Dokumen ini memberikan panduan teknis liturgi Gereja Kristen Indonesia. Beberapa poin penting yang diangkat antara lain: (1) pentingnya buku liturgi dimiliki oleh pendeta, penatua, dan pemimpin liturgi lainnya, (2) perlunya pelatihan bagi pemimpin liturgi, dan (3) pedoman dalam pelaksanaan unsur-unsur liturgi seperti saat hening, prosesi persembahan, dan penggabungan liturgi-liturgi inisiasi
KUAT!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Harga Pintu Besi Plat Polos di Serang .pptx
Panduan Teknis Liturgi Gki
1. PANDUAN TEKNIS
LITURGI GEREJA KRISTEN INDONESIA
Disiapkan oleh Komisi Liturgi GKI
Untuk Program Penjemaatan Liturgi GKI
A. UMUM
1. Diharapkan dan sangat dianjurkan bahwa buku Liturgi Gereja Kristen Indonesia
dimiliki oleh:
a. Setiap pendeta.
b. Setiap penatua (berarti, kepada setiap penatua baru akan diberikan buku Liturgi
Gereja Kristen Indonesi di samping buku Tata Gereja Gereja Kristen Indonesia).
c. Anggota-anggota badan pelayanan jemaat yang mengurus peribadatan jemaat
(anggota-anggota Komisi/Tim Liturgi, anggota-anggota Komisi Musik Gerejawi,
pemandu pujian/prokantor, pemusik, dan lain-lain)
2. Diharapkan di setiap jemaat dilakukan program penjemaatan Liturgi GKI secara
bersinambung agar Liturgi GKI dapat dipakai dengan sebaik-baiknya.
B. KHUSUS
Berbagai pokok panduan teknis sudah dipaparkan baik dalam “Pedoman Pemakaian
Umum” di bagian akhir buku Liturgi Gereja Kristen Indonesia maupun dalam “Pedoman
Pemakaian Khusus” di bagian akhir dari beberapa liturgi tertentu. Di bawah ini
dikemukakan berbagai hal yang dianggap perlu untuk lebih menegaskan kembali dan
melengkapi apa yang sudah disampaikan pada bagian-bagian di atas.
1. Pola Dasar Liturgi
Semua liturgi GKI mempunyai pola dasar yang terdiri dari empat (4) “ordo”:
a. Ordo “Jemaat Berhimpun”
b. Ordo “Pelayanan Firman”
c. Ordo “Pelayanan Persembahan”
d. Ordo “Pengutusan
Di dalam setiap ordo terdapat unsur-unsur liturginya.
Jika jemaat ingin membuat variasi terhadap liturgi, urutan ordo-ordo dalam pola dasar
ini tidak boleh diubah. Juga, diharapkan unsur liturgi dari ordo yang satu tidak boleh
dipindahkan ke ordo yang lain. Jadi, misalnya, jangan menempatkan “pengakuan iman”
pada ordo “Jemaat Berhimpun”, atau memindahkan “doa syafaat” ke ordo “Pelayanan
Persembahan”.
1
2. 2. Pemimpin Liturgi
Dengan Liturgi GKI yang baru ini diharapkan lebih banyak orang dilibatkan dalam
penyelenggaraan kebaktian-kebaktian di GKI. Yang dapat ikut ambil bagian sebagai
pemimpin liturgi adalah para pendeta, penatua, dan anggota, bahkan juga simpatisan.
Hal ini harus dipercakapkan dan diatur oleh Majelis Jemaat agar dapat terlaksana
dengan baik dan tertib.
