Dokumen tersebut membahas tentang hubungan antara agama dan negara. Secara khusus, dibahas mengenai pengertian agama dan fungsinya di masyarakat, pengertian negara dan latar belakang timbulnya negara, serta berbagai pandangan mengenai hubungan antara agama dan negara seperti pandangan teokrasi, sekuler, dan akomodatif.
2. 1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan laporan praktikum ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA”.
laporan ini berisikan tentang”pengertian agama dan negara” atau yang lebih
khususnya”bagaimanakah Hubungan Agama dan Negara di Indonesia”.Diharapkan laporan ini
dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang”Hubungan Agama Dan Negara”.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan laporan
ini. Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membagi
ilmunya. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Yogyakarta, Juli2013
Penulis
3. 2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………………............ i
Daftar Isi …………………………………………………………………………….. ii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………. 3
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………… 4
1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………………….. 4
Bab II Pembahasan
2.1 Pengetian Agama ……………………………………………………………. 5
2.2 Fungsi Agama di Masyarakat ……………………………………………….. 6
2.3 Pengertian Negara …………………………………………………………… 7
2.4 Latar Belakang Timbulnya Negara ………………………………………….. 8
2.5 Hubungan Agama dan Negara
2.5.1 Hubungan agama dan negara menurut paham teokrasi……………….. 10
2.5.2 Hubungan agama dan negara menurut paham sukuler………………... 10
2.5.3 Hubungan agama dengan kehidupan manusia………………………… 10
2.5.4 Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik …………... 11
2.5.5 Hubungan Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif……………. 12
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan …………………………………………………………………... 15
3.2 Saran …………………………………………………………………………. 15
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………….. 16
4. 3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seperti diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam
sejarah peradaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara
keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara
bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad
pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad
modern sekarang ini).
Diskusi mengenai agama dan negara masih terus berlanjut di kalangan para ahli. Pada
dasarnya yang diperdebatkan adalah perlu tidaknya campur tangan agama dalam urusan
kenegaraan. Oleh karenanya, kajian terhadap urgensi beragama dan bernegara menjadi sangat
penting. Dari sana kita akan dapat menyimpulkan sebarapa besar peranan agama terhadap
negara. Juga perlu dimengerti pandangan berbagai ideologi menyangkut masalah ini.
Maka pada makalah ini akan diuraikan tentang pentingnya bernegara dan beragama.
Dilanjutkan dengan hubungan antara agama dan negara ditinjau dari paham teokrasi, sekuleris
dan komunis. Sehingga nantinya kita dapat menyimpulkan seberapa penting keterlibatan agama
dalam negara.
Orientasi ke depan adalah kita dapat menjelaskan relasi agama dan negara dalam berbagai
ideologi, mampu menganalisa konsep hubungan agama dan negara dalam Islam serta dapat
mengkritisi hubungan agama dan negara di Indonesia.
5. 4
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah pengertian agama?
1.2.2 Bagaimana fungsi agama di masyarakat?
1.2.3 Apakah pengertian negara?
1.2.4 Apa yang melatar belakangi timbulnya Negara?
1.2.5 Bagaimanakah hubungan agama dan Negara?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui tentang pengertian agama
1.3.2 Untuk mengetahui fungsi agama di masyarakat
1.3.3 Untuk mngetahui pengertian Negara
1.3.4 Untuk mengetahui latar belakang timbulnya Negara
1.3.5 Untuk mengetahui hubungan agama dan Negara
6. 5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengetian Agama
Kata Agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti
kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama
dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar
hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut
Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau
sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam
sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang
moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari
kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam
pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan
hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara
horizontal (Sumardi, 1985:71). Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan
realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan Dalam
pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk
merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali
kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk
menjadi pedoman dalam hidupnya.
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang
dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam
disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan
keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai
Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu
hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi
kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
7. 6
Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed,
1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau
kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan. Walaupun kedua pandangan itu berbeda
sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya
sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini
dan diseberang sana.
Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme,
Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan Allah”
(Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala dalam Islam telah dirumuskan
agama sebagai berikut: “Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap
selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan
yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan,
terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya” ( Sumardi, 1985:75). Uraian
Sijabat ini menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap panggilan yang Maha
Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud dalam
hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan segala isinya. Pandangan itu
mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas atau wahyu yang ditanggapi oleh
manusia yang berada dibawah.
2.2 Fungsi Agama di Masyarakat
Pengertian fungsi disini adalah sejauh mana sumbangan yang diberikan agama terhadap
masyarakat sebagai usaha yang aktif dan berjalan secara terus – menerus. Dalam hal ini ada dua
fungsi agama bagi masyarakat diantaranya:
2.2.1 Agama telah membantu, mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan
isi kewajiban – kewajiban sosial dengan memberikan nilai – nilai yang berfungsi
menyalurkan sikap – sikap para anggota masyarakat dan menciptakan kewajiban –
kewajiban sosial mereka. Dalam hal ini agama telah menciptakan sistem nilai sosial yang
terpadu dan utuh.
8. 7
2.2.2 Agama telah memberikan kekuatan penting dalam memaksa dan mempererat adat
istiadat yang dipandang bagus yang berlaku di masyarakat.
Secara lebih jauh bahwa fungsi agama di masyarakat dapat dilihat dari fungsinya terutama
sebagai suatu yang mempersatukan. Dalam pengertian harfiyahnya agama menciptakan suatu
ikatan bersama, baik antara anggota masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang
membantu mempersatukan mereka. Karena nilai-nilai yang mendasari sistem sosial dukungan
bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan, maka agama menjamin adanya persetujuan
dalam masyarakat. Agama juga cenderung melestarikan nilai-nilai sosial, maka yang
menunjukan bahwa nilai-nilai keagamaan tesebut tidak mudah diubah, karena adanya perubahan
dalam konsepsi-kosepsi kegunaan dan kesenangan duniawi.
2.3 Pengertian Negara
Negara adalah organisasi yang didalamnya ada rakyat, wilayah yang permanen, dan
pemerintah yang berdaulat. Dalam arti luas, negara merupakan kesatuan sosial (masyarakat)
yang diatur secara konstitusional untuk mewujudkan kepentingan bersama. Jadi, negara adalah
suatu wilayah yang didiami oleh penduduk secara tetap dan punya sistem pemerintahan.
Secara etimologi istilah Negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state
(bahasa Inggris), state (Bahasa Belanda dan Jerman) dan etat (Bahasa Prancis), kata staat, state,
etat itu diambil dari kata bahasa Latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan
tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Secara terminologi Negara diartikan dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok
masyarakat yang mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
Secara khusus, pengertian negara dapat diketahui dari beberapa ahli kenegaraan, antara lain :
Menurut Aristoteles, negara adalah persekutuan dari keluarga dan desa guna memperoleh
hidup yang sebaik - baiknya.
Menurut Karl Mark, negara adalah alat yang berkuasa ( kaum borjuis/kapitalis ) untuk
menindas atau mengeksploitasi kelas yang lain ( proletariat / buruh ).
9. 8
Menurut Logemann, negara adalah organisasi kemasyarakatan ( ikatan kerja ) yang
mempunyai tujuan untuk mengatur dan memelihara masyarakat tertentu dengan
kekuasaannya.
Menurut Harold J. Laski, negara adalah suatu masyarakat yang terintegrasi karena punya
wewenang yang bersifat memaksa dan secara sah lebih agung daripada individu atau
kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat.
Menurut Kranenburg, negara adalah suatu sistem dari tugas - tugas umum dan organisasi
yang diatur dalam usaha mencapai tujuan yang juga menjadi tujuan rakyat yang
diliputinya, sehingga perlu adanya pemerintahan yang berdaulat.
Menurut Mr. Soenarko, negara adalah suatu organisasi masyarakat yang mengandung
tiga kriteria yaitu ada daerah, warga negara, dan kekuasaan tertentu.
