SlideShare a Scribd company logo
1 of 10
Benarkah Muhammadiyah Tidak Bermahzab[1]
Oleh: Muhsin Hariyanto
Iftitâh
Agama – yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. – ialah apa yang
diturunkan oleh Allah di dalam al-Quran dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa
perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan
Akhirat.[2] (Himpunan Putusan Tarjih, 1987: 276)
Pernyataan di atas menjadi penting untuk dicermati, karena di dalam terdapat isyarat bahwa
Muhammadiyah tidak pernah berkeinginan untuk mengikatkan diri dengan mazhab tertentu,
karena semua produk pemahaman keislaman Muhammadiyah digagas dan dirujuk secara
langsung melalui sumber otentik (pemahaman atas ayat-ayat al-Quran dan Sunnah yang shahih).
Tetapi, benarkah Muhammadiyah tidak bermazhab sama sekali dan bahkan tidak terpengaruh
oleh pemikiran mazhab (utamanya mazhab – fikih – empat: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah
dan Hanabilah)?
Tulisan ini diasumsikan akan menjelaskan asumsi kebermazhaban dan ketidakbermazhaban
Muhammadiyah, utamanya dalam masalah Fikih.
Makna Mazhab dan Bermazhab[3]
Secara etimologis kata mazhab berasal dari bahasa Arab zahaba, yang berarti pergi. Dengan
demikian, kata mazhab berarti tempat pergi. Sedangkan secara terminologis, mazhab berarti
pendapat, kelompok, aliran yang pada mulanya merupakan pendapat atau hasil ijtihad seorang
imam dalam memahami suatu masalah, baik menyangkut masalah teologi, tasawuf, filsafat,
politik maupun fikih. Dalam perkembangannya, kata mazhab mengalami penyempitan makna
yang semula menyangkut semua aspek ajaran Islam, belakangan hanya menyangkut hukum
Islam (fikih).
Dalam konteks fikih, istilah mazhab mencakup dua pengertian. Pertama, mazhab adalah jalan
pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid dalam menetapkan hukum suatu
peristiwa berdasarkan al-Quran dan al-hadis. Pengertian ini lebih menekankan mazhab dalam
konteks ushul al-fiqh. Kedua, mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid
tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Quran dan al-hadis. Pengertian ini lebih
menekankan dalam konteks hasil pemikiran atau fiqh.
Dengan demikian, mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid
dalam memecahkan masalah atau meng-istinbath-kan hukum Islam. Selanjutnya mazhab
pengertiannya berkembang menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath imam
mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat imam mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Pada dasarnya kemunculan mazhab-mazhab dalam Islam merupakan sesuatu yang wajar
mengingat al-Quran dan al-sunnah memang memberi peluang munculnya berbagai penafsiran
(multi-interpretasi), karena di dalamnya banyak sekali terkandung ayat yang zanni al-dalalah
(ayat yang penafsirannya tidak pasti) seperti adanya lafal musytarak (mempunyai makna ganda),
majaz (metafor/makna kiyasan), ‘am-khash (umum dan khusus) dan sebagainya. Secara lebih
rinci, Abu Zahrah, seorang ahli ushul al-fiqh, menjelaskan bahwa munculnya mazhab-mazhab
dalam Islam dikarenakan beberapa hal: (1) perbedaan pemikiran. Perbedaan ini bisa karena
pengetahuan yang berbeda, bisa juga karena konteks sosial masing-masing imam yang berbeda;
(2) ketidakjelasan masalah yang menjadi tema pembahasan; (3) perbedaan kesenangan dan
kecenderungan; (4) perbedaan sudut pandang; (5) karena mengikuti cara pandang pendahulunya;
(6) perbedaan kemampuan; (7) masalah kepemimpinan dan kecintaan kepada penguasa; (8)
fanatisme kelompok yang berlebihan.
Munculnya mazhab juga tidak dapat dilepaskan dari dinamika dan perkembangan sejarah Islam
sepeninggal Rasulullah s.a.w. yang kemudian menghadapkan umat Islam dengan berbagai
realitas (kenyataan) baru yang tidak ditemui sebelumnya. Pertama, semakin luasnya wilayah
kekuasaan Islam hingga ke luar semenanjung Arabia. Kedua, pergaulan kaum muslimin dengan
bangsa-bangsa lain yang ditaklukkannya, terutama yang berkaitan dengan adat-istiadat dan
tradisi bangsa tersebut. Ketiga, akibat jauhnya wilayah-wilayah yang ditaklukkan itu dengan
pusat kekuasaan Islam, sehingga memaksa para gubernur, hakim dan para ulama melakukan
ijtihad untuk menjawab masalah-masalah baru yang belum pernah ditemui sebelumnya.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, meskipun dalam Islam terjadi perbedaan pendapat yang
kemudian melahirkan mazhab, namun perbedaan tersebut hanya terjadi pada masalah-masalah
furu’ (cabang), tidak sampai kepada ajaran Islam yang pokok (ushul) terutama yang berkaitan
dengan paham tauhid. Atas dasar itu, perbedaan tersebut lebih tepat dipandang sebagai dinamika
(perkembangan) pemikiran daripada sebagai perpecahan.
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam (Tarikh Tasyri’ al-Islami) hingga kini sudah muncul
tiga belas mazhab fikih dalam Islam, namun yang terkenal dan melembaga ada sembilan. Mereka
dikenal sebagai tokoh-t.okoh yang meletakkan dasar metode pemahaman fiqh yang kemudian
diikuti oleh generasi sesudahnya. Mereka adalah:
1. Imam Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar al-Bashri (w. 110 H)
2. Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150 H)
3. Imam al-Auza’i Abu Amr bin Muhammad (w. 157 H)
4. Imam Sufyan bin Sa’id bin Masraq al-Tsauri (w. 160 H)
5. Imam al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H)
6. Imam Malik bin Anas al-Asybahi (w. 179 H)
7. Imam Sufyan bin Uyainah (w. 198 H)
8. Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w. 204 H)
9. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)
Dalam perkembangannya, mazhab-mazhab tersebut ada yang berkembang dengan pesat dan
dianut di berbagai belahan dunia Islam, dan ada juga yang surut bahkan hilang karena kurang
mendapat pengikut seperti mazhab yang dirintis Imam Daud bin Ali al-Asbahani al-Bagdadi (w.
270 H) yang sering disebut mazhab Zahiry, Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu’Amr Abd alRahman bin Muhammad al-Auza’iy atau mazhab Auza’iy, Mazhab al-Thabari (w. 320 H),
Mazhab al-Laits yang dibina oleh Abu Haris al-Laits bin Sa’ad al-Fahmi (w. 174 H) dan
sebagainya.
Mazhab yang terus berkembang hingga sekarang dan masih banyak diikuti umat Islam hanya
empat mazhab, yaitu:
1. Mazhab Hanafi yang rintis oleh Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Pemikiran hukum mazhab ini
bercorak rasional (ahl al-ra’yu). Hal ini disebabkan karena mazhab bermula di Kufah (Irak) yang
terletak jauh dari Madinah. Irak, sebelum Islam, adalah pusat kebudayaan, tempat bertemu dan
berkembangnya filsafat Yunani dan Persia. Setelah Islam, Irak menjadi pusat berkembangnya
berbagai aliran politik, ilmu kalam dan fikih seperti Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah. Pada masa
Abu Hanifah, Kufah menjadi salat satu pusat aktifitas fikih para mujtahid generasi tabi’it tabi’in.
Sebelum generasi tabi’in, Kufah menjadi tempat Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) yang dikirim
oleh khalifah Umar bin Khattab (w. 644 M) untuk mengajarkan Islam dan memutuskan masalahmasalah hukum. Pendekatan dan metode yang digunakan untuk memecahkan hukum adalah
dengan ra’yu (pendapat/nalar) karena ia sangat ketat dalam menerima hadis, analogi (qiyas), dan
istihsan (qiyas khafi). Mazhab Hanafi terkenal sangat ketat untuk menerima hadis karena pada
masa itu banyak muncul hadis-hadis palsu seiring dengan perpecahan politik yang dialami umat
Islam. Banyak hadis yang diciptakan kelompok tertentu untuk mendukung kepentingan
politiknya masing-masing. Mazhab ini banyak berkembang di Mesir, Suriah, Libanon, Turki,
Tunisia, Turkistan, India, Pakistan, Afganistan, Balkan, Cina, Rusia dan Irak.
2. Mazhab Maliki yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas (179 H). Pemikiran mazhab ini
banyak dipengaruhi oleh sunnah yang cenderung tekstual. Imam Malik termasuk periwayat
hadis, karyanya yang paling monumental adalah al-Muwaththa’ (kumpulan hadis yag bercorak
fiqh). Dalam merumuskan hukum-hukum yang bersumber dari al-Quran dan al-hadis, Imam
Malik menggunakan metode sebagai berikut: a) tidak seketat Abu Hanifah dalam menerima
hadis. Jika Abu Hanifah hanya menerima hadis kalau hadis itu mutawatir atau paling tidak pada
tingkatan masyhur, Imam Malik hanya menerima hadis ahad bahkan hadis ahad yang mursal asal
periwayatannya orang yang terpercaya. Hadis ahad juga lebih diutamakan daripada qiyas,
sehingga ia lebih banyak menggunakan hadis daripada ra’yu; b) ‘Amal ahl al-Madinah (praktik
masyarakat Madinah), karena mereka dianggap orang yang paling tahu tentang al-Quran dan
penjelasan-penjelasan Rasulullah; c) Pernyataan sahabat (qaul al-shahabi). Menurut Imam
Malik, jika tidak ada hadis sahih dari Nabi saw yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu
masalah, maka pernyataan sahabat dapat dijadikan sumber hukum. Pendapat ini didasarkan pada
pandangan bahwa para sahabat lebih memahami pengertian yang tersirat maupun tujuan ayat,
karena mereka menyaksikan sendiri turunnya al-Quran dan mendengar langsung penjelasan
Rasulullah s.a.w.) Al-Mashlahat al-Mursalah, yaitu mempertimbangkan kepentingan umum
terhadap suatu permasalahan hukum yang secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Quran dan alhadis baik yang mendukung maupun yang menolak. Tujuannya adalah untuk menarik
kemanfaatan (jalb al-manfa’ah) dan menghindari madarat (daf’ al-madharrah); e) Al-zari’ah,
yaitu mempertimbangkan perkataan dan perbuatan yang menyebabkan terjadinya perbuatan lain.
Perbuatan yang mengantarkan pada perbuatan haram, hukumnya haram, sedang perbuatan yang
mengantarkan pada perbuatan halal hukumnya juga halal; f) Qiyas. Apabila suatu masalah tidak
ditemukan ketentuannya dalam al-Quran, al-hadis, perkataan sahabat atau ijma’ ahl al-Madinah
maka Imam Malik memutuskan masalah tersebut dengan qiyas, yaitu menyemakan suatu
peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang jelas hukumnya karena
keduanya ada persamaan illat. Mazhab Maliki ini tersebar dan diikuti di berbagai wilayah seperti
Tunisia, Aljazair, Maroko, Spanyol dan Mesir.
3 Mazhab Syafi’i yang didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204
M). Metode dan pendekatan yang digunakan untuk meng-istinbath-kan hukum adalah: a) alQuran dan al-hadis merupakan sumber pokoknya sebagaimana mazhab-mazhab lain meskipun
cara pandang mereka terhadap kedua sumber tesebut seringkali berbeda. Menurut Imam Syafi’i,
al-Quran dan hadis mutawatir berada dalam satu martabat, karena sunnah berfungsi untuk
menjelaskan al-Quran. Keduanya adalah wahyu meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak
sekuat al-Quran; b) Ijma’. Ijma’ yang dimaksud Imam Syafi’i adalah kesepakatan ulama suatu
masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ di satu negeri saja dan bukan ijma’ kaum tertentu saja;
c) Qiyas, yaitu menyamakan hukum suatu masalah yang tidak ada ketentuannya dalam nas
dengan hukum yang ada dalam nas karena adanya persamaan illat. Mazhab Syafi’iyah ini