Dalam kaitan ini paling sedikit ada dua hal yang harus diperhatikan:
a. Jangan menyebut pemimpin liturgi yang melayankan pemberitaan Firman Tuhan
dengan “pembicara”. Sebutan yang benar adalah “pengkhotbah” atau “pelayan
Firman Tuhan”. Istilah “pembicara” hanya tepat untuk acara ceramah dan yang
sejenisnya, sedangkan khotbah samasekali bukanlah ceramah atau percakapan biasa
saja.
b. Jangan menyebut pemimpin liturgi dengan “MC” (master of ceremony). Kebaktian
di GKI bukanlah sekedar sebuah seremoni atau upacara. Istilah seremoni dan MC
itu mendangkalkan pengertian kebaktian.
3. Pelatihan Pemimpin Liturgi
Agar mereka yang terlibat sebagai pemimpin liturgi dapat menjalankan pelayannya
dengan efektif, perlu dilakukan pelatihan bagi mereka. Kita masih harus merencanakan
bagaimana upaya pelatihan tersebut dapat diwujudkan di jemaat-jemaat.
4. Jemaat Tidak Perlu Diajak Bersalaman di Awal Kebaktian
Di berbagai jemaat telah ada kebiasaan untuk mengawali kebaktian Minggu dengan
mengajak jemaat saling bersalaman. Kebiasaan ini baik sekali. Namun, dalam Liturgi
Minggu yang baru, tindakan bersalam-salaman di awal kebaktian tidak perlu lagi
dilakukan, karena sesudah berita anugerah, jemaat akan bersalam-salaman sambil
saling mengucapkan “Salam Damai!”. Dalam kaitan ini kita perlu memperhatikan
bahwa khususnya dalam kebaktian perjamuan kudus, “Salam Damai!” itu dilakukan
sebelum pemecahan roti, jadi sesudah berita anugerah tidak perlu dilakukan “Salam
Damai!”.
5. Saat Hening sesudah Khotbah
Saat hening sesudah khotbah harus benar-benar dapat menjadi saat hening yang di
dalamnya jemaat mempunyai kesempatan singkat yang bermakna untuk meresapi
Firman Tuhan yang baru saja disampaikan, dan mungkin juga untuk berdoa secara
pribadi. Pengkhotbah sebaiknya mengingatkan hal ini dan mengajak jemaat untuk
bersama-sama memasuki saat hening itu, sehingga jemaat tidak memakai kesempatan
itu untuk “bernafas lega” dan bercakap-cakap. Para penatua dan pemimpin liturgi
lainnya harus memberikan contoh yang baik dalam bersikap di saat hening.
Dalam kaitan ini perhatikanlah hal-hal ini:
a. Dianjurkan bahwa saat hening dilakukan tidak dengan iringan musik. Mungkin
jemaat belum biasa dengan cara ini, namun mereka bisa “dilatih” dan dibiasakan
dengan cara ini. Jika toh ada permainan musik pada saat hening, sangat dianjurkan
bahwa permainan musik itu dilakukan dengan lembut.
2
3. b. Jika ada, persembahan pujian oleh paduan suara atau kelompok vokal harus
ditempatkan sesudah saat hening selesai. Jangan sampai terjadi bahwa saat hening
belum selesai, pemimpin liturgi sudah mengajak jemaat untuk berpindah ke bagian
selanjutnya. Waktu yang diperlukan untuk saat hening ditentukan oleh pemimpin
liturgi.
c. Dengan demikian, persembahan pujian oleh paduan suara atau kelompok vokal
samasekali tidak boleh dipakai untuk “mengisi” atau bahkan menggantikan saat
hening.
6. Saat Hening dalam Liturgi Persiapan Perjamuan Kudus
Dalam membacakan formulir Persiapan Perjamuan Kudus dalam Liturgi Persiapan
Perjamuan Kudus (lihat buku Liturgi Gereja Kristen Indonesia halaman 48-50),
pemimpin liturgi harus mengingat dan memberikan kesempatan yang cukup kepada
jemaat untuk bersaat hening di tempat-tempat yang telah ditentukan dalam liturgi.
