SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 10
Menguak Sejarah Sebuah Bangsa Besar Melalui Diorama1
Kajian Teknik - Estetik Diorama Monumen Nasional
Yuke Ardhiati2
…Kemudian di bawah tugu itu akan diadakan satu museum bersedjarah,
jang di dalam museum itu, Saudara-Saudara dengan melihat sadja, bisa
melihat tingkatan-tingkatan, fase-fase daripada sedjarah Indonesia, masa
kebesaran di dalam djaman Bahari, masa kegelapan di dalam djamanya
imperialismo Belanda, masa kebangkitan kembali kepada kebesaran. Itu
semua akan Saudara-Saudara bisa lihat di dalam museum sedjarah itu…
Kutipan Pidato Presiden Soekarno, 16 Agustus 1964, berkaitan dengan
gagasannya tentang akan adanya ‘diorama’ di dalam museum sedjarah.
I. Kawasan Monas adalah Diorama tentang Ke-Indonesiaan
a. Jalan Silang Empat Penjuru, Keberadaan NKRI
Sejauh ini, sadar atau tidakkah masyarakat Indonesia, bahwa di hamparan Kawasan
Monumen Nasional yang meliputi Tugu Nasional, Lapangan Merdeka dan seluruh
bangunan besar yang akan didirikan di sekelilingnya merupakan skenario sebuah
‘diorama’?
Arti lain dari kosa kata diorama selama ini diartikan sempit ‘sebagai pemandangan
dalam ukuran kecil seperti aslinya, dilengkapi patung-patung, dan dipadukan dengan
warna-warna alami’ ternyata memiliki intepretasi yang lebih luas yaitu, sebuah ‘skenario
simbolik’ berupa adegan ‘pemandangan dalam ukuran kecil’ dari sebuah negara yang
besar, Indonesia.
‘Diorama di Kawasan Monas’ adalah sebuah kenyataan yang mencitrakan hal tersebut,
ia dapat ditelisik berdasar nilai-nilai simboliknya. Tentang keberadaan jalan-silang
empat penjuru, simak paparan penggagasnya, Presiden Soekarno3
:
Saudara-Saudara mengenai Tugu Nasional ini, Monumen Nasional saja
perintahkan untuk membuat djalan-silang. Kenapa kok djalan – silang.
Kenapa tidak satu djalan yang menuju ke Tugu? Kenapa tidak,
misalnyapun dua djalan, entah dari barat ke Tugu, kemudian ke Timur?
Atau dua djalan, atu dari Selatan ke Tugu, dari Tugu ke Utara. Kenapa
saja perintahkan membuat djalan – silang dari empat penjuru?
...tetapi keinginan saja untuk mengadakan djalan-silang itu adalah
mengandung pula satu simbolik. Simbolik, bahwa pertama Indonesia ini
terletak di persimpangan djalan. Indonesia terletak pada djalan silang
djuga daripada dunia ini. Djalan-silang empat. Dari benua Asia ke benua
Australia, dari Lautan Teduh ke Lautan Indonesia,- Lautan Hindia
dinamakan dahulu. Diperempatan djalan inilah, persimpangan
perempatan djalan dari Asia ke Australia, laksana sabuk zamrut jang
meliliti chatulistiwa, die zich daar slingert om den evenaar als gordel van
smaragd. Laksana zamrut mengelilingi chatulistiwa
1
Disajikan sebagai makalah dalam rangka Seminar Penyempurnaan Diorama Monumen Nasional, Istana Bogor,
22-23 Maret 2007
2
Arsitek Profesional dan Sejarawan Muda. Pengajar di Fakultas Seni Rupa & Desain Universitas Trisakti dan
Magíster Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia.
3
Soekarno,Pidato Presiden Pada Pembukaan Djalan Silang Monumen Nasional di Lapangan Merdeka,
Djakarta, 16 Agustus 1964
1
Skenario Presiden Soekarno untuk Kawasan Monas yang pertalikan dengan sejarah
perjuangan bangsa, jelas mencitrakan ’diorama’ tentang ke-Indonesiaan’ yang berfokus
pada sebuah ’nation’ yang bersebut ’bangsa Indonesia’, yang negaranya terhampar
megah di atas sebuah kawasan silang dunia.
Kawasan Monas dan Tugu Nasional selain berperan untuk ’tengaran’ perjuangan
kemerdekaan dan persatuan bangsa Indonesia juga dimaksudkan untuk menengarai
putusnya ‘mata rantai’ bangsa Indonesia dengan kolonialisme. Hal tersebut
terungkapkan ketika Presiden Soekarno memutuskan lokasi berdirinya Tugu Monas di
Lapangan Merdeka yang sebelumnya bernama Lapangan Ikada, hal yang sama juga
dilakukan oleh Presiden Soekarno ketika pada tahun 1957 memutuskan untuk
meruntuhkan Benteng Prins Hendrik di Pintu Air yang semula disebut Wihelmina Park
atau Taman Wijayakusuma sebagai lokasi untuk kawasan Masjid Istiqlal.
Terasa bukan, bahwa Kawasan Monas merupakan Kawasan Diorama Ke-Indonesiaan?
Secara fisik diorama kawasan Monas dapat terbagi atas 3 (tiga) bagian yaitu (1)
Diorama di Kawasan Monas, (2) Diorama Arsitektural Tugu Nasional (3) Diorama
Museum Sejarah.
b. Skenario Adegan Kelahiran Sebuah Bangsa Besar
pada Diorama Arsitektural Tugu Nasional
Lalu, apa skenario diorama pada fisik arsitektur Tugu Nasional ?
Skenario Presiden Soekarno atau Bung Karno tentang performa fisik arsitektural Tugu
Nasional sangat jelas untuk mencerminkan sebuah monumen yang mampu
menceriterakan kebesaran sebuah bangsa. Secara gamblang tertulis sekalipun sulit
diterjemahkan dalam kriteria sayembara terbuka perancangan Tugu Nasional pada
tanggal 17 Februari 1955 dan Sayembara Ulangan pada 10 Mei 19564
yang
menegaskan antara lain:
 Bentuk bangunan (arsitektur): adalah tugu, bertiga dimensi, menjulang tinggi
 Tugu tidak hanya sebagai benda mati (material) tetapi benda itu harus “hidup”
(memiliki nilai spiritual)
 Tinggi tugu semula direncanakan 45m dan berkembang menjadi 137 m
 Sifat: nasional, sehingga disebