1. 1
Penanggung jawab
SekNas JGD
Penasihat
Alissa QM Wahid
koordinator
Tata Khoiriyah
Redaksi
Nabilah Munsyarihah, Zahrotien
Editor
Abas Z g.
Tata letak
Morenk Beladro
Kontributor
GUSDURian di berbagai daerah
Sirkulasi
SekNas Jaringan GUSDURian
Sekedar Mendahului
“Mari kita tanya dalam hati kita, apakah kita ini sedang
berjuang untuk suatu kepentingan yang besar yaitu
kedamaian & keutuhan NKRI.” KH. Abdurrahman Wahid
M e n g g e r a k k a n T r a d i s i , M e n e g u h k a n I n d o n e s i a
Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, opini, berita melalui selasar.redaksi@gmail.com.
Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis.
Newsletter ini adalah produk nonprofit.
B
anyak momen yang terjadi di bulan Mei. Berbeda dengan momen-
momen yang dirayakan secara’formal’, di bulan Mei ada dua momen
yang diperingati karena fakta sejarah yang terjadi di Indonesia yaitu,
Hari kebangkitan Nasional dan reformasi. Bila dibandingkan dengan
Hari Kebangkitan Nasional, Reformasi baru menjadi bagian sejarah
15 tahun terakhir perjalanan Negara bangsa.
Pertanyaannya apa yang terjadi pasca 15 tahun reformasi? Apakah
reformasi masih menjadi bagian dari ingatan kita? Sejauh mana
reformasi ini memberi dampak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Bagi redaksi, yang terberat saat ini bukan mengingat reformasi sebatas sebuah
kenangan romantisme perjuangan belaka, melainkan mengingat untuk apa dan sia-
pa reformasi ini terjadi? Artikel “Lupa Reformasi” yang ditulis oleh Ahmad Murtajib
mencoba untuk menulis perjalanan 15 tahun reformasi mulai dari pengalamannya
terlibat dalam aksi ’98 hingga kini ia menjadi aktivis daerah yang bergelut di isu
pedesaan. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Ahmad Murtajib di akhir tulisan sangat
penting untuk dijawab oleh kita semua, masih adakah spirit perubahan menuju
Indonesia baru setelah reformasi itu terjadi 15 tahun yang lalu?
E d i s i 3 / M e i 2 0 1 3
2. e-newsletterSELASAR/edisi3/20132
MEI 1998
A
da banyak buku dan
laporan penelitian yang
mencatat tentang refor-
masi 1998 dari berbagai
sudut pandang. Tapi saya menjadi
salah satu yang setidaknya ikutan
dalam berbagai aktivitas politik ger-
akan mahasiswa ketika itu. Setiap
detil peristiwanya saya makin samar
mengingatnya, tapi sebuah ingatan
tidak terlupa dari serangkaian akti-
vitas yang bahkan jauh sebelum Mei
1998. Kesan itu adalah: spirit peruba-
han menuju Indonesia baru.
Sejak dari diskusi serta aksi-ak-
si mahasiswa yang saya ikuti jauh
hari sebelum Mei 1998, sprit peruba-
han itu terjaga dan terus bertumbuh
dalam banyak pemikiran dan kesa-
dran para aktivis mahasiswa, di berb-
agai daeraeh di Indonesia. Spirit pe-
rubahan yang dimaterialkan dalam
berbagai tuntutan: berantas KKN,
tolak dwi fungsi ABRI, tegakan su-
premasi hukum, adili soeharto, dan
semacamnya. Dan spirit perubahan
itu pun memuncak pada Mei 1998
yang kemudian Soeharto pun turun.
Sejauh yang saya ingat, meski-
pun turunkan Soeharto menjadi
salah satu wujud dari Indonesia baru,
Lupa
Reformasitapi yang saya ingat, hampir tak pernah ada diskusi ten-
tang apa dan bagaimana yang akan dilakukan seandainya
Soeharto benar-benar turun. Ada harapan bahwa turun-
nya Soeharto dibarengi dengna pemerintahan transisi,
tetepi dalam praktek perjalananya dari Presiden Habibie,
tidak ada banyak perubahan kecuali bergantinya orang-
orang yang berkuasa.
Soeharto akhirnya turun, dan ini dicatat banyak
penulis sebagai awal dari Indonesia baru. Namun, ger-
akan mahasiswa amsih tetep berjalan. Setidaknya, sam-
pai 2003 yang saya tulis di awal, saya masih menemukan
bekas-bekas spirit perubahan Indonesia baru di beberapa
berikutnya.
