SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 8
Descargar para leer sin conexión
1
Berpuasa Untuk Menggapai Takwa
Bulan Ramadhan adalah bulan al-Qurân. Semestinya di bulan al-
Qurân ini umat Islam mengencangkan ikat pinggang dan menancap gas
untuk lebih bersemangat membaca serta merenungkan isi al-Qurân al Karim.
Ya, perenungan isi al-Qurân hendaknya mendapat porsi yang besar dari
aktifitas umat muslim di bulan suci ini. Mengingat hanya dengan inilah umat
Islam dapat mengembalikan peran al-Qurân sebagai pedoman hidup dan
panduan menuju jalan yang benar.
ۚ
ۖ
ۗ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qurân sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS
al-Baqarah/2: 185)
Usaha yang mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering
dibacakan, dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu QS
al-Baqarah/2: 183, yang membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang mulia
tersebut berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS al-
Baqarah/2: 183)
2
Karena ayat ini – dalam pandangan para ulama -- mengandung
banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Oleh karenanya,
mari kita kupas ‘ibrah (pelajaran) yang mendalam pada ayat al-Qurân yang
mulia ini.
Ayat ini dimulai dengan nidâ’ (panggilan atau seruan) kepada
orang-orang yang beriman, dengan rangkaian kata:
“Wahai orang-orang yang beriman”
Dari lafazh ini diketahui bahwa ayat ini adalah ayat madaniyyah
atau (ayat) diturunkan pada periode Madinah (setelah hijrah, pen.),
sedangkan yang diawali dengan yâ ayyuhan nâs, atau yâ banî âdam, adalah
ayat makkiyyah atau (ayat) diturunkan pada periode Makkah (sebelum
hijrah, pen.).1
Ath-Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah: “Wahai
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan
keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”.2
Ibnu Katsir
menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ ini ditujukan
kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan
perintah untuk melaksanakan ibadah puasa.”3
Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa
dengan keimanan seseorang. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan
puasa kepada orang-orang yang memiliki ‘iman’, dengan demikian Allah
Subhânahu wa Ta’âlâ pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang
terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan
keimanan seseorang.
Lalu, apakah iman itu?
Iman secara bahasa artinya: “percaya atau membenarkan”.
Sebagaimana yang dijeaslan dalam ayat al-Qur’an:
1
Lihat, As-Suyuthi, Al-Itqân Fî ‘Ulum al-Qur’an, hal. 55
2
Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qur’an, juz III, hal. 409.
3
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I, hal. 497.
3
“Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah
orang-orang yang benar” (QS Yûsuf/12: 17)
Secara gamblang Rasulullah Shallallâhu ’Alaihi wa Sallam
menjelaskan makna iman dalam sebuah hadits:
“(Iman adalah) engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani
Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani
qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk”4
Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang
mengaku beriman. Maka orang enggan memersembahkan ibadah kepada
Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu
dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang enggan mengimani
Muhammad adalah Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada-
adakan ibadah yang tidak beliau tuntunkan, perlu dipertanyakan
kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya Malaikat, tidak
percaya datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu dipertanyakan
kesempurnaan imannya.
Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekadar percaya di
dalam hati. Imam asy-Syafi’i menjelaskan:
“Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu
berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah
satu pun dari tiga hal ini.”5
Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku
beriman namun enggan melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan
amalan-amalan lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau
4
Hadits Riwayat Muslim dari Umar bin al-Khaththab, Shahîh Muslim, juz I,
hal. 28, hal. 102.
5
Asy-Syafi’i, Syarh Ushûl I’tiqâd Ahl as-Sunnah, juz IV, hal. 149.
4
saya tidak berjilbab, yang penting hati saya berjilbab”. Jika imannya benar,
tentu hati yang ‘berjilbab’ akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu
memakai jilbab dan busana muslimah dengan benar. Oleh karena itu pula,
puasa sebagai amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman.
“Telah diwajibkan atas kamu berpuasa ”
Al-Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ telah menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang-
orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ juga
menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak
ada perselisihan pendapat mengenai wajibnya.”6
Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum
diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh
ayat:
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa),
maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.” (QS al-Baqarah/2: 184)
Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini,
kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum
(dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang yang tidak sedang bepergian
dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:
6
Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, juz II, hal. 272.
5
‘Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa‘
(QS al Baqarah/2: 185).”7
Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi
aqidah umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan al-Halabi – hafizhahullâh –
menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu
ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan
syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Karena
awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap
dianjurkan.”8
Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita, bahwa
ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh
mana ia menerapkan tauhid.
“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”
Al-Alusi dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud
dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam
‘Alaihi as-Salâm sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan
dengan adanya isim maushûl. Menurut ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs dan Mujâhid,
yang dimaksud di sini adalah Ahl al-Kitâb. Menurut al-Hasan, as Suddi, dan
as-Sya’bi, yang dimaksud adalah kaum Nasrani.
Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah
semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Karena suatu
perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang
banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.
Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat
sebelumnya, yaitu baik berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama
waktu pelaksanaannya, atau juga sama kadarnya”9
.
Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat
Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya,
sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya: “Terdapat
riwayat dari Muâdz ibn Jabal, Abdullâh ibn Mas’ud, ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs,
‘Atha’, Qatâdah, Adh-Dhahhâk bin Mazâhim, yang menyatakan bahwa
7
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I, hal. 500.
8
Ali Hasan al-Halabi, Shifatu Shaum an-Nabiy Fî Ramadhân, juz I, hal. 21.
9
Al-Alusi, Rûh al-Ma’âniî Fî Tafsîr al Qu’rîn al-‘Azhîm, juz II, hal. 121.
6
ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya,
kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadhan. Dalam
riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap
bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dengan puasa Ramadhan.”10
“Agar kalian bertaqwa”
Kata la’alla dalam al-Quran memiliki beberapa makna, di antaranya
ta’lîl (alasan) dan tarajji ‘inda al-mukhâthab (harapan dari sisi orang diajak
bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya
puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan
makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap
dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa.11
.
Ath-Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian
bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita
ketika puasa.”12
Al-Baghawi memerluas tafsir tersebut dengan penjelasannya:
“Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena
puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu
dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan,
maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari
makanan, minuman dan jima.”13
Dalam Tafsir Jalâlain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar
kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang
merupakan sumber maksiat”14
.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah taqwa itu?
Secara bahasa (Arab), taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang
artinya: “berhati-hati, waspada, atau takut”. Yang dimaksud dengan
10
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I, 497.
11
Lihat, Syihâb ad-Dîn Abû al-‘Abbâs ibn Yûsuf ib as-Samîn al-Halabiy,
Ad-Durr al-Mashûn fî 'Ulûm al-Kitâb al-Maknûn , hal. 138, dan As-Suyuthi, Al Itqân Fî
‘Ulûm al- Qur’ân, hal. 504.
12
Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz III, hal. 413.
13
Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, juz I, hal. 196.
14
Al-Mahalli dan as-Suyuthi, Tafsir al-Jalâlain, juz I, hal. 189.
7
bertaqwa dari maksiat: “waspada dan takut terjerumus dalam maksiat”.
Namun secara istilah, definisi taqwa yang terindah adalah yang diungkapkan
oleh Thalq bin Habib al-’Anazi:
“Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil),
mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan
takut terhadap adzab Allah.”15
Demikianlah sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa
beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat
dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ, bukan
atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taqlid buta, atau orientasi duniawi. Demikian
juga orang bertaqwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh
Allah dan Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang mengancam dengan
adzab yang mengerikan. Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin
tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil al-Qurân dan
sunnah Nabi Shallallâhu ’Alaihi wa Sallam. Jika seseorang memenuhi kriteria
ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:
“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa
di antara kalian” (QS al Hujurât/49: 13)
Setelah mengetahui makna taqwa, simaklah penjelasan indah
berikut ini dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullâh dalam
tafsirnya, tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa itu
salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang berpuasa
telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Selain itu,
keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan:
1. Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh
Allah berupa makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa
manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan
semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap
pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa’
15
Thalq bin Habib al-’Anazi, Siyar Ā’lamîn Nubalâ’ juz VIII, hal. 175.
8
2. Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada
Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal
sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa
diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa
Allah mengawasinya
3. Puasa itu memersempit gerak setan dalam aliran darah manusia,
sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya maksiat dapat
dikurangi
4. Puasa itu secara umum dapat memerbanyak ketaatan kepada Allah,
dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa
5. Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar. Sehingga
ia akan lebih peduli kepada orang-orang faqîr yang kekurangan. Dan
ini juga merupakan tabiat orang yang bertaqwa”16
Demikian kajian tafsir QS al-Baqarah/2: 183 yang dapat penulis
sajikan. Semoga bermanfaat.
Kita senantiasa bermohon kepada Allah agar puasa kita dapat
menjadi saksi di hadapan Allah tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan
semoga puasa kita bisa mengantarkan diri kita menuju derajat taqwa,
sehingga diri kita benar-benar menjadi hamba yang mulia di sisi Allah
Subhânahu wa Ta’âlâ.
Āmîn Yâ Mujîbas Sâilîn.
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Yulian Purnama, dalam
http://muslim.or.id/ramadhan/tafsir-surat-al-baqarah-183-berpuasa-
menggapai-takwa.html)
16
As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fi Tafsîri Kalâm al-Mannân, juz I, hal. 86.