Menurut Meriam Budiarjo, negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya
diperintah oleh sejumlah pejabat yang berhasil menuntut warganya untuk taat pada
peraturan perundang - undangan melalui penguasaan monopolistis dari kekuasaan yang
sah.
2.4 Latar Belakang Timbulnya Negara
Asal mula terjadinya Negara berdasarkan fakta sejarah.
2.4.1 Penduduk (occupatie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah yang tidak bertuan dan belum dikuasai, kemudian
diduduki dan dikuasai. Misalnya Liberia yang diduduki budak – budak Negara yang
dimerdekakan tahun 1847.
2.4.2 Peleburan (fusi)
Hal ini terjadi ketika Negara – Negara kecil yang mendiami suatu wilayah mengadakan
perjanjian untuk saling melebur atau bersatu menjadi Negara yang baru. Misalnya terbentuknya
federasi Jerman tahun 1871.
10. 9
2.4.3 Penyerahan (Cessie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah diserahkan kepada Negara lain berdasarkan sutau
perjanjian tertentu.
2.4.4 Penaikan (Acessie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah terbentuk akibat penaikan lumpur sungai atau dari
dasar laut (delta). Kemudian di wilayah tersebut dihuni oleh sekelompok orang sehingga
terbentuklah Negara. Misalnya wilayah Negara Mesir yang berbentuk dari delta sungai Nil.
Disamping itu terdapat beberapa teori pembentukan Negara, diantaranya adalah:
2.4.5 Teori Kontrak Sosial
Thomas Hobbes (1588-1679) mengemukakan bahwa Negara menimbulkan rasa takut
kepada siapapun yang melanggar hukum negara. Jika warga Negara melanggar hukum Negara,
tidak segan – segan Negara menjatuhkan vonis hukuman mati, keadaan alamiah ditafsirkan
suatu keadaan manusia yang hidup bebas dan sederajat menurut kehendak hatinya sendiri dan
mengajarkan hidup rukun, tentram, tidak mengganggu hidup, kesehatan, kebebasan, dan milik
dari sesamanya.
2.4.6 Teori Ketuhanan
Teori ketuhanan dekenal juga dengan doktrin teokratis dalam teori asal mula Negara. Teori
ini bersifat universal dan ditemukan baik di dunia timur maupun di dunia barat, baik dalam teori
maupun praktik. Diabad pertengahan, Bangsa Eropa menggunakan teori ini untuk membenarkan
kekuasaan raja – raja yang mutlak. Doktrin ini menggunakan hak – hak raja yang berasal dari
tuhan untuk memerintah dan bertahta sebagai raja (devine right of kings). Doktrin ini lahir
sebagai resultante controversial dari kekuasaan politik abad pertengahan.
2.4.7 Teori Kekuatan
Teori kekuatan secara sederhana dapat diartikan bahwa Negara yang pertama adalah
dominasi dari kelompok yang terkuat terhadap kelompok yang terlemah. Negara dibentuk
11. 10
Negara penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan pendudukan dari kelompok etnis
yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah, dimulailah proses pembentukan Negara.
2.4.8 Teori Organis
Konsep organis tentang hakikat dan asal mula tebentuknya Negara adalah suatu konsep
biologis yang melukiskan Negara dengan istilah – istilah ilmu alam. Negara dianggap atau
disamakan dengan makhluk hidup, manusia, atau binatang.
2.4.9 Teori Histories
Teori histories atau teori evolusionistis (gradualistic theory) merupakan teori yang
menyatakan bahwa lembaga – lembaga sosial tidak dibuat, tetapi tumbuh secara evolusioner
sesuai dengan kebutuhan – kebutuhan manusia.
2.5 Hubungan Agama dan Negara
Negara dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan
(discoverese) yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Berikut penulis menguraikan
hubungan agama dan negara menurut beberapa paham.
2.5.1 Hubungan agama dan negara menurut paham teokrasi
Negara menyatu dengan agama. Karena pemerintahan menurut paham ini di jalankan
berdasarkan firman-firman tuhan segala kata kehidupan dalam masyarakat bangsa, Negara di
lakukan atas titah Tuhan.