Mei 2003
“Kang, lurah endi bae sing wis direformasi?,” seo-
rang teman aktivis daerah bertanya kepada saya. Awaln-
ya saya tidak tahu persis apa maksud pertanyaan itu. Saya
pun mengajak diskusi teman saya itu tentang apa mak-
sud pertanyaannya. Dari diskusi yang panjang, akhirnya
saya paham bahwa kata reformasi yang dimaksud teman
saya adalah, “Lurah mana saja yang sudah diturunkan?”
Bagi teman itu, reformasi adalah menurunkan
kepala desa, atau menurunkan perangkat desa lainnya
yang dinilai tidak reformis. Seseorang disebut tidak re-
formis manakala tidak menjalankan amanat reforma-
si. Pejabat desa yang melakuan KKN (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme) adalah pejabat yang tidak reformis ini.
Bagi teman itu, pejabat desa yang demikian itu haruslah
direformasi, diturunkan dari jabatanya.
Awalnya kukira hanya teman saya yang ber-
pendapat demikian. Saya pun ketika itu menamui banyak
Menggerakkan Tradisi
Ahmad Murtajib >>> Gusdurian Kebumen
3. 3
aktivis daerah lainnya.
Begitu banyak teman
aktivis daerah yang
memahami demiki-
an. Agenda reformasi
total haruslah terus
dilakukan, tidak ha-
nya di Jakarta atau di
ibukota provinsi. Tapi,
bagai teman-teman
saya ini, reformasi to-
tal juga harus dilaku-
kan di level desa.
M e m a k n a i
reformasi sebagai
menurunkan pejabat
publik di desa seperti
disampaikan teman
saya, mungkin bagi
sebagian orang terlalu menyeder-
hanakan persoalan, atau bahkan
terlalu berlebihan. Tapi saya tidak
akan memperdebatkan hal ini dalam
tulisan ini. Saya hanya ingin menun-
jukan apa muatan maksud dibalik
tekad teman-teman saya ketika hen-
dak mereformasi.
Dari berbagai diskusi tentang
melanjutkan “agenda reformasi” di
desa dengan teman-teman saya keti-
ka itu, saya mendapati sebuah spirit
dibalik misi reformasi yang diemban
para aktivis itu. Sebuah spirit perl-
awanan terhadap kekuasaan yang
bagi mereka nylenceng dari koridor
kekuasaan yang seharusnya berpihak
kepada rakyat. Menurunkan kepa-
la desa, atau pereangkat desa yang
mereka nilai sudah tidak berpihak
rakyat, adalah jalan reformasi total.
Teman-teman aktivis itu bu-
kanlah mantan mahasiswa dari
kampus-kampus besar di ibukota.
Sebagian mereka jebolan dari kam-
pus daerah, bahkan sebagiannya tak
rampung kuliah. Sebagian mereka
pernah menjadi aktivis mahasiswa,
sebagian lainnya menjadi aktivis
setelah lepas dari kuliah.
Ketika reformasi 1998, mere-
ka terlibat dalam aktivisme reformsi
menurunkan Soeharto. Tapi sebagian mereka lebih
karena nonton di layar televisi dan membaca koran.
Reformasi yang berujung pada penurunan Soeharto
memberikan pengalaman bagi mereka tentang refor-
masi menggulingkan pejabat publik, agar kekuasaaan
berpihak kepada rakyat.
Yang ingin saya catat disini, bahwa pada Mei
2003, saya masih mendapati banyak aktivis yang masih
punya spirit perjuangan untuk terus menggaungkan
agenda reformasi. Organisasi mahasiswa juga masih
terus melakukan pengkaderan, bahkan di bebeapa
daerah di Jawa Tengah dilakukna dengan lebih masif.
Topik-topik tentang teori kritis juga makin memban-
jiri disksi-diskusi papra aktivis mahasiswa. Romantika
reformasi 1998 masih lumayan kuat berngiang dalam
pikiran dan kesadaran mahasiswa di saat itu.
