Bab 8 membahas berbagai operasi pada citra biner seperti ekstraksi tepi objek, mengikuti kontur, dan penghitungan berbagai fitur seperti luas, perimeter, dan diameter objek. Algoritma utama meliputi algoritma ekstraksi tepi objek menggunakan 8-ketetanggaan dan algoritma mengikuti kontur yang menelusuri kontur objek dengan mencari tetangga berikutnya berdasarkan arah sebelumnya.
1. BAB 8
Operasi
pada Citra Biner
Dengan berakhirnya bab ini, diharapkan pembaca dapat
memahami berbagai hal berikut dan kemudian dapat
mencoba untuk mengimplementasikannya.
Pengantar operasi biner
Representasi bentuk
Ekstraksi tepi objek
Mengikuti kontur
Kontur internal
Rantai kode
Perimeter
Luas
Diameter
Fitur menggunakan perimeter, luas, dan diameter
Pusat massa dan fitur menggunakan pusat massa
Fitur dispersi
Pelabelan objek
2. 288
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
8.1 Pengantar Operasi Biner
Beberapa pemrosesan citra mengacu pada citra biner. Sebagai contoh,
dengan menggunakan citra biner, perbandingan panjang dan lebar objek dapat
diperoleh. Di depan juga telah dibahas aplikasi citra biner pada morfologi.
Namun, tentu saja masih banyak operasi lain yang memanfaatkan citra biner.
Beberapa contoh diulas dalam bab ini.
8.2 Representasi Bentuk
Fitur suatu objek merupakan karakteristik yang melekat pada objek. Fitur
bentuk merupakan suatu fitur yang diperoleh melalui bentuk objek dan dapat
dinyatakan melalui kontur, area, dan transformasi, sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 8.1. Fitur bentuk biasa digunakan untuk kepentingan identifikasi objek.
Sebagai contoh, rasio kebulatan dipakai sebagai salah satu fitur pada identifikasi
tanaman (Wu, dkk., 2007) dan Polar Fourier Transform (PFT) dapat dipakai
untuk identifikasi daun (Kadir, dkk., 2011).
Representasi
bentuk
Kontur
Area
Kode rantai
Hampiran poligon
…
Rasio kebulatan
Transformasi jarak
…
Transformasi
Transformasi
Fourier
Transformasi PFT
…
Gambar 8.1 Representasi bentuk
8.3 Ekstraksi Tepi Objek
Tepi objek pada citra biner dapat diperoleh melalui algoritma yang dibahas
oleh Davis (1990). Pemrosesan dilakukan dengan menggunakan 8-ketetanggaan.
Sebagai penjelas, lihatlah Gambar 8.2. Piksel P
mempuyai 8 tetangga yang
dinyatakan dengan P0 hingga P7. Adapun algoritma tertuang pada Algoritma 8.1.
3. Operasi pada Citra Biner
289
P3
P2
P1
P4
P
P0
P5
P6
P7
Gambar 8.2 Piksel dan 8 piksel tetangga
ALGORITMA 8.1 – Memperoleh tepi objek
Masukan:
f (m,n): Citra masukan berupa citra biner berukuran m baris
dan n kolom
Keluaran:
g (m, n): Hasil citra yang berisi tepi objek
FOR q 2 to m-1
FOR p 2 to n-1
p0 f(q, p+1)
p1 f(q-1, p+1)
p2 f(q-1, p)
p3 f(q-1, p-1)
p4 f(q, p-1)
p5 f(q+1, p-1)
p6 f(q+1, p)
p7 f(q+1, p+1)
sigma p0 + p1 + p2 + p3 + p4 + p5 + p6 + p7
IF sigma = 8
g(q, p) 0
ELSE
g(q, p) f(q, p)
END-IF
END-FOR
END-FOR
4. 290
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Algoritma 8.1 mengasumsikan bahwa semua piksel pada kolom
pertama, kolom, terakhir, baris pertama, dan baris terakhir tidak
ada yang bernilai 1. Apabila ada kemungkinan bahwa piksel pada
posisi tersebut ada yang bernilai satu, perlu dibentuk larik baru
yang berukuran (m+2) x (n+2), yang mencakup seluruh nilai f dan
dengan bagian tepi larik berisi 0.
Perwujudan skrip berdasarkan algoritma di depan dapat dilihat berikut ini.
Program : tepibiner.m
function [G] = tepibiner(F)
% TEPIBINER Berguna untuk mendapatkan tepi objek
%
pada citra biner
[jum_baris, jum_kolom] = size(F);
G = zeros(jum_baris, jum_kolom);
for q = 2 : jum_baris - 1
for p = 2 : jum_kolom - 1
p0 = F(q, p+1);
p1 = F(q-1, p+1);
p2 = F(q-1, p);
p3 = F(q-1, p-1);
p4 = F(q, p-1);
p5 = F(q+1, p-1);
p6 = F(q+1, p);
p7 = F(q+1, p+1);
sigma = p0 + p1 + p2 + p3 + p4 + p5 + p6 + p7;
if sigma == 8
G(q, p) = 0;
else
G(q, p) = F(q, p);
end
end
end
Akhir Program
5. Operasi pada Citra Biner
Contoh penggunaan fungsi tepibiner dapat dilihat di bawah ini.
>> Img = imread('C:Imagedaun_bin.png');
>> G = tepibiner(Img);
>> imshow(G)
>>
Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 8.3.
Gambar 8.3 Tepi objek yang diperoleh melalui tepibiner.m
291
6. 292
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Jika objek berlubang, kontur bagian dalam juga akan dibuat oleh
fungsi tepibiner. Contoh:
8.4 Mengikuti Kontur
Mengikuti kontur (contour following) merupakan suatu metode yang
digunakan untuk mendapatkan tepi objek. Terkait dengan hal itu, terdapat istilah
kontur eksternal dan kontur internal. Gambar 8.4 memberikan ilustrasi tentang
perbedaan kedua jenis kontur tersebut. Terlihat bahwa piksel yang menjadi bagian
kontur eksternal (ditandai dengan huruf E) terletak di luar objek, sedangkan piksel
yang menjadi bagian kontur internal terletak di dalam objek itu sendiri.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
1
1
1
1
0
0
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
1
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Kontur
eksternal
Kontur
internal
Gambar 8.4 Kontur eksternal dan kontur internal
7. Operasi pada Citra Biner
293
Istilah kontur identik dengan batas (boundary). Itulah sebabnya,
fitur yang berhubungan dengan kontur acapkali dinamakan
deskriptor batas.
Contoh pada Gambar 8.5 menunjukkan cara untuk memperoleh kontur
eksternal. Dengan menggunakan pendekatan 8-ketetanggaan, diperoleh hasil
sebagai berikut:
(3,2), (4,2), (5,2), (6,2), (7,2), (8,3), (8,4), (8,5), (8,6), (8,7), (7,8), (6,8), (5,8),
(4,8), (3,8), (2,7), (2,6), (2,4), (2,3)
Proses untuk mendapatkan titik awal (yaitu (3,1)) dilakukan dengan melakukan
pemindaian seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 8.5. Setelah titik awal
ditemukan, penelusuran dilakukan seperti terlihat pada Gambar 8.5(b).
Penelusuran kontur berakhir setelah bertemu kembali dengan titik awal.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
4
0
0
1
1
1
1
1
0
5
0
0
1
1
1
1
1
6
0
0
1
1
1
1
7
0
0
1
1
1
8
0
0
0
0
9
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
1
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Titik awal
Kontur
eksternal
Gambar 8.5 Proses penelusuran kontur
8. 294
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Label yang digunakan pada penelusuran kontur ditunjukkan pada Gambar
8.6(a). Piksel tetangga yang diberi latarbelakang hitam merupakan tetangga yang
dijadikan acuan untuk mencari titik kedua yang akan menjadi bagian kontur.
Dengan cara seperti itu, piksel yang berada di atas piksel titik awal ataupun yang
berada di kanannya tidak mungkin menjadi piksel kedua yang merupakan bagian
kontur.
3
2
1
3
2
1
4
P
0
4
P
0
5
6
7
5
6
7
(a) Label tetangga untuk
penelusuran kontur
(b) Tetangga berwarna hitam
Sebagai basis pencarian titik kedua
Gambar 8.6 Label posisi tetangga dan pencarian tetangga
untuk menentukan bagian kedua pada kontur
Penelusuran untuk piksel-piksel berikutnya dilakukan dengan cara yang
khusus. Untuk kepentingan ini, diperlukan suatu pencatatan untuk mengetahui
arah posisi sekarang (C) terhadap posisi sebelum (P) dan berikutnya (N). Sebagai
contoh, dcp digunakan untuk mencatat arah posisi sekarang terhadap piksel
sebelumnya, dpc untuk mencatat arah posisi sebelum terhadap posisi sekarang,
dan dcn untuk mencatat arah posisi sekarang terhadap piksel berikutnya.
