1. RESENSI BUKU
“BUS BIS BAS”
(Berbagai Masalah Bahasa Indonesia)
OLEH :
REZKA JUDITTYA 44110010131
SURYADI PARTA WIJAYA 44110010130
NUZUL TRIAWAN 44110010134
Fakultas Ilmu Komunikasi program studi
Broadcasting
Universitas Mercu Buana
Jakarta
1
2. BUS BIS BAS (Berbagai Masalah Bahasa Indonesia)
Identitas Buku
Judul Buku : BUS BIS BAS (Berbagai Masalah Bahasa Indonesia)
Pengarang : Ajib Rosidi
Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun terbit : Desember 2010 (Cetakan Pertama)
Halaman : ±226
Harga Buku : Rp 52.000,00
Tujuan Pengarang
Memberikan suatu pandangan kepada para pembaca tentang perubahan-perubahan bentuk
penggunaan kata-kata Bahasa Indonesia sehari- hari, yang di pengaruhi oleh berbagai
macam faktor, seperti budaya,serta merasakan mirisnya bahasa nasional sudah tidak bisa di
hargai oleh berbagai oknum pengguna bahasa.
Tujuan Resensator
Resensi buku BUS BIS BAS (Berbagai Masalah Bahasa Indonesia) ini ditujukan untuk tugas
akhir mata kuliah Bahasa Indonesia Fakultas Ilmu Komunikasi, Program Studi Broadcasting
Universitas Mercubuana, Jakarta. Tugas ini juga merupakan sarana pembelajaran kami
bagaimana cara menulis sebuah karya ilmiah yang baik, serta isi dari buku yang kami resensi
ini sangatlah menyadari kami sebagai resensator tentang kurang berartinnya bahasa
nasional kita di mata sebagian orang yang menggunakannya.
2
3. Kepengarangan
Ajib Rosidi (di baca : ayib rosidi) adalah seorang sastrawan
bahasa Indonesia, lahir di Jatiwaringin, Majalengka, Jawa Barat pada
tanggal 31 Januari 1938.
Ketika masih duduk di SMP menjadi redaktur majalah Suluh
Pelajar (Suluh Peladjar) (1953-1955) yang tersebar ke seluruh
Indonesia. Kemudian menjadi pemimpin redaksi bulanan Prosa
(1955), Mingguan (kemudian Majalah Sunda (1965-1967), bulanan
Budaya Jaya (Budaja Djaja, 1968-1979). Mendirikan dan memimpin Proyek Penelitian
Pantun dan Folklor Sunda (PPP-FS) yang banyak merekam Carita Pantun dan
mempublikasikannya (1970-1973).
Bersama kawan-kawannya, Ajip mendirikan penerbit Kiwari di Bandung (1962),
penerbit Cupumanik (Tjupumanik) di Jatiwangi (1964), Duta Rakyat (1965) di Bandung,
Pustaka Jaya (kemudian Dunia Pustaka Jaya) di Jakarta (1971), Girimukti Pasaka di Jakarta
(1980), dan Kiblat Buku Utama di Bandung (2000). Terpilih menjadi Ketua IKAPI dalam dua
kali kongres (1973-1976 dan 1976-1979). Menjadi anggota DKJ sejak awal (1968), kemudian
menjadi Ketua DKJ beberapa masaja batan (1972-1981). Menjadi anggota BMKN 1954, dan
menjadi anggota pengurus pleno (terpilih dalam Kongres 1960). Menjadi anggota LBSS dan
menjadi anggota pengurus pleno (1956-1958) dan anggota Dewan Pembina (terpilih dalam
Kongres 1993), tapi mengundurkan diri (1996). Salah seorang pendiri dan salah seorang
Ketua PP-SS yang pertama (1968-1975), kemudian menjadi salah seorang pendiri dan Ketua
Dewan Pendiri Yayasan PP-SS (1996). Salah seorang pendiri Yayasan PDS H.B. Jassin (1977).
Sejak 1981 diangkat menjadi guru besar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku
(Universitas Bahasa Asing Osaka), sambil mengajar di Kyoto Sangyo Daigaku (1982-1996)
dan Tenri Daignku (1982-1994), tetapi terus aktif memperhatikan kehidupan sastera-budaya
dan sosial-politik di tanah air dan terus menulis. Tahun 1989 secara pribadi memberikan
Hadiah Sastera Rancagé setiap yang kemudian dilanjutkan oleh Yayasan Kebudayaan
Rancage yang didirikannya.
3
4. Setelah pensiun ia menetap di desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Magelang, Jawa
Tengah. Meskipun begitu, ia masih aktif mengelola beberapa lembaga nonprofit seperti
Yayasan Kebudayaan Rancagé dan Pusat Studi Sunda
Keunggulan Buku
Buku Bus Bis Bas ini menyajikan tentang kasalahan dalam penggunaan kata ataupun kalimat
dalam bahasa indonesia, yang di sajikan secara menarik dengan berbagai contoh kesalahan
beserta asal mula terjadinya kesalahan tersebut. Pembaca mungkin tertarik dengan isi dari
buku ini karena mengupas seluk beluk pemakaian bahasa yang kita gunakan sehari-hari,
sehingga kita pun dapat mengetahui,serta mempelajari pemakaian bahasa yang benar
Kelemahan Buku
Kelemahan buku ini adalah kata-kata dari si pengarang yang sangat baku sehingga kadang
kala sebagai orang awam yang kurang mengerti tata penulisan bahasa Indonesia yang baik
dan benar kita mungkin akan sedikit rancu, namun hal itu tidak terlalu berarti, karena
keseluruhan isi dari bacaan ini sangatlah menarik.
4
5. Sinopsis
Perjalanan Menjadi “Aku”
Penulis Merasa heran ketika mendengar kemenakan dan anak-anak muda yang
berbicara dengannya mempergunakan kata ganti orang pertama “aku”, sebab kata ganti
orang pertama yang beliau sering gunakan adalah “saya”. Begitu pula dengan teman sebaya
beliau yang mempergunakan kata “saya”, dan kata ”aku” biasannya hanya di gunakan pada
teks sastra bahasa saja.
Penulis merasa bahwa Hal tersebut menunjukan adannya perubahan sosial yang
mempengaruhi alam pikiran tiap individu anggota masyarakat pemakai bahasa. Kata “saya”
di anggap merendahkan martabat seseorang, karena “saya” berasal dari kata “sahaya” atau
sama dengan”hamba” atau juga ” hamba sahaya”, yang berarti budak belian. Kata “hamba”
bermaksud merendah,dalam ati kita mengahargai orang yang kita ajak berbicara. Setelah
masa kerajaan usai “hamba” tidak di pergunakan karena dianggap sangat rendah, maka di
gantikan dengan kata “sahaya” atau “saya”. Kata “aku” hanya di pergunakan pada orang
yang sama derajatnya,atau sudah sangat akrab,dan orang sumatera lebih fasih
mengucapkannya di bandingkan dengan daerah lain. Di Jakarta kata “aku” di pengaruhi oleh
budaya,dan berubah menjadi “gua”, atau “ gue”. Katanya, kata ini berasal dari dielek
cina,yang dahulu menetap di jakarta.Karena Jakarata merupakan pusat ibukota negara,
maka kata “gue” mudah tersebar di berbagai wilayah. Lian lagi dengan suku jawa,yang
menyebutkan “kami” sebagai kata ganti untuk dirinya sendiri, yang sebenarnnya kata ganti
“kami” di gunakan untuk kata ganti orang pertama jamak,mungkin karena suku jawa
menganggap kata “saya” pun kurang sopan jika berbicara dengan orang lain,terutama
dengan orang yang berderajat lebih tinggi. Berbagai perubahan sebutan kata ganti sangatlah
membingungkan, dan ternyata pejalanan dari ”hamba”.”saya”.”kami”, sampai dengan kata
”aku” sangatlah panjang.
5
6. Kegagalan “Anda”
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang kongkrit,karaena dalam pemakaiannya
harus merujuk kepada orang yang di akjak berbicara,dan yang di bicarakan,dan kadang kala
membuat repot beberapa pihak,karena haruslah menyesuaikan diri.
Hal tersebut mungkin juga di alami oleh seorang wartawan senior H. Rosihan Anwar.
Karena dahulu beliau bersekolah di sekolah belanda,dan mempergunakan bahasa Belanda
sebagai pengantar,maka beliau agak kerepotan untuk mencari kata ganti orang pertama,dan
lebih lagi orang kedua yang tepat di pergunakan. Sejak saat itu,pada tahun 1958 muncul
gagasan dari beliau untuk memakai kata ganti orang kedua. Beliau mengusulkan kepada
pembacanya tentang kata ganti yang tepat,dan kata “ you” yang dianggap sangatlah tepat
untuk di pergunakan,kata tesebut di usulkan oleh seorang mayor penerbang dari daerah
Palembang, yang berarti “anda” dalam bahasa Indonesia.
Setelah lama,akhirnya “ anda” menjadi populer di masyarakat,dan sering terdengar
secara lisan, maupun tulisan di surat-surat kabar. Keinginan H. Rosihan ternyata tidak bisa
mewakili kata ganti orang kedua dalam bahasa Indonesia, malah menjadikan kata tersebut
satu –satunya kata ganti orang kedua, atau malah menambah kata ganti orang kedua,yang
sebelumnnya sudah ada kata “Saudara”,” Bapak”,” Ibu”,” dan lainnya sesuai dengan situasi
kongkrit dengan pembicara. Kata “anda” mungkin di rasa tidak sopan jika kita berbicara
dengan orang yang lebih tua,atau di hormati. Alhasil jika kita menggunakannya maka orang
yang kita ajak berbicara tersebut pastilah akan merasa marah.
Dari hal tersebut terlihat kegagala H. Rosihan Anwar dalam mencari kata ganti orang
kedua yang sepadan dengan “you”. Karena dalam bahasa itu sangatlah erat pertaliannya
dengan budaya yang ada di dalam masyarakat,dan hal itulah yang tidak beliau pahami, jadi
dalam setiap menggunakan sebutan pastilah di sesuaikan dengan si pembicara,dan siapa
yang di bicarakan, serta siapa yang di ajak berbicara.
6
7. Mengeja Nama Sendiri
Pada masa revolusi Mr. Suwandi, menteri pendidikan pengajaran dan kebudayaan
(sekarang Kementrian Pendidikan Nasional), mengubah pengejaan bahasa Indonesia dengan
menggunakan huruf latin yang sebelumnya di atur dalam ejaan Van Ophyusen (1901),
perubahan terbesar adalah penggantian “oe” dengan “u” . Penggunaan “oe” yang di
bunyikan sebagai”u” berasal dari bahasa Belanda. Van Ophyusen adalah orang Belanda yang
di tugaskan untuk mengatur penulisan ejaan bahasa melayu,dengan menggunakan bahasa
Olanda(Latin). Kerena pada masa itu banyak orang menulis dengan sembarangan , seperti
kata “air”, ada yang menulis dengan “aer”,”ayir”,” ayer”, dan lain sebagainnya.
Pada masa Mr.Suwandi, ada seorang ahli purbakala bernama Suhamir, mengusulkan
agar bahasa Indonesia lebih efisien,sebaiknnya menukar “oe” dengan “u”. Pemakaian kata
“oe” sangatlah mudah di gunakan dalam bahasa Belanda, sedangakan “U” dalam bahasa
Belanda jga di pergunakan,namun di bunyikan secara berbeda, kadang kala di bunyikan “a”.
Namun dalam bahasa Indonesia “u” selalu berbunyi “u” di mana pun di tempatkannya.
Dalam penulisan nama, ejaan di serahkan sepenuhnnya oleh si empunya nama, dan
semenjak itu banyak orang yang mempunyao nama “oe” mengganti namannya dengan
menggunakan “u”, seperti Maria Ulfah, Usmar Ismail, Mochtar Lubis, dan lain-lain.
Walaupun begitu tetap saja ada yang mempertahankan ejaan Van Ophuysen, seperti,
Boedjoeng Saleh, atau mengkombinasikannya seperti pada nama Pramudya Ananta
Toer,dimana pada kata “Toer” merupakan nama dari orang tua beliau. Atau dengan
berbagai cara penulisan lainnya.
Sekarang ini pun penulisan nama menurut EYD juga di serahkan kepada si empunya
nama, bagaimana mereka menulis serta mengaeja namannya sendiri, hal itu mungkin di
adopsi dari masyarakat bahasa Inggiris,yang menyebutkan ”How do you spell it ?”, atau juga
bahasa Jepang tentang bagaiman mengeja nya dalam huruf kanji. Para pakar penyusun EYD
nampaknnya bercermin dari 2 negara tersebut,tanpa memikirkan bahwa bahsa Indonesia
memiliki watak yang berbeda dengan bahasa Inggris atau juga Jepang.
“Sistim” dan “ Sistem”
7
8. Bukti bahwa penyusun EYD bercermi pada bahasa Inggris terdapat pada kata “sistim”
yang di ubah menjadi “sistem”. “Sistim” berasal dari bahasa Belanda (yang mempengaruhi
bahasa Indonesia pada masa penjajahan ), yang di tulis “systeem”. Mengapa di ubah
menjadi “sistem”, yang konon berasala dari bahasa Inggris “system”?