Memasuki Pemilu 2004, masih sedikit mantan
aktivis mahasiswa yang memilih masuk kedalam
sistem pemeritahan. Meski jalur parlemen mulai
dianggap sebagai pintu masuk perubahan sistem,
tapi faktanya masih sedikit mantan aktivis mahaiswa
yang menggunakan kesempatan itu. Jalur non par-
lemen nampaknya menjadi pilihan, meski aksi-ak-
si mahasiswa atau elemen prodem lainnya makin
berkurang dan atau “mulai berjalan sendiri-sendiri”
sesuai dengan topik pilihannya.
MEI 2013
Pertanyaannya, masih adakah spirit perubahan
menuju Indonesia baru setelah reformasi itu terjadi 15
tahun yang lalu?
tribunrockers.blogspot.com
4. e-newsletterSELASAR/edisi3/20134
F
akta bahwa Gus Dur telah tiada tidak dapat di-
pungkiri, bahwa secara fisik, eksistensinya sudah
tidak nampak adalah realita. Namun, banyak hal
yang masih menandai keberadaannya ditengah ke-
beradaan dzahirnya yang sudah dimakamkan.
Sedikit melenceng, Socrates dengan beragam konsepsi fil-
safatnya masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan ketika
dia meninggal. Murid sekaligus sahabatnya, Plato, men-
jadi generasi penerus yang melanjutkan pencarian jawa-
ban-jawaban atas pertanyaan yang belum terjawab Socra-
tes, dengan versi dan sudut pandangnya. Demikian juga
dengan Aristoteles yang melanjutkan tradisi penemuan
jawaban Socrates dan Plato atas pertanyaan-pertanyaan
yang bahkan sampai sekarang belum terjawab sepenuhnya.
Ditarik ke ranah Gus Dur, fakta demikian juga terjadi.
Saat meninggal dunia, masih banyak pertanyaan-per-
tanyaan dan impiannya yang belum terealisasi. Tentang
pengejawantahan dari konsepsi, yang belakangan disebut,
sembilan nilai dasar Gus Dur. Namun siapa yang berper-
an menjadi Plato dan Aristoteleslah yang sebenarnya harus
dirumuskan.
Menjadi Gus Dur itu sangat tidak mungkin, dalam arti yang
nyata. Namun menjadi Gus Dur untuk edisi selanjutnya
adalah peluang yang dapat direalisasikan. Seperti upaya
penemuan jawaban Plato atas keraguan Socrates.
Untuk menjadi Gus Dur dalam jilid selanjutnya, tahapan
pertama yang harus dilewati adalah mengubah pola pikir
dan pola kesadaran. Perubahan pola kesadaran naïf men-
jadi kesadaran kritis. Mengarahkan dari pola pikir what
to think menjadi how to think yang banyak disebut Paulo
Freire sebagai conscientization.
Pentingnya meletakkan kesadaran dan pola pikir pada titik
paling awal karena segala sesuatu itu didasari pada ponda-
si yang kuat. Dan Gus Dur dengan segala sepak terjang
diberbagai bidang berlandaskan pada pola pikir dan ke-
sadaran itu sendiri, yang tentunya telah
terbangun sejak awal.
Meminjam pisau analisis ala Taylor, untuk
membangun kesadaran tersebut, setidaknya
ada tiga tahapan yang harus dilewati, yakni
naming, reflecting dan acting. Tiga taha-
pan ini harus dilakukan secara berurutan
sehingga tidak mengacaukan metode yang
diambil yang merupakan derivasi dari filsa-
fat praksis.
Tahapan awal, naming, adalah step untuk
menanyakan sesuatu, atau memberi isti-
lah terhadap sesuatu, what is the problem?.
Tahapan ini berlaku untuk mempertanya-
kan suatu persoalan pada dataran teks, re-
alitas maupun bidang lainnya yang terkait.
Pada fase selanjutnya yang oleh Taylor dina-
mai reflecting, dituntut untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan mendasar untuk
mencari akar persoalan yang ditanyakan
pada tahap pertama. Why is it happening?.
Pada tahapan mencari akar persoalan ini
menuntut agar membuang pola simplistic
dan cenderung menerapkan pola pikir kritis
dan reflektif.
Yangterakhir,acting,yangsudahmenyentuh
langsung dataran praktis untuk menyele-
saikan problem yang ditemui tadi. Dimana
pada tahapan ini dituntut untuk mencari al-
ternatif memecahkan masalah dari hasil fase
pertama dan kedua sebelumnya. What can
be done to change the situation?.