berkembang di negara-negara seperti Mesir, Suriah, Yaman, Indonesia, Malaysia, Makkah, Arab
Selatan, Bahrain, Afrika Timur dan Asia Tengah.
4. Mazhab Hanbali atau Hanabilah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (w. 241
M). Selain berdasar al-Quran dan sunnah dan pendapat sahabat, ia juga menggunakan hadis
mursal dan hadis dha’if (dalam tingkatan hasan asal perawinya tidak pembohong); qiyas jika
terpaksa (‘inda “arrah). Mazhab ini banyak berkembang di Irak, Mesir, Suriah, Palestina dan
Arab Saudi. Dari berbagai mazhab yang ada, karakteristik penafsiran mazhab-mazhab tersebut
dapat disederhanakan menjadi dua kecenderungan besar, yaitu ahl al-ra’y dan ahl al-hadis. Para
ahli hukum Iraq seperi Imam Abu Hanifah, karena berbagai alasan, dianggap terlalu ketat dalam
menerima hadis sebagai dasar hukum, sehingga lebih banyak menggunakan akal . Sedang ulama
Hijaz seperti Imam Malik bin Anas lebih longgar untuk menerima hadis sebagai dasar hukum,
meskipun hal ini tidak berarti mereka menolak akal sama sekali.
Manna’ al-Qaththan, penulis buku Tarikh Tasyri’ al-Islami, memberi penjelasan lebih lanjut
mengenai perkembangan ahl al-ra’y dan ahl al-hadis. Dalam kaitan perkembangan ahl al-ra’y di
Iraq, dia memberi bebapa penjelasan: 1) Tasyi’ di Iraq dipengaruhi oleh pemikiran rasional Ibnu
Mas’ud sebagaimana telah disinggung di atas; 2) Hadis yang berkembang di Iraq lebih sedikit
jumlahnya dibanding hadis yang berkembang di Hijaz. Sementara permasalahan-permasalahan
hukum yang berkembang di Iraq jauh lebih kompleks; 3) Fuqaha’ Iraq berhadapan dengan orangorang Parsi yang sudah mempunyai peradaban dan kemampuan berfikir maju. Keadaan ini dapat
mendorong munculnya permasalahan-permasalahan hukum baru yang belum ditemukan
ketentuannya pada masa Nabi saw; 4) Iraq merupakan tempat tinggal kebanyakan orang-orang
Syi’ah dan Khawarij sebagai imbas (akibat) dari perpecahan politik yang terjadi dalam Islam.
Perpecahan tersebut segera diikuti debat teologis untuk melegalisasi (mengesahkan)
kelompoknya masing-masing yang sering pula diikuti dengan penciptaan hadis-hadis palsu.
Kondisi ini ikut mendorong Iraq untuk lebih selektif dalam menerima hadis.
Sedangkan berkembangnya aliran ahl al-hadis di Hijaz dikarenakan beberapa hal: 1) Pengaruh
dari metode yang menekankan pada hadis sementara mereka menjauhkan diri dari penggunaan
akal dan qiyas kecuali dalam kondisi yang sangat terpaksa; 2) Hijaz merupakan gudang hadis
dan praktik sahabat karena di daerah inilah Nabi saw bermukim dan menyampaikan ajarannya;
3) Di Hijaz tersebut sedikit sekali ditemukan problem hukum yang menuntut kreativitas berfikir,
karena mereka jauh dari pengaruh Parsi dan Romawi; 4) Hijaz jauh dari tempat munculnya fitnah
dan pertentangan keagamaan. Atas dasar alasan-alasan tersebut tidak mengherankan jika di
kedua wilayah yang menjadi pusat perkembangan hukum Islam tersebut menampakkan corak
yang berbeda.
Dalam pandangan umat Islam pada umumnya, bermazhab sering dibedakan dengan berijtihad.
Bermazhab sering diidentikkan dengan melakukan taqlîd (mengikuti tanpa mengetahui sebab).
Sehingga, ada kesan bahwa bermazhab tidak memerlukan ijtihad, tidak menyentuh kekinian, dan
menjadikan masa lalu sebagai “doktrin” dan “dogma” agama. Demikian halnya, berijtihad tidak
perlu mengikuti pendapat ulama masa lalu, hanya mengandalkan potensi akal untuk melihat
kenyataan hari ini saja. Kedua polarisasi itu perlu direformasi dengan menghadirkan konsep baru
dalam berijtihad dan bermazhab.
Bermazhab tidak identik dengan bertaklid buta. Masih dapat disebut bermazhab walaupun tetap
menjalankan ijtihad, terutama sekali dalam kasus-kasus kontemporer. Dan lebih dari itu, masih
disebut bermazhab meskipun juga berupaya mengembangkan metodologi (manhaj) yang sangat
mungkin akan menimbulkan banyaknya perbedaan pendapat.
Pada hakikatnya, bermazhab tidak harus mengikuti pendapat Imam mazhab dari kata-perkata (fil
aqwal), namun bisa dalam metodologinya (fil manhaj). Bermazhab secara metodologis, misalnya
kepada para imam mazhab (empat): Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i atau Ahmad bin
Hanbal, akan berimplikasi pada kemungkinan perbedaan pendapat dengan para imam mazhab
tersebut.
Dalam mengembangkan metodologi bermazhab, perlu menciptakan metode dalam berijtihad
baru yang diakui secara akademik dan terjadinya kesinambungan dari proses berijtihad sekaligus
hasil pemikiran ulama masa lalu (historical continuity). Seorang mujtahid juga sekaligus seorang
mujaddid (pembaharu) yang tengah melakukan pembaharuan fiqih atau hukum Islam dan
pengembangan metodologi ilmu-ilmu keislaman disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Produk pemahaman agama lebih melihat kebutuhan umat pada masa kini dengan tidak
meninggalkan tradisi ulama masa lalu. Kita mungkin sering mendengar klaim universalisme
Islam yang sering dikemukakan bahwa Islam adalah sebagai agama yang rahmatan lil ‘âlamin
dan juga kaedah ushûl fiqh: al-syariah al-Islâmiyyah shalihah li kulli zamânin wa makânin atau
al-syariah al-Islâmiyyah li mashlahat al-‘ibâd fi al-dârain (syariat Islam adalah untuk memenuhi
kemaslahatan manusia dunia dan akhirat). Artinya, Islam akan selalu berkait-berkelindan dengan
kemajuan zaman. Untuk merealisasikan klaim-klaim tersebut maka perlu menyegarkan kembali
ajaran agama (ilahi) yang dihubungkan dengan persoalan-persoalan baru yang muncul. Oleh
sebab itu, konsep mengenai bermazhab dan berijtihad perlu direformasi. Sehingga, Islam selalu
segar dan sesuai dengan perkembangan zamannya.
Rumusan yang tepat untuk menghubungkan antara tradisi (bermazhab dan berijtihad) dan
perubahan (kekinian) adalah al-muhâfazhatu ‘ala al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bil jadîd alashlah (memelihara yang lalu yang masih relevan dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Sehingga, tawaran gagasan ijtihad menjadi formulasi metodologis yang dapat dibentuk sebagai
hasil kajian kritis terhadap konsep bermazhab dan berijtihad secara konvensional yang
dipadukan dengan tuntutan zaman dan pertanggung jawaban akademik.
Istilahnya adalah modern scientific ijtihad (al-ijtihad al-’ilmi al-’ashri). “Ijtihad” bisa dilakukan
secara tematis, tidak harus ke dalam seluruh aspek kehidupan. Al-’ilmi berarti bahwa berijtihad
menggunakan prosedur keilmuan (filsafat ilmu, studi kritis, dan semacamnya), seperti yang
terjadi dalam dunia pengetahuan umumnya.
Sedangkan al-’ashri dimaksudkan agar mengacu pada masa kini dan masa depan, tidak hanya
terhenti pada lalu dan masa kini. Untuk mewujudkan formulasi ijtihad modern yang mampu
memberikan jawaban masa kini dan diharapkan juga untuk masa yang akan datang, diperlukan
beberapa langkah.
Pertama, lebih mementingkan atau mendahulukan sumber primer (primary sources) dalam
sistem bermazhab atau dalam menentukan rujukan.
Kedua, berani mengkaji pemikiran ulama atau hasil keputusan hukum Islam dengan tidak lagi
secara doktriner dan dogmatis. Namun, perlu menyertakan studi kritis (critical study) sebagai
sejarah pemikiran (intellectual history) dalam menganalisa latar belakang pemikiran atau hukum
tersebut.
Ketiga, memposisikan semua hasil karya ulama masa lalu sebagai pengetahuan (knowledge),
baik yang dihasilkan atas dasar deduktif maupun secara empirik. Dengan catatan bahwa
keberadaan teks al-Quran dan teks hadis yang terbatas (khususnya yang mutawatir) tidak dapat
diuji ulang (re-examined).
Keempat, perlu ada sikap terbuka terhadap dunia luar dan bersedia mengantisipasi terhadap halhal yang akan terjadi dengan tidak menggunakan sikap asal-tidak setuju (apriori).
Kelima, hendaknya mempunyai daya tanggap yang meningkat dan cepat dalam merespon
permasalahan yang muncul.
Untuk itulah, diperlukan jaringan atau organisasi yang mampu mempertemukan di antara
fuqaha’ untuk sama-sama menanggapi masalah yang ada.
Keenam, penafsiran yang aktif dan bahkan juga progresif, yaitu jawaban hukum Islam yang juga
sekaligus mampu memberi inspirasi untuk kehidupan yang dialami umat.
Ketujuh, ajaran al-ahkâm al-khamsah atau hukum Islam berupa wajib, haram, sunnah, makruh,
dan mubah agar dapat dijadikan konsep atau ajaran etika sosial.
Kedelapan, menjadikan ilmu fikih (‘ilm al-fiqh) sebagai bagian dari ilmu hukum secara umum,
yaitu memposisikan bahasa ilmu fikih yang mencakup masalah-masalah kehidupan umat yang
sama dengan materi atau objek kajian dalam ilmu hukum pada umunya.
Kesembilan, mendekati fikih yang juga berorientasi pada kajian induktif atau empirik, di
samping deduktif. Pendekatan induktif dimaksudkan sebagai penyertaan peran akal pada posisi
yang sangat penting dalam membantu mewujudkan hasanah fi al-dunya dan hasanah fi alâkhirah.
Kesepuluh, hendaknya menjadikan konsep mashalih ‘ammah menjadi landasan penting dalam
mewujudkan fiqih atau hukum Islam.
Kesebelas, menjadikan wahyu Allah lewat nushûsh al-Qurân wa as-sunnah al-shahîhah (teksteks al-Quran dan sunnah yang shahih) sebagai kontrol terhadap hal-hal yang akan dihasilkan
dalam ijtihad. Kontrol yang dimaksud lebih menekankan pada konsep etika dengan mengacu
pada al-mashâlih al-’ammah.
Konsep baru dalam bermazhab dapat dinyatakan dengan pernyataan penting: “siapa pun boleh
bermazhab tanpa kehilangan ruh ijtihad. Dan siapa pun yang berijtihad tidak dilarang untuk
bermazhab tanpa harus terikat dengan metode dan pendapat para imam mazhab.
Memahami Muhammadiyah Melalui Pemikiran Keagamaannya
KHA. Dahlan memahami bahwa al-Quran adalah sumber utama yang menjadi rujukan baku
untuk siapa pun, di mana pun dan kapan pun dalam ber-(agama)-Islam. Konsep normatif Islam
sudah tersedia secara utuh di dalamnya (al-Quran) dan sebegitu rinci dijelaskan oleh Rasulullah
s.a.w. di dalam sunnahnya, baik yang bersifat qaulî, fi’lî dan taqrîrî. Hanya saja apa yang
dikerjakan oleh Rasulullah s.a.w. perlu diterjemahkan ke dalam konteks yang berbeda-beda, dan
oleh karenanya “memerlukan ijtihad”.
Ijtihad dalam ber-(agama)-Islam bagi KHA. Dahlan adalah “harga mati”. Yang perlu dicatat
bahwa Dia menganjurkan umat Islam untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah secara
kritis. Ia menyayangkan sikap taqlid umat Islam terhadap apa dan siapa pun yang pada akhirnya
menghilangkan sikap kritis. Ia sangat menganjurkan umat Islam agar memiliki keberanian untuk
berijtihad dengan segenap kemampuan dan kesungguhannya, dan dengan semangat untuk
kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah ia pun ingin merombak sikap taqlid menjadi – minimal
– menjadi sikap ittiba’. Sehingga muncullah kolaborasi antara para Mujtahid dan Muttabi’ yang
secara sinergis membangun Islam Masa Depan, bukan Islam Masa Sekarang yang stagnant
(jumud, berhenti pada kepuasaan terhadap apa yang sudah diperoleh), apalagi Islam Masa Lalu
yang sudah lapuk dimakan zaman. Semangatnya mirip dengan Muhammad Abduh: “alMuhâfadhah ‘Alâ al-Qadîm ash-Shâlih wa al-Akhdzu bi al-Jadîd al-Ashlah”
Prinsip-prinsip Utama Pemahaman (Agama) Islam