7. Prosesi Persembahan dalam Liturgi Perjamuan Kudus
Dalam kebaktian perjamuan kudus pelayanan persembahan dilakukan sebelum
pelayanan perjamuan kudus. Perlu diperhatikan bahwa pada saat kantong-kantong
persembahan dibawa ke depan mimbar untuk didoakan, alat-alat perjamuan kudus juga
dibawa ke depan oleh beberapa penatua yang sudah ditentukan, lalu mereka
menyerahkannya kepada pendeta yang memimpin perjamuan kudus. Pada jemaat-
jemaat kecil, jika dimungkinkan semua alat perjamuan kudus dibawa ke depan. Pada
jemaat-jemaat sedang dan besar, tidak perlu semua alat perjamuan kudus dibawa ke
depan, cukup sebagian saja yang dibawa ke depan sebagai simbol dari penyerahan
keseluruhannya. Doa persembahan oleh penatua dilakukan sesudah semua kantong
persembahan dan alat perjamuan kudus berada di depan mimbar.
8. Sikap Jemaat pada Pengakuan Iman
Pengakuan iman bukanlah doa. Karena itu, pengakuan iman, baik yang diucapkan
maupun dinyanyikan, harus dilakukan dengan sikap tegak dan khidmat. Hal ini harus
disampaikan oleh pemimpin liturgi kepada jemaat ─meski tidak perlu setiap kali─ agar
jemaat memahami dan mengikutinya, lalu kemudian dapat menjadi pola yang
permanen.
9. Tema-tema Khusus di Jemaat
Dengan pemakaian leksionari, daftar bacaan untuk pelayanan Firman Tuhan selama
setahun telah ditetapkan, dan dari situ tema-tema khotbah dan rancangan khotbahnya
telah dipersiapkan oleh Komisi Rancangan Khotbah GKI. Jemaat, dan juga Klasis,
diminta untuk secara konsisten mengikuti pengaturan ini sehingga tidak menetapkan
sendiri tema-tema khusus dan daftar bacaannya.
Pertanyaannya adalah, apakah jemaat samasekali tidak mempunyai kesempatan untuk
menetapkan tema-tema yang dianggap perlu oleh jemaat karena kebutuhan-kebutuhan
tertentu? Jawabannya adalah:
3
4. a. Jika masih memungkinkan untuk menyesuaikan tema khusus itu dengan tema yang
ada di Rancangan Khotbah (sesuai dengan leksionari), utamakanlah kebijakan
seperti ini.
b. Jika kebutuhan dianggap sangat mendesak dan tema leksionari dianggap
kurang/tidak cocok, tentukanlah tema (dengan daftar bacaan Alkitab) yang lain,
namun harus tetap dilakukan secara proporsional.
10. Warna Liturgis pada Peristiwa-peristiwa yang “Bertumpuk”
Jika dalam kebaktian tertentu dua atau lebih peristiwa “bertumpuk”, warna liturgis
yang dipakai adalah sesuai dengan tahun gerejawi, kecuali jika sudah ada ketentuan
khusus dalam Tata Gereja GKI. Misalnya, pada masa Adven (yang warna liturgisnya
ungu) dilaksanakan emeritasi pendeta, pendeta memakai stola merah. Contoh lain,
dalam kebaktian HUT GKI yang biasanya dilaksanakan serempak di seluruh GKI
dengan acara Pertukaran Mimbar Sinode, jika pendeta bertoga ia memakai stola
berwarna merah.
11. Liturgi-liturgi Inisiasi yang Dilaksanakan Berbarengan
Jika jemaat melaksanakan lebih dari satu akta inisiasi pada satu hari Minggu (misalnya
baptisan kudus dewasa dan pengakuan iman/sidi; atau masih ditambah lagi dengan
penerimaan anggota) dapat dilakukan penggabungan dari unsur-unsur liturgi tertentu.
a. Unsur-unsur liturgis yang dapat digabungkan adalah:
1) Pengantar pada baptisan kudus dewasa, baptisan kudus anak, dan pengakuan
iman/sidi.