Pisau analisis yang ditawarkan Tayor yang
ia dikenal sebagai penganut pedagogi dalam
Madzhab Frankfurt hanya satu contoh dari
pisau analisis lainnya yang dapat digunakan,
namun secara simple sebenarnya pisau anal-
isis yang ia tawarkan cukup menarik untuk
dikaji.
Mencoba menerapkan pola tersebut untuk
menganalisis problematika kontemporer
saat ini, merujuk pada hasil apa yang telah
Gus Dur lakukan, adalah langkah awal un-
tuk melatih diri menjadi Gus Dur jilid se-
lanjutnya.
Kebangkitan
Gus Dur
Jilid Selanjutnya
Abaz Zahrotien >>> Gusdurian Temanggung, Wartawan
Menggerakkan Tradisi
5. 5
Forum
Empat tahun lalu, suasana Ledokombo tak
sehidup hari ini. Ledokombo merupakan sebuah
kecamatan di Kabupaten Jember bagian utara.
Yang kondisi sosialnya kurang begitu menonjol.
Namun hari ini, egrang telah mengubahnya menja-
di daerah yang patut menjadi percontohan.
Awalnya, wilayah ini semakin banyak pen-
duduk yang migrasi ke kota, sebagian lainnya
menjadi buruh migran. Hal ini tentunya berdampak
pada tumbuh kembang anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya,
karena desakan ekonomi tentunya. Tumbuh kembang ke arah positif
kurang begitu memadai.
Namun kondisi ini bergeser sejak Dr Suporaharjo, memilih un-
tuk kembali ke kampungnya di Ledokombo pada 2009 silam. Bersama
Farkha Ciciek, pasangan hidupnya bersama buah hatinya, ia mencoba
mengubah keadaan dengan egrang, mainan lawas yang sudah hampir
punah.
Kedua anaknya menjadi objek pertama yang digarap melalui
egrang oleh pria yang akrab disapa Lik Hang ini. Egrang inilah yang
kemudian membawanya untuk menyapa anak-anak di kampungnya.
Pasangan suami istri ini juga mulai menyapa anak-anak seki-
tar dengan mengadakan berbagai lomba. Lambat laun, interaksi ini
membentuk sebuah kelompok belajar dan bermain yang oleh anak-
anak Ledokombo diberinama Tanoker (dalam bahasa Madura berarti
kepompong). Egrang menjadi ikon utama komunitas ini. Mereka dapat
berpidato, menari, dan bermain musik di atas egrang.
Tak hanya bermain engrang, anak-anak desa di Ledokombo kini
terbiasa bergaul dengan orang dari berbagai pelosok Indonesia mau-
pun luar negeri. Interaksinya melalui pertemuan langsung, media
jejaring sosial maupun video call (belajar dan dialog jarak jauh meng-
gunakan jaringan internet). Anak-anak di sana sangat sibuk belajar
dengan para tamu lokal dan luar negeri dengan berbagai isu, seperti
bahasa, lingkungan, kesenian, dan lainnya.
“Mereka manusia Indonesia sekaligus warga dunia, meski tum-
buh di desa. Saya berharap semoga mereka akan tumbuh menjadi
juru damai dimanapun mereka berada,” kata Ciciek Farhah.
Gaung Tanoker sudah terdengar di mana-mana. Mereka mengikuti
beragam acara untuk menujukkan bakat mereka bermain egrang di da-
lam dan di luar negeri, Youth Preneurship Summit, Youth Cultural Night,
Indonesia Mencari Bakat, Simposium Pemikiran Gus Dur, Si Bolang, dan
berbagai ajang lainnya. Dengan semangat dan ketekunan, Supohardjo
dan Ciciek Farhah berhasil menemani anak-anak Tanoeker untuk mem-
buat perubahan bagi diri mereka sendiri dan lingkungan sekitarnya. Nabila
Mengubah
dengan
Egrang
KULI
DAN KYAI
Rombongan jamaah haji
NU dari Tegal tiba di Bandara
King Abdul Aziz, Jeddah Arab
Saudi. Langsung saja kuli-kuli
dari Yaman berebutan untuk
mengangkut barang-barang
yang mereka bawa. Akibatnya,
dua orang di antara kuli-kuli
itu terlibat percekcokan serius
dalam bahasa Arab.
Melihat itu, rombongan
jamaah haji tersebut spontan
merubung mereka, sambil
berucap:
“Amin, Amin, Amin!”
Gus Dur yang sedang bera-
da di bandara itu menghampiri
mereka: “Lho kenapa Anda
berkerumun di sini?”