Alasan dari para pakar EYD adalah kata- kata asing harus di eja sesuai dengan ejaan
bahasa Inggris. Hal tersebut menimbulkan masalah karena banyak kata-kata bahasa Belanda
yang masuk ke perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia,dan telah di anggap
pribumi,padahal kata tersebut ada juga di dalam bahasa Inggris.
Tidaklah semua kata yang berasal dari bahasa Belanda di Inngriska,contohnnya :
“televisi”,”administrasi”,” kombinasi”,” polusi”, yang dalam bahasa Belanda ”televisie”,”
administratie”,” combinatie”,”poluttie”. Hal tersebut menunjukan ketidak konsisten an EYD.
Seharusnya kata-kata pinjaman, pungutan dari bahasa asing menjadi milik kita,
karena sedah melebur ke dalam bahasa Indonesia,dan tidak perlu di ganti, atau di buang
selama kita masih mempergunakannya.
Perubahan bunyi “i” menjadi “e”(pepet) tersebut tidak berhenti di situ saja. Lihat
saja presiden ke dua kita Soeharto yang tidak bisa menybutkan akhiran –kan, melainkan
dengan -ken. Hal tersebut mungkin juga di pengaruhi oleh budaya jawa, atau daerah
lainnya yang berakhir dengan “e”(pepet)
Ketidakkonsistenan EYD
8
9. Penulis telah membuktikan bahwa EYD tidak konsisten, namun sebenarnya EYD
penuh dengan ketidakkonsistenan. Hal tersebut menjadi aneh, karena EYD merupakan
“pembakuan bahasa”, maksudya EYD harus menjadi pedoman atau rujukan bagi mereka
yang ingin berbahasa Indonesia baku.
Adanya pasal dari EYD yang membebaskan ejaan sebuah nama sesuai dengan
pemiliknya sendiri. Hal tersebut sangatlah membingungkan bagi oarng lain yang ingin
menyebutkan nama seseorang,dan dalam pencarian ensiklopedia mungkin sebuah nama
yang berbeda huruf atau bacaan mungkin dapat menyesatkan para pembaca, jika tidak di
tambah dengan keterangan yang lebih memperjelas status seorang tersebut.
Ketidak konsisiten lain adalah masih di gunakannya huruf ganbung untuk sebuah
fonem, seperti contoh “ng, dan “ny” yang sering di pakai di dalam bahasa Indonesia, alasan
mereka masih menggunakan kedua huruf tersebut sangatlah simpel, bahwa huruf yang
sesuai tidak ada di mesin cetak atau mesin ketik manapun,sehingga sukar untuk di pakai.
Satu contoh lagi adalah penggunaan huruf ”e” (pepet),dan ”e” (tajam), seperti kata
“macet”,”ruwet”,”gamelan”,”televisi”,”gerebek”,”ide” dan lain sebagainnya. Dari kasus
tersebut seharusnya di beri penyelesaian yang jelas agar tidak terjadi salah ucap.
Bus Bis Bas
9
10. Perkataan bis dan bus berasal dari bahasa Belanda bus. Dalam bahasa Belanda vokal u
diucapkan dekat seperti vokal eu dalam bahasa Sunda, tetapi terletak antara mengucapkan
vokal u dan i. Oleh karena itu, sebagian yang mendengarnya dekat dengan ucapan vokal i,
menyebutnya bis, sedangkan mereka yang mendengarnya dekat dengan ucapan vokal u,
menulisnya dengan bus, sama dengan ejaannya dalam bahasa Belanda. Dalam praktik
sehari-hari kita menyaksikan kedua perkataan itu, baik yang ditulis bus maupun yang ditulis
bis sering kita jumpai digunakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi II (1991)
kedua kata itu tercantum sebagai entri. Kata bis mempunyai salah satu arti yang dirujuk
kepada entri bus yang artinya yang pertama "kendaraan bermotor angkutan umum yang
besar, beroda empat, atau lebih yang dapat memuat penumpang banyak."
Dengan demikian, KBBI mengakui baik bis maupun bus sebagai kata bahasa Indonesia yang
sah. Tidak ada keterangan yang menyatakan salah satunya baku atau tidak baku. Artinya,
keduanya baku.
Dalam bahasa Malaysia, kendaraan seperti itu disebut bas, karena mereka mengambilnya
dari bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris walaupun ditulis seperti dalam bahasa Belanda,
yaitu bus, diucapkan bas. Bahasa Malaysia secara konsisten menuliskan kata-kata pinjaman
dari bahasa Inggris sama dengan cara diucapkannya, namun dengan EYD.
Akan tetapi, dalam bahasa Indonesia, meskipun bersepakat dengan Malaysia menggunakan
EYD, dalam menuliskan kata-kata dari bahasa asing (baik dari bahasa Inggris maupun bahasa
Belanda atau bahasa asing lainnya), sering tidak konsisten menggunakan EYD, sehingga kita
menemukan truck yang seharusnya truk, condominium yang seharusnya kondominium;
cover yang seharusnya kover, credit yang seharusnya kredit, dan lain-lain. Begitu pula ada
yang menulis manager ada yang menulis manajer; ada yang menulis diskon ada yang
menulis discount dan diskonto; ada yang menulis subyek tetapi ada yang menulis subjek
(dan keduanya dianggap baku oleh KBBI), begitu pula ada yang menulis obyek dan ada yang
menulis objek, dan lain-lain.
Sampai sekarang Pusat Bahasa agaknya merasa cukup hanya dengan menerbitkan KBBI
sebagai rujukan cara penulisan yang seharusnya. Sayangnya, KBBI juga setiap edisi sering
menimbulkan kontroversi dengan edisi sebelumnya, seperti ditunjukkan Duta Besar Belanda
10
11. Nikolaos van Dam ketika membahas KBBI edisi IV dengan membandingkannya dengan edisi
III dalam rubrik Wisata Bahasa ("PR", 28/6).
Menulis dengan ejaan semaunya itu setiap hari kita lihat dalam surat-surat kabar, majalah-
majalah dan bahkan juga dalam buku-buku yang diterbitkan lembaga resmi pemerintah
yang seharusnya lebih taat dalam menggunakan EYD.
Di samping itu, aturan EYD tentang penulisan awalan, akhiran, dan preposisi juga tampak
belum dikuasai oleh banyak pengguna bahasa Indonesia, sehingga mereka tidak
membedakan waktu menulis awalan di dan ke dengan menulis preposisi di dan ke, sehingga
semuanya disatukan atau semuanya dipisahkan. Sehingga sering kita baca, "Dia dipukul
gurunya dikelas", atau "Dia di pukul gurunya di kelas", atau, "Dia kepergok oleh istrinya
ketika bulan Puasa makan sate dipasar", atau, "Dia ke pergok oleh istrinya ketika bulan
Puasa makan sate di pasar", dan lain-lain.
Pemakaian akhiran an dan kan juga sering menimbulkan kekacauan, sehingga kita baca
tulisan "Rumah ini akan dikontrakan" (dengan satu k), artinya akhiran yang digunakan
adalah akhiran an, karena kata dasarnya kontrak, padahal seharusnya akhiran kan, sehingga
harus ditulis dikontrakkan (dengan dua k). Kata dasarnya kontrak, bukan kontra. Bagi
mereka yang sering kebingungan apakah harus menggunakan satu atau dua huruf k,
sebaiknya mereka mencoba membentuk kata searti yang huruf akhirnya bukan huruf k,
misalnya kata beri maka akan menjadi diberikan, kalau musnah maka akan menjadi
dimusnahkan. Artinya, akhiran yang digunakan adalah kan, sehingga kata yang berakhir
dengan huruf k itu harus ditulis dengan dua k (kk).
Kekeliruan-kekeliruan seperti itu sebenarnya tidak usah terjadi kalau yang menulisnya sering
memperhatikan bagaimana kata-kata demikian ditulis dalam buku-buku yang baik
bahasanya seperti karya-karya sastra. Kekeliruan penulisan itu hanya menunjukkan bahwa
yang menulisnya kurang bergaul dengan bahasa dan kalimat-kalimat bahasa nasionalnya.
Seharusnya ada buku standar tentang penggunaan bahasa Indonesia yang bisa dijadikan
pegangan buat seluruh bangsa dalam berbicara atau menulis dalam bahasa nasional. Orang
Inggris punya buku-buku Oxford yang mereka jadikan pedoman dalam berbahasa, orang
Belanda mempelajari "beschafde Hollands.
11
12. Kata Penghubung yang Hilang
Di pinggir jalan di kota Muntilan Jawa Tengah menuju ke kawasan Borobudur,ada
sebuah toko kerajinan perak bakar yang memasang papan merek sangat besar berbunyi “
Anshor’s Silver. Cabang Kota Gede.” Penulis terheran ketika melihat bacaan tersebut,
mengapa ada cabang Kota Gede ( bagian dari kota Yogyakarta) berada di kabupaten
Magelang,pinggiran jalan menuju Borobudur?. Menurut pengajaran bahasa Indonesia yang
pengarang dapat, bahwa “cabang” adalah tempat perwakilan dar sebuah instasi,
perusahaan, atau juga organisasi yang berada di wilayah tersebut, sebsgsi contoh “ Partai
Nahadatul Ulama cabang Magelang”, berate di magelang itu merupakan kantor cabang,
sedangkan pusatnya berada di Jakarta. Jadi kalimat yang benar adalah “Anshor’s
Silver.Cabang dari Kota Gede.” Artinya yang terletak di jalan Borobudur tersebut merupakan
cabang,sedangkan pusatnya berada di Kota Gede.
Penghilangan kata penghubung pada kasus tersebut dapat menimbulkan kesalah
pahaman. Menghilangkan kata penghubung dengan alasan “ekonomisasi bahasa” yang
biasa di peruntukan oleh wartawan, untuk memadatkan suatu berita dapat menimbulkan
kesan yang jauh ,serta dapat mempengaruhi pemakaian bahasa Indonesia dalam
masyarakat,dan juga kekacauan pada masa yang akan datang.
Logika dalam Bahasa
Para pakar bahasa Indonesia mempunyai kecenderungan hendak menata, bahkan
“menertibkan” pemakaian bahasa Indonesia agar “logis”. Contohnya :
12
13. • Rombongan itu terdiri dari 24 orang → rombongan itu terdiri atas 24 orang.
• Saya datang ke Jakarta sore hari → saya datang di Jakarta sore hari.
Kata “ terdiri dari” dalam contoh pertama digantikan dengan kata “terdiri atas”, karena
mungkin berdasarkan logikanya, orang yang berdiri itu selalu di atas sesuatu. Lalu pada
contoh kedua, kata penghubung “ke” hanya boleh dipakai dalam hubungan dengan kata
kerja “pergi”, seperti contoh “Saya pergi ke Balikpapan”. Keduan ungkapan tersebut sudah
jadi, lalu kita sebagai pemakainya adalah mempergunakan sebagaimana adanya.
Kata “auto mobile” yang berasal dari bahasa Inggris, dan diadopsi ke dalam bahas
Indonesia menjadi “oto” dan “mobil”, yang artinya adalah bergerak sendiri. Namun dalam
bahasa Malaysia, menyebutkan benda tersebut dengan “kereta” yang dalam bahasa
Indonesia merupakan “kereta api” atau “kereta mesin”. Orang Malaysia sepakat
menyebutkan “mobil” ( dalam bahasa Indonesia) sebagai “kereta”.
Dari pemakaian kata yang berbeda untuk menamakan benda yang sama, terlihat
bahwa setiap pemakaian bahasa, memilih dan menyepakati kata – kata yang hendak
dipakainya. Dan dalam pemiihan dan kesepakatan itu, tidak ada sama sekali logika yang
digunakan.
Contoh lain dari logika bahasa, terdapat tanda kalimat “ Wah, wangi orang
menggoreng ikan!”, padahal yang dimaksud adalah wangi ikan yang sedang digorenng. Tapi
mereka yang mendengar kalimat tersebut tidak akan mengira bahwa yang dimaksud oleh si
pembicara adalah parfum yang dipakai oleh orang yang sedang menggoreng ikan itu. Bahasa
mempunyai logika sendiri berupa ungkapan.
Kata Pungutan yang Mengusung Arti Asalnya.
