1. STUDI PENATAAN DAN PENGEMBANGAN
KAWASAN PERMUKIMAN PULAU PANGGANG
KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU
TUGAS AKHIR
Oleh :
Nama : R. Maulana N. Wicaksana
Nim : 2000 - 22 - 010
JURUSAN TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDONUSA ESA UNGGUL
JAKARTA
2006
STUDI PENATAAN DAN PENGEMBANGAN
KAWASAN PERMUKIMAN PULAU PANGGANG
2. KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU
Oleh :
Nama : R. Maulana N. Wicaksana
Nim : 2000 - 22 - 010
TUGAS AKHIR
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
SARJANA TEKNIK
Jenjang Pendidikan Strata – 1 Program Studi
Perencanaan Wilayah Dan Kota
JURUSAN TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDONUSA ESA UNGGUL
JAKARTA
2006
PENGESAHAN TUGAS AKHIR
Nama : R. Maulana Nuradhi Wicaksana
3. NIM : 2000 - 22 - 010
Jurusan : Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
Program : Perencanaan Wilayah dan Kota
Judul Tugas Akhir : Studi Penataan dan Pengembangan
Kawasan Permukiman Pulau Panggang
Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu
Tugas akhir di atas telah disetujui dan diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Teknik jenjang pendidikan
Strata – 1 Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota.
Jakarta, 15 September 2006
Ir. Reza Sasanto, MPlan.Des Ir. Khairul Mahadi, MPM, MPA
Dosen pembimbing I Dosen pembimbing II
Mengetahui,
Ir. Reza Sasanto, MPlan.Des Dipl. Des. Zaidir Burhan
Plt. Ketua Jurusan Dekan Fakultas Teknik
Tanda Lulus Mempertahankan Tugas Akhir
Nama : R. Maulana Nuradhi Wicaksana
NIM : 2000 - 22 - 010
4. Jurusan : Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
Program : Perencanaan Wilayah dan Kota
Judul Tugas Akhir : Studi Penataan dan Pengembangan
Kawasan Permukiman Pulau Panggang
Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu
Dinyatakan LULUS mempertahankan tugas akhir pada ujian tugas
akhir yang dilaksanakan di Universitas Indonusa Esa Unggul pada
tanggal 15 September 2006.
Dosen Penguji I ( Ketua )
Nama : Ir. Reza Sasanto, MPlan.Des ( )
Dosen Penguji II ( Anggota )
Nama : Ir. Khairul Mahadi, MPM, MPA ( )
Dosen Penguji III ( Anggota )
Nama : Ir. Marco A. Limahelu, MSc ( )
Dosen Penguji IV ( Anggota )
Nama : Ir. Woro Indriyati, MT ( )
5. ABSTRAKSI
Kawasan Permukiman Pulau Panggang merupakan sebuah pulau kecil
yang diperuntukkan bagi kegiatan permukiman penduduk di Kabupaten
Administratif Kepulauan Seribu. Pada saat ini, Pulau Panggang menunjukkan
kondisi fisik yang relatif buruk. Adanya keterbatasan lahan, kepadatan penduduk
yang tinggi, tidak adanya penataan ruang dan tingginya kepadatan bangunan, serta
minimnya penyediaan fasilitas telah menyebabkan terjadinya penurunan kualitas
lingkungan di kawasan permukiman tersebut.
Selain itu, laju pertumbuhan penduduk yang tinggi diperkirakan akan
berdampak pada pertambahan jumlah dan kepadatan penduduk Pulau Panggang
di masa mendatang. Hal tersebut pada akhirnya menuntut peningkatan kebutuhan
akan pemanfaatan ruang, perumahan dan fasilitas guna menunjang kebutuhan
penduduk yang ada.
Melihat kondisi fisik kawasan Pulau Panggang pada saat ini, serta adanya
beberapa perkiraan tersebut, maka sangat diperlukan adanya suatu studi mengenai
penataan dan pengembangan kawasan permukiman Pulau Panggang guna
mengantisipasi terjadinya dampak negatif yang lebih besar pada saat ini maupun di
masa depan.
Dalam menganalisis, metode yang dipakai adalah melalui observasi
lapangan, kuisioner, wawancara dan analisis data yang disajikan secara
deskriptif berdasarkan pada tinjauan aspek-aspek yang terkait dengan
pengembangan kawasan permukiman yaitu; Fisik dasar lingkungan,
Kependudukan, Pemanfaatan ruang, Perumahan, serta Sarana dan Prasarana
Permukiman.
Dari hasil analisis tersebut, output yang dihasilkan berupa temuan
potensi dan kendala yang ada di kawasan tersebut yang selanjutnya
menghasilkan suatu konsepsi rencana penataan dan pengembangan
kawasan permukiman Pulau Panggang.
6. KATA PENGANTAR
Dengan senantiasa berserah diri kehadirat Allah SWT, pada
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir ini yang
merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar kesarjanaan pada
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik,
Universitas Indonusa Esa Unggul - Jakarta.
Materi yang penulis sajikan dalam Tugas Akhir ini adalah perihal
kajian terhadap penataan dan pengembangan kawasan permukiman di
Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.
Penulis menyadari sepenuhnya keterbatasan kemampuan dan
wawasan yang dimiliki penulis dalam penyusunan materi Tugas Akhir ini,
untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sangatlah
diperlukan dalam penyempurnaan materi Tugas Akhir ini agar kualitas dari
Tugas Akhir ini seperti yang diharapkan serta dapat menambah
pengetahuan dan wawasan penulis secara pribadi dan bermanfaat bagi
para pembacanya.
Proses penyelesaian Tugas Akhir ini tidak terlepas dari dukungan
dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu, dengan kerendahan hati, pada
kesempatan ini penulis secara khusus ingin menyampaiakan
penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua orang tuaku tercinta ”Rabbifirli walli walidaya
warhamhuma kama rabbayani shagira”, tanpa doa, nasehat dan
harapannya penulis tak akan mampu untuk menyelesaikan studi
ini.
2. Kakakku tersayang (Mas Dedy) yang senantiasa menemani
penulis dalam menyelesaikan studi ini.
3. Keluarga Besar Alm. R. Soetiman, Eyang putriku (Bu puh) yang
aku sayangi, Om dan Tanteku (Ayah dan Bunda, Om Agus dan
7. Mbak Wiwik, Om Adil dan Tante Hewi) serta adik-adikku (Melia,
Barcel, Brama, Nagia dan Naira) yang selalu menjadi motivasi
dan inspirasi penulis.
4. Bapak Ir. Reza Sasanto, GDipl, Mplan.Des selaku pembimbing I
tugas akhir dan sekaligus sebagai Plt. Ketua Jurusan Teknik
Planologi UIEU.
5. Bapak Ir. Khairul Mahadi, MPM, MPA selaku pembimbing II tugas
akhir.
6. Bapak Ir. Marco A. Limahelu, MSc selaku dosen penguji.
7. Ibu Ir. Woro Indriyati, MT selaku dosen penguji.
8. Ibu Ir. Yuliarti selaku Koordinator Tugas Akhir Jurusan Teknik
Planologi UIEU.
9. Bapak Dipl.Des Zaidir Burhan selaku Dekan Fakultas Teknik
10. Dosen dan Staf Fakultas Teknik UIEU (specially Om Ipung).
11. Ir. Retno Puspitasari dan Ir. Herlin Sukmarini atas ilmu,
bimbingan dan dukungan semangat bagi penulis selama ini.
12. Pihak Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, staf Kelurahan
dan seluruh warga Pulau Panggang.
13. Rekan-rekan seperjuangan Plano angkatan 2000 (Happy, HaQi,
Fitri, Hari Eka, Bang Dovi, Nisa, Mala, Dian, Dede dan lainnya
yang aku sayangi) “Never Give Up My Friend !!!”. Juga seluruh
senior (specially Arip Rachman/Genjer’99) dan junior di Planologi
Indonusa yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama
perkuliahan dan Tugas Akhir ini.
14. Rekan-rekan mahasiswa Planologi Untar (specially Rian’02 dan
pengurus IMAPLANTA) atas dorongan semangat dan motivasi
dalam menyelesaikan studi ini.
15. Keluarga Besar Korps Sukarela PMI unit Indonusa Esa Unggul
(KSR-IEU) yang selalu aku banggakan (Nursetiadi, Lambert,
Bastian, Lupy, Ubiet, Ami, teman seangkatan, senior dan semua
junior yang aku sayangi).
8. 16. Ibu dan Bapak Widodo atas perhatian dan tempat Kostnya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini. Serta teman-
teman kost-an (specially Happy, Heru, Andre, Ajad, Agay, Eki,
Begeng dkk) yang sudah mau menjadi teman melepas penat selama
penulis menyelesaikan laporan ini.
17. Semua pihak yang telah memberikan doa, semangat,
pengalaman dan ilmunya serta waktunya yang tidak dapat
dituliskan satu persatu, saya ucapkan banyak terima kasih.
Semoga sekecil apapun bantuan yang telah diberikan, akan
mendapat berkah dari Allah SWT. Akhirnya, penulis berharap agar
nantinya Tugas Akhir ini banyak memberi manfaat, terutama dalam
kontribusinya terhadap perkembangan disiplin ilmu perencanaan wilayah
dan kota.
Jakarta, September 2006
(R. Maulana N. Wicaksana)
9. DAFTAR ISI
Abstrak................................................................................... i
Kata Pengantar ...................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................. v
Daftar Gambar ....................................................................... ix
Daftar Tabel ........................................................................... xii
Daftar Diagram....................................................................... xiv
Daftar Lampiran ..................................................................... xv
Daftar Istilah........................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................ I - 1
1.2 Perumusan Masalah ....................................................... I - 6
1.3 Tujuan dan Sasaran Studi .............................................. I - 6
1.4 Manfaat Studi.................................................................. I - 7
1.5 Ruang Lingkup Studi....................................................... I - 7
1.5.1 Lingkup Wilayah Studi.......................................... I - 7
1.5.2 Lingkup Materi Studi............................................. I - 8
1.6 Alur Pemikiran Studi ....................................................... I - 11
1.7 Sistimatika Pembahasan................................................. I - 13
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Beberapa PengertianMengenai Studi Penataan Dan Pengem-
bangan Kawasan Permukiman Pulau Panggang............ II - 1
2.2 Dasar-Dasar Perencanaan bagi Penataan dan Pengembangan
Kawasan Permukiman Pulau Panggang............................. II - 1
2.2.1 Dasar-Dasar Perencanaan Pulau-Pulau Kecil,
10. Pesisir dan Lautan................................................ II - 5
2.2.2 Dasar-Dasar Pengendalian Kerusakan Fisik
Lingkungan........................................................... II - 13
2.2.3 Dasar-Dasar Perencanaan Kawasan
Permukiman ......................................................... II - 19
2.3 Kebijakan Mengenai Penataan dan Pengembangan
Kawasan Permukiman Pulau Panggang............................. II - 39
2.3.1 Kebijakan Otonomi Daerah .................................. II - 39
2.3.2 Kebijakan Tata Ruang Nasional........................... II - 40
2.3.3 Kebijakan Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta ........ II - 41
2.3.4 Kebijakan Pembangunan Kepulauan Seribu........ II - 43
BAB III METODOLOGI
3.1 Pendekatan Studi............................................................ III - 1
3.2 Metodologi Penelitian...................................................... III - 2
3.2.1 Metode Pengumpulan data .................................. III - 2
3.2.2 Metode Analisis.................................................... III - 4
BAB IV GAMBARAN UMUM DAN ANALISIS KAWASAN PERMUKIMAN
PULAU PANGGANG
4.1 Gambaran Umum Kawasan Studi................................... IV - 1
4.1.1 Kondisi Fisik Lingkungan...................................... IV - 1
4.1.2 Kondisi Kependudukan ........................................ IV - 8
4.1.3 Kondisi Pemanfaatan Ruang................................ IV - 11
4.1.4 Kondisi Perumahan.............................................. IV - 15
4.1.5 Kondisi Sarana Permukiman................................ IV - 16
4.1.6 Kondisi Prasarana Permukiman........................... IV - 25
4.2 Analisis Kawasan Studi................................................... IV - 32
4.2.1 Analisis Fisik Lingkungan ................................. IV - 32
4.2.2 Analisis Kependudukan .................................... IV - 35
4.2.3 Analisis Pemanfaatan Ruang ........................... IV - 40
11. 4.2.4 Analisis Perumahan.......................................... IV - 44
4.2.5 Analisis Sarana Permukiman............................ IV - 47
4.2.6 Analisis Prasarana Permukiman....................... IV - 60
BAB V KONSEPSI RENCANA PENATAAN DAN PENGEMBANGAN
KAWASAN PERMUKIMAN PULAU PANGGANG
5.1 Temuan Potensi dan Kendala Kawasan ......................... V - 1
5.1.1 Aspek Fisik Dasar Lingkungan ........................... V - 1
5.1.2 Aspek Kependudukan......................................... V - 2
5.1.3 Aspek Pemanfaatan Ruang ................................ V - 3
5.1.4 Aspek Perumahan............................................... V - 5
5.1.5 Aspek Sarana Permukiman ................................ V - 6
5.1.6 Aspek Prasarana Permukiman ........................... V - 7
5.2 Konsepsi Rencana Penataan dan Pengembangan
Kawasan ......................................................................... V - 11
5.2.1 Konsepsi Pengendalian Penduduk ...................... V - 11
5.2.2 Konsepsi Pengamanan Fisik Lingkungan ............ V - 12
5.2.3 Konsepsi Pemanfaatan Ruang............................. V - 13
5.2.4 Konsepsi Penataan dan Pengembangan
Perumahan........................................................... V - 15
5.2.5 Konsepsi Pengembangan Sarana........................ V - 17
5.2.6 Konsepsi Pengembangan Prasarana................... V - 18
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1 Kesimpulan ..................................................................... VI - 1
6.2 Rekomendasi.................................................................. VI - 3
Daftar Pustaka ....................................................................... xx
Lampiran ................................................................................ xxiii
12. DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Peta Wilayah Kabupaten Administratif
Kepulauan Seribu.................................................. I - 5
Gambar 1.2 Peta Orientasi dan Wilayah Studi.......................... I - 9
Gambar 1.3 Foto Udara Pulau Panggang................................. I - 10
Gambar 2.1 Model Rumah Susun dan Rumah Panggung di
Atas Air ................................................................. II - 21
Gambar 2.2 Model Sistem Pengolahan Air Limbah .................. II - 30
Gambar 2.3 Model Instalasi Pembakaran Sampah................... II - 31
Gambar 2.4 Peta Zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan
Seribu.................................................................... II - 47
Gambar 2.5 Rencana Revitalisasi Pulau Panggang ................. II - 52
Gambar 4.1 Peta Kondisi Fisik Lingkungan .............................. IV - 7
Gambar 4.2 Peta administratif dan Kependudukan .................. IV - 9
Gambar 4.3 Peta Kondisi Kegiatan Masyarakat ....................... IV - 12
Gambar 4.4 Peta Penggunaan lahan eksisting......................... IV - 14
Gambar 4.5 Peta Persebaran dan Kondisi Perumahan ............ IV - 17
Gambar 4.6 Kondisi Sarana SD dan TPA................................. IV - 16
Gamabr 4.7 Kondisi Sarana Puskesmas dan Pos Kesehatan .. IV - 18
Gamabr 4.8 Kondisi Sarana Masjid dan Musholla .................... IV - 19
Gamabr 4.9 Kondisi Sarana Warung dan Pangkalan Minyak
Tanah.................................................................... IV - 20
Gamabr 4.10 Kondisi Sarana Kantor Kelurahan dan Gedung
Serba Guna .......................................................... IV - 20
Gamabr 4.11 Kondisi Sarana Lapangan Volley dan Bulu
Tangkis ................................................................. IV - 21
13. Gamabr 4.12 Kondisi Sarana Angkutan Laut.............................. IV - 22
Gambar 4.13 Kondisi Sarana Transportasi Darat ....................... IV - 23
Gambar 4.14 Konsisi Sarana Pemakaman Umum ..................... IV - 23
Gambar 4.15 Peta Persebaran Sarana....................................... IV - 24
Gamabr 4.16 Kondisi Tempat Penampungan Air Hujan ............. IV - 26
Gamabr 4.17 Kondisi Prasarana Drainase ................................ IV - 26
Gamabr 4.18 Kondisi Prasarana Air Limbah dan Sanitasi .......... IV - 27
Gamabr 4.19 Kondisi Persampahan........................................... IV - 28
Gamabr 4.20 Kondisi Prasarana Dermaga ................................. IV - 28
Gamabr 4.21 Kondisi Prasarana Jalan ....................................... IV - 29
Gamabr 4.22 Kondisi Prasarana PLTD dan Penerangan Jalan
Umum ................................................................... IV - 30
Gambar 4.23 Peta Persebaran Prasarana.................................. IV - 31
Gambar 4.24 Peta Analisis Fisik Dasar Lingkungan................... IV - 36
Gambar 4.25 Peta Analisis Kependudukan ................................ IV - 39
Gambar 4.26 Peta Analisis Pemanfaatan Ruang........................ IV - 43
Gambar 4.27 Peta Analisis Perumahan...................................... IV - 48
Gambar 4.28 Peta Analisis Kebutuhan Sarana Permukiman ..... IV - 61
Gamabr 4.29 Peta Analisis Kebutuhan Prasarana Permukiman. IV - 71
Gambar 5.1 Konsep Pengamanan Fisik Lingkungan................ V - 24
Gambar 5.2 Konsep Pemanfaatan Ruang (Zoning).................. V - 25
Gambar 5.3 Konsep Penataan dan Pengembangan
Perumahan ........................................................... V - 26
Gambar 5.4 Konsep Alternatif Pengembangan Rumah
Susun 2 Lantai ...................................................... V - 27
Gambar 5.5 Konsep Alternatif Pengembangan Perumahan
di Atas Air.............................................................. V - 28
Gambar 5.6 Konsep Pengembangan Sarana ........................... V -29
Gambar 5.7 Konsep Pengembangan Jaringan Jalan
Kawasan ............................................................... V - 30
14. Gambar 5.8 Konsep Pengembangan Jaringan Jalan
Lingkungan Primer................................................ V - 31
Gambar 5.9 Konsep Pengembangan Jaringan Jalan
Lingkungan Sekunder ........................................... V - 32
Gambar 5.10 Konsep Pengembangan Jaringan Jalan
Lingkar Pulau ........................................................ V - 33
Gambar 5.11 Konsep Pengembangan Jaringan
Prasarana ............................................................. V - 34
Gambar 5.12 Perspektif Konsep Rencana Penataan dan
Pengembangan Kawasan ..................................... V - 35
15. DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kualitas Perairan Teluk Jakarta ........................ II - 14
Tabel 2.2 Jenis-Jenis Rumah dan Luasnya ...................... II - 20
Tabel 2.3 Kriteria Teknis Kawasan Permukiman .............. II - 24
Tabel 2.4 Perkembangan Program Perbaikan Lingkungan
Permukiman...................................................... II - 38
Tabel 2.5 Kepadatan Penduduk di Pulau-Pulau Permukiman
di Kepulauan Seribu.......................................... II - 48
Tabel 4.1 Jumlah KK, Dewasa, dan Anak ........................ IV - 8
Tabel 4.2 Penggunaan Lahan .......................................... IV - 13
Tabel 4.3 Jumlah Fasilitas Pendidikan Menurut Standar
dan Eksisting ................................................... IV - 49
Tabel 4.4 Jumlah Fasilitas Kesehatan Menurut Standar
dan Eksisting ................................................... IV - 50
Tabel 4.5 Jumlah Fasilitas Peribadatan Menurut Standar
dan Eksisting ................................................... IV - 52
Tabel 4.6 Jumlah Fasilitas Perekonomian Menurut Standar
dan Eksisting ................................................... IV - 54
Tabel 4.7 Jumlah Fasilitas Sosial Pemerintahan Menurut
Standar dan Eksisting ..................................... IV - 56
Tabel 4.8 Jumlah Fasilitas RTH - Olah Raga Menurut
Standar dan Eksisting ..................................... IV - 58
Tabel 4.9 Kualitas dan Kuantitas Sarana ........................ IV - 59
Tabel 4.10 Kebutuhan Air Bersih Menurut Standar
Kebutuhan ........................................................ IV - 62
Tabel 4.11 Akumulasi Buangan Air Limbah Menurut
Standar Kebutuhan .......................................... IV - 65
Tabel 4.12 Akumulasi Buangan Sampah Menurut Standar Kebutuhan
16. Tabel 4.13 Proyeksi Kebutuhan Listrik................................ IV - 68
Tabel 4.13 Kualitas dan Kuantitas Infrastruktur ................. IV - 69
Tabel 5.1 Temuan Potensi dan Kendala Kawasan .......... V - 9
17. DAFTAR DIAGRAM
Diagram 1.1 Bagan Alur Pemikiran Studi .............................. I - 12
Diagram 2.1 Skema Proses Reverse Osmosis...................... II - 29
Grafik 4.1 Persentase Penggunaan Lahan Pulau
Panggang Tahun 2005 ..................................... IV - 41
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Olah Kuisioner.............................................. xxiii
Lampiran 2 Data Wawancara................................................... xxxiv
Lampiran 3 Lembar Observasi Lapangan................................ xxxvi
Lampiran 4 Standar Sarana Perumahan DKI Jakarta.............. xxxvii
18. DAFTAR ISTILAH
1. Abrasi adalah proses pengikisan pantai yang disebabkan oleh
ombak/ gelombang laut atau yang juga disebabkan oleh aktivitas
manusia disekitar wilayah pantai.
2. Area adalah ruang pada permukaan bumi, dapat berukuran luas tapi
pada umumnya terbatas dan penggunaannya juga terbatas pada satu
jenis kegiatan tertentu.
3. Budidaya laut (marineculture) adalah cara pemeliharaan binatang
dan tumbuhan laut seperti berbagai jenis ikan laut, udang-udangan,
kerang-kerangan dan berbagai jenis rumput laut, di suatu tempat dan
dengan menggunakan metoda tertentu.
4. Daya dukung adalah batas ambang banyaknya kehidupan, atau
kegiatan ekonomis, yang dapat didukung oleh suatu lingkungan;
sering berarti jumlah tertentu individu dari suatu species yang dapat
didukung oleh suatu habitat atau dalam pengelolaan sumberdaya,
berarti batas-batas yang wajar dari pemukiman manusia dan/atau
penggunaan sumberdaya.
5. Degradasi adalah kerusakan atau penurunan kualitas dan daya
dukung lingkungan akibat kegiatan manusia atau alamiah.
6. Ekosistem adalah suatu komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, dan
organisme lainnya serta proses yang menghubungkan mereka, suatu
sistem fungsi dan interaksi yang terdiri dari organisme hidup dan
lingkungannya, seperti ekosistem mangrove, ekosistem estuari,
ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun.
19. 7. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau
budidaya.
8. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi
sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.
9. Kawasan permukiman adalah sebidang tanah/lahan yang
diperuntukkan bagi pengembangan permukiman atau dapat juga
diartikan sebagai daerah tertentu yang didominasi oleh lingkungan
hunian dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal yang dilengkapi
sarana, prasarana daerah dan tempat kerja yang memberikan
pelayanan dan kesempatan kerja guna mendukung penghidupan,
perikehidupan sehingga fungsi utama kawasan dapat berdaya guna
dan berhasil guna.
10. Konservasi merupakan pengelolaan sumberdaya untuk menjamin
pemanfaatan secara bijaksana dan sumberdaya alam yang
diperbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaan dengan
tetap memlihara dan maningkatkan kualitas nilai serta
keanekaragamannya.
11. Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi
oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur atau
berpasir, seperti pohon api-api (Avicennia spp), bakau (Rhizophora
spp).
12. Optimalisasi merupakan suatu usaha mencapai manfaat seoptimal
mungkin dengan mencegah terbuangnya salah satu unsur
sumberdaya alam dan meningkatkan mutunya.
13. Pantai adalah daerah ditepi laut, yang di batasi oleh pasng surut
terendah dengan pasang tertinggi.
14. Penataan merupakan pengertian dari “penataan Ruang” dimana
memiliki arti proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
20. 15. Penegakan hukum adalah proses pencegahan atau penindakan
terhadap orang dan/atau badan hukum yang melakukan suatu
pelanggaran atau kejahatan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
16. Pengembangan adalah pemekaran (kuantitatif) dan perbaikan
(kualitatif).
17. Pengelolaan berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya pesisir
yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia pada saat ini
tanpa mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi
manusia di masa datang.
18. Pengelolaan Pesisir Terpadu (PPT) adalah suatu proses
pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan jasa lingkungan yang
mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat, perencanaan horizontal dan vertikal, ekosistem darat
dan laut, sains dan manajemen sehingga pengelolaan sumberdaya
tersebut berkelanjutan dan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitarnya.
19. Preservasi (perlindungan) adalah suatu proses pengelolaan yang
membiarkan habitat seperti apa adanya dengan menghindari atau
mencegah campur tangan manusia.
20. Pulau adalah wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang
dikelilingi oleh air laut dan selalu berada di atas permukaan air pada
waktu air pasang naik.
21. Pulau Kecil adalah pulau dengan ukuran luas kurang atau sama
dengan 10.000km2, jumlah penduduk kurang dari 20.000 jiwa,
terpisah dari pulau induk, bersifat insuler, memiliki biota endemic,
memiliki daerah tangkapan air yang relative kecil dan sempit, kondisi
social, budaya dan ekonomi masyarakatnya berbeda dari pulau induk.
22. Reklamasi Pantai adalah kegiatan untuk mengembalikan bidang
tanah yang hilang akibat abrasi garis pantai, namun berkembang
menjadi perluasan wilayah melalui pengurugan pantai dan laut.
21. 23. Reverse Osmosis adalah teknologi pengolahan air laut (desalinasi)
dengan sistem osmosis balik menggunakan membran semi
permeabel yang menghasilkan air tawar bersih siap minum.
24. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan
ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta memelihara
kelangsungan hidupnya.
25. Salinitas adalah derajat konsentrasi garam yang terlarut dalam air.
Ditentukan dengan cara pengukuran densitas larutan dengan
salonometer, dengan cara titrasi atau pengukuran konduktifitas
elektrik larutan.
26. Sempadan pantai adalah daerah sepanjang pantai yang
diperuntukkan bagi pengamanan dan pelestarian pantai
27. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik
direncanakan maupun tidak.
28. Terumbu karang adalah jenis hewan laut berukuran kecil yang
disebut polip, hidupnya menempel pada substrat seperti batu atau
dasar yang keras dan berkelompok membentuk koloni yang
terakumulasi menjadi terumbu.
29. Wilayah pesisir (coastal zone) adalah wilayah peralihan ekosistem
darat dan laut yang saling mempengaruhi dimana kearah laut 12 mil
dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu
untuk kabupaten/kota dan kearah darat batas administrasi
kabupaten/kota.
30. Zonasi (pemintakatan) adalah sebagai salah satu bentuk rekayasa
teknik pemanfaatan ruang, untuk menetapkan batas-batas fungsional
suatu peruntukan (kawasan budidaya dan lindung) sesuai dengan
potensi sumberdaya, daya dukung dan proses-proses ekologis yang
berlangsung sebagai satu kesatuan dalam sistem tersebut.
22. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu merupakan sebuah
kabupaten Administratif dari Provinsi DKI Jakarta yang pada awalnya
merupakan sebuah kecamatan dari Kotamadya Jakarta Utara. Namun
setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang
Peningkatan Status Administrasi Kepulauan Seribu serta Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, maka saat ini Kepulauan Seribu telah menjadi
sebuah Kabupaten Administratif dari Provinsi DKI Jakarta, yang
menjadikannya daerah setingkat kota.
Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu terletak 45 Km di
sebelah Utara DKI Jakarta, dengan wilayah geografis meliputi perairan
Laut Jawa yang terletak pada 106
o
20’00” – 106
o
57’00” Bujur Timur dan
5
o
10’00” – 50
o
57’00” Lintang Selatan yang terdiri dari gugusan kepulauan
yang memiliki 110 pulau-pulau kecil.
1
Dimana diantara 110 pulau tersebut
terdapat 11 pulau-pulau kecil yang diperuntukan sebagai kawasan
permukiman penduduk atau biasa disebut sebagai pulau permukiman.
2
Salah satu pulau permukiman di Kepulauan Seribu tersebut adalah
Pulau Panggang yang memiliki luas 9,0 Ha dengan jumlah penduduk
pada tahun 2005 sebesar 3.411 jiwa dan kepadatan penduduk sebesar
379 jiwa/Ha.
3
Hal ini menjadikan Pulau Panggang sebagai pulau
1 Lihat gambar 1.1 peta Wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.
2 RBWK Kecamatan Kepulauan Seribu, 1985
3 Laporan kelurahan pulau panggang, Juli 2005
23. permukiman yang memiliki kepadatan penduduk paling tinggi diantara 10
pulau permukiman lainnya di Kepulauan seribu.
4
Pada saat ini, di Pulau Panggang menunjukkan kondisi fisik yang
relatif buruk. Adanya keterbatasan lahan, kepadatan penduduk yang
tinggi, tidak adanya penataan ruang dan tingginya tingkat kepadatan
bangunan, serta minimnya penyediaan fasilitas telah menyebabkan
terjadinya penurunan kualitas lingkungan di kawasan permukiman
tersebut.
Dari data monografi yang ada diketahui pula bahwa Pulau
Panggang memiliki laju pertumbuhan penduduk rata-rata yang cukup
besar, yaitu 2,87% per tahun.
5
Dengan laju pertumbuhan penduduk
tersebut, maka dapat diperkirakan pada masa mendatang jumlah dan
kepadatan penduduk di Pulau Panggang akan terus bertambah.
Kondisi tersebut pada akhirnya menuntut peningkatan kebutuhan
akan pemanfaatan ruang, perumahan dan fasilitas, guna menunjang
kebutuhan penduduk yang ada. Sehingga jika tidak disertai dengan suatu
perencanaan penataan dan pengembangan pada saat ini, maka
dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap kondisi Pulau Panggang di
masa depan.
Melihat kondisi fisik kawasan Pulau Panggang pada saat ini, serta
adanya beberapa perkiraan tersebut, maka sangat diperlukan adanya
suatu studi mengenai penataan dan pengembangan kawasan
permukiman Pulau Panggang. Hal tersebut dilakukan dengan
memperhatikan kondisi fisik dasar lingkungan, karakteristik
kependudukan, aspek tata ruang serta aspek fisik terkait lainnya yang
merupakan potensi bagi kawasan tersebut guna mengantisipasi terjadinya
dampak negatif yang lebih besar pada saat ini maupun dimasa depan.
Dilatar belakangi oleh beberapa hal tersebut, maka penataan dan
pengembangan kawasan permukiman Pulau Panggang harus
4 Op. ci.t dan lihat www.p3k.dkp.go.id, internet, 2005
5Ibid.
24. direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat mengakomodasi dan
memenuhi kebutuhan penduduknya, khususnya dalam hal fisik dan
keruangan.
Oleh karena itu melalui studi ini, akan mengusulkan sebuah
konsepsi rencana penataan dan pengembangan kawasan permukiman
Pulau Panggang. Diharapkan, hal tersebut nantinya dapat memberikan
sumbangan pemikiran terhadap pengembangan, khususnya untuk daerah
tersebut secara lokal dan umumnya bagi regional Kabupaten Administratif
Kepulauan Seribu.
Terdapat beberapa alasan yang menjadi daya tarik dari studi ini,
antara lain;
1. Pulau Panggang merupakan sebuah obyek fisik yang
berdimensi ruang, letak/lokasinya jelas dan dapat dikenali
batasnya serta dapat ditata menjadi ruang kegiatan untuk
memenuhi kebutuhan hidup penduduknya, sehingga hal
ini sangat relevan dengan bidang kajian disiplin ilmu
perencanaan wilayah dan kota (planologi).
2. Pulau Panggang merupakan pulau permukiman yang
memiliki kondisi fisik yang relatif buruk dengan
kepadatan penduduk tertinggi di Kepulauan Seribu
sehingga membutuhkan suatu studi penataan dan
pengembangan kawasan.
3. Studi Penataan dan Pengembangan Kawasan
Permukiman Pulau Panggang diperlukan untuk menata
kembali kawasan pulau tersebut guna mewujudkan
penataan ruang yang mampu memperbaiki kondisi
kawasan permukiman Pulau Panggang pada saat ini,
sehingga nantinya dapat menunjang kebutuhan dan
meningkatkan kesejahteraan penduduknya di masa
depan.
25. Produk yang dihasikan dalam studi ini diharapkan dapat
menghasilkan sebuah konsepsi rencana bagi penataan dan
pengembangan di kawasan permukiman Pulau Panggang yang
diharapkan mampu mengoptimalkan pemanfaatan potensi-potensi
serta memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada di
kawasan permukiman tersebut.
Gambar 1.1
Peta Wilayah Kabupaten Administratif
Kepulauan Seribu
26. 1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka
muncul sebuah pertanyaan penelitian yaitu, “bagaimanakah konsep
penataan dan pengembangan di kawasan permukiman Pulau Panggang,
agar mampu memperbaiki kondisi pada saat ini serta mampu mendukung
penduduknya yang terus tumbuh di masa mendatang?”
1.3 Tujuan dan Sasaran Studi
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada,
maka tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan studi ini adalah
menyusun konsep penataan dan pengembangan kawasan
permukiman Pulau Panggang, dengan sasaran sebagai berikut :
1. Adanya identifikasi potensi dan kendala yang ada di
kawasan permukiman Pulau Panggang.
2. Adanya konsepsi rencana penataan kawasan permukiman
Pulau Panggang dengan memperhatikan kondisi fisik
dasar lingkungan, karakteristik kependudukan, aspek tata
ruang serta aspek fisik terkait lainnya yang terdapat di
27. Pulau Panggang, serta dengan mengoptimalkan
pemanfaatan lahan yang ada di pulau tersebut.
3. Adanya konsepsi rencana pengembangan bagi
peningkatan kualitas dan kuantitas fisik (fasilitas dan
utilitas permukiman) di kawasan permukiman Pulau
Panggang.
1.4 Manfaat studi
Manfaat dari kegiatan ini antara lain :
1. Memperluas cakrawala pengetahuan perencanaan wilayah
dan kota, dan menambah keanekaragaman obyek studi
dalam konteks pengembangan tata ruang wilayah dan kota
khususnya di Universitas Indonusa Esa Unggul.
2. Mendorong minat untuk memberikan perhatian lebih besar
pada pengembangan tata ruang pulau-pulau kecil khususnya
pulau permukiman yang merupakan potensi bagi Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan sebuah
negara kepulauan terbesar di dunia.
3. Dapat menjadi masukan (sumbangan pemikiran) bagi
pemerintah daerah, khususnya pemerintah daerah Kabupaten
Administratif Kepulauan Seribu dalam menetapkan strategi
pengembangan dan penataan pulau-pulau permukiman yang
ada, serta sebagai umpan balik bagi upaya perbaikan kualitas
dan manfaat.
1.5 Ruang Lingkup Studi
Studi ini dibatasi dalam lingkup wilayah dan lingkup materi :
1.5.1 Lingkup Wilayah Studi
Pulau Panggang merupakan sebuah pulau kecil yang
diperuntukkan bagi kegiatan permukiman penduduk dengan luas wilayah
28. daratan sebesar 9,0 Ha. Secara administratif terbagi atas 3 RW dan 14
RT yang terletak di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan
Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
Letak geografis Pulau Panggang berada pada 05
o
41’415
o
44’18” –
5
o
44’37” Lintang Selatan dan 106
o
35’6” – 106
o
36’8” Bujur Timur yang
seluruh wilayahnya dibatasi oleh perairan Laut Jawa. Dengan orientasi
pada pulau terdekat, yaitu :
Sebelah Utara
Sebelah Timur
Sebelah Barat
Sebelah Selatan
Untuk lebih jelasnya lihat gambar 1.2 Peta Orientasi dan Wilayah
Studi dan gambar 1.3 Foto Udara Pulau Panggang.
1.5.2 Lingkup Materi Studi
Kajian yang dilakukan dalam studi ini dibatasi pada Tinjauan Fisik
Tata Ruang yang merupakan obyek pengenal dari disiplin Perencanaan
wilayah dan kota (Planologi).
Dengan lingkup substansi kegiatan yang akan dilakukan dalam
studi ini yaitu :
1. Gambaran kondisi eksisting dilapangan. Merupakan input atau
data awal bagi studi yang akan dilakukan berupa gambaran
umum atas kondisi eksisting di lapangan berdasarkan data
sekunder yang ada.
Gambar 1.2
Peta Orientasi dan Wilayah Studi
30. 2. Analisis terhadap tinjauan-tinjauan terkait. Dimana merupakan
tahapan analisis data mengenai aspek-aspek terkait seperti
fisik dasar lingkungan, kependudukan, pemanfaatan ruang,
perumahan, serta aspek sarana dan prasarana lingkungan
permukiman. Hal ini dilakukan dengan melakukan perhitungan
proyeksi dan perhitungan kebutuhan fasilitas serta didukung
dengan hasil observasi lapangan, wawancara dan kuisioner.
31. 3. Konsepsi rencana penataan dan pengembangan kawasan
permukiman Pulau Panggang. Merupakan output dari studi
yang telah dilakukan yang dimunculkan dalam model
konseptual. Dimana menurut Simatupang (1995),
6
Model
konseptual adalah gambaran logis suatu realitas atau masalah
yang dinyatakan dalam seperangkat konsep yang
dirangkaikan berdasarkan hipotesis dan teoritis. Dimana dalam
studi ini model konseptual ditampilkan dalam bentuk konsepsi
perencanaan dan gambar konsep rencana.
1.6 Alur Pemikiran Studi
Untuk mendeskripsikan studi yang dilakukan, maka penulis
berusaha menyajikan alur pemikiran yang nantinya diharapkan dapat
memberikan gambaran tentang proses/alur dari studi ini, yang dapat
dilihat pada diagram 1.1 berikut ini :
Diagram 1.1
Bagan Alur Pemikiran Studi
6 Arip Rahman, hal. V - 9
Perumahan Merupakan Kebutuhan Pokok Perkotaan yang Harus dipenuhi
untuk memenuhi kebutuhan Penduduk
Kebijakan Pembangunan
Kepulauan Seribu
Kebijakan Tata Ruang
Kebijakan Perumahan
ANALISIS KAWASAN PERMUKIMAN
Perlu Konsep Penataan dan Pengembangan di Kawasan
Permukiman Pulau Panggang
Deliniasi Kawasan
Perhitungan Kuantitatif
Deskriptif Kualitatif
Pulau Panggang sebagai Pulau yang diperuntukkan sebagai Kawasan
Permukiman di Kepulauan Seribu dalam Kondisi yang Realatif Buruk
32. 1.7 Sistematika Pembahasan
Bab I Pendahuluan
Berisi pembahasan mengenai latar belakang studi, perumusan
masalah, tujuan studi, manfaat studi, ruang lingkup studi serta
kerangka pemikiran dan sistematika pembahasan dari studi ini.
Bab II Landasan Teori
Berisi landasan teori ataupun tinjauan literatur dari studi
penataan dan pengembangan kawasan permukiman Pulau
Panggang sebagai sebuah Pulau Permukiman di Kepulauan
Seribu dan tinjauan aspek legal berupa arahan kebijakan yang
terkait dalam penataan dan pengembangan kawasan
permukiman Pulau Panggang.
33. Bab III Metodologi
Berisi metodologi yang digunakan dalam studi ini, seperti
pendekatan studi, metode penelitian, metode pengumpulan
data, serta metode analisis.
Bab IV Gambaran Umum dan Analisis Kawasan Permukiman
Pulau Panggang
Berisi gambaran umum yang menjelaskan kondisi eksisting
kawasan permukiman Pulau Panggang serta kajian analisis
mengenai fisik dasar lingkungan, kependudukan, pemanfaatan
ruang, perumahan serta sarana dan prasarana dimana
merupakan aspek - aspek terkait dengan studi yang dilakukan.
Bab V Konsepsi Rencana Penataan dan Pengembangan Kawasan
Permukiman Pulau Panggang
Berisisi temuan potensi dan kendala kawasan yang merupakan
intisari dari hasil analisis. Hal ini menyimpulkan potensi dan
kendala yang harus diperhatikan serta arahan dalam penataan
dan pengembangan kawasan permukiman Pulau Panggang.
Serta konsepsi rencana penataan dan pengembangan
kawasan permukiman Pulau Panggang yang dilengkapi dengan
gambar-gambar visual konsep rencana pengembangan
kawasan.
Bab VI Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan merupakan intisari dari seluruh hasil studi dan
Rekomendasi terhadap hal-hal yang terkait dengan studi ini.
34. BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Beberapa Pengertian Mengenai Studi Penataan dan Pengembangan
Kawasan Permukiman Pulau Panggang
Pulau Panggang merupakan sebuah pulau yang termasuk
kedalam kategori pulau kecil dengan peruntukan sebagai pulau
permukiman di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Dimana
definisi Pulau itu sendiri adalah wilayah daratan yang terbentuk secara
alamiah yang dikelilingi oleh air laut dan selalu berada di atas permukaan
air pada waktu air pasang naik.7
Sedangkan dalam konvensi PBB tentang
Hukum Laut Internasional pada tahun 1982 (UNCLOS 1982) Pasal 121
definisi Pulau adalah daratan yang dibentuk secara alami dan dikelilingi
oleh air dan selalu berada di atas muka air tinggi.
8
Sedangkan definisi pulau Kecil menurut keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan, tahun 2000 tentang “Pedoman Umum
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis
Masyarakat” menyebutkan bahwa “Pulau kecil” adalah pulau yang
memiliki luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 km
2
, dengan
jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 jiwa, atau dapat
pula mencapai 500.000 jiwa menurut Hess (1990).
9
Pulau kecil memiliki karakteristik dengan pengertian yang
terintegrasi satu dengan lainnya, yang meliputi
10
:
a. Secara Fisik
7 Draft Rancangan Undang-Undang RI tentang Kelautan, 2003
8 Definisi Pulau, www.wikipedia.com, 2006
9 Modul Sosialisasi Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Hal. 142
10 Ibid, hal. 143
35. Luas pulau kurang dari 10.000 km
2
, dengan area perairan
yang lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari
pulau besar induk (mainland island), sehingga bersifat insular.
Memiliki daerah tangkapan air hujan (catchment area) yang
relatif kecil sehingga sebagian besar aliran permukaan dan
sedimen akan langsung masuk ke laut.
Dapat membentuk satu gugus pulau atau berdiri sendiri.
Lebih banyak dipengaruhi oleh faktor hidro-klimatologi laut.
Substrat yang ada di pesisir biasanya menentukan jenis biota
yang ada disekitar pulau, dan biasanya didominasi oleh
terumbu karang atau jenis batuan yang ada di pulau tersebut.
b. Secara Ekologis
Habitat/ekosistem pulau kecil cenderung memiliki spesies
endemik yang bernilai ekonomis tinggi.
Sangat peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik
alami ataupun akibat kegiatan manusia, seperti : angin badai,
gelombang tsunami, gunung berapi, fenomena kenaikan air
laut (sea level rise), pencemaran, kerusakan akibat aktivitas
transportasi laut dan aktivitas penangkapan ikan, dan
penambangan.
Memiliki keterbatasan daya dukung pulau dalam ketersediaan
air tawar dan tanaman pangan.
Memiliki keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang tinggi.
c. Secara Sosial, Budaya dan Ekonomi
Ada pulau yang berpenghuni dan tidak.
Penduduk asli memiliki karakteristik ekonomi, sosial dan
budaya yang khas.
Kepadatan penduduk sangat terbatas/rendah (hal ini
berdasarkan daya dukung pulau dan air tanah).
36. Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi
di luar di pulau induk atau kontinen.
Keterbatasan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.
Aksesibilitas (ketersediaan sarana prasarana) rendah dengan
jarak dan waktu yang terbatas.
Dalam Profil Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu
11
disebutkan bahwa Pulau Panggang termasuk kedalam kelompok pulau
permukiman, hal ini menjadikan pulau tersebut sebagai kawasan
permukiman di wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.
Kawasan permukiman sendiri memiliki arti sebidang tanah/lahan
yang diperuntukkan bagi pengembangan permukiman atau dapat juga
diartikan sebagai daerah tertentu yang di dominasi oleh lingkungan hunian
dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal yang dilengkapi sarana,
prasarana daerah dan tempat kerja yang memberikan pelayanan dan
kesempatan kerja guna mendukung penghidupan, perikehidupan
sehingga fungsi utama kawasan dapat berdaya guna dan berhasil guna.
12
Sehingga pulau permukiman dapat diartikan sebagai sebuah pulau yang
pemanfaatan ruangnya diperuntukkan sebagai kawasan permukiman bagi
penduduk di wilayahnya.
Sedangkan untuk memahami pengertian Studi Penataan dan
Pengembangan dapat dimulai dari kata Studi yang berarti suatu kajian
yang bersifat ilmiah, sedangkan Penataan merupakan pengertian dari
“penataan Ruang” dimana memiliki arti proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selain itu
penataan ruang pada hakekatnya juga memiliki definisi sebagai berikut :
Penataan ruang adalah suatu upaya untuk
mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya, yang terkait
dengan peningkatan kesejahteraan manusia serta menjaga
kelestarian lingkungan
11 Profil Pulau-Pulau Kecil, www.p3k.dkp.go.id, 2006
12 Kamus Tata Ruang, Dinas PU dan IAP,Hal. 44
37. Penataan ruang adalah suatu proses yang mencakup
perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian dan merupakan
bagian dari perencanaan pengembangan wilayah.
Pengertian Pengembangan menurut kamus tata ruang adalah
pemekaran (kuantitatif) dan perbaikan (kualitatif).
13
Sehingga Studi Penataan dan Pengembangan Kawasan
Permukiman Pulau Panggang dapat diartikan sebagai suatu kajian
ilmiah terhadap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang serta
melakukan pengembangan baik secara kuantitatif maupun kualitatif di
kawasan permukiman Pulau Panggang dengan jalan mengoptimalisasikan
pemanfaatan sumber daya yang terkait dengan peningkatan
kesejahteraan manusia serta senantiasa menjaga kelestarian lingkungan
yang ada.
2.2 Dasar-Dasar Perencanaan Bagi Penataan dan Pengembangan
Kawasan Permukiman Pulau Panggang
Pada sub bab ini akan mengemukakan beberapa dasar-dasar teori
perencanaan yang berhubungan dengan studi penataan dan
pengembangan kawasan permukiman Pulau Panggang.
2.2.1 Dasar-Dasar Perencanaan Kawasan Pulau-Pulau Kecil, Pesisir
dan Lautan
a. Pulau Kecil
Kekhasan pulau kecil antara lain adalah luas daratan yang
terbatas, sehingga daratan tidak cukup mampu untuk menopang semua
kebutuhan hidup manusia bila memanfaatkannya untuk tempat
bermukim. Manusia penghuni pulau terutama adalah masyarakat yang
13 ibid, Hal.76
38. cara mempertahankan kehidupannya tidak saja bertumpu kepada
ekosistem pulau tetapi justru dari kekayaan ekosistem laut di sekitarnya.
Keseimbangan antara pelestarian alam dengan perolehan manfaat
dari daratan dan lautan pulau kecil perlu diupayakan agar eksistensi
pulau kecil sebagai tempat bermukim tidak menurunkan kualitas hidup
pemukim ataupun meningkatkan kerusakan alam daratan dan lautan di
sekitarnya.
Daratan hanya mampu menopang biota pulau sepanjang sesuai
dengan daya dukungnya. Keterisolasiannya menyebabkan spesies
yang ada di pulau seringkali bersifat khas, kecuali yang dapat berpindah
dengan terbang atau berenang antar pulau atau terbawa angin dan arus
air.
Kekhasan biota pulau bukan hanya dapat terjadi karena evolusi
kehidupan yang telah terjadi selama ini secara alami namun juga dapat
diintroduksi melalui penambahan kekayaan flora-fauna yang dapat
hidup sesuai kondisi dan daya dukung pulau. Introduksi yang tepat
dapat meningkatkan keunikan dan aspek estetis lingkungan daratan
dan laut di sekitar pulau kecil.
Curah hujan dan kemampuan menyimpan air tanah merupakan
salah satu penopang utama kehidupan biota di pulau. Semakin tinggi
curah hujan semakin banyak peluang pulau untuk memperoleh air
tawar. Semakin sempit lebar pulau semakin besar peluang intrusi air
laut ke tanah dalam pulau, sehingga semakin sempit lensa air tanah
pulau yang tidak terkena pengaruh intrusi air laut.
Konservasi dan peningkatan potensi keberadaan air bersih tersebut
harus menjadi dasar utama pengembangan pulau kecil. Pulau-pulau
pelindung yang memiliki cadangan air bersih hendaknya tidak boleh
dibangun bangunan secara intensif, apalagi untuk pemerintahan atau
tempat tinggal.
Masyarakat cenderung meniru contoh yang diberikan oleh sektor
publik, dimana kegiatan pembangunan yang bersifat publik cenderung
39. mengundang kegiatan lain yang serupa atau berkembang menjadi lebih
padat. Hendaknya bangunan dan tipe bangunan yang dibuat oleh
pemerintah memberi contoh bangunan yang sesuai lingkungan pulau,
yang ringan, terbuka dan tidak menutup lahan serta lebih banyak ruang
hijau (vegetasi).
Kondisi yang pada umumnya terjadi di pulau-pulau kecil seperti
yang disebutkan diatas juga terlihat di Pulau Panggang. Penduduk
pulau ini masih berorientasi terhadap daratan pulaunya, sehingga lahan
kosong ataupun ruang hijau sebagai konservasi tanah dan air sangat
terbatas. Kondisi tersebut perlu dicermati dan diantisipasi dengan
penataan ruang pulau yang sesuai dengan karakteristik fisik lingkungan
dan sosial budaya setempat, sehingga kelestarian pulau dan
lingkungannya tetap terjaga dan mampu menampung kegiatan/aktivitas
penduduknya.
Dalam penataan ruang pulau-pulau kecil juga harus diperhatikan
beberapa prinsip-prinsip dasar yang ada, yaitu sebagai berikut :
14
Penataan ruang pada dasarnya merupakan suatu upaya
pemanfaatan potensi suatu wilayah atau kawasan bagi
pembangunan secara berkelanjutan dengan mengurangi
konflik pemanfaatan ruang oleh berbagai kegiatan, sehingga
dapat dicapai suatu keharmonisan antara kegiatan dengan
lingkungannya. Dalam hal ini penataan ruang adalah proses
perencanaan tata ruang; pemanfaatan ruang; dan
pengendalian pemanfaatan ruang yang merupakan satu
kesatuan sistem yang tidak terpisahkan satu dengan yang
lainnya.
Dalam penataan ruang pulau-pulau kecil, secara fisik batas
wilayah perencanaanya akan lebih “fleksibel” karena akan
sangat dipengaruhi oleh batasan fungsi ekosistem.
14 Djais, Makalah pribadi pengantar sains, IPB , 2004
40. Sesuai dengan sifat alaminya, pengelolaan Pulau - Pulau Kecil
perlu lebih ditekankan pada aspek preservasi dan konservasi
dibanding dengan pembangunan yang bersifat intensif.
Dalam upaya pengembangan pulau-pulau kecil perlu dilakukan
penentuan ambang batas kegiatan di pulau tersebut serta
mengintegrasikan perlindungan habitat ke dalam kegiatan
ekonomi, sehingga dapat terjadinya sinergi antara
pengembangan kegiatan masyarakat dengan upaya
melindungi dan melestarikan habitat dan sumberdaya alam
yang ada.
Ada 5 (lima) prinsip utama yang harus diperhatikan dalam
pengelolaan pembangunan pulau-pulau kecil, yaitu; keserasian
dalam pemanfaatan ruang, pemanfaatan sumber daya alam
secara optimal, penerapan bioteknologi lingkungan bahari,
pengendalian polusi, dan meminimalkan dampak yang dapat
merugikan lingkungan.
b. Pesisir
Dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No :
KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan
Pesisir Terpadu, wilayah pesisir dapat diartikan sebagai wilayah
peralihan ekosistem darat dan laut yang saling mempengaruhi dimana
kearah laut 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga dari
wilayah laut itu untuk kabupaten/kota dan kearah darat batas
administrasi kabupaten/kota.
Sumberdaya pesisir terdiri dari sumberdaya hayati dan non-hayati,
dimana unsur hayati terdiri atas ikan, mangrove, terumbu karang,
padang lamun dan biota laut lain beserta ekosistemnya, sedangkan
unsur non-hayati terdiri dari sumberdaya mineral dan abiotik lain di
lahan pesisir, permukaan air, di kolom air, dan di dasar laut.
41. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung
pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan
penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk.
Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan komparatif karena
tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat
dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah sehingga
mampu menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif.
Kekayaan sumberdaya tersebut mendorong berbagai pihak terkait
(stakeholders) seperti instansi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat
untuk meregulasi dan memanfaatkannya. Masing-masing pihak terkait
tersebut menyusun perencanaannya tanpa mempertimbangkan
perencanaan yang disusun pihak lain, khususnya di wilayah pesisir
yang berkembang pesat. Perbedaan fokus rencana tersebut memicu
kompetisi pemanfaatan dan tumpang tindih perencanaan yang
bermuara pada konflik pengelolaan.
Konflik ini semakin berkembang akibat lemahnya kemampuan
Pemerintah dalam mengkoordinasikan berbagai perencanaan sektor
dan swasta. Bila konflik ini berlangsung terus akan mengurangi
efektivitas pengelolaannya sehingga sumberdaya pesisirnya mengalami
degradasi bio-fisik.
Untuk itu, pemanfaatan wilayah pesisir harus dikelola secara
terpadu. Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal
Management/ICM) merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi
pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dengan
mengintegrasikan: berbagai perencanaan sektoral, berbagai tingkat
pemerintahan, ekosistem darat dan laut, serta sains dan manajemen.
Pendekatan tersebut ditempuh dimulai dengan keterpaduan
perencanaan yang menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi,
sosial budaya dan konservasi sumberdaya pesisir.
c. Lautan
42. Wilayah laut adalah ruang laut yang merupakan kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Wilayah lautan sangat rentan terhadap kegiatan pencemaran laut
yang dilakukan oleh manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi
dengan baku mutu dan/atau fungsinya.