Berdasarkan keadaan pada Gambar 8.6(a), hubungan antara dcp dan dpc adalah
berkebalikan. Oleh karena itu, hubungan tersebut dapat ditabelkan seperti berikut.
Tabel 8.1 Hubungan antara dpc dan dcp
dcp
0
1
2
3
4
5
6
7
dcp =
kebalikan(dcp)
4
5
6
7
0
1
2
3
9. Operasi pada Citra Biner
295
Algoritma untuk mendapatkan hasil seperti yang telah dibahas dapat dilihat
di bawah ini (Costa & Cesar, 2001).
ALGORITMA 8.2 – Mengikuti kontur
Masukan:
f (m,n): Citra masukan berukuran m baris dan n kolom berisi
kontur
Keluaran:
e (n): kontur dengan n piksel
1.
Cari piksel pertama yang akan dijadikan sebagai kontur
melalui pemindaian dan disimpan di e[1].
2.
n 2 // Indeks kedua pada kontur e
3.
Cari piksel kedua yang menjadi bagian kontur dengan cara
yang telah dibahas dan diletakkan di piksel_berikutnya
4.
dcn arah dari e[1] ke piksel kedua.
5.
WHILE (piksel_berikutnya e[1]
e[n] piksel_berikutnya
cari_piksel_berikutnya(e(n), dpc, piksel_berikutnya, dcn)
nn+1
END-WHILE
ALGORITMA 8.3: Memperoleh piksel berikutnya pada kontur
cari_piksel_berikutnya(pc , dpc, pb, dcn)
// pc = piksel sekarang
// dpc = arah piksel sebelumnya ke piksel sekarang
// pb = piksel berikutnya yang akan dihasilkan oleh fungsi
// dcn = arah piksel sekarang ke piksel berikutnya
dcp kebalikan(dpc)
FOR r 0 TO 6
dE MOD(dcp + r, 8) // Arah eksternal
dI MOD(dcp + r + 1, 8); // Arah internal
pE peroleh_piksel_berikutnya(pc, dE)
pI peroleh_piksel_berikutnya(pc, dI)
IF adalah_latarbelakang(pE) AND adalah_objek(pI)
pb pE
dcn dE
10. 296
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
END-IF
END-FOR
ALGORITMA 8.4: Memperoleh piksel berikutnya
peroleh_piksel_berikutnya(pc, d)
// pc = piksel sekarang
// d = arah piksel berikutnya
// Nilai balik: piksel berikutnya
XP [1, 1, 0, -1, -1, -1, 0, 1];
YP [0, -1, -1, -1, 0, 1, 1, 1];
cx bagian x dari pc + XP(d+1);
cy bagian y dari pc + YP(d+1);
Implementasi metode “mengikuti kontur” ditunjukkan berikut ini.
Program : get_contour.m
function [Kontur] = get_contour(BW)
% GET_CONTOUR Berfungsi untuk memperoleh kontur eksternal
%
dari suatu citra biner BW
%
Hasil berupa Kontur yang berisi pasangan X dan Y dari setiap
%
piksel yang menyusun kontur. Kolom 1 menyatakan Y dan
%
kolom 2 menyatakan X
% Peroleh kontur
% Proses rantai kode
% Arah sebelumnya ke sekarang
DPC = [0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7];
% Arah sekarang ke sebelumnya
DCP = [4, 5, 6, 7, 0, 1, 2, 3];
% Arah 0
1
2
3
4
5 6 7
%
terhadap posisi sekarang
XP =
[1, 1, 0, -1, -1, -1, 0, 1];
YP =
[0, -1, -1, -1, 0, 1, 1, 1];
% Peroleh titik awal
[tinggi, lebar] = size(BW);
11. Operasi pada Citra Biner
297
% Cari titik awal
x1 = 1;
y1 = 1;
selesai = false;
for baris = 1 : tinggi
for kolom = 1 :lebar
if BW(baris, kolom) == 1
y1 = baris;
x1 = kolom-1;
selesai = true;
Kontur(1,1) = y1;
Kontur(1,2) = x1;
break;
end
end
if selesai
break;
end
end
% Proses piksel kedua
for i = 4 : 7
if BW(y1+YP(i+1), x1+XP(i+1)) == 0
dcn = i; % Arah sekarang ke sesudahnya
break;
end
end
yberikut = y1 + YP(dcn+1);
xberikut = x1 + XP(dcn+1);
indeks = 2; % Indeks kedua
% Proses peletakan piksel kedua dan seterusnya
%
ke array Kontur
while (yberikut ~= Kontur(1,1)) || (xberikut ~= Kontur(1,2))
Kontur(indeks,1) = yberikut;
Kontur(indeks,2) = xberikut;
dpc = dcn; % Arah sebelum ke sekarang diisi
% dengan arah sekarang ke berikutnya
% Cari piksel berikutnya
for r = 0 : 7
dcp = DCP(dpc+1);
de = rem(dcp+r, 8);
di = rem(dcp+r+1, 8);
cxe
cye
cxi
cyi
=
=
=
=
Kontur(indeks,2)
Kontur(indeks,1)
Kontur(indeks,2)
Kontur(indeks,1)
+
+
+
+
XP(de+1);
YP(de+1);
XP(di+1);
YP(di+1);
if (BW(cye, cxe) == 0) && (BW(cyi, cxi) == 1)
yberikut = cye;
xberikut = cxe;
break;
12. 298
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
end
end
% Naikkan indeks
indeks = indeks + 1;
end
Akhir Program
Contoh untuk menguji fungsi get_contour:
>> Daun = imread('c:imagedaun_bin.png');
>> C = get_contour(Daun);
>>
Dengan cara seperti itu, C berisi data piksel yang menjadi kontur citra biner
daun_bin.png.
Untuk membuktikan bahwa C berisi kontur daun, berikan kode seperti
berikut:
>> D = zeros(size(Daun));
>> for p=1:length(C)
D(C(p,1), C(p,2)) = 1;
end
>> imshow(D)
Pertama-tama, perintah
D = zeros(size(Daun));
digunakan untuk membentuk matriks berukuran sama dengan citra Daun dan
seluruhnya diisi dengan nol. Selanjutnya,
>> for p=1:length(C)
D(C(p,1), C(p,2)) = 1;
13. Operasi pada Citra Biner
299
end
>>
digunakan untuk membuat matriks D yang sesuai dengan nilai-nilai koordinat
pada larik C diisi dengan angka 1. Dengan demikian, D merekam kontur yang
tercatat pada C. Gambar 8.7 menunjukkan hasil imshow(D).
Gambar 8.7 Gambar kontur yang diperoleh
melalui get_contour
14. 300
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
8.5 Kontur Internal
Salah satu cara untuk mendapatkan kontur internal yang telah diurutkan
menurut letak piksel, yaitu dengan memanfaatkan algoritma pelacakan kontur
Moore. Algoritma ini antara lain digunakan pada peta topografik digital (Pradha,
dkk., 2010).
ALGORITMA 8.5 – Memperoleh kontur internal dengan
pelacakan kontur Moore
Masukan:
f (m,n): Citra masukan berukuran m baris dan n kolom
Keluaran:
kontur (s): Larik yang berisi piksel-piksel kontur sebanyak s
1. Dapatkan piksel terkiri dan teratas yang bernilai 1.
Selanjutnya, posisi piksel dicatat pada b0 dan posisi untuk
memperoleh piksel berikutnya dicatat pada c0, yang mulamula diisi dengan 4 (arah barat pada Gambar 8.8(d)).
2. Periksa 8 tetangga b0 searah jarum jam dimulai dari c0.
Piksel pertama yang bernilai 1 dicatat pada b1. Adapun
posisi yang mendahului b1 dicatat pada c1.
3. kontur(1) b0, kontur(2) b1, jum 2
4. b b1 dan c c1
5. WHILE true
a. Cari piksel pada 8 tetangga yang pertama kali
bernilai 1 dengan pencarian dimulai dari arah c
dengan menggunakan pola arah jarum jam.
b. Catat posisi piksel tersebut ke b.
c. Catat posisi yang mendahului piksel tersebut ke
c.
d. Tambahkan b sebagai bagian kontur:
jum jum + 1
kontur(jum) b
e. IF b = b0
Keluar dari WHILE
END-IF
END-WHILE
Algoritma di atas akan membuat indeks pertama dan indeks terakhir pada
kontur berisi nilai yang sama yaitu b0. Jika dikehendaki untuk tidak
15. Operasi pada Citra Biner
301
menyertakan nilai yang sama pada bagian akhir larik kontur, elemen tersebut
tinggal diabaikan saja.