Sebagai bahasa yang sedang tumbuh, bahasa Indonesia banyak memungut kata, baik
dari bahsa asing, maupun bahasa daerah. Dalam sejarah perjalanannya, pada awalnya kata
13
14. – kata dari bahasa sanskerta banyak yang masuk ke dalam perbendaharaan kata bahasa –
bahasa di nusantara, termasuk bahasa melayu, tetapi terutama bahasa – bahasa di pulau
Jawa dan Bali. Kemudian masuklah kata – kata pungutan dari bahasa Arab, seiring dengan
datangnya agama Islam. Dan disaat penjajah Belanda, bahasa Indonesia banyak
memungutnya. Sekarang bahasa Indonesia setiap hari memungut kata – kata baru dari
bahasa Inggris. Bahkan kata – kata dalam perbendaharaan bahasa Melayu yang telah
menjadi bahasa Indonesia pun dianggap kurang “gengsi”, contoh :
• pilihan → opsi ( berasal dari bahasa Inggris = option )
• penerangan → informasi ( berasal dari bahasa Inggris = information )
• lambang → simbol ( berasal dari bahasa Inggris = symbol )
Begitu pula dengan kata – kata yang dipungut dari bahasa Belanda yang sudah populer,
sehingga seakan sudah menjadi milik sendiri banyak yang dikalahkan oleh kata – kata dari
bahasa Inggris, seperti “redaktur” oleh “editor”, “korting” oleh “ diskon”, “sositet” oleh
“club house”, dan sebagainya. Ada juga kata yang ditulis seperti pungutan dari bahasa
Belanda, diucapkan secara bahasa Inggris, seperti “klub” diucapkan “klab”, “uniform”
diucapkan “yuniform”, dan lain – lain.
“Perempuan” dan “Wanita”
Pada masa pasca orde baru, kata “perempuan” tampil lagi. Tadinya kata tersebut
hampir dilupakan, karena ada kata “wanita” yang menggantikannya. Pada waktu itu ada
anggapan, kata “perempuan” itu kasar dan sekarang orang justru menganggap kata tersebut
lebih menghargai kaum yang dianggap lemah itu, karena berasal dari kata “empu” atau
tempat “berempu”. Sedang kata “wanita” dianggap hanya memandang mereka sebagai
obyek syahwat laki – laki sejalan dengan ungkapan “tahta, harta, dan wanita” sebagai tujuan
hidup dan keberhasilan laki – laki dalam hidup hedonis.
Dalam masa tersebut, bahas Indonesia mengalami proses feodalisasi yang intensif,
mungkin karena presiden Soeharto hendak memaksakan kebudayaan Jawa Mataram yang
feodal menjadi anutan seluruh bangsa Indonesia.
14
15. Setelah masa reformasi, kata – kata feodalistik demikian cenderung dihindarkan.
Kata “ perempuan” dipopulerkan lagi akan tetapi, berbahasa feodalistik, terutama di
kalangan birokrat terlanjur sudah melembaga, sehingga sampai sekarang juga masih
terdengar. Ada juga yang masih beranggapan bangsa kita masih bersifat feodal, yang
menduduki jabatan di watas, wajar kalau diperakukan sebagai raja, sedangkan rakyatnya
harus melayani atasannya.
Dalam masyarakat demokrasi sistem berbahasa seperti itu bertentangan dengan
keegaliteran sesame manusia. Islam yang menganggap manusia sama dimata Allah SWT,
kecuali ketakwaannya, niscaya tidak akan membeda – bedakan manusia berdasarkan darah
dan kedudukan sosialnya.
Arti Kata yang Berubah dan Kata Majemuk
Dahulu dalam bahasa Melayu ( dan Indonesia) kata “ acuh” tak pernah berdri sendiri,
selalu dalam bentuk kata jadian ( “ tidak diacuhkan”, “ tidak mengacuhkan”, “ tidak acuhkah
dia?”) dan selalu dalam bentuk negative. Ungkapan yang yang tepat adalah “ dia bersikap
acuh tak acuh”, artinya tak memperdulikan orang lain.
Dalam beberapa belas tahun belakangan ini, kata tersebut sering kita dapati berdiri
sendiri, misal “ orang semua sibuk bekerja, dia acuh saja”. Dalam hubungan pengertian,
kalimat tersebut dahulu akan diucapkan “ orang semua sibuk bekerja, dia bersikap acuh tak
acuh saja .”
Perkataan lain yang menglami proses demikian adalah “ bergeming”, yang berarti
tidak jatuh atau ambruk waktu dipukuli, seperti dalam “ dia dipukul dengan keras, tetapi
tidak bergeming”. Namun sekarang kata “ bergeming” itu sendiri sering digunakan dengan
arti “ tidak bergeming”. Misalnya, “ dia bergeming meskipun diserang kiri kanan.”
Pertukaran arti seperti itu harusnya diteliti dengan cermat. Tetapi tidak mustahil hal itu
disebabkan oleh pemakaian kurang cermat waktu pertama kali menyerap kata – kata
tersebut.
15
16. Gejala lain yang menari adalah pembentukan kata majemuk dari dua kata yang
mempunyai atri yang sama. Misalnya kata “ pencak” ( dari bahasa Sunda “penca”) yang
artinya sama dengan silat dalam bahasa Melayu. “ Pondok” dan “pesantren” yang berasal
dari Jawa dan Sunda. Mengapa kata tersebut disatukan, padahal dengan menggunakan
salah satu dari kata tersebut, sudah jelas artinya.
Pembentukan kata – kata majemuk dengan arti yang sama, nampaknya produktif
juga dalam penggunaan kata seperti, “ menumbuh – kembangkan”,” menjelas – terangkan”
dan sebagainya.
Rujukan Berbahasa
Dalam berbahasa Indonesia orang berpegang pada contoh yang ada. Pengajaran BI
di sekolah harusnya menjadi tempat pembelajaran para siswa mengambil contoh berbahasa
“ yang baik dan benar”. Pribahasa Melayu yang berbunyi “ bahasa menunjukkan bangsa”
bukanlah berarti bahwa bahasa yang digunakan oleh seseorang menunjukkan
kebangsaannya. Meskipun menggunakan bahasa Inggris, orang India Filipina, Australia,
Kanada dan Amerika, bukanlah bangsa Inggris. Pengertian “ bangsa” disitu bukanlah nasion (
nation ), melainkan “
bangsawan “. Artinya cara seseorang berbicara atau berbahasa menunjukkan apakah dia
keturunan bangsawan atau bukan. Mengapa? Karena dahulu hanya orang – orang
bangsawanlah yang mewajibkan keturunannya mempelajari berbahasa dengan tertib dan
baik, sehingga dapat menyampaikan pikiran dan perasaannya dengan tertib dan baik pula.
Berbahasa sekarang hamper sepenuhnya diserahkan kepada sekolah ( bukan hanya
berbahasa ), kita tahu hasilnya jauh dari memuaskan. Di luar sekolah, dengan waktu yang
lebih lama, anak – anak dibiarkan belajar berbahasa sendiri, karena bahasa hanya dianggap
sebagai ekspresi pribadi, sehingga yang dipentingkan adalah “ bahasa gaul”. Dan “ bahasa
gaul” itu pulalah yang banyak digunakan dalam televisi ( terutama sinetron ), sehingga anak
dengan leluasa belajar menggunakannya sendiri. Yang pada umumnya anak – anak lebih
suka menonton televisi daripada membaca yang bahasanya lebih baik, namun tulisan –
16
17. tulisan yang ada dalam bacaan anak – anak, seperti tabloid atau artikel pada Koran juga
menggunakan bahasa gaul dengan alasan agar lebih diminati ( artinya dibeli atau dilanggan
untuk anak – anak, dengan kata lain tujuannya semata – mata bersifat komersial ).
Orang – orang tua pun dalam berbahasa kebanyakan mencontoh bahasa televisi dan
surat kabar yang susunan kalimat dan piihan kata – katanya sering semaunya, karena
berprinsip “ asal dimengerti”, sehingga kalau berbicara mereka juga “ asal dimengerti”.
Sesungguhnya sekarang terbuka lebar kesempatan untuk lembaga perguruan tinggi
untuk menyusun buku – buku yang dapat dijadikan rujukan berbahasa masyarakat. Peranan
Oxford University dan Cambridge University dapat saja dilaksanakan oleh salah satu
perguruan tinggi di Indonesia untuk member contoh bahasa Indonesia yang dapat dijadikan
rujukan seluruh bangsa.
“Kita“ dan “Kami”
Dalam bahasa Indonesia kita mengenal kata “ kami” dan “ kita” sebagai kata ganti
orang pertama jamak. Dalam pemakaian sehai – hari sekarang dalam masyarakat, kedua
kata itu sering dipertukarkan. Yang seharusnya “ kami”, digunakan “ kita”. Kata “ kita” juga
sering digunakan sebagai kata ganti orang pertama tunggal. Kedua kata itu diwarisi dari
bahasa Melayu, dan ada ketentuan yang membedakan kata tersebut. Dan dalam bahasa
Indonesia juga ada perbedaan itu.
Baik “ kita” maupun “ kami” adalah kata ganti orang pertama jamak, atau istilah KBBI
: “ pronomina persona pertama” . Bedanya “kita” memasukkan orang yang diajak berbicara,
sehingga meliputi “ saya”, “ dia” atau “ mereka”, dan “ kamu”; sedangkan “kami” tidak
memasukkan orang yang diajak berbicara.
Adanya kata “ kita” dan “ kami” sebagai kata ganti orang pertama jamak yang
mempunyai perbedaan arti, merupakan suatu yang khas bahasa Melayu dan juga bahasa
Indonesia. Dalam bahasa Inggris hanya ada “ we”. Mungkin itu pula lah maka timbul
17
18. rancuan antara “ kita” dan “ kami” dalam penggunaannya dalam masyarakat sekarang, yaitu
di kalangan mereka yang terdidik dan tengah belajar bahasa Inggris.
Kelebihan yang kita punyai itu, ialah punya istilah “ kita “ dan ” kami” yang punya arti
berbeda merupakan kekayaan bangsa yang khas. Yang seharusnya pemakaiannya digunakan
dengan tertib. Perbedaan antara “kita” dan “kami” sebagai kekayaan khas bangsa Indonesia,
sebaiknya tetap dipertahankan, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia kaya dengan nuansa.
Cecak dan Buaya
Dalam ilmu bahasa ada yang disebut metafora, atau perumpamaan, yaitu menyebut
sesuatu padahal yang dimaksudnya yang lain, contoh “ lidahnya tajam”, maksudnya bukan
mengatakan bahwa orang itu memiliki lidah yang tajam seperti pisau melainkan orang itu
sering berucap kata – kata menyakiti. Metafora yang sering diulang digunakan oleh semua
orang dalam suatu bahasa, sehingga menjadi kekayaan bahasa tersebut, dinamakan
peribahasa atau ungkapan. Istilah “ metafora” diapakai untuk menyebut perumpamaan
baru. Para sastrawan dan pemimpin, umpamanya sering membuat metafora baru yang
orisinal, misalnya Chairil Anwarmenyebutkan dirinya sebagai “binatang jalang yang dari
kumpulannya terbuang”, begitu juga para pemimpin dalam pidatonya, seperti Soekarno
dalam pidatonya yang kemudian disebut “ lahirnya Pancasila” menyebut kemerdekaan
bangsa dengan “ jembatan emas”.
Dengan demikian metafora lahir setiap saat dari mulut atau pena pengguna bahasa,
baik sastrawan maupun pemimpin, karena itu ketika beberapa waktu yang lalu seorang
petinggi kepolisian mengucapkan semacam metafora yang maksudnya hendak menyatakan
bahwa wakil ketua KPK yang telah menyebut namanya sehubungan dengan kasusnya itu tak
punya kekuatan yang berarti dibandingkan dengan dirinya, “ cecak melawan buaya”
menimbulkan tanda Tanya. Memang kalau membandingkan kekuatan fisik, cecak tidak ada
artinya dibanding buaya, tetapi dalam pengertian lain, dapat dikonotasikan tertentu,
sehingga mengasosiasikan pikiran pendengarnya akan sipat – sipat buruk yang sudah
melekat pada “buaya”.
18
19. Ke Luar Kota
Waktu masih tinggal di Jakarta, kalau ada orang yang mau menemui tetapi pada
waktu yang dia sebutkan saya tidak aka nada di tempat, karena pergi keluar Jakarta, saya
dengan mudah mengatakan, “ maaf ya, waktu itu saya tidak aka nada di rumah, akan pergi
keluar kota”. Hal yang wajar, karena saya tinggal di sebuah kota, yaitu Jakarta. Walaupun
sebenarnya saya tinggal di kampong yang termasuk pinggiran kota Jakarta.
Tetapi sekarang saya tinggal di desa Pabelan, di tengah sawah, bukan kota, maka
kalimat seperti itu tidak bisa saya gunakan. Tidak lazim orang mengatakan, “ maaf ya, pada
waktu itu saya tidak akan ada di rumah, saya pergi keluar desa” walaupun kenyataannya
begitu.
Ungkapan “ pergi keluar kota” berarti pergi dari kota tempat tinggal yang
bersangkutan, tanpa mempedulikan apakah perginya itu memang keluar kota ( = desa)
ataukah ke kota lain yang sebenarnya bukan “ luar kota”. Namun orang yang mendapat
jawaban demikian tidak akan peduli apakah orang yang hendak dia kunjungi itu pergi keluar
kota benar – benar atau tidak, yang penting baginya bahwa dia tidak bisa bertemu dengan
orang tersebut di tempatnya.
Yang paling aman ialah mengatakan bahwa “ maaf ya, pada waktu itu saya tidak aka
nada di tempat.” Jawaban demikian dapat juga disampaikan walaupun saya tinggal di
Jakarta atau kota lain.
