Taenia solium.Taenia solium.
Taenia solium.
 
Materi 4
Materi 4Materi 4
Materi 4
 
SERANGGA SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT TANAMAN
SERANGGA SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT TANAMANSERANGGA SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT TANAMAN
SERANGGA SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT TANAMAN
 
Vektor penyakit.pptx
Vektor penyakit.pptxVektor penyakit.pptx
Vektor penyakit.pptx
 
Helmintologi tm8
Helmintologi tm8Helmintologi tm8
Helmintologi tm8
 
MATERI TENTANG KECACINGAN
MATERI TENTANG KECACINGAN MATERI TENTANG KECACINGAN
MATERI TENTANG KECACINGAN
 
Pengaruh fasciolopsis buski terhadap anemi di desa kalumpang dalam
Pengaruh fasciolopsis buski terhadap anemi di desa  kalumpang dalamPengaruh fasciolopsis buski terhadap anemi di desa  kalumpang dalam
Pengaruh fasciolopsis buski terhadap anemi di desa kalumpang dalam
 

Más de REISA Class

Antibiotika resistensi
Antibiotika resistensiAntibiotika resistensi
Antibiotika resistensiREISA Class
 
perkembangan-sistem-syaraf
perkembangan-sistem-syarafperkembangan-sistem-syaraf
perkembangan-sistem-syarafREISA Class
 
jenis kulit dan produksi
jenis kulit dan produksijenis kulit dan produksi
jenis kulit dan produksiREISA Class
 
gastritis (magh)
gastritis (magh) gastritis (magh)
gastritis (magh) REISA Class
 
pengantar kkewarganegaraan
pengantar kkewarganegaraanpengantar kkewarganegaraan
pengantar kkewarganegaraanREISA Class
 
Anatomy and embryology of the eye 2011
Anatomy and embryology of the eye 2011Anatomy and embryology of the eye 2011
Anatomy and embryology of the eye 2011REISA Class
 
perawakan-pendek
perawakan-pendekperawakan-pendek
perawakan-pendekREISA Class
 
Parameter pertumbuhan pada anak - BMD
Parameter pertumbuhan pada anak - BMDParameter pertumbuhan pada anak - BMD
Parameter pertumbuhan pada anak - BMDREISA Class
 
karakteristik anak usia dini
karakteristik anak usia dinikarakteristik anak usia dini
karakteristik anak usia diniREISA Class
 
Deteksi dini gangguan tumbang
Deteksi dini gangguan tumbangDeteksi dini gangguan tumbang
Deteksi dini gangguan tumbangREISA Class
 
perbandingan pertumbuhan pada anak laki-laki dan perempuan
perbandingan pertumbuhan pada anak laki-laki dan perempuanperbandingan pertumbuhan pada anak laki-laki dan perempuan
perbandingan pertumbuhan pada anak laki-laki dan perempuanREISA Class
 
penyimpanan pada pertumbuhan anak
penyimpanan pada pertumbuhan anakpenyimpanan pada pertumbuhan anak
penyimpanan pada pertumbuhan anakREISA Class
 
mengukur pertumbuhan anak
mengukur pertumbuhan anakmengukur pertumbuhan anak
mengukur pertumbuhan anakREISA Class
 
Ciri bayi normal
Ciri bayi normalCiri bayi normal
Ciri bayi normalREISA Class
 
Menyusui bagi ibu dan anak
Menyusui bagi ibu dan anakMenyusui bagi ibu dan anak
Menyusui bagi ibu dan anakREISA Class
 
Menyusui bagi anak (page15)
Menyusui bagi anak (page15)Menyusui bagi anak (page15)
Menyusui bagi anak (page15)REISA Class
 

Más de REISA Class (20)

Bakteri
BakteriBakteri
Bakteri
 
sindrom down
sindrom downsindrom down
sindrom down
 
Antibiotika resistensi
Antibiotika resistensiAntibiotika resistensi
Antibiotika resistensi
 
perkembangan-sistem-syaraf
perkembangan-sistem-syarafperkembangan-sistem-syaraf
perkembangan-sistem-syaraf
 
jenis kulit dan produksi
jenis kulit dan produksijenis kulit dan produksi
jenis kulit dan produksi
 
lipid
lipidlipid
lipid
 
gastritis (magh)
gastritis (magh) gastritis (magh)
gastritis (magh)
 
pengantar kkewarganegaraan
pengantar kkewarganegaraanpengantar kkewarganegaraan
pengantar kkewarganegaraan
 