Untuk memahami proses kerja pada algoritma Moore, perhatikan Gambar
8.8. Gambar 8.8(a) menyatakan keadaan objek pada citra. Piksel yang bernilai 1
menyatakan bagian objek dan yang bernilai 0 adalah bagian latarbelakang. Pada
contoh tersebut, pelacakan akan dimulai pada posisi (2,2), yaitu piksel bagian
objek yang terletak paling kiri dan paling atas. Adapun titik pencarian untuk
piksel kedua dimulai di arah barat atau arah kiri piksel (2,2) tersebut. Pencarian
dilakukan searah jarum jam. Pada langkah pertama, diperoleh piksel pada posisi
(2,3). Pencarian berikutnya akan dimulai di posisi (1,3), yaitu yang ditandai
dengan bulatan. Pada pencarian kedua, piksel yang didapat, yaitu posisi (2,4),
dengan titik pencarian berikutnya dimulai di posisi (1,4). Pada pencarian ketiga,
piksel yang didapat adalah pada (2,5), dengan titik pencarian berikutnya dimulai
di posisi (1,5). Pada pencarian keempat, piksel yang didapat yaitu (3,5), dengan
titik pencarian berikutnya dimulai di posisi (3,6). Jika langkah seperti itu terus
diulang, suatu ketika akan diperoleh piksel yang sama dengan piksel yang pertama
kali menjadi bagian kontur. Saat itulah proses untuk melacak kontur diakhiri.
Semua langkah yang terjadi untuk contoh Gambar 8.8(a) ditunjukkan pada
Gambar 8.8(b). Penomoran arah pencarian ditunjukkan pada Gambar 8.8(d),
sedangkan hasil kontur diperlihatkan pada Gambar 8.8(c).
16. 302
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
1
2
3
4
5
1
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
3
0
0
1
1
1
0
4
0
1
1
1
0
0
5
0
0
1
1
1
0
6
0
0
0
0
0
3
0
2
2
1
6
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
4
1
Objek
(a)
(b)
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
1
0
1
1
0
1
0
0
0
0
1
1
1
0
0
0
0
0
0
3
0
0
Piksel objek paling
kiri dan paling atas
sebagai titik awal
pelacakan
0
2
1
4
Kontur
(c)
5
0
6
7
(d)
Gambar 8.8 Penjelasan pelacakan kontur dengan
menggunakan Algoritma Moore
Implementasi algoritma Moore ditunjukkan berikut ini.
Program : inbound_tracing.m
function [Kontur] = inbound_tracing(BW)
% INBOUND_TRACING Memperoleh kontur yang telah terurutkan
%
dengan menggunakan algoritma pelacakan kontur Moore
[jum_baris, jum_kolom] = size(BW);
% Peroleh piksel awal
selesai = false;
for p = 1 : jum_baris
for q = 1 : jum_kolom
if BW(p, q) == 1
b0.y = p;
17. Operasi pada Citra Biner
b0.x = q;
selesai = true;
break;
end
end
if selesai
break;
end
end
c0 = 4; % Arah barat
% Periksa 8 tetangga dan cari piksel pertama yang bernilai 1
for p = 1 : 8
[dy, dx] = delta_piksel(c0);
if BW(b0.y + dy, b0.x + dx) == 1
b1.y = b0.y + dy;
b1.x = b0.x + dx;
c1 = sebelum(c0);
break;
else
c0 = berikut(c0);
end
end
Kontur=[];
Kontur(1, 1)
Kontur(1, 2)
Kontur(2, 1)
Kontur(2, 2)
=
=
=
=
b0.y;
b0.x;
b1.y;
b1.x;
%Kontur
n = 2; % Jumlah piksel dalam kontur
b = b1;
c = c1;
% Ulang sampai berakhir
while true
for p = 1 : 8
[dy, dx] = delta_piksel(c);
if BW(b.y + dy, b.x + dx) == 1
b.y = b.y + dy;
b.x = b.x + dx;
c = sebelum(c);
n = n + 1;
Kontur(n, 1) = b.y;
Kontur(n, 2) = b.x;
break;
else
c = berikut(c);
end
303
18. 304
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
end
% Kondisi pengakhir pengulangan
if (b.y == b0.y) && (b.x == b0.x)
break;
end
end
return
function [b] = berikut(x)
if x == 0
b = 7;
else
b = x - 1;
end
function [s] = sebelum(x)
if x == 7
s = 0;
else
s = x + 1;
end
if s < 2
s = 2;
elseif s < 4
s = 4;
elseif s < 6
s = 6;
else
s = 0;
end
function [dy, dx] = delta_piksel(id)
if id == 0
dx = 1; dy = 0;
elseif id == 1
dx = 1; dy = -1;
elseif id == 2
dx = 0; dy = -1;
elseif id == 3
dx = -1; dy = -1;
elseif id == 4
dx = -1; dy = 0;
elseif id == 5
dx = -1; dy = 1;
elseif id == 6
dx = 0; dy = 1;
elseif id == 7
dx = 1; dy = 1;
end
Akhir Program
19. Operasi pada Citra Biner
305
Contoh penggunaan inbound_tracing :
>> D = [ 0 0 0 0 0 0
0 1 1 1 1 0
0 0 1 1 1 0
0 1 1 1 0 0
0 0 1 1 1 0
0 0 0 0 0 0 ];
>> P = inbound_tracing(D)
P =
2
2
2
3
2
4
2
5
3
5
4
4
5
5
5
4
5
3
4
2
3
3
2
2
>>
Perhatikan, elemen pertama dan terakhir pada P sama.
8.6 Rantai Kode
Rantai kode (code chain) merupakan contoh representasi kontur yang
mula-mula diperkenalkan oleh Freeman pada tahun 1961. Representasi bentuk
dilakukan dengan menggunakan pendekatan 8-ketetanggan. Kode rantai setiap
20. 306
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
tetangga piksel dinyatakan dengan sebuah angka sebagaimana terlihat pada
Gambar 8.9.
3
2
4
5
1
0
6
7
Gambar 8.9 Arah rantai kode beserta kodenya
Untuk mempermudah perolehan kode rantai piksel yang menjadi tetangga
suatu piksel, perlu pembuatan indeks yang dapat dihitung melalui rumus berikut:
𝑖𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 = 3 ∆𝑦 + ∆𝑥 + 5
(8.1)
Dalam hal ini, ∆𝑥 menyatakan selisih nilai kolom dua piksel yang bertetangga dan
∆𝑦 menyatakan selisih nilai baris dua piksel yang bertetangga. Hubungan kode
rantai dan indeks pada Persamaan 8.1 tersaji pada Tabel 8.2.
Tabel 8.2 Indeks dan kode rantai dua piksel yang bertetangga
∆𝑥
∆𝑦
0
+1
6
8
0
-1
2
2
-1
+1
5
7
-1
-1
3
1
+1
+1
7
9
+1
-1
1
3
-1
0
4
4
Kode Rantai
Indeks = 3 ∆𝑦 + ∆𝑥 + 5
Kode untuk memperoleh kode rantai dapat dilihat berikut ini.
21. Operasi pada Citra Biner
307
Program : chain_code.m
function [kode_rantai,
% CHAIN_CODE Digunakan
%
kode rantai dari
%
misalnya melalui
% Kode
Kode =
xawal, yawal] = chain_code(U)
untuk mendapatkan titik awal (x, y) dan
kontur U yang datanya telah terurutkan
get_contour
1
2
3
4
5
6
7
8
9
['3', '2', '1', '4', '0', '0', '5', '6', '7' ];
xawal = U(1,2);
yawal = U(1,1);
kode_rantai = '';
for p=2: length(U)
deltay = U(p, 1) - U(p-1, 1);
deltax = U(p, 2) - U(p-1, 2);
indeks = 3 * deltay + deltax + 5;
kode_rantai = strcat(kode_rantai, Kode(indeks));
end
Akhir Program
Contoh penggunaan fungsi chain_code:
>> Daun = imread('c:imagedaun_bin.png');
>> C = inbound_tracing(Daun);
>> [kode, x, y] = chain_code(C)
kode =
007067565666666666665666666666666666666666666766676676676667666766
767666767666676676667666766676667676766667666766666676670676766666
676666766667666676666667667667677676776776776777677767777777676766
677677767776767677677676767676706767776767677676767676776767676767
667667676766766676676767667666766666543434333343343233433333433333
443333333333323233323323342333333433334334333434234434344344444444
445555655656665656666566666656666666666666666666666666666666666666
666666676567666666666666667666666666667666666666676666666666667666
666666666676666666666666766667666766666676666766766767666766766676
666706666766666666666666666666656664566656656665665656565656656566
656666666666666666766666444343233332332332233323333323333333333333
333233334333333233323232323232222322222232221231222222212222121212
212121212122122221221212221222222212222222222222222220122222222222
222222212222212222222222222212222222222222221222222222222223222221
222222222222222222222222222222222212322222222222222222322222223222
323234233343444545554555456455555555556555655655665656566656566566
566656565656656656565645656565656566566656565554533322322322322322
223222223222222322322132222221222221222121221221212122121212121221
212212222212222122212211212121120121211121111211110111111111111211
221112121221211221221222212122122212212221122122122212221212212122
22. 308
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
012211212122212121121221221212121212112121221212122221222222222222
22222232222222222100001
x = 131
y = 8
>>
Fungsi show_contour berikut digunakan untuk menguraikan kembali
kode rantai menjadi koordinat piksel dan kemudian menggambarkan konturnya.