Muhammadiyah memperkenalkan dua prinsip utama pemahaman (agama) Islam:
1. Ajaran agama Islam yang otentik (sesungguhnya) adalah apa yang terkandung di dalam
al-Quran dan as-Sunnah dan bersifat absolut. Oleh karena itu, semua orang Islam harus
memahaminya.
2. Hasil pemahaman terhadap al-Quran dan as-Sunnah yang kemudian disusun dan
dirumuskan menjadi kitab ajaran-ajaran agama (Islam) bersifat relatif.
Dari kedua prinsip utama tersebut, pendapat-pendapat Muhammadiyah tentang apa yang disebut
doktrin agama yang dirujuk dari al-Quran dan as-Sunnah selalu (dapat) berubah-ubah selaras
dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan zaman. Hal ini bukan berarti Muhammadiyah tidak
bersikap istiqamah dalam beragama, tetapi justeru memahami arti pentingnya ijtihad dalam
menyusun dan merumuskan kembali pemahaman agama (Islam) sebagaimana yang diisyaratkan
oleh al-Quran dan as-Sunnah. Dipahami oleh Muhammadiyah bahwa al-Quran dan as-Sunnah
bersifat tetap, sedang interpretasinya bisa berubah-ubah. Itulah konsekuensi keberagamaan umat
Islam yang memahami arti universalitas kebenaran ajaran agama yang tidak akan pernah usang
dimakan zaman dan selalu selaras untuk diterapkan di mana pun, kapan pun dan oleh siapa pun.
Mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah
Untuk memahami al-Quran – menurut Muhammadiyah – diperlukan seperangkat instrumen yang
menandai kesiapan orang untuk menafsirkannya dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata.
Semangatnya sama dengan ketika seseorang berkeinginan untuk memahami Islam, yaitu:
“ijtihad”.
Kandungan al-Quran hanya akan dapat dipahami oleh orang yang memiliki kemauan dan
kemampuan yang memadai untuk melakukan eksplorasi dan penyimpulan yang tepat terhadap
al-Quran. Keikhlasan dan kerja keras seorang mufassir menjadi syarat utama bagi setiap orang
yang ingin secara tepat memahami al-Quran. Meskipun semua orang harus sadar, bahwa sehebat
apa pun seseorang, ia tidak akan dapat menemukan kebenaran sejati, kecuali sekadar
menemukan ‘kemungkinan-kemungkinan’ kebenaran absolut al-Quran yang pada akhirnya
bernilai “relatif”. Akhirnya, kita pun dapat memahami dengan jelas sebenar apa pun hasil
pemahaman orang terhadap al-Quran, tafsir atasnya (al-Quran) tidak akan menyamai
“kebenaran” al-Quran itu sendiri. Karena al-Quran adalah “kebenaran ilahiah”, sedang “tafsir
atas al-Quran” adalah “kebenaran insaniah”. Akankah kita menyatakan bahwa Manusia akan
“sebenar” Tuhan? Jawaban tepatnya: “mustahil”. Oleh karena itu, yang dituntut oleh Allah
kepada setiap muslim hanyalah berusaha sekuat kemampuannya untuk menemukan kebenaran
absolut al-Quran, bukan “harus menghasilkan kebenaran absolut”, karena kenisbian akal manusia
tidak akan pernah menggapai kemutlakan kebenaran sejati dari Allah.
Ketika kita berkesimpulan bahwa hasil pemahaman siapa pun, kapan pun dan di mana pun
terhadap al-Quran adalah relatif, maka alangkah bijaksananya bila kita rujuk as-Sunnah sebagai
panduan dalam beragama. Karena, bagaimanapun relatifnya hasil pemahaman al-Quran, hasil
interpretasi Rasulullah s.a.w. baik dalam bentuk perkataan, tindakan dan taqrîr merupakan
interpretasi atas al-Quran yang “terjamin” kebenarannya. Asumsi ini didasarkan pada paradigma
“’ishmah ar-rasûl”. Ada jaminan dari Allah bahwa Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu benar
dalam berijtihad, karena setiap langkahnya akan selalu diawasi oleh-Nya. Teguran atas kesalahan
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu dilakukan oleh Allah, dan hal itu tidak
dijamin akan terjadi pada selain Rasulullah s.a.w.
Persoalannya sekarang, seberapa mungkin kita kita (umat Islam) berkemampuan untuk
menerjemahkan as-Sunnah dalam realitas kehidupan kita? Dan pola apakah yang paling tepat
untuk kita pilih? Ternyata kita pun sering terjebak pada ketidaktepatan dalam menerjemahkannya
(as-Sunnah), karena keterbatasan-keterbatasan yang kita miliki. Kita pun sering melakukan
kesalahan dalam memilih pola yang tepat untuk memahami as-Sunnah. Mungkin terjebak pada
kutub ekstrem “tekstual”, atau “rasional” yang mengarah pada kontekstualisasi yang eksesif
(berlebihan).
Untuk itu, menurut pendapat penulis, yang kita perlukan sekarang adalah: “membangun
kearifan” menuju pada “pemahaman yang sinergis dan seimbang”. Seperti – misalnya – apa yang
dilakukan dalam proyek besar pemasaran gagasan “Islam Kontekstual” yang dilakukan –
misalnya — oleh Yusuf al-Qaradhawi, dengan berbagai modifikasi yang diperlukan.
Berislam Secara Dewasa
Muhammadiyah selama ini memperkenalkan Islam yang “arif”, yang dirujuk dari apa yang
dikandung dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan memperkenalkan pola “istinbath” yang
proporsional.
Muhammadiyah menyatakan diri tidak bermazhab, dalam arti tidak mengikatkan diri secara
tegas dengan mazhab-mazhab tertentu baik secara qaulî maupun manhajî. Tetapi
Muhammadiyah bukan berarti antimazhab. Karena, ternyata dalam memahami Islam
Muhammadiyah banyak merujuk pada pendapat orang dan utamanya juga Imam-imam mazhab
dan para pengikutnya yang dianggap “râjih” dan meninggalkan yang “marjûh”.
Pola pikir yang diperkenalkan Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam adalah berijtihad
secara: bayânî, qiyâsî dan ishtishlâhî. Yang ketiganya dipakai oleh Muhammadiyah secara
simultan untuk menghasilkan pemahaman Islam yang kontekstual dan bersifat (lebih)
operasional.
Ijtihâd bayânî dipahami sebagai bentuk pemikiran kritis terhadap nash (teks) al-Quran maupun
as-Sunnah; ijtihâd qiyâsî dipahami sebagai penyeberangan hukum yang telah ada nashnya
kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan
‘illât; dan ijtihâd ishtishlâhî dipahami sebagai bentuk penemuan hukum dari realitas-empirik
berdasarkan pada prinsip mashlahah, karena tidak adanya nash yang dapat dirujuk dan tidak
adanya kemungkinan untuk melakukan qiyâs
Hasil pemahaman dari upaya optimal dalam berijtihad inilah yang kemudian ditransformasikan
ke dalam pengembangan pemikiran yang — mungkin saja – linear atau berseberangan, berkaitan
dengan tuntutan zaman. Demikian juga dalam wilayah praksis, tindakan keberagamaan yang
ditunjukkan dalam sikap dan perilaku keagamaan umat Islam harus juga mengacu pada kemauan
dan kesediaan untuk melakukan kontekstualisasi pemahaman keagamaan (Islam) yang
bertanggung jawab. Tidak harus terjebak pada pada pengulangan dan juga pembaruan, yang
secara ekstrem berpijak pada adagium “purifikasi” dan “reinterpretasi” baik yang bersifat
dekonstruktif maupun rekonstruktif.
Sekali lagi, yang perlu dibangun adalah: “kearifan” dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Di
mana pun, kapan pun dan oleh dan kepada siapa pun. Sebab, keislaman kita adalah “keislaman:
yang harus kita pertaruhkan secara horisontal dan sekaligus vertikal”.
Himpunan Putusan Tarjih dan Mazhab Empat
Himpunan Putusan Tarjih (selanjutnya disebut HPT) adalah hasil diskusi dan kesepakatan yang
dihasilkan melalui proses panjang dalam serangkaian pembahasan para ulama tarjih
(Muhammadiyah) dalam setiap pertemuan resmi, yang saat ini disebut dengan Musyawarah
Nasional (Munas).
Hasil-hasil diskusi atau pembahasan para ulama tarjih (Muhammadiyah) tersebut kemudian
ditanfidzkan (dinyatakan keabsahan dan keberlakuannya) oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
yang diasumsikan mengikat secara organisatoris kepada seluruh jajaran pimpinan dan anggota
Muhammadiyah.
Meskipun secara eksplisit Muhammadiyah tidak pernah menyatakan bermazhab, tetapi dalam
praktik pembahasan atas masalah-keagamaan (utamanya: fikih) para ulama tarjih
(Muhammadiyah) sama sekali tidak bisa menghindar dari manhaj (metodologi) dan pendapat
para imam mazhab (termasuk imam mazhab empat) dan pengembangannya dalam berbagai
ragam pendapatnya.
Dengan mencermati diktum-diktum putusan tarjih hingga saat ini, maka kita bisa melhat nuansa
mazhab dan bermazhabnya para ulama tarjih (Muhammadiyah), utamanya dalam pengertian
manhaji (metodologis). Karena – secara jelas – mereka menggunakan sejumlah manhaj yang
ditawarkan oleh para imam mazhab itu tanpa kecuali. Hanya saja, para ulama tarjih tidak mau
terjebak untuk mengikatkan diri pada manhaj dan (apalagi) pendapat ulama mazhab tertentu.
Pola bermazhab seperti itu, dalam khazanah pemikiran keislaman disebut dengan bermazhab
dengan pola “talfiqi” (memadukan pemikiran antarmazhab), dengan pertimbangan: “memilih
yang paling layak untuk dipilih” secara proporsional.
Pemilihan metode “qiyas”, misalnya, jelas mengacu pada keberpihakan keempat imam mazhab
pada pendekatan ta’lili, yang secara lebih jelas diperkenalkan oleh Imam asy-Syafi’i dan para
pengikutnya. Sementara pemilihan metode “istihsan”, jelas mengacu pada Imam Abu Hanifah.
Sedangkan pemilihan metode “mashlahah mursalah” dengan berbagai ragam pengembangannya,
jelas mengacu pada Imam Malik. Dan diketika Muhammadiyah (melalui kajian tarjih)
mengadopsi metode “istishhab”, maka secara tidak langsung juga mengakui keberadaan mazhab
Hanabilah, yang merujuk pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.[4]
Ihtitâm
Muhammadiyah bukanlah sebuah mazhab, dan tidak berkeinginan untuk menjadikan dirinya
sebagai mazhab baru. Tetapi, dalam perjalanan waktu temuan-temuan ijtihadnya bisa menjadi
model bagi siapa pun, utamanya warga Muhammadiyah untuk dirujuk menjadi panduan dalam
beragama, sehingga seolah-oleh menjadi mazbah baru.
Dalam konteks mazhab dan bermazhab, hal itu bukanlah suatu yang tabu bagi Muhammadiyah.
Tetapi, bagaimanapun juga kesediaan untuk bermazhab dan mengakui keberadaan mazhab tidak
akan pernah menjebak Muhammadiyah untuk mengikatkan diri para mazhab tertentu, baik dalam
pengertian manhaji apalagi qauli.
Jadi, Muhammadiyah selamanya akan menempatkan diri sebagai kelompok terbuka untuk
menerima, menolak, mengakomodasi, menghargai, mengeritik dan menyempurnakan setiap
pemikiran keagamaan, (termasuk di dalamnya fikih), secara kritis, jujur dan terbuka dan penuh
empati kepada pemikiran siapa pun dan dari mazhab mana pun dengan tetap konsisten untuk
merujuk (kembali) kepada al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah.
Dan oleh karenanya Muhammadiyah akan tetap berhimmah untuk menjadi “Yang Pertama dan
Utama” untuk menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai marja’ (rujukan) dalam berislam
secara kaffah dalam konteks tajdid (purifikasi dan pembaruan) yang proporsional dan
bertanggungjawab .
[1] Disampaikan dalam Pengajian Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta, di Kantor
PDM Kota, pada hari: Rabu, tanggal: 7 April 2010.
[2] Pimpinan Pusat Majelis Tarjih, Himpunan Putusan Tarjih, (Yogyakarta: PP Muhammadiyah
Majelis Tarjih, 1987), hal. 276
[3] Untuk lebih jelasnya, baca: Qodri A. Azizy, Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju
Scientific-Ijtihad (Jakarta: Teraju, 2003).
[4] Perhatikan beberapa keputusan tarjih (Muhammadiyah) di seputar ibadah, yang lebih
menekankan ihtiyâth (kehati-hatian).