Anatomy and embryology of the eye 2011
Anatomy and embryology of the eye 2011Anatomy and embryology of the eye 2011
Anatomy and embryology of the eye 2011
 
perawakan-pendek
perawakan-pendekperawakan-pendek
perawakan-pendek
 
Parameter pertumbuhan pada anak - BMD
Parameter pertumbuhan pada anak - BMDParameter pertumbuhan pada anak - BMD
Parameter pertumbuhan pada anak - BMD
 
karakteristik anak usia dini
karakteristik anak usia dinikarakteristik anak usia dini
karakteristik anak usia dini
 
Deteksi dini gangguan tumbang
Deteksi dini gangguan tumbangDeteksi dini gangguan tumbang
Deteksi dini gangguan tumbang
 
perbandingan pertumbuhan pada anak laki-laki dan perempuan
perbandingan pertumbuhan pada anak laki-laki dan perempuanperbandingan pertumbuhan pada anak laki-laki dan perempuan
perbandingan pertumbuhan pada anak laki-laki dan perempuan
 
Hormon
HormonHormon
Hormon
 
penyimpanan pada pertumbuhan anak
penyimpanan pada pertumbuhan anakpenyimpanan pada pertumbuhan anak
penyimpanan pada pertumbuhan anak
 
mengukur pertumbuhan anak
mengukur pertumbuhan anakmengukur pertumbuhan anak
mengukur pertumbuhan anak
 
Ciri bayi normal
Ciri bayi normalCiri bayi normal
Ciri bayi normal
 
Menyusui bagi ibu dan anak
Menyusui bagi ibu dan anakMenyusui bagi ibu dan anak
Menyusui bagi ibu dan anak
 
Menyusui bagi anak (page15)
Menyusui bagi anak (page15)Menyusui bagi anak (page15)
Menyusui bagi anak (page15)
 

Último

PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKARenoMardhatillahS
 
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxPPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxalalfardilah
 
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional DuniaKarakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional DuniaNadia Putri Ayu
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiIntanHanifah4
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfcicovendra
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...Kanaidi ken
 
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaMateri Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaSABDA
 
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2noviamaiyanti
 
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM 2024.pptx
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM  2024.pptxTeknik Menjawab Kertas P.Moral SPM  2024.pptx
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM 2024.pptxwongcp2
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptAcemediadotkoM1
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxSILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxrahmaamaw03
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuHANHAN164733
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfTaqdirAlfiandi1
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSyudi_alfian
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisNazla aulia
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdfShintaNovianti1
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docxbkandrisaputra
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptxPRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptxPCMBANDUNGANKabSemar
 

Último (20)

PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
 
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxPPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
 
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional DuniaKarakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
 
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaMateri Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
 
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
 
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM 2024.pptx
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM  2024.pptxTeknik Menjawab Kertas P.Moral SPM  2024.pptx
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM 2024.pptx
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxSILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptxPRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
 