2) Sebagaimana kita ketahui, setiap pengantar dalam sebuah liturgi memuat
pemahaman teologis-eklesiologis dan ajaran yang terkait dengan akta gerejawi
yang sedang dilaksanakan. Karena itu, penggabungan pengantar dari dua atau
lebih liturgi inisiasi harus dilakukan dengan kehati-hatian dan ketelitian yang
tinggi, dengan persiapan yang matang, supaya semua pemahaman dasarnya
termuat di dalam penggabungan itu.
3) Doa syukur
4) Pernyataan iman pada baptisan kudus dewasa, pengakuan percaya/sidi, dan
pembaruan pengakuan percaya
5) Pernyataan iman juga memuat pemahaman teologis-eklesiologis dan ajaran
yang terkait dengan akta gerejawi yang sedang dilaksanakan. Dari lima liturgi
inisiasi, pernyataan iman yang dapat digabungkan adalah dari liturgi baptisan
kudus dewasa, pengakuan percaya/sidi, dan pembaruan pengakuan percaya.
6) Pengakuan iman
7) Nyanyian jemaat (pada bagian ini unsur liturgis ini bahkan dapat dihilangkan)
8) Ucapan berkat dan nyanyian doksologi
9) Pesan kepada yang bersangkutan (dengan menyebutkan semua pihak yang
disapa)
10) Pesan kepada jemaat (dengan menyebutkan semua pihak yang “diserahkan”
kepada jemaat)
11) Doa syafaat
4
5. b. Unsur-unsur liturgis yang tidak dapat digabungkan adalah:
1) Pengantar dalam liturgi penerimaan anggota dan pengantar dari liturgi
pembaruan pengakuan percaya.
2) Pernyataan iman dalam liturgi baptisan kudus anak dan pernyataan iman liturgi
penerimaan anggota.
Unsur-unsur liturgi yang tidak dapat digabungkan harus dilaksanakan secara
terpisah.
12. Tempat Paduan Suara/Kelompok Vokal dalam Liturgi
Dalam liturgi tidak diatur tempat paduan suara/kelompok vokal secara spesifik. Itu
berarti, dalam setiap liturgi paduan suara/kelompok vokal harus ditempatkan sesuai
tema/isi lagu yang dinyanyikan. Misalnya, jika tema/isi lagu bercorak pengakuan dosa,
paduan suara/kelompok vokal harus ditempatkan pada ordo “Jemaat Berhimpun”
dalam kaitan dengan pengakuan dosa oleh jemaat. Atau, jika lagunya bertema/berisi
respons kepada pemberitaan Firman, paduan suara/kelompok vokal menyanyikan lagu
itu pada ordo “Pelayanan Firman” sesudah khotbah. Demikian seterusnya.
13. Spontanitas Jemaat
Dalam kebaktian-kebaktian diharapkan jemaat bersikap spontan dalam mengikutinya.
Misalnya, pada saat mereka harus memberikan respons baik dengan perkataan maupun
nyanyian, pada saat mereka harus berdiri dan duduk kembali, dan pada saat mereka
harus bersalaman-salaman. Pemimpin liturgi harus “melatih” jemaat untuk bersikap
spontan. Mungkin pada awalnya akan terlihat kaku karena selama ini biasanya jemaat
menunggu ajakan, namun jika jemaat sudah dibiasakan, mereka akan (berangsur-angur)
dapat mengikuti kebaktian secara spontan. Perhatian juga harus diberikan pada
pemakaian liturgi tertulis. Jika dalam kebaktian dipakai liturgi tertulis, jika semuanya
telah tertera jelas pada lembaran liturgi, pemimpin liturgi, misalnya, samasekali tidak
perlu mengajak jemaat untuk menyanyi atau menjelaskan lagi secara lisan tentang
pembagian giliran menyanyi (semua, laki-laki, perempuan, anak-anak, pemuda).
-oo0oo-
5