More Related Content

What's hot

Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaranPengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaranMarhamah Saleh
 
Akidah, ushuluddin, teologi, tauhid, dan ilmu kalam
Akidah, ushuluddin, teologi, tauhid, dan ilmu kalamAkidah, ushuluddin, teologi, tauhid, dan ilmu kalam
Akidah, ushuluddin, teologi, tauhid, dan ilmu kalamAbulkhair Abdullah
 
sejarah dan perkembangan ilmu tauhid
sejarah dan perkembangan ilmu tauhidsejarah dan perkembangan ilmu tauhid
sejarah dan perkembangan ilmu tauhidRoisMansur
 
Tauhid di indonesia
Tauhid di indonesiaTauhid di indonesia
Tauhid di indonesiaseiei akito
 
Qawaid fiqhiyyah sebagai
Qawaid fiqhiyyah sebagaiQawaid fiqhiyyah sebagai
Qawaid fiqhiyyah sebagaiAndi Amin
 
PPT fiqh (sejarah pembentukan empat mahzab dalam fiqh) Kelompok 5
PPT fiqh (sejarah pembentukan empat mahzab dalam fiqh) Kelompok 5PPT fiqh (sejarah pembentukan empat mahzab dalam fiqh) Kelompok 5
PPT fiqh (sejarah pembentukan empat mahzab dalam fiqh) Kelompok 5NavenAbsurd
 
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalamPertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalamIsa Ansori
 
Fiqh ushul fiqh
Fiqh ushul fiqhFiqh ushul fiqh
Fiqh ushul fiqhhamdan tik
 
Sumber sumber kaidah fiqh
Sumber sumber kaidah fiqhSumber sumber kaidah fiqh
Sumber sumber kaidah fiqhElla Aisah
 
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Jingga Matahari
 

What's hot (19)

Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaranPengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
 
Akidah, ushuluddin, teologi, tauhid, dan ilmu kalam
Akidah, ushuluddin, teologi, tauhid, dan ilmu kalamAkidah, ushuluddin, teologi, tauhid, dan ilmu kalam
Akidah, ushuluddin, teologi, tauhid, dan ilmu kalam
 
Ilmu kalam 1
Ilmu kalam 1Ilmu kalam 1
Ilmu kalam 1
 
sejarah dan perkembangan ilmu tauhid
sejarah dan perkembangan ilmu tauhidsejarah dan perkembangan ilmu tauhid
sejarah dan perkembangan ilmu tauhid
 
Aliran muktazilah
Aliran muktazilahAliran muktazilah
Aliran muktazilah
 
Tauhid di indonesia
Tauhid di indonesiaTauhid di indonesia
Tauhid di indonesia
 
Presentation1
Presentation1Presentation1
Presentation1
 
Qawaid fiqhiyyah sebagai
Qawaid fiqhiyyah sebagaiQawaid fiqhiyyah sebagai
Qawaid fiqhiyyah sebagai
 
Syariah dan ilmu fiqh
Syariah dan ilmu fiqhSyariah dan ilmu fiqh
Syariah dan ilmu fiqh
 
Syariah,fikih dan hukum islam
Syariah,fikih dan hukum islamSyariah,fikih dan hukum islam
Syariah,fikih dan hukum islam
 
PPT fiqh (sejarah pembentukan empat mahzab dalam fiqh) Kelompok 5
PPT fiqh (sejarah pembentukan empat mahzab dalam fiqh) Kelompok 5PPT fiqh (sejarah pembentukan empat mahzab dalam fiqh) Kelompok 5
PPT fiqh (sejarah pembentukan empat mahzab dalam fiqh) Kelompok 5
 
08 isi pelajaran
08 isi pelajaran08 isi pelajaran
08 isi pelajaran
 
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalamPertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
 
Studi Hukum Islam
Studi Hukum IslamStudi Hukum Islam
Studi Hukum Islam
 
Fiqh ushul fiqh
Fiqh ushul fiqhFiqh ushul fiqh
Fiqh ushul fiqh
 
Ilmu Kalam
Ilmu KalamIlmu Kalam
Ilmu Kalam
 
Sumber sumber kaidah fiqh
Sumber sumber kaidah fiqhSumber sumber kaidah fiqh
Sumber sumber kaidah fiqh
 
01 02 pendahuluan
01 02 pendahuluan01 02 pendahuluan
01 02 pendahuluan
 
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
 

Similar to Muhammadiyah dan Mazhab

Makalah Hukum Shalat Jumat
Makalah Hukum Shalat JumatMakalah Hukum Shalat Jumat
Makalah Hukum Shalat Jumatmujibzunari
 
MAKALAH ASWAJA.docx
MAKALAH ASWAJA.docxMAKALAH ASWAJA.docx
MAKALAH ASWAJA.docxAhmadSukronM
 
MAKALAH_ASWAJA_KELOMPOK_6[1].docx
MAKALAH_ASWAJA_KELOMPOK_6[1].docxMAKALAH_ASWAJA_KELOMPOK_6[1].docx
MAKALAH_ASWAJA_KELOMPOK_6[1].docxAhmadSukronM
 
1. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH.pptx
1. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH.pptx1. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH.pptx
1. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH.pptxnimalfaiz1
 
Makalah fiqh kelompok 5 materi 7
Makalah fiqh kelompok 5 materi 7Makalah fiqh kelompok 5 materi 7
Makalah fiqh kelompok 5 materi 7NavenAbsurd
 