Istilah “ di luar kota” digunakan untuk menyebut tempat yang bukan berada dalam
atau di kota. Berbeda dengan ungkapan “ pergi keluar kota” yang bisa berarti “ pergi ke kota
lain”, maka ungkapan ” tinggal di luar kota, hanya bisa berarti bahwa dia tidak tinggal di
dalam kota, melainkan di desa atau kampong.
Istilah “ luar kota” bisa berarti tempat yang juah dari “ kota”, artinya bisa “ desa”
bisa juga “ kampong”. Yang jelas bukan lagi termasuk “ kota” tetapi istilah “ luar kota” lebih
kuat berasosiasi dengan “ kota” daripada denga “ desa” apalagi “ kampung”. Orang
19
20. cenderung mengatakan “ saya tinggal di luar kota”, dari pada mengatakan “ saya tinggal di
desa” atau “ kampung”. Karena dia ingin termasuk ke golongan orang sekolahan yang tau
sopan santun dan peradaban.
“Pasca” – Bagaimana membacanya?
Setelah EYD disahkan pada tahun 1972, muncul kata “pasca” yang segera menjadi
popular. Kata – kata yang menggunakan “pasca” bermunculan : pasca sarjana, pasca pemilu,
dan lain – lain.
Karena dipopulerkan setelah peresmian penggunaan EYD, maka saya mengira kata
“pasca” diucapkan seperti kata “ pastja” dalam ejaan lama. Karena itu saya bingung, ketika
dalam televisi, orang – orang pintar ada yang mengucapkan “ pasca sarjana “ itu bukan “
pasca sarjana” menurut ejaan lama, melainkan “ paska sarjana”. Mungkin karena “ Coca –
Cola” diucapkan “ Koka – Kola” ,” Canada” diucapkan “ Kanada”, “ Casablanca “ dibaca “
Kasablanka”. Jadi, “ C” dibaca “K”. padahal dalam EYD dikatakan bahwa “ C” menggantikan “
TJ” .
Sebenarnya ada pedoman penulisan istilah dari bahasa asing, namun karena kurang
dipopulerkan dan karena pihak Pusat Bahasa sendiri merasa cukup, hanya dengan
menerbitkan pedoman – pedoman demikian, tidak diikuti oleh usaha mempopulerkannya.
Dengan melakukan pendekatan – pendekatan khusus secara langsung kepada pengguna
bahasa, maka kekacauan tersebut terus terjadi.
Huruf Latin
Sekarang bahasa Indonesia terutama ditulis dengan menggunakan huruf Latin yang
oleh orang Malaysia disebut huruf Rumi. Sebelumnya ( dan sebenarnya sekarang juga masih
ada yang melakukannya ), bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia ditulis
dengan huruf Arab. Huruf Arab yang digunakan untuk menulis bahasa Melayu disebut juga
20
21. dengan huruf Jawi. Yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa disebut huruf Pegon,
sedangkan yang digunakan untuk menulis bahasa Sunda adalah huruf Arab gundul.
Huruf latin dperkenalkan untuk menulis bahasa Melayu oleh orang Belanda dan
Inggris. Orang Belanda memperkenalkan huruf Latin untuk menulis bahasa MElayu ( dan
bahasa ibu lainnya. ) di wilayah jajahannya, yaitu Hindia Belanda yang kemudian menjadi
wilayah Republik Indonesia. Sedangkan orang Inggris memperkenalkan huruf Rumi untuk
menulis bahasa Melayu di wilayah jajahannya juga.
Walaupun bahasa Belanda dan bahasa Inggris ditulis dengan menggunakan tulisan
yang sama yaitu huruf Latin, namun ejaan yang mereka pakai berlainan. Ejaan bahasa
Belanda boleh dikatakan secara konsisten. Melafalkan setiap huruf tetap walaupun
ditempatkan dimanapun juga dalam kata meskipun ada huruf rangkap (oe, tj, dj,ng,nj,au).
Berlainan dengan bahasa Inggris yang melafalkan huruf tertentu berbeda dalam beberapa
kalimat
Penguasaan Bahasa
Dai hasil riset murid SD, hasilnya menunjukan bahwa lebih dari seribu orang yang
kemampuan berbahasanya sangat rendah dan hanya sebagian kecil saja yang cukup baik.
Umumnya mereka tidak menguasai EYD, tiak dapat mnggunakan kata yang tepat, dan belum
mampu menyusun kalimat secara tertib. Sebenarnya keterampilan berbahasa dapat dilatih
tidak secara khusus yang menghabikan waktu belajar. Kemampuan anak dalam berbahasa
akan semakin baik bila mereka juga gemar membaca buku.kemampuan membaca akan
memperluas wawasan dan kearifan oang. Dan sayangnya kegemaran membaca bangasa kita
temasuk yang terendah di dunia.
Peranan Pers dalam Pengembangan Bahasa
21
22. Peanan pers dalam perkembangan bahasa melayu menjadi bahasa nasional Indonesia telah
diakui secara uninum pada tanggal 28 Oktober 1928. Peran itu semakin besar karena
sesudah merdeka pers yang ada semua menggunakan bahasa Indonesia, hanya beberapa
yang menggunakan bahasa Inggris. Dalam bahasa lisan radio dan televisi sering kita dengar
bahasa yang rancu dimana penyiar menyampaikan kata-kata atau nama-nama asing yang
sepertinya tidak dikenal oleh si pembawa berita. Hal itu karena kemalasan si pembawa
berita yang tidak mau mencari arti kata tersebut didalam kamus. Kemalasan lain yang juga
banyak berpengaruh dalam penggunaan bahasa ialah meluluhkan semua huruf “p” jika
mendapat awalan me-.
“Sama”, “Dengan”, dan “Oleh”
Pengaruh bahasa Melayu Pasar dalam bahasa Indonesia telah berlangsung lama. Saat itu
hanya satu atau dua majalah yang menggunakan bahasa yang disebut Melayu Tinggi.
Meskipun sebagian orang menganggap bahasa Melayu Pasar merupakan bahasa yang
buruk, namun tokoh Pembina bahasa Indonesia S. Takdir Alisjahbana sudah mekaui arti
bahasa melayu pasar untuk pengembangan bahasa Indonesia.
Lafal Baku Bahasa Indonesia
Ada yang berpendapat bahwa lagam bahasa Indonesia yang baik adalah lagam Medan.
Tetapi itu hanya pendapat segelintir orang saja, jangankan disepakati oleh forum yang
berwenang. Masalah pengucapan dan lagam berbahasa lisan merupakan bagian dari ilmu
bahasa yang kurang mendapat perhatian ahli bahasa. Memang bahas yang digunakan di Ibu
Kota Negara member pengaruh yang besar di negara tersebut. Di Indonesia sebagian besar
acara televisi menyiarkan bahasa gaul yang bertumpu pada dialek Jakarta. Dan sangat jarang
sekali bahasa Indonesia baku tampil di layar kaca. Biarkanlah berbagai lagam bahasa
tumbuh dan berkembang secara wajar. Yang tidak boleh apabila dipaksakaan atau dibuat-
buat.
Interfensi Bahasa
22
23. Interfensi biasanya dilakukan oleh orang dwibahasawan. Orang Indonesia yang hidup
dengan berbagi bahasa melihat interfensi bukan sutu hal yang ganjil. Setiap orang Indonesia
yang hidup di pedalaman atau kota-kota kecil paling tidak mengenal dua macam bahasa
yaitu bahasa ibu dan bahasa nasional bahkan bahasa asing. Interfensi itu terjadi karena
mereka menggunakan bahasa Indonesia yang bukan bahasa ibunya.
Hukum DM
Dalam bahas Indonesia kata-kata majemuk susunan yang sebaliknya, bukan kata yang
menerangkan lebih dulu melainkan kata yang diterangkan dahulu. S. Takdir Alisjahbana
manyebutakan bahwa di Indonesia berlaku hukum DM, yaitu kata yang diterangkan
letaknya sebelum kata yang menerangkan. Ketentuan demikian jauh berbeda dengan
bahasa Inggris atau Belanda yang mendahulukan menerangkan dari pada diterangkan.
Kemalasan Birokrat
Terkadang banyak orang merasa malas dan hanya ingin enaknya saja dalam mengerjakan
sesuatu misalnya membuat surat. Mereka terbiasa memanfaatkan teknologi percetakan
dengan membuat surat secara seragam dan hanya mengosonkan bagian nama, dan tanggal.
Surat diseragamkan untuk dikirimkan ke siapa saja. Tanpa memperhatiakan siapa yang
dituju serta maksud dan tujuannya. Sikap yang demikian niscaya akan membuat oaang yang
dikirimi merasa tidak dihormati dan dihagai sebagai pribadi karena penulis tidak tertarik
untuk mengenali dan memperhatikan orang yang dituju.
Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu
Dalam UU NO 24/2009 tentang bendera , bahasa, dan lambang Negara serta lagu
kebangsaan, tedapat hal yang menarik yaitu tidak dinyatakan bahwa bahasa Indonesia itu
sumbernya adalah bahasa Melayu. Padahal secara gamblang telah dinyatakan dalam
23
24. kongres bahas Indonesia bahwa sumber bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu. Mungkin
para penyusun UU tersebut tidak mau menyebut bahasa Melayu karena dalam kanyataan
sejarah terdapat beberapa macam bahasa Melayu, untuk meminimalisasikan kesalahan
lebih baik tidak menyebutkan sama sekali. Kemungkinn kedua adalah hubungan kedua
Negara yang selalu pasang surut. Bagaimanapun bahasa Indonesia bersumber dari bahasa
melayu yang disebut sebagai bahasa perasatuan nagara Indonesia. Bahasa Indonesia
walupun sama-sama berasal dari bahasa melayu seperti bahasa Malaysia tetapi dalam
perkembangannya menempuh jalan sendiri yang belainan dengan jalan yang ditempuh oleh
bahasa melayu.
Kata-kata yang Membedakan Kelamin
Dalam bahasa Indonesia sebenarnya tidak dibedakan kata-kata yang digunakan untuk
menyebut laki-laki atau perempuan. Sehingga ada beberapa orang yang membentuk kata-
kata pembeda antra laki-laki dan perempun seperti pemuda-pemudi, mahasiswa-mahasiswi
dsb. Pada dasarnya bahasa Indonesia tidak mengenal penembahan huruf vocal di ujung
sebagai pembeda tersebut. Penggunaan “I”, atau akhiran “wati” memang lebih hemat dari
pada pemakaian kata keterangan tetapi dalm berbahasa orang tidak selau berhemat-hemat.
Masing-masing bahasa mempunyai sifat yang khas tidak bisa begitu saja diganti dengan sifat
khas yang bersal dari bahasa asing.
“Agamis” - Apa Artinya?
Dalam surat kabar dn majalah islam sering kita baca istilha agamis. Misalnya “Dia sangat
agamis”. Maksudnyadia itu orang yang taat agama.kata agama mendapat akhiran “is” yang
berasala dari bahasa Belanda. Penggunaan akhiran “is” dari bahasa Belanda menunjukana
sifat, yang banyak digunakan dalam kata-kata yang dupungut dari bahasa Belanda. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata agamis tidak dapat kita temukan, yang ada adalah kata
agama-is. Namun kata tersebut sangat jarang kita temukan dalam pemakaian sehari-hari.
Maka jelaslah bahwa penulis kamus tersebut menganggap akhiran “is”tersebut bersala dari
akhiran “isch” bahasa Belanda yaitu bersifat keagamaan.
24
25. Peribahasa
Peribahasa adalah kelompok kata atua kalimat yang mengiaskan makna tertentu.
Peribahasa sebenarnya berasal dari percakapan, yaitu bahasa lisan.peribahasa berkembang
sesuai dengan zaman, banyak peribahasa yang lenyap karena tidak sesuai dengan
perkembangan zaman. Sementara itu terus lahir berbagai peribahasa baru seperti “merdeke
atau mati” pada masa revolusi dsb. Peribahasa adalah ungkapan yang walaupun tidak
langsung namun secara tersirat menyampaikan hal yang dapat dipahami oleh pendengarnya
atau pembacanya. Peribahasa merupakan kekayaan bahasa yang digunakan, dengan
demikian menjadi kekayaan budaya bangsa yang memilikinya yang tidak patut dibuang
namun selayaknya terus dilestariakan.
Ungkapan
Salah satu bentuk peribahasa menurut KBBI adalah ungkapan. Ungkapan adalah kelompok
kata atau gabungan kata yang memiliki makna khusus. Dalam KBBI terdapat juga entri
“idiom” yaitu konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna angota-
angotanya misalnya “ kambing hitam” yaitu mereka yang tidak tahu apa-apa. Pembentukan
ungkapan seperti peribahasa juga, terus berlangsung sesuai perkembanagan pengalaman
masyarakat. Tetapi banyak juga ungkapan yang muncul sebentar dan dilupakan karena tidak
lagi sesuai dengan zaman cointoh “setan desa”, penyambung lidah rakyat”, “sumbangan
wajib” dsb. Dengan demikian ungkapan merupakan ekspresi bangsa sepanjang sejarah
sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Kegemaran Membaca
Selama Negara Republic Indonesia berdiri, tak pernah ada pemerintah yang menganggap
perlu mendidik warganegaranya untuk gemar membaca. Hanya sekitar tahun 50-an
25
26. pemerintah menganggap perlu mendirikan pepustakaan rakyat disetiap Kabupaten. Tetapi
karena tehambat masalah ekonomi, maka program tersebut dihentikian. Setelah Negara
makmur pemerintah mulai menyediakan perpustakaan tetapi tidak menganggapnya sebagai
suatu prioritas. Kegemaran membaca adalah syarat yang tidak bisa ditiadakan untuk
memajukan msyarakat dan bangsa. Hanya masyarakat dan bangsa yang kegemaran
membacanya tinggi yang dapat mencapai kemajuan.
