Bab ini membahas teori dan metodologi yang mendukung studi zonasi, meliputi pengertian zonasi, jenis zonasi, dan standar kebijakan zonasi kawasan pemukiman dan perdagangan jasa. Bab ini juga membahas metodologi penelitian dan tahapannya.
1. 10
BAB II
TINJAUAN TEORI DAN METODOLOGI
Bab II ini memuat uraian tentang teori-teori, standar yang digunakan untuk
mendukung studi seperti teori tentang zonasi, pengertian zonasi, jenis zonasi serta
standar-standar atau kebijakan-kebijakan tentang zona kawasan pemukiman dan
zona kawasan perdagangan jasa, dll. Dalam bab ini juga dibahas metodologi dan
tahapan penelitian.
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Beberapa Pengertian
o Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah,
tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan hidupnya (Departemen PU 2006).
o Kawasan adalah kesatuan geografis yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek fungsional serta mempunyai fungsi utama tertentu
(Departemen PU 2006).
o Blok Peruntukkan adalah sebidang lahan yang dibatasi sekurang-
kurangnya oleh batasan fisik yang nyata (seperti jaringan jalan, sungai,
selokan, saluran irigasi, saluran udara tegangan (ekstra) tinggi, pantai, dan
lain-lain), maupun yang belum nyata (rencana jaringan jalan dan rencana
jaringan prasarana lain yang sejenis sesuai dengan rencana kota)
(Departemen PU 2006).
o Persil adalah bidang lahan yang telah ditetapkan batas-batasnya sesuai
dengan batas kepemilikan lahan secara hukum/legal di dalam blok atau
subblok (Departemen PU 2006).
o Zona adalah kawasan yang memiliki fungsi dan karakteristik lingkungan
dan/atau ketentuan peruntukan yang spesifik (Departemen PU 2006).
o Zonasi adalah pembagian lingkungan kota ke dalam zona-zona dan
menetapkan pengendalian pemanfaatan ruang atau memberlakukan
2. 11
ketentuan hukum yang berbeda-beda (Barnett, 1982: 60-61; So,
1979:251).
o Klasifikasi Zonasi adalah jenis dan hirarki zona yang disusun berdasarkan
kajian teoritis, kajian perbandingan, maupun kajian empirik untuk
digunakan di daerah yang disusun Peraturan Zonasinya (Departemen PU
2006).
Klasifikasi zonasi merupakan perampatan (generalisasi) dari kegiatan atau
penggunaan lahan yang mempunyai karakter dan/atau dampak yang
sejenis atau yang relatif sama (Departemen PU 2006).
o Peraturan Zonasi, berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor : 20/Prt/M/2011 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail
Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota. Peraturan zonasi
(zoning regulation) adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan
pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk
setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci
tata ruang (Departemen PU 2006).
Di beberapa negara zoning dikenal dalam berbagai istilah, seperti land
code, code ordinance, zoning resolution, development code, zoning zode,
zoning ordinance, resolution, urban code, planning act, dll (Departemen
PU 2006).
o Aturan Teknis Zonasi adalah aturan pada suatu zonasi yang berisi
ketentuan pemanfaatan ruang seperti kegiatan atau penggunaan lahan,
intensitas pemanfaatan ruang, ketentuan tata massa bangunan, ketentuan
prasarana minimum yang harus disediakan, aturan lain yang dianggap
penting, dan aturan khusus untuk kegiatan tertentu (Departemen PU 2006).
o Intensitas Pemanfaatan Ruang adalah besaran pembangunan yang
diperbolehkan untuk fungsi tertentu berdasarkan pengaturan koefisien
lantai bangunan, koefisien dasar bangunan, koefisien dasar hijau,
kepadatan penduduk, dan/atau kepadatan bangunan tiap persil, tapak, blok
3. 12
peruntukan, atau kawasan kota sesuai dengan kedudukan dan fungsinya
dalam pembangunan kota (Departemen PU 2006).
o Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah kegiatan yang berkaitan
dengan mekanisme perijinan, pengawasan dan penertiban agar
pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan
(Departemen PU 2006).
o Koefisien Dasar Bangunan, yang selanjutnya disebut KDB, adalah angka
prosentase berdasarkan perbandingan jumlah luas lantai dasar bangunan
terhadap luas tanah perpetakan/persil yang dikuasai sesuai rencana
kabupaten/kota (Departemen PU 2006)..
o Koefisien Lantai Bangunan (KLB) , adalah besaran ruang yang dihitung
dari angka perbandingan jumlah luas lantai dasar bangunan terhadap luas
tanah perpetakan/persil yang dikuasai sesuai rencana kabupaten/kota
(Departemen PU 2006)..
o Koefiisian Dasar Hijau (KDH), adalah angka prosentase berdasarkan
perbandingan jumlah lahan terbuka untuk penanaman tanaman dan atau
peresapan air terhadap luas tanah/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai
(Departemen PU 2006).
o Ketinggian Bangunan adalah jumlah lantai penuh suatu bangunan
dihitung mulai dari lantai dasar sampai lantai tertinggi (Departemen PU
2006).
o Garis Sempadan Jalan (GSJ), adalah garis rencana jalan yang ditetapkan
dalam rencana kabupaten/kota (Departemen PU 2006).
o Garis Sempadan Bangunan (GSB), adalah garis yang tidak boleh
dilampaui oleh denah bangunan ke arah GSJ yang ditetapkan dalam
rencana kabupaten/kota (Departemen PU 2006).
4. 13
2.1.2 Kedudukan Peraturan Zonasi dalam Sistem Penataan Ruang
Kedudukan peraturan zonasi dalam proses penyusunan Rencana Tata Ruang:
Dalam sistem Rencana Tata Ruang Wilayah, Peraturan Zonasi merupakan
pengaturan lebih lanjut untuk pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam
pola pemanfaatan ruang suatu wilayah.
Peraturan Zonasi yang merupakan penjabaran dari RTRW Kota dapat
menjadi rujukan untuk menyusun RDTRK, dan sangat bermanfaat untuk
melengkapi aturan pembangunan pada penetapan penggunaan lahan yang
ditetapkan dalam RDTRK.
Peraturan Zonasi juga merupakan rujukan untuk penyusunan rencana yang
lebih rinci dari RDTRK, seperti Rencana Teknik Ruang Kawasan (RTRK),
atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
Kaitan Peraturan Zonasi dengan berbagai rencana tata ruang tersebut dapat dilihat
pada Gambar 2.1.
Dalam proses pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang:
Peraturan Zonasi sangat penting dalam proses pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang
RTRW Kota
Peraturan
Zonasi
RTRK / RTBL
RDTRK
Gambar 2.1
Kaitan rencana tata ruang dan peraturan zonasi
Sumber: Departemen PU Tahun 2010
5. 14
Peraturan Zonasi memiliki tingkat ketelitian yang sama dengan RDTRK,
namun mengatur lebih rinci dan lebih lengkap ketentuan pemanfaatan
ruang dengan tetap mengacu kepada RTRW Kota yang ada.
Perbedaan peran dan fungsi antara RDTRK dengan Peraturan Zonasi
dalam Sistem Penataan Ruang di Indonesia adalah:
o RDTRK merupakan salah satu jenjang rencana tata ruang kota dengan
skala 1: 5000.
o Peraturan Zonasi merupakan salah satu perangkat pengendalian
pemanfaatan ruang yang berisi ketentuan-ketentuan teknis dan
administratif pemanfaatan ruang dan pengembangan tapak.
o Peraturan Zonasi ini telah banyak digunakan di negara berkembang,
dan dapat melengkapi aturan pemanfaatan ruang untuk RDTRK yang
telah ditetapkan.
Peraturan Zonasi adalah peraturan yang menjadi rujukan perijinan,
pengawasan dan penertiban dalam pengendalian pemanfaatan ruang, yang
merujuk pada rencana tata ruang wilayah yang umumnya telah
menetapkan fungsi, intensitas, ketentuan tata massa bangunan, sarana dan
prasarana, serta indikasi program pembangunan.
Peraturan Zonasi juga menjadi landasan untuk manajemen lahan dan
pengembangan tapak.