Untuk itu dibutuhkan suatu kegiatan konservasi laut yang
merupakan pengelolaan sumberdaya alam hayati laut yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya, serta
merehabilitasi sumberdaya alam laut yang rusak.
Hal ini dapat dilakukan melalui penataan ruang laut sebagai proses
pengalokasian dan perencanaan ruang perairan laut, pemanfaatan
ruang laut, dan pengendalian pemanfaatan ruang laut. Serta dengan
pengembangan budidaya laut (marineculture) yang merupakan suatu
cara pemeliharaan sumber daya biato laut, di suatu tempat dan dengan
menggunakan metode tertentu.
d. Perencanaan Pulau-Pulau Kecil, Pesisir dan Lautan Terpadu
Perencanaan dan atau penataan kawasan pulau-pulau kecil
sebagai wilayah daratan tidak terlepas dari kawasan pesisir dan lautan
disekitarnya sebagai satu kesatuan sistem, untuk itu dibutuhkan
perencanaan pulau-pulau kecil, pesisir dan lautan secara terpadu.
Prinsip dasar dalam penyusunan tata ruang pulau-pulau kecil,
pesisir dan lautan secara terpadu adalah bagaimana mendapatkan
manfaat dari sumberdaya yang tersedia seoptimal mungkin dengan
tidak mengabaikan kelestarian lingkungan (ekologi), disamping juga
43. memperhatikan aspek ekonomi, sosial, kelembagaan, dan pertahanan
keamanan. Berdasarkan hal tersebut, maka penyusunan tata ruang
kawasan pulau-pulau kecil, pesisir dan lautan mengacu kepada
15
:
Hubungan Fungsional. Perencanaan Tata Ruang pada wilayah
laut, pesisir dan pulau-pulau kecil, seyogyanya saling
berhubungan secara fungsional (compatible use principle).
Sehingga peruntukan suatu kegiatan tidak akan merugikan
kegiatan lainnya dan sebaliknya.
Saling Ketergantungan Antar Kawasan. Penempatan kegiatan
ruang pada wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil,
khususnya pada garis pantai diprioritaskan untuk kegiatan-
kegiatan yang sangat bergantung pada penggunaan air laut
(dependent use principle).
Fleksibilitas. Air laut merupakan media cair (fluida) yang selalu
bergerak dari suatu lokasi ke lokasi lainnya, sehingga kondisi
tertentu dari suatu tempat dapat menyebar mengubah serta
mempengaruhi kondisi tempat lainnya.
Daya Dukung Lingkungan. Pemanfaatan ruang harus
memperhatikan kemampuan daya dukung lingkungan
sekitarnya.
Prinsip Kehati-hatian. Mengandung pengertian, mencegah
kerusakan ekosistem lebih baik daripada memperbaiki segala
bentuk kerusakan pada ekosistem pesisir dan pulau-pulau
kecil.
Keterpaduan. Perencanaan tata ruang laut, pesisir dan pulau-
pulau kecil harus dilakukan secara terpadu dan tidak
dipisahkan dengan Rencana Tata Ruang Daratan,
pemanfaatan ruang di pesisir harus selaras dengan
pemanfaatan ruang di wilayah daerah aliran sungai (DAS).
15 Modul, Op.cit, hal.43
44. Prinsip keterpaduan juga harus dilakukan antar daerah
administratif yang berbatasan dan antar tingkat pemerintahan
(Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota).
Menyeluruh. Perencanaan kawasan baru di wilayah laut,
pesisir, dan pulau-pulau kecil harus direncanakan secara
menyeluruh yang mencakup; sarana/prasarana perhubungan
seperti jalan, jembatan, pelabuhan, serta utilitas seperti air,
listrik, gas, jaringan telekomunikasi, lapangan terbang,
pertambakan, taman nasional laut, pemanfaatan pulau-pulau
kecil, saluran irigasi, kawasan industri, kawasan wisata, jalur
hijau seperti zona hutan bakau dan padang lamun serta zona
ekosistem lainnya.
2.2.2 Dasar-Dasar Pengendalian Kerusakan Fisik Lingkungan
a. Dampak Pembangunan DKI Jakarta terhadap Masalah
Lingkungan Kepulauan Seribu
Wilayah DKI Jakarta yang merupakan sebuah megacity merupakan
wilayah pulau induk bagi Kepulauan Seribu.
16
Pesatnya pembangunan
di wilayah ini secara tidak langsung telah menyebabkan terjadinya
degradasi kualitas fisik lingkungan di Kepulauan Seribu.
Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya polusi (pencemaran) di
Teluk Jakarta akibat limbah organik dan logam berat yang telah
melampaui ambang batas. Dimana semua limbah dan sampah tersebut
dibawa oleh 13 aliran sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Hal ini
telah memperburuk kondisi lingkungan di kawasan tersebut yang
ditandai dengan meningkatnya pencemaran lingkungan, menurunnya
tutupan terumbu karang, dan penurunan populasi ikan.
16 UNESCO, Reducing Megacity Impacts on the coastal environment, Coastal Regiaon and Small Island papers 6,
Paris, 2000
45. Selain itu berdasarkan penelitian kandungan logam berat dalam
sedimen dasar laut Teluk Jakarta pada kurun waktu yang sama juga
menunjukkan peningkatan tiga kali lipat untuk logam plumbum atau
timbel, dan kadmium. Sedangkan krom peningkatannya hampir 19 kali
lipat.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 1998 telah menunjukkan
merkuri dan arsen yang mencapai 0,96 dan 1,65 gram/Liter juga telah
melampaui baku mutu air laut. Padahal, nilai ambang batas yang
dipersyaratkan sekitar 0,002 dan 0,5 gram/Liter. Hal ini menunjukkan
bahwa perairan teluk Jakarta telah tercemar dan dapat berbahaya bagi
lingkungan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
17
Tabel 2.1
Kualitas Perairan Teluk Jakarta
Konsentrasi
No Parameter Satuan Hasil
Pengukuran
NAB
Status
1
Oksigen
terlarut
Mg/L 3,20 3,0 Tercemar
2
Minyak dan
lemak
Mg/L 0,18 Nihil Tercemar
3 Seng ( Z n ) Mg/L 0,15 0,05 Tercemar
4 Mercury ( Hg ) gr/L 0,96 0,002 Tercemar
5 Arsen gr/L 1,65 0,5 Tercemar
Sumber : Amdal Regional (pengukuran tanggal 31 mei 1998)
Keterangan :
NAB : Nilai Ambang Batas
Pengayaan nutrien di perairan Teluk Jakarta berupa fosfat nitrat
yang berasal dari limbah seperti deterjen dan organik yang dihanyutkan
air sungai ke laut telah menyebabkan terjadinya ledakan populasi Alga
yang disebut red tide. Adanya ledakan populasi alga tersebut dapat
menyebabkan kematian berbagai jenis ikan yang berdampak langsung
pada penurunan produksi tangkapan ikan di perairan Teluk Jakarta dan
sekitarnya.
17 Rachman, Arip, op.cit. hal. III-5
46. Pencemaran yang terjadi di Teluk Jakarta secara tidak langsung
akan berdampak pada lingkungan Kepulauan Seribu. Hal dapat ini
terlihat dari adanya beberapa pulau di Kepulauan Seribu yang sejak
tahun 1985 hingga 1995 telah mengalami peningkatan penumpukan
sampah dari daratan Jakarta yang hanyut ke wilayah kepulauan
tersebut.
Di Pulau Nyamuk Kecil, Onrust, Damar Besar, Untung Jawa, dan
Bokor misalnya, peningkatan jumlah jenis sampah selama 10 tahun itu
lebih dari dua kali lipat. Di Pulau Bokor yang jauh dari daratan Jakarta
peningkatannya dari 521 jenis tahun 1985 menjadi 1.112 jenis tahun
1995.
18
Penggunaan pasir laut dan karang sebagai bahan material
bangunan, secara intensif telah dilakukan sejak tahun 1990-an. Hal ini
juga berdampak buruk bagi lingkungan teluk Jakarta dan Kepulauan
Seribu, dimana 3 diantara ratusan pulau yang ada telah hilang selama
15 tahun terakhir.
19
Kegiatan reklamasi pantai dan laut di Teluk Jakarta untuk
pengembangan lahan di DKI Jakarta juga dinilai telah merusak
lingkungan. Semua ini menyebabkan hilangnya habitat mangrove,
spesies ikan, percepatan sedimentasi dan kerusakan lingkungan yang
serius di kawasan Teluk Jakarta.
Dari permasalahan lingkungan tersebut dikhawatirkan pada
akhirnya dapat menimbulkan permasalahan (konflik) sosial bagi
masyarakat. Khususnya bagi masyarakat yang berkepentingan secara
langsung seperti masyarakat pesisir di Teluk Jakarta dan masyarakat di
Kepulauan Seribu yang semuanya menggantungkan hidupnya di laut.
18 Kusumastanto, Prof. Dr. Tridoyo, Pencemaran Teluk Jakarta Lampaui Ambang Batas, 2002.
19 Siska, Widya, Reklamasi Pantura: Proyek yang Memicu Bencana Ekologis Jakarta, www.walhi.or.id, 2006
47. Untuk itu dibutuhkan suatu strategi bagi penanganan dan
pengendalian kerusakan lingkungan tersebut agar kerusakan-kerusakan
lingkungan tersebut dapat diatasi atau paling tidak dapat diminimalisir
semaksimal mungkin.
b. Strategi Perbaikan dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan
Perbaikan dan pengendalian kerusakan lingkungan laut, pesisir dan
pulau-pulau kecil dapat dilakukan melalui beberapa tindakan, seperti :
20
1. Meningkatkan ketersediaan data dan informasi yang memadai
untuk perumusan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan
laut secara terpadu. Pemerintah propinsi dan kabupaten/kota
secara mendesak perlu menetapkan status kondisi lingkungan
di wilayah laut kewenangan masing-masing, seperti status
kondisi terumbu karang, hutan mangrove dan status
pencemaran lingkungan.
2. Meminimalkan konflik pemanfaatan wilayah pesisir dan laut
melalui penataan ruang yang akomodatif terhadap pola-pola
pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan laut yang
multiguna. Hal ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan
karakteristik ekologi dan sosial budaya yang spesifik di wilayah
tersebut dan ditetapkan dengan perundangan yang memadai.
3. Peningkatan partisipasi para stakeholders melalui sistem
manajemen dengan pendekatan partisipatoris. Hal Ini untuk
menjamin bahwa prinsip, proses dan pendekatan pengelolaan
wilayah pesisir dan laut sepenuhnya dapat dimengerti. Tidak
hanya oleh yang menggagas dan yang menerapkannya, tetapi
juga bagi stakeholders yang terlibat.
4. Pengaturan hukum pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
perlu ditunjang peningkatan kinerja penegakan hukum yang
adil. Pembentukan kelembagaan pengelolaan wilayah pesisir
20 Putra, Tanggulangi Abrasi Pantai Bali secara Terpadu, 2006.
48. dan laut yang memiliki kewenangan jelas, dapat mewujudkan
keterpaduan penanggulangan kerusakan yang terjadi.
Selain itu strategi pengelolaan kerusakan lingkungan wilayah
pesisir dan laut dapat dilakukan melalui pelibatan masyarakat, yang
meliputi:
21
1. Rehabilitasj/reboisasi mangrove (indiscriminate cuffing of
mangrove trees);
2. Restorasi Terumbu Karang (indiscriminate of eksploitation of
coral reefs);
3. Penyusunan tata ruang wilayah pulau-pulau kecil secara
terpadu, khususnya dalam rangka penanganan dan
pengendalian pencemaran tanah dan air (coostatwater and soil
pollution by garbage dumping);
4. Penataan dan perlindungan daerah tangkapan ikan nelayan
lokal melalui proyek Extensive marine fishing protection of
smale pelagic species by “'nelayan asing" (Penataan Upwelling
Area);
5. Penataan dan pengendalian penambangan pasir pantai secara
berlebih melalui proyek Irregular and over eksploitations of
sand mineral resources ;
6. Pengembangan pendidikan lingkungan berbasis masyarakat
melalui program Low level of community based education on
environment;
7. Penguatan peran kelembagaan lokal daiam peningkatan
kemampuan partisipasi masyarakat;
8. Pengaturan distribusi asset dan sumberdaya alam secara adil
dan merata;
21 Setiono, Joko, dkk, Kebijakan Pembangunan Pesisir Terpadu, suatu Kerangka Analisis, Program S-3 Teknik
Kelautan, IPB, Bogor, 2006.
49. 9. Peningkatan kemampuan penyuluh dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah di bidang konservasi ekosistem kawasan
pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat;
10. Pengembangan sistem komunikasi masyarakat pulau-pulau
kecil dan penguatan sistem informasi lingkungan secara
terpadu; serta
11. Pengembangan mata-pencaharian alternatif masyarakat pulau-
pulau kecil yang berbasis potensi unggulan lokal, berorientasi
pada kebutuhan pasar dan "ramah lingkungan".
Melalui pelibatan masyarakat sebagaimana tersebut di atas,
diharapkan dapat menumbuhkan pemahaman masyarakat akan
pentingnya ekosistem yang pada gilirannya masyarakat bersama-sama
dengan pemerintah pusat/daerah dapat menjaga dan melestarikan
kawasan pesisir.
Untuk mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan
lautan, pesisir, pulau-pulau kecil, pemerintah juga telah melakukan
beberapa program, diantaranya adalah :
1. Program Nasional Pantai Lestari yang ditetapkan berdasarkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep
45/MENLH/11/1996 tentang Program Pantai Lestari.
22
.