“Mereka terlihat sangat
fasih berdoa, apalagi pakai ser-
ban, mereka itu pasti kyai.”
Mati Ketawa
6. e-newsletterSELASAR/edisi3/20136
Apakah kita bahagia
dengan demokrasi?
Dalam The Geography of
Bliss, Eric Weiner menulis bahwa
demokrasi bukan jaminan keba-
hagiaan sebuah bangsa. Tetapi
kebanyakan negara-negara yang
bahagia adalah negara demokratis.
Selama 15 tahun reformasi
digulirkan, orang masih banyak
yang tak yakin dengan sistem ini.
Alih-alih yakin, justru banyak atribut
bergambar Pak Harto dengan kali-
mat, ‘piye enak jamanku tho?’
Gus Dur menyebut demokrasi
ini demokrasi taman kanak-
kanak. Infrastruktur demokrasi
dibangun demikian mewah, tetapi
mental bangsa belum cukup
dewasa. Multikulturalisme adalah
tantangan terbesar bagi demokra-
tisasi, itulah yang sehari-hari
kita hadapi; perbedaan. Perlu
energi dan hati yang lapang untuk
mencapai kemufakatan dalam
kebhinekaan.
Terkadang kebahagiaan bu-
kan terletak pada hasil, melaink-
an dalam setiap jejak perjuangan.
Gus Dur mungkin tetap bahagia
meski demokrasi kita belum
dewasa saat beliau tinggalkan.
Beliau bahagia karena telah ber-
juang. Kalau kita?
Demokrasi
Bahagia
Pergulatan
Berjuang untuk negara sekaligus mendak-
wahkan agama, pada era penjajahan menjadi
hal yang tak terpisahkan. Nama-nama seperti
Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad
Dahlan, Albrtus Soegijapranata dan Tjoet Nja’
Dhien telah mem-
populerkan model
perjuangan ini.
Perjuangan tiga
tokoh yang terakhir
disebut telah divi-
sualisasikan dalam
film. 30 Mei ini, film
tentang KH. Hasyim Asy’ari berjudul ‘Sang Kiai’
akan dirilis oleh Rapi Film.
Salah satu kisah yang menarik adalah cara
Wahid Hasyim mengeluarkan KH Hasyim
Asy’ari dari penangkapan Jepang. Ia memilih
jalan diplomatis ketimbang kekerasan seperti
yang diupayakan oleh salah seorang santri
Tebuireng dengan menggerakkan masa yang
justru menjatuhkan korban.
Film ini juga menggaungkan fatwa Resolusi
Jihad yang merambat sampai memecahkan
semangat arek-arek Suroboyo melawan Belanda
pada 10 November ’45. Film ini juga diharapkan
mampu membangkitkan semangat yang diko-
barkan oleh beliau-beliau yang divisualisasikan
untuk generasi kini.
Bunga Rampai
Kebangkitan Sang Kyai
Release Film
Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari
JAKARTA | 7 Juni PUKUL 18.30 wib | Forum Jumat
Pertama Jakarta | Aula Wahid Institute (Jl. Taman Amir
7, Pegangsaan, Jakarta Pusat) | Gratis & Umum | CP
082141232345
MALANG | Setiap Hari Rabu pukul 19.00 WIB | Diskusi
Rutin Tematik | Lokasi Tentatif | Gratis & Umum | CP
081944818171 (Fauzan)
JOGJA | 31 Mei Pukul 19.00 | Forum Jumat Terakhir:
Diskusi Tematik | Griya GUSDURian (Jl. Damai Gg Sunan
Giri no 33 B, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman | Gratis & Umum
| CP 082141232345
JOGJA | 8 Juni l Pukul 19.00 | Nobar&DiskusiFilmTematik
| Lokasi Tentatif | Gratis & Umum | CP 082141232345
Agenda/////////////////////////////////////
7. 7
P
ARA muballigh di masa
ini senang sekali mengutip
ucapan Nabi: “Beramallah
bagi (kepentingan) duniamu
seolah-olah kau benar-benar
akan hidup selamanya
dan beramallah untuk
(kepentingan) akhiratmu
seolah-olah engkau benar-benar akan
mati esok.” Dengan ucapan itu kemudian
dibuktikan bahwa Islam memandang urusan
duniawi sama pentingnya dengan urusan
ukhrawi.