CEKINGAN

  • 1. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Konsep Terkait 1. Konsep Cacingan a. Pengertian Cacingan atau sering disebut kecacingan merupakan penyekit endemik dan kronik diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan tetapi mengganggu kesehatan tubuh manusia sehingga berakibat menurunkan kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. Kecacingan umumnya akibat infeksi cacing gelang (ascaris lumbricoides), cacing kremi (Oxyuris vermecularis), cacing pita (Taenea solium) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale) (Zulkoni Akhsin, 2007). Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah (Soil Transmitted Helminths) diantaranya yang tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Srisasi Gandahusada, 2006). Cacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh beberapa nematoda saluran cerna yang ditularkan melalui tanah. Penularan dapat terjadi melalui dua cara yaitu infeksi langsung / menelan telur dan larva yang menembus kulit. Kerugian yang ditimbulkan akibat kecacingan sangat besar terhadap perkembangan fisik, intelegensia, dan produktivitas anak yang merupakan generasi penerus bangsa (Aru Sudoyo, 2006).
  • 2. 7 b. Cara Penularan Penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah termasuk dalam keluarga nematoda saluran cerna. Penularan dapat terjadi melalui 2 cara yaitu ( Aru Sudoyo, 2006) : 1. Infeksi langsung Penularan langsung dapat terjadi bila telur cacing dari tepi anal masuk ke mulut tanpa pernah berkembang dulu di tanah. Cara ini terjadi pada cacing kremi (Oxyuris vermicularis) dan trikuriasis (Trichuris trichura). Penularan langsung dapat juga terjadi setelah periode berkembangnya telur ditanah kemudian telur tertelan melelui tangan atau makanan yang tercemar (Ascaris Lumbricoides) 2. Larva menembus kulit Penularan melalui kulit terjadi pada cacing tambang / ankilostomiasis dan strongiloidiasis dimana telur terlebih dahulu menetas di tanah baru kemudian larva filariform menginfeksi melalui kulit. c. Macam-macam Cacing Nematoda Usus Manusia merupakan hospes definitive beberapa nematoda usus. Sebagian besar daripada nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Di antara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan disebut “soil transmitted helminths” yang terpenting bagi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Strongyloides stercoralis, Trichuris trichura dan beberapa spesies Trichostrongylus. Nematoda usus lainnya yang penting bagi manusia adalah Oxyuris vermicularis dan Trichinella spiralis (Srisasi Gandahusada, 2006).
  • 3. 8 1. Ascaris lumbricoides Ascaris lumbricoides adalah caing bulat yang besar dan hidup dalam usus halus manusia (Aru Sudoyo, 2006). Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Penyakit yang disebabkannya disebut askariasis (Srisasi Gandahusada, 2006). a. Morfologi dan daur hidup Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan yang betina 22-35 cm. Stadium dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan tidak dibuahi. Telur yang dibuahi, besarnya kurang lebih 65 x 45 mikron dan yang tidak dibuahi 90 x 40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuia, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini, bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, kemudian naik ke trakea mellaui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan (Srisasi Gandahusada, 2006).
  • 4. 9 Gambar 1. Daur hidup Ascaris lumbricoides (repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21589/4/Chapter%20II.p df). b. Epidemiologi Ascaris lumbricoides dijumpai diseluruh dunia dan diperkirakan 1,3 milyar orang pernah terinfeksi dengan cacing ini. Tidak jarang dijumpai infeksi campuran dengan cacing lain, terutama Tricuris trichiura. Telur yang infektif ditemukan di tanah, yang dapat bertahan bertahun-tahun. Manusia mendapat infeksi dengan cara tertelan telur Ascaris lumbricoides yang infektif (telur yang mengandung larva). Hal ini terjadi karena termakan makanan atau minuman yang tercemar oleh cacing tadi (Soedarmo, 2008). Di indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pasa anak. Frekuensinya antara 60-90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, dibawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah. Di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk. Tanah liat,
  • 5. 10 kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antaran 25-350 C merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif (Srisasi Gandahusada, 2006). c. Patofisiologi Selain itu gangguan dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut sindrom looffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang- kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti berkurangnya nafsu makan, mual, diare, dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan (malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing mengumpal di dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (ileus obstruktive) (Surat Keputusan Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006). d. Gejala klinis Gejala penyakit cacingan memang tidak jelas dan sering dikacaukan dengan penyakit yang lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Penderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah dan konsentrasi belajar kurang. Pada anak-anak yang menderita Askariasis perutnya tampak buncit (karena jumlah cacing dan kembung perut, biasanya matanya pucat dan kotor seperti sakit mata (rembes), dan seperti batuk pilek. Perut sering sakit, diare, dan nafsu makan berkurang. Penderita masih dapat berjalan dan sekolah atau bekerja, sering kali dianggap tidak sakit, sehingga terjadi salah diagnosis dan pengobatan. Secara ekonomis sudah menunjukkan kerugian yaitu menurunkan prodiktivitas kerja