Kamus
Disamping kitab suci kamus merupakan buku yang paling banyak diterbitkan di Indonesia.
Mereka yang pernah duduk di sekolah menengah niscaya merasa perlu mempunyai kamus,
terutama kamus Ingris-Indonesia. Kamus itu bermacam-macam ada kamus eka bahasa dan
dwi bahasa. Kamus eka bahasa adalah kamus yang memberikan arti atau padanan dari
setiap kata dalam suatu bahasa dengan bahasa itu sendiri. Kamus dwi bahasa yaitu kamus
yang memuat padanan kata dari suatu bahasa dengan bahasa lainnya.
Penterjemah
Adalah S. Takdir Alisjahbana yang sejak lama mendesak pemerintah untuk untuk mendirikan
biro penterjemah. Niat itu timbul ketika ia mengikuti perkembanga bangsa jepang dimana
kaisar meiji hendak mengejar ketinggalan bangsa dan negaranya dari kemajuan bangsa
barat yang mengalahkannya. Tetapi pemerintah Indonesia dari mulai berdiri sampai
sekarang tidak pernah menghiraukannya jangankan mangikutinya. Menurut beliau jika
hanya membaca buku yang terdapat dalam bahasa Indonesia saja bangsa kita tidak akan
maju. Seharusnya penterjemah karya penting dari seluruh dunia menjadi program nasional
yang tidak hanya menterjemahkan buku-buku ilmiah saja melainkan segala macam buku
yang penting demi kemajuan bangasa kita. Ketika menjajah bangsa kita banyak orang
Belanda yang melakukan berbagai penelitian dan pendokumentasian yang ditulisnya dalam
bahasa Belanda. Sedangkan orang yang mempunyai kemampun berbahas Belanada semakin
sedikt maka hasil penelitian dan pendokumentasian itu sekarang hanya jadi tumpukan yang
tidak berguna.
26
27. Bahasa Menunjukan Bangsa
Dalam bahasa Melayu ada sebuah peribahasa yaitu “Bahasa menunjukan bangsa”. Kata
bangsa disitu tidak menunjuk pada arti “bangsa” yang sekarang popular, yaitu sama artinya
dengan “nasion”. Dengan demikian peribahasa tersebut merujuk pada cara bicara dan isi
pembicaraan orang “berbangsa” yang berlainan dengan cara bicara dan isi pembicarn orang
kebanyakan. Artinya dengan mendengar dan cara seseorang berbicara , kita bias
mengetahui apakah dia oranag berbangsa atau orang kebanyakan. Setelah terjun ke
masyarakat hanya bahasa pokok yang bisa dimengerti sedangkan kesusasteraannya tidak
pernah dianggap penting dalam pendidikan. Pemakaian bahasa tidak hanya sekedar
mempegunakan kata-kata yang jelas artinya, melainkan juga mempergunakan kata-kata
dengan situasi dan kesopanan masyarakat tempatnya bicara.
Kata-kata yang Berubah Arti
Dalam perkembangan setiap bahasa, memang selalu terjadi pegeseran arti kata-kata. Dalam
bahasa Indonesia pun hal demikian sering terjadi. Kata “bapak” yang berarti hanya ayah
atau laki-laki yang menjadi suami ibu kita dan kata “ibu” yng hanya berarti perempuan yang
melahirkan kita, sekarang digunakan untuk menyebut laki-laki atau perempuan yang
dianggap terhormat atau lebih tua dari kita. Arti baru yang diberikan pada kata-kata lama
telah memperkaya kekayaan bahasa tersebut. Tetapi karena bahasa terus hidup dan
berkembang, terkadang kamus selalu ketinggalan dalam mencatatnya. Yang menjadi maslah
di Indonesia adalah para penyusun kmus hanya berdasarkan kamus yang sudah ada dan
mengabaikan bahasa yang digunakan sehari-hari. Seharusnya kata, istilah, dan ungkapan
baru itu atau kata, istilah dan ungkapan lama yang diberi arti baru itu dicatat dalam kamus.
Retorika
Menurut KBBI retorika artinya keterampilan berbahsa secara efektif, seni berpidato yang
muluk-muluk dan bombastis. Kata retorika yang berarti seperti itu sering kita dengar
27
28. diucapkan oleh para politisi dan pengamat politik Indonesia. Mereka suka menghambur-
hamburkan kata yang artinya tidak jelas dan sulit ditangkap. Retorika dalam arti demikian
sudah menjadi makanan sehari-hari para politisi dan pemimpin Indonesia, apalagi dalam
janji kampanye pamilu. Di Indonesia retorika diajarkan di pesantren untuk tujuan keindahan
dalam melakuakan khutbah. Tetapi dalam perkembangaannya hanya menjadi keindahan
bunga-bunga kata yang tidak berubah.
Ucapan Salam
Kalau dua orang bertemu maka dalam bahasa Indonesia mereka biasa bertanya
kepada yang lain, “Apa kabar?” pertanyaan itu diajukan bukan karena dia ingin mengetahui
kabar terakhir, dan juga tidak menanyakan segala hal yanh berkaitan dengan orang yang
ditanya itu. Ungkapan itu adalah semata-mata kebiasaan orang dalam bahasa Indonesia
untuk membuka salam dan mungkin membuka percakapan selanjutnya. Yang ditanya juga
biasa menjawab “Baik” walaupun mungkin dia sebenarnya hendak pergi ke dokter atau
beberapa hari sebelumnya dia mendapat musibah.
Ucapan salam itu merupakan kalimat-kalimat yang boleh dikatakan tidak ada
artinya, atau ada artinya tapi orang yang mendengarnya tidaklah mengartikannya
sebagaimana arti kalimat itu yang sesungguhnya. Ucapan salam sudah menjadi basa-basi
atau kebiasaan yang diterima begitu saja.
Pada tahun 1960-an, seorang anggota DPRD-GR Jawa Barat mempersoalkan
tentang ungkapan “Kumaha damang?” yang biasa di ucapkan orang Sunda bila bertemu
dengan yang lain. Beliau mempersoalkan arti kalimat tersebut karena menyiratkan arti
bahwa orang Sunda selalu sakit-sakitan mungkin karena kurang makan atau selalu dianggap
baru sembuh habis sakit. Beliau menyarankan agar ungkapan tersebut diganti dengan
ungkapan yang lain.
Perlu diketahui bahwa orang Jepang pun memiliki kebiasaan yang sama bila
bertemu sesamanya dan membuka salam dengan “O genki desuka?” yang artinya sama
seperti “Kumaha damang?”. Tak pernah ada keterangan bahwa pernyataan itu mengartikan
bahwa orang Jepang yang selalu sakit-sakitan. Walaupun mengherankan juga mengapa
ungkapan tersebut sama artinya sebagai pembuka percakapan.
28
29. Ucapan salam yang tak ada artinya atau biasanya tidak diartikan seperti arti yang
sebenarnya itu, sudah menjadi kebiasaan yang maksudnya tidak lain untuk membuka
percakapan. Kata-kata itu hanyalah basa-basi yang dibelakangnya mempunyai arti bahwa
orang yang mengucapkannya itu bersedia untuk melanjutkan percakapan dengan orang
yang dia tegur. Jika hubungannya sudah sedemikian erat mungkin ungkapan yang
dilontarkan pun berbeda. Hubungan yang sudah erat tidak memerlukan basa-basi lagi.
Mungkin dia langsung berteriak “Hai!” atau semacamnya saja sudah cukup untuk menegur
lawan bicara.
Bahasa tubuh juga berperan dalam mengucapkan salam seperti: berjabat tangan,
menganggukkan kepala, membungkukkan badan hingga derajat sampai derajat tertentu,
ciuman di kedua belah pipi, dan lain-lain. Sebelumnya orang Indonesia bersalaman dengan
sebelah atau dua belah tangan (munjungan), atau sambil menganggukkan kepala. Kebiasaan
saling peluk dan cium kedua belah pipi itu pengaruh dari Arab yang dibawa orang-orang
muslim. Tapi tentu saja pengaruh dari Arab tersebut hanya dilakukan oleh para lelaki. Dan
pengaruh dari Perancis (Eropa) pun sudah terjadi di Indonesia yaitu saling cium kedua pipi
yg dilakukan juga antara lelaki dengan perempuan meskipun mereka muslim.
Kerbau sebagai Lambang
Dalam demonstrasi bertepatan dengan 100 hari pertama pemerintahan SBY-
Boediono, para demonstran di Jakarta ada yang membawa kerbau yang ditulis kata-kata
yang diucapkan oleh SBY. Hal itu telah menyinggung perasaan Presiden SBY, sehingga beliau
sempat menghimbau agar para demonstran tidak melanggar batas-batas kesopanan.
Presiden menganggap tindakan para demonstran itu terlalu berlebihan dan melanggar
norma kesopanan, dan beliau menghimbau agar hal tersebut tidak diulang kembali.
Mengapa dengan dibawanya kerbau oleh para demonstran terlebih karena tertulis
dengan kata yang mirip dengan ucapan presiden, presiden merasa tersinggung?
Karena dalam setiap bahasa, banyak banyak binatang yang dalam budaya
pengguna bahasa tersebut melambangkan sifat-sifat manusia. Di Cina, ular naga dianggap
sebagai lambing keperkasaan bengsanya. Orang Jepang menganggap kucing sebagai
29
30. pencuri. Dalam kebudayaan Barat, burung hantu dianggap sebagai lambing kebijaksanaan
dan ular yang berbisa dianggap sebagai lambang pengobatan.
Dalam konteks ini, perbedaan budaya juga mempengaruhi arti dari lambing
binatang tersebut. Misalnya ular, dalam kebudayaan Barat yang beragama Kristen dianggap
sebagai lambang iblis yang menggoda manusia (Adam) sehingga diusir dari surga sedangkan
dalam bahasa dan budaya Indonesia, ular dianggap sebagai lawan jenisnya, sehingga mimpi
digigit ular berarti akan segera dapat jodoh. Sama halnya seperti ular, anjing juga memiliki
arti yang berbeda bila terjadi perbedaan budaya. Bagi orang barat, anjing merupakan
lambang kesetiaan. Namun bagi orang Indonesia, anjing dan babi karena dianggap najis dan
haram oleh agama Islam, maka dijadikan kata makian untuk merendahkan orang tersebut.
Kerbau dan keledai dianggap sebagai binatang yang bodoh. Bahkan dianggap
sebagai lambang kebodohan walaupun tidak ada cerita atau dongeng yang menceritakan hal
tersebut. Karena adanya anggapan bahwa kerbau itu adalah lambang kebodohan, maka
wajar jika Preside SBY merasa tersinggung.
Malu Bertanya
Dalam bahasa Indonesia ada peribahasa yang berbunyi “Malu bertanya sesat di
jalan”. Artinya, kalau kita tidak tau lebih baik kita bertanya kepada orang lain. Tetapi saya
pernah mengalami, justru karena bertanya mala jadi tersesat. Ketika itu saya berada di
daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat, yang sebelumnya tak pernah saya datangi. Saya dari
Kebayoran Lama hendak ke Slipi tapi salah membelok. Karena tidak tahu maka saya
bertanya kepada beberapa anak muda yang sedang berdiri di pinggir jalan. Saya ikuti
petunjuknya, ternyata saya tiba di jalan keluar dari jalan tol, jalan itu sebenarnya hanya satu
arah, yaitu dari arah berlawanan. Beruntung pada saati itu saya melihat ada dua bus kota
yang jalan beriringan membelok kea rah kanan dari saya. Saya menyuruh supir supaya
mengikuti kedua bus tersebut karena saya yakin pasti bus tersebut akan menuju ke jalan
besar. Kemudian kami memasuki kawasan perumahan mewah yang baru, tapi kemudian bus
itu masuk ke jalan kecil dan setelah berbelok-belok melalui jalan kecil, akhirnya kami
berhenti di sebuah rumah dekat kebun.
30
31. Ketika ditanya, supir bus tersebut mengatakan bahwa mereka diborong oleh
rombongan yang hendak melamar. Saya jadi sadar bahwa saya telah “dikerjain” oleh anak-
anak muda itu.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, banyak “orang iseng” yang sering
mempermainkan orang yang bertanya kepada mereka. Banyak juga yang tidak mau
menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Terkadang mereka menjawab “tidak tahu”
karena dia tidak mau diganggu dan tidak mau tahu dengan urusan orang lain.