Secara skematis kedudukan Peraturan Zonasi dalam Sistem Penataan Ruang
Ruang di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.2.
2.1.3 Cakupan Aturan dan Fungsi Peraturan Zonasi
Peraturan Zonasi pada prinsipnya mencakup aturan-aturan mengenai :
1. Penggunaan lahan dan bangunan (penggunaan utama, penggunaan
pelengkap, penggunaan bersyarat, penggunaan dengan pengecualian
khusus, penggunaan yang dilarang);
2. Intensitas pemanfaatan ruang atau kepadatan pembangunan (KDB, KLB,
KDH, bangunan/Ha);
3. Tata massa bangunan (tinggi bangunan, garis sempadan bangunan, jarak
antarbangunan, luas minimum persil, dll);
6. 15
4. Prasarana, ketentuan mnimum eksterior, serta standar-standarnya;
5. Pengendalian (eksternalitas negatif, insentif dan disinsentif, perijinan,
pengawasan, penertiban).
6. Adminstrasi (kelembagaan, prosedur, dan penetapan peraturn daerah).
Peraturan Zonasi berfungsi sebagai panduan mengenai ketentuan teknis
pemanfaatan ruang dan pelaksanaan pemanfaatan ruang, serta pengendaliannya.
Jika dijabarkan berdasarkan komponen dan cakupan peraturan zonasi, maka
fungsi peraturan zonasi adalah:
a. Sebagai perangkat pengendalian pembangunan
Peraturan zonasi yang lengkap akan memuat prosedur pelaksanaan
pembangunan sampai ke tata cara penertibannya.
b. Sebagai pedoman penyusunan rencana operasional
Peraturan Zonasi dapat menjadi jembatan dalam penyusunan rencana tata
ruang yang bersifat operasional, karena memuat ketentuan-ketentuan
Gambar 2.2
Kedudukan peraturan zonasi dalam sistem penataan ruang kota
PEMANFAATAN PENGENDALIAN
Kegiatan
Intensitas
Tata Massa Bangunan
Sarana dan Prasarana
Indikasi Program
Manajemen Lahan
(Kawasan)
Land Development
(persil, blok, sektor)
Undang-undang
Manajemen Lahan
Peraturan, Perijinan,
Pengawasan, Penertiban,
Kelembagaan
Peraturan Zonasi:
Peraturan dan Peta
Kelembagaan dan Administrasi
PERENCANAAN
Sumber: Departemen PU Tahun 2010
7. 16
tentang penjabaran rencana yang bersifat makro ke dalam rencana yang
bersifat sub makro sampai pada rencana yang rinci.
c. Sebagai panduan teknis pengembangan tapak/pemanfaatan lahan
Peraturan Zonasi mencakup panduan teknis untuk pengembangan atau
pemanfaatan tapak yang mencakup penggunaan lahan, intensitas
pembangunan, tata massa bangunan, prasarana minimum, dan standar
perencanaan.
2.1.4 Kelengkapan Peraturan Zonasi
Peraturan Zonasi terdiri dari:
a. Zoning text/zoning statement/legal text:
Berisi aturan-aturan (regulation).
Menjelaskan tentang tata guna lahan dan kawasan, permitted and
conditional uses, minimum lot requirements, standar
pengembangan, administrasi pengembangan zoning.
b. Zoning map:
Berisi pembagian blok peruntukan (zona), dengan ketentuan aturan
untuk tiap blok peruntukan tersebut.
Menggambarkan peta tata guna lahan dan lokasi tiap fungsi lahan
dan kawasan.
2.1.5 Teknik Pengaturan Zonasi
Teknik pengaturan zonasi dapat dipilih dari berbagai alternatif dengan
mempertimbangkan tujuan pengaturan yang ingin dicapai. Setiap teknik
mempunyai karakteristik, tujuan, konsekuensi dan dampak yang berbeda. Oleh
karena itu, pemilihannya harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Alternatif
teknik pengaturan zonasi yang dapat diterapkan antara lain dapat dilihat pada
Tabel 2.1.
8. 17
Tabel 2.1
Alternatif teknik pengaturan zonasi
No. Alternatif teknik pengaturan
zonasi
Pengertian
1 Bonus/Insentive Zoning Izin peningkatan intensitas dan kepadatan pembangunan
(tinggi bangunan, luas lantai) yang diberikan kepada
pengembang dengan imbalan penyediaan fasilitas publik
(arcade, plaza, pengatapan ruang pejalan, peninggian jalur
pejalan atau bawah tanah untuk memisahkan pejalan dan
lalu-lintas kendaraan, ruang bongkar-muat off-street untuk
mengurangi kemacetan dll) sesuai dengan ketentuan yang
berlalu.
2 Performance Zoning Ketentuan pengaturan pada satu atau beberapa blok
peruntukan yang didasarkan pada kinerja tertentu yang
ditetapkan. Performace zoning harus diikuti dengan
standar kinerja (performance standards) yang mengikat
(misalnya tingkat LOS (Level of Service, Tingkat
Pelayanan) jalan minimum, tingkat pencemaran
maksimum, dll).
3 Fiscal Zoning Ketentuan/aturan yang ditetapkan pada satu atau beberapa
blok peruntukan yang berorientasi kepada peningkatan
PAD.
4 Special Zoning Ketentuan ini dibuat dengan spesifik sesuai dengan
karakteristik setempat (universitas, pendidikan, bandar
udara) untuk mengurangi konflik antara area ini dan
masyarakat sekelilingnya dengan pemanfaatan ruang yang
sesuai dengan area tersebut. Umumnya untuk menjaga
kualitas lingkungan (ketenangan, kelancaran lalu-lintas
dan sebagainya).
5 Exclusionary Zoning Ketentuan/aturan pada satu/beberapa blok peruntukan
yang menyebabkan blok peruntukan tersebut menjadi
ekslusif. Ketentuan ini mengandung unsur diskriminasi
(misalnya, penetapan luas persil minimal 5000m2
menyebabkan masyarakat berpenghasilan rendah tidak
dapat tinggal dalam blok tersebut).
6 Contract Zoning Ketentuan ini dihasilkan melalui kesepakatan antara
pemilik properti dan komisi perencana (Dinas Tata Kota
atau TKPRD/BKPRD) atau lembaga legislatif (DPRD)
yang dituangkan dalam bentruk kontrak berdasarkan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
7 Negotiated Development Pembangunan yang dilakukan berdasarkan negosiasi
antarstakeholder
8 TDR (Transfer Of
Development Right)
Ketentuan untuk menjaga karakter kawasan setempat.
Kompensasi diberikan pada pemilik yang kehilangan hak
membangun atau pemilik dapat mentransfer/menjual hak
9. 18
membangunnya (bisasanya luas lantai bangunan) kepada
pihak lain dalam satu distrik/kawasan.
9 Design/Historic Preservation Ketentuan-ketentuan pemanfaatan ruang dan elemen
lainnya (keindahan, tata informasi dll) untuk memelihara
visual dan karakter budaya, bangunan dan kawasan
masyarakat setempat yang ditetapkan dalam peraturan-
perundangan pelestarian.
10 Overlay Zone Satu atau beberapa zona yang mengacu kepada satu atau
beberapa peraturan zonasi (misalnya kawasan perumahan
di kawasan yang harus dilestarikan akan merujuk pada
aturan perumahan dan aturan pelestarian
bangunan/kawasan).
11 Floating Zone Blok peruntukan yang diambangkan pemanfaatan
ruangnya, dan penetapan peruntukannya didsarkan pada
kecenderungan perubahannya/perkembangannya, atau
sampai ada penelitian mengenai pemanfaatan ruang
tersebut yang paling tepat.
12 Flood Plain Zone Ketentuan pemanfaatan ruang pada kawasan rawan banjir
untuk mencegah atau mengurangi kerugian.
13 Conditional Uses Seringkali disebut sebagai pemanfaatan khusus,
merupakan izin pemanfaatan ruang yang diberikan pada
suatu zona jika kriteria atau kondisi khusus zona tersebut
memungkinkan atau sesuai dengan pemanfaatan ruang
yang diinginkan.
