Pemekaran Wilayah yang menjadi "trend" di Indonesia dalam satu dekade terakhir ini mengundang banyak perhatian. Sebagian menganggap bahwa pemekaran wilayah memang diperlukan agar pelayanan yang diberikan pemerintah menjadi lebih maksimal. Namun di sisi lain, pemekaran wilayah menjadi ajang untuk membagi-bagi kekuasaan dan tentunya, aliran dana dari APBN.
Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
1. Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi
Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Iqbal Natsir Assidiqi, Jefri Adriansyah, Laily Fadliyah, Lina Yulianti, Putri Aji Rahayu
(Tim GAMAPI II UGM)
Manajemen dan Kebijakan Publik
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Gadjah Mada
Abstract
The enforcement of UU No. 22 year 1999 about local government causes proliferation of
expansion region proposals. Based on the regional autonomy towards the development
equalization, Some regions need their regional autonomy to construct their self-governance in
order empowering their local potential resources. Even though several regions autonomy are
considered failure, this phenomenon does not reduce the government desire which want to
split theirselves. Historical social, race, tribe, and etnic become the main consideration aspect
in the region expansion which is covered by the agenda of regional autonomy.
Keywords: region expansion, regional autonomy, race, tribe, etnic
2. BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Otonomi daerah merupakan wacana yang banyak diperbincangkan di berbagai
kalangan masyarakat. Eksistensinya sebagai suatu kebijakan menjadikan implementasi
otonomi daerah begitu menjamur di Indonesia yang dicerminkan dengan banyaknya
pemekaran wilayah. Indonesia sebagai negara kesatuan menggunakan otonomi daerah
sebagai suatu ruang untuk mewujudkan praktek demokrasi. Pemekaran wilayah tersebut
diselenggarakan baik dalam lingkup desa, kabupaten/kota, dan provinsi. Saat ini muncul
berbagai isu mengenai pemekaran wilayah. Banyak masyarakat beranggapan bahwa
pemekaran wilayah hanya dijadikan ajang untuk ‘bagi-bagi’ kekuasaan di kalangan
pemerintahan. Hal itu wajar, karena setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 tahun 2004 mengenai
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, peningkatan wilayah yang mengalami pemekaran
terjadi secara signifikan.
Esensi dari pemekaran wilayah sebagai pencerminan otonomi daerah sebenarnya
adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan di
daerah. Melalui adanya pemekaran wilayah, pemerintah daerah diharapkan dapat mengelola
daerahnya secara lebih maksimal. Akan tetapi, pada kenyataannya pemekaran wilayah tidak
hanya berdampak positif. Tidak adanya sistem check and balance telah memungkinkan
kepala daerah untuk tidak mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, sehingga sistem
kontrol di daerah seakan-akan “mati” dan berdampak pada keberlangsungan sistem
pembangunan daerah.1
Dalam kurun waktu sekitar 9 tahun yaitu dari tahun 1999 sejak diberlakukannya
undang-undang mengenai pemekaran, sudah ada sekitar 30 kota, 121 kabupaten, dan 6
provinsi baru.2 Otonomi yang dicerminkan melalui pemekaran wilayah seharusnya dijadikan
sarana integrasi bangsa karena dapat meningkatkan legitimasi antara pusat dan daerah. Akan
tetapi, saat ini terjadi banyak kasus mengenai degradasi esensi awal pemekaran wilayah.
1
Zuhro, Siti. 1999. “Otonomi dan Kerusuhan di Daerah” dalam Demokratisasi dan Otonomi Mencegah
Disintegrasi Bangsa. Jakarta: Kompas
2
Tarigan, Antonius. 2010. Perencanaan Pembangunan: Dampak Pemekaran Wilayah, edisi 01. Bappenas. Hal
25.
3. Menilik banyaknya konflik yang terjadi akibat pemekaran wilayah yang melenceng dari
esensi awalnya, sebagian besar rencana pemekaran wilayah bukan didasarkan pada
kebutuhan, melainkan pada kepentingan beberapa pihak semata. Bahkan rencana pemekaran
wilayah sering didasarkan pada tingginya rasa primordial atas persamaan ras, suku, maupun
agama. Untuk itu penulis mengangkat kasus rencana pemekaran wilayah yang terjadi di
Sumatera Utara dikarenakan adanya isu bahwa provinsi tersebut berencana untuk melakukan
pemekaran namun hanya berdasarkan persamaan ras dan suku. Padahal dalam perencanaan
pemekaran itu tidak diimbangi dengan potensi daerah yang cukup. Provinsi baru yang ingin
dibentuk adalah Provinsi Tapanuli dan Tapanuli Barat. Oleh karena itu, penulis ingin
mengetahui keberlanjutan isu yang ada di provinsi tersebut terkait dengan faktor-faktor yang
melatarbelakangi rencana pemekaran wilayah di Provinsi Sumatera Utara.
1.2 Rumusan Masalah
Apa yang melatarbelakangi pengusulan pemekaran wilayah di Sumatera Utara dilihat dari
esensi otonomi daerah dalam upaya mencegah disintegrasi bangsa?
1.3 Tujuan Masalah
1. Mengetahui latar belakang pengusulan pemekaran wilayah yang ada di Sumatera Utara.
2. Memberikan rekomendasi kebijakan terkait dengan rencana pemekaran wilayah yang
terjadi di Sumatera Utara dalam kaitannya dengan upaya integrasi bangsa.
4. BAB II
Kajian Literatur
Reformasi untuk menentang adanya sistem sentralistik telah bergulir di negara ini.
Harapan-harapan mengenai restrukturisasi untuk lebih menjunjung adanya kedaulatan rakyat
menjadi sebuah tuntutan perkembangan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.
Demokratisasi mulai digalakkan dan menjurus kepada adanya distribution of authority, dan
adanya diskresi dalam menetapkan kebijakan publik dan alokasi sumber pembiayaan secara
adil antara pusat dan daerah. Perwujudan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintah
yang menekankan kepada asas desentralisasi kemudian diwujudkan dengan adanya kebijakan
otonomi daerah. Menurut Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2007 Pasal 1 Ayat 5
menyebutkan bahwa:
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan
perundang-undangan.”