Más contenido relacionado

La actualidad más candente

Rukun iman dan rukun islam
Rukun iman dan rukun islamRukun iman dan rukun islam
Rukun iman dan rukun islam
12110068
 
FIQH ZAKAT Materi 3 : Mustahiq zakat
FIQH ZAKAT Materi 3 : Mustahiq zakatFIQH ZAKAT Materi 3 : Mustahiq zakat
FIQH ZAKAT Materi 3 : Mustahiq zakat
Ahmad Haris Miftah
 

La actualidad más candente (20)

Ppt kelas 5 pel 7 iman kepada rasul allah
Ppt kelas 5 pel 7 iman kepada rasul allahPpt kelas 5 pel 7 iman kepada rasul allah
Ppt kelas 5 pel 7 iman kepada rasul allah
 
PPT Puasa Ramadhan
PPT Puasa RamadhanPPT Puasa Ramadhan
PPT Puasa Ramadhan
 
Tarhib Ramadhan 4.0
Tarhib Ramadhan 4.0Tarhib Ramadhan 4.0
Tarhib Ramadhan 4.0
 
Puasa ppt
Puasa pptPuasa ppt
Puasa ppt
 
PAI Kelas 9 BAB 1 - optimis.pptx
PAI Kelas 9 BAB 1 - optimis.pptxPAI Kelas 9 BAB 1 - optimis.pptx
PAI Kelas 9 BAB 1 - optimis.pptx
 
Ppt puasa
Ppt puasaPpt puasa
Ppt puasa
 
Tafsir wa Ta'wil
Tafsir wa Ta'wilTafsir wa Ta'wil
Tafsir wa Ta'wil
 
Rukun iman dan rukun islam
Rukun iman dan rukun islamRukun iman dan rukun islam
Rukun iman dan rukun islam
 
Aqiqah
AqiqahAqiqah
Aqiqah
 
Tadabbur Ayat-ayat Puasa
Tadabbur Ayat-ayat PuasaTadabbur Ayat-ayat Puasa
Tadabbur Ayat-ayat Puasa
 
Puasa Ramadhan
Puasa RamadhanPuasa Ramadhan
Puasa Ramadhan
 
Utang Piutang
Utang PiutangUtang Piutang
Utang Piutang
 
Kelas 9.Bab 2 Jujur dan Menepati janji
Kelas 9.Bab 2 Jujur dan Menepati janjiKelas 9.Bab 2 Jujur dan Menepati janji
Kelas 9.Bab 2 Jujur dan Menepati janji
 