14 Growth Control Pengendalian ini dilakukan melalui faktor faktor
pertumbuhan seperti pembangunan sarana dan prasarana
melalui penyediaan infrastruktur yang diperlukan,
mengelola faktor ekonomi dan sosial hingga politik.
Sumber: Departemen PU Tahun 2010
2.2 Kebijakan dan Standar
2.2.1 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2007, pengendalian pemanfaatan
ruang diselenggarakan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian
insentif dan disinisentif, serta pengenaan sanksi. Hal ini berbeda dengan Undang-
undang Penataan Ruang yang lama, pengendalian pemanfaatan ruang
diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap
pemanfaatan ruang. Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang diselenggarakan
dalam bentuk pelaporan, pemantauan, dan evaluasi. Sedangkan penertiban
10. 19
diselenggarakan dalam bentk pengenaan sanksi. Untuk lebih jelasnya, substansi
penyelenggaraan penataan ruang dapat dilihat pada Gambar 2.3.
2.2.2 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 112 Tahun 2007 Tentang
Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern
Dalam peraturan ini diatur mengenai penataan kegiatan perdagangan, sebagai
berikut:
1. Pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
Lokasi pendirian wajib mengacu RTRWK dan RDTR, termasuk
Peraturan zonasinya.
Batasan luas lantai penjualan toko modern adalah sebagai berikut:
a. Minimarket ≤ 400 m2
Gambar 2.3
Substansi penyelenggaraan penataan ruang
Penyelenggaraan Penataan
Ruang
Pengaturan Pembinaan Pelaksanaan Pengawasan
Perencanaan Pemanfaatan Pengendalian
Program
Pembiayaan
Peraturan zonasi
Perizinan
Insentif &
Disinsentif
Pengenaan Sanksi
Sumber: UU No 26 Tahun 2007
11. 20
b. Supermarket 100 m2
– 5.000 m2
c. Hypermarket ≥ 5.000 m2
d. Departement Store ≥ 400 m2
e. Perkulakan ≥ 5.000 m2
Sistem penjualan dan jenis barang dagangan toko modern adalah
sebagai berikut:
a. Minimarket, supermarket dan hypermarket menjual secara eceran
banrang konsumsi terutama produk makanan dan produk rumah
tangga lainnya;
b. Departement store menjual secara eceran barang konsumsi
utamanya produk sandang dan perlengkapannya dengan penataan
barang berdasarkan jenis kelamin dan/ tingkat usia konsumen; dan
c. Perkulakan menjual secara grosir barang konsumsi.
Pendirian pusat perbelanjaan dan toko modern wajib:
a. Memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat,
keberadaan pasar tradisional, usaha kecil dan usaha menengah
yang ada di wilayah yang bersangkutan;
b. Memperhatikan jarak antara hypermarket dengan pasar tradisional
yang telah ada sebelumnya;
c. Menyediakan areal parkir paling sedikit seluas kebutuhan parkir 1
(satu) unit kendaraan roda empat untuk setiap 60 m2
luas lantai
penjualan pusat perbelanjaan dan/ atau toko modern; dan
d. Menyediakan fasilitas yang menjamin pasar yang bersih, sehat
(hygienis), aman, tertib dan nyaman.
Penyediaan areal parkir dapat dilakukan berdasarkan kerjasama antara
pengelola pasar tradisional dengan pihak lain.
Berikut ini ketentuan penataan kegiatan perdagangan yang terkait dengan
lokasional:
1. Perkulakan hanya boleh berlokasi pada atau pada akses sisten jaringan
jalan arteri atau kolektor primer atau sekunder.
2. Hypermarket dan pusat perbelanjaan:
12. 21
a. Hanya boleh berlokasi pada atau akses sistem jaringan jalan arteri
atau kolektor; dan
b. Tidak boleh berada pada kawasan pelayanan lokal atau lingkungan
di dalam kota/perkotaan.
3. Supermarket dan departement store:
a. Tidak boleh berlokasi pada sistem jaringan jalan lingkungan;
b. Tidak boleh berada pada kawasan pelayanan lingkungan di dalam
kota/perkotaan.
4. Minimarket boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk
sistem jaringan jalan lingkuangan pada kawasan pelayanan lingkungan
(perumahan) di dalam kota/perkotaan.
5. Pasar tradisional boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan,
termasuk sistem jaringan jalan lokal atau jalan lingkungan pada kawasan
pelayanan bagian kota/kabupaten atau lokal atau lingkungan (perumahan)
di dalam kota/perkotaan.
2.2.3 Perda No. 15 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Tangerang Selatan
Dalam kebijakan RTRW Kota ditetapkan ketentuan mengenai zonasi, yang dapat
dilihat pada Tabel 2.2.
2.2.4 Permen PU No.41/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Kriteria Teknis
Kawasan Budidaya
Ketentuan umum ini berisi fungsi utama, kriteria umum, dan kaidah perencanaan
kawasan budi daya.
A. Kawasan peruntukan permukiman
1. Fungsi utama
Kawasan peruntukan permukiman memiliki fungsi antara lain:
a) Sebagai lingkungan tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukung
peri kehidupan dan penghidupan masyarakat sekaligus menciptakan
interaksi sosial;
b) Sebagai kumpulan tempat hunian dan tempat berteduh keluarga serta
sarana bagi pembinaan keluarga.
13. 22
Struktur
Ruang
Materi Yang Diatur
Materi Yang Diatur Materi Yang
Diatur
Materi Yang Diatur Materi Yang
Diatur
Sub-Pusat Pelayanan Kota (SPK)
Kecamatan
Pamulang,
fungsi sebagai
kegiatan
pelayanan
umum,
perdagangan
dan jasa dan
perumahan
kepadatan tinggi
1. kegiatan yang
diperbolehkan
meliputi kegiatan
pemerintahan,
perdagangan dan
jasa skala kota,
sarana pendidikan,
sarana kesehatan,
sarana olah raga,
sarana transportasi
dan telkomunikasi,
sarana rekreasi dan
RTH;
2. kegiatan yang
diperbolehkan
dengan syarat
meliputi rumah
susun atau
apartemen, rumah
toko atau rumah
kantor, dan
kegiatan
pemanfaatan ruang
untuk mendukung
kegiatan
perdagangan dan
jasa; dan
3. kegiatan yang tidak
diperbolehkan
meliputi industri,
bengkel alat berat,
dan kegiatan-
kegiatan yang
mengganggu
enyamanan serta
menimbulkan
pencemaran.
1. KDB paling
tinggi
sebesar 60
(enam puluh)
persen;
2. KLB
maksimal 7,2
(tujuh koma
dua); dan
3. KDH paling
rendah
sebesar 10
(sepuluh)
persen.
1. pelayanan
pendidikan untuk
sekolah lanjutan
pertama dan
lanjutan atas;
2. pelayanan
kesehatan berupa
puskesmas;
3. pelayanan umum
berupa kantor
kecamatan;
4. pelayanan ibadah
berupa masjid;
5. pelayanan
keamanan
berupa kantor
polisi/polsek;
6. pelayanan sosial
berupa bagian
dari kantor
kecamatan;
7. pelayanan
budaya berupa
bagian dari
kantor
kecamatan;dan
8. pelayanan
ekonomi berupa
pasar kecamatan.
berupa sebuah
kawasan
subpusat
pelayanan kota
atau menyebar
dengan jarak
relative dekat
dan mudah
dicapai; dan
mempunyai
aksesibilitas
tinggi
Pusat Lingkungan (PL)
Kelurahan
Pondok Benda
1. kegiatan yang
diperbolehkan
meliputi kegiatan
pemerintahan,
perdagangan dan
jasa skala lokal,
sarana pendidikan,
sarana kesehatan,
sarana olah raga,
sarana transportasi
dan telkomunikasi,
1. KDB
maksimum
60 (enam
puluh)
persen;
2. KLB
maksimum 4
(empat); dan
KDH paling
rendah
sebesar 10
1. pelayanan
pendidikan
untuk sekolah
dasar;
2. pelayanan
kesehatan
berupa
poliklinik;
3. pelayanan
umum berupa
kantor
berupa sebuah
kawasan atau
menyebar dengan
jarak relatif dekat
dan mudah
dicapai; dan
dilengkapi dengan
sarana
perparkiran.