Tetapi ada akibat sampingan dari
penafsiran diktum di atas secara demikian
itu. Keinginan untuk menghilangkan tekanan
terlalu besar atas urusan ukhrawi dan
mengembalikan perhatian kepada soal-soal
duniawi dalam proporsi yang wajar, akhirnya
mengakibatkan dikotomi dalam sikap dan
pandangan hidup muslim modern. Dikotomi
itu terutama mengambil bentuk pemisahan
antara soal-soal duniawi dan soal-soal
ukhrawi, di mana sikap dan pandangan si
muslim modern itu menjadi berjarak sangat
jauh dalam menangani antara keduanya.
Kalau si sufi kolot melandaskan
hidupnya pada sikap sarwa beribadat
karena diktum tarekatnya yang berbunyi
“Kebajikan adalah memuja Allah seolah-
olah engkau melihatNya, apabila engkau tak
melihatNya, justeru Ia-lah yang senantiasa
memandangimu,” maka si muslim modern
merasa memperoleh kebebasan penuh
untuk mengatur kehidupan duniawinya.
Secara perlahan-lahan tetapi pasti kehidupan
duniawi itu lalu membentuk sikap dan
pandangan hidupnya, bukan sebaliknya.
Keterpukauan dengan soal-soal materi
menggantikan kedalaman rasa tunduknya
kepada kebesaran Allah, karena kebesaran itu
sendiri terlalu abstrak dan bersimpang jauh dari
wawasan hidupnya yang serba mondaan.
Secara kolektif modernisme parsiil di
kalangan kaum muslimin ini, yang sudah
berkembang kurang lebih seabad, akhirnya
menghasilkan moralitas-ganda yang dewasa ini
dapat kita amati manifestasinya dalam berbagai
bentuk. Ia ada dalam kegairahan membangun
mesjid Istiqlal yang tidak disertai kepekaan yang
cukup kepada penderitaan sesama manusia, dalam
kerajinan memelihara frekwensi ritus keagamaan
tanpa merasa malu memperagakan kemewahan
hidup di tengah-tengah merajalelanya kemeralatan
dan kemiskinan, dalam kepongahan para pemuka
agama untuk mengerahkan massa mereka bagi
tujuan-tujuan duniawi yang bersifat pribadi, dan
lebih-lebih lagi dalam kepatuhan dan kealiman di
muka umum yang menyembunyikan kesenangan
kepada maksiyat dalam kehidupan pribadi.
Banyak lagi contoh lain dapat dikemukakan,
tapi dari manifestasi di atas itu saja sudah tampak
nyata betapa telah mendalamnya cengkaman
moralitas ganda itu atas sikap dan pandangan
hidup kaum muslimin dewasa ini. Herankah
kita jika agama Islam belum menampakkan diri
sebagai pendorong pembangunan dalam arti
yang sesungguhnya? Kesibukan “kegiatan agama
dengan pembuatan sarana-sarana lahiriah seperti
mesjid, kepadatan ‘kehidupan beragama’ dengan
acara ritus-ritus semu seperti M.T.Q., kepuasan
‘mengabdi kepada agama’” dengan berbagai
kerja penyiaran agama, kesemuanya itu menutup
mata kaum muslimin pada umumnya dari tugas
utama agama: mengangkat derajat manusia
dari kemiskinan dan kehinaan. Kalau diingat
betapa eratnya ajaran Islam berkait dengan upaya
meringankan beban si miskin dan si yatim, akan
ternyata betapa jauhnya suasana kehidupan kaum
muslimin di mana-mana dari inti agama mereka.
* Artikel ini pernah dimuat
di Majalah TEMPO pada 17 Juni 1978
Gus Dur
Bertutur
Moralitas:
Keutuhan & Keterlibatan*)
Oleh: Abdurrahman Wahid
Bagian I
8. e-newsletterSELASAR/edisi3/20138Kongkow
Gus Dur bukan hanya milik orang
Islam, Gus Dur milik semua agama dan
semua elemen di Indonesia. Sebagai guru
bangsa, Gus Dur mengajarkan pluralisme
dengan begitu apik yang mendasarkan
pada kebhinekaan. Mengenalkan Gus Dur
sebagai sosok yang multikultural, menjadi
penting untuk generasi kedepan sebagai
penerus perjuangan nilai-nilai mantan
Presiden ke-4 RI ini.