Penerapan asas desentralisasi dalam proses pemerintahan sesungguhnya telah
diakomodasikan dalam konstitusi UUD 1945 pasal 18 serta di operasionalkan dalam UU No.
5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan terakhir direvisi dengan ditetapkannya UU
No. 32 dan 33 tahun 2004.3 Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 juga telah
mengakibatkan pergeseran-pergeseran di berbagai sektor. Sedikitnya dapat didefinisikan 9
jenis pergeseran paradigma pemerintahan akibat reformasi total Indonesia sejak 1998 yakni:4
1. From oppression to liberty
2. From control to freedom of action
3. From top-down to bottom-up
4. From paternalism to self-help
5. From centralization to decentralization
6. From protectionism to free-trade
3
4
Sumaryadi, I Nyoman. 2005. Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Jakarta: Citra Utama. Hal
3
Ibid hal 6
5. 7. From tax increate or complexite to tax reduction simplification
8. From Java culture to modern culture
9. From individualistic to community
Perwujudan desentralisasi melalui otonomi daerah menyebabkan perubahan yang
sangat radikal dalam pemerintahan. Pemerintah kabupaten kota yang dulunya hanya memiliki
kewenangan yang terbatas, dengan adanya otonomi daerah mereka menjadi memiliki
kewenangan yang sangat luas di berbagai bidang kecuali pertahanan keamanan, politik luar
negeri, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama. Pemerintah daerah kemudian merasa
dimanjakan dengan adanya kewenangan-kewenangan yang mereka miliki. Mereka merasa
menjadi raja di daerah mereka karena dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah
memiliki kewenangan untuk mengurusi berbagai bidang.
Kondisi yang demikian menyebabkan dan menstimulus adanya pemekaran daerah di
berbagai pelosok di Indonesia. Pemekaran daerah yang dilakukan juga bisa dibilang untuk
mewujudkan adanya pemerataan pembangunan. Tetapi bukan berarti pemekaran yang
dilakukan menjadi sebuah solusi ampuh bagi upaya untuk mewujudkan hal tersebut. Bagi
orang yang kontra dengan adanya pemekaran wilayah, mereka beranggapan bahwa
pemekaran wilayah hanyalah sebatas euforia semata dari adanya otonomi daerah yang
menawarkan kewenangan-kewenangan berbagai bidang kepada daerah untuk mengurusi
urusan daerahnya sendiri. Secara prosedural daerah-daerah sering kali bisa dibilang layak
untuk memekarkan diri tetapi secara substansial daerah-daerah tersebut belum bisa secara
efektif menerapkan adanya otonomi daerah sebagai upaya mewujudkan adanya pemerataan
pembangunan.
Pemekaran wilayah merupakan pemisahan wilayah menjadi dua atau beberapa
wilayah dalam upaya pembagian kewenangan administratif. Secara teoritis, pemekaran
wilayah pertama kali dicetuskan oleh Charles Tibout (1958) dalam Nurkholis (2005) dalam
Tarigan (2010) dengan pendekatan Public Choice School. Dalam artikelnya “A Pure Theory
of Local Expenditure”, ia mengemukakan bahwa pemekaran wilayah dianalogikan sebagai
model ekonomi persaingan sempurna dimana pemerintah daerah memiliki kekuatan untuk
mempertahankan tingkat pajak yang rendah, menyediakan pelayanan yang efisien, dan
mengijinkan setiap individu masyarakatnya untuk mengekspresikan preferensinya untuk
6. setiap jenis pelayanan dari berbagai tingkat pemerintahan yang berbeda dengan “vote with
their feet”.
Pemekaran daerah juga dapat memicu adanya eksperimen-eksperimen dan inovasiinovasi baru. Di Indonesia sendiri pemekaran wilayah bukan hanya ada setelah ditetapkannya
UU No. 22 tahun 1999, tetapi sebelum adanya undang-undang tersebut, pemekaran wilayah
ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Tahapan-tahapan untuk memekarkan sebuah
daerah juga memerlukan waktu yang cukup lama. Tahapan persiapan tersebut menyangkut
penyiapan infrastruktur pemerintah, aparatur pemerintah daerah hingga terbangunnya
fasilitas-fasilitas umum.5 Dalam masa sebelum reformasi memang asas sentralisme sangat
kental dan pemekaran wilayah yang dilakukan benar-benar masih memerlukan campur
tangan pemerintah diberbagai bidang. Setelah UU No. 22 tahun 1999 ditetapkan oleh
pemerintah, pemekaran wilayah boleh diusulkan oleh pemerintah daerah asalkan memenuhi
berbagai macam syarat yang telah ditentukan. Daerah yang mengusulkan untuk dimekarkan
harus memenuhi kriteria kemampuan ekonomi, potensi-daerah, sosial-budaya, jumlah
penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya
otonomi daerah. Dengan mekanisme seperti ini, pemekaran wilayah yang terjadi di negeri ini
bagaikan orang jualan kacang rebus yang semerbak jumlahnya.
Selanjutnya muncul UU No. 32 tahun 2004 yang menggantikan UU No.22 tahun
1999, bahwa untuk pemekaran wilayah peraturan teknisnya tertuang dalam Peraturan
Pemerintah No.78 tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan, dan
penggabungan daerah. Secara prosedural dengan adanya PP No.78 tahun 2007 pemekaran
lebih ketat diwujudkan jika dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah No. 129 tahun 2000,
tetapi secara substansial dengan adanya PP No. 78 tahun 2007 pemekaran wilayah yang
dilakukan belum dapat merumuskan sebuah pemekaran yang lebih baik dari sebelumnya.