2. Program Prokasih (Program Kali Bersih), yang bertujuan untuk
mengendalikan pencemaran lingkungan sungai.
3. Program Konservasi, Rehabilitasi, dan Reboisasi hutan Bakau
(mangrove).
Namun demikian semua strategi tersebut harus didukung dengan
komitmen dan kinerja oleh semua stakeholder yang terkait, agar
22 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep 45/MENLH/11/1996 tentang Program Pantai Lestari
50. nantinya keterpaduan benar-benar dapat diwujudkan dan lingkungan
pantai yang rusak dapat diselamatkan.
2.2.3 Dasar-Dasar Perencanaan Kawasan Permukiman
a. Rumah dan Perumahan
Rumah merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat
tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga
23
. Sedangkan
Perumahan merupakan bagian dari kawasan permukiman yang
berbentuk kelompok rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkngan.
Adapun tujuan dari pembangunan perumahan adalah untuk
mengembangkan dan membangun suatu kesatuan lingkungan
permukiman
24
, yang meliputi pembangunan berbagai jenis rumah
(dalam jumlah besar) dalam suatu lingkungan hunian yang berimbang,
dimana terdiri dari jenis rumah besar, menengah dan sederhana
dengan perbandingan 1 : 3 : 6.
Dari masing-masing jenis rumah tersebut mempunyai karakteristik
yang berbeda, yang dibedakan menjadi :
Rumah Sederhana
Rumah Menengah Bawah
Rumah Menengah Atas
Rumah Mewah
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.2 jenis-jenis rumah
dan luasannya, sebagai berikut :
Tabel 2.2
Jenis-Jenis Rumah dan Luasannya
Jenis Rumah Luas Bangunan (M
2
) Luas Tanah (M
2
)
23 Undang-Undang RI No.4 tentang perumahan dan permukiman
24 Basuki, Sunaryo, Makalah Permasalahan Pembangunan Perumahan, Hal 38
51. Bawah 22 - 30 60 - 70
Menengah Bawah 36 - 45 96 - 100
Menengah 54 - 70 120 - 150
Menengah Atas 120 - 160 180 - 300
Atas 185 - 215 240 - 350
Sumber : Basuki, Sunaryo, Makalah Permasalahan Pembangunan Perumahan. Hal.39
Sedangkan tipologi/tipikal dasar rumah dibagi menjadi 6 (enam),
yaitu :
25
1. Rumah Gandeng (Row House)
Merupakan unit rumah dua lantai yang berdempetan dengan
unit sebelahnya, dimana penempatan ruang kegiatan sehari-
hari dilantai bawah dan ruang tidur di lantai atas. Unit-unit yang
serupa juga mempunyai ruang tamu yang terletak disamping
taman.
2. Rumah Kota (Town House)
Bentuknya menyerupai kondisi kebanyakan rumah suburban,
serupa dengan rumah gandeng namun kendaraan diparkir di
dalam unit tersebut.
3. Rumah Berpekarangan Dalam (Patio House)
Merupakan rumah berlantai satu yang berdempetan tersebar
diseluruh bidang tapak. Tiap unit mempunyai pekarangan
belakang (patio). Tempat parkir biasanya di lapangan parkir
yang agak jauh dari unit-unit rumah.
4. Rumah Susun
Unit-unit dengan ruang tempat tinggal seluruhnya pada satu
lantai, yang dapat disusun keatas sampai ketinggian 4 lantai.
Tempat parkir dapat berupa carport atau lapangan parkir yang
berdekatan dengan unit rumah susun.
25 Unterman, Richard and Robert Small, Perencanaan Tapak Untuk Perumahan, alih bahasa Ir. Vincent M. hal. 47
52. 5. Maisonet (Maisonette)
Merupakan tipe standar dari bangunan “berkepadatan tinggi”
dan bertingkat rendah. Dikatakan berkepadatan tinggi karena
merupakan suatu penumpukan vertikal maksimum dari 1 buah
unit berlantai dua, diatas bagian bangunan lainnya.
6. Rumah Petak (terrace House)
Merupakan rumah-rumah gandeng dan berpekarangan dalam
yang dapat dibuat bertingkat.
b. Permukiman dan Kawasan Permukiman
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian
dan tempat kegiatan yang mendukung prikehidupan.
Sedangkan pengertian Kawasan Permukiman telah ditetapkan oleh
peraturan dalam Undang-Undang RI No.4 tentang perumahan dan
permukiman yang memiliki arti sebidang tanah/lahan yang
diperuntukkan bagi pengembangan permukiman. Dapat juga diartikan
sebagai daerah tertentu yang didominasi oleh lingkungan hunian
dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal yang dilengkapi sarana,
prasarana daerah dan tempat kerja yang memberikan pelayanan dan
kesempatan kerja guna mendukung penghidupan, perikehidupan
sehingga fungsi utama kawasan dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Sedangkan menurut RTRW DKI Jakarta 2010, kawasan
permukiman adalah kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari
lingkungan hidup di luar kawasan lindung yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung fungsi tempat tinggal tersebut.
Pada dasarnya permukiman dibedakan menjadi 2 (dua) macam,
yaitu permukiman perkotaan dan permukiman pedesaan. Untuk
53. kawasan permukiman Pulau Panggang, dapat digolongkan kedalam
kawasan permukiman kota karena termasuk kedalam wilayah DKI
Jakarta dan mengikuti standar-standar permukiman DKI Jakarta,
dimana merupakan ruang yang diperuntukkan bagi pengelompokan
permukiman penduduk dengan dominasi kegiatan non pertanian, untuk
dapat menampung penduduk pada saat sekarang maupun
perkembangannya di masa yang akan datang.
Klasifikasi kawasan permukiman menurut RTRW Jakarta 2010
adalah :
1. Permukiman dengan kepadatan sedang dan tinggi (KDB >
20%).
2. Permukiman dengan kepadatan rendah (KDB maks 20%).
Setiap kawasan secara bertahap dilengkapi dengan sarana
lingkungan yang jenis dan jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan
yang berdasarkan standar fasos dan fasum.
Adapun kriteria teknis dari kawasan permukiman perkotaan adalah
sebagai berikut
26
:
1. Kelerengan 0 -25%.
2. Tersedia sumber air yang cukup.
3. Drainase baik sampai sedang.
4. Daya dukung tanah cukup baik.
5. Tidak berada pada daerah rawan bencana.
6. Tidak berada pada wilayah sempadan, daerah resapan dan
daerah aman penerbangan.
7. Tidak berada pada kawasan lindung.
8. Akses sirkulasi transportasi baik.
9. Bebas dari kebisingan dan bahaya setempat.
10. Kepadatan rendah s/d tinggi.
11. Berorientasi langsung ke jalan arteri/kolektor primer.
26 Kriteria Lokasi dan Standar Teknis Kawasan Budidaya, hal.III-32
54. 12. Lokasi berada dekat dengan pusat-pusat kegiatan perkotaan.
13. Berada pada wilayah batas kota.
Adapun secara umum, kriteria teknis kawasan permukiman dapat
dilihat pada tabel 2.3 berikut :
Tabel 2.3
Kriteria Teknis Kawasan Permukiman
No. Kriteria Sesuai
Sesuai
Bersyarat
Tidak
Sesuai
1 Lereng < 15 % 15-25 % > 25 %
2 Drainase
Tidak pernah
tergenang
Periodik
Tergenang
permanen
3 Kualitas Air Tanah Tawar Payau Asin
4 Tekstur Tanah Halus sedang
Agak
berkuarsa
Kuarsa
Sumber : Kriteria lokasi dan standar teknis kawasan budidaya, III-33.
Sedangkan kriteria ruang kawasan permukiman secara umum
adalah :
1. Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat produksi
seperti kawasan pertanian, pertambangan, perikanan,
peternakan, kehutanan dan sebagainya.
2. Memiliki aksesibilitas yang cukup baik terhadap wilayah
sekitarnya (adanya jalan dan sarana transportasi).
3. Didukung oleh ketersedian prasarana dan penunjang seperti
rumah sakit, sekolah, pasar, fasilitas sosial, fasilitas umum,
dan sebagainya.
4. Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas
lingkungan dan kualitas sumber daya air.
5. Berada di luar kawasan yang berfungsi lindung.
55. c. Sarana dan Prasarana Permukiman
Sebagai sebuah lingkungan permukiman, maka wajib dilengkapi
dengan yang diperlukan oleh para penghuni lingkungan permukiman
yang bersangkutan berupa Prasarana (utilitas) dan Sarana (fasilitas).
Dimana menurut Undang-Undang RI No.24 tahun 1992 tentang
penataan ruang, Prasarana memiliki arti kelengkapan dasar fisik
lingkungan yang memungkinkan lingkungan dapat berfungsi
sebagaimana mestinya, seperti :
a. Jaringan Jalan
b. Jaringan Drainase
c. Jaringan Air bersih
d. Jaringan Listrik
e. Jaringan Air limbah
f. Jaringan Gas
g. Jaringan Telpon
Sedangkan Sarana adalah bangunan dan ruang terbuka yang
menyediakan jasanya untuk kemudahan kehidupan masyarakat sehari-
hari, seperti :
a. Sarana Pendidikan
b. Sarana Kesehatan
c. Sarana Perdagangan/Niaga
d. Sarana Pemerintahan dan pelayanan umum
e. Sarana Peribadatan
f. Sarana Rekreasi dan kebudayaan
g. Sarana Olah Raga dan lapangan terbuka
h. Sarana Pemakaman Umum
Kualitas permukiman
27
adalah kondisi permukiman yang diukur
berdasarkan standar tertentu. Dalam arti fisik; misalnya standar
kepadatan penduduk, kepadatan bangunan, kualitas bangunan, kondisi
27 Delyanto, bambang, lingkungan sosial budaya,1996
56. kepadatan lalu-lintas kendaraan. Dalam arti sosial; mengandung ukuran
keamanan, kesehatan dan kenyamanan. Dalam arti ekonomi
mengandung ukuran tingkat pendapatan minimal untuk memenuhi
kebutuhan hidup.
Kualitas lingkungan permukiman mencakup 2 (dua) bagian, yaitu :
1. Ruang luar (external space), yaitu :
a. Tata air (drainase dan sanitasi)
b. Pembuangan limbah manusia
c. Penyediaan air minum
d. Ruang terbuka hijau
2. Ruang dalam (internal space), yaitu :
a. Pencahayaan alami
b. Sirkulasi udara
d. Penerapan Teknologi Tepat Guna Bagi Kawasan Permukiman
Teknologi tepat guna merupakan teknologi yang memenuhi
syarat-syarat sosial, teknik, dan ekonomi tertentu sesuai dengan
situasi dan kondisi setempat. Hal ini juga telah diatur dalam
Instruksi Presiden No. 3 tahun 2001 tentang penerapan dan
pengembangan teknologi tepat guna.
Dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan pulau
permukiman, maka teknologi tepat guna yang dapat dikembangkan
adalah berupa :
1. Teknologi Perumahan
Untuk pembangunan unit rumah dikenal dengan sistem
modular. Dimana rumah yang akan dikembangkan telah
disesuaikan dengan bahan dan ukuran yang telah
57. distandardisasikan, sehingga pembangunan perumahan jauh
lebih efisien.
28
Model perumahan yang biasa dikembangkan bagi
pemenuhan kebutuhan perumahan adalah rumah susun
sederhana, yang dapat menampung penghuni dengan
kapasitas besar secara vertikal.
Sedangkan model perumahan lainnya yang dapat
dikembangkan pada kawasan pulau-pulau kecil adalah berupa
perumahan panggung di atas air dengan memanfaatkan
kawasan perairan dangkal disekitar pulau, seperti yang
terdapat pada kawasan pulau wisata yang dapat dilihat pada
gambar 2.1 berikut :
Gambar 2.1
Model Rumah Susun dan
Rumah Panggung di Atas Air
Sumber : www.google.com, internet, 2006.
2. Teknologi Prasarana Air bersih
Untuk penyediaan air bersih di pulau-pulau kecil dapat
dikembangkan teknologi pengolahan air laut menjadi air tawar
(desalinasi) dengan sistem Reverse Osmosis (osmosa balik).
29
28 Komarudin, Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman, 1997, hal.157.
29 Unit Alat Pengolahan Air Asin Menjadi Siap Minum Sistem Osmosis Balik, www.pirba.ristek.go.id, internet, 2006.
58. Pada awalnya teknologi ini dipakai pada kilang minyak
lepas pantai dan kapal perang, namun pada akhirnya juga
dipakai secara massal untuk kepentingan umum seperti pada
saat bencana dan pada daerah terpencil yang langka akan
sumber air bersih.
Teknologi ini dapat menghasilkan air bersih minimal
10.000 liter per hari dengan energi listrik dari genset
berkapasitas 10 KVA dengan fasilitas 3 phase dan tegangan
380 volt.
Untuk pengolahan air laut dibutuhkan unit pengolahan
pendahuluan yang terdiri dari beberapa peralatan utama yakni
pompa air baku, tangki reaktor (kontaktor), saringan pasir, filter
mangan zeolit, dan filter untuk penghilangan warna (color
removal), dan filter cartridge ukuran 0,5 µm. Serta unit Osmosa
Balik terdiri dari pompa tekanan tinggi dan membran Osmosa
Balik, serta pompa dosing klorine dan sterilisator ultra violet
(UV).
Biaya produksi air olahan siap minum dengan teknologi
reverse osmosis (RO) berkisar antara Rp. 25,- sampai Rp.
50,- per liter air siap minum. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada diagram 2.1 berikut ini :
Diagram 2.1
Skema Proses Reverse Osmosis
59. Sumber : www.pirba.ristek.go.id, internet, 2006.
3. Teknologi Prasarana Sanitasi dan Air Limbah
Untuk sistem sanitasi dan air limbah dapat dikembangkan
sistem tangki septik (septic tank) secara komunal yang dapat
menampung buangan tinja (feces) penduduk yang kemudian
disalurkan pada Instalasi Pengolahan Air limbah.