Zakat fitrah dan zakat mal
Zakat fitrah dan zakat malZakat fitrah dan zakat mal
Zakat fitrah dan zakat mal
 
Aqidah islam
Aqidah islamAqidah islam
Aqidah islam
 
Ringkasan Sirah Nabawiyah
Ringkasan Sirah NabawiyahRingkasan Sirah Nabawiyah
Ringkasan Sirah Nabawiyah
 
FIQH ZAKAT Materi 3 : Mustahiq zakat
FIQH ZAKAT Materi 3 : Mustahiq zakatFIQH ZAKAT Materi 3 : Mustahiq zakat
FIQH ZAKAT Materi 3 : Mustahiq zakat
 
Indahnya hidup Bersama alqur’an.pdf
Indahnya hidup Bersama alqur’an.pdfIndahnya hidup Bersama alqur’an.pdf
Indahnya hidup Bersama alqur’an.pdf
 
Fiqih materi "Puasa"
Fiqih materi "Puasa" Fiqih materi "Puasa"
Fiqih materi "Puasa"
 
Keutamaan Puasa dan Ramadhan
Keutamaan Puasa dan RamadhanKeutamaan Puasa dan Ramadhan
Keutamaan Puasa dan Ramadhan
 

Similar a Tafsir surat al baqarah 183

Buletin Jumat LAZNas Karyawan Muslim Chevron Pusat Edisi Juni 2015
Buletin Jumat LAZNas Karyawan Muslim Chevron Pusat Edisi Juni 2015Buletin Jumat LAZNas Karyawan Muslim Chevron Pusat Edisi Juni 2015
Buletin Jumat LAZNas Karyawan Muslim Chevron Pusat Edisi Juni 2015
LAZNas Chevron
 
BUKU KEGIATAN BULAN RAMADHAN untuk sekolah 2.docx
BUKU KEGIATAN BULAN RAMADHAN untuk sekolah 2.docxBUKU KEGIATAN BULAN RAMADHAN untuk sekolah 2.docx
BUKU KEGIATAN BULAN RAMADHAN untuk sekolah 2.docx
BarikGhofur
 

Similar a Tafsir surat al baqarah 183 (20)

Makalah puasa sunnah
Makalah puasa sunnahMakalah puasa sunnah
Makalah puasa sunnah
 
E-BOOK RAMADAN SINDONEWS.pdf
E-BOOK RAMADAN SINDONEWS.pdfE-BOOK RAMADAN SINDONEWS.pdf
E-BOOK RAMADAN SINDONEWS.pdf
 
Makalah puasa
Makalah puasaMakalah puasa
Makalah puasa
 
Makalah puasa
Makalah puasaMakalah puasa
Makalah puasa
 
Fiqih ramadhan
Fiqih ramadhanFiqih ramadhan
Fiqih ramadhan
 
Ppt puasaaaa
Ppt puasaaaaPpt puasaaaa
Ppt puasaaaa
 
Kajian puasa
Kajian puasaKajian puasa
Kajian puasa
 
buku-kegiatan-ramadhan-SMKPH 2023.doc
buku-kegiatan-ramadhan-SMKPH 2023.docbuku-kegiatan-ramadhan-SMKPH 2023.doc
buku-kegiatan-ramadhan-SMKPH 2023.doc
 
Fiqh Ibadah Puasa
Fiqh Ibadah PuasaFiqh Ibadah Puasa
Fiqh Ibadah Puasa
 
Buletin Jumat LAZNas Karyawan Muslim Chevron Pusat Edisi Juni 2015
Buletin Jumat LAZNas Karyawan Muslim Chevron Pusat Edisi Juni 2015Buletin Jumat LAZNas Karyawan Muslim Chevron Pusat Edisi Juni 2015
Buletin Jumat LAZNas Karyawan Muslim Chevron Pusat Edisi Juni 2015
 
Impak Puasa Terhadap Muslim
Impak Puasa Terhadap MuslimImpak Puasa Terhadap Muslim
Impak Puasa Terhadap Muslim
 
Buku Kegiatan Ramadhan
Buku Kegiatan Ramadhan Buku Kegiatan Ramadhan
Buku Kegiatan Ramadhan
 
BUKU KEGIATAN BULAN RAMADHAN untuk sekolah 2.docx
BUKU KEGIATAN BULAN RAMADHAN untuk sekolah 2.docxBUKU KEGIATAN BULAN RAMADHAN untuk sekolah 2.docx
BUKU KEGIATAN BULAN RAMADHAN untuk sekolah 2.docx
 
Ramadhan
RamadhanRamadhan
Ramadhan
 
Buku Kegiatan Ramadhan - Versi 2.docx
Buku Kegiatan Ramadhan - Versi 2.docxBuku Kegiatan Ramadhan - Versi 2.docx
Buku Kegiatan Ramadhan - Versi 2.docx
 
12 hadits lemah dan palsu seputar ramadhan
12 hadits lemah dan palsu seputar ramadhan12 hadits lemah dan palsu seputar ramadhan
12 hadits lemah dan palsu seputar ramadhan
 
BUKU KEGIATAN RAMADHAN OK BOLAK BALIK CETAK.docx
BUKU KEGIATAN RAMADHAN OK BOLAK BALIK CETAK.docxBUKU KEGIATAN RAMADHAN OK BOLAK BALIK CETAK.docx
BUKU KEGIATAN RAMADHAN OK BOLAK BALIK CETAK.docx
 
Ramadhan
RamadhanRamadhan
Ramadhan
 
Buku Kegiatan Ramadhan - SD.docx
Buku Kegiatan Ramadhan - SD.docxBuku Kegiatan Ramadhan - SD.docx
Buku Kegiatan Ramadhan - SD.docx
 
Makalah puasa menurut pandangan hadits
Makalah puasa menurut pandangan haditsMakalah puasa menurut pandangan hadits
Makalah puasa menurut pandangan hadits
 

Más de Muhsin Hariyanto

Pembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahPembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyah
Muhsin Hariyanto
 
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Muhsin Hariyanto
 
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanIstighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
Muhsin Hariyanto
 
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMemahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Muhsin Hariyanto
 
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Muhsin Hariyanto
 
10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul
Muhsin Hariyanto
 
Inspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamInspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayam
Muhsin Hariyanto
 
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifBerbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Muhsin Hariyanto
 

Más de Muhsin Hariyanto (20)

Khutbah idul fitri 1436 h
Khutbah idul fitri 1436 hKhutbah idul fitri 1436 h
Khutbah idul fitri 1436 h
 
Pembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahPembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyah
 
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
 
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanIstighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
 
Etika dalam berdoa
Etika dalam berdoaEtika dalam berdoa
Etika dalam berdoa
 
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMemahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
 
Manajemen syahwat
Manajemen syahwatManajemen syahwat
Manajemen syahwat
 
Manajemen syahwat
Manajemen syahwatManajemen syahwat
Manajemen syahwat
 
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
 
10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul
 
Khitan bagi wanita (01)
Khitan bagi wanita (01)Khitan bagi wanita (01)
Khitan bagi wanita (01)
 
Strategi dakwah
Strategi dakwahStrategi dakwah
Strategi dakwah
 
Sukses karena kerja keras
Sukses karena kerja kerasSukses karena kerja keras
Sukses karena kerja keras
 
Opini dul
Opini   dulOpini   dul
Opini dul
 
Inspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamInspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayam
 
Tentang diri saya
Tentang diri sayaTentang diri saya
Tentang diri saya
 
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifBerbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
 
Ketika kita gagal
Ketika kita gagalKetika kita gagal
Ketika kita gagal
 
Jadilah diri sendiri!
Jadilah diri sendiri!Jadilah diri sendiri!
Jadilah diri sendiri!
 
