Dokumen tersebut membahas tentang perkawinan agama Katolik dan ketidakterceraiannya menurut hukum kanonik Gereja Katolik. Perkawinan Katolik didefinisikan sebagai persekutuan hidup antara pria dan wanita yang terjadi karena persetujuan pribadi yang tidak dapat ditarik kembali, dan bertujuan untuk saling mencintai serta membangun keluarga secara setia hingga maut memisahkan. Perkawinan
1. NAMA : Jenris Junior Manurung NIM: 44214310040
PERKAWINAN AGAMA KATOLIK DAN KETIDAKTERCERAIKANNYA
Institusi perkawinan merupakan lembaga yang problematis dan kompleks bagi
Gereja dewasa ini, baik dari segi praktis maupun pastoral. Kendati demikian, perkawinan
merupakan sebuah realitas yang sangat kaya, dan dapat dipelajari dari berbagai macam
aspek: antropologi, etnologi, filsafat, etika, teologi, budaya, sosiologi, psikologi, hukum, dll.
Bab ini membahas perkawinan kanonik katolik yang pelaksanaannya diatur oleh norma-norma
hukum kanonik Gereja Katolik, khususnya kanon 1055-1165. Perkawinan kanonik
ini mencakup semua perkawinan yang dilangsungkan menurut tata peneguhan kanonik
oleh orang-orang yang telah dibaptis secara Katolik atau telah diterima dalam Gereja
Katolik, paling tidak salah satu dari pasangan suami-istri.
Hidup berkeluarga dalam ikatan perkawinan merupakan cara hidup yang sangat
lazim dan normal bagi kebanyakan orang, termasuk di dalamnya orang-orang yang telah
dibaptis secara Katolik atau diterima dalam Gereja Katolik. Kanon 1055- $1. Perjanjian
(foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk
antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya
terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan
anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat
sakramen. $2. Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak
perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.
a. Hakikat perkawinan
Kanon 1055 ini merupakan kanon doktrinal dan mengartikan perkawinan
sebagai sebuah perjanjian (foedus, consensus, covenant) antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaam seluruh hidup. Definisi
ini mempunyai latar belakang pada dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et spes
art. 48, yang mengartikan perkawinan sebagai suatufoedus coniugi (perjanjian
nikah) dan bukan lagi sebagai contractus (sebuah kontrak), seperti masih dapat
dibaca dalam KHK 1917, kanon 1012 berikut ini:
Kanon 1012 §1 — Kristus Tuhan mengangkat kontrak perkawinan antara
orang-orang yang dibapth ke martabat sakramen.
§2. Karena itu di antara orang dibaptis tidak ada kontrak perkawinan sah
yang bukan dengan sendirinya adalah sakramen.
2. NAMA : Jenris Junior Manurung NIM: 44214310040
Itulah sebabnya GS 48 mengesampingkan istilah kontrak (contractus) dan mengangkat
istilah perjanjian atau kesepakatan (foedus) untuk mendefinisikan perkawinan:
Persekutuan mesra hidup perkawinan dan cinta itu sudah jauh berakar di dalam
janji perkawinan dengan kesepakatan pribadi yang tidak dapat ditarik kernbali.
Kendati Konsili Vatikan II tidak menggunakan istilah contractus untuk
mengartikan perkawinan, namun tidak menolak hakikat perkawinan sebagai suatu
kontrak karena di dalam perjanjian perkawinan ini terdapat unsur-unsur
kontraknya:
Forma : kesepakatan pribadi antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan.
Objek : kebersamaan seluruh hidup.
Akibat : hak atas kebersamaan seluruh hidup, termasuk hubungan suami-istri.
Kedua istilah ini digunakan secara bersama-sama dalam kanon 1055 §1 (foedus)
dan kanon 1055 §2 (contractus) untuk menunjukkan kedua unsur pokok dari arti
perkawinan.
b. Tujuan perkawinan
... yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri
(bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak…..
Kanon 1055 §1 ini dengan sederhana menunjukkan adanya 3 tujuan utama
perkawinan:
- kesejahteraan suami-istri
- prokreasi
- pendidikan anak
c. Sakramentalitas perkawinan orang-orang yang dibaptis
Semua perkawinan sah yang diselenggarakan antara orang-orang
yang telah dibaptis secara sah menurut kategori kanon 849, dengan
sendirinya merupakan sebuah sakramen (§2). Dalam hal ini, tidak dituntut
3. NAMA : Jenris Junior Manurung NIM: 44214310040
maksud khusus dari mempelai untuk menerimanya sebagai sakramen.