Sebenarnya peribahasa “Malu bertanya sesat di jalan” dianggap sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan zaman. Kerena peribahasa tersebut muncul dalam masyarakat
Melayu yang masih sederhana, yang semua orangnya selalu bersedia menolong orang lain.
Tetapi masyarakat kita sekarang sudah menjadi masyarakat yang metropolitan yang orang-
orangnya tidak mau tahu dengan urusan orang lain.
Banyak lagi peribahasa seperti itu yang sudah tidak cocok lagi dengan
perkembangan masyarakat, seperti: “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, “sabar itu
subur, jujur itu makmur”, “biar lambat asal selamat”, dan lain sebagainnya.
Sementara itu masyarakat modern juga melahirkan peribahasa-peribahasa baru
yang tidak dikenal sebelumnya seperti “sabar itu bubar, jujur itu hancur”, “gunakan
kesempatan dalam kesempitan”, “aji mumpung di tempat basah”, “kasih uang habis
perkara”, “orang kecil tak boleh sakit” dan semacamnya. Hal tesebut menunjukkan bahwa
masyarakat semakir kreatif dalam menciptakan peribahasa baru yang sesuai dengan
perkembangan zamannya.
“Cina” dan “China”
Sebelum EYD diresmikan kita menulis “Tjina” untuk kata “Cina”. Karena “tj” di
sesuaikan menjadi “c”. tapi sebagian dari orang Cina peranakan di Indonesia menganggap
kata “Cina” itu mengandung penghinaan. Mereka lebih suka menggunakan kata “Tionghoa”
untuk menyebut nama bangsa dan bahasanya, dan “Tiongkok” untuk menyebut nama
negaranya. Tidak pernah jelas penghinaan apa yang terkandung dalam kata “Cina” itu.
Namun anehnya, mereka sendiri jika berbicara dalam bahasa Inggris menggunakan kata
“China”. Begitu juga untuk menyebutkan nama bangsa dan nama negaranya.
31
32. Namun anehnya, jika dalam bahasa Indonesia dianggap mempunyai unsur
penghinaan, tapi dalam bahasa Inggris hal tersebut disambut dengan baik atau tidak
dianggap terjadinya unsur penghinaan. Padahal pemakaian kata “Cina” dalam bahasa
Melayu sejak dahulu dianggap wajar-wajar saja. Bahkan kata “Cina” dalam bahasa Melayu
sampai masuk ke dalam peribahasa dan menjadi ungkapan yang biasa digunakan sehari-hari
tanpa ada kandungan atau unsur penghinaan di dalamnya.
Tetapi belakangan ini dalam surat-surat kabar dan majalah perkataan “Cina” itu
diganti menjadi “China”. Konon karena surat kabar terkemuka di Jakarta pernah ditegur
atau diminta oleh pejabar kedutaan besar RRC agar tidak menggunakan kata “Cina”
melainkan “China”.
Tetapi yang lebih aneh lagi ialah cara kata tersebut diucapkan. Dalam televise kita
mendengar ada orang yang mengucapkannya sesuai dengan cara perkataan tersebut
diucapkan dalam percakapan sehari-hari oleh orang biasa di pasar atau di surau. Tapi ada
juga yang mengucapkannya seperti dalam bahasa Inggris, yaitu “Caine”. Sementara itu tidak
kurang yang mengucapkan “Caina”. Dan jika yang dimaksud adalah “orang China” sekarang
biasa digunakan istilah Inggris “Cainis” (“Chinese”).
Bahasa di Sepanjang Jalan
Jika Anda sering bepergian, pasti Anda sering membaca pengumuman atau iklan
yang Anda lihat di sudut-sudut jalan. Pengumuman tersebut banyak ditujukan kepada para
pengguna jalan namun ada juga yang bersifat umum. Iklan tentang hotel, rokok, telepon
selular, makanan, dan lain-lain, kebanyakan dari iklan tersebut menggunakan bahasa
Inggris. Penggunaan bahasa Inggris dalam iklan itu sangat tidak masuk akal sedangkan yang
menjadi sasarannya adalah orang Indonesia. Sepertinya pembuat iklan bukan bermaksud
menarik minat orang yang membacanya karena isi iklannya melainkan hanya hendak
memberi kesan kepada pembaca iklan tersebut bahwa menggunakan produk tersebut maka
mereka termasuk ke dalam barisan globalisasi atau “go international”.
Pada umumnya pengumuman ditujukan untuk pengguna jalan (yang sepertinya
dibuat oleh Binamarga), cukup baik, walaupun masih terdapat kekeliruan dalam penulisan
kata depan (preposisi) “di” dan “ke” yang seharusnya dipisahkan dari kata berikutnya.
32
33. Contoh: “Truck dan bus tetap dilajur kiri” yang seharusnya kata “truk” tidak menggunakan
“c” seperti dalam bahasa Inggris atau Belanda. Sedangkan kata “dilajur” seharusnya di tulis
“di lajur” karena kata “di” di situ bukanlah awalan melainkan kata depan. Dan adapun
pengumuman seperti “Dilarang menaikan dan menurunkan penumpang di jalan tol”.
Seharusnya kata “menaikan” di tulis dengan dua huruf “k” karena kata dasarnya adalah
“naik” dan mendapat akhiran “kan”.
Pengumuman-pengumuman yang ditujukan untuk pengguna jalan (terutama supir)
di dalam kota banyak yang di tulis dengan huruf kecil sementara keterangannya panjang
lebar. Tentu saja pengguna jalan tidak dapat menghentikan mobilnya agar dapar membaca
semua teks yang tertulis di situ. Saya perhatikan sebenarnya keterangan tersebut dapat di
buat lebih ringkas sehingga dapat menggunakan huruf yang lebih besar dan terbaca oleh
pengguna jalan.
33
34. Bahasa Gaul
Istilah “bahasa gaul” mulai merebak sekitar tahun 1998 (sesudah reformasi).
Umumnya bahasa tersebut digunakan oleh anak-anak muda seperti yang biasa kita dengar
dalam sinetron-sinetron atau dalam percakapan antar anak muda.
Dalam “bahasa gaul” kita perhatikan banyak sekali pengaruh bahasa Jakarta. Kata
ganti orang pertama dan orang kedua menggunakan bahasa Cina yang sudah menjadi
bahasa Jakarta yaitu “gua” atau “gue” dan “lu” atau “elo”. Meskipun banyak yang
menggunakan bunyi “a” dengan “e” pada akhir kata seperti orang Betawi, namun
perbendaharaan kata Jakarta banyak sekali digunakan, begitu juga pembentukkan kata
jadian sering mengikuti bahasa Jakarta, misalnya menggunakan akhiran “in” untuk akhiran
“kan” dalam bahasa Indonesia yang baku. Seperti “mikirin” seharusnya “memikirkan”, dan
semacamnya.
Karena “bahasa gaul” beru muncul pada tahun 1998 maka dalam kamus-kamus pun
tidak tercantum sebagai entri. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) susunan
Badudu-Zain yang pertama kali terbit tahun 1994, entri :bahasa gaul” tidak ada. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) entri “bahasa gaul” baru tercantum pada edisi ke
empat tahun 2008.
Menurut KBBI edisi keempat itu, “bahas gaul” artinya “dialek bahasa Indonesia
nonformal yang digunakan oleh kelompok tertentu atau di daerah tertentu untuk
pergaulan”. Sedangkan “pergaulan” menurut KBBI itu juga artinya “n 1 perihal bergaul; 2
kehidupan bermasyarakat; -memepengaruhi kepribadian”. Artinya kalau keterangan
tentang “bahasa gaul” disesuaikan dengan keterangan tentang arti “pergaulan”, akan
berbunyi “dialek bahasa Indonesia nonformal yang digunakan oleh komunitas tertentu atau
di daerah tertentu untuk perihal bergaul;atau untuk kehidupan bermasyarakat”
“Bahasa gaul” juga digunakan oleh para pemasang iklan. Bukan hanya yang dimuat
dalam surat kabar atau majalah melainkan juga yang dipasang di pinggir jalan atau yang
melintang di atas jalan. Mungkin karena iklan tersebut ditujukan kepada kelompok
masyarakat pemakai “bahasa gaul”. Tetapi dengan meluasnya penggunaan “bahasa gaul”
niscaya perbendaharaan kata “bahasa gaul” akan meluas dan akhirnya menjadi
perbendaharaan bahasa baku juga. Apalagi karena “bahasa gaul” secara leluasa digunakan
34
35. dan disiarkan melalui televise yang sekarang sudah memasuki pelosok-pelosok paling jauh,
sementara pembelajaran bahasa nasional di sekolah-sekolah sangat tidak memadai,
ditambah minimnya minat baca karya sastra yang dapat dijadikan pedoman pemakaian
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Maka tidak mustahil jika dalam waktu dekat “bahasa
gaul” akan menjadi bahasa pergaulan masyarakat seluruh Indonesia secara umum. Artinya
lambat laun akan menggantikan apa yang sekarang disebut “bahasa baku”, karena orang
kian sulit dan kian jarang bertemu dengan “bahasa baku”. Menurut paham seorang ahli
bahasa, jika suatu bahasa sudah dapat diterima dan digunakan oleh masyarakat secara luas,
maka bahasa tersebut menjadi sah sebagai sarana perhubungan msyarakat. Artinya apa
yang sekarang disebut sebagai “bahasa gaul” kelak akan menjadi bahasa baku.
Bahasa Melayu di Indonesia
Perkembanga bahasa Melayu setelah menjadi bahasa Indonesia menarik untuk
diperbandingkan dengan perkembangan bahasa Melayu setelah menjadi bahasa Malaysia.
Ternyata masing-masing menghadapi tantangan yang berbeda.
Di Indonesia, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang tidak memiliki
saingan, walaupun terdapat ratusan bahasa ibu di seluruh wilayah Indonesia, padahal
bahasa Melayu ketika dinobatkan sebagai bahasa nasional berhadapan dengan bahasa Jawa
dan Sunda yang digunakan oleh lebih banyak penutur dan mempunyai sejarah serta
kesusastraan yang lebih kaya
Namun demikian bahasa Indonesia menghadapi dan mendapat pengaruh terutama
dari bahasa Jawa yang penuturnya adalah suku bangsa terbesar di Indonesia dan bahasa
Betawi atau Jakarta yang menjadi ibu kota Negara. Dari beberapa ratus bahasa ibu yang
terdapat di Indonesia memang bukan hanya bahasa Jawa dan Betawi saja yang
mempengaruhi atau menyumbangkan perbendaharaan kata atau ungkapan ke dalam
bahasa Indonesia, tetapi harus diakui bahwa pengaruh yang paling besar dating dari bahasa
Jawa dan Betawi. Pengaruh tersebut menyebabkan kian besarnya perbedaan antara bahasa
Indonesia dengan bahasa Malaysia.
35
36. Sementara pengaruh bahasa Belanda kian berkurang, sekarang pengaruh bahasa
Inggris kian menghebat ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun orang Indonesia belum
mempergunakan “I” sebagai kata ganti orang pertama dan “you” sebagai kata ganti orang
kedua yang dilakukan orang Malaysia. Pemakaian kata-kata dan ungkapan bahasa Inggris di
tengah percakapan bahkan tulisan kian banyak digunakan.
Kerena bahasa Indonesia tidak memiliki saingan sebagai bahasa nasional, maka tak
ada yang mengkhawatirkan masa depannya. Dan kerena bahasa Indonesia itu mudah
dipelajari, maka tidak ada yang menganggap perlu mengawasi pembelajaran bahasa
Indonesia secara cermat dan meneliti hasilnya dalam masyarakat.
Bahasa Indonesia dianggap dengan sendirinya telah dikuasai oleh setiap orang
Indonesia, maka jarang sekali ada orang Indonesia yang merasa perlu membaca kamus,
karena mereka pun tidak merasa perlu mempunyai kamus.
Kemampuan berbahasa nasional bahkan di kalangan elit bangsa Indonesia kian
menyedihkan. Pemerintah sendiri merasa cukup dengan mendirikan Pusat Bahasa yang
tidak kelihatan memperlihatkan perkembangan pamakaian bahasa dalam masyarakat.
Pengajar bahasa Indonesia tidak didukung oleh perpustakaan sekolah yang memadai, yang
isinya terutama harus buku karya sastra yang telah menjadi kanon kesusastraan nasional.
Perpustakaan sekolah masih sangat tidak memadai dan isinya sering diserahkan kepada
guru pengelola yang selalu mengutamakan buku-buku popular saja.
36
37. Bahasa Malaysia
Karena di Malaysia bahasa Inggris lebih diutamakan sebagai warisan dari masa
penjajahan, di samping itu orang Cina dan India yang jumlahnya hapir setengah jumlah
penduduk itu lebih suka menggunakan bahasanya masing-masing yaitu bahasa Mandarin
atau Kamil, maka pemerinta merasa perlu untuk memberikan dukungan penuh terhadap
perkembangan bahasa kebangasaan Malaysia. Ketika menjadi negara merdeka (Persekutuan
Tanah Melayu kemudian menjadi Malaysia), mereka meniru pemerintah HIndia Belanda
yang mendirikan penerbit buku yang terutama bahan bacaan bagi masyarakatnya dalam
bahasa kebangsaan, yang mereka namakan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP). Tetapi
sementara yang dijadikan contoh sendiri tidak mendapat perhatian lebih dari pemerinta RI,
DBP berkembang terus. Tidak hanya menerbitkan buku, melainkan juga menerbitkan
majalah yaitu Dewan Bahasa yang khusus memuat tulisan mengenai bahasa, Dewan Satera
yang khusus untuk sastra, Dewan budaya yang lebih luas, dan Dewan Masyarakat yang
bersifat umum.