  • 6. 11 dan mengurangi kemampuan belajar (Surat Keputusan Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006). e. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja dan cacing dewasa yang keluar melalui mulut / anus (Pinardi Hadidjaja, 2008). f. Pengobatan Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal pada masyarakat. Untuk perorangan dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya piperasin, pirantel pamoat atau mebendazol. Untuk pengobatan masal perlu beberapa syarat, yaitu (Aru Sudoyo, 2006) : - obat mudah diterima masyarakat - aturan pemakaian sederhana - mempunyai efek samping yang minim - bersifat polivalen, sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing - harganya murah g. Pencegahan Perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi serta lingkungan sangat mempunyai arti dalam penangulangan infeksi cacing gelang ini. Suatu pengalaman oleh E. Kosin pada tahun 1973, telah dilakukan suatu penelitian kontrol askaris di suatu desa di daerah Belawan, sumatera utara, diketahui prevalensi cacing gelang pada anak 85%, setelah pengobatan massal, angka infeksi turun secara drastis menjadi 10%. Tiga bulan kemudian, saat anak-anak tersebut diperiksa kembali, diperoleh hasil yang
  • 7. 12 sangat mengejutkan, yaitu angka infeksi naik menjadi 100%. Setelah dilakukan penelitian, ternyata cacing yang berhasil dikeluarkan dengan pengobatan tadi tersebar di sembarang tempat, berarti terjadi pencemaran tanah disekitar desa dengan telur cacing dan ini merupakan sumber infeksi (Soedarmo, 2008). h. Prognosis Selama tidak terjadi obstruksi oleh cacing dewasa yang bermigrasi, mempunyai prognosis yang baik. Tanpa pengobatan, infeksi cacing dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5 tahun. Dengan pengobatan, kesembuhan diperoleh antara 80-90% (Aru Sudoyo, 2006). 2. Cacing Cambuk (Trichuris trichura) a. Morfologi dan daur hidup Cacing jantang panjangnya kurang kebih 4 cm, dengan bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor melingkar, sedangkan pada cacing betina panjangnya kurang lebih 5 cm, dengan bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor lurus berujung tumpul. Telurnya berukuran kurang lebih 50 x 22 mikron, bentuk seperti tempayan dengan kedua ujung menonjol, berdinding tebal dan berisi larva (Pinardi Hadidjaja, 2008). Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan temapat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif . cara infeksi langsung yaitu bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing
  • 8. 13 turun ke bagaian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari (Srisasi Gandahusada, 2006). Gambar 2. Daur Hidup Trichuris trichiura (Surat Keputusan Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006). b. Epidemiologi Trichuris trichura, cacing ini tersebar diseluruh dunia, tetapi lebih banyak terdapat di daerah panas dan lembab dan sering terlihat bersarma-sama dengan infeksi ascaris. Trichuriasis banyak ditemukan di Asia dimana prevalensinya lebih dari 50% didaerah pedesaan. Di Afrika, prevalensinya 25% dan di Amerika Latin 12% (Soedarmo, 2008). c. Patofisiologi Cacing cambuk pada manusia dapat hidup dalam sekum, dapat juga ditemukan di kolon asendens.pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini menyebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang
  • 9. 14 mengalami prolapsus akibat mengajannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam usus, sehingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Disamping itu rupanya cacing ini mengisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia (Surat Keputusan Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006). d. Gejala klinis Penderita terutama anak-nak dengan infeksi trichuris yang berat dan menahun menunjukkan gejala-gejala nyata seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia, berat badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rectum (Srisasi Gandahusada, 2006). e. Diagnosis Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam tinja (Srisasi Gandahusada, 2006). f. Pengobatan Perawatan umum Higiene pasien diperbaiki dan diberikan diet tinggi kalori, sedangkan anemia dapat diatasi dengan pemberian preparat besi (Aru Sudoyo, 2006). Perawatan spesifik Bila keadaan ringan dan tak menimbulkan gejala, penyakit ini tidak diobati. Tetapi bila menimbulkan gejala, dapat diberikan obat-obat (Aru Sudoyo, 2006) : - Diltiasiamin jodida. Diberikan dengan dosisi 10-15 mg/kgBB/hari, selama 3-5 hari - Stilbazium yodida. Diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB/hari, 2 kali sehari selama 3 hari dan bila diperlukan dapat diberikan dalam waktu yang lebih lama.
  • 10. 15 Efek samping obat ini adalah rasa mual, nyeri pada perut dan warna tinja menjadi merah. - Heksiresorsinol 0,2%. Dapat diberikan 500 ml dlam bentuk enema, dalam waktu 1 jam. - Mebendazol. Diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari, atau dosis tunggal 600 mg g. Pencegahan Didaerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negeri-negeri yang memakai tinja sebagai pupuk (Srisasi Gandahusada, 2006). h. Prognosis Dengan pengobatan yang adekuat, prognosis baik ( Srisasi Gandahusada, 2006). 3. Cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) a. Morfologi dan daur hidup Ancylostoma duodenale (Pinardi Hadidjaja, 2008) - panjang badannya kurang lebih 1 cm, menyerupai huruf C - dibagian mulutnya terdapat dua pasang gigi - cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks pada bagian ekornya. - Cacing betina ekornya runcing Necator americanus (Pinardi Hadidjaja, 2008)