Pemekaran yang di pandang oleh pemerintah pusat dapat diterapkan di daerah yang
sudah mandiri dan juga berdiri sendiri ternyata tidak demikian jika melihat dari alasan
daerah-daerah kenapa mereka memekarkan diri. Berusaha untuk keluar dari keterpurukan
menjadi salah satu alasan besar kenapa daerah-daerah biasanya menginginkan untuk
dimekarkan. Daerah yang ingin dimekarkan biasanya memiliki alasan mengapa mereka ingin
mekar.6 Pertama, daerah ingin dimekarkan karena alasan Preference For Homogeneity
(kesamaan kelompok seperti SARA) atau Historical Etnic yang membuka peluang setiap
5
Tarigan, Antonius. 2010. Perencanaan Pembangunan: Dampak Pemekaran Wilayah, edisi 01. Bappenas. Hal
23
7. daerah untuk melakukan pemekaran karena adanya kesamaan etnis dan juga satu ikatan sosial
yang perlu diwujudkan dalam satu wilayah pula. Dalam alasan pemekaran ini terjadi
bilamana dalam sebuah kondisi mulai terjadi adanya penggolongan etnis yang menyebabkan
adanya eksklusifitas sehingga mereka yang sudah merasa eksklusif berkeinginan untuk
membentuk daerah otonom sendiri. Faktor ekonomi dan politik yang sudah tidak lagi menjadi
hal yang menarik ketika dalam suatu daerah yang lama juga menjadi faktor yang menuntut
mereka merasa menjadi lebih baik jika berada dalam sebuah daerah tersendiri. Dalam
Undang-Undang Dasar tahun 1945 pada pasal 18 A ayat 2 juga menyebutkan bahwa:
“Negara
mengakui
dan
menghormati
kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.”
Alasan kedua, adanya fiscal spoil karena adanya insentif yang diberikan oleh
pemerintah pusat melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU).
Dengan kondisi tersebut, daerah merasa dibiayai oleh pemerintah sehingga dengan
memekarkan diri mereka akan mendapatkan dana segar untuk pembangunan daerah. Alokasi
angaran yang diberikan oleh pusat tersebut diharapkan dapat meningkatkan belanja langsung
yang dilakukan oleh para pegawai dan juga belanja yang dilakukan oleh pemerintah dalam
pembelian barang atau jasa yang nantinya diharapkan dapat berimplikasi positif terhadap
kesejahteraan masyarakat secara luas.
Ketiga, Beaurocratic and Political Rent Seeking, pemekaran wilayah dilakukan
karena alasan politik. Dengan adanya pemekaran wilayah, diharapkan akan muncul
kekuasaan politik baru yang jauh lebih dekat kepada masyarakat sehingga dapat dengan
mudah dan cepat menampung aspirasi-aspirasi dari masyarakat. Berbagai kepentingan
kemudian bertarung dan berebut kekuasaan dalam sebuah pemekaran wilayah yang dilakukan
dengan alasan ini, karena jika ditarik ke pusat adanya pemekaran wilayah dimanfaatkan
sebagai peluang memperoleh dukungan yang lebih besar pada kekuatan politik tertentu.
Sehingga mengakibatkan munculnya entitas wilayah dalam kalkulasi politik yang lebih
represif.
6
Ibid hal 24
8. Keempat, adalah Administrative Dispresion, yang bertujuan untuk memutus rentang
kendali pemerintahan. Pemekaran wilayah yang dilakukan biasanya di daerah yang memiliki
wilayah yang luas sehingga pelayanan publik menjadi sebuah hal yang sulit diakses oleh
masyarakat secara keseluruhan. Melihat kondisi tersebut, pemekaran menjadi sebuah hal
yang perlu untuk dilakukan memingat didaerah-daerah miskin yang mana seringkali tidak
terjamah oleh pelayanan-pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Pemekaran juga
dilakukan sebagai upaya mendorong pembangunan infrastruktur untuk menunjang pelayanan
publik sehingga dapat menjangkau daerah-daerah terpencil.
Pembentukan atau pemekaran wilayah menurut PP No. 78 tahun 2007 harus dapat
memenuhi syarat fisik kewilayahan, teknis, dan syarat administratif. Sehingga apabila ada
satu syarat yang tidak bisa terpenuhi maka suatu daerah tidak bisa dimekarkan. Dalam
peraturan pemerintah tersebut, sebenarnya juga mengatur mengenai penghapusan bagi daerah
yang tidak dapat mewujudkan otonomi daerah dengan baik yang mekanismenya dibarengi
dengan evaluasi mengenai kinerja pemerintahan daerah yang ada. Meskipun saat ini banyak
daerah yang sudah dimekarkan diangap gagal oleh Kementerian Dalam Negeri tetapi dalam
kenyataannya belum ada satu daerah pun yang dihapuskan karena kegagalan mereka
mengurusi daerahnya sendiri.
BAB III
Metodologi Penelitian
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif dengan
dasar untuk menggali data lebih dalam. Kemudian jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian studi kasus. “Riset dengan metode studi kasus menghendaki kajian yang terperinci,
mendalam, dan menyeluruh terhadap objek tertentu yang biasanya relatif kecil selama kurun
9. waktu tertentu termasuk lingkungannya”(Umar, 2004:34). Melalui metode penelitian tersebut
diharapkan dapat ditemukan faktor-faktor yang melatarbelakangi rencana pemekaran wilayah
di Provinsi Sumatera Utara serta keberlanjutannya terkait dengan esensi otonomi daerah
dalam upaya mencegah disintegrasi bangsa. Sedangkan tujuan dari penelitian studi kasus
adalah menggambarkan suatu kasus atau peristiwa secara jelas, utuh, dan terperinci.
3.2 Ruang Lingkup Penelitian
Strategi penyelesaian konflik terkait dengan rencana pemekaran wilayah yang terjadi
di Sumatera Utara dalam penelitian ini adalah bagaimana upaya dan strategi kebijakan yang
tepat untuk mengatasi permasalahan konflik rencana pemekaran wilayah di Sumatera Utara
agar mampu menciptakan kondisi pemekaran wilayah sesuai dengan esensi awalnya. Ruang
lingkup penelitian ini adalah :
1. Konflik mengenai pengusulan pemekaran wilayah yang ada di Sumatera Utara terkait
dengan faktor-faktor yang melatarbelakanginya.
2. Kesesuaian antara potensi yang dimiliki daerah dengan rencana pemekaran wilayah
Provinsi Tapanuli dan Tapanuli Barat beserta rekomendasi kebijakan atas keberlanjutannya.