Tabel 2.2
Ketentuan umum peraturan zonasi struktur ruang Kota Tangerang Selatan
14. 23
sarana rekreasi dan
RTH;
2. kegiatan yang
diperbolehkan
dengan syarat
meliputi rumah
susun atau
apartemen, rumah
toko atau rumah
kantor, dan
kegiatan
pemanfaatan ruang
untuk mendukung
kegiatan
perdagangan dan
jasa; dan
3. kegiatan yang tidak
diperbolehkan
meliputi industri,
bengkel alat berat,
dan kegiatan-
kegiatan yang
mengganggu
kenyamanan serta
menimbulkan
pencemaran.
(sepuluh)
persen.
kelurahan;
4. pelayanan
ibadah berupa
masjid;
5. pelayanan
sosial berupa
bagian dari
kantor
kelurahan;
6. pelayanan
budaya berupa
bagian dari
kantor
kelurahan;dan
7. pelayanan
ekonomi
berupa
pertokoan.
Sumber: Lampiran XXIIa Perda Kota Tangerang Selatan No 15 Tahun 2011
2. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
a) Ketentuan pokok tentang perumahan, permukiman, peran masyarakat, dan
pembinaan perumahan dan permukiman nasional mengacu kepada
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman dan Surat Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana
Wilayah Nomor 217/KPTS/M/2002 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP);
b) Pemanfaatan ruang untuk kawasan peruntukan permukiman harus sesuai
dengan daya dukung tanah setempat dan harus dapat menyediakan
lingkungan yang sehat dan aman dari bencana alam serta dapat
memberikan lingkungan hidup yang sesuai bagi pengembangan
masyarakat, dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan
hidup;
c) Kawasan peruntukan permukiman harus memiliki prasarana jalan dan
terjangkau oleh sarana tranportasi umum;
15. 24
d) Pemanfaatan dan pengelolaan kawasan peruntukan permukiman harus
didukung oleh ketersediaan fasilitas fisik atau utilitas umum (pasar, pusat
perdagangan dan jasa, perkantoran, sarana air bersih, persampahan,
penanganan limbah dan drainase) dan fasilitas sosial (kesehatan,
pendidikan, agama);
e) Tidak mengganggu fungsi lindung yang ada;
f) Tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam;
g) Dalam hal kawasan siap bangun (kasiba) dan lingkungan siap bangun
(lisiba), penetapan lokasi dan penyediaan tanah; penyelenggaraan
pengelolaan; dan pembinaannya diatur di dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan
Siap Bangun yang Berdiri Sendiri.
3. Ketentuan teknis
Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan:
a) Topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0 - 25%);
b) Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh
penyelenggara dengan jumlah yang cukup. Untuk air PDAM suplai air
antara 60 liter/org/hari - 100 liter/org/hari;
c) Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi);
d) Drainase baik sampai sedang;
e) Tidak berada pada wilayah sempadan sungai/ pantai/ waduk/ danau/ mata
air/ saluran pengairan/ rel kereta api dan daerah aman penerbangan;
f) Tidak berada pada kawasan lindung;
g) Tidak terletak pada kawasan budi daya pertanian/penyangga;
h) Menghindari sawah irigasi teknis.
B. Kawasan peruntukan perdagangan dan jasa
1. Fungsi utama
Kawasan peruntukan perdagangan dan jasa memiliki fungsi antara lain:
a) Memfasilitasi kegiatan transaksi perdagangan dan jasa antar masyarakat
yang membutuhkan (sisi permintaan) dan masyarakat yang menjual jasa
(sisi penawaran);
16. 25
b) Menyerap tenaga kerja di perkotaan dan memberikan kontribusi yang
dominan terhadap PDRB.
2. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
a) Peletakan bangunan dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung
disesuaikan dengan kebutuhan konsumen;
b) Jenis-jenis bangunan yang diperbolehkan antara lain:
bangunan usaha perdagangan (eceran dan grosir): toko, warung, tempat
perkulakan, pertokoan, dan sebagainya;
bangunan penginapan: hotel, guest house, motel, dan penginapan
lainnya;
bangunan penyimpanan dan pergudangan: tempat parkir, gudang;
bangunan tempat pertemuan: aula, tempat konferensi;
bangunan pariwisata/rekreasi (di ruang tertutup): bioskop, area bermain.
c) Pemanfaatan ruang di kawasan peruntukan perdagangan dan jasa
diperuntukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan tetap
memelihara sumber daya tersebut sebagai cadangan pembangunan yang
berkelanjutan dan tetap memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
3. Ketentuan teknis
Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan:
a) Tidak terletak pada kawasan lindung dan kawasan bencana alam;
b) Lokasinya strategis dan mudah dicapai dari seluruh penjuru kota;
c) Dilengkapi dengan sarana antara lain tempat parkir umum, bank/ATM, pos
polisi, pos pemadam kebakaran, kantor pos pembantu, tempat ibadah, dan
sarana penunjang kegiatan komersial serta kegiatan pengunjung; Terdiri
dari perdagangan lokal, regional, dan antar regional.
Kriteria dan batasan teknis:
a) Pembangunan hunian diijinkan hanya jika bangunan komersial telah
berada pada persil atau merupakan bagian dari Izin Mendirikan Bangunan
(IMB);
17. 26
b) Penggunaan hunian dan parkir hunian dilarang pada lantai dasar di bagian
depan dari perpetakan, kecuali untuk zona-zona tertentu;
c) Perletakan bangunan dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung
disesuaikan dengan kelas konsumen yang akan dilayani;
d) Jenis-jenis bangunan yang diperbolehkan antara lain:
bangunan usaha perdagangan (ritel dan grosir): toko, warung, tempat
perkulakan, pertokoan;
bangunan penginapan: hotel, guest house, motel, hostel, penginapan;
bangunan penyimpanan: gedung tempat parkir, show room, gudang;
bangunan tempat pertemuan: aula, tempat konferensi;
bangunan pariwisata (di ruang tertutup): bioskop, area bermain.
2.2.5 SNI 03-1733-2004 Tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan
Perumahan Di Perkotaan
Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia yang selain berfungsi sebagai tempat
berteduh dan melakukan kegiatan sehari-hari dalam keluarga, juga berperan besar
dalam pembentukan karakter keluarga. Sehingga selain harus memenuhi
persyaratan teknis kesehatan dan keamanan, rumah juga harus memberikan
kenyamanan bagi penghuninya, baik kenyamanan thermal maupun psikis sesuai
kebutuhan penghuninya.
A. Persyaratan lokasi
Lokasi lingkungan perumahan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Lokasi perumahan harus sesuai dengan rencana peruntukan lahan yang diatur
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat atau dokumen
perencanaan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah setempat,
dengan kriteria sebagai berikut:
a) Kriteria keamanan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi
tersebut bukan merupakan kawasan lindung (catchment area), olahan
pertanian, hutan produksi, daerah buangan limbah pabrik, daerah bebas
bangunan pada area Bandara, daerah dibawah jaringan listrik tegangan
tinggi;
18. 27
b) Kriteria kesehatan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi
tersebut bukan daerah yang mempunyai pencemaran udara di atas
ambang batas, pencemaran air permukaan dan air tanah dalam;
c) Kriteria kenyamanan, dicapai dengan kemudahan pencapaian
(aksesibilitas), kemudahan berkomunikasi (internal/eksternal, langsung
atau tidak langsung), kemudahan berkegiatan (prasarana dan sarana
lingkungan tersedia);
d) Kriteria keindahan/keserasian/keteraturan (kompatibilitas), dicapai
dengan penghijauan, mempertahankan karakteristik topografi dan
lingkungan yang ada, misalnya tidak meratakan bukit, mengurug seluruh
rawa atau danau/setu/sungai/kali dan sebagainya;
e) Kriteria fleksibilitas, dicapai dengan mempertimbangkan kemungkinan
pertumbuhan fisik/pemekaran lingkungan perumahan dikaitkan dengan
kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana;
f) Kriteria keterjangkauan jarak, dicapai dengan mempertimbangkan
jarak pencapaian ideal kemampuan orang berjalan kaki sebagai pengguna
lingkungan terhadap penempatan sarana dan prasarana-utilitas
lingkungan; dan
g) Kriteria lingkungan berjati diri, dicapai dengan mempertimbangkan
keterkaitan dengan karakter sosial budaya masyarakat setempat, terutama
aspek kontekstual terhadap lingkungan tradisional/lokal setempat.