  • 11. 16 - panjang badannya kurang lebih 1 cm, menyerupai huruf S - bagian mulutnya menyerupai benda kitin - cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks pada bagian ekornya - cacing betina ekornya runcing. - Telurnya berukuran kurang lebih 70 x 45 mikron, bulat lonjong, berdinding tipis, kedua kutup mendatar. Didalamnya terdapat beberapa sel. - Larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron, rongga mulut panjang dan sempit. Esofagus dengan dua bulbus dan menempati 1/3 panjang badan bagian anterior. - Larva filariform panjangnya kurang lebih 500 mikron, ruang mulut tertutup, esofagus menempati ¼ panjang badan bagian anterior Daur hidupnya ialah sebagai berikut Telur  larva rabditiform  larva filariform  menembus kulit  kapiler darah  jantung kanan  paru  bronkus  trakea  laring  usus halus. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi A. Duodenale juga mungkin dengan menelan larva filariform (Srisasi Gandahusada, 2006).
  • 12. 17 Gambar 3. Daur hidup Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Surat Keputusan Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006). b. Epidemiologi Insiden tinggi ditemukan pada penduduk Indonesia, terutama di daerah perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah, mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimun untuk Necator americanus 28-320 C, sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah (23-250 C). Pada umunya Ancylostoma duodenale lebih kuat (Srisasi Gandahusada, 2006). c. Patofisiologi Cacing tambang hidup di usus halus manusia melekatkan dengan giginya pada dinding usus dan menghisapnya. Infeksi
  • 13. 18 cacing tambang menyebabkan kerusakan darah secara perlahan-lahan, sehingga penderita mengalami kekurang darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitasnya. Tetapi kekurangan darah (anemia) biasanya tidak dianggap cacingan karena kekurangan darah dapat terjadi oleh banyak sebab anemia (Surat Keputusan Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006). d. Gejala klinis Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis adalah sebagai berikut (Srisasi Gandahusada, 2006) : 1. stadium larva Bila banyak larva filariform menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut “ground itch”. Perubahan pada paru biasanya ringan. 2. stadium dewasa Gejala tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita (fe dan protein). Tiap cacing N. americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan A. doudenale, 0,08-0,34 cc. Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. e. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk membedakan spesies larva N. Americanus dan A. Duodenale dapat dilakukan biakan tinja misalnya dengan cara Harada- Mori (Srisasi Gandahusada, 2006).
  • 14. 19 f. Pengobatan Perawatan umum Perawatan umum dilakukan dengan memberikan nutrisi yang baik, suplemen preparat besi diperlukan oleh pasien dengan gejala klinis yang berat, terutama bila ditemukan bersama-sama anemia (Aru Sudoyo, 2006). Perawatan khusus (Aru Sudoyo, 2006) - Albendazol. Diberikan dengan dosis tunggal 400 mg - Mebendazol. Diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari. - Tetrakloretilen. Merupakan obat pilahan utama (drug of choise) terutama untuk pasien ansilostomiasis. Dosis diberikan 0,12 ml/kgBB, dosisi tunggal tidak boleh lebih dari 5 ml. Pengobatan dapat diulang 2 minggu kemudian dilakukan pemeriksaan telur tinja tetap positif. Pemberian obat ini sebaiknya dalam keadaan perut kosong disertai pemberian 30 g MgSO4. kontraindikasi pemberian obat ini pada pasien alkoholisme, kelainan pencernaan, konstipasi. - Befanium hidroksinaftat. Obat pilahan utama untuk ankilostomiasis dan baik untuk pengobatan massal pada anak. Obat ini relatif tidak toksik. Dosis diberikan 5 g 2 kali sehari, dan dapat diulang bilamana diperlukan. Untuk pengobatan necator americanus, dosis diberikan untuk 3 hari. - Pirantel pamoat. Obat ini cukup efektif dengan toksisitas yang rendah dan dosi yang diberikan 10 mg/kgBB/hari sebagai dosis tunggal. - Heksilresinol. Diberikan sebagai obat alternatif yang cukup efektif dan dosis pemberian obat ini sama seperti pada pengobatn askariasis
  • 15. 20 g. Pencegahan (Soedarmo, 2008) - pemberantasan sumber infeksi pada populasi - perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi / lingkungan - mencegah terjadinya kontak dengan larva dengan cara memakai sandal atau sepatu d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya cacingan Menurut Peter J. Hotes (2003:17) mengemukakan bahwa faktor- faktor risiko (Risk factors) yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit cacingan yang penyebarannya melalui tanah antara lain (repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21589/4/Chapter%20II.pdf ) 1. Lingkungan Penyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh terutama di daerah kota atau daerah pinggiran (Peter J. Hotes, 2003:17). Sedangkan menurut Phiri (2000) yang dikutip Peter J. Hotes bahwa jumlah prevalensi Ascaris lumbricoides banyak ditemukan di daerah perkotaan, sedangkan menurut Albonico yang dikutip peter J. Hotes bahwa jumlah prevalensi tertinggi ditemukan di daerah pinggiran atau pedesaan yang masyarakat sebagian besar masih hidup dalam kekurangan. 1.1 Kepemilikan jamban Bertambahnya penduduk yang tidak seimbang dengan area pemukiman timbul masalah yang disebabkan pembuangan kotoran manusia yang meningkat. Penyebaran penyakit yang bersumber pada kotoran manusia (faeces) dapat melalui berbagai macam jalan atau cara. Peranan tinja dalam penyebaran penyakit sangat besar. Di samping dapat langsung mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, air, tanah, serangga (lalat, kecoa, dan sebagainya), dan bagian-bagian tubuh dapat terkontaminasi oleh tinja tersebut. Benda-benda