3.3 Sumber dan Jenis Data
Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder. Penulis
hanya menggunakan data sekunder karena pada dasarnya sistematika penulisan berbentuk
hasil pemikiran. Data sekunder diperoleh dari telaah pustaka dan penelitian-penelitian
sebelumnya serta sumber-sumber dari media dan Badan Pusat Statistik yang berkaitan
dengan masalah yang diangkat. Data sekunder tersebut diharapkan dapat mendukung
pemikiran penulis mengenai berbagai faktor yang melatarbelakangi pengusulan pemekaran
wilayah Provinsi Tapanuli dan Tapanuli Barat dan potensi yang ada di sana serta kaitannya
dengan esensi dari pemekaran wilayah tersebut.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan dan pencarian data dalam penelitian ini hanya dilakukan dengan telaah
pustaka. Teknik telaah pustaka dilakukan dengan mencari data-data dari berbagai buku,
media, jurnal, dan hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan masalah pengusulan
pemekaran wilayah Provinsi Tapanuli dan Tapanuli Barat.
10. BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah merupakan pembagian kewenangan administratif dari satu
wilayah menjadi dua atau beberapa wilayah. Pembagian tersebut juga menyangkut luas
wilayah maupun jumlah penduduk sehingga lebih mengecil. Pada level provinsi,
menghasilkan satu pola, yakni dari satu provinsi menjadi satu provinsi baru dan satu provinsi
induk. Sementara pada level kabupaten terdiri dari beberapa pola, yakni pertama, dari satu
kabupaten menjadi satu kabupaten baru (Daerah Otonom Baru) dan kabupaten induk. Kedua,
dari satu kabupaten menjadi satu kota baru dan kabupaten induk. Ketiga, dari satu kabupaten
menjadi dua kabupaten dan satu kabupaten induk.7
Seperti yang telah dibahas pada kajian teori, konsep awal pemekaran wilayah
diungkapkan oleh Charles Tibout yang di dalamnya dikatakan bahwa pemekaran wilayah
dapat dianalogikan sebagai ekonomi persaingan sempurna. Maksudnya yaitu pemerintah
daerah dan masyarakatnya bebas untuk mengekspresikan preferensinya dalam hal pelayanan.
Dalam hal ini berarti pemerintah daerah memiliki kuasa atas daerahnya. Aturan dasar yang
dijadikan landasan hukum dalam pemekaran wilayah, yakni Undang-Undang No 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No 25 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Undang-undang tersebut mendorong
banyak daerah untuk melakukan pemekaran sehingga dalam kurun waktu beberapa tahun
terakhir terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Di dalam undang-undang tentang
pemekaran wilayah dijelaskan mengenai berbagai aturan dan prosedur mengenai pemekaran
wilayah. Seperti dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Bab II mengenai pembentukan
daerah pasal 5 poin 1 sampai 5 yang mengatur mengenai syarat-syarat pemekaran wilayah
7
Tarigan, Antonius. 2010. Perencanaan Pembangunan: Dampak Pemekaran Wilayah, edisi 01.
Bappenas. Diakses dari http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=pemekaran
%20pdf&source=web&cd=2&ved=0CFsQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.bappenas.go.id%2Fgetfile-server%2Fnode
%2F9081%2F&ei=53GmT6CyCcfQrQfHneTiAQ&usg=AFQjCNG6bTfOD3jMZwUHeTBLjMZwUHe
TBL&sig2=UQSf3uFJcHbYPhjxH-ssjQ pada 15 Januari 2013 pukul 20.45 WIB
11. dan Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2007. Syarat-syarat tersebut dijabarkan sebagai
berikut.
1. Syarat Administratif
Pemekaran provinsi harus mendapat persetujuan dari DPRD kabupaten/kota dan
Bupati/Walikota yang akan menjadi wilayah cakupan, persetujuan DPRD provinsi induk,
serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.
2. Syarat Fisik
Syarat fisik untuk melakukan pemekaran provinsi adalah wilayah cakupan
minimal harus terdiri dari 5 kabupaten.
3. Syarat Teknis, meliputi:
a. Kemampuan Ekonomi
Kemampuan ekonomi yang menjadi pertimbangan didasarkan pada PDRB per
kapita, pertumbuhan ekonomi, serta kontribusi PDRB terhadap kalkulasi PDRB total.
b. Potensi Daerah
Potensi daerah merupakan perkiraan penerimaan dari rencana pemanfaatan
ketersediaan sumber daya buatan, sumber daya aparatur, serta sumber daya masyarakat
yang akan digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik. Potensi daerah dapat diukur
melalui beberapa indikator, diantaranya; Rasio bank dan lembaga non keuangan per
10.000 penduduk, rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk, rasio pasar per
10.000 penduduk, rasio sekolah SD per usia SD, rasio SLTP per usia SLTP, rasio SLTA
per usia SLTA, rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk, rasio tenaga medis per
10.000 penduduk, presentase rumah tangga yang memiliki kendaraan bermotor atau
kapal motor atau perahu motor. Presentase pengguna listrik terhadap jumlah rumah
tangga, rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor, presentase pekerja yang
berpendidikan minimal SLTA terhadap usia 18 tahun ke atas, presentase pekerja yang
berpendidikan minimal S1 terhadap usia 25 tahun ke atas, rasio pegawai negeri sipil
dengan jumlah penduduk.
c. Sosial Budaya
12. Sosial budaya yang dipertimbangkan mencakup fasilitas lapangan olahraga per
10.000 penduduk, rasio jumlah fasilitas peribadatan per 10.000 penduduk, dan jumlah
balai pertemuan.
d. Sosial Politik
Kondisi sosial politik diukur berdasarkan rasio penduduk yang mengikuti pemilu
legislatif dengan penduduk yang memiliki hak pilih, dan jumlah organisasi masyarakat.
e. Kependudukan
Kependudukan daerah diukur dengan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk.
f. Luas Daerah
Luas daerah mencerminkan sumber daya lahan atau daratan cakupan wilayah
yang dapat diukur dengan; luas wilayah keseluruhan dan luas wilayah efektif yang dapat
dimanfaatkan.