2. Ketentuan dasar fisik lingkungan perumahan harus memenuhi faktor-faktor
berikut ini:
a) Ketinggian lahan tidak berada di bawah permukaan air setempat, kecuali
dengan rekayasa/ penyelesaian teknis.
b) Kemiringan lahan tidak melebihi 15% (lihat Tabel 2.3) dengan
ketentuan:
tanpa rekayasa untuk kawasan yang terletak pada lahan
bermorfologi datar/landai dengan kemiringan 0-8%; dan
diperlukan rekayasa teknis untuk lahan dengan kemiringan 8-15%
19. 28
Sumber: SNI 03-1733-2004
Tabel 2.3
Kesesuaian penggunaan lahan berdasarkan kemiringan lereng
B. Asumsi dasar lingkungan perumahan
Jumlah penghuni rumah rata-rata : 5 jiwa
Jarak ideal jangkauan pejalan kaki : 400 m
Klasifikasi Kawasan Kepadatan
Rendah Sedang Tinggi Sangat Padat
Kepadatan
Pendudukan (jiwa/ha)
< 150 151 - 200 200 - 400 > 400
Kebutuhan Rumah
Susun
Alternatif Disarankan Disyaratkan Disyaratkan
(untuk
kawasan
tertentu)
(untuk
pusat-pusat
kegiatan
kota dan
kawasan
tertentu)
(peremajaan
lingkungan
pemukiman
perkotaan)
(peremajaan
lingkungan
pemukiman
perkotaan)
Sumber: SNI 03-1733-2004
Peruntukkan
Lahan
Kelas Sudut Lereng (%)
0 - 3 3 - 5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20 - 30 30 - 40 > 40
Jalan Raya
Parkir
Taman Bermain
Perdagangan
Drainase
Permukiman
Trotoar
Bidang resapan
septik
Tangga umum
Rekreasi
Tabel 2.4
Kebutuhan rumah susun berdasarkan kepadatan penduduk
20. 29
C. Perencanaan kebutuhan sarana dan prasarana lingkungan
Dalam lingkungan perumahan perkotaan diperlukan sarana dan prasarana untuk
menunjang kebutuhan penduduk. Sarana lingkungan merupakan fasilitas
penunjang, yang berfungsi untuk menyelenggarakan dan mengembangkan
kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Adapun rincian kebutuhan sarana
lingkungan dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Dalam lingkungan perumahan selain diperlukan sarana juga diperlukan prasarana.
Prasarana lingkungan merupakan kelengkapan dasar fisik lingkungan yang
memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Berikut ini diuraikan standar jalan dan pedestrian yang akan digunakan sebagai
acuan perencanaan lingkungan perumahan perkotaan. Adapun Tabel 2.6
menunjukkan ketentuan klasifikasi jalan di lingkungan perumahan.
Penyediaan jaringan sirkulasi pedestrian
Beberapa prinsip dan kriteria yang harus dipenuhi pada perencanaan jalur
pedestrian adalah:
1. Asas keterkaitan/ keterhubungan (connections), yaitu bagaimana membuat
jalinan jejaring sirkulasi pedestrian yang saling menghubungkan berbagai
area yang dapat dijangkau pejalan kaki;
2. Azas kemudahan pencapaian (convenience), yaitu bagaimana membuat
kemudahan sirkulasi yang dapat secara langsung dicapai dan dipergunakan
oleh publik secara umum dengan mudah;
3. Azas keselamatan/keamanan dan atraktif (convivial), yaitu bagaimana
membentuk lingkungan yang menjamin pejalan kaki bergerak dengan
terlindungi dan aman terutama terhadap sirkulasi kendaraan bermotor di
sekitarnya sekaligus aman terhadap kemungkinan gangguan kriminalitas,
serta bagaimana membentuk lingkungan yang kondusif bagi pejalan kaki
untuk lebih memilih berjalan kaki dengan menggunakan jaringan sirkulasi
pedestrian yang disediakan akibat penyelesaian lingkungan sekitar
jaringan sirkulasi ini yang menarik bagi pejalan kaki;
21. 30
Tabel 2.5
Kebutuhan sarana penduduk
No. Jenis
Sarana
Jumlah
Penduduk
Pendukung
(iwa)
Kebutuhan Per Satuan
Sarana
Standard
(m2/jiwa)
Radius
Pencap
aian
Kriteria Lokasi
dan Penyelesaian
Luas Lantai
Min. (m2)
Luas Lahan
Min. (m2)
A. Sarana Pemerintahan dan Pelayanan Umum
1 Pos
Kamtib
30.000 72 200 0,006 Dapat dijangkau
dengan kendaraan
umum. Beberapa
sarana dapat
digabung dalam
satu atau kelompok
bangunan pada
tapak yang sama.
Agen layanan pos
dapat bekerja sama
dengan pihak yang
mau berinvestasi
dan bergabung
dengan sarana lain
dalam bentuk
wartel, warnet, atau
warpostel. Loket
pembayaran air
bersih dan listrik
lebih baik saling
bersebelahan.
2 pos
pemadam
kebakara
n
30.000 72 200 0,006
Agen
pelayana
n pos
30.000 36 72 0,0024
Loket
pembayar
an air
bersih
30.000 21 60 0,002
Loket
pembayar
an
listrik
30.000 21 60 0,002
telepon
umum,
bis surat,
bak
sampah
kecil
30.000 - 80 0,003 Lokasinya disebar
pada titik-titik
strategis atau di
sekitar pusat
lingkungan.
parkir
umum
30.000 - 500 0,017 Dilokasikan dapat
melayani
kebutuhan
bangunan sarana
kebudayaan dan
rekreasi lain
berupa geduang
serba guna /
balai karang taruna.
B. Sarana Pendidikan Dan Pembelajaran
Taman
Kanak-kanak
1.250 216
termasuk
rumah
penjaga
36 m2
500 0,28 m2/j 500 m’ Di tengah
kelompok warga.
Tidak
menyeberang
jalan raya.
22. 31
Sekolah
Dasar
1.600 633 2.000 1,25 1.000
m’
Bergabung
dengan taman
sehingga terjadi
pengelompokan
kegiatan.
SLTP 4.800 2.282 9.000 1,88 1.000
m’
Dapat dijangkau
dengan
kendaraan umum.
Disatukan dengan
lapangan olah
raga.
Tidak selalu harus
di pusat
lingkungan.
SMU 4.800 3.835 12.500 2,6 3.000
m’
Taman
Bacaan
2.500 72 150 0,09 1.000
m’
Di tengah
kelompok warga
tidak menyeberang
jalan
lingkungan.
C. Sarana Kesehatan
BKIA /
Klinik
Bersalin
30.000 1.500 3.000 0,1 4.000
m’
Dapat
bergabung
dalam lokasi
balai warga
Puskesmas
Pembantu
dan Balai
Pengobatan
Lingkungan
30.000 150 300 0,006 1.500
m’
Dapat bergbung
dalam
lokasi kantor
kelurahan
Apotik /
Rumah
Obat
30.000 120 250 0,025 1.500
m’
Dapat bersatu
dengan rumah
tinggal/tempat
usaha/apotik
D. Sarana Peribadatan
Musholla/
Langgar
250 45 100
bila
bangunan
tersendiri
0,36 100 m’ Di tengah
kelompok
tetangga. Dapat
merupakan
bagian dari
bangunan sarana
lain
Mesjid
Warga
2.500 300 600 0,24 1.000
m’
Di tengah
kelompok
tetangga tidak
menyeberang jalan
raya. Dapat
bergabung
dalam lokasi balai
warga.