Program : show_contour.m
function show_contour(x, y, rantai_kode)
% SHOW_CONTOUR Contoh untuk menggambar kontur
%
melalui rantai kode
%
Masukan fungsi ini adalah hasil
%
fungsi chain_code
%
0
1
2
3
4
5
6
7
Dx = [ +1, +1, 0, -1, -1, -1, 0, +1];
Dy = [ 0, -1, -1, -1, 0, +1, +1, +1];
U = zeros(1,2);
U(1,1) = y;
U(1,2) = x;
for p=2: length(rantai_kode)
bilangan = rantai_kode(p) - 48;
posx = U(p-1, 2) + Dx(bilangan + 1);
posy = U(p-1, 1) + Dy(bilangan + 1);
U(p, 1) = posy;
U(p, 2) = posx;
end
% Membentuk gambar kontur
maks_x = max(U(p,2));
maks_y = max(U(p,1));
D = zeros(maks_y, maks_x);
for p=1: length(U)
D(U(p,1), U(p,2)) = 1;
end
imshow(D);
Akhir Program
23. Operasi pada Citra Biner
309
Dengan mendasarkan kode yang dihasilkan melalui get_counter, dapat
dilakukan pengujian seperti berikut:
>> show_contour(x,y,kode)
>>
Dengan cara begitu, gambar kontur daun ditampilkan kembali.
Kode rantai digunakan pada beberapa penelitian, antara lain untuk
pencocokan kurva (Yu, dkk., 2010) dan pengenalan huruf Arab/Farsi (Izakian,
dkk., 2008). Namun, representasi kode rantai sebenarnya memiliki kelemahan
sebagai berikut (Levner, 2002).
1. Kode cenderung panjang.
2. Sensitif terhadap distorsi dan segmentasi yang tidak sempurna.
3. Sangat bergantung pada penyekalaan ataupun rotasi.
Levner menguraikan secara kasar langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk
menghilangkan ketergantungan terhadap rotasi dan penyekalaan.
8.7 Perimeter
Perimeter atau keliling menyatakan panjang tepi suatu objek. Ilustrasinya
dapat dilihat pada Gambar 8.10. Perimeter dapat diperoleh dengan menggunakan
algoritma berikut.
ALGORITMA 8.6 – Estimasi perimeter
Masukan:
f (M,N): Citra masukan berukuran M baris dan N kolom
Keluaran:
perimeter
1. Peroleh citra biner.
2. Kenakan algoritma deteksi tepi.
3. Perimeter jumlah piksel pada tepi objek hasil langkah 2.
24. 310
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Perimeter
daun
Luas daun
Gambar 8.10 Perimeter dan luas daun
Contoh berikut menunjukkan cara menghitung perimeter dengan
menggunakan pendekatan di atas.
Program : perim1.m
function hasil = perim1(BW)
% PERIM1 Untuk menghitung perimeter suatu objek pada
%
BW (citra biner)
%
hasil menyatakan hasil perhitungan perimeter
U = inbound_tracing(BW);
hasil = length(U) - 1;
Akhir Program
25. Operasi pada Citra Biner
311
Pada skrip di atas, -1 diberikan mengingat elemen pertama dan terakhir U
sebenarnya berisi nilai yang sama. Itulah sebabnya, jumlah piksel pada kontur
perlu dikurangi satu.
Contoh pengujian fungsi perim1:
>> Img = imread('C:Imagedaun_bin.png');
>> perim1(Img)
ans = 1409
>>
Algoritma estimasi perimeter di depan memberikan hasil yang baik ketika
tepi objek terhubung dengan 4-ketetanggaan, tetapi tidak tepat kalau terhubung
menurut 8-ketetanggaan (Costa & Cesar, 2001). Hal itu terjadi karena jarak antara
dua piksel tidak bersifat konstan (dapat berupa 1 atau √2) pada 8-ketetanggaan,
sedangkan jarak selalu 1 pada 4-ketetanggaan. Ilustrasi mengenai jarak antarpiksel
dapat dilihat pada Gambar 8.11.
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Jarak 1
1
Jarak √2
Gambar 8.11 Jarak antarpiksel pada 8-ketetanggaan
Apabila tepi objek diproses dengan menggunakan rantai kode (dibahas
pada Subbab 8.4), perimeter dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus:
𝑃 = 𝑁 𝑒 + 𝑁 𝑜 √2
(8.2)
26. 312
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
dengan Ne menyatakan jumlah kode genap dan No menyatakan jumlah kode
ganjil. Contoh berikut menunjukkan penggunaan cara seperti itu.
Program : perim2.m
function hasil = perim2(BW)
% PERIM2 Untuk menghitung perimeter suatu objek pada
%
BW (citra biner) dengan menggunakan
%
chain code
%
%
hasil menyatakan hasil perhitungan perimeter
U = inbound_tracing(BW);
kode_rantai = chain_code(U);
jum_genap = 0;
jum_ganjil = 0;
for p=1: length(kode_rantai)
kode = kode_rantai(p);
if (kode == '0') || (kode == '2') || (kode == '4') || ...
(kode == '6') || (kode == '8')
jum_genap = jum_genap + 1;
else
jum_ganjil = jum_ganjil + 1;
end
end
hasil = jum_genap + jum_ganjil * sqrt(2);
Akhir Program
Contoh:
>> Daun = imread('C:Imagedaun_bin.png');
>> perim2(Daun)
ans = 1605.8
>>
27. Operasi pada Citra Biner
313
8.8 Luas
Cara sederhana untuk menghitung luas suatu objek adalah dengan cara
menghitung jumlah piksel pada objek tersebut. Algoritmanya sebagai berikut.
ALGORITMA 8.7 – Menghitung luas objek
Masukan:
f (m,n): Citra masukan berukuran M baris dan N kolom
Keluaran:
luas
luas 0
FOR p = 1 to m
FOR j = 1 to n
IF piksel(p, q) dalam objek
luas luas + 1
END-IF
END-FOR
END-FOR
Contoh berikut adalah implementasi algoritma di atas.
Program : luas.m
function hasil = luas(BW)
% LUAS Untuk menghitung luas citra BW (citra biner)
[tinggi, lebar] = size(BW);
hasil = 0;
for p = 1 : tinggi
for q = 1 : lebar
if BW(p, q) == 1
hasil = hasil + 1;
end
end
28. 314
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
end
Akhir Program
Contoh:
>> D = [ 0 0 0 0 0 0
0 1 1 1 1 0
0 0 1 1 1 0
0 1 1 1 0 0
0 0 1 1 1 0
0 0 0 0 0 0 ];
>> luas(D)
ans =
13
>>
>> Daun = imread('c:imagedaun_bin.png');
>> luas(Daun)
ans =
31862
>>
Pendekatan yang lain untuk menghitung luas suatu objek dilakukan
melalui kode rantai (Putra, 2010). Perhitungannya sebagai berikut:
Kode 0: Area = Area + Y
Kode 1: Area = Area + (Y + 0.5)
Kode 2: Area = Area + 0
Kode 3: Area = Area – (Y + 0,5)
Kode 4: Area = Area - Y
Kode 5: Area = Area – (Y + 0,5)
Kode 6: Area = Area + 0
Kode 7: Area = Area + (Y + 0,5)
29. Operasi pada Citra Biner
Contoh
pada
315
Gambar
8.12
mempunyai
kode
rantai
berupa
0770764554341234201. Perhitungan luas dijabarkan dalam Tabel 8.3. Luasnya
adalah ∑ 𝐴𝑟𝑒𝑎= 22,5.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Gambar 8.12 Objek dengan rantai kode
berupa 0770764554341234201
Tabel 8.3 Perhitungan luas objek melalui rantai kode
Kode pada
Rantai Kode
0
7
7
0
7
6
4
5
5
4
3
4
1
2
Ordinat (Y)
Luas
8
8
7
6
6
5
4
4
3
2
2
3
3
4
8
7,5
6,5
6
5,5
0
-4
-3,5
-2,5
-2
-2,5
-2
-2,5
0
30. 316
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Kode pada
Rantai Kode
3
4
2
0
1
Ordinat (Y)
Luas
5
6
6
7
7
-5,5
-6
0
7
7,5
Berikut adalah contoh skrip yang digunakan untuk melakukan perhitungan
dengan cara di depan.