Setidaknya demikian perbincangan
yang dijenderali Asman Aziz dari Naladwipa
Institute Samarinda, Pastor Yohanes Kopong
Tuan dari Gereja katolik St Lukas Samarinda
dan Romo Roedy Haryo Widjono AMZ dari
Nomaden Institute dalam gelaran Kenduri
Opini Gus Dur yang bertajuk Memaknai,
Merawat dan Membumikan Pemikiran Gus-
dur : Tanpamu Kini Jadi Repot, di Aula RS
Dirgahayu, Samarinda, 8 Mei lalu.
“Ini adalah fase awal kegiatan Komuni-
tas GUSDURian Kalimantan Timur setelah
terbentuk 27 April lalu. Kegiatan ini ker-
jasama dengan Forum Pelangi Kalimantan
Timur dan berbagai organisasi lainnya
yang lintas etnis,” kata moderator diskusi,
Carolus Tuah yang juga aktivis Pokja 30
Samarinda.
Yang paling menarik, banyak dari
peserta yang berasal dari Samarinda dan
Tenggarong Kutai Kartanegara ini justru
terpikat mengikuti komunitas ini karena
Gus Dur semasa menjabat presiden
memberikan kebebasan bagi etnis Tiong-
hoa menjalankan peribadatannya. “Kami
sepakat untuk melanjutkan tiap bulan. Dari
GMNI dan PMKRI sudah siap memfasilita-
si,” katanya.
“Kalau saya tertarik untuk bergabung
setelah membaca suplemen diskusi yang
ditulis oleh Romo Roedy Haryo Widjono
di Facebook,” imbuh Romo Darsono Sito-
hang. Kasmani
Samarinda Pasuruan
Kenduri Opini
Kaltim
Untuk menyolidkan komunitas-ko-
munitas GUSDURian di berbagai daerah,
Sekretariat Nasional (SekNas) menggelar
pelatihan kader di seluruh wilayah Provinsi
Jawa Timur yang dipusatkan di Pondok
Pesantren Darut Taqwa, Sengonagung,
Purwosari, Pasuruan, Jum’at (3/5) lalu.
Dalam kegiatan tersebut, dihadirkan
sedikitnya 40 orang pemuda perwakilan
komunitas GUSDURian di 22 Kabupaten/
Kota di Jawa Timur. Hadir dalam kegiatan
tersebut, Pengasuh Pondok Pesantren Darut
Taqwa, KH. Sholeh Bahrudin, Koordinator
Nasional JGD, Alissa Wahid serta sejumlah
tokoh lainnya.
KH. Sholeh Bahrudin dalam sambutan
pembukaan acara menyampaikan, dalam
kehidupan social, mausia harus mem-
ber manfaat kepada manusia yang lain
tanpa membedakan agama dan asalnya.
“Sebaik-baik manusia itu bermanfaat bagi
sesamanya,” katanya.
Ia mengamanatkan, dalam mengha-
dapi banyaknya kejahatan dan fitnah yang
menyebar, sebaiknya dihadapi dengan cara
yang baik. “Idfa’ billati hiya ahsan”. Tolaklah
kejahatan dengan sesuatu yang baik,”
tambanya.
Dalam kegiatan yang berlangsung
selama tiga hari tersebut, Koordinator Nasi-
onal JGD, Alissa Wahid, mengatakan, para
pemuda sebaiknya menebarkan optimism
tinggi terhadap keberlangsungan Bangsa
Indonesia. Sebab, kedepan akan lahir kader
yang melanjutkan, merawat dan melestari-
kan prinsip dan nilai perjuangan Gus Dur.
“Dengan pelatihan ini diharapkan lahir
kader penggerak di masing-masing komu-
nitas yang senantiasa melanjutkan ide dan
perjuangan Gus Dur untuk Indonesia yang
damai dan berkeadilan,” terang Alissa.
Ketua Panitia, Jahurul Lutfi menam-
bahkan, dalam pelatihan tersebut dikon-
sentrasikan bagi generasi ketiga Jaringan
GUSDURian. Generasi ketiga merupakan
generasi yang sama sekali tidak pernah ber-
temu dan sezaman dengan Gus Dur. “Oleh
karena itu, sangat penting sekali pelatihan
ini digelar supaya generasi ini faham siapa
dan bagaiman pemikiran serta perjuangan
Gus Dur,” tandasnya. Gusdurian Pasuruan
Pengkaderan
GUSDURian
Se-Jatim
e-newsletterSELASAR/edisi03/20138