Sejak tahun 1971 pemerintah Malaysia juga menyediakan Hadiah Sastera tahunan
untuk karya berbagai macam karya sastra dan hadiah itu berlangsung secara terus-menerus
sampai sekarang yang hasilnya kemudian dibukukan oleh DBP. Kerajaan Malaysia juga
menyediakan tenaga pengajar untuk berbagai universitas di negeri asing yang membuka
pelajaran bahasa dan budaya Malaysia. Kerjaan Malaysia juga membentuk lembaga
Sasterawan Negara, yaitu menghargai sasterawan yang karyanya dianggap besar. Disamping
buku-bukunya dibeli oleh pemerintah untuk mengisi perpustakaan-perpustakaan sekolah di
seluruh negeri, juga mendapat berbagai fasilitas untuk kemudahan hidupnya.
Bahasa Malaysia sudah terbukti dapat digunakan sebagai bahasa ilmu ketika pada
tahun 1971 ada mahasiswa Universiti Malaya yang menulis skripsi dalam bahasa Melayu.
Sebelumnya skripsi di universitas tersebut selalu ditulis dalam bahasa Inggris. Sayanglah
bahwa menjelang akhir masa jabatan PM Dr. Mahathir menganjurkan kembali pemakaian
bahasa Inggris di lingkungan universitas dan keilmuan, dengan maksud agar orang Melayu
tidak kalah bersaing dengan orang-orang Cina maupun India.
37
38. Mencari Asal Kata-kata
Sudah diakui secara umum bahwa kata-kata dalam bahasa Indonesia banyak yang
diambil dari bahasa asing maupun bahasa-bahasa ibu yang terdapat di seluruh Indonesia.
Bahkan ada yang mengemukakan pendapat bahwa 9 dari 10 kata Indonesia berasal dari
bahasa asing.
Tetapi sampai sekarang belum ada orang yang meneliti atau mencatat tentang
kapan dan bagaimana kata-kata itu mulai digunakan dalam bahasa Melayu atau bahasa
Indonesia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta, beliau
menuliskan di belakang entri yang berasal dari bahasa asing atau dari bahasa daerah diberi
tanda dengan huruf yang menunjukkan bahasa asing atau bahasa ibu. Yang dicatat oleh
Poerwadarminta sebagai sumber kata-kata yang masuk ke dalam bahasa Indonesia adalah A
(Arab), Dj (Djakarta), Djw (Djawa), E (Eropa), Lat (Latin), M (Minangkabau), Pal (Palembang),
S (Sunda), Skr (Sangsekerta), dan T (Tionghoa).
Tapi kita juga tidak tahu apakah dicantumkannya keterangan itu karena kata
tersebut memang digunakan dalam teks bahasa Indonesia, ataukah hanya sekedar
menunjukkan bahwa penyusun tahu bahwa kata tersebut terdapat dalam bahasa itu.
Seharusnya kata-kata yang dicantumkan sebagai entri bahasa Indonesia , hanyalah kata-kata
yang memang dipergunakan dalam teks atau dalam percakapan publik bahasa Indonesia.
Tetapi dalam edisi keempat Kamus Besar Bahasa Indonesia,bahasa sumber yang
dianggap sebagai asal kata yang menjadi entridicantumkan lagi. Jika dalam KUBI
Poerwadarminta, yang disebut sebagai sumber pengambilan kata-kata yang menjadi
entrinya hanya 10, maka dalam KBBI edisi keempat itu menyatakan sebagai bahasa sumber
itu jauh lebih banyak, ada 7 macam bahasa Melayu, ada 38 bahasa daerah, dan 10 bahasa
asing.
Dengan begitu meskipun sudah diperlengkap, KBBI edisi keempat itu tidaklah dapat
memenuhi kebutuhan kita yang ingin tahu bagaimana dan kapan kata-kata dang ungkapan
bahasa daerah atau asing itu masuk menjadi kekayaan perbendaharaan bahasa Indonesia.
Kita tahu kata-kata yang masuk ke dalam bahasa kita, sehingga menjadi populer tetapi
setelah beberapa lama dia menghilang, sedangkan kita belum sempat mencatatnya.
Kesadaran akan sejarah bukanlah hanya terhadap yang diceritakan sebagai sejarah saja,
38
39. melainkan juga terhadap bahasa yang digunakan untuk menuliskannya. Sebagai bangsa kita
memang kurang mempunyai kesadaran sejarah.
Bahasa Nasional dan Kebudayaan Nasional
Pada tahun 1930-an terjadilah di kalangan para intelektual muda Indonesia polemik
tentang masa depan bangsa Indonesia. Polemik itu berlangsung bertahun-tahun dan dimuat
dalam berbagai majalah dan surat kabar. Sekarang kita sebut sebagai “polemik
kebudayaan”, karena sebagian besar polemik itu dikumpulkan oleh Achdiat K. Mihardja
yang diberi judul Polemik Kebudayaan. Yang terlibat dalam polemik itu kemudian kita kenal
sebagai pendiri bangsa dan negara Indonesia, antara lain S. Takdir Alisjahbana, Sanoesi
Pane, Dr. Soetomo, Ki Hadjar Dewantara, Dr. Poerbatjaraka, dan lain-lain.
Mereka yang terlibat dalam polemik itu membahas berbagai segi kebudayaan
nasional Indonesia yang sebenarnya ketika itu masih merupakan hal yang diangankan. S.
Takdir Alisjabana dengan lantangnya mengatakan bahwa untuk membangun bangsa dan
kebudayaan Indonesia, kita harus memutuskan hubungan dengan masa lampau yang
disebut dengan masa pra-Indonesia. Kalau mau maju, bangsa Indonesia harus sebanyak-
banyaknya menyedot jiwa Barat yang dinamis. Begitu juga kekayaan kebudayaan daerah
kita yang dianggap sebagai hasil masa lalu, dianggap bukan bagian dari kebudayaan kita.
Dalam perkembangan selanjutnya, kian banyak saja orang yang menulis
menggunakan bahasa Indonesia. Semula orang menulis karya sastra menggunakan bahasa
Sumatera, maka setelah proklamasi kemerdekaankita melihat para penyiar dan sastrawan
berdatangan dari berbagai suku bangsa dari seluruh pelosok Indonesia. Tidak hanya dalam
bidang sastra saja, kita menyaksikan kemajuan pemakai bahasa Indonesia di dalam bidang
ilmu. Bahasa Indonesia bukan saja dapat dipergunakan sebagai bahasa pengantar di dalam
semua jenjang pendidikan, melainkan juga dapat digunakan untuk menulis berbagai ilmu.
Tetapi kemajuan bahasa Indonesia dalam bidang seni dan ilmu itu saying sekali
tidak terjangkau oleh kebanyakan bangsa kita, karena sejak Republik Indonesia berdiri tidak
ada pemerintah yang secara sungguh-sungguh mengamalkan Mukadimmah UUD untuk
mencerdaskan bangsa. Sekolah banyak didirikan, universitas bermunculan, tetapi
kegemaran membaca tidak dipupuk dan dibina karena tidak dilengkapi dengan fasilitas
39
40. perpustakaan yang memadai. Dengan demikian sekolah hanya menjadi tempat untuk
memperoleh ijazah dan universitas sebagai tempat untuk mendapatkan gelar.
Seakan-akan ada jurang yang dalam antara prestasi yang dicapai para putra
Indonesia dalam bidang sastra dan ilmu dengan umumnya bahasa Indonesia. Bahkan
mereka yang bergelar sarjana pun kebanyakan tidak mengikuti perkembangan ilmu, karena
banyak yang skripsi dan disertasinya dibuatkan oleh orang lain atau hasil plagiat.
Kata Sehari-hari
Umumnya kita mempelajari bahas Indonesia di sekolah dan bahasa itu kita pelajari
melalui buku, biasanya mengenai hal-hal yang terdapat dalam kehidupan orang kota atau
tentang berbagai masalah yang bersifat peng etahuan. Hampir tidak ada yang mengenai
kehidupan kita sehari-hari di rumah apalagi jika kita tinggal di kampong. Sehingga kita
kebingungan jika hendak menyebut nama benda yang akrab di sekeliling kita. Hanya
sebagian saja yang bias kita temukan padanannya dalam bahasa Indonesia seperti centong
(cukil nasi), boboko (bakul nasi), aseupan (kukusan), dan hihid (kipas). Yang lainnya
membingungkan bukan saja karena kita tidak tahu padanannya dalam bahasa Indonesia,
melainkan benda-benda itu tidak terdapat di kota atau kalaupun ada susunan dan
bentuknya berbeda.
Tetapi bukan hanya nama-nama bendanya saja yang membingukan dicari
padanannya dalam bahasa Indonesia, melainkan juga perbuatan yang bertalian dengan
benda tersebut. Seperti halnya orang Sunda memiliki kebiasaan mengangkat nasi setengah
atau seperempat matang lalu di campur dengan air dan dibolak-balik seupaya merata. Cara
seperti itu disebut gigih. Setelah dibiarkan beberapa lama, gigih itu baru dimasukkan ke
dalam aseupan (kukusan) dan dibiarkan sampai timus (masak). Kalau sudah masak, nasi
ditumpahkan ke dalam ngakeul. Nasi yang diakeul akan menjadi pulen. Tetapi tidak semua
sukubangsa tidak mempunyai kebiasaan ngakeul. Misalnya orang Jawa, tidak mengenal
ngakeul maka nasinya tidak pulen.
Tentu saja kesulitan dalam berbahasa Indonesia seperti itu dihadapi juga oleh
orang Jawa, orang Bali, orang Bugis, orang Aceh, dan orang-orang dari daerah lain, terlebih
jika mengenai hal-hal berupa khas daerahnya. Karena itulah kita saksikan kian banyak
40
41. istilah-istilah bahasa daerah yang masuk ke dalam bahasa Indonesia istilah judul, penca,
pasantren, comro, dan lain-lain yang belakangan masuk pula istilah ngabuburit, amburadul,
boro-boro, dan lain-lain. Nama-nama dan istilah-istilah yang khas daerah itu dengan
sendirinya memperkaya bahasa Indonesia.
Salah Kaprah
Pak Amin Singgih (almarhum), pembicara pertama tentang bahasa Indonesia setiap
pecan melalui TVRI ketika belum ada stasiun televise lainnya, sehingga pembicaraannya
banyak mendapat perhatian penonton. Almarhum banyak menunjukkan kesalahan kita
dalam mempergunakan bahasa Indonesia, seperti ucapan “Dirgahayu Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia” menurut Pak Amin itu salah karena yang harus kita
dirgahayukan adalah Negara Republik Indonesia bukan Proklamasi Kemerdekaan. Dan sejak
saat itu orang tidak lagi mengucapkan “Dirgahayu Proklamasi” dan seterusnya, melainkan
“Dirgahayu Republik Indonesia” dan seterusnya.
Tetapi ada koreksi Pak Amin yang sampai sekarang tidak diikuti oleh para pemakai
bahasa Indonesia, yaitu mengganti istilah “air macur” dengan “air mancar”. Alasan Pak
Amin, “memancur” itu airnya harus jatuh dari atas ke bawah seperti pada “pancuran”.
Sedangkan kasus “air mancur” jelas airnya memancar dari bawah ke atas, karena itu disebut
“air mancar”. Anjuran Pak Amin itu tepat dan benar namun orang-orang tidak mengikutinya
dan tetap menyebutnya dengan “air mancur” walaupun jelas salah.
Dalam berbahasa orang memang sering menggunakan perkataan atau istilah yang
salah, tetapi istilah yang salah itu ternyata dapat dimengerti oleh orang yang mendengar
ataupun membacanya tanpa menimbulkan salah paham. Inilah yang disebut dengan “salah
kaprah”, yaitu kesalahan yang sudah diterima masyarakat sehingga orang tidak lagi
mengartikannya kata demi kata melainkan keseluruhan istilah atau kalimat itu dengan arti
yang sebenarnya berlainan dengan artinya kata demi kata. Misalnya istilah “truk
gandengan”, orang yang mendengar atau membaca istilah itu tidak akan
menggambarkannya sebagai dua buah truk yang berjalan sejajar karena “bergandeng”
artinya adalah berjalan sambil bersebelahan. Mendengar istilah “truk gandeng” orang tahu
41
42. bahwa truk itu berjalan tidak bergandengan melainkan berurutan yang satu di belakang
yang lain.
