Berawal dari kasih seorang pria Austria terhadap anak-anak yatim piatu akibat perang, SOS Desa Taruna kini mengasuh anak-anak terlantar dari keluarga pecah dan tanpa orang tua di Jakarta dengan sistem satu rumah satu ibu. Mereka mendapat pendidikan dan kesejahteraan serta berharap masyarakat dapat lebih peduli pada anak-anak ini.
1. 44 ✿ SEKAR
Foto:SendieNurseptaraS.
Peristiwa
K
etika mendengar dari seorang
kenalan tentang kiprah SOS
Desa Taruna dalam merawat
anak terlantar, Sekar langsung terta-
rik. Tanpa menunda-nunda lagi, kami
mendatangi Y.R. Sutoyo (55), sang
pimpinan, yang menjelaskan bagaim-
ana SOS berbeda dengan panti-panti
asuhan yang lain.
Berawal dari Kasih
Y. R. Sutoyo, atau Pak Toyo begitu
biasa ia dipanggil, memulai wawan-
cara ini dengan bercerita mengenai
misi yang telah berumur 60 tahun,
“Sejarah itu dimulai di Austria, pada
akhir Perang Dunia II, tahun 1949.
Adalah seorang laki-laki bernama
Hermann Gmeiner. Ketika be-
rangkat kuliah saat musim dingin,
ia tersentuh melihat begitu banyak
anak- anak di jalanan, tak terurus
dan sebatang kara akibat perang. Ia
membawa pulang delapan anak ke
rumahnya, dan menyerahkan mereka
SOS Desa Taruna
Berawal dari welas asih
seorang pria terhadap
anak-anak terlantar di
kota Innsbruck, Austria,
panti asuhan SOS
Kinderdorf kini telah
mengasuh anak-anak
terbuang di lebih dari
130 negara. Berikut
liputan IP Rangga.
Merawat anak
Yang Terbuang
kepada ibunya untuk diasuh, diberi
makan, dan diberi tempat tinggal.”
Pak Toyo melanjutkan, “Nah,
seirama dengan surutnya perang,
kondisi negara mulai membaik.
Namun masih banyak anak-anak
Bermain di taman keliling.
2. SEKAR ✿ 45
yang belum tertolong. Dari situ
pemerintah mulai turun tangan
dengan memberi gudang untuk me-
nampung mereka.” Pak Toyo men-
jelaskan, cikal bakal pemeliharaan
oleh ibunda Hermann Gmeiner inilah
yang kemudian menjadi konsep SOS
sekarang ini, bahwa yang pertama
adalah ibu: ujung tombak keluarga.
Yang terbuang
Ada hal lain lagi yang membedakan
SOS Desa Taruna dengan panti
asuhan lain: SOS tak selalu meneri-
ma anak asuh yang ditinggal mati
orang tuanya. “Banyak kasus ibu
atau bapak yang setelah menyerah
kan bayinya di sini, tidak pernah
muncul lagi. Padahal kita ingin, akar
keluarga ini senantiasa tersambung,
sehingga hubungan batin antara
anak dengan keluarga kandungnya
tetap terjalin.” Pak Toyo beberapa
kali berusaha mencari orang tua
anak-anak tersebut, “Tetapi tidak
ketemu,” sesalnya.
Pak Toyo mengatakan, banyak
dari anak-anak SOS yang diya-
kini masih punya orang tua. Justru
mereka inilah yang menurutnya perlu
banyak dibantu. “Kami di sini lebih
mengutamakan anak dari keluarga
‘broken’. Di situ banyak yang mende
rita luka batin akibat penolakan dari
keluarga,” ujarnya. Sekar bertemu
Lola, 19 tahun, sekarang kuliah se-
mester tiga di STIE YAI mengambil
jurusan manajemen keuangan per-
bankan. Ia berada di SOS sejak 10
tahun lalu, ayah dan ibunya berpisah
meski tidak pernah bercerai secara
hukum. Ia mengaku tidak tahu di
mana ibu dan saudara-saudaranya
sekarang, sementara si ayah dirawat
di panti jompo di daerah Ciputat.
Faktor lain adalah rumah tangga
yang belum siap mempunyai anak.