Program : luas2.m
function hasil = luas2(BW)
% LUAS2 Untuk menghitung luas citra BW (citra biner)
%
melalui kode rantai
[tinggi, lebar] = size(BW);
U = inbound_tracing(BW);
kode_rantai = chain_code(U);
hasil = 0;
for p=1: length(kode_rantai)
kode = kode_rantai(p);
y = tinggi + 1 -U(p);
switch kode
case '0'
hasil = hasil
case '1'
hasil = hasil
case '3'
hasil = hasil
case '4'
hasil = hasil
case '5'
hasil = hasil
case {'2','6'}
hasil = hasil
case '7'
hasil = hasil
end
end
Akhir Program
+ y;
+ y + 0.5;
- y - 0.5;
- y;
- y + 0.5;
;
+ y - 0.5;
31. Operasi pada Citra Biner
317
Contoh penggunaan fungsi luas2:
>> X = [
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
0 1 1 1 1 1 0 0 0 0
0 1 1 1 1 1 1 1 0 0
0 0 0 1 1 1 1 1 1 0
0 0 0 1 1 1 1 1 1 0
0 0 1 1 1 1 1 0 0 0
0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 ];
>> luas2(X)
ans =
22.5000
>>
8.9 Diameter
Diameter adalah jarak terpanjang antara dua titik dalam tepi objek. Hal itu
dapat dihitung dengan menggunakan metode “Brute force” (Costa dan Cesar,
2001). Algoritmanya sebagai berikut.
ALGORITMA 8.8 – Estimasi diameter bentuk
Masukan:
f (m,n): Citra masukan berukuran m baris dan n kolom
Keluaran:
diameter
1. U tepi objek (misalnya melalui morfologi)
2. c jumlah elemen U
3. jarak_maks 0
32. 318
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
4. FOR p1 TO c-1
FOR qp+1 TO c
IF | U(p) – U(q) | > jarak_maks
jarak_maks | U(p) – U(q) |
piksel1 p
piksel2 q
END-IF
END-FOR
END-FOR
5. diameter jarak_maks
Pada algoritma di atas, piksel1 dan piksel2 mencatat posisi dua piksel yang
memiliki jarak terpanjang.
Contoh implementasi algoritma tersebut diberikan berikut ini. Dalam hal
ini, fungsi peroleh_diameter memerlukan citra biner sebagai masukan dan
memberikan nilai balik berupa panjang objek, dan dua piksel yang mewakili nilai
panjang tersebut.
Program : peroleh_diameter.m
function [diameter, x1, y1, x2, y2] = peroleh_diameter(BW)
% PEROLEH_DIAMETER Digunakan untuk menghitung panjang objek
%
pada citra BW (citra biner).
%
Hasil:
%
diameter : panjang objek
%
x1, y1, x2, y2 : menyatakan dua titik yang
%
mewakili panjang tersebut
U = get_contour(BW);
n = length(U);
jarak_maks = 0;
piksel1 = 0;
piksel2 = 0;
for p=1 : n-1
for q=p+1 : n
jarak = sqrt((U(p,1)-U(q,1)) ^ 2 + (U(p,2)-U(q,2)) ^ 2);
33. Operasi pada Citra Biner
319
if jarak > jarak_maks
jarak_maks = jarak;
piksel1 = p;
piksel2 = q;
end
end
end
y1
x1
y2
x2
=
=
=
=
U(piksel1,
U(piksel1,
U(piksel2,
U(piksel2,
1);
2);
1);
2);
diameter = jarak_maks;
Akhir Program
Contoh penggunaan fungsi peroleh_diameter diberikan di bawah
ini:
>> Daun = imread('c:imagedaun_bin.png');
>> [d,x1,y1,x2,y2] = peroleh_diameter(Daun);
>> d
d =
515.1641
>> X = [x1,x2]
X =
144
131
>> Y = [y1,y2];
>> line(X,Y, 'Color','r')
>>
Hasil dalam bentuk gambar diperlihatkan pada Gambar 8.13.
34. 320
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Gambar 8.13 Garis merah menyatakan diameter daun
Berdasarkan diameter yang telah dibahas, lebar objek dapat diperoleh.
Sebagai contoh, perhatikan Gambar 8.14. Pada contoh tersebut, lebar adalah garis
terpanjang yang menghubungkan dua
piksel di tepi objek yang tegak lurus
terhadap panjang maksimum pada objek. Setelah dua titik dengan jarak terpanjang
diperoleh, gradien garis yang melalui kedua piksel tersebut dihitung dengan
menggunakan rumus:
(𝑦 −𝑦 )
𝑔𝑟𝑎𝑑1 = (𝑥2 −𝑥1 )
2
1
(8.3)
35. Operasi pada Citra Biner
321
Selanjutnya, garis yang tegak lurus dengan garis dengan gradien sebesar grad1
mempunyai gradien sebesar:
𝑔𝑟𝑎𝑑2 = −
1
(8.4)
𝑔𝑟𝑎𝑑1
Persoalan berikutnya adalah mencari jarak terbesar antara dua piksel pada kontur
daun yang mempunyai gradien sama dengan grad2. Namun, dalam praktiknya
toleransi sebesar 10% perlu diberikan karena sangat sulit untuk mendapatkan garis
yang tepat sama dengan grad2, terutama kalau objek berukuran kecil.
panjang
lebar
Gambar 8.14 Panjang dan lebar objek
Implementasi perhitungan panjang dan lebar objek dapat dilihat pada
program berikut.
Program : peroleh_lebar.m
36. 322
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
function [panjang, lebar, x1, y1, x2, y2, x3, ...
y3, x4, y4] = peroleh_lebar(BW)
% PEROLEH_LEBAR Digunakan untuk memperoleh panjang dan
%
lebar objek yang terdapat pada
%
citra biner BW.
%
Hasil:
%
panjang = panjang objek
%
lebar = lebar objek
%
(x1,y1,x2,y2) = menyatakan posisi lebar objek
%
(x3,y3,x4,y4) = menyatakan posisi panjang objek
U = get_contour(BW);
n = length(U);
jarak_maks = 0;
piksel1 = 0;
piksel2 = 0;
for p=1 : n-1
for q=p+1 : n
jarak = sqrt((U(p,1)-U(q,1)) ^ 2 + ...
(U(p,2)-U(q,2)) ^ 2);
if jarak > jarak_maks
jarak_maks = jarak;
piksel1 = p;
piksel2 = q;
end
end
end
y1
x1
y2
x2
=
=
=
=
U(piksel1,
U(piksel1,
U(piksel2,
U(piksel2,
1);
2);
1);
2);
panjang = jarak_maks;
% Cari dua titik terpanjang yang tegak lurus dengan garis
terpanjang
maks = 0;
posx3 = -1;
posx4 = -1;
posy3 = -1;
posy4 = -1;
if (x1 ~= x2) && (y1 ~= y2)
% Kedua titik tidak pada kolom atau baris yang sama
grad1 = (y1 - y2) / (x1 - x2);
grad2 = -1/grad1;
for p=1:n-1
for q=p+1:n
x3 = U(p, 2);
x4 = U(q, 2);
pembagi = (x4
if pembagi ==
continue;
end;
y3 = U(p, 1);
y4 = U(q, 1);
- x3);
0
grad3 = (y4-y3)/(x4-x3);
37. Operasi pada Citra Biner
323
if abs(grad3-grad2) < 0.1 * abs(grad2)
jarak = sqrt((x3-x4)^2+(y3-y4)^2);
if jarak > maks
maks = jarak;
posx3
posx4
posy3
posy4
=
=
=
=
x3;
x4;
y3;
y4;
end
end
end
end
else
if (y1 == y2)
% kalau kedua titik pada baris yang sama
grad1 = 0;
grad2 = inf;
for p=1:n-1
for q=p+1:n
x3 = U(p,2); y3 = U(p, 1);
x4 = U(q,2); y4 = U(q, 1);
deltax = (x4 - x3);
if (deltax < 0.01) || (deltax > 0.01)
continue;
end;
jarak = sqrt((x3-x4)^2+(y3-y4)^2);
if jarak > maks
maks = jarak;
posx3
posx4
posy3
posy4
=
=
=
=
x3;
x4;
y3;
y4;
end
end
end
else
% kalau kedua titik pada kolom yang berbeda
grad1 = inf;
grad2 = 0;
for p=1:n-1
for q=p+1:n
x3 = U(p,2); y3 = U(p, 1);
x4 = U(q,2); y4 = U(q, 1);
deltay = (y3 - y4);
if (deltay < 1.0) || (deltay > 1.0)
continue;
end
jarak = sqrt((x4-x3)^2+(y4-y3)^2);
if jarak > maks
maks = jarak;
posx3 = x3;
38. 324
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
posx4 = x4;
posy3 = y3;
posy4 = y4;
end
end
end
end
end
x3
y3
x4
y4
=
=
=
=
posx3;
posy3;
posx4;
posy4;
lebar = maks;
Akhir Program
Contoh penggunaan fungsi peroleh_lebar dapat dilihat di bawah ini:
>> close all;
>> Daun = imread('C:Imagedaun_bin.png');
>> [d,l,x1,y1,x2,y2,x3,y3,x4,y4] =
peroleh_lebar(Daun);
>> imshow(Daun);
>> Xp = [x1 x2];
>> Yp = [y1 y2];
>> Xl = [x3 x4];
>> Yl = [y3 y4];
>> line(Xl,Yl, 'Color','r')
>> line(Xp,Yp, 'Color','r')
Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 8.15.