  • 16. 21 yang telah terkontaminasi oleh tinja dari seseorang yang sudah menderita suatu penyakit tertentu merupakan penyebab penyakit bagi orang lain. Kurangnya perhatian terhadap pengelolaan tinja disertai dengan cepatnya pertambahan penduduk, akan mempercepat penyebaran penyakit-penyakit yang ditularkan lewat tinja. Penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain: tipus, disentri, kolera, bermacam-macam cacing (cacing gelang, cacing kremi, cacing tambang, cacing pita), schistosomiasis, dan sebagainya 1.2 Lantai rumah Rumah sehat secara sederhana yaitu bangunan rumah harus cukup kuat, lantainya mudah dibersihkan. 1.3 Ketersediaan air bersih Akibat air yang tidak sehat dapat menimbulkan: gangguan kesehatan seperti penyakit perut (kolera, diare, disentri, keracunan, dan penyakit perut lainnya), penyakit cacingan (misalnya: cacing pita, cacing gelang, cacing kremi, demam keong, kaki gajah). 2. Tanah Penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang mengandung telur Trichuris trichiura, telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah dengan suhu optimal ± 300C (Depkes RI, 2004). Tanah liat dengan kelembapan tinggi dan suhu yang berkisar antara 250C-300C sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif. Sedangkan untuk pertumbuhan larva Necator americanus yaitu memerlukan suhu optimum 280C-320C dan tanah gembur seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah yaitu 230C-250C (Srisasi Gandahusada, 2006). 3. Iklim Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu di daerah tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi.
  • 17. 22 Sedangkan untuk Necator americanus dan Ancylostoma duodenale penyebaran ini paling banyak di daerah panas dan lembab. Lingkungan yang paling cocok sebagai habitat dengan suhu dan kelembapan yang tinggi terutama di daerah perkebunan dan pertambangan (Srisasi Gandahusada, 2006). 4. Perilaku 4.1 Kebiasaan memakai alas kaki Kesehatan anak sangat penting karena kesehatan semasa kecil menentukan kesehatan pada masa dewasa. Anak yang sehat akan menjadi manusia dewasa yang sehat. Membina kesehatan semasa anak berarti mempersiapkan terbentuknya generasi yang sehat akan memperkuat ketahanan bangsa. Pembinaan kesehatan anak dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, ayah, ibu, saudara, anggota keluarga anak itu serta anak itu sendiri. Anak harus menjaga kesehatannya sendiri salah satunya membiasakan memakai alas/sandal (Depkes RI, 1998). Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator americanus 28-320C sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antara lain ialah memakai sandal atau sepatu (Srisasi Gandahusada, 2006). 4.2 Kebiasaan mencuci tangan Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci tangan, namun demikian sesekali orang dewasa juga perutnya terdapat cacing. 4.3 Kebiasaan memotong kuku Kebersihan perorangan penting untuk pencegahan. Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari penularan cacing dari tangan ke mulut (Srisasi Gandahusada, 2006). 4.4 Kebiasaan makan
  • 18. 23 Kebiasaan penggunaan faeces manusia sebagai pupuk tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah, persediaan air rumah tangga dan makanan tertentu, misalnya sayuran akan meningkatkan jumlah penderita helminthiasis. Demikian juga kebiasaan makan masyarakat, menyebabkan terjadinya penularan penyakit cacing tertentu. Misalnya, kebiasaan makan secara mentah atau setengah matang, ikan, kerang, daging dan sayuran. Bila dalam makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing, maka siklus hidup cacingnya menjadi lengkap, sehingga terjadi infeksi pada manusia. 5. Sosial Ekonomi Sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya cacingan menurut Tshikuka (1995) dikutip Peter J. Hotes (2003:22) yaitu faktor sanitasi yang buruk berhubungan dengan sosial ekonomi yang rendah. 6. Status Gizi Cacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara keseluruhan (kumulatif), infeksi cacingan dapat menimbulkan kekurangan zat gizi berupa kalori dan dapat menyebabkan kekurangan protein serta kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik,anemia, kecerdasan dan produktifitas kerja, juga berpengaruh besar dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya e. Kerugian Akibat Kecacingan Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif, infeksi kecacingan menimbulkan kerugian baik berupa kalori, protein dan darah. Selin dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja, bahkan pada gilirannnya dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit
  • 19. 24 lainnya (Surat Keputusan Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006). 2. Konsep Pengetahuan a. Pengertian Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderamya. Berbeda dengan kepercayaan (beliefes), takhayul (superstition), dan penerangan-penerangan yang keliru (misinformation) (Soekanto, 2003). Pengetahuan adalah merupakan hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang pernah dialami secara sengaja maupun tidak sengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu (wahit, dan kawan-kawan 2006). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, sebab perilaku itu terjadi akibat adanya paksaan atau aturan yang mengharuskan untuk berbuat (Wahit Mubarak, 2005). Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, ras, dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperolah melalui mata dan telinga (Soekidjo Notoatmodjo, 2007). Penelitian rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi peroses yang berurutan, yakni (Soekidjo Notoatmodjo, 2007) : 1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). 2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul. 3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