Mesjid
Lingkungan
(Kelurahan)
30.000 1.800 3.600 0 Dapat dijangkau
dengan kendaraan
umum
23. 32
Sumber: SNI 03-1733-2004
4. Azas kenyamanan (comfortable), yaitu bagaimana membentuk lingkungan
yang nyaman bagi pejalan kaki dikaitkan dengan penciptaan dimensi
besaran ruang gerak yang memenuhi standar kenyamanan pejalan kaki
ketika melewatinya; dan
Sarana
ibadah
agama lain
Tergantu
ng
sistem
kekeraba
tan
/hirarki
lembaga
Tergantung
kebiasaan
setempat
Tergantung
kebiasaan
setempat
E. Sarana Perdagangan dan Niaga
Toko /
Warung
250 50
(termasuk
gudang)
100
(bila
berdiri
sendiri)
0,4 300 m’ Di tengah
kelompok tetangga.
Dapat merupakan
bagian dari sarana
lain
Pertokoan 6.000 1.200 3.000 0,5 2.000
m’
Di pusat kegiatan
sub lingkungan.
KDB 40% Dapat
berbentuk P&D
Pusat
Pertokoan +
Pasar
Lingkungan
30.000 13.500 10.000 0,33 Dapat dijangkau
dengan kendaraan
umum
F. Sarana Kebudayaan dan Rekreasi
Balai Warga/
Balai
Pertemuan
2.500 150 300 0,12 100 m’ Di tengah
kelompok tetangga.
Dapat merupakan
bagian dari
bangunan
sarana lain
Balai
Serbaguna /
Balai Karang
Taruna
30.000 250 500 0,017 101 m’ Di pusat
lingkungan.
G. Sarana Ruang Terbuka, Taman dan Lapangan Olah Raga
Taman
/Tempat
Main
2.500 1.250 0,5 1.000 Di pusat kegiatan
lingkungan
Taman dan
Lapangan
Olah Raga
30.000 9.000 0,3 Sedapat mungkin
berkelompk
dengan sarana
pendidikan.
24. 33
5. Azas kejelasan/kemudahan pengenalan (conspicuousness), yaitu
bagaimana menyelesaikan lingkungan pedestrian dengan sistem
pergerakan yang mudah diamati dan diikuti, baik rute dan arahnya, serta
mudah dikenali keberadaannya di antara jejaring sirkulasi lain.
Beberapa kriteria dalam penyelesaian jalur pedestrian ini adalah:
1. jalur pejalan kaki diletakkan menyatu secara bersisian dengan jalur jalan
pada kedua sisi jalan pada area daerah milik jalan / damija
2. dalam kondisi tertentu, jika memang terpaksa jalur pedestrian ini dapat
hanya pada satu sisi saja. Salah satu kondisi khusus tersebut adalah kondisi
topografi atau keadaan vegetasi di sepanjang jalur jalan yang tidak
memungkinkan menampung volume kendaraan pada jalur jalan yang
relatif sempit. Perletakkan jalur yang hanya satu sisi ini memiliki
konsekuensi dimana pejalan kaki akan menggunakan jalur jalan sebagai
lintasannya. Hal tersebut dimungkinkan dengan persyaratan bahwa
kecepatan kendaraan yang melalui jalur jalan relatif rendah (sekitar 15
km/jam) dan kondisi perkerasan jalan yang tidak terlampau licin. Untuk itu
kemungkinan penyelesaian perkerasan adalah menggunakan bahan bukan
aspal (misalnya paving block) pada klasifikasi jalan setingkat jalan lokal
primer atau jalan lokal sekunder. Tambahan yang perlu diperhatikan pada
kasus khusus ini adalah dianjurkan adanya elemen pembatas sebagai
pengaman bagi pejalan kaki sehingga keamanan pejalan kaki dapat
terjamin.
3. permukaan perkerasan jalur pejalan kaki secara umum terbuat dari bahan
anti slip;
4. perkerasan jalur pejalan kaki ini harus menerus dan tidak terputus terutama
ketika menemui titik-titik konflik antara jalur pejalan kaki dengan moda
transportasi lain seperti jalur masuk kapling, halte, dan lain sebagainya;
5. penyelesaian pada titik-titik konflik ini harus diselesaikan dengan
pendekatan kenyamanan sirkulasi pejalan kaki sebagai prioritas utamanya;
6. lebar jalur untuk pejalan kaki saja minimal 1,20 m;
7. jika terdapat jalur sepeda, maka lebar jalur untuk pejalan kaki dan sepeda
minimal 2,00 m;
25. 34
8. kemiringan jalur pedestrian (trotoar) memiliki rasio 1:2;
9. tata hijau pada sisi jalur pedestrian mutlak diperlukan sebagai elemen
pembatas dan pengaman (barrier) bagi pejalan kaki, sebagai peneduh yang
memberi kenyamanan, serta turut membentuk karakter wajah jalan dari
koridor jalan secara keseluruhan;
10. pembatas fisik lain yang bersifat ringan, seperti penggunaan bollards
diperlukan sebagai elemen pengaman dan pembatas antara sirkulasi
manusia pejalan kaki dengan sirkulasi kendaraan;
11. harus dihindari bentukan jalur pejalan kaki yang membentuk labirin yang
tertutup dan terisolasi dengan lingkungan sekitarnya karena dapat memicu
terjadinya kejahatan;
12. ukuran lebar jalur pejalan kaki sesuai dengan hirarki jalan yang
bersangkutan.
2.2.6 PDT-18-2004B Tentang Pedoman Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan
Di Kawasan Perkotaan, Departemen Permukiman Dan Prasarana
Wilayah
Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan kolektor sekunder harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. Kriteria-kriteria jalan kolektor sekunder terdiri atas :
- Jalan kolektor sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling
rendah 20 (dua puluh) km/jam.
- Lebar badan jalan kolektor sekunder paling rendah 9 (sembilan) meter.
- Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup.
- Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih rendah dari
sistem primer dan arteri sekunder.
b. Sifat-sifat jalan kolektor sekunder terdiri atas :
- Jalan kolektor sekunder menghubungkan :
o Antar kawasan sekunder kedua.
- Kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. Kendaraan
angkutan barang berat tidak diijinkan melalui fungsi jalan ini di daerah
pemukiman.
- Lokasi parkir pada badan jalan dibatasi.
26. 35
Sumber: SNI 03-1733-2004
Hirarki
Jalan
Perumahan
Dimensi dari Elemen-eleman Jalan Dimensi pada Daerah Jalan
Perkerasan
(m)
Bahu
Jalan
(m)
Pedestrian
(m)
Trotoar
(m)
Damaja
(m)
Damija
(m)
Dawasja
Min.(m)
GSB
Min.(
m)
Lokal
Sekunder I
3.0-7.0
(mobil
motor)
1.5-2.0
(darurat
parkir)
1.5
(pejalan
kaki,
vegetasi,
penyandang
cacat roda)
0.5 10.0-
12.0
13.0 4.0 10.5
Lokal
Sekunder II
3.0-6.0
(mobil
motor)
1.0-1.5
(darurat
parkir)
1.5
(pejalan
kaki,
vegetasi,
penyandang
cacat roda)
0.5 10.0-
12.0
12.0 4.0 10.0
Lokal
Sekunder
III
3.0
(mobil
motor)
0.5
(darurat
parkir)
1.2
(pejalan
kaki,
vegetasi,
penyandang
cacat roda)
0.5 8.0 8.0 3.0 7.0
Lingkungan
I
1.5-2.0
(pejalan
kaki,
penjual
dorong)
0.5 0.5 3.5-4.0 4.0 2.0 4.0
Lingkungan
II
1.2
(pejalan
kaki,
penjual
dorong)
0.6 0.5 3.2 4.0 2.0 4.0
Gambar 2.4
Penampang tipikal jalan kolektor sekunder minimum
Tabel 2.6
Klasifikasi jalan di lingkungan perumahan
Sumber: PDT-18-2004B
27. 36
2.3 Ringkasan Teori dan Kebijakan
Dalam penelitian ini digunakan beberapa teori dan kebijakan untuk menunjang
analisa penelitian. Teori dan kebijakan yang digunakan telah diuraikan pada
pembahasan diatas, untuk mempermudah melihat keterkaitan antar teori dan
kebijakan yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5
Kerangka teori dan kebijakan yang digunakan
Undang-undang No. 26 Tahun
2007 Tentang Penataan Ruang
Permen PU 20/PRT/M/2011
Zoning Text
Zoning Maps
Pedoman Penyusunan Peraturan
Zonasi Edisi 2010, Dept PU
Kedudukan zonasi dalam sistem
penataan ruang
Cakupan Aturan dan Fungsi
Peraturan Zonasi
Teknik Pengaturan Zonasi
Perda No. 15 Tahun 2011 tentang
RTRW Kota Tangerang Selatan
Permen PU No.41/PRT/M/2007
Tentang Pedoman Kriteria Teknis
Kawasan Budidaya
SNI 03-1733-2004 Tentang Tata
Cara Perencanaan Lingkungan
Perumahan Di Perkotaan
Peraturan Presiden Republik
Indonesia No. 112 Tahun 2007
Tentang Penataan dan Pembinaan
Pasar Tradisional, Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern
Sumber: Hasil Identifikasi 2013
28. 37
2.4 Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian merupakan studi yang logis dan sistematis tentang prinsip-
prinsip dasar, bukan sekadar methods atau cara untuk melakukan penelitian.2
2.4.1 Jenis Penelitian
Studi ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif
semata-mata mengacu pada identifikasi sifat-sifat yang membedakan atau
karakteristik sekelompok manusia, benda atau peristiwa. Pada dasarnya,
penelitian deskripsi kualitatif melibatkan proses konseptualisasi dan menghasilkan
pembentukan skema-skema klasifikasi. Penelitian deskriptif bertujuan
menggambarkan secara cermat karaktekristik dari suatu gejala atau masalah yang
diteliti, juga fokus pada pertanyaan dasar “bagaimana” dengan berusaha
mendapatkan dan menyampaikan fakta-fakta dengan jelas, teliti dan lengkap tanpa
banyak detail yang tidak penting.