39. Operasi pada Citra Biner
325
Gambar 8.15 Contoh yang menunjukkan
panjang dan lebar daun
8.10 Fitur Menggunakan Perimeter, Luas, dan Diameter
Fitur seperti perimeter, luas, dan diameter seperti yang telah dibahas tidak
dapat digunakan secara mandiri sebagai fitur identifikasi objek. Fitur seperti itu
dipengaruhi oleh ukuran objek. Nah, agar tidak bergantung penyekalaan, beberapa
fitur dapat diturunkan dari ketiga fitur tersebut. Contoh dapat dilihat di bawah ini.
Kebulatan bentuk adalah perbandingan antara luas objek dan kuadrat
perimeter, yang dinyatakan dengan rumus seperti berikut:
𝑘𝑒𝑏𝑢𝑙𝑎𝑡𝑎𝑛( 𝑅) = 4𝜋
𝐴(𝑅)
𝑃 2(𝑅)
(8.5)
40. 326
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Hasilnya berupa nilai < 1. Nilai 1 menyatakan bahwa objek R berbentuk
lingkaran. Kadang fitur ini dinamakan kekompakan (Lee dan Chen, 2003).
Contoh dapat dilihat pada Gambar 18.16.
Fitur alternatif yang menggunakan perbandingan antara luas dan perimeter
dapat dilihat berikut ini (Rangayyan, 2005).
𝑐𝑓 = 1 −
4𝜋𝐴
(8.6)
𝑃2
Berdasarkan rumus di atas, nilai kekompakan berkisar antara 0 sampai
dengan 1. Nilainya berupa nol kalau objek berbentuk lingkaran.
Kerampingan bentuk adalah perbandingan antara lebar dengan panjang,
yang dinyatakan dengan rumus seperti berikut:
𝑘𝑒𝑟𝑎𝑚𝑝𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 =
𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟
𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔
(8.7)
dengan panjang adalah panjang objek dan lebar adalah lebar objek. Fitur
ini terkadang disebut sebagai rasio aspek (Wu, dkk., 2007). Dengan
menggunakan fitur ini, objek yang gemuk dan yang kurus dapat dibedakan
(lihat Gambar 8.17).
41. Operasi pada Citra Biner
Gambar 8.16 Kebulatan bentuk membedakan bentuk daun
yang kurus dan yang gemuk
Gambar 8.17 Kerampingan bentuk membedakan bentuk daun
yang kurus dan yang membulat
Berikut adalah contoh fungsi yang digunakan memperoleh kebulatan.
327
42. 328
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Program : peroleh_kebulatan.m
function rasio = peroleh_kebulatan(BW)
% PEROLEH_KEBULATAN Untuk memperoleh rasio kebulatan milik objek
%
yang terdapat pada citra biner BW
p = perim2(BW);
a = luas2(BW);
rasio = 4 * pi * a / (p^2);
Akhir Program
Contoh penggunaan fungsi peroleh_kebulatan:
>> Daun1 = imread('C:Imageadv.png');
>> peroleh_kebulatan(Daun1)
ans = 0.28708
>> Daun2 = imread('C:Imageaw.png');
>> peroleh_kebulatan(Daun2)
ans = 0.66130
>>
Adapun contoh berikut menunjukkan implementasi fungsi yang dipakai untuk
menghitung kerampingan objek.
Program : peroleh_kerampingan.m
function rasio = peroleh_kerampingan(BW)
% PEROLEH_KERAMPINGAN Untuk memperoleh rasio kerampingan
%
milik objek yang terdapat pada citra biner BW
[panjang, lebar] = peroleh_lebar(BW);
43. Operasi pada Citra Biner
329
rasio = lebar / panjang;
Akhir Program
Contoh penggunaan fungsi peroleh_kerampingan:
>> Daun1 = imread('C:Imageadv.png');
>> peroleh_kerampingan(Daun1)
ans = 0.14605
>> Daun2 = imread('C:Imageaw.png');
>> peroleh_kerampingan(Daun2)
ans = 0.76921
>>
8.11 Pusat Massa dan Fitur Menggunakan Pusat Massa
Pusat massa
atau sentroid (centroid) lazim ditemukan dengan
menggunakan nilai rerata koordinat setiap piksel yang menyusun objek.
Algoritmanya sebagai berikut.
ALGORITMA 8.9 – Estimasi diameter bentuk
Masukan:
f (m,n): Citra masukan berukuran m baris dan n kolom
Keluaran:
pusat_x dan pusat_y
1.
2.
3.
4.
pusat_x 0
pusat_y 0
luas 0
FOR q = 1 to m
FOR p = 1 to n
IF F(q, p) = 1
luas luas + 1
pusat_x pusat_x + p
pusat_y pusat_y + q
END-IF
END-FOR
END-FOR
5. pusat_x pusat_x / luas
44. 330
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
6. pusat_y pusat_y / luas
Berikut adalah implementasi untuk memperoleh pusat massa.
Program : centroid.m
function [pusat_x, pusat_y] = centroid(BW)
% CENTROID Untuk memperoleh pusat massa sebuah objek
%
yang terletak pada citra biner BW
[tinggi, lebar] = size(BW);
pusat_x = 0;
pusat_y = 0;
luas = 0;
for q = 1 : tinggi
for p = 1 : lebar
if BW(q, p) == 1
luas = luas + 1;
pusat_x = pusat_x + p;
pusat_y = pusat_y + q;
end
end
end
pusat_x = pusat_x / luas;
pusat_y = pusat_y / luas;
Akhir Program
Contoh penggunaan fungsi centroid:
>> Daun = imread('C:Imagedaun_bin.png');
>> [x, y] = centroid(Daun);
>> imshow(Daun);
>> [panjang, lebar] = size(Daun);
>> line([0 lebar], [round(y) round(y)],’Color’,’b’)
>> line([round(x) round(x)], [0 panjang],’Color’,’b’)
>>
45. Operasi pada Citra Biner
331
Pada contoh di atas, line digunakan untuk membuat garis tegak dan garis datar
yang melewati pusat massa dan berwarna biru. Hasilnya dapat dilihat pada
Gambar 8.18.
Pusat massa
Gambar 8.18 Contoh untuk menunjukkan centroid
Pusat massa banyak digunakan untuk memperoleh fitur lebih lanjut.
Beberapa contoh dapat dilihat di bawah ini.
Pusat massa untuk memperoleh fitur dispersi (dibahas pada Subbab 8.12).
Menghitung jarak terpanjang antara pusat massa dan titik dalam kontur
(Dmax).
Menghitung jarak terpendek antara pusat massa dan titik dalam kontur
(Dmin).
46. 332
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Menghitung jarak rata-rata antara pusat massa dan titik dalam kontur
(Dmean).
Histogram jarak antara pusat massa dan titik dalam kontur.
Perbandingan:
𝐷 𝑚𝑎𝑥
𝐷 𝑚𝑖𝑛
,
𝐷 𝑚𝑎𝑥
𝐷 𝑚𝑒𝑎𝑛
,
𝐷 𝑚𝑖𝑛
𝐷 𝑚𝑒𝑎𝑛
Contoh program yang memanfaatkan beberapa fitur yang memanfaatkan
pusat massa dapat dilihat di bawah ini.