2.5.2 Hubungan agama dan negara menurut paham sukuler
Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau
firman-firman Tuhan. Meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-
norma agama.
12. 11
2.5.3 Hubungan agama dengan kehidupan manusia
Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan
masyarakat Negara. Sedangkan Agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia,
agama merupakan keluhan makhluk tertindas.
Berbicara mengenai hubngan agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik
untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam tetapi
karena persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di kalangan beberapa ahli. Untuk
mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka hubungan agama dan negara dapat
digolongkan menjadi dua, diantaranya :
2.5.4 Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik .
Maksud hubungan antagonis tikadalah sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan
antar negara dengan Islam sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya adalah pada masa
kemerdekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing
kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga presepsi tersebut membawa
implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap
idiologi politik Islam. Hal itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu
ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan Islam dan Nasionalis.
Gerakan Nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar yang
bersekolah di Belanda. Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat dan merasa terkesan
dengan kemajuan teknis di Barat. Pada waktu itu pengetahuan agama sangat dangkal sehingga
mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu menyelesaikan berbagai
persoalan. Sehingga untuk menuju kemerdekaan, nasionalis mengambil jalan tengah dengan
mengikuti tren sekuler barat dan membatasi peran agama dalam wilayah kepercayaan dan agama
individu. Akibatnya, aktivis politik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau
agama negara pada 1945 serta pada dekade 1950-an, mereka juga sering disebut sebagai
kelompok yang secara politik minoritas atau outsider.
13. 12
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat
dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan
yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik
nasional terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka. Upaya
untuk menciptakan sebuah sintesis yangmemungkinkan antara Islam dan negara terus bergulir
hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan
jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik
dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama
pemerintahan Orde Baru ( kurang lebih pada 1967-1987).
Hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik, di mana negara betul-
betul mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi
lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang tinggi untuk
mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan.
2.5.5 Hubungan Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama
lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik(
M. imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat islam merupakan kekuatan
politik yang potensial, sehingga Negara mengakomodasi islam. Jika islam ditempatkan sebagai
out-side Negara maka konflik akan sulit dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI.
Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara
mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan semakin
dilonggarkannya wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap
positif oleh sebagian (besar) masyarakat Islam. Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas dan
memiliki sifat yang berbeda diantaranya :
Struktural, yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para aktivis Islam untuk
terintegrasikan ke dalam Negara.
Legislatif , misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif
terhadap kepentingan Islam.
14. 13
Infrastruktural, yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-infrastruktur yang
diperlukan umat Islam dalam menjalankan “tugas-tugas” keagamaan.
Kultural, misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap islam yaitu menggunakan
idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis maupun politik negara.
Melihat sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam politik mengalami
dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun, harus diakui Pak Harto dan
kebijakannya sangat berpengaruh dalam menentukan corak hubungan negara dan Islam politik di
Indonesia.
Alasan Negara berakomodasi dengan Islam pertama, karena Islam merupakan kekuatan
yang tidak dapat diabaikan jikaa hal ini dilakukan akan menumbulkan masalah politik yang
cukup rumit. Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu
fobia terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari
latar belakangnya. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik di kalangan
Islam itu sendiri. Sedangkan alasan yang dikemukakan menurut Bachtiar, adalah selama dua
puluh lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang
berarti dan ditambah adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi baru Islam.
Hubungan Islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi
akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika umat Islam Indonesia ketika itu dinilai
telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi Pancasila.
Sesungguhnya sintesa yang memungkinkan antara Islam dan negara dapat diciptakan.
Artikulasi pemikiran dan praktik politik Islam yang legalistik dan formalistik telah menyebabkan
ketegangan antara Islam dan negara. Sementara itu, wacana intelektualisme dan aktivisme politik
Islam yang substansialistik, sebagaimana dikembangkan oleh generasi baru Islam, merupakan
modal dasar untuk membangun sebuah sintesa antara Islam dan negara.