Kami bertemu dengan remaja
kembar, Febriana dan Febriani.
Mereka diambil dari panti asuhan
Gembala Baik, Jatinegara sejak
berumur 7 hari. Sampai hari ini
si kembar tidak tahu siapa orang
tuanya, sebuah informasi yang sebe-
narnya dipegang beberapa biarawati
dari Gembala Baik. Ibu asuh mereka
di SOS sempat bertandang ke sana
untuk mencari beberapa dokumen,
namun ditolak. Biarawati-biara-
wati itu hanya mengatakan bahwa
dulu ibu si kembar adalah seorang
perawat di rumah sakit St. Carolous.
Si ibu yang belum siap memiliki
anak, membawa anak-anak itu ke
Gembala Baik. Berhubung konsep
Gembala Baik bukan untuk merawat
anak sejak bayi, maka si kembar
dibawa ke SOS. Sekarang keduanya
sedang menempuh semester akhir
di Akademi Perawat St. Carolous,
yang kabarnya adalah tempat ibu
mereka bersekolah dulu.
Yang diterima adalah anak-anak
di bawah 10 tahun, karena di usia
itu, pembentukan karakter dirasa
lebih mudah.
Satu ibu, satu rumah,
satu keluarga
Namun bukan berarti semua anak
yang mempunyai keluarga pecah
bisa masuk SOS Desa Taruna. Pak
Toyo mengatakan hanya terdapat 15
rumah di sini, dan masing-masing
hanya dapat menampung 10 orang
anak, tidak seperti panti asuhan
lain yang mungkin akan menem-
patkan mereka di asrama atau barak
dengan banyak tempat tidur. Anak-
anak yang tidak mendapat tempat di
SOS akan diberi solusi, “Kami ‘kan
tidak hanya di Jakarta. SOS ada di
Lembang, Semarang, Medan, Meu-
laboh, Bali, dan Flores. Namun jika
kerabat si anak menolak karena ter-
lalu jauh, kami punya rekanan di luar
SOS, meski secara administratif dan
operasional sama sekali tidak ber-
hubungan,” jelasnya. SOS memiliki
referensi lembaga-lembaga lain yang
mengurusi anak-anak semacam
ini. Misalnya di Vincentius Putera
dan Puteri, Jakarta Timur. “Bedanya
mereka menggunakan konsep
asrama dengan aturan massal, se-
dangkan kami di sini menggunakan
konsep satu rumah dengan satu
ibu, dan anak-anak yang berperan
sebagai adik atau kakak. Kami ingin
menciptakan kehidupan rumah
tangga biasa,” jelasnya.
Pak Toyo yakin, dengan konsep
seperti itu anak-anak jadi lebih
mengerti seperti apa kehidupan beru-
mah tangga sesungguhnya, yang
tidak akan mereka dapatkan jika
tinggal dengan keluarganya yang be-
rantakan, “Semua konsep memang
ada kelebihan dan kekurangannya,
tapi kalau dilihat bahwa setiap anak
butuh keluarga, memang sistem ini
lebih baik. Anak yang berusia rawan
sangat membutuhkan ibu, di mana
mereka hidup satu rumah setiap
harinya. Sedangkan di sistem barak
biasanya ada shift, sehingga setiap
kali orang yang menjaga mereka bisa
berbeda-beda.”
Dukungan bagi
setiap anak
SOS Desa Taruna berdiri di atas
lahan milik Yayasan Karya Bhakti
Ria Pembangunan, sehingga
Grup perkusi yang mendapat
banyak perhatian.
3. 46 ✿ SEKAR
mereka beruntung tidak harus mem-
beli lahan untuk tempat tinggal.
“Kami tidak dipungut biaya sepeser
pun, tetapi pemeliharaan gedung
dan manajemennya diserahkan
kepada SOS Desa Taruna,” jelas
Pak Toyo. Untuk biaya opersional
sehari-hari mereka masih dibantu
oleh SOS Kinderdorf International.
“Untuk operasional, SOS Interna-
tional memberikan 60 persen, dan
40 persennya dari lokal. Ya, sudah
sepantasnya anak-anak bangsa
dibiayai oleh bangsa sendiri,” kata
Pak Toyo sembari tersenyum. Cara
mereka mendapatkan dana itu lewat
menampilkan grup-grup kesenian
di acara-acara seperti Lebaran
dan Natal. “Baru-baru ini kami ikut
mengisi acara penyalaan lilin natal
bersama di hotel Grand Melia. Ke-
mudian pameran di Plaza Senayan
sembari menyebarkan brosur. Dari
situ banyak yang mengenal pro-
gram-program SOS dan akhirnya
mau mendukung kami,” jelasnya.
SOS juga menerima bantuan
non-materi. Seperti bantuan guru
profesional untuk melatih paduan
suara yang ditanggung oleh sebuah
produsen susu. Juga bantuan per-
pustakaan dan taman bermain keli
ling dari HSBC.
Mendidik anak
Pak Toyo mengatakan bahwa men-
didik anak di usia rawan banyak
kendala. “Namun untunglah, karena
mereka rata-rata sudah kami didik
sedari kecil, sifat nakal seperti mela-
wan atau tidak puas hanya terjadi
selama bangku SMP. Seiring ber-
tambahnya usia, mereka pun mulai
mengerti, bahwa tinggal di SOS lebih
baik daripada tinggal di luar. Mereka
biasanya enggan berbuat nakal atau
kurang ajar,” ujar Pak Toyo. Untuk
masalah-masalah seperti ini PakToyo
dibantu oleh 15 orang ibu asuh, se-
orang psikolog dan pembina.
Bersama tim kerja SOS, Pak
Toyo selalu memonitor bakat dan ke-
mampuan anak-anak. ”Dari situ kami
arahkan ke pendidikan yang men-
dukung cita-cita tersebut,” katanya.
Mereka mengawali dari kursus kom-
puter, paduan suara, bermain musik
seperti perkusi dan marawis, sang-
gar tari, serta olah raga. “Sampai
saat ini mereka senang dengan
fasilitas yang kami berikan. Sang-
gar perkusi kami jadi juara pertama
dalam acara Gong Show, acara uji
bakat di sebuah stasiun televisi. Dari
situ banyak orang yang memberikan
sumbangan, dan sekarang mereka
memiliki kostum, dan menambah
jumlah perkusi yang dimainkan,” ka-
tanya dengan bangga.
Nilai penting bagi anak
Ketika ditanya apa sebenarnya nilai
terpenting bagi seorang anak menu-
rut SOS Kinderdorf, Pak Toyo me
ngutip perkataan Dr. Agus Prawoto,
pendiri SOS Kinderdorf Indonesia,
“Bapak tidak mendidik kamu untuk
menjadi manusia terpandang atau
konglomerat. Bapak mendidik kamu
menjadi anak yang baik. Jika kamu
menjadi anak yang baik, percayalah,
di manapun kamu tinggal, kamu
akan selalu berguna bagi orang lain.”
Dr. Agus Prawoto meninggal
dunia 20 Januari 2009 dalam usia
80 tahun, di Rumah Sakit Boromeus,
Bandung dan dimakamkan di SOS
Desa Taruna, Lembang tempat for-
masi pertama berdiri.
Harapan untuk semua
Pak Toyo berharap agar jumlah
panti asuhan lenyap atau setidaknya
berkurang. Ia juga berharap agar
masyarakat memberilebih banyak
perhatian kepada anak-anak yang
kurang beruntung ini. Selain bantuan
dalam bentuk materi kelompok ini
juga memerlukan dukungan moril
yang tak sedikit. Datang menjenguk,
bermain bersama anak-anak, berba-
gi ilmu kepada anak-anak, sangatlah
besar artinya bagi mereka. ✿
Peristiwa
Berkumpul bersama ‘keluarga’ SOS.
Silakan hubungi mereka dan
salurkan bantuan Anda
SOS DESA TARUNA Indonesia,
Jl. Sari Endah 9, Gegerkalong,
Bandung 40152. Tel. 022-
2012881, Fax. 022-2011026,
e-mail: nco@sos.or.id
YAYASAN SOS DESA TARUNA/
KINDERDORF, BANK CENTRAL
ASIA (BCA), Rek. 008 375 044 5