Program : pusat.m
function [] = pusat(BW)
% PUSAT Contoh untuk menguji beberapa fitur yang
%
menggunakan pusat massa. BW = Citra biner
[px, py] = centroid(BW);
U = inbound_tracing(BW);
U(length(U),:) = []; % Hapus elemen terakhir
rerata = 0;
terkecil = 99999999;
terbesar = 0;
jum_piksel = length(U);
for j = 1 : jum_piksel
panjang = sqrt((U(j,1)-py)^2 + (U(j,2)-px)^2);
rerata = rerata + panjang;
if panjang > terbesar
terbesar = panjang;
end
if panjang < terkecil
terkecil = panjang;
end
end
rerata = rerata / jum_piksel;
terbesar
terkecil
dmaxmin = terbesar / terkecil;
dmaxmean = terbesar / rerata;
dminmean = terkecil / rerata;
disp(sprintf('max/min = %f', dmaxmin));
disp(sprintf('max/mean = %f', dmaxmean));
disp(sprintf('min/mean = %f', dminmean));
47. Operasi pada Citra Biner
333
Akhir Program
Contoh pemakaian fungsi pusat:
>> Daun1 = imread('C:Imageadv.png');
>> Daun2 = imread('C:Imageaw.png');
>> pusat(Daun1)
terbesar =
499.18
terkecil =
64.493
max/min = 7.740069
max/mean = 1.994929
min/mean = 0.257741
>>
>>
pusat(Daun2)
terbesar =
137.58
terkecil =
79.565
max/min = 1.729221
max/mean = 1.399380
min/mean = 0.809255
>>
8.12 Fitur Dispersi
Untuk bentuk yang tidak teratur (atau biasa disebut bentuk tidak kompak),
Nixon dan Aguado (2002) menyarankan penggunaan fitur dispersi. Sebagai
contoh, terdapat tiga bentuk seperti terlihat pada Gambar 8.19. Penggunaan
kekompakan bentuk untuk objek pada Gambar 8.19(c) sebagai diskriminator tidak
tepat. Mereka menyarankan penggunaan dispersi pada bentuk yang tidak teratur,
karena dispersi sangat tepat untuk bentuk seperti itu.
48. 334
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
(c) Teratur
(b) Teratur
(a) Tidak teratur
Gambar 8.19 Kekompakan objek pada berbagai bentuk
Berdasarkan definisi Chen di tahun 1995 (Nixon dan Aguado, 2002),
dispersi (atau juga disebut ketidakteraturan) diukur sebagai perbandingan panjang
chord utama terhadap area objek. Bila dinyatakan dalam rumus berupa seperti
berikut:
𝐼 ( 𝑆) =
π max(√(𝑥 𝑖 −𝑥̅ )2+(𝑦 𝑖 −𝑦 2)
̅)
A(S)
(8.8)
dengan (𝑥̅ , ̅) adalah titik pusat massa area A(S) dan A(S) sendiri menyatakan luas
𝑦
objek. Alternatif yang kedua, dispersi dinyatakan sebagai rasio radius maksimum
terhadap radius minimum, yang dinyatakan dengan rumus seperti berikut:
𝐼𝑅( 𝑆) =
max(√(𝑥 𝑖 −𝑥̅ )2+(𝑦 𝑖 −𝑦 2)
̅)
min(√(𝑥 𝑖 −𝑥̅ )2 +(𝑦 𝑖 −𝑦 2 )
̅)
(8.9)
Fungsi bernama dispersi berikut dapat digunakan untuk memperoleh
fitur kedua dispersi di depan.
Program : dispersi.m
function [d1, d2] = dispersi(BW)
% DISPERSI Contoh untuk menguji beberapa fitur yang
%
menggunakan pusat massa. BW = Citra biner
[px, py] = centroid(BW);
U = inbound_tracing(BW);
49. Operasi pada Citra Biner
335
U(length(U),:) = []; % Hapus elemen terakhir
rerata = 0;
terkecil = 99999999;
terbesar = 0;
jum_piksel = length(U);
for j = 1 : jum_piksel
panjang = sqrt((U(j,1)-py)^2 + (U(j,2)-px)^2);
rerata = rerata + panjang;
if panjang > terbesar
terbesar = panjang;
end
if panjang < terkecil
terkecil = panjang;
end
end
a = perim2(BW);
d1 = pi * terbesar / a;
d2 = terbesar / terkecil;
Akhir Program
Contoh pemakaian fungsi dispersi:
>> Daun1 = imread('C:Imageadv.png');
>> Daun2 = imread('C:Imageaw.png');
>> [d1, d2] = dispersi(Daun1)
d1 =
0.78285
d2 =
7.7401
>> [d1, d2] = dispersi(Daun2)
d1 = 0.57999
d2 = 1.7292
>>
8.13 Pelabelan Objek
Citra biner seringkali memperlihatkan sejumlah objek. Sebagai contoh,
perhatikan Gambar 8.20. Pada gambar tersebut terdapat 6 objek. Nah, bagaimana
50. 336
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
membuat aplikasi yang dapat menghitung jumlah objek? Jawabannya adalah
melalui pelabelan objek.
Gambar 8.20 Citra dengan enam objek
Pelabelan
memberikan
terhadap
label
yang
objek
berbeda
sesungguhnya
(berupa
berupa
nomor)
pada
tindakan
untuk
setiap
objek.
Pemrosesannya dapat dilaksanakan pada citra biner. Ketentuan yang dilakukan
sebagai berikut:
0
𝐵( 𝑦, 𝑥 ) = { 1
2,3, …
𝑝𝑖𝑘𝑠𝑒𝑙 𝑙𝑎𝑡𝑎𝑟𝑏𝑒𝑙𝑎𝑘𝑎𝑛𝑔
𝑝𝑖𝑘𝑠𝑒𝑙 𝑙𝑎𝑡𝑎𝑟𝑑𝑒𝑝𝑎𝑛
𝑙𝑎𝑏𝑒𝑙 𝑜𝑏𝑗𝑒𝑘
(8.10)
Contoh berikut memberikan gambaran tentang hasil pelabelan citra biner di
Gambar 8.20.
51. Operasi pada Citra Biner
337
Gambar 8.21 Pelabelan pada citra biner
Objek yang diberi label akan terlihat jelas jika nilai nol dihilangkan. Hal seperti
itu terlihat pada Gambar 8.22.
Gambar 8.22 Objek-objek citra yang telah diberi label
52. 338
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Cara yang umum digunakan untuk melakukan pelabelan adalah melalui
metode pembanjiran (flood filling). Tiga cara untuk melakukan pembanjiran
dibahas oleh Burger & Burge (2008), yaitu sebagai berikut.
Pembanjiran secara rekursif: Pendekatan ini dapat diterapkan dengan
bahasa pemrograman yang mendukung proses rekursif.
Pembanjiran melalui Depth-first: Teknik ini memerlukan struktur data
tumpukan untuk melaksanakan pembanjiran.
Pembanjiran melalui Breadth-first: Teknik ini memerlukan struktur data
antrian untuk melaksanakan pembanjiran.
Secara umum, proses pelabelan dilakukan melalui algoritma berikut.
ALGORITMA 8.10 – Melakukan pelabelan area pada citra
biner
Masukan:
f (M,N): Citra masukan berukuran M baris dan N kolom
Keluaran:
g (M, N): Hasil citra yang telah diberi label
1. g f
2. label 2
3. FOR baris 1 TO M
4.
5.
FOR kolom 1 TO N
IF g(baris, kolom) = 1
6.
banjiri(g, baris, kolom, label)
7.
label label + 1
8.
9.
END-IF
END-FOR
10. END-FOR
53. Operasi pada Citra Biner
339
11. RETURN g
Algoritma di atas melibatkan fungsi bernama banjiri. Fungsi tersebut akan
diwujudkan dengan tiga cara.
Dengan menggunakan pendekatan 4-ketetanggaan, pembanjiran secara
rekursif dapat dituangkan dalam bentuk algoritma seperti berikut.
ALGORITMA 8.11 – Pelabelan suatu area secara rekursif
banjiri(f, i, j, label):
Masukan:
f (M,N): Citra masukan berukuran M baris dan N kolom
i dan j menyatakan baris dan kolom sebagai biji pembanjiran
terhadap area
label menyatakan label untuk area
Keluaran:
f (M, N): Hasil citra yang telah diberi label
1. IF koordinat (i, j) berada dalam citra dan f(i, j) = 1
2.
f(i, j) label
3.
banjiri( f, i-1, j, label)
4.
banjiri( f, i+1, j, label)
5.
banjiri( f, i, j-1, label)
6.
banjiri( f, i, j+1, label)
7. END-IF
Perhatikan bahwa fungsi banjiri memanggil empat fungsi banjiri. Keadaan
itulah yang menyatakan bahwa fungsi banjiri adalah fungsi rekursif (fungsi
yang memanggil dirinya sendiri).
Pembanjiran melalui depth-first (mendalam dulu) memiliki algoritma
seperti berikut.
54. 340
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
ALGORITMA 8.12 – Pelabelan suatu area dengan pendekatan
mendalam dulu
banjiri(f, i, j, label):
Masukan:
f (M,N): Citra masukan berukuran M baris dan N kolom
i dan j menyatakan baris dan kolom sebagai biji pembanjiran
terhadap area
label menyatakan label untuk area
Keluaran:
f (M, N): Hasil citra yang telah diberi label
1. Menciptakan tumpukan kosong T
2. Menaruh koordinat (i,j) ke tumpukan sebagai biji (push(T, (i,j))
3. WHILE tumpukan T tidak kosong
4.