Dimensi Aliran Dan Pemikiran dalam ISlam.ppt
Dimensi Aliran Dan Pemikiran dalam ISlam.pptDimensi Aliran Dan Pemikiran dalam ISlam.ppt
Dimensi Aliran Dan Pemikiran dalam ISlam.pptJimatul Arrobi
 
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5Makalah fiqih kelompok 3 materi 5
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5NavenAbsurd
 
Aswajasbgmanhajulfikr 131106015409-phpapp01
Aswajasbgmanhajulfikr 131106015409-phpapp01Aswajasbgmanhajulfikr 131106015409-phpapp01
Aswajasbgmanhajulfikr 131106015409-phpapp01Rahman Ghifari
 
Pgsd 3 memahami-mazhab_(munawar)
Pgsd 3 memahami-mazhab_(munawar)Pgsd 3 memahami-mazhab_(munawar)
Pgsd 3 memahami-mazhab_(munawar)Bahagie Putra
 
Fikih kel 6
Fikih kel 6Fikih kel 6
Fikih kel 6Ltfltf
 
PPT MADZHAB FIQIH KELOMPOK 1.pptx
PPT MADZHAB FIQIH KELOMPOK 1.pptxPPT MADZHAB FIQIH KELOMPOK 1.pptx
PPT MADZHAB FIQIH KELOMPOK 1.pptxMOMENEPIC1
 

Similar to Muhammadiyah dan Mazhab (20)

Makalah Hukum Shalat Jumat
Makalah Hukum Shalat JumatMakalah Hukum Shalat Jumat
Makalah Hukum Shalat Jumat
 
MAKALAH ASWAJA.docx
MAKALAH ASWAJA.docxMAKALAH ASWAJA.docx
MAKALAH ASWAJA.docx
 
MAKALAH_ASWAJA_KELOMPOK_6[1].docx
MAKALAH_ASWAJA_KELOMPOK_6[1].docxMAKALAH_ASWAJA_KELOMPOK_6[1].docx
MAKALAH_ASWAJA_KELOMPOK_6[1].docx
 
Manhaj salaf
Manhaj salafManhaj salaf
Manhaj salaf
 
1. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH.pptx
1. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH.pptx1. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH.pptx
1. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH.pptx
 
Untuk presentasi
Untuk presentasi Untuk presentasi
Untuk presentasi
 
Makalah fiqh kelompok 5 materi 7
Makalah fiqh kelompok 5 materi 7Makalah fiqh kelompok 5 materi 7
Makalah fiqh kelompok 5 materi 7
 
Presentasi fiqih 2
Presentasi fiqih 2Presentasi fiqih 2
Presentasi fiqih 2
 
Mazhab fiqh
Mazhab fiqhMazhab fiqh
Mazhab fiqh
 
Dimensi Aliran Dan Pemikiran dalam ISlam.ppt
Dimensi Aliran Dan Pemikiran dalam ISlam.pptDimensi Aliran Dan Pemikiran dalam ISlam.ppt
Dimensi Aliran Dan Pemikiran dalam ISlam.ppt
 
Pemikiran hukum islam
Pemikiran hukum islamPemikiran hukum islam
Pemikiran hukum islam
 
Pemikiran hukum islam
Pemikiran hukum islamPemikiran hukum islam
Pemikiran hukum islam
 
Ahlul ra'yi
Ahlul ra'yiAhlul ra'yi
Ahlul ra'yi
 
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5Makalah fiqih kelompok 3 materi 5
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5
 
Aswajasbgmanhajulfikr 131106015409-phpapp01
Aswajasbgmanhajulfikr 131106015409-phpapp01Aswajasbgmanhajulfikr 131106015409-phpapp01
Aswajasbgmanhajulfikr 131106015409-phpapp01
 
Aswaja sbg manhajul fikr
Aswaja sbg manhajul fikrAswaja sbg manhajul fikr
Aswaja sbg manhajul fikr
 
Pgsd 3 memahami-mazhab_(munawar)
Pgsd 3 memahami-mazhab_(munawar)Pgsd 3 memahami-mazhab_(munawar)
Pgsd 3 memahami-mazhab_(munawar)
 
Fikih kel 6
Fikih kel 6Fikih kel 6
Fikih kel 6
 
PPT MADZHAB FIQIH KELOMPOK 1.pptx
PPT MADZHAB FIQIH KELOMPOK 1.pptxPPT MADZHAB FIQIH KELOMPOK 1.pptx
PPT MADZHAB FIQIH KELOMPOK 1.pptx
 
Tasyri' abad 2-4 H.
Tasyri' abad 2-4 H.Tasyri' abad 2-4 H.
Tasyri' abad 2-4 H.
 

More from Muhsin Hariyanto

Pembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahPembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahMuhsin Hariyanto
 
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Muhsin Hariyanto
 
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanIstighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanMuhsin Hariyanto
 
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMemahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMuhsin Hariyanto
 
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Muhsin Hariyanto
 
10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabulMuhsin Hariyanto
 
Inspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamInspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamMuhsin Hariyanto
 
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifBerbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifMuhsin Hariyanto
 

More from Muhsin Hariyanto (20)

Khutbah idul fitri 1436 h
Khutbah idul fitri 1436 hKhutbah idul fitri 1436 h
Khutbah idul fitri 1436 h
 
Pembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahPembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyah
 
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
 
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanIstighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
 
Etika dalam berdoa
Etika dalam berdoaEtika dalam berdoa
Etika dalam berdoa
 
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMemahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
 
Manajemen syahwat
Manajemen syahwatManajemen syahwat
Manajemen syahwat
 
Manajemen syahwat
Manajemen syahwatManajemen syahwat
Manajemen syahwat
 
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
 
10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul
 
Khitan bagi wanita (01)
Khitan bagi wanita (01)Khitan bagi wanita (01)
Khitan bagi wanita (01)
 
Strategi dakwah
Strategi dakwahStrategi dakwah
Strategi dakwah
 
Sukses karena kerja keras
Sukses karena kerja kerasSukses karena kerja keras
Sukses karena kerja keras
 
Opini dul
Opini   dulOpini   dul
Opini dul
 
Inspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamInspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayam
 
Tentang diri saya
Tentang diri sayaTentang diri saya
Tentang diri saya
 
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifBerbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
 
Ketika kita gagal
Ketika kita gagalKetika kita gagal
Ketika kita gagal
 
Jadilah diri sendiri!
Jadilah diri sendiri!Jadilah diri sendiri!
Jadilah diri sendiri!
 