Tipe penelitian deskriptif digunakan jika ada pengetahuan atau informasi tentang
gejala sosial yang akan diselidiki atau dipermasalahkan. Pengetahuan tersebut
diperoleh dari survei literatur, laporan hasil penelitian, atau dari hasil studi
eksplorasi. Melalui pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gejala yang
diselidiki dan dengan melakukan pengukuran yang cermat atas masalah tersebut
akan dapat dideskripsikan secara jelas dan terperinci tentang apa, siapa, kapan,
dimana, bagaimana, dan mengapa dari gejala tersebut. Jadi, penelitian deskriptif
berhubungan dengan frekuensi, jumlah dan karakteristik dari gejala yang diteliti.3
2.4.2 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dapat didefinisikan sebagai satu proses mendapatkan data
melalui responden dengan menggunakan metode tertentu4
. Data untuk suatu
penelitian dapat dikumpulkan dari berbagai sumber. Sumber data dibedakan atas
sumber data primer dan sumber data sekunder.
2
Silalahi Ulber.2009.Metode Penelitian Sosial.Bandung:Refika Aditama.h 14.
3
Silalahi Ulber.2009.Metode Penelitian Sosial.Bandung:Refika Aditama.h 27-28.
4
Silalahi Ulber.2009.Metode Penelitian Sosial.Bandung:Refika Aditama.h 280.
29. 38
1. Sumber Data Primer
Sumber primer adalah suatu objek atau dokumen original-material mentah dari
pelaku yang disebut “first-hand information”. Data yang dikumpulkan dari situasi
aktual ketika peristiwa terjadi dinamakan data primer. Data primer mempunyai
keuntungan karena sesuai dengan tujuan penelitian dan dikumpulkan dengan
prosedur yang ditetapkan dan dikontrol oleh peneliti. Akan tetapi, pengumpulan
data primer seringkali melebihi biaya dan waktu yang tersedia bagi penelitian.
Dalam penelitian ini metode pengambilan data primer dilakukan dengan metode
survei. Survei merupakan usaha untuk mengumpulkan data dari anggota populasi
untuk menentukan status terakhir dari populasi menegnai satu atau lebih
fenomena. Ada dua tipe utama pengumpulan data yang digunakan untuk metode
survei, yakni kuesioner atau angket dan interview (wawancara).
1. Kuesioner
Kuesioner merupakan satu mekanisme pengumpulan data yang efisien bila
peneliti mengetahui secara jelas apa yang disyaratkan dan bagaimana
mengukur variable yang diminati. Tipe kuesioner yang digunakan oleh peneliti
adalah pertanyaan dan jawaban tertutup. Pertanyaan tertutup meminta
responden membuat pilihan di antara satu set alternatif tertentu yang telah
ditetapkan oleh peneliti. Tujuan pengumpulan data melalui metode kuesioner
ini adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kegiatan yang ada di
dekitar tempat tinggal mereka. Sehingga dari beberapa kegiatan yang ada di
ketahui kegiatan apa yang mengganggu kenyamanan atau ketenangan
masyarakat.
Langka-langkah dalam pelaksanaan pengumpulan data dengan metode
kuesioner adalah:
Pernyataan masalah
Pilih subjek
Susun kuesioner: lebih atraktif dan singkat serta mudah dijawab
Validasi kuesioner
Siapkan surat pengantar
Uji coba kuesioner kepada sampel kecil dari subjek
Tindaklanjuti kegiatan
30. 39
Lakukan pengeditan kuesioner dan pengkodean terhadap tiap respon
Analisis data
Tulis satu laporan yang menyajikan temuan.
2. Wawancara
Wawancara dibedakan atas wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Tipe
wawancara yang digunakan oleh peneliti adalah wawancara tidak terstruktur.
Wawancara tak terstruktur tidak memiliki setting wawancara dengan frekuensi
pertanyaan yang direncanakan yang akan ditanyakan kepada responden.
Wawancara dilakukan peneliti terutama dalam memilih dan merumuskan
masalah dalam studi pendahuluan atau penjajakan, dengan maksud untuk
menggali beberapa faktor dalam situasi yang mungkin menjadi pusat untuk
masalah utama penelitian.
3. Observasi
Kegiatan observasi dilakukan untuk mendapatkan data yang tidak akan didapat
selain dengan melakukan survei lapangan. Observasi dalam penelitian ini
diperlukan untuk mengamati kegiatan atau penggunaan lahan, intensitas
pemanfaatan ruang, tata letak bangunan, tata massa bangunan, serta kondisi
sarana-prasarana yang ada. Alat yang digunakan dalam observasi ini adalah
Geographycal Positioning System (GPS) untuk meng-update penggunaan
lahan eksisting setelah melihat penggunaan lahan lokasi penelitian melalui foto
citra udara (Google Earth). Selain GPS alat yang digunakan adalah camera
sebagai dokumentasi untuk menggambarkan kondisi lapangan saat ini.
2. Sumber Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari tangan kedua atau dari
sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan, sumber
sekunder meliputi komentar, interpretasi, atau pembahasan tentang materi
original. Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian penyusunan peraturan
zonasi adalah data profil/monografi wilayah studi seperti kepadatan penduduk,
penggunaan lahan, jumlah sarana dan prasarana, kondisi morfologi Kelurahan
Benda Baru dan Kelurahan Pondok Benda. Dalam penelitian ini juga diperlukan
studi literatur mengenai pedoman teknis penyusunan aturan zonasi edisi 2010,
31. 40
Peraturan Menteri PU No. 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota, Peraturan
Daerah No. 15 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Tangerang Selatan 2011, Standar
Nasional Indonesia 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan
Perumahan Perkotaan, standar sarana dan prasarana Departemen PU berdasarkan
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 378/KPTS/1987, Peraturan Menteri PU
No.41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya, SK
Menteri PU No. 640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota.
2.4.3 Teknik Pemilihan Sampel
Ada dua tipologi utama dari teknik pemilihan sampel yang umum digunakan
yakni pemilihan sampel probabilitas (probability) atau juga disebut pemilihan
sampel acak (random sampling) dan sampel tak probabilitas (nonprobability)
atau disebut sampel tak acak (non random sampling). Peneliti menggunakan
pemilihan sampel tak acak karena elemen dalam populasi tidak memiliki peluang
yang sama untuk dipilih menjadi subjek dalam sampel. Terdapat beberapa jenis
teknik penarikan sampel nonprobabilitas yaitu sampel aksidental (accidental
sampling), sampel kuota (quota sampling), sampel bertujuan (purposive
sampling), sampel bola salju (snowball sampling). Teknik penarikan sampel yang
digunakan penelitian untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak yaitu
purposive sampling. Pemilihan sampel purposif, merupakan pemilihan siapa
subjek yang ada dalam posisi terbaik untuk memberikan informasi yang
dibutukan. Oleh karena itu, peneliti memilih sampel berdasarkan penilaian atas
karakteristik anggota sampel yang dengannya dapat diperoleh data sesuai dengan
maksud penelitian5
.