30
Hal ini
dimaksudkan sebagai tempat penampungan dan pengolahan
buangan (limbah) rumah tangga berupa air kotor agar nantinya
limbah tersebut dapat netral, aman dan akrab lingkungan.
Sistem ini dapat mereduksi air limbah dengan kapasitas
sebesar 15 - 20 M
3
per hari. Sistem ini menggunakan
beberapa kolam pengolahan, dimana kolam pertama berfungsi
sebagai kolam pengurai yang diberi zat kimia aktif untuk
membantu proses penguraian sedangkan kolam lainnya
berfungsi sebagai proses pengendapan dan penetralan. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut ini :
Gambar 2.2
Model Sistem Pengolahan Air Limbah
30 Paket Teknologi Pengolahan Air Limbah dan Insinerator, www.kelair.bppt.go.id, internet, 2006.
60. Sumber : www.kelair.bppt.go.id, internet, 2006.
4. Teknologi Prasarana Persampahan
Untuk teknologi persampahan yang tepat bagi kawasan
pulau permukiman adalah berupa pengembangan tempat
pembakaran sampah (insinerator) sebagai instalasi
pengolahan sampah akhir.
31
Insinerator dapat mereduksi sampah sebesar 0,3 – 0,6 M
3
per jam. Dengan teknologi ini, pengurangan sampah dapat
mencapai 80 % dari sampah yang masuk, sehingga hanya
sekitar 20% yang merupakan sisa pembakaran. Sisa
pembakaran ini relatif stabil dan tidak dapat membusuk lagi,
sehingga lebih mudah penanganannya.
Sisa abu hasil pembakaran ini juga dapat dimanfaatkan
antara lain sebagai :
Tanah urug.
Campuran bahan konstruksi bangunan.
Campuran kompos.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.4 berikut
ini :
Gambar 2.3
Model Instalasi Pembakaran Sampah (Insinerator)
31 Paket Teknologi, ibid.
61. Sumber : www.kelair.bppt.go.id, internet, 2006.
2.2.4 Program Perencanaan Pembangunan Kawasan Permukiman
Ada 4 (empat) pendekatan model program perencanaan dalam
proses pembangunan kawasan permukiman kota dan wilayah, yaitu
32
:
a. Pembangunan Baru
Pembangunan adalah suatu kegiatan mengadakan atau
membuat atau mengatur sesuatu. Kata baru dapat diartikan
sebagai sebelumnya tidak ada, belum pernah ada. Sehingga
pembangunan baru adalah suatu kegiatan mengadakan atau
membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada menjadi ada.
Untuk Jakarta, pembangunan baru telah dimulai sejak tahun
1972 setelah dikenalkan adanya pembangunan perumahan oleh
developer berupa pembangunan Real Estate.
b. Peremajaan Kawasan
32 Seminar dan Lokakarya tentang Pengembangan Kota-kota Tua Kita, 1996, hal. 6
62. Berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pedoman
Pelaksanaan Peremajaan Permukiman Kumuh di Atas Tanah
Negara, Peremajaan Kawasan adalah suatu kegiatan
pembongkaran sebagian atau seluruh kawasan yang sebagian
besar atau seluruhnya berada di atas Negara dan kemudian
ditempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas lingkungan
serta bangunan-bangunan lainnya yang sesuai dengan rencana
tata ruang kota yang bersangkutan.
Sedangkan peremajaan lingkungan perumahan dan fasilitasnya
adalah suatu kegiatan mengatur kembali atau merombak daerah yang
sudah ada dengan jalan meningkatkan manfaat daya guna tanah serta
efisiensi pemakaian sarana dan kebutuhan-kebutuhannya,
meningkatkan fasilitas lingkungan agar dapat menjadi tempat hunian
yang layak.
33
Diharapkan dari peremajaan tersebut akan tercipta
peningkatan kehidupan lingkungan pada khususnya dan kehidupan
kota pada umumnya.
Suatu kawasan yang kumuh, kusam, dan tidak sehat, tidak
diragukan lagi kondisi tersebut harus dihilangkan dan masyarakat
yang tinggal didalamnya harus memperoleh lingkungan yang lebih
layak. Namun kadang dalam pelaksanaannya, peremajaan yang
dilakukan memperoleh hasil yaitu pengembangan suatu kawasan
yang berupa bangunan-bangunan tinggi dengan fasilitas yang
memadai, namun hal ini semua kadang tidak memperhatikan
kehidupan manusianya.
Oleh karena itu, dalam setiap proses pengembangan perlu
diperhatikan tujuan-tujuannya, yaitu :
34
a. Meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan, harkat,
derajat, dan martabat masyarakat penghuni permukiman
33 Soeyono D, SH. Segi-Segi Hukum Tentang Tata Bina Kota di Indonesia, Karya Nusantara, Bandung, 1978.
34 Inpres No. 5 Tahun 1990, Pedoman Pelaksanaan Peremajaan Permukiman Kumuh di Atas tanah Negara.
63. kumuh terutama golongan masyarakat berpenghasilan
rendah dengan memperoleh perumahan yang layak dalam
lingkungan yang sehat dan teratur.
b. Mewujudkan kawasan yang ditata secara lebih baik sesuai
dengan fungsinya sebagaimana ditetapkan dalam rencana
tata ruang kota yang bersangkutan.
c. Mendorong penggunaan tanah yang lebih efisien dengan
pembangunan ke arah vertikal, meningkatkan tertib
bangunan, memudahkan penyediaan prasarana dan
fasilitas lingkungan yang diperlukan serta mengurangi
kesenjangan kesejahteraan penghuni dari berbagai
kawasan.
Daerah kumuh yang dimaksud adalah lingkungan tempat-
tempat yang ditentukan sebagai kumuh, dalam arti tidak terencana,
tidak teratur, jelek, kotor, dengan sarana dan prasarana yang
kurang memenuhi syarat.
Adapun kriteria-kriteria kawasan yang dapat diremajakan
adalah :
35
a. Memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan
terutama dalam bidang ekonomi.
b. Memiliki letak yang strategis dalam konteks kehidupan
ekonomi kota (dekat dengan pusat-pusat kegiatan kota
yang ada).
c. Mempunyai tingkat aksesibilitas atau pencapaian yang
cukup tinggi.
d. Kesesuaian dengan peruntukan lahan yang diizinkan.
e. Luas area yang cukup memadai atau memiliki potensi
yang baik serta mudah untuk dibebaskan dan
35 Santoso, Charles, Tugas Akhir : “Pengembangan Kawasan Kampung Nelayan di Muara Angke”, Jurusan
Planologi Universtas Tarumanegara, Tahun 2001, Hal. 22.
64. digabungkan menjadi satu kesatuan perencanaan
kawasan.
f. Mempunyai keterkaitan serta pengaruh timbal balik antara
loksai tersebut dengan kawasan lain dalam kota.
g. Secara sosial-politik dapat diterima untuk direalisasikan
program peremajaan.
c. Pemugaran/Konservasi
Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat
agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik.
Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan
sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dapat pula mencakup
preservasi, restorasi, rekonstruksi, dan revitalisasi.
36
Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan
sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dapat pula mencakup
hal-hal sebagai berikut :
37
a. Preservasi adalah pelestarian suatu tempat persis seperti
keadaan aslinya tanpa ada perubahan termasuk
mencegah penghancuran.
b. Restorasi / rehabilitasi adalah mengembalikan suatu
tempat ke keadaan semula dengan menghilangkan
tambahan-tambahan dan memasang komponen semula
tanpa menggunakan bahan baru.
c. Rekonstruksi adalah pengembalian suatu tempat semirip
mungkin dengan keadaan semula, dengan menggunakan
bahan lama maupun bahan baru.
d. Revitalisasi adalah merubah agar dapat digunakan untuk
fungsi yang lebih sesuai. Dalam hal ini yang dimaksud
dengan fungsi yang lebih sesuai adalah kegunaan yang
36 Sidharta, The Burra Charter for the Conservation of Place of Cultural Significance, Tahun 1982, Hal. 11
37 Santoso, Charles, Ibid, Hal. 28.
65. tidak menuntut perubahan drastis, atau yang hanya
memerlukan sedikit dampak minimal.
e. Demolisi adalah penghancuran atau perombakan suatu
bangunan yang sudah rusak atau membahayakan
mengenai tingkat perubahan yang diakibatkan oleh
masing-masing kategori kegiatan tersebut.
d. Perbaikan Lingkungan Permukiman
Perbaikan lingkungan adalah sesuatu kegiatan yang membuat
keadaan menjadi baik dan berfungsi daripada keadaan sebelumnya
dimana dalam hal ini mengenai keadaan lingkungan sehingga
membuat lingkungan diperbaiki menjadi lebih sehat, asri, seimbang
dan sebagainya.
Dalam proses perbaikan lingkungan terdapat suatu program di
Indonesia yang dikenal dengan sebutan “Program Perbaikan
Kampung” atau “Kampung Improvement Program” (KIP) atau juga
biasa disebut dengan Program Mohammad Husni Thamrin (MHT).
KIP merupakan suatu program peningkatan kualitas suatu
kampung atau kelurahan yang ada, namun dinilai masih kumuh dan
melalui pendekatan yang bertumpu pada kelompok masyarakat
yang terorganisir (Organized Clients) sebagai pelaku utama.
Program Perbaikan Lingkungan Permukiman Kumuh ini, telah
dimulai sejak tahun 1969, yang kemudian dikenal dengan Proyek
Mohammad Husni Thamrin (MHT), dengan penekanan berbeda
sesuai kebutuhan. Kemudian proyek ini terus berlanjut dan
disempurnakan sesuai dengan permasalahan yang dihadapai serta
kemampuan keuangan untuk pembiayaannya.
Pada MHT I (1969 – 1982) lebih ditekankan pada aspek Fisik.
Kemudian pada MHT II (1982 – 1989) dilaksanakan pembangunan
Fisik dan Sanitasi dengan konsentrasi pada Daerah Aliran Sungai
(DAS). Pada MHT III (1989 –2002) sudah diterapkan konsep
66. Tribina (Bina Sosial, Bina Ekonomi, Bina Fisik) yang lebih
memberikan peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembangunan lingkungan permukimannya.
Pelaksanaan proyek MHT selama kurun waktu yang cukup
panjang tersebut telah memberi manfaat bagi warga dan
perkembangan kota secara keseluruhan, antara lain dengan
adanya perbaikan sanitasi, penyediaan sarana sosial dan
prasarana lainnya.
Mulai tahun 2002 proyek perbaikan lingkungan masih
dilanjutkan melalui program MHT IV dengan pendekatan yang
sama dengan MHT III yakni memberikan kesempatan masyarakat
untuk terlibat secara langsung dalam perbaikan lingkungannya.
Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan program MHT
dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut ini :
Tabel 2.4
Perkembangan Program Perbaikan Lingkungan Permukiman
MHT I MHT II
MHT
III
Community
Enviromental Grant
P2KP
(
M
H
T
I
V
)
67. 1969
Jenis Pekerjaan
Pekerjaan Fisik
Lingkungan :
1. Peningkatan
Jalan
Kendaraan
2. Peningkatan
Jalan Orang
3. Saluran
4. Distribusi
Air
5. Perbaikan
Rumah
6. Sanitasi dan
Sampah
1982
Sama
dengan
MHT I
Bantaran
Sungai
1983
Jenis Pekerjaan
− 30 % Konsultan (NGO)
− 70 % Implementasi
Proyek
− 40 % Fisik Lingkungan
− 30 % Sosial
− 30 % Ekonomi
2000
Memperkuat LSM Lokal
Sumber : www.bapedajakarta.go.id., 2005
Ada 6 (enam) kriteria dalam pemilihan kampung yang akan
diperbaiki melalui proyek MHT tersebut, yaitu :
1. Kondisi fisik (area terburuk yang mendapatkan prioritas
utama).
2. Kepadatan Populasi (Prioritas pada kepatan tertinggi).
3. Potensi dinamis dan penghuni dalam meneruskan
program perbaikan tersebut.
4. Pertumbuhan historis (Prioritas pada area tertua).
5. Perumusan dan pendukungan terhadap realisasi rencana
pembangunan penyesuaian dengan zona master plan.
6. Penjadwalan perbaikan agar keuntungan tersebar bagi
banyak area di daerah perkotaan.
2.3 Kebijakan Mengenai Penataan dan Pengembangan Kawasan
Permukiman Pulau Panggang
68. Kebijakan-kebijakan berikut ini ditinjau karena menyangkut
kebijakan dalam penataan ruang khususnya bagi penataan dan
pengambangan kawasan permukiman Pulau Panggang.
2.3.1 Kebijakan Otonomi Daerah
Kebijakan otonomi daerah yang tertuang dalam Undang-Undang RI
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan
keleluasaan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan potensi dan karakteristik
wilayahnya masing-masing.
Dimana pada dasarnya pembangunan daerah merupakan bagian
integral dari pembangunan nasional, yang bertujuan untuk memacu
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menggalakkan prakarsa dan
peran serta masyarakat dan peningkatan pendayagunaan potensi daerah
secara optimal dan terpadu.
Dalam kaitannya dengan implementasi Otonomi Daerah,
Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu bukan merupakan daerah
Otonom. Hal ini dikarenakan implementasi Otonomi Daerah hanya berlaku
pada tingkat Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Namun demikian
Kabupaten administratif Kepulauan Seribu memiliki prospektif yang cukup
besar dalam menunjang pelaksanaan otonomi Daerah di Propinsi DKI
Jakarta.