Gatotkaca winisuda
Gatotkaca winisudaGatotkaca winisuda
Gatotkaca winisuda
 

Muhammadiyah dan Mazhab

  • 1. Benarkah Muhammadiyah Tidak Bermahzab[1] Oleh: Muhsin Hariyanto Iftitâh Agama – yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. – ialah apa yang diturunkan oleh Allah di dalam al-Quran dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.[2] (Himpunan Putusan Tarjih, 1987: 276) Pernyataan di atas menjadi penting untuk dicermati, karena di dalam terdapat isyarat bahwa Muhammadiyah tidak pernah berkeinginan untuk mengikatkan diri dengan mazhab tertentu, karena semua produk pemahaman keislaman Muhammadiyah digagas dan dirujuk secara langsung melalui sumber otentik (pemahaman atas ayat-ayat al-Quran dan Sunnah yang shahih). Tetapi, benarkah Muhammadiyah tidak bermazhab sama sekali dan bahkan tidak terpengaruh oleh pemikiran mazhab (utamanya mazhab – fikih – empat: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah)? Tulisan ini diasumsikan akan menjelaskan asumsi kebermazhaban dan ketidakbermazhaban Muhammadiyah, utamanya dalam masalah Fikih. Makna Mazhab dan Bermazhab[3] Secara etimologis kata mazhab berasal dari bahasa Arab zahaba, yang berarti pergi. Dengan demikian, kata mazhab berarti tempat pergi. Sedangkan secara terminologis, mazhab berarti pendapat, kelompok, aliran yang pada mulanya merupakan pendapat atau hasil ijtihad seorang imam dalam memahami suatu masalah, baik menyangkut masalah teologi, tasawuf, filsafat, politik maupun fikih. Dalam perkembangannya, kata mazhab mengalami penyempitan makna yang semula menyangkut semua aspek ajaran Islam, belakangan hanya menyangkut hukum Islam (fikih). Dalam konteks fikih, istilah mazhab mencakup dua pengertian. Pertama, mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan al-Quran dan al-hadis. Pengertian ini lebih menekankan mazhab dalam konteks ushul al-fiqh. Kedua, mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Quran dan al-hadis. Pengertian ini lebih menekankan dalam konteks hasil pemikiran atau fiqh. Dengan demikian, mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah atau meng-istinbath-kan hukum Islam. Selanjutnya mazhab pengertiannya berkembang menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath imam mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat imam mujtahid tentang masalah hukum Islam. Pada dasarnya kemunculan mazhab-mazhab dalam Islam merupakan sesuatu yang wajar mengingat al-Quran dan al-sunnah memang memberi peluang munculnya berbagai penafsiran (multi-interpretasi), karena di dalamnya banyak sekali terkandung ayat yang zanni al-dalalah (ayat yang penafsirannya tidak pasti) seperti adanya lafal musytarak (mempunyai makna ganda), majaz (metafor/makna kiyasan), ‘am-khash (umum dan khusus) dan sebagainya. Secara lebih rinci, Abu Zahrah, seorang ahli ushul al-fiqh, menjelaskan bahwa munculnya mazhab-mazhab dalam Islam dikarenakan beberapa hal: (1) perbedaan pemikiran. Perbedaan ini bisa karena pengetahuan yang berbeda, bisa juga karena konteks sosial masing-masing imam yang berbeda;
  • 2. (2) ketidakjelasan masalah yang menjadi tema pembahasan; (3) perbedaan kesenangan dan kecenderungan; (4) perbedaan sudut pandang; (5) karena mengikuti cara pandang pendahulunya; (6) perbedaan kemampuan; (7) masalah kepemimpinan dan kecintaan kepada penguasa; (8) fanatisme kelompok yang berlebihan. Munculnya mazhab juga tidak dapat dilepaskan dari dinamika dan perkembangan sejarah Islam sepeninggal Rasulullah s.a.w. yang kemudian menghadapkan umat Islam dengan berbagai realitas (kenyataan) baru yang tidak ditemui sebelumnya. Pertama, semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam hingga ke luar semenanjung Arabia. Kedua, pergaulan kaum muslimin dengan bangsa-bangsa lain yang ditaklukkannya, terutama yang berkaitan dengan adat-istiadat dan tradisi bangsa tersebut. Ketiga, akibat jauhnya wilayah-wilayah yang ditaklukkan itu dengan pusat kekuasaan Islam, sehingga memaksa para gubernur, hakim dan para ulama melakukan ijtihad untuk menjawab masalah-masalah baru yang belum pernah ditemui sebelumnya. Satu hal yang perlu digarisbawahi, meskipun dalam Islam terjadi perbedaan pendapat yang kemudian melahirkan mazhab, namun perbedaan tersebut hanya terjadi pada masalah-masalah furu’ (cabang), tidak sampai kepada ajaran Islam yang pokok (ushul) terutama yang berkaitan dengan paham tauhid. Atas dasar itu, perbedaan tersebut lebih tepat dipandang sebagai dinamika (perkembangan) pemikiran daripada sebagai perpecahan. Dalam sejarah perkembangan hukum Islam (Tarikh Tasyri’ al-Islami) hingga kini sudah muncul tiga belas mazhab fikih dalam Islam, namun yang terkenal dan melembaga ada sembilan. Mereka dikenal sebagai tokoh-t.okoh yang meletakkan dasar metode pemahaman fiqh yang kemudian diikuti oleh generasi sesudahnya. Mereka adalah: 1. Imam Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar al-Bashri (w. 110 H) 2. Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150 H) 3. Imam al-Auza’i Abu Amr bin Muhammad (w. 157 H) 4. Imam Sufyan bin Sa’id bin Masraq al-Tsauri (w. 160 H) 5. Imam al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H) 6. Imam Malik bin Anas al-Asybahi (w. 179 H) 7. Imam Sufyan bin Uyainah (w. 198 H) 8. Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w. 204 H) 9. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) Dalam perkembangannya, mazhab-mazhab tersebut ada yang berkembang dengan pesat dan dianut di berbagai belahan dunia Islam, dan ada juga yang surut bahkan hilang karena kurang mendapat pengikut seperti mazhab yang dirintis Imam Daud bin Ali al-Asbahani al-Bagdadi (w. 270 H) yang sering disebut mazhab Zahiry, Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu’Amr Abd alRahman bin Muhammad al-Auza’iy atau mazhab Auza’iy, Mazhab al-Thabari (w. 320 H), Mazhab al-Laits yang dibina oleh Abu Haris al-Laits bin Sa’ad al-Fahmi (w. 174 H) dan sebagainya. Mazhab yang terus berkembang hingga sekarang dan masih banyak diikuti umat Islam hanya empat mazhab, yaitu: 1. Mazhab Hanafi yang rintis oleh Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Pemikiran hukum mazhab ini bercorak rasional (ahl al-ra’yu). Hal ini disebabkan karena mazhab bermula di Kufah (Irak) yang
  • 3. terletak jauh dari Madinah. Irak, sebelum Islam, adalah pusat kebudayaan, tempat bertemu dan berkembangnya filsafat Yunani dan Persia. Setelah Islam, Irak menjadi pusat berkembangnya berbagai aliran politik, ilmu kalam dan fikih seperti Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah. Pada masa Abu Hanifah, Kufah menjadi salat satu pusat aktifitas fikih para mujtahid generasi tabi’it tabi’in. Sebelum generasi tabi’in, Kufah menjadi tempat Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) yang dikirim oleh khalifah Umar bin Khattab (w. 644 M) untuk mengajarkan Islam dan memutuskan masalahmasalah hukum. Pendekatan dan metode yang digunakan untuk memecahkan hukum adalah dengan ra’yu (pendapat/nalar) karena ia sangat ketat dalam menerima hadis, analogi (qiyas), dan istihsan (qiyas khafi). Mazhab Hanafi terkenal sangat ketat untuk menerima hadis karena pada masa itu banyak muncul hadis-hadis palsu seiring dengan perpecahan politik yang dialami umat Islam. Banyak hadis yang diciptakan kelompok tertentu untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing. Mazhab ini banyak berkembang di Mesir, Suriah, Libanon, Turki, Tunisia, Turkistan, India, Pakistan, Afganistan, Balkan, Cina, Rusia dan Irak. 2. Mazhab Maliki yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas (179 H). Pemikiran mazhab ini banyak dipengaruhi oleh sunnah yang cenderung tekstual. Imam Malik termasuk periwayat hadis, karyanya yang paling monumental adalah al-Muwaththa’ (kumpulan hadis yag bercorak fiqh). Dalam merumuskan hukum-hukum yang bersumber dari al-Quran dan al-hadis, Imam Malik menggunakan metode sebagai berikut: a) tidak seketat Abu Hanifah dalam menerima hadis. Jika Abu Hanifah hanya menerima hadis kalau hadis itu mutawatir atau paling tidak pada tingkatan masyhur, Imam Malik hanya menerima hadis ahad bahkan hadis ahad yang mursal asal periwayatannya orang yang terpercaya. Hadis ahad juga lebih diutamakan daripada qiyas, sehingga ia lebih banyak menggunakan hadis daripada ra’yu; b) ‘Amal ahl al-Madinah (praktik masyarakat Madinah), karena mereka dianggap orang yang paling tahu tentang al-Quran dan penjelasan-penjelasan Rasulullah; c) Pernyataan sahabat (qaul al-shahabi). Menurut Imam Malik, jika tidak ada hadis sahih dari Nabi saw yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah, maka pernyataan sahabat dapat dijadikan sumber hukum. Pendapat ini didasarkan pada pandangan bahwa para sahabat lebih memahami pengertian yang tersirat maupun tujuan ayat, karena mereka menyaksikan sendiri turunnya al-Quran dan mendengar langsung penjelasan Rasulullah s.a.w.) Al-Mashlahat al-Mursalah, yaitu mempertimbangkan kepentingan umum terhadap suatu permasalahan hukum yang secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Quran dan alhadis baik yang mendukung maupun yang menolak. Tujuannya adalah untuk menarik kemanfaatan (jalb al-manfa’ah) dan menghindari madarat (daf’ al-madharrah); e) Al-zari’ah, yaitu mempertimbangkan perkataan dan perbuatan yang menyebabkan terjadinya perbuatan lain. Perbuatan yang mengantarkan pada perbuatan haram, hukumnya haram, sedang perbuatan yang mengantarkan pada perbuatan halal hukumnya juga halal; f) Qiyas. Apabila suatu masalah tidak ditemukan ketentuannya dalam al-Quran, al-hadis, perkataan sahabat atau ijma’ ahl al-Madinah maka Imam Malik memutuskan masalah tersebut dengan qiyas, yaitu menyemakan suatu peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang jelas hukumnya karena keduanya ada persamaan illat. Mazhab Maliki ini tersebar dan diikuti di berbagai wilayah seperti Tunisia, Aljazair, Maroko, Spanyol dan Mesir. 3 Mazhab Syafi’i yang didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 M). Metode dan pendekatan yang digunakan untuk meng-istinbath-kan hukum adalah: a) alQuran dan al-hadis merupakan sumber pokoknya sebagaimana mazhab-mazhab lain meskipun cara pandang mereka terhadap kedua sumber tesebut seringkali berbeda. Menurut Imam Syafi’i, al-Quran dan hadis mutawatir berada dalam satu martabat, karena sunnah berfungsi untuk menjelaskan al-Quran. Keduanya adalah wahyu meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak
  • 4. sekuat al-Quran; b) Ijma’. Ijma’ yang dimaksud Imam Syafi’i adalah kesepakatan ulama suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ di satu negeri saja dan bukan ijma’ kaum tertentu saja; c) Qiyas, yaitu menyamakan hukum suatu masalah yang tidak ada ketentuannya dalam nas dengan hukum yang ada dalam nas karena adanya persamaan illat. Mazhab Syafi’iyah ini berkembang di negara-negara seperti Mesir, Suriah, Yaman, Indonesia, Malaysia, Makkah, Arab Selatan, Bahrain, Afrika Timur dan Asia Tengah. 4. Mazhab Hanbali atau Hanabilah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (w. 241 M). Selain berdasar al-Quran dan sunnah dan pendapat sahabat, ia juga menggunakan hadis mursal dan hadis dha’if (dalam tingkatan hasan asal perawinya tidak pembohong); qiyas jika terpaksa (‘inda “arrah). Mazhab ini banyak berkembang di Irak, Mesir, Suriah, Palestina dan Arab Saudi. Dari berbagai mazhab yang ada, karakteristik penafsiran mazhab-mazhab tersebut dapat disederhanakan menjadi dua kecenderungan besar, yaitu ahl al-ra’y dan ahl al-hadis. Para ahli hukum Iraq seperi Imam Abu Hanifah, karena berbagai alasan, dianggap terlalu ketat dalam menerima hadis sebagai dasar hukum, sehingga lebih banyak menggunakan akal . Sedang ulama Hijaz seperti Imam Malik bin Anas lebih longgar untuk menerima hadis sebagai dasar hukum, meskipun hal ini tidak berarti mereka menolak akal sama sekali. Manna’ al-Qaththan, penulis buku Tarikh Tasyri’ al-Islami, memberi penjelasan lebih lanjut mengenai perkembangan ahl al-ra’y dan ahl al-hadis. Dalam kaitan perkembangan ahl al-ra’y di Iraq, dia memberi bebapa penjelasan: 1) Tasyi’ di Iraq dipengaruhi oleh pemikiran rasional Ibnu Mas’ud sebagaimana telah disinggung di atas; 2) Hadis yang berkembang di Iraq lebih sedikit jumlahnya dibanding hadis yang berkembang di Hijaz. Sementara permasalahan-permasalahan hukum yang berkembang di Iraq jauh lebih kompleks; 3) Fuqaha’ Iraq berhadapan dengan orangorang Parsi yang sudah mempunyai peradaban dan kemampuan berfikir maju. Keadaan ini dapat mendorong munculnya permasalahan-permasalahan hukum baru yang belum ditemukan ketentuannya pada masa Nabi saw; 4) Iraq merupakan tempat tinggal kebanyakan orang-orang Syi’ah dan Khawarij sebagai imbas (akibat) dari perpecahan politik yang terjadi dalam Islam. Perpecahan tersebut segera diikuti debat teologis untuk melegalisasi (mengesahkan) kelompoknya masing-masing yang sering pula diikuti dengan penciptaan hadis-hadis palsu. Kondisi ini ikut mendorong Iraq untuk lebih selektif dalam menerima hadis. Sedangkan berkembangnya aliran ahl al-hadis di Hijaz dikarenakan beberapa hal: 1) Pengaruh dari metode yang menekankan pada hadis sementara mereka menjauhkan diri dari penggunaan akal dan qiyas kecuali dalam kondisi yang sangat terpaksa; 2) Hijaz merupakan gudang hadis dan praktik sahabat karena di daerah inilah Nabi saw bermukim dan menyampaikan ajarannya; 3) Di Hijaz tersebut sedikit sekali ditemukan problem hukum yang menuntut kreativitas berfikir, karena mereka jauh dari pengaruh Parsi dan Romawi; 4) Hijaz jauh dari tempat munculnya fitnah dan pertentangan keagamaan. Atas dasar alasan-alasan tersebut tidak mengherankan jika di kedua wilayah yang menjadi pusat perkembangan hukum Islam tersebut menampakkan corak yang berbeda. Dalam pandangan umat Islam pada umumnya, bermazhab sering dibedakan dengan berijtihad. Bermazhab sering diidentikkan dengan melakukan taqlîd (mengikuti tanpa mengetahui sebab). Sehingga, ada kesan bahwa bermazhab tidak memerlukan ijtihad, tidak menyentuh kekinian, dan menjadikan masa lalu sebagai “doktrin” dan “dogma” agama. Demikian halnya, berijtihad tidak perlu mengikuti pendapat ulama masa lalu, hanya mengandalkan potensi akal untuk melihat kenyataan hari ini saja. Kedua polarisasi itu perlu direformasi dengan menghadirkan konsep baru dalam berijtihad dan bermazhab.
  • 5. Bermazhab tidak identik dengan bertaklid buta. Masih dapat disebut bermazhab walaupun tetap menjalankan ijtihad, terutama sekali dalam kasus-kasus kontemporer. Dan lebih dari itu, masih disebut bermazhab meskipun juga berupaya mengembangkan metodologi (manhaj) yang sangat mungkin akan menimbulkan banyaknya perbedaan pendapat. Pada hakikatnya, bermazhab tidak harus mengikuti pendapat Imam mazhab dari kata-perkata (fil aqwal), namun bisa dalam metodologinya (fil manhaj). Bermazhab secara metodologis, misalnya kepada para imam mazhab (empat): Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i atau Ahmad bin Hanbal, akan berimplikasi pada kemungkinan perbedaan pendapat dengan para imam mazhab tersebut. Dalam mengembangkan metodologi bermazhab, perlu menciptakan metode dalam berijtihad baru yang diakui secara akademik dan terjadinya kesinambungan dari proses berijtihad sekaligus hasil pemikiran ulama masa lalu (historical continuity). Seorang mujtahid juga sekaligus seorang mujaddid (pembaharu) yang tengah melakukan pembaharuan fiqih atau hukum Islam dan pengembangan metodologi ilmu-ilmu keislaman disesuaikan dengan perkembangan zaman. Produk pemahaman agama lebih melihat kebutuhan umat pada masa kini dengan tidak meninggalkan tradisi ulama masa lalu. Kita mungkin sering mendengar klaim universalisme Islam yang sering dikemukakan bahwa Islam adalah sebagai agama yang rahmatan lil ‘âlamin dan juga kaedah ushûl fiqh: al-syariah al-Islâmiyyah shalihah li kulli zamânin wa makânin atau al-syariah al-Islâmiyyah li mashlahat al-‘ibâd fi al-dârain (syariat Islam adalah untuk memenuhi kemaslahatan manusia dunia dan akhirat). Artinya, Islam akan selalu berkait-berkelindan dengan kemajuan zaman. Untuk merealisasikan klaim-klaim tersebut maka perlu menyegarkan kembali ajaran agama (ilahi) yang dihubungkan dengan persoalan-persoalan baru yang muncul. Oleh sebab itu, konsep mengenai bermazhab dan berijtihad perlu direformasi. Sehingga, Islam selalu segar dan sesuai dengan perkembangan zamannya. Rumusan yang tepat untuk menghubungkan antara tradisi (bermazhab dan berijtihad) dan perubahan (kekinian) adalah al-muhâfazhatu ‘ala al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bil jadîd alashlah (memelihara yang lalu yang masih relevan dan mengambil yang baru yang lebih baik). Sehingga, tawaran gagasan ijtihad menjadi formulasi metodologis yang dapat dibentuk sebagai hasil kajian kritis terhadap konsep bermazhab dan berijtihad secara konvensional yang dipadukan dengan tuntutan zaman dan pertanggung jawaban akademik. Istilahnya adalah modern scientific ijtihad (al-ijtihad al-’ilmi al-’ashri). “Ijtihad” bisa dilakukan secara tematis, tidak harus ke dalam seluruh aspek kehidupan. Al-’ilmi berarti bahwa berijtihad menggunakan prosedur keilmuan (filsafat ilmu, studi kritis, dan semacamnya), seperti yang terjadi dalam dunia pengetahuan umumnya. Sedangkan al-’ashri dimaksudkan agar mengacu pada masa kini dan masa depan, tidak hanya terhenti pada lalu dan masa kini. Untuk mewujudkan formulasi ijtihad modern yang mampu memberikan jawaban masa kini dan diharapkan juga untuk masa yang akan datang, diperlukan beberapa langkah. Pertama, lebih mementingkan atau mendahulukan sumber primer (primary sources) dalam sistem bermazhab atau dalam menentukan rujukan. Kedua, berani mengkaji pemikiran ulama atau hasil keputusan hukum Islam dengan tidak lagi secara doktriner dan dogmatis. Namun, perlu menyertakan studi kritis (critical study) sebagai sejarah pemikiran (intellectual history) dalam menganalisa latar belakang pemikiran atau hukum tersebut.
  • 6. Ketiga, memposisikan semua hasil karya ulama masa lalu sebagai pengetahuan (knowledge), baik yang dihasilkan atas dasar deduktif maupun secara empirik. Dengan catatan bahwa keberadaan teks al-Quran dan teks hadis yang terbatas (khususnya yang mutawatir) tidak dapat diuji ulang (re-examined). Keempat, perlu ada sikap terbuka terhadap dunia luar dan bersedia mengantisipasi terhadap halhal yang akan terjadi dengan tidak menggunakan sikap asal-tidak setuju (apriori). Kelima, hendaknya mempunyai daya tanggap yang meningkat dan cepat dalam merespon permasalahan yang muncul. Untuk itulah, diperlukan jaringan atau organisasi yang mampu mempertemukan di antara fuqaha’ untuk sama-sama menanggapi masalah yang ada. Keenam, penafsiran yang aktif dan bahkan juga progresif, yaitu jawaban hukum Islam yang juga sekaligus mampu memberi inspirasi untuk kehidupan yang dialami umat. Ketujuh, ajaran al-ahkâm al-khamsah atau hukum Islam berupa wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah agar dapat dijadikan konsep atau ajaran etika sosial. Kedelapan, menjadikan ilmu fikih (‘ilm al-fiqh) sebagai bagian dari ilmu hukum secara umum, yaitu memposisikan bahasa ilmu fikih yang mencakup masalah-masalah kehidupan umat yang sama dengan materi atau objek kajian dalam ilmu hukum pada umunya. Kesembilan, mendekati fikih yang juga berorientasi pada kajian induktif atau empirik, di samping deduktif. Pendekatan induktif dimaksudkan sebagai penyertaan peran akal pada posisi yang sangat penting dalam membantu mewujudkan hasanah fi al-dunya dan hasanah fi alâkhirah. Kesepuluh, hendaknya menjadikan konsep mashalih ‘ammah menjadi landasan penting dalam mewujudkan fiqih atau hukum Islam. Kesebelas, menjadikan wahyu Allah lewat nushûsh al-Qurân wa as-sunnah al-shahîhah (teksteks al-Quran dan sunnah yang shahih) sebagai kontrol terhadap hal-hal yang akan dihasilkan dalam ijtihad. Kontrol yang dimaksud lebih menekankan pada konsep etika dengan mengacu pada al-mashâlih al-’ammah. Konsep baru dalam bermazhab dapat dinyatakan dengan pernyataan penting: “siapa pun boleh bermazhab tanpa kehilangan ruh ijtihad. Dan siapa pun yang berijtihad tidak dilarang untuk bermazhab tanpa harus terikat dengan metode dan pendapat para imam mazhab. Memahami Muhammadiyah Melalui Pemikiran Keagamaannya KHA. Dahlan memahami bahwa al-Quran adalah sumber utama yang menjadi rujukan baku untuk siapa pun, di mana pun dan kapan pun dalam ber-(agama)-Islam. Konsep normatif Islam sudah tersedia secara utuh di dalamnya (al-Quran) dan sebegitu rinci dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. di dalam sunnahnya, baik yang bersifat qaulî, fi’lî dan taqrîrî. Hanya saja apa yang dikerjakan oleh Rasulullah s.a.w. perlu diterjemahkan ke dalam konteks yang berbeda-beda, dan oleh karenanya “memerlukan ijtihad”. Ijtihad dalam ber-(agama)-Islam bagi KHA. Dahlan adalah “harga mati”. Yang perlu dicatat bahwa Dia menganjurkan umat Islam untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah secara kritis. Ia menyayangkan sikap taqlid umat Islam terhadap apa dan siapa pun yang pada akhirnya menghilangkan sikap kritis. Ia sangat menganjurkan umat Islam agar memiliki keberanian untuk berijtihad dengan segenap kemampuan dan kesungguhannya, dan dengan semangat untuk