Gatotkaca winisuda
Gatotkaca winisudaGatotkaca winisuda
Gatotkaca winisuda
 

Tafsir surat al baqarah 183

  • 1. 1 Berpuasa Untuk Menggapai Takwa Bulan Ramadhan adalah bulan al-Qurân. Semestinya di bulan al- Qurân ini umat Islam mengencangkan ikat pinggang dan menancap gas untuk lebih bersemangat membaca serta merenungkan isi al-Qurân al Karim. Ya, perenungan isi al-Qurân hendaknya mendapat porsi yang besar dari aktifitas umat muslim di bulan suci ini. Mengingat hanya dengan inilah umat Islam dapat mengembalikan peran al-Qurân sebagai pedoman hidup dan panduan menuju jalan yang benar. ۚ ۖ ۗ “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qurân sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS al-Baqarah/2: 185) Usaha yang mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering dibacakan, dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu QS al-Baqarah/2: 183, yang membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang mulia tersebut berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS al- Baqarah/2: 183)
  • 2. 2 Karena ayat ini – dalam pandangan para ulama -- mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Oleh karenanya, mari kita kupas ‘ibrah (pelajaran) yang mendalam pada ayat al-Qurân yang mulia ini. Ayat ini dimulai dengan nidâ’ (panggilan atau seruan) kepada orang-orang yang beriman, dengan rangkaian kata: “Wahai orang-orang yang beriman” Dari lafazh ini diketahui bahwa ayat ini adalah ayat madaniyyah atau (ayat) diturunkan pada periode Madinah (setelah hijrah, pen.), sedangkan yang diawali dengan yâ ayyuhan nâs, atau yâ banî âdam, adalah ayat makkiyyah atau (ayat) diturunkan pada periode Makkah (sebelum hijrah, pen.).1 Ath-Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah: “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”.2 Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa.”3 Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki ‘iman’, dengan demikian Allah Subhânahu wa Ta’âlâ pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang. Lalu, apakah iman itu? Iman secara bahasa artinya: “percaya atau membenarkan”. Sebagaimana yang dijeaslan dalam ayat al-Qur’an: 1 Lihat, As-Suyuthi, Al-Itqân Fî ‘Ulum al-Qur’an, hal. 55 2 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qur’an, juz III, hal. 409. 3 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I, hal. 497.
  • 3. 3 “Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (QS Yûsuf/12: 17) Secara gamblang Rasulullah Shallallâhu ’Alaihi wa Sallam menjelaskan makna iman dalam sebuah hadits: “(Iman adalah) engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk”4 Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Maka orang enggan memersembahkan ibadah kepada Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang enggan mengimani Muhammad adalah Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada- adakan ibadah yang tidak beliau tuntunkan, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya Malaikat, tidak percaya datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekadar percaya di dalam hati. Imam asy-Syafi’i menjelaskan: “Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini.”5 Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau 4 Hadits Riwayat Muslim dari Umar bin al-Khaththab, Shahîh Muslim, juz I, hal. 28, hal. 102. 5 Asy-Syafi’i, Syarh Ushûl I’tiqâd Ahl as-Sunnah, juz IV, hal. 149.
  • 4. 4 saya tidak berjilbab, yang penting hati saya berjilbab”. Jika imannya benar, tentu hati yang ‘berjilbab’ akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu memakai jilbab dan busana muslimah dengan benar. Oleh karena itu pula, puasa sebagai amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman. “Telah diwajibkan atas kamu berpuasa ” Al-Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang- orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ juga menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai wajibnya.”6 Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat: “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah/2: 184) Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini, kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum (dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang yang tidak sedang bepergian dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat: 6 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, juz II, hal. 272.