> Sakramentalitas perkawinan tidak terletak pada pemberkatan pastor
karena yang menjadi pelayan sakramen perkawinan adalah kedua
mempelai yang saling mengikrarkan janji perkawinan.
> Orang-orang yang dibaptis tidak dapat menikah dengan sah jika
dengan maksud positif dan jelas mengecualikan sakramentalitas
perkawinan.
> Perkawinan antar orang yang tidak baptis, dengan sendirinya akan
diangkat ke dalam martabat sakramen jika keduanya dipermandikan.
Dalam hal ini, tidak dituntut perjanjian nikah baru, namun mereka dapat
minta berkat pastor.
2. Ciri Hakiki Perkawinan: Unitas Et Indissolubilitas
Kanon 1056 - Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan
indissolubilitas (sifat tak-dapat-terputuskan), yang dalam perkawinan kristiani
memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.
Sedangkan, yang dimaksudkan dengan "tak-terceraikan" atau indissolubilitas
adalah bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah menurut tuntutan
hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak dapat diceraikan atau diputuskan6 oleh kuasa
mana pun kecuali oleh kematian. Indissolubilitas ini dapat bersifat hanya interna, yaitu
ikatan perkawinan tidak dapat diputuskan oleh kemauan dan persetujuan suami-istri
(karena mereka tidak mempunyai hak dan kuasa untuk mencabut kembali konsensus
perkawinan yang telah mereka ikrarkan), namun dapat diputuskan atas intervensi kuasa
gerejawi yang berwenang. Dan, disebut externa jika ikatan perkawinan tersebut tidak
dapat diputuskan oleh kuasa manusiawi mana pun. Sifat tak-terceraikannya perkawinan
(indissolubilitas) ini dibedakan menjadi dua:
3. Kesepakatan Nikah (Konsensus): Dasar Perkawinan
Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki
dan seorang perempuan saling rnenyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk
4. NAMA : Jenris Junior Manurung NIM: 44214310040
perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.
a. Kesepakatan membuat perkawinan.
Dalam kanon 1057 §1 ini, ditegaskan bahwa kesepakatan merupakan satu-satunya
unsur yang "membuat" perkawinan itu sendiri, consensus matrimonium
facit. Kesepakatan merupakan satu-satunya causa efficiens dari suatu perkawinan.
Dalam arti ini, tidak pernah ada institusi perkawinan selain oleh karena
kesepakatan nikah antara dua pribadi berbeda seksualitas. Oleh karena itu,
perkawinan bersifat contractus consensualis, dan bukan contractus realis. Artinya,
perkawinan terjadi sejauh telah terjadi kesepakatan nikah antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan meskipun belum disempurnakan dengan persetubuhan.
Karena perkawinan merupakan sebuah tindakan yuridis, kese-pakatan nikah
harus diungkapkan atau dinyatakan secara publik dan sah menurut norma-norma hukum.
Hukum Gereja dapat menentukan kondisi-kondisi tertentu untuk sahnya sebuah
perkawinan (bdk. kanon 1108, 1117, 1127 §1). Oleh karena itu, kesepakatan nikah
bukanlah semata-mata tindakan internal batiniah, tetapi juga merupakan sebuah tindakan
yuridis ekternal.
b. Objek kesepakatan nikah
Kanon 1057 §2, selain memberikan definisi tentang kesepakatan, juga
menegaskan apa yang sebenarnya menjadi objek kesepakatan tersebut. Menurut
kanon 1081 §2 dari KHK 1917, objek kesepakatan adalah hak ekslusi fdan tetap
terhadap tubuh (ius in corpus) pasangannya dengan tujuan utama untuk
mendapatkan keturunan'4. Rumusan "hak atas tubuh" ini untuk pertama kalinya
dimunculkan oleh Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus (Ef. 5,25-
31).
Perlu ditegaskan bahwa cinta kasih suami-istri (amor coniugalis) bukanlah
objek kesepakatan karena cinta dibedakan dari "kehendak untuk membentuk
perjanjian nikah" (matrimoniale foedus). Oleh karena itu, cinta kasih tidak dapat
dipakai untuk menentukan sah tidaknya kesepakatan atau perjanjian nikah.