g. Pertahanan
Pertahanan mencerminkan ketahanan wilayah yang dapat diukur dengan; rasio
jumlah aparat pertahanan terhadap luas wilayah dan karakteristik wilayah dilihat dari
sudut pandang pertahanan.
h. Keamanan
Kemanan dan ketertiban daerah diukur berdasarkan rasio jumlah aparat keamanan
terhadap jumlah penduduk.
i. Tingkat Kesejahteraan Manusia
Tingkat kesejahteraan manusia dapat diukur dengan IPM (Indeks Pembangunan
Manusia) melalui tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, dan penghasilan penduduk.
j. Rentang Kendali
Rentang kendali merupakan kedekatan jarak ke lokasi calon ibukota yang dapat
diukur dengan; rata-rata jarak kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan
(ibukota provinsi), dan rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten/kota atau kecamatan ke
pusat pemerintahan (ibukota provinsi).
13. 4.2 Potensi dan Latar Belakang Pemekaran Wilayah Provinsi Tapanuli dan Tapanuli
Barat
Salah satu provinsi yang mengajukan pengusulan pemekaran wilayah adalah Provinsi
Sumatera Utara. Dari total 28 kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut, 8 kabupaten/kota
diantaranya mengajukan usulan pemekaran wilayah, yakni Provinsi Tapanuli yang diusulkan
oleh Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, dan Samosir, serta
Provinsi Tapanuli Bagian Barat yang diusulkan oleh Kabupaten Tapanuli Tengah, Pakpak
Bharat, Kota Sibolga, dan Nias. Pengusulan kedua provinsi baru tersebut bahkan telah
mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dari masing-masing
kabupaten/kota.
Jika ditinjau dari berbagai aspek, usulan pemekaran wilayah ini memiliki beberapa
kekurangan. Kekurangan-kekurangan tersebut salah satunya terletak pada potensi yang belum
memadai sehingga membuat latar belakang usulan pemekaran wilayah masih diragukan
kelayakannya. Pertama tentu harus dilihat dari peraturan yang mengatur mengenai pemekaran
wilayah. Pengusulan pemekaran Provinsi Tapanuli dan Tapanuli Bagian Barat belum dapat
memenuhi syarat-syarat yang disebutkan diatas. Syarat administratif belum dapat
terpenuhi ,walaupun sudah mendapat persetujuan DPRD di kabupaten/kota masing-masing
namun belum mendapat rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Syarat fisik juga tidak
terpenuhi karena jumlah kabupaten/kota yang mengajukan pemekaran wilayah Provinsi
Tapanuli dan Tapanuli Bagian Barat hanya 4 kabupaten/kota dari syarat yang seharusnya 5
kabupaten/kota. Sementara itu, untuk syarat teknis terdapat beberapa poin yang cukup
penting, seperti kemampuan ekonomi, kondisi sosial politik, kependudukan, dan tingkat
kesejahteraan manusia.
Untuk mengetahui mengenai kemampuan ekonomi kabupaten/kota yang ada di
Provinsi Sumatera Utara, maka dapat menggunakan analisis Tipologi Klassen. Langkah
pertama yang dilakukan ialah dengan mencari PDRB per kapita Provinsi Sumatera Utara,
PDRB per kapita kabupaten/kota di Sumatera Utara, laju pertumbuhan PDRB Provinsi
Sumatera Utara dan kabupaten/kota di Sumatera Utara.
No.
1
2
Kabupaten/Kota
Kabupaten Nias
Kabupaten Mandailing Natal
PDRB
Laju
Perkapita Pertumbuhan
8.268
6,70
7.281
6,50
14. 3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Kabupaten Tapanuli Selatan
Kabupaten Tapanuli Tengah
Kabupaten Tapanuli Utara
Kabupaten Toba Samosir
Kabupaten Labuhan Batu
Kabupaten Asahan
Kabupaten Simalungun
Kabupaten Dairi
Kabupaten Karo
Kabupaten Deli Serdang
Kabupaten Langkat
Kabupaten Nias Selatan
Kabupaten Humbang Hasundutan
Kabupaten Samosir
Kabupaten Pakpak Bharat
Kabupaten Serdang Bedagai
Kabupaten Batu Bara
Kabupaten Padang Lawas
Kabupaten Padang Lawas Utara
Kota Sibolga
Kota Tanjung Balai
Kota Pematang Siantar
Kota Tebing Tinggi
Kota Medan
Kota Binjai
Kota Padang Sidempuan
Provinsi Sumatra Utara
9.698
5.749
11.682
15.982
16.174
13.872
9.864
11.450
13.979
17.276
11.122
6.940
12.833
10.585
6.305
11.848
34.517
6.558
6.579
13.054
15.151
14.486
12.929
31.027
13.898
9.253
16.266
4,97
5,76
5,74
5,60
5,84
4,82
4,64
4,59
5,19
5,84
6,10
5,50
5,84
5,00
5,86
6,12
4,55
4,79
4,95
5,85
3,99
5,72
6,04
6,75
4,81
4,09
6,40
Tabel 1.1 data PDRB per kapita Provinsi Sumatera Utara, PDRB per kapita kabupaten/kota di Sumatera
Utara, laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara, dan laju pertumbuhan ekonomi
masing-masing kabupaten/kota di Sumatera Utara tahun 2008 (tanpa migas) 8
Setelah mendapatkan data mengenai PDRB per kapita dan laju pertumbuhan PDRB
Provinsi Sumatera Utara dan tiap-tiap kabupaten/kota, langkah selanjutnya ialah menganalisis
dan membuat perhitungan. Caranya dengan membandingkan PDRB per kapita Provinsi
Sumatera Utara dengan PDRB dari masing-masing kabupaten/kota di Sumatera Utara. Lalu
membandingkan laju pertumbuhan PDRB Provinsi Sumatera Utara dengan laju pertumbuhan
PDRB masing-masing kabupaten/kota. Setelah semua perhitungan tadi selesai, kemudian
menggolongkan setiap kabupaten ke dalam tabel Tipologi Klassen. Adapun kategorinya
ialah:
1. Daerah maju dan berkembang cepat
8
Data diperoleh dari web http://www.scribd.com/doc/93440861/Pdrb-Kabkot-Indonesia-2004-2008
diakses pada 15 Januari 2013 pukul 21.30 WIB
15. Daerah yang masuk kategori maju dan cepat adalah kabupaten/kota yang memiliki
tingkat PDRB per kapita lebih tinggi dari PDRB per kapita Provinsi Sumatera Utara dan laju
pertumbuhan PDRB yang lebih cepat daripada laju pertumbuhan PDRB Provinsi Sumatera
Utara.