Mengambil sebuah elemen dari tumpukan T ( (y,x) pop(T))
5.
IF koordinat (y, x) berada dalam citra dan f(i, j) = 1
6.
f(y, x) label
7.
push(S, (y-1, x))
8.
push(S, (y+1, x))
9.
push(S, (y, x-1))
10.
push(S, (y, x+1))
11.
END-IF
12. END-WHILE
Untuk mewujudkan Algoritma 8.12, dibutuhkan struktur data bernama tumpukan
(stack). Di dalam struktur data tumpukan, push berguna untuk memasukkan data
ke dalam tumpukan, sedangkan pop digunakan untuk mengambil data dari
tumpukan. Perlu diketahui, tumpukan adalah struktur data yang mempunyai sifat
LIFO (Last-In First-Out). Artinya, data yang dimasukkan terakhir kali akan
diambil pertama kali.
55. Operasi pada Citra Biner
341
Adapun algoritma pembanjiran melalui breadth-first (melebar dulu)
berupa seperti berikut.
ALGORITMA 8.13 – Pelabelan suatu area dengan pendekatan melebar
dulu
banjiri(f, i, j, label):
Masukan:
f (M,N): Citra masukan berukuran M baris dan N kolom
i dan j menyatakan baris dan kolom sebagai biji pembanjiran
terhadap area
label menyatakan label untuk area
Keluaran:
f (M, N): Hasil citra yang telah diberi label
1. Menciptakan antrean kosong A
2. Menaruh koordinat (i,j) ke antrean sebagai biji (insert(A, (i,j))
3. WHILE antrean A tidak kosong
Mengambil sebuah elemen dari antrean A ( (y,x) remove(A))
IF koordinat (y, x) berada dalam citra dan f(i, j) = 1
f(y, x) label
insert(A, (y-1, x))
insert(A, (y+1, x))
insert(A, (y, x-1))
insert(A, (y, x+1))
END-IF
END-WHILE
4. RETURN f(M,N)
Untuk mewujudkan Algoritma 8.13, dibutuhkan struktur data bernama antrean
(queue). Di dalam struktur data antrean, insert berguna untuk memasukkan
data ke dalam antrean, sedangkan remove digunakan untuk mengambil data dari
56. 342
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
antrean. Perlu diketahui, tumpukan adalah struktur data yang mempunyai sifat
FIFO (First-In First-Out). Artinya, data yang dimasukkan pertama kali akan
diambil pertama kali.
Berdasarkan ketiga jenis pendekatan pembanjiran tersebut, Burger &
Burge (2008) menyatakan bahwa hanya pembanjiran melalui breadth-first yang
secara praktis memberikan hasil yang terbaik. Pembanjiran secara rekursif
umumnysnya memiliki kendala terhadap penggunaan tumpukan (stack), yang
biasanya sangat terbatas pada bahasa pemrograman tertentu. Adapun pembanjiran
menggunakan depth-first mempunyai kelemahan pada eksekusi yang sangat lama.
Meski faktanya seperti itu, pembanjiran melalui breadth-first pun memakan waktu
yang sangat lama bila ukuran citra melebihi 50 x 50 piksel dan mengandung objek
yang berbentuk kompleks.
Itulah sebabnya, disarankan untuk mempelajari algoritma yang
lain, untuk mendapatkan komputasi yang efisien. Sebagai contoh,
pada Octave dan MATLAB terdapat fungsi bwlabel yang berguna
untuk melakukan pelabelan objek. Kode fungsi tersebut dapat
dipelajari untuk memungkinkan penulisan kode dengan bahasa
pemrograman yang lain.
Sebagai
contoh,
akan
diberikan
implementasi
menggunakan pendekatan breadth-first. Kodenya seperti berikut.
Program : labeli.m
function G = labeli(F)
% Memberi label pada area di dalam citra biner F
%
dengan menggunakan 4-ketetanggan
% Hasil berupa citra G
% Bentuk Antrean awal
algoritma
yang
57. Operasi pada Citra Biner
343
Maks_antre = 50000;
Antrean = cell(Maks_antre,1);
depan = 1;
belakang = 1;
G = double(F); % Agar bisa diisi dengan nilai selain 0 dan 1
[m, n] = size(G);
label = 2;
for i=1 : m
for j=1 : n
if G(i, j) == 1
% Kosongkan antrean
depan = 1;
belakang = 1;
% Bentuk simpul dan masukkan ke dalam antrean
simpul.y = i;
simpul.x = j;
if belakang == Maks_antre
if depan == 1
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{obj.belakang} = simpul;
belakang = 1;
end
else
if belakang + 1 == depan
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{belakang} = simpul;
belakang = belakang + 1;
end
end
while belakang ~= depan % Selama antrean tidak kosong
%Ambil dan hapus data pada Antrean
simpul = Antrean{depan};
if depan == 50000
depan = 1;
else
depan = depan + 1;
end
if simpul.x > 0 && simpul.x
simpul.y > 0 && simpul.y
G(simpul.y, simpul.x) ==
G(simpul.y, simpul.x) =
<= n && ...
<= m && ...
1
label;
x = simpul.x; y = simpul.y;
simpul.y = y-1; simpul.x = x;
% Sisipkan ke Antrean
if belakang == Maks_antre
if depan == 1
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{obj.belakang} = simpul;
58. 344
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
belakang = 1;
end
else
if belakang + 1 == depan
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{belakang} = simpul;
belakang = belakang + 1;
end
end
simpul.y = y+1; simpul.x = x;
% Sisipkan ke Antrean
if belakang == Maks_antre
if depan == 1
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{obj.belakang} = simpul;
belakang = 1;
end
else
if belakang + 1 == depan
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{belakang} = simpul;
belakang = belakang + 1;
end
end
simpul.y = y; simpul.x = x-1;
% Sisipkan ke Antrean
if belakang == Maks_antre
if depan == 1
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{obj.belakang} = simpul;
belakang = 1;
end
else
if belakang + 1 == depan
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{belakang} = simpul;
belakang = belakang + 1;
end
end
simpul.y = y; simpul.x = x+1;
% Sisipkan ke Antrean
if belakang == Maks_antre
if depan == 1
error('Kapasitas antrian penuh');
else
Antrean{obj.belakang} = simpul;
belakang = 1;
end
else
if belakang + 1 == depan
error('Kapasitas antrian penuh');
60. 346
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Latihan
1. Jelaskan bahwa fitur suatu objek dapat diperoleh melalui citra biner.
2. Apa yang dimaksud dengan kontur?
3. Pada CD yang tersedia bersama buku ini terdapat citra gambar bernama fork3.gif. Kenakan fungsi tepibiner terhadap citra tersebut untuk memperoleh
tepinya. Perlu diperhatikan, citra tersebut bukan berupa citra biner. Jika
perintah Anda benar, Anda akan memperoleh hasil seperti berikut:
4. Jelaskan perbedaan antara kontur internal dan kontur eksternal.
5. Gambarkan kontur eksternal untuk citra seperti berikut dengan menggunakan:
(a) 4-ketetanggaan
(b) 8-ketetanggaan.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
61. Operasi pada Citra Biner
347
6. Apa fungsi algoritma Moore?
7. Berapa kode rantai untuk gambar yang tertera pada soal Nomor 5?
8. Apakah objek dengan ukuran dan bentuk yang sama tetapi mempunyai posisi
yang berbeda (objek yang mengalami translasi) memiliki kode rantai yang
sama? Jelaskan!
9. Apa sebenarnya pengertian perimeter itu?
10. Jelaskan kehadiran √2 pada Persamaan 8.2.
11. Luas suatu objek dapat diperoleh dengan menghitung jumlah piksel dalam
objek. Tuliskan algoritma untuk menghitung luas dengan cara seperti itu,
dengan asumsi citra berukuran m x n.
12. Pendekatan yang lain untuk menghitung luas suatu objek dilakukan melalui
kode rantai dengan ketentuan seperti berikut.
Kode 0: Area = Area + Y
Kode 1: Area = Area + (Y + 0.5)
Kode 2: Area = Area + 0
Kode 3: Area = Area – (Y + 0,5)
Kode 4: Area = Area - Y
Kode 5: Area = Area – (Y + 0,5)
Kode 6: Area = Area + 0
Kode 7: Area = Area + (Y + 0,5)
Berapakah luas objek yang terdapat pada citra berikut?
62. 348
Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
1
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
13. Jelaskan fitur-fitur berikut:
(a) kebulatan
(b) kekompakan
(c) kerampingan
14. Apa yang dimaksud dengan centroid? Apa kegunaannya?
15. Apa yang dimaksud dengan panjang chord utama dalam dispersi? Kalau perlu,
gambarkan.
16. Terdapat citra seperti berikut.
Bagaimana hasil pelabelan atas objek-objek yang terdapat di dalamnya?