5. NAMA : Jenris Junior Manurung NIM: 44214310040
4. Hak Untuk Menikah
Kanon 1058 — Semua orang dapat melangsungkan perkawinan, sejauh tidak dilarang
hukum. Kanon ini menegaskan hak untuk menikah (ius connubii), sebagai hak asasi dan
fundamental manusia. Hak ini meliputi juga hak untuk melangsungkan pernikahan dan
memilih calon pasangan hidupnya secara bebas. Setiap orang, laki-laki dan perempuan,
mempunyai hak dasariah untuk menikah.
Namun, hak ini tidaldah absolut dan tanpa batas serta dapat dilaksanakan
semaunya. Hadirnya alasan-alasan yang secara objektif berat dan masuk akal,
memungkinkan hukum, baik natural maupun manusiawi untuk menghalangi beberapa
perkawinan demi tujuan-tujuan yang lebih besar''. Oleh karena itu, pelaksanaan hak asasi
untuk menikah ini perlu diatur oleh hukum. Ketentuan-ketentuan hukum inilah yang
nantinya menjadi kriteria untuk menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan. Hanya
mereka yang tidak dilarang atau dihalangi oleh hukum dapat menikah dan membangun
keluarga secara sah (bdk. kanon 1057 §1)16.
Ketentuan kanon 1058 ini sangat penting untuk menjamin kebebasan masing-masing
untuk melaksanakan hak asasinya untuk menikah, khususnya jika melihat adanya praktik kawin
paksa dalam masyarakat kita.
5. Pertunangan
Kanon 1062 — P. Janji untuk menikah, baik satu pihak maupun dua belaah pihak, yang
disebut pertunangan, diatur menurut hukum partikular yang ditetapkan Konferensi para
Uskup dengan mempertimbangkan kebiasaan serta hukum sipil jika itu ada.
§2. Dari janji untuk menikah, tidak timbul hak pengaduan untuk menuntut
peneguhan perkawinan; tetapi ada hak pengaduan untuk menuntut ganti rugi jika
ada.
Kanon ini menegaskan bahwa pertunangan harus diatur oleh hukum partikular yang
dirumuskan dan disahkan oleh Konferensi para Uskup masing-masing. Sampai sekarang ini,
Konferensi para Uskup Indonesia belum merumuskan dan membuat hukum pertunangan.
Pertunangan sendiri pada dasarnya tidak dituntut demi sahnya perkawinan, namun dapat
sangat berguna sebagai langkah awal menuju perkawinan. Dengan pertunangan, calon
suami-istri dapat lebih saling mengenal dan menyesuaikan diri serta dapat lebih baik
mempersiapkan diri untuk memasuki dunia perkawinan.
6. NAMA : Jenris Junior Manurung NIM: 44214310040
C. PENUTUP
Dari uraian di atas perkawinan adalah persekutuan hidup - antara seorang pria dan
seorang wanita - yang terjadi karena persetujuan pribadi - yang tak dapat ditarik kembali - dan
harus diarahkan kepada saling mencintai sebagai suami isteri - dan kepada pembangunan
keluarga - dan oleh karenanya menuntut kesetiaan yang sempurna - dan tidak mungkin
dibatalkan lagi oleh siapapun, kecuali oleh kematian.
Pada masa sekarang perkawinan katolik yang bersifat monogami dan tidakterceraikan
mendapat tantangan yang sangat besar dihadapkan pada kecenderungan manusia masa sekarang
ke arah seks bebas. Namun bagi umat katolik perkawinan yang bersifat monogami dan
tidakterceraikan memiliki nilai yang tinggi yang harus dipertahankan dalam situasi apapun.
7. NAMA : Jenris Junior Manurung NIM: 44214310040
C. PENUTUP
Dari uraian di atas perkawinan adalah persekutuan hidup - antara seorang pria dan
seorang wanita - yang terjadi karena persetujuan pribadi - yang tak dapat ditarik kembali - dan
harus diarahkan kepada saling mencintai sebagai suami isteri - dan kepada pembangunan
keluarga - dan oleh karenanya menuntut kesetiaan yang sempurna - dan tidak mungkin
dibatalkan lagi oleh siapapun, kecuali oleh kematian.
Pada masa sekarang perkawinan katolik yang bersifat monogami dan tidakterceraikan
mendapat tantangan yang sangat besar dihadapkan pada kecenderungan manusia masa sekarang
ke arah seks bebas. Namun bagi umat katolik perkawinan yang bersifat monogami dan
tidakterceraikan memiliki nilai yang tinggi yang harus dipertahankan dalam situasi apapun.