2. Daerah berkembang dengan cepat
Daerah yang masuk kategori berkembang dengan cepat adalah kabupaten/kota yang
memiliki laju pertumbuhan PDRB yang lebih cepat daripada laju pertumbuhan PDRB
Provinsi Sumatera Utara, namun tingkat PDRB per kapitanya lebih rendah dari PDRB per
kapita Provinsi Sumatera Utara
3. Daerah maju namun tertekan
Daerah yang masuk kategori maju namun tertekan adalah kabupaten/kota yang
memiliki tingkat PDRB per kapita lebih tinggi dari PDRB per kapita Provinsi Sumatera
Utara, namun laju pertumbuhan PDRBnya lebih lambat daripada laju pertumbuhan PDRB
Provinsi Sumatera Utara.
4. Daerah relatif tertinggal
Sedangkan daerah yang masuk kategori relatif tertinggal adalah kabuapten/kota yang
memiliki tingkat PDRB per kapita lebih rendah daripada PDRB per kapita Provinsi Sumatera
Utara dan laju pertumbuhan PDRBnya juga lebih lambat daripada laju pertumbuhan PDRB
Provinsi Sumatera Utara.
Yi > Yn
Ri > Rn
Ri < Rn
Yi < Yn
Daerah maju dan berkembang
cepat
• Medan
Daerah maju tertekan
• Labuhan Batu
• Deli Serdang
• Batu Bara
Daerah berkembang cepat
• Nias
Daerah relatif tertinggal
• Tapanuli Selatan
• Tapanuli Tengah
• Tapanuli Utara
• Toba Samosir
• Asahan
• Simalungun
• Dairi
• Karo
• Langkat
16. •
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Nias Selatan
Humbang Hasundutan
Samosir
Pakpak Bharat
Serdang Bedagai
Padang Lawas
Padang Lawas Utara
Sibolga
Tanjung Balai
Pematang Siantar
Tebing Tinggi
Binjai
Padang Sidempuan
Tabel 1.2 Tipologi Klassen Provinsi Sumatera Utara
Dari tabel Tipologi Klassen diatas, dapat dilihat bahwa sebagian besar kabupaten yang
akan membentuk provinsi baru yaitu Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan,
dan Samosir, Tapanuli Tengah, Pakpak Bharat, dan Kota Sibolga berada dalam kawasan
daerah tertinggal, kecuali Nias yang merupakan daerah berkembang cepat. Berdasarkan data
di atas, dari segi pertumbuhan dan potensi ekonomi kabupaten/kota yang mengajukan
pemekaran wilayah belum memenuhi syarat untuk mekar.
Sedangkan aspek selanjutnya yaitu kondisi sosial politik. Kondisi sosial politik menjadi
salah satu poin yang cukup penting karena Sumatera Utara adalah salah satu provinsi dengan
tingkat heterogenitas yang cukup tinggi sehingga diperlukan kondisi sosial politik yang stabil
agar pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Kondisi sosial politik diukur berdasarkan rasio
penduduk yang mengikuti pemilu legislatif dengan penduduk yang memiliki hak pilih, dan
jumlah organisasi masyarakat. Kasus Pilkada di Sumatera Utara pada tahun 2008
menunjukkan banyaknya masyarakat yang memilih golput. Data KPUD Sumut pada tahun
2008 menyebutkan sebanyak 3.471. 128 pemilih atau sekitar 40 persen memilih golput
sedangkan yang menggunakan hak suaranya ada sekitar 5.011.377 pemilih.9
Berdasarkan penemuan kasus tersebut dapat dikatakan bahwa partisipasi masyarakat
dalam pemilu masih tergolong rendah. Selain itu dalam sumber lain juga disebutkan bahwa
pilkada di Sumatera Utara masih kental dengan isu etnis. Hal itu menunjukkan bahwa kondisi
politik cenderung belum stabil. Padahal aspek politik sangatlah vital bagi pelaksanaan
pemekaran wilayah.
9
Data diambil dari http://www.medanbagus.com/news.php?id=3246 diakses pada tanggal 20 Januari 2013
pukul 22.52
17. Selanjutnya kondisi mengenai kependudukan daerah. Kondisi mengenai kependudukan
daerah didasarkan pada jumlah peduduk dan kepadatan penduduk per kilometer persegi.
Kemudian dari sisi kesejahteraan penduduk, dapat dilihat dari tingkat Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Berikut dapat dilihat mengenai IPM
Provinsi Sumatera Utara.
No.