Teknik sampel ini digunakan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap
kegiatan di sekitar tempat tinggalnya. Kegiatan yang ada di sekitar tempat tinggal
perlu dilakukan survei untuk mengetahui jenis kegiatan apa saja yang ada dan
dilakukan pemilahan kegiatan yang sesuai dengan variabel yang akan diteliti atau
yang ingin diketahui. Setelah diidentifikasi terdapat 15 jenis kegiatan yang ingin
5
Silalahi Ulber.2009.Metode Penelitian Sosial.Bandung:Refika Aditama.h 250.
32. 41
diketahui persepsi masyarakat terhadap keberadaan kegiatan tersebut. Oleh karena
itu pemilihan sampel dilakukan tak acak karena hanya populasi tertentu saja yang
dapat berpendapat.
Estimasi ukuran sampel dilakukan dengan melihat rumah masyarakat yang
berdampak langsung dengan keberadaan kegiatan yang diteliti, yaitu yang
bertetanggaan langsung. Dalam hal ini peneliti mengambil lima populasi dari tiap
jenis kegiatan sehingga keseluruhan sampel adalah 75 sampel. pengambilan
sampel hanya dilakukan pada 5 populasi yang bertetanggaan atau berdekatan
dengan kegiatan yang ada. Pengambilan jumlah sampel dilakukan berdasarkan
hasil observasi dan wawancara dan hanya sampel yang bertetanggaan langsung
atau berdekatan saja yang merasakan keberadaan kegiatan yang ada.
2.4.4 Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Dalam kegiatan pengolahan dan analisa data digunakan beberapa perangkat lunak
(software) sebagai alat bantu. Data citra Google Earth digunakan untuk dasar
pembuatan peta identifikasi awal penggunaan lahan di lokasi penelitian. Global
Mapper 11 digunakan untuk menggeoratifikasikan titik-titik koordinat dari GPS,
MapInfo Professional 10.0 digunakan untuk mendigitasi dan mengolah data
penggunaan lahan yang sudah di update menggunakan GPS dan
digeoratifikasikan oleh Globbal Mapper, ArcGIS 9 digunakan untuk mengedit,
mengolah, menganalisa data spasial serta lay-outing. Pada data tabular, SPSS 13.0
digunakan untuk mengolah data kuesioner yang telah disebar, sedangkan dalam
perangkat lunak Microsoft Office digunakan untuk penulisan.
2.4.5 Metode Penelitian
Metodologi penelitian dilakukan beberapa tahap berdasarkan pencapaian sasaran
penelitian, sebagai berikut:
Tahap Awal:
1. Melihat potensi dan permasalahan di lokasi studi
2. Menetapkan deliniasi lokasi studi berdasarkan batasan fisik dan
permasalahan yang ada.
33. 43
3. Melakukan intepretasi terhadap RTRW Kota Tangerang Selatan dengan
melihat rencana pola dan struktur ruang untuk mengetahui rencana
pengembangan kawasan.
Tahap Pengumpulan Data:
Dalam pengumpulan data, metode yang digunakan adalah metode survei. Metode
survei adalah penyelidikan yang dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta dari
gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik
tentang intitusi sosial, ekonomi atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu
daerah. Berikut ini adalah tahapan dalam pengumpulan data:
1. Identifikasi penggunaan lahan di calon lokasi penelitian berdasarkan data
citra satelit (Google Earth) sebelum melakukan survei lapangan.
2. Survei tahap I, yaitu survei penjajakan dengan observasi untuk melihat
langsung kondisi lapangan dan penggunaan lahan di calon lokasi dan
melakukan wawancara mengenai permasalahan yang ada di calon lokasi
penelitian.
3. Perumusan masalah utama penelitian untuk menetapkan lokasi penelitian
berdasarkan hasil identifikasi dan wawancara lapangan.
4. Survei tahap II, yaitu observasi dan dokumentasi untuk mengidentifikasi
intensitas pemanfaatan ruang (KDB, KLB, KDH), tata letak bangunan, tata
massa bangunan (GSB, jarak bebas antar bangunan, ketinggian bangunan,
amplop bangunan, tampilan bangunan), kondisi sarana-prasarana (parkir,
bongkar muat, dimensi jalan dan kelengkapannya) serta mengindetifikasi
daerah yang memiliki masalah fisik yaitu daerah banjir dan daerah mix-
used. Pada tahap ini peneliti menggunakan GPS Garmin untuk meng-
update penggunaan lahan yang sudah di digitasi dari peta citra satelit serta
menge-plot kegiatan penggunaan lahan selain rumah di zona pemukiman.
5. Survei tahap III, dilakukan untuk memperoleh data sekunder dari instansi
terkait, yang digunakan sebagai bahan cross-check ke lapangan untuk
mengetahui karakteristik masyarakat di lokasi penelitian.
6. Survei tahap IV, yaitu penyebaran kuesioner untuk mengidentifikasi
permasalahan fisik yang ada berdasarkan persepsi masyarakat. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling yaitu
34. 44
sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang atau
sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa
seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi
penelitiannya.
7. Analisis data primer (hasil survei) berdasarkan pedoman teknis
penyusunan aturan zonasi Tahun 2010, Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No. 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman penyusunan rencana detil
tata ruang dan peraturan zonasi kabupaten/kota, Peraturan Daerah No. 15
Tahun 2011 tentang RTRW Kota Tangerang Selatan 2011, Standar
Nasional Indonesia 03-1733-2004 tentang Tata cara perencanaan
lingkungan perumahan perkotaan, standar sarana dan prasarana
Departemen Pekerjaan Umum berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum No. 378/KPTS/1987, Permen PU No.41/PRT/M/2007 tentang
Pedoman kriteria teknis kawasan budidaya, SK Menteri Pekerjaan Umum
No. 640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota.
Tahap Analisa:
Setelah melakukan kompilasi data yang ditemukan berdasarkan survei maka
dilakukan analisa berdasarkan teori-teori, kebijakan maupun standar terkait dalam
penyusunan aturan zonasi. Berikut ini adalah tahapan dalam analisa:
1. Pertama, menyiapkan dan membangun digitalisasi data meliputi
superimpose data spasial penggunaan lahan dan struktur ruang antara
eksisting dengan rencana untuk melihat kesesuaian arahan penggunaan
lahan di lokasi studi.
2. Kedua, intepretasi RTRW Kota menjadi rencana yang lebih detail, dengan
membuat konsep pengembangan rencana kawasan lokasi penelitian yaitu
Kecamatan Pamulang.
3. Ketiga, melakukan analisa kesesuaian lahan dan karakteristik masyarakat
di lokasi penelitian untuk membuat konsep pengembangan kawasan
Koridor Parakan-Pondok Benda.
4. Keempat, membahas hasil pengolahan data persepsi masyarakat dikaitkan
dengan karakteristik dan penggunaan lahan. Pengolahan data dilakukan
dengan pengolahan data kuesioner dengan melakukan crosstabs antara
35. 45
variabel persepsi jenis gangguan dengan jenis kegiatan disekitar tempat
tinggalnya.
5. Kelima, melakukan analisa rencana aturan kegiatan yang berkembang dan
mungkin dikembangkan di lokasi penelitian.
6. Keenam, analisa mendalam terhadap daerah yang memiliki masalah
dengan melakukan superimpose data primer dan sekunder sehingga akan
didapat aturan pemanfaatan lahan khusus, yang akan disajikan dalam
bentuk matriks penggunaan lahan dan peta zonasi.
Hasil dari analisa tersebut akan digunakan sebagai masukan dalam penyusunan
peraturan zonasi di kawasan koridor Parakan-Pondok Benda dengan
mempertimbangkan tata bangunan dan lingkungan serta pengaruhnya terhadap
kualitas lingkungan perumahan.