  • 20. 25 4. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. 5. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap- tahap di atas. b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu (Wahit Mubarak, 2005) : 1. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang tingkan pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan, informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan. 2. Pekerjaan lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung. 3. Umur dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental). Pertumbuhan pada fisik secara garis besar ada empat kategori perubahan Pertama, perubuhan ukuran, kedua, perubahan proporsi, ketiga, hilangnya ciri-ciri lama, keempat, timbulnya ciri-ciri baru. Ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. 4. Minat
  • 21. 26 Minat sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperolah pengetahuan yang lebih mendalam. 5. Pengalaman Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. f. Kebudayaan Kebudayaan lingkungan sekitar, kebudayaan dimana kita hidup dan di besarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan, karena lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang. g. Informasi Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru. 3. Konsep Sikap a. Pengertian Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dapat disimpulkan bahwa sikap tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang ditutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Soekidjo Notoatmodjo, 2007). Newcomb, salah seorang psikologis sosial, menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu
  • 22. 27 tindakan atau aktivitas. Akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dilingkungan tertentu sebagai suatu pengahayatan terhadap objek (Soekidjo Notoatmodjo, 2007). b. Komponen sikap Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 komponen pokok, yaitu (Soekidjo Notoatmodjo, 2007) : 1. kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. 2. kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3. kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Ketiga komponen tersebut membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. c. Pengukuran Sikap Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek (Soekidjo Notoatmodjo, 2007). 4. Konsep Perilaku a. Pengertian Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua mahluk hidup mulai tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berprilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendriri yang mempunyai bentangan yang sangat luas anatara lain : berjalan, berbicara menangis, tertawa, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung,
  • 23. 28 maupun yang tidak diamati oleh pihak luar (Soekidjo Notoatmodjo, 2007). Menurut Robert Kwick (1974) perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu oraganisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecendrungan untuk mengadakan tindakan terhadap duatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia (Soekidjo Notoatmodjo, 2007). Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebut dipengaruhi baik oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan itu merupakan penentu dari perilaku manusia. Hereditas atau faktor keturunan adalah konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku mahluk hidup itu untuk selanjutnya. Sedangkan lingkungan adalah kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku tersebut (Soekidjo Notoatmodjo, 2007). Skiner (1938) seoarang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus Oragnisme Respons (Soekidjo Notoatmodjo, 2007). b. Bentuk-bentuk perilaku Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar objek tersebut. Respon ini berbentuk 2 macam, yakni (Soekidjo Notoatmodjo, 2007) : 1. Bentuk pasif adalah respon internal, yaitu yang terjadi didalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir, tangggapan atau sikap batin dan pengetahuan.
  • 24. 29 2. Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung. Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dan sikap merupakan respon seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang masih bersifat terselubung, dan disebut ‘covert bahviour’. Sedangkan tindakan nyata seseorang sebagai respon terhadap stimulus (practice) adalah ‘overt bahaviour’ (Soekidjo Notoatmodjo, 2007). c. Perilaku kesehatan Menurut Skiner Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respom seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok (Soekidjo Notoatmodjo, 2007) : 1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health Maintanance) Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh karena itu, perilaku pemeliharaan kesehatan terdiri dari 3 aspek yaitu : a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit. b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu dijelaskan di sini,bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin. c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat memelihara serta meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknnya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.