Kabupaten/Kota
1
Kabupaten Nias
2
Kabupaten Mandailing
Natal
3
Kabupaten Tapanuli
Selatan
4
Kabupaten Tapanuli
Tengah
5
Kabupaten Tapanuli
Utara
6
Kabupaten Toba
Samosir
7
Kabupaten Labuhan Batu
8
Kabupaten Asahan
9
Kabupaten Simalungun
10 Kabupaten Dairi
11 Kabupaten Karo
12 Kabupaten Deli Serdang
13 Kabupaten Langkat
14 Kabupaten Nias Selatan
15 Kabupaten Humbang
Hasundutan
16 Kabupaten Pakpak
Bharat
17 Kabupaten Samosir
18 Kabupaten Serdang
Bedagai
19 Kabupaten Batu Bara
20 Kabupaten Padang Lawas
Utara
21 Kabupaten Padang Lawas
22 Kabupaten Labuhan Batu
Selatan
23 Kabupaten Labuhan Batu
Utara
24 Kabupaten Nias Utara
25 Kabupaten Nias Barat
26 Kota Sibolga
27 Kota Tanjung Balai
28 Kota Pematang Siantar
29 Kota Tebing Tinggi
Jumlah Penduduk
132.329
Kepadatan
135
IPM/HDI
68,26
403.894
61
70,27
264.108
61
73,64
310.963
144
70,91
278.897
74
73,85
172.933
74
76,22
414.417
667.563
818.104
269.848
350.479
1.789.243
966.122
289.876
162
182
187
140
165
720
154
178
73,61
72,16
73,13
72,38
74,84
74,67
72,82
66,27
171.687
75
71,64
40.481
33
70,36
119.650
49
73,42
592.922
310
72,94
374.535
414
71,25
223.049
57
72,11
223.480
57
71,68
277.549
89
73,52
331.660
94
73,10
127.530
81.461
84.444
154.426
234.885
145.180
85
150
7.841
2.510
2.937
3.777
67,36
65,96
74,82
73,64
77,18
76,10
18. 30
31
32
33
Kota Medan
Kota Binjai
Kota Padang Sidempuan
Kota Gunungsitoli
Lainnya
Provinsi Sumatra Utara
2.109.339
246.010
191.544
125.566
7.957
2.726
1.671
268
76,99
76,09
74,77
71,33
12.985.075
181
73,80
Tabel 1.3 Jumlah penduduk, kepadatan penduduk (jiwa/km²) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/
Human Developmen Index (HDI) kabupaten dan kota di Sumatera Utara tahun 2010
Berdasarkan data kependudukan serta HDI di atas dapat dianalisis bahwa sebagian
besar kebupaten dan kota yang akan bergabung membentuk provinsi baru memiliki penduduk
yang relatif rendah jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di kabupaten yang lain. Akan
tetapi, Human Development Index (HDI) di kabupaten/kota tersebut sudah bagus karena
menunjukkan angka yang tidak kalah dengan kabupaten lainnya. Hal itu menunjukkan bahwa
penduduk di kabupaten/kota yang mengajukan pemekaran wilayah memiliki tingkat
kesejahteraan yang sudah cukup baik dibanding dengan kabupaten/kota lainnya.
Diluar
semua
itu,
Swianiewicz
(2002)
dalam
Nurkholis
(2005)
pernah
mengungkapkan bahwa komunitas lokal yang kecil lebih homogen, dan lebih mudah untuk
mengimplementasikan
kebijakan
yang
sesuai
dengan
preferensi
sebagian
besar
masyarakatnya. Kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam komunitas yang kecil
memiliki peluang lebih besar. Kemudian, pemerintahan daerah yang kecil memiliki birokrasi
yang rendah, misalnya fungsi administrasi. Pemekaran juga mendukung adanya persaingan
antar pemerintahan daerah dalam mendatangkan modal ke daerahnya masing-masing, dimana
hal ini akan meningkatkan produktifitas. Terakhir, pemekaran mendukung berbagai
eksperimen/percobaan dan inovasi.10
Nampaknya usulan mengenai pemekaran wilayah Provinsi Tapanuli dan Tapanuli
Bagian Barat masih perlu dikaji ulang. Berdasarkan berbagai data di atas, ternyata
persyaratan untuk mekar masih belum sempurna. Aspek sosial politik belum menunjukkan
adanya kedewasaan dalam pemilu yang dibuktikan dengan banyaknya angka golput pada
pilkada tahun 2008 dan dikhawatirkan akan terulang lagi pada pilkada tahun 2013
mendatang. Pilkada juga masih sarat dengan isu-isu etnis yang memunculkan politik
primordial seperti kesukuan dan agama dengan tujuan untuk mencapai kekuasaan. Jika
10
Tarigan, Antonius. 2010. Perencanaan PembangunSan: Dampak Pemekaran Wilayah, edisi 01.
Bappenas. Diakses dari http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=pemekaran
%20pdf&source=web&cd=2&ved=0CFsQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.bappenas.go.id%2Fgetfile-server%2Fnode
%2F9081%2F&ei=53GmT6CyCcfQrQfHneTiAQ&usg=AFQjCNG6bTfOD3jMZwUHeTBLjMZwUHe
TBL&sig2=UQSf3uFJcHbYPhjxH-ssjQ pada 15 Januari 2013 pukul 20.45 WIB
19. dianalisis lebih lanjut, sebagian besar suku yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang
Hasundutan, Samosir, dan Toba Samosir yang mengajukan usulan dibentuknya Provinsi
Tapanuli berasal dari suku yang sama yaitu Batak Toba. Hal inilah yang menjadi perhatian
tersendiri, pada saat persyaratan fisik, administratif dan lainnya belum terpenuhi, mereka
kekeuh untuk melakukan pemekaran wilayah. Isu-isu inilah yang menjadikan keraguan terkait
dengan latar belakang pengusulan pemekaran wilayah Provinsi Tapanuli dan Tapanuli Bagian
Barat.
Usulan mengenai pemekaran wilayah untuk Provinsi Tapanuli dan Tapanuli Bagian
Barat memang sudah mendapat persetujuan dari DPRD setempat. Akan tetapi, belum
mendapat rekomendasi dari Kementrian Dalam Negeri (Kemdagri) karena masih perlu
evaluasi lebih lanjut terhadap pengusulan tersebut. Evaluasi dilaksanakan guna mengecek
berbagai persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka pemekaran wilayah. Pemerintah
Provinsi Sumatera Utara dan DPRD Sumatera Utara harus mengkaji tentang kelayakan
pembentukan provinsi-provinsi baru tersebut guna meminimalisir konflik yang mungkin
timbul akibat adanya pemekaran wilayah. Langkah yang dilakukan Kemdagri untuk
mengevaluasi dan mengantisipasi sehingga perlu adanya pengkajian mengenai kelayakan
pemekaran wilayah Provinsi Tapanuli dan Tapanuli Barat cukup sinkron dengan keadaan di
kabupaten/kota terkait yang belum memenuhi persyaratan.