  • 7. kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah ia pun ingin merombak sikap taqlid menjadi – minimal – menjadi sikap ittiba’. Sehingga muncullah kolaborasi antara para Mujtahid dan Muttabi’ yang secara sinergis membangun Islam Masa Depan, bukan Islam Masa Sekarang yang stagnant (jumud, berhenti pada kepuasaan terhadap apa yang sudah diperoleh), apalagi Islam Masa Lalu yang sudah lapuk dimakan zaman. Semangatnya mirip dengan Muhammad Abduh: “alMuhâfadhah ‘Alâ al-Qadîm ash-Shâlih wa al-Akhdzu bi al-Jadîd al-Ashlah” Prinsip-prinsip Utama Pemahaman (Agama) Islam Muhammadiyah memperkenalkan dua prinsip utama pemahaman (agama) Islam: 1. Ajaran agama Islam yang otentik (sesungguhnya) adalah apa yang terkandung di dalam al-Quran dan as-Sunnah dan bersifat absolut. Oleh karena itu, semua orang Islam harus memahaminya. 2. Hasil pemahaman terhadap al-Quran dan as-Sunnah yang kemudian disusun dan dirumuskan menjadi kitab ajaran-ajaran agama (Islam) bersifat relatif. Dari kedua prinsip utama tersebut, pendapat-pendapat Muhammadiyah tentang apa yang disebut doktrin agama yang dirujuk dari al-Quran dan as-Sunnah selalu (dapat) berubah-ubah selaras dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan zaman. Hal ini bukan berarti Muhammadiyah tidak bersikap istiqamah dalam beragama, tetapi justeru memahami arti pentingnya ijtihad dalam menyusun dan merumuskan kembali pemahaman agama (Islam) sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Quran dan as-Sunnah. Dipahami oleh Muhammadiyah bahwa al-Quran dan as-Sunnah bersifat tetap, sedang interpretasinya bisa berubah-ubah. Itulah konsekuensi keberagamaan umat Islam yang memahami arti universalitas kebenaran ajaran agama yang tidak akan pernah usang dimakan zaman dan selalu selaras untuk diterapkan di mana pun, kapan pun dan oleh siapa pun. Mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah Untuk memahami al-Quran – menurut Muhammadiyah – diperlukan seperangkat instrumen yang menandai kesiapan orang untuk menafsirkannya dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata. Semangatnya sama dengan ketika seseorang berkeinginan untuk memahami Islam, yaitu: “ijtihad”. Kandungan al-Quran hanya akan dapat dipahami oleh orang yang memiliki kemauan dan kemampuan yang memadai untuk melakukan eksplorasi dan penyimpulan yang tepat terhadap al-Quran. Keikhlasan dan kerja keras seorang mufassir menjadi syarat utama bagi setiap orang yang ingin secara tepat memahami al-Quran. Meskipun semua orang harus sadar, bahwa sehebat apa pun seseorang, ia tidak akan dapat menemukan kebenaran sejati, kecuali sekadar menemukan ‘kemungkinan-kemungkinan’ kebenaran absolut al-Quran yang pada akhirnya bernilai “relatif”. Akhirnya, kita pun dapat memahami dengan jelas sebenar apa pun hasil pemahaman orang terhadap al-Quran, tafsir atasnya (al-Quran) tidak akan menyamai “kebenaran” al-Quran itu sendiri. Karena al-Quran adalah “kebenaran ilahiah”, sedang “tafsir atas al-Quran” adalah “kebenaran insaniah”. Akankah kita menyatakan bahwa Manusia akan “sebenar” Tuhan? Jawaban tepatnya: “mustahil”. Oleh karena itu, yang dituntut oleh Allah kepada setiap muslim hanyalah berusaha sekuat kemampuannya untuk menemukan kebenaran absolut al-Quran, bukan “harus menghasilkan kebenaran absolut”, karena kenisbian akal manusia tidak akan pernah menggapai kemutlakan kebenaran sejati dari Allah. Ketika kita berkesimpulan bahwa hasil pemahaman siapa pun, kapan pun dan di mana pun terhadap al-Quran adalah relatif, maka alangkah bijaksananya bila kita rujuk as-Sunnah sebagai
  • 8. panduan dalam beragama. Karena, bagaimanapun relatifnya hasil pemahaman al-Quran, hasil interpretasi Rasulullah s.a.w. baik dalam bentuk perkataan, tindakan dan taqrîr merupakan interpretasi atas al-Quran yang “terjamin” kebenarannya. Asumsi ini didasarkan pada paradigma “’ishmah ar-rasûl”. Ada jaminan dari Allah bahwa Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu benar dalam berijtihad, karena setiap langkahnya akan selalu diawasi oleh-Nya. Teguran atas kesalahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu dilakukan oleh Allah, dan hal itu tidak dijamin akan terjadi pada selain Rasulullah s.a.w. Persoalannya sekarang, seberapa mungkin kita kita (umat Islam) berkemampuan untuk menerjemahkan as-Sunnah dalam realitas kehidupan kita? Dan pola apakah yang paling tepat untuk kita pilih? Ternyata kita pun sering terjebak pada ketidaktepatan dalam menerjemahkannya (as-Sunnah), karena keterbatasan-keterbatasan yang kita miliki. Kita pun sering melakukan kesalahan dalam memilih pola yang tepat untuk memahami as-Sunnah. Mungkin terjebak pada kutub ekstrem “tekstual”, atau “rasional” yang mengarah pada kontekstualisasi yang eksesif (berlebihan). Untuk itu, menurut pendapat penulis, yang kita perlukan sekarang adalah: “membangun kearifan” menuju pada “pemahaman yang sinergis dan seimbang”. Seperti – misalnya – apa yang dilakukan dalam proyek besar pemasaran gagasan “Islam Kontekstual” yang dilakukan – misalnya — oleh Yusuf al-Qaradhawi, dengan berbagai modifikasi yang diperlukan. Berislam Secara Dewasa Muhammadiyah selama ini memperkenalkan Islam yang “arif”, yang dirujuk dari apa yang dikandung dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan memperkenalkan pola “istinbath” yang proporsional. Muhammadiyah menyatakan diri tidak bermazhab, dalam arti tidak mengikatkan diri secara tegas dengan mazhab-mazhab tertentu baik secara qaulî maupun manhajî. Tetapi Muhammadiyah bukan berarti antimazhab. Karena, ternyata dalam memahami Islam Muhammadiyah banyak merujuk pada pendapat orang dan utamanya juga Imam-imam mazhab dan para pengikutnya yang dianggap “râjih” dan meninggalkan yang “marjûh”. Pola pikir yang diperkenalkan Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam adalah berijtihad secara: bayânî, qiyâsî dan ishtishlâhî. Yang ketiganya dipakai oleh Muhammadiyah secara simultan untuk menghasilkan pemahaman Islam yang kontekstual dan bersifat (lebih) operasional. Ijtihâd bayânî dipahami sebagai bentuk pemikiran kritis terhadap nash (teks) al-Quran maupun as-Sunnah; ijtihâd qiyâsî dipahami sebagai penyeberangan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan ‘illât; dan ijtihâd ishtishlâhî dipahami sebagai bentuk penemuan hukum dari realitas-empirik berdasarkan pada prinsip mashlahah, karena tidak adanya nash yang dapat dirujuk dan tidak adanya kemungkinan untuk melakukan qiyâs Hasil pemahaman dari upaya optimal dalam berijtihad inilah yang kemudian ditransformasikan ke dalam pengembangan pemikiran yang — mungkin saja – linear atau berseberangan, berkaitan dengan tuntutan zaman. Demikian juga dalam wilayah praksis, tindakan keberagamaan yang ditunjukkan dalam sikap dan perilaku keagamaan umat Islam harus juga mengacu pada kemauan dan kesediaan untuk melakukan kontekstualisasi pemahaman keagamaan (Islam) yang
  • 9. bertanggung jawab. Tidak harus terjebak pada pada pengulangan dan juga pembaruan, yang secara ekstrem berpijak pada adagium “purifikasi” dan “reinterpretasi” baik yang bersifat dekonstruktif maupun rekonstruktif. Sekali lagi, yang perlu dibangun adalah: “kearifan” dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Di mana pun, kapan pun dan oleh dan kepada siapa pun. Sebab, keislaman kita adalah “keislaman: yang harus kita pertaruhkan secara horisontal dan sekaligus vertikal”. Himpunan Putusan Tarjih dan Mazhab Empat Himpunan Putusan Tarjih (selanjutnya disebut HPT) adalah hasil diskusi dan kesepakatan yang dihasilkan melalui proses panjang dalam serangkaian pembahasan para ulama tarjih (Muhammadiyah) dalam setiap pertemuan resmi, yang saat ini disebut dengan Musyawarah Nasional (Munas). Hasil-hasil diskusi atau pembahasan para ulama tarjih (Muhammadiyah) tersebut kemudian ditanfidzkan (dinyatakan keabsahan dan keberlakuannya) oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diasumsikan mengikat secara organisatoris kepada seluruh jajaran pimpinan dan anggota Muhammadiyah. Meskipun secara eksplisit Muhammadiyah tidak pernah menyatakan bermazhab, tetapi dalam praktik pembahasan atas masalah-keagamaan (utamanya: fikih) para ulama tarjih (Muhammadiyah) sama sekali tidak bisa menghindar dari manhaj (metodologi) dan pendapat para imam mazhab (termasuk imam mazhab empat) dan pengembangannya dalam berbagai ragam pendapatnya. Dengan mencermati diktum-diktum putusan tarjih hingga saat ini, maka kita bisa melhat nuansa mazhab dan bermazhabnya para ulama tarjih (Muhammadiyah), utamanya dalam pengertian manhaji (metodologis). Karena – secara jelas – mereka menggunakan sejumlah manhaj yang ditawarkan oleh para imam mazhab itu tanpa kecuali. Hanya saja, para ulama tarjih tidak mau terjebak untuk mengikatkan diri pada manhaj dan (apalagi) pendapat ulama mazhab tertentu. Pola bermazhab seperti itu, dalam khazanah pemikiran keislaman disebut dengan bermazhab dengan pola “talfiqi” (memadukan pemikiran antarmazhab), dengan pertimbangan: “memilih yang paling layak untuk dipilih” secara proporsional. Pemilihan metode “qiyas”, misalnya, jelas mengacu pada keberpihakan keempat imam mazhab pada pendekatan ta’lili, yang secara lebih jelas diperkenalkan oleh Imam asy-Syafi’i dan para pengikutnya. Sementara pemilihan metode “istihsan”, jelas mengacu pada Imam Abu Hanifah. Sedangkan pemilihan metode “mashlahah mursalah” dengan berbagai ragam pengembangannya, jelas mengacu pada Imam Malik. Dan diketika Muhammadiyah (melalui kajian tarjih) mengadopsi metode “istishhab”, maka secara tidak langsung juga mengakui keberadaan mazhab Hanabilah, yang merujuk pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.[4] Ihtitâm Muhammadiyah bukanlah sebuah mazhab, dan tidak berkeinginan untuk menjadikan dirinya sebagai mazhab baru. Tetapi, dalam perjalanan waktu temuan-temuan ijtihadnya bisa menjadi model bagi siapa pun, utamanya warga Muhammadiyah untuk dirujuk menjadi panduan dalam beragama, sehingga seolah-oleh menjadi mazbah baru. Dalam konteks mazhab dan bermazhab, hal itu bukanlah suatu yang tabu bagi Muhammadiyah. Tetapi, bagaimanapun juga kesediaan untuk bermazhab dan mengakui keberadaan mazhab tidak
  • 10. akan pernah menjebak Muhammadiyah untuk mengikatkan diri para mazhab tertentu, baik dalam pengertian manhaji apalagi qauli. Jadi, Muhammadiyah selamanya akan menempatkan diri sebagai kelompok terbuka untuk menerima, menolak, mengakomodasi, menghargai, mengeritik dan menyempurnakan setiap pemikiran keagamaan, (termasuk di dalamnya fikih), secara kritis, jujur dan terbuka dan penuh empati kepada pemikiran siapa pun dan dari mazhab mana pun dengan tetap konsisten untuk merujuk (kembali) kepada al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah. Dan oleh karenanya Muhammadiyah akan tetap berhimmah untuk menjadi “Yang Pertama dan Utama” untuk menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai marja’ (rujukan) dalam berislam secara kaffah dalam konteks tajdid (purifikasi dan pembaruan) yang proporsional dan bertanggungjawab . [1] Disampaikan dalam Pengajian Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta, di Kantor PDM Kota, pada hari: Rabu, tanggal: 7 April 2010. [2] Pimpinan Pusat Majelis Tarjih, Himpunan Putusan Tarjih, (Yogyakarta: PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, 1987), hal. 276 [3] Untuk lebih jelasnya, baca: Qodri A. Azizy, Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Scientific-Ijtihad (Jakarta: Teraju, 2003). [4] Perhatikan beberapa keputusan tarjih (Muhammadiyah) di seputar ibadah, yang lebih menekankan ihtiyâth (kehati-hatian).