  • 25. 30 2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (Healt seeking behaviour) Perilaku ini menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan dan perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri. 3. Perilaku kesehatan lingkungan Yaitu bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. II.2. Penelitian Terkait Bebrapa penelitian yang terkait yang pernah dilakukan mengenai penyakit cacingan antara lain sebagai berikut : 1. Penelitian yang dilakukan oleh Hariyani pada tahun 2010 dengan judul hubungan hygiene sanitasi perorangan dengan kejadian penyakit cacingan pada siswa Sekolah Dasar Yayasan Dinamika Indonesia Bantar Gerbang Bekasi Jawa Barat . penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan jumlah sampel yang digunakan 186 siswa. Hasil dari penelitian ini didapatkan angka kejadian cacingan pada Sekolah Dasar Dinamika Indonesia sebesar 34%. Dari hasil uji statistik diperoleh adanya hubungan antara hygiene seseorang dari kebiasaan mencuci tangan dengan baik dan kebersihan kuku dengan kejadian infeksi cacingan pada Sekolah Dasar Dinamika Indonesia Bantar Gerbang Bekasi Jawa Barat. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Luh Gde Nita Sri Wahyuningsih pada tahun 2009 dengan judul hubungan pengetahuan tentang cacingan dengan perilaku pencegahan cacingan pada siswa kelas IV dan V Sekolah Dasar Negeri 01 Krutut Kecamatan Limo Depok. Pada penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan jumlah sampel yang digunakan sebanyak 143 siswa. Hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki nilai pengetahuan tinggi tentang cacingan
  • 26. 31 sebanyak 82 orang (57,3%) dan responden yang memiliki pengetahuan yang rendah tentang cacingan sebanyak 61 orang (42,7%). Dari hasil uji statistik adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang cacingan dengan perilaku pencegahan cacingan pada siswa kelas IV dan V SD Negeri 01 Krutut, dengan P value 0,001. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Juanda tahun 2005 dengan judul faktor- faktor yang berhubungan dengan kejadian cacingan dan hubungan kejadian cacingan dengan anemia pada anak SD di Komplek SD Muara Ciujung Barat Kecamatan Rangka Sibitung Kabupaten Lebak. Pada penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan jumlah sampel yang diambil secara acak sebanyak 125 orang. Hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki pengetahuan yang rendah tentang penyakit cacingan sebanyak 84 orang (67,2%) dan responden yang memiliki pengetahuan tinggi tentang penyakit cacingan sebanyak 41 orang (32,8%). Dari hasil uji statistic diperoleh adanya hubungan yang signifikan antara hubungan tentang cacingan (p=0,000) dan perilaku hidup sehat yang meliputi cuci tangan sebelum makan, cuci tangan dengan sabun, pakai alas kaki, bauang air besar di WC, tidak jajan sembarangan dan membersihkan kuku tangam (P=0,021) dengan kejadian cacingan. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Nina Septiana Dwi Indarti pada tahun 2004 dengan judul hubungan perilaku anak sehari-hari dengan kejadian cacingan pada anak Sekolah Dasar di 10 Propinsi di Indonesia. Pada penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Dengan jumlah sampel yang digunakan sebanyak 100 anak yang dipilih berdasarkan random sederhana. Hasil dari penelitian ini didapatkan angka prevalensi cacingan di 10 propinsi di Indonesia adalah sebesar 31%, dengan prevalensi propinsi tetinggi adalah Bangka Belitung sebesar 80%. Dari hasil uji pengettatistik didapatkan adanya hubungan perilaku anak sehari-hari yaitu dari kebiasaan buang air besar, memakai alas kaki,
  • 27. 32 mencuci tangan sebelum makan dan buanng air besar dengan kejadian cacingan pada Sekolah Dasar di 10 propinsi di Indonesia. 5. Penelitian yang dilakukan oleh D. Anwar Musadad pada tahun 1998 dengan judul studi perbandingan pengetahuan, sikap dan tindakan anak- anak SD dalam pemberantasan penyakit cacing perut di 2 sekolah dasar di Kecamatan Tanjung Priok Jakarta. Pada penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Hasil penelitian ini didapatkan pengetahuan, sikap dan tindakan murid-murid kelas IV, V dan VI SDN Kebun Bawang 02 Petang dalam pemberantasan penyakit cacing perut lebih baik dibandingkan dengan pengetahuan, sikap dan tindakan SDN Bambu 02 Petang. Pada SD binaan, pengetahuan, sikap dan tindakan murid- murid kelas IV, V dan IV SD dapat meningkatkan pemberantasan penyakit cacingan. II.3. Kerangka Teori Faktor Host Faktor Environment - Pengetahuan - Lingkungan - Sikap - Kepemilikan jamban - Perilaku - Ketersedian air - Kebiasaan mencuci tangan bersih - Kebiasaan memotang - Lantai rumah kuku - Tanah - Kebiasaan makan - Iklim makanan mentah - Kebiasaan memakai alas kaki - Sosial ekonomi - Status gizi Penyakit Kecacingan
  • 28. 33 II.4. Kerangka Konsep Variabel Independen Variabel Dependen Pengetahuan Sikap Penyakit Kecacingan Perilaku II.5. Hipotesis Pada hakikatnya hipotesis adalah sebuah pernyataan tentang hubungan yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat diuji secara empiris. Biasanya hipotesis terdiri dari pernyataan terhadap ada atau tidaknya hubungan antara dua variabel, yaitu variabel independen dan variabel dependen (Soekidjo Notoatmodjo, 2005). Adapun hipotesis dari penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Ada hubungan antara penggetahuan siswa kelas V terhadap penyakit cacingan. 2. Ada hubungan antara sikap siswa kelas V terhadap penyakit cacingan. 3. Ada hubungan antara perilaku siswa kelas V terhadap penyakit cacingan.