Belum terpenuhinya berbagai persyaratan pemekaran wilayah berdasarkan UndangUndang No 32 Tahun 2004 dan PP No 78 Tahun 2007 semakin membuat tanda tanya
terhadap latar belakang pengusulan pemekaran wilayah. Sumatera Utara merupakan Provinsi
yang berpenduduk heterogen dengan berbagai suku dan ras tinggal di sana. Ada suku-suku
tertentu yang dianggap mendominasi. Hal itu dibuktikan dengan munculnya isu politik
primordial dalam pilkada Sumatera Utara. Dikhawatirkan pengusulan pemekaran wilayah
untuk Provinsi Tapanuli dan Tapanuli Bagian Barat juga dilatarbelakangi oleh tingginya rasa
primordial. Pengalaman sebelumnya, pemekaran wilayah di beberapa daerah juga kurang
begitu dapat dipertanggungjawabkan.
Arogansi pemerintah daerah juga masih menjadi masalah tersendiri dalam
pelaksanaan pemekaran wilayah sehingga hak-hak rakyat yang seharusnya lebih diperhatikan
justru terbengkalai. Apalagi jika isu-isu rasa primordial muncul dalam melatarbelakangi
pengusulan pemekaran wilayah. Bukan tidak mungkin, pemekaran wilayah tersebut nantinya
hanya menjadi ajang perolehan kekuasaan oleh pihak-pihak tertentu. Jika pemekaran wilayah
20. terus menjamur tanpa diikuti oleh esensi awalnya, maka suatu saat semakin banyak daerah
yang mengajukan diri untuk berotonomi tanpa diimbangi dengan latar belakang dan potensi
yang memadai. Inilah yang menjadi dilematis pemekaran wilayah, saat di satu sisi dibutuhkan
untuk pemerataan pembangunan dan peningkatan legitimasi antara pemerintah pusat dan
daerah, di sisi lain menimbulkan berbagai konflik yang dapat mengancam kedaulatan NKRI
itu sendiri.
Oleh karena itu pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus senantiasa bersinergi
dalam upaya mewujudkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Pengusulan pemekaran wilayah harus terus mendapat evaluasi yang transparan terkait dengan
berbagai persyaratan yang harus terpenuhi. Pemerintah pusat harus bisa bersikap tegas
terhadap daerah agar tidak menimbulkan konflik baru akibat adanya pemekaran wilayah.
Otonomi yang diberikan kepada daerah hendaknya menjadi pendorong suatu daerah untuk
lebih maju. Tingginya rasa primordial atas suku, ras, atau agama dijadikan sebagai sarana
untuk semakin mencintai Negara Indonesia, bukan sebagai alat untuk mendapat kekuasaan
tersendiri yang memicu disintegrasi bangsa.
.
BAB VI
KESIMPULAN
Rencana pemekaran wilayah yang dilakukan oleh Provinsi Sumatera Utara belum
memenuhi syarat-syarat terbentuknya suatu daerah pemekaran. Hal tersebut dikarenakan
provinsi daerah sumatera utara belum memiliki potensi yang cukup untuk melakukan
pemekaran baik dalam segi asministratif, fisik, aspek sosial dan politik, aspek ekonomi, dan
kelayakan teknis. Rencana pemekaran wilayah pada daerah tersebut hanya dilakukan
berdasarkan kesamaan ras, agama, dan etnis tanpa mengimbangi potensi yang ada di
daerahnya dalam kaitannya pemekaran wilayah. Pemekaran wilayah tidak lagi sebagai alat
transformer untuk memeratakan pembangunan tetapi lebih kepada keegoisan suatu daerah
untuk membentuk daerah baru yang memiliki ideologi sama. Sehingga dapat dikatakan
pemekaran wilayah belum mampu mencapai tujuan awalnya yaitu untuk memeratakan
pembangunan di daerah terutama provinsi daerah sumatera utara sebagai salah satu daerah
yang memiliki rencana melakukan pemekaran wilayah.
21. Adanya evaluasi dan pengkajian mengenai persyaratan pemekaran wilaya masih perlu
dilakukan guna meminimalisir dampak negatif pemekaran wilayah sehingga pemekaran
wilayah tetap pada esensinya serta tidak menjadi boomerang bagi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Untuk itu pemerintah pusat harus mampu bersikap tegas terhadap daerah
sehingga otonomi yang diberikan dapat dijalankan secara maksimal, bukan hanya sebagai
ajang bagi-bagi kekuasaan.
Referensi
Kumorotomo, Wahyudi. 2005. Pelaksanaan Otonomi Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
di Yogyakarta. Yogyakarta: Media Wacana
Syaukani. Gaffar, Afan dan Rasyid, Ryaas. 2003. Otonomi Daerah dalamNnegara Kesatuan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sumaryadi, I Nyoman. 2005. Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Jakarta:
Citra Utama
Tarigan, Antonius. 2010. Perencanaan Pembangunan: Dampak Pemekaran Wilayah, edisi
01. Bappenas. Diakses dari http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=pemekaran
%20pdf&source=web&cd=2&ved=0CFsQFjAB&url=http%3A%2F
%2Fwww.bappenas.go.id%2Fget-file-server%2Fnode
%2F9081%2F&ei=53GmT6CyCcfQrQfHneTiAQ&usg=AFQjCNG6bTfOD3jMZwUH
eTBLjMZwUHeTBL&sig2=UQSf3uFJcHbYPhjxH-ssjQ pada 15 Januari 2013 pukul
20.45 WIB
Zuhro, Siti. 1999. “Otonomi dan Kerusuhan di Daerah” dalam Demokratisasi dan Otonomi
Mencegah Disintegrasi Bangsa. Jakarta: Kompas
Referensi Internet
http://www.scribd.com/doc/93440861/Pdrb-Kabkot-Indonesia-2004-2008 diakses pada 15
Januari 2013 pukul 21.30
http://www.medanbagus.com/news.php?id=3246 diakses pada tanggal 20 Januari 2013 pukul
22.52
http://www.bisnis.com/articles/analisis-politik-anatomi-isu-pilkada-sumut
tanggal 20 Januari 2013 pukul 22.15
diakses
pada
http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/1200.pdf diakses pada tanggal 21 Januari 2013 pukul
23.10
22. Dokumen Pemerintah dan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintah Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007