  • 5. 5 ‘Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa‘ (QS al Baqarah/2: 185).”7 Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi aqidah umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan al-Halabi – hafizhahullâh – menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Karena awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap dianjurkan.”8 Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita, bahwa ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh mana ia menerapkan tauhid. “Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian” Al-Alusi dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihi as-Salâm sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushûl. Menurut ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs dan Mujâhid, yang dimaksud di sini adalah Ahl al-Kitâb. Menurut al-Hasan, as Suddi, dan as-Sya’bi, yang dimaksud adalah kaum Nasrani. Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Karena suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja. Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau juga sama kadarnya”9 . Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muâdz ibn Jabal, Abdullâh ibn Mas’ud, ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs, ‘Atha’, Qatâdah, Adh-Dhahhâk bin Mazâhim, yang menyatakan bahwa 7 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I, hal. 500. 8 Ali Hasan al-Halabi, Shifatu Shaum an-Nabiy Fî Ramadhân, juz I, hal. 21. 9 Al-Alusi, Rûh al-Ma’âniî Fî Tafsîr al Qu’rîn al-‘Azhîm, juz II, hal. 121.
  • 6. 6 ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dengan puasa Ramadhan.”10 “Agar kalian bertaqwa” Kata la’alla dalam al-Quran memiliki beberapa makna, di antaranya ta’lîl (alasan) dan tarajji ‘inda al-mukhâthab (harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa.11 . Ath-Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita ketika puasa.”12 Al-Baghawi memerluas tafsir tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jima.”13 Dalam Tafsir Jalâlain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat”14 . Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah taqwa itu? Secara bahasa (Arab), taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang artinya: “berhati-hati, waspada, atau takut”. Yang dimaksud dengan 10 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I, 497. 11 Lihat, Syihâb ad-Dîn Abû al-‘Abbâs ibn Yûsuf ib as-Samîn al-Halabiy, Ad-Durr al-Mashûn fî 'Ulûm al-Kitâb al-Maknûn , hal. 138, dan As-Suyuthi, Al Itqân Fî ‘Ulûm al- Qur’ân, hal. 504. 12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz III, hal. 413. 13 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, juz I, hal. 196. 14 Al-Mahalli dan as-Suyuthi, Tafsir al-Jalâlain, juz I, hal. 189.
  • 7. 7 bertaqwa dari maksiat: “waspada dan takut terjerumus dalam maksiat”. Namun secara istilah, definisi taqwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq bin Habib al-’Anazi: “Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah.”15 Demikianlah sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ, bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taqlid buta, atau orientasi duniawi. Demikian juga orang bertaqwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang mengancam dengan adzab yang mengerikan. Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil al-Qurân dan sunnah Nabi Shallallâhu ’Alaihi wa Sallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS al Hujurât/49: 13) Setelah mengetahui makna taqwa, simaklah penjelasan indah berikut ini dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullâh dalam tafsirnya, tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa itu salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Selain itu, keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan: 1. Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa’ 15 Thalq bin Habib al-’Anazi, Siyar Ā’lamîn Nubalâ’ juz VIII, hal. 175.
  • 8. 8 2. Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah mengawasinya 3. Puasa itu memersempit gerak setan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya maksiat dapat dikurangi 4. Puasa itu secara umum dapat memerbanyak ketaatan kepada Allah, dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa 5. Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar. Sehingga ia akan lebih peduli kepada orang-orang faqîr yang kekurangan. Dan ini juga merupakan tabiat orang yang bertaqwa”16 Demikian kajian tafsir QS al-Baqarah/2: 183 yang dapat penulis sajikan. Semoga bermanfaat. Kita senantiasa bermohon kepada Allah agar puasa kita dapat menjadi saksi di hadapan Allah tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan semoga puasa kita bisa mengantarkan diri kita menuju derajat taqwa, sehingga diri kita benar-benar menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Āmîn Yâ Mujîbas Sâilîn. (Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Yulian Purnama, dalam http://muslim.or.id/ramadhan/tafsir-surat-al-baqarah-183-berpuasa- menggapai-takwa.html) 16 As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fi Tafsîri Kalâm al-Mannân, juz I, hal. 86.