Dengan demikian jelas bahwa dalam berbahasa kita sering menggunakan kata atau
istilah yang artinya tidak sama dengan arti kata-kata itu. Kata-kata atau istilah yang kita
gunakan terikat dengan kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat. Penggunaan bahasa
yang sejak kecil hidup dalam masyarakat pengguna bahasa itu, mempelajari kebiasaan itu
secara alami sehingga sering tidak sadar akan keganjilan kata-kata dalam istilah atau
ungkapan yang digunakan. Sementara itu orang mempelajari sesuatu bahasa sebagai
bahasa asing, harus menghafal istilah atau ungkapan beserta kebiasaan mempergunakannya
melalui buku atau dengan hidup di tengah masyarakat yang mempergunakan bahasa
tersebut. Mempelajarinya hanya melalui buku tidak cukup, karena bahasa yang masih hidup
selalu menambah kosakatanya dengan ungkapan dan istilah baru.
42
43. Bahasa Halus dalam Bahasa Indonesia
Dalam setiap bahasa ada kata-kata yang khusus diperuntukkan oleh orang yang
dihormati atau untuk Tuhan. Dalam bahasa Inggris yang eglaiter sekali, ada istilah “thou”
yang digunakan untuk Tuhan atau orang yang dihormati, sedangkan untuk orang biasa
digunakan kata “you”. Tetapi jumlah kata demikian tidak banyak. Dalam bahasa Melayu kita
mengenal kata-kata yang khusus digunakan untuk Tuhan atau orang-orang yang berkuasa
seperti raja atau sultan, seperti “berfirman” (berkata), “beradu” (tidur), “bersemayam”
(tinggal), “bersantap” (makan), dan lain-lain.
Kata-kata seperti itu pada dasarnya tidak boleh digunakan oleh orang biasa. Tetapi
karena sejak mendirikan negara, bangsa Indonesia menetapkan demokrasi sebagai dasar
sosialnya, maka kata-kata itu ada yang kemudian hanya menjadi sinonim dari kata-kata lain
yang biasa digunakan oleh orang kebanyakan, misalnya kata “bersantap” sekarang sering
digunakan oleh orang-orang yang bukan raja maupun sultan, walaupun dihormati.
Meskipun dalam tulisan-tulisan dan pidato-pidatonya sewaktu muda, Bung Karno
menganjurkan demokrasi dan mengutuk feodalisme, namun ketika sudah menjadi Presiden
berdasarkan UUD 1945 dalam masa Demokrasi Terpimpin, ternyata beliau ingin
diperlakukan sebagai raja Jawa. Sebutan “Paduka Yang Mulia” dihidupkan kembali. Sebutan
“Bung Karno” yang sangat populer pada masa revolusi tidak terdengar lagi. Diganti dengan
“Paduka Yang Mulia Presiden Sukarno”.
Pemerintah Presiden Soekarno yang disebut-sebut sebagai “Orde Lama” pada
tahun 1966 diganti oleh pemerintah “Orde Baru” di bawah Presiden Suharto. Berbeda
dengan Soekarno Muda yang banyak mempelajari berbagai alam pikiran modern dari Barat,
Suharto muda kelihatannya tidak suka membaca. Sejak muda beliau terjun ke dunia militer,
menjadi bintara dalam KNIL tentara HIndia Belanda. Pada masa pendudukan Jepang sempat
belajar kemiliteran sebagai Peta (Pembela Tanah Air). Karena itu tidak heran jika wawasan
pemikirannya juga terbatas. Ketika menjadi Presiden Republik Indonesia (selama 32 tahun),
yang menonjol adalah kegemarannya menguntip kearifan orang Jawa yang dianggap sebagai
ajaran utama dalam hidup. Bersama kegemarannya Presiden Suharto berpegang kepada
kearifan Jawa itu, masuk pula usaha untuk berbicara dengan unggah-ungguhing bhasa
dalam bahasa Indonesia.
43
44. Pendek kata, pada masa pemerintahan Suharto semua hendak dijawakan yang
dianggap berperadaban amat halus, dan sangatlah mengherankan bahwa orang-orang yang
berasal dari daerah yang terkenal sifat kasar dank eras seperti orang Batak juga bersedia
menyesuaikan diri dengan kehalusan peradaban Jawa.
Seputar Nama
Pada suatu pagi saya bertamu ke rumah kawan baik. Kepada pembantu, saya
bertanya “Apakah tuan rumah sudah bangun?”. “Sudah, Bapak dari mana?”. Saya
menjawab, “Dari Pabelan” karena saya memang tinggal di desa Pabelan, Magelang. Lama si
pembantu itu tidak keluar-keluar sehingga saya terpaksa menekan bel rumah. Kali ini saya
langsung bertanya kepada pembantu tadi, “Tolong sampaikan kepada Pak Pirous, bahwa
saya Ajip Rosidi ingin bertemu dengan beliau”.
Kali ini tidak lama setelah dia masuk, pintu depan dibuka dan tuan rumah
menyilakan saya untuk masuk. “Waktu tadi diberitahu bahwa ada tamu Pak Belan, saya
bertanya-tanya dalam hati. Siapa dia? Karena rasanya saya tidak punya kenalan yang
bernama Pak Belan” kata Prof. A.D. Pirous sambil tertawa.
Sudah menjadi kebiasaan orang yang membukakan pintu kalau ada tamu yang
belum dikenal selalu mengajukan pertanyaan “Bapak dari mana?” namun harusnya ia
bertanya “Bapak siapa?” tetapi mengajukan pertanyaan demikian rasanya kurang sopan,
sehingga diganti menjadi “Bapak dari mana?”. Terhadap pertanyaan tersebut si tamu
sebaiknya menyebutkan nama atau keterangan tentang dirinya, jangan menjawab apa yang
ditanyakan.
Menyebut nama menurut kebiasaa lama kita memang dianggap kurang sopan.
Dalam masyarakat Sunda, kita tidak boleh menyebutkan nama orantua terutama ayah.
Orang Sunda yang berani menyebut nama orangtuanya akan ”hapa hui”. Entah apa
maksudnya “hapa hui” (kalau menanam ubi tidak aka nada umbinya) itu tetapi dahulu orang
Sunda memang tidak berani menyebut nama orangtuanya.
Dalam masyarakat Sunda, pada saat memperkenalkan diri (biasanya kepada orang
yang kedudukannya lebih tinggi) orang akan menyebut namanya sendiri namun enggan
menanyakan nama orang yang diajak bicara (atau dirasa tak perlu karena dia sudah tahu)
44
45. pendeknya menyebut nama, baik nama sendiri maupun nama orang lain, dalam masyarakat
Sunda agak dihindari.
Tertib Berbicara
Mungkin Anda pernah menerima sebuah telpon asing dari nomor yang Anda tidak
kenal. Ya! Kemudian orang disebrang telpon sana mengatakan “Siapa ini?” tertu saja Anda
akan bertanya balik ke dia “Nah, kamu siapa?”. Seharusnya,dia sudah mengetahui siapa
yang akan ia hubungi sebelum dia menekan nomor. Supaya tidak salah sambung terlebih
lagi salah paham.
Memang tidak ada tata tertib berbicara melalui telepon yang harus dipelajari oleh
anak-anak sejak kecil. Meskipun sekarang sudah ada telepon genggam (handphone),
sehingga pemakaian telpon rumah kian menurun.
Jika kita menghubungi orang melalui telepon, maka yang pertama harus dipastikan
adalah kita menghubungi nomor yang benar. Maka kita harus bertanya “Apakah ini benar
rumah Pak (atau Ibu) …?” atau “apakah benar ini nomor sekian?” dan lain sebagainya.
Gunanya untuk memastikan bahwa kita menghubungi nomor yang benar. Jika sudah
mendapat jawaban bahwa nomor tersebut benar, barulah kita bertanya “Apakah bapaknya
ada? Bolehkah saya berbicara dengannya?”
Hal yang sama juga berlaku pada waktu kita bertamu ke rumah orang yang kurab
akrab. Di Jakarta masih ada yang menggunakan kata “Spada!” untuk memberitahu
kedatnangannya kepada orang yang ada di rumah itu. Kata “spade” yang berarti “Siapa
ada?”, tetapi sekarang “Assalamu’alaikum wr. wb.” lebih lazim digunakan kebanyakan
orang.
orang Jawa dalam berbicara di depan forum resmi, sering menggunakan kata ganti
orang pertama “kami” sebagai pengganti “saya”. Nampaknya maksud hendak merendah.
Karena “kami” dalam bahasa Indonesia, artinya “saya dan dia serta mereka” (tidak termasuk
kamu). Perkataan “kami” boleh digunakan sebagai pengganti kata “saya” hanya oleh Tuhan,
raja atau pengarang dalam bukunya. Maka alih-alih merendah, sebenarnya orang yang
menggunakan kata “kami” sebagai kata ganti orang pertama, menyamakan dirinya sebagai
45
46. Tuhan atau raja, karena dia menggunakan kata ganti “kami” yang menurut konvensi bahasa
Indonesia hanya boleh digunakan oleh Tuhan atau raja, atau pengarang dalam sebuah buku.
Surat dan Latihan Menulis
Sejak beberapa tahun ini, kantor pos di seluruh dunia mengeluh Karen kian sedikit
orang yang mengirimkan surat, karena orang lebih cenderung menggunakan surat
elektronik dan sms yang jatuhnya lebih cepat dan lebih murah. Lebih praktis karena tidak
perlu pergi ke kantor pos, membeli perangko, dan lain-lain.
Beberapa tahun sebelumnya yang mengeluh adalah kantor telegram, sehingga
banyak kantor telegram yang ditutup karena telah ada faks dan orang lebih suka
menggunakan faks daripada telegram.
Penemuan teknologi baru kian mempermudah orang untuk melaksanakan
keperluannya. Dan dengan demikian lembaga-lembaga yang sudah ratusan tahun didirikan
untuk melayani orang menggunakan hasil penemuan seperti system pos dan alat untuk
mengirim telegram, sekarang kehilangan fungsinya. Kantor pos sekarang lebih berfungsi
sebagai lembaga yang menolong mengirimkan uang atau barang. Namun lembaga keuangan
seperti bank kian canggih dan kian masuk ke pelosok-pelosok, maka tidak mustahila dalam
waktu yang tidak akan terlalu lama fungsi itu pun akan hilang dari urusan Kantor Pos.
Menurut statistik, konon orang Indonesia termasuk yang paling sedikit menulis dan
mengirimkan surat. Karena itu tidak heran jika berbicara atau menulis bahkan bahkan para
pemimpin pun kalimatnya belepotan. Ditambah oleh kegemaran membaca yang sangat
rendah maka kemampuan mengemukakan pikiran dan perasaan umumnya orang Indonesia
sangat rendah.
46
47. Kabar Burung
Ungkapan “Kabar burung” pertama kali saya (si penulis) baca dalam cerita silat
terjemahan OKT (Oei Kim Tiang). Waktu itu rasanya belum menjadi khazanah kata bahasa
Indinesia. Baru setelah banyak orang yang membaca cerita silat, ungkapan “kabar burung”
menjadi populer, sehingga sekarang telah menjadi khazanah bahasa Indonesia. Artinya tidak
ada sangkutpautnya dengan burung yang suka terbang. “Burung” di situ berasal dari bahasa
Sunda yang artinya “gila”, “tidak benar” atau “gagal”. Jadi, “kabar burung” artinya kabar
yang tidak benar, kabar gila. Dalam bahasa sunda sendiri tdak ada ungkapan “beja burung”
(beja = kabar). Jadi kata Sunda yang diambil hanya “burung” saja.
Kata lain yang belum lama menjadi kosa kata bahasa Indonesia adalah “tawuran”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “tawuran” berarti perkelahian beramai-
ramai; perkelahian masal.
Plagiat Kian Merebak
Plagiat adalah perbuatan mencuri, dalam hal ini mengaku karangan, karya, atau
buah pikiran orang lain sebagai karya kita sendiri. Dalam dunia ilmu dan seni, perbuatan itu
dianggap sebagai dosa tak berampun. Gurubesar di Universitas Parahyangan karena
ketahuan melakukan plagiat, maka ia dipecat dari kedudukannya. Dosen ITB dibatalkan
ijazah S3-nya dan dikenakan hukuman dengan menggeser dari kedudukannya. Hal itu
menunjukkan bahwa universita-universitasitu menganggap perbuatan plagiat oleh seorang
sarjana adalah perbuatan tercela yang harus dibersihkan dari lingkungannya.
KESIMPULAN
47
48. Dalam waktu yang sudah lama ini terlihat bahwa minatdan kebanggaan kita
terhadap bahasa Nasional kian menurun. Hal tersebut Nampak di dalam penggunaan
bahasa Indonesia sehari-hari, dimana para pemakai bahasa, seperti para pemimpin, kaum
intelektual, wartawan, para remaja, mahasiswa, serta kaum lain seperti buruh, peteni,
pedagang,dan semacamnya. Tidak mengikuti kaidah penggunaan bahasa Indonesia yang
benar baik dalam tulisan maupun lisan. Entah apa mereka tidak mengerti atau sengaja
melakukannya. Dalam buku ini terdapat berbagai kasus permasalahan yang mungkin dapat
membuka mata kita tentang kesalahan dalam pemakaian bahasa yang salah dalam bahasa
Indonesia.
48