Dikalangan cendikiawan muslim, polemic tentang hubungan antara agama dan negara
masih terjadi perbedaan pendapat, di Indonesia, misalnya muncul dua pendapat atau pandangan
yaitu pendapat atau pandangan Nurcholis Madjid dan H.M. Rasjidi. Nurcholis Madjid
mengemukakan gagasan pembaharuan dan mengecam dengan keras konsep negara Islam sebagai
berikut:
15. 14
“Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep “negara Islam” adalah suatu distorsi hubungan
proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang
dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang
dimensinya adalah spritual dan pribadi”. Menurut Tahir Azhary pandangan Nurcholis ini jelas
telah memisahkan antara kehidupan agama dan negara.
Seorang intelektual muslim terkemuka yaitu M. Rasjidi yang pernah menjabat Menteri
Agama dan Duta Besar di Mesir dan Pakistan, serta Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-
Lembaga Islam di Universitas Indonesia dengan sangat segan telah menulis suatu buku dengan
judul Koreksi Terhadap Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi. Kritik H.M. Rasjidi terhadap
pandangan Nurcholis dikutip oleh Muhammad Tahir Azhary yang berjudul Negara Hukum,
Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada
Periode Negara Madinah dan Masa.
Dengan konklusi bahwa dalam batas tertentu, dalam Islam ada juga pemisahan antara
negara dan agama, M.Thahir Azhary berpendapat baik Nurkholis Madjid maupun Mintaredja
telah terjebak ke alam pikiran yang rancu, karena menurutnya, Islam dapat diartikan baik sebagai
agama dalam arti sempit, maupun sebagai agama dalam arti yang luas. Dengan demikian
menurut M, Tahir Azhary , konklusi Mintaredja sesungguhnya kontradiktif dengan jalan
pikirannya sendiri. Kalau Islam dalam arti yang luas ia tafsirkan sebagai “Way of Life now in the
earth and in the heaven after death”. Konsekuensi logis dari penafsiran itu seharusnya ialah Islam
merupakan suatu totalitas yang komprehensif dan karena itu tidak mengenal pemisahan antara
kehidupan agama dan negara.
Berdasarkan fakta otentik, jelas bahwa dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasul
kehidupan agama (dalam hal ini Islam) dengan kehidupan negara tidak mungkin dipisahkan.
Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Salah satu doktrin Al-Qur’an yang
memperkuat pendirian ini adalah adanya ayat yang menyebutkan adanya kesatuan antara
hubungan manusia dengan manusia yang terdapat dalam surat Ali Imran, ayat 112.
16. 15
Ayat tersebut diperkuat lagi dengan firman Allah yang terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat
58-59 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) menetapkan hubungan diantara manusia supaya
kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-
orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu sekalian.”
(al-Nisa’ : 58-59).
17. 16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hubungan antara agama & Negara tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama,
karena pemerintah dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Segala tata kehidupan dalam
masyarakat, bangsa dan Negara dilakukan atas titah Tuhan.
Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau
firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-
norma agama. Kehidupan manusia, dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan
masyarakat Negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia,
dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas
Agama, secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan
(etimologi) dan sudut istilah (terminology) menurutnya dalam masyarakat indonesia selain dari
kata agama, dikenal pula kata din dari bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa.
Menurutnya, agama berasal dari kata Sanskrit. Pengertian agama yang dikutip sudah pasti tidak
akan mendapatkan kesepakatan dan hal ini sudah dapat diduga sebelumnya karena sebagaimana
dikatakan, bahwa kita sulit sekali atau mustahil menjumpai definisi yang dapat diterima semua
pihak.
Negara, secara literal istilah Negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni kata
staat, state, etat itu diambil dari kata bahasa latin status atau statum, yang berarti keadaan yang
tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Secara terminologi,
Negara diartikan dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang
mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan
yang berdaulat.
3.2 Saran
Penulis berharap dengan makalah ini bisa menambah wawasan dan ilmu pengetahuan
tentang apa itu dan bagaimana hubungan antara agama dan Negara.