Untuk itu, studi ini diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk
prospektif yang dapat menunjang pelaksanaan Otonomi Daerah di DKI
Jakarta, khususnya dalam mengembangkan Kepulauan Seribu.
2.3.2 Kebijakan Tata Ruang Nasional
Kebijakan mengenai Tata Ruang telah diakomodir dalam Undang-
Undang RI No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dimana dalam
Undang-Undang ini mengamanatkan bahwa penataan ruang merupakan
69. suatu upaya untuk mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya, yang
terkait dengan peningkatan kesejahteraan manusia serta menjaga
kelestarian lingkungan.
Dimana merupakan suatu proses yang mencakup perencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalian dan merupakan bagian dari perencanaan
pengembangan wilayah., dengan tujuan untuk :
1. Mangatur pengelolaan sumberdaya alam dan
keanekaragaman hayati ekosistem pulau-pulau sangat kecil
dan perairan laut dangkal secara berkelanjutan dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat.
2. Mengatur pemanfaatan sumberdaya alam dan budidaya yang
sesuai dan tidak melebihi daya dukung ekologis sumberdaya
alam hayatinya.
3. Mengatur kepadatan penduduk dan intensitas kegiatan,
mengatur keseimbangan, keserasian peruntukan daya dukung
pulau dan menentukan besaran aktifitas diatas pulau.
4. Mellindungi kesehatan, keamanan dan kesejahteraan
masyarakat.
5. Menselaraskan pendayagunaan tata ruang, sumberdaya alam
untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
6. Meminimumkan dampak pembangunan yang merugikan .
7. Memudahkan pengambilan keputusan secara tidak memihak
guna mendorong peran serta masyarakat.
Dalam kaitannya dengan studi ini, diharapkan nantinya studi ini
dapat mewujudkan penataan ruang di kawasan permukiman Pulau
Panggang. Dimana nantinya perencanaan yang dihasilkan dapat sesuai
dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang RI No. 24 tentang Tata
Ruang tersebut.
2.3.3 Kebijakan Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta
70. Kebijakan yang berlaku di suatu wilayah akan berpengaruh pada
wilayah-wilayah di bawahnya. Begitu pula dengan Kepulauan Seribu,
kebijakan pembangunan yang berlaku di DKI Jakarta akan berpengaruh
pada pembangunan di Kepulauan Seribu.
Dengan perubahan status administrasi Kecamatan Kepulauan
Seribu menjadi Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu (KAKS), maka
penentuan kebijakan yang akan dikenakan di Kepulauan Seribu tetap
harus serasi dan sejalan dengan kebijaksanaan yang berlaku di DKI
Jakarta.
Dalam Perda No.6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010, sesuai dengan karakter fisik dan
perkembangannya, DKI Jakarta dibagi menjadi 3 Wilayah Pengembangan
(WP) utama
38
, Yaitu :
a. Wilayah Pengembangan Utara, yang terdiri dari WP Kepulauan
Seribu (WP-KS) dan WP Pantai Utara.
b. Wilayah Pengembangan Tengah, terdiri dari WP Tengah
Pusat, WP Tengah Barat, dan WP Tengah Timur.
c. Wilayah Pengembangan Selatan, terdiri dari WP selatan Utara
dan WP Selatan Selatan.
Sehingga Kepulauan Seribu termasuk kedalam Wilayah
Pengembangan Utara DKI Jakarta bersama Pantai Utara. Pengembangan
WP Kepulauan Seribu, sesuai dengan karakteristik Wilayah Kepulauan
Seribu dan kebijakan pembangunan DKI Jakarta diarahkan terutama
untuk :
a. Meningkatkan kegiatan pariwisata.
38 Perda DKI Jakarta no.6 Tahun 1999, hal.31
71. b. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat nelayan melalui
peningkatan budidaya laut.
c. Pemanfaatan sumber daya perikanan dengan konservasi
ekosistem terumbu karang dan mangrove.
Dengan demikian, maka studi penataan dan pengembangan
kawasan permukiman Pulau Panggang harus dapat mendukung kebijakan
yang ada khususnya dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat di
Pulau Panggang.
2.3.4 Kebijakan Pembangunan Kepulauan Seribu
a. Perkembangan Status Kepulauan Seribu
Kepulauan Seribu pada awalnya merupakan bagian dari wilayah
Kota Madya Jakarta Utara yang kemudian ditingkatkan statusnya
menjadi Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu (KAKS),
berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik
Indonesia Jakarta dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2001
tentang Pembentukan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.
Peningkatan status ini diikuti dengan pemekaran kecamatan dari 1
(satu) menjadi 2 (dua) kecamatan dengan 4 (empat) kelurahan menjadi
6 (enam) kelurahan dan Pulau Pramuka diputuskan sebagai Ibukota
Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.
Dalam Pasal 3 ayat (1) Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta
No. 73 Tahun 2002 menjelaskan bahwa “Kabupaten Administrasi
mempunyai tugas melaksanakan Pemerintahan Daerah dan pelaksanan
pelayanan masyarakat di Kabupaten Administrasi”.
Dimana Fungsi Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu
adalah sebagai berikut :
1. Penyusunan dan penetapan kebijakan pelaksanaan
pemerintahan Kabupaten, Kecamatan dan Kelurahan
72. 2. Perencanaan dan pelaksanaan program penyelenggaraan jasa
perkotaan, sarana, dan prasarana Kabupaten.
3. Perencanaan program pelayanan masyarakat.
4. Penyelenggaraan kegiatan pelayanan masyarakat yang
tidak didelegasikan kepada pemerintah Kecamatan dan
Kelurahan.
5. Pengawasan pelaksanaan kegiatan pelayanan masyarakat.
6. Perencanaan dan pelaksanaan kegiatan untuk
terselenggaranya ketentraman dan ketertiban
7. Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan Kecamatan dan
Kelurahan
8. Koordinasi dengan Dewan Kabupaten dalam menyusun
kebijakan operasional dan pelaksanaan program
pemberdayaan masyarakat
9. Koordinasi dalam upaya yang proaktif guna peningkatan
Pendapatan Asli Daerah khususnya pajak dan retribusi.
10. Pemeliharaan kelestarian lingkungan dan konservasi
Sumber Daya Alam.
11. Pengelolaan Sumber Daya Kelautan sesuai dengan
kewenangannya.
12. Perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan wisata laut.
Sedangkan Visi, Misi dan Tujuan dari Kabupaten Administratif
Kepulauan Seribu adalah :
Visi pembangunan Kepulauan Seribu adalah :
”Kepulauan Seribu sebagai ladang tanaman kehidupan
bahari yang lestari”.
Misi pembangunan Kepulauan Seribu adalah :
1. Mewujudkan wilayah Kepulauan Seribu sebagai
kawasan bahari yang lestari.
73. 2. Menegakkan hukum yang terkait dengan pelestarian
lingkungan kebaharian dan segala aspek kehidupan.
3. Meningkatkan kesejahteraan melalui pemberdayaan
masyarakat kepulauan seribu dengan perekonomian
berbasis kelautan.
Tujuan pembangunan Kepulauan Seribu adalah :
1. Terwujudnya kelestarian Kepulauan Seribu sebagai satu
kesatuan gugus ekosistem.
2. Terwujudnya kelestarian dan berkembangnya fungsi
sumberdaya kelautan.
3. Berkembangnya pariwisata kepulauan yang berkualitas
dan berkelanjutan.
4. Terkendalinya pertumbuhan dan meningkatkan kualitas
kehidupan sumberdaya manusia.
5. Terciptanya kenyamanan dan kemudahan melalui
pengadaan prasarana dan sarana kepulauan.
b. Pembagian fungsional Kepulauan Seribu
Kepulauan Seribu terdiri dari gugusan pulau yang pemanfaatan
atau pembangunannya diarahkan sesuai dengan fungsi utamanya.
Dimana beberapa bagian wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan
Seribu merupakan Taman Nasional Laut. Secara fungsional gugusan
kepulauan seribu mencakup :
1. Gugus pulau-pulau yang berada di Zona Inti dengan fungsi
konservasi lingkungan.
2. Pulau-pulau yang berada di Zona Perlindungan dengan fungsi
sebagai bagian dari Zona Inti dan Zona Perlindungan.
74. 3. Gugus pulau-pulau wisata untuk kegiatan pariwisata
4. Pulau-pulau permukiman, yaitu pulau yang telah menjadi
permukiman atau yang akan dikembangkan sebagai pulau-
pulau permukiman, dengan fungsi untuk memenuhi pelayanan
dasar bagi masyarakat. Termasuk kedalam pulau permukiman
adalah pulau-pulau wisata pribadi dengan luas dibawah 5 Ha,
yang dapat dikuasai oleh instansi dan tidak dapat
dimanfaatkan oleh umum.
5. Gugus pulau-pulau penelitian dan percontohan.
6. Pulau-pulau penghijauan umum, yaitu pulau-pulau yang
ditumbuhi oleh tanaman berupa hutan/perkebunan binaan
dengan fungsi sebagai cagar alam.
7. Gugus pulau-pulau cagar alam di luar Taman Nasional dan
Cagar Budaya, yaitu pulau-pulau yang merupakan tempat
kedudukan peninggalan sejarah.
8. Gugus pulau-pulau khusus, yaitu pulau-pulau dengan berbagai
fungsi, seperti rambu yang terkait dengan kegiatan
penambangan serta fungsi-fungsi khusus lainnya.
Untuk lebih jelasnya mengenai pembagian fungsional gugus
kepulauan yang ada di Kepulauan Seribu dapat dilihat pada gambar 2.4
peta zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
Gambar 2.4
Peta Zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
75. c. Keberadaan Pulau Permukiman dalam Kepulauan Seribu
Dalam Wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu terdapat
11 pulau yang ditetapkan sebagai pulau permukiman, antara lain adalah
Pulau Panggang, Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, Pulau Harapan,
Pulau Sebira, Pulau Pramuka, Pulau Tidung Besar, Pulau Payung
Besar, Pulau Pari, Pulau Lancang Besar, dan Pulau Untung Jawa.
Dari 11 pulau tersebut, hingga saat ini Pulau Panggang merupakan
pulau dengan kepadatan penduduk tertinggi (terpadat) di Kabupaten
Administratif Kepulauan Seribu, hal ini dapat dilihat pada tabel 2.5
berikut :
76. Tabel 2.5
Kepadatan Penduduk di Pulau-Pulau Permukiman
di Kepulauan Seribu Tahun 2000
No. Nama Pulau
Luas
Pulau
Jumlah
Penduduk
Kepadatan
Penduduk
1 Pulau Panggang 9 ha 3.175 jiwa 353 jiwa/ha
2 Pulau Pramuka 16 ha 906 jiwa 57 jiwa/ha
3 Pulau Kelapa 13,09 ha 4.471 jiwa 342 jiwa/ha
4 Pulau Kelapa Dua 1,9 ha 315 jiwa 166 jiwa/ha
5 Pulau Harapan 6,7 ha 1.310 jiwa 96 jiwa/ha
6 Pulau Sebira 8,882 ha 554 jiwa 63 jiwa/ha
7 Pulau Tidung Besar 50,13 ha 3.375 jiwa 67 jiwa/ha
8 Pulau Payung Besar 20,86 ha 120 jiwa 6 jiwa/ha
9 Pulau Pari 41,32 ha 560 jiwa 14 jiwa/ha
10 Pulau Lancang Besar 15,13 ha 1.210 jiwa 80 jiwa/ha
11 Pulau Untung Jawa 40,1 ha 1.558 jiwa 39 jiwa/ha
Sumber : www.p3k.dkp.go.id, internet, 2005
Fungsi utama dari pulau permukiman sendiri adalah untuk
memenuhi pelayanan dasar bagi masyarakat Kabupaten Administratif
Kepulauan Seribu terhadap kebutuhan akan tempat tinggal serta sarana
dan prasarana yang dapat menunjang penghidupan.
Kondisi pulau-pulau permukiman, khususnya Pulau Panggang
pada saat ini cukup buruk dimana adanya keterbatasan lahan,
kepadatan penduduk yang tinggi, tidak adanya penataan ruang dan
tingginya tingkat kepadatan bangunan, serta minimnya penyediaan
fasilitas telah menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan.
Hal ini menyebabkan diperlukannya suatu penataan dan
pengembangan kawasan pulau permukiman, khususnya kawasan
permukiman (pulau permukiman) di Pulau Panggang.
77. d. Rencana Pembangunan Kepulauan Seribu
Di dalam pembangunan Kepulauan Seribu, pemerintah daerah
propinsi DKI Jakarta telah membuat beberapa rencana pembangunan
untuk mengembangkan wilayah Kepulauan Seribu, diantaranya adalah :
1. Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) Kecamatan Kepulauan
Seribu, Kota Madya Jakarta Utara tahun 2005.
Rencana tersebut dibuat pada tahun 1985 dengan jangka
waktu 20 tahun, hingga tahun 2005. Di dalam dokumen berisi
arahan mengenai rencana pengembangan di Kepulauan
Seribu secara umum.
Dalam RBWK ini, kawasan pulau permukiman diarahkan
untuk :
Melakukan pengembangan permukiman dan
peningkatan sarana dan prasarana.
Mengusahakan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 40
% dari luas pulau.
Mengarahkan ketinggian maksimal bangunan 11
meter dan tidak melebihi 2 lantai.
Mengembangkan secara terbatas industri rumah
tangga untuk menciptakan lapangan kerja.
Namun demikian, RBWK tahun 2005 ini bersifat umum
dan dinilai kurang relevan untuk digunakan pada saat ini.
Untuk itu dibutuhkan RBWK lanjutan (evaluasi) ataupun
Rencana Tata Ruang Wilayah Kepulan Seribu lainnya yang
dapat mengakomodir kebutuhan bagi pengembangan kawasan
Kepulauan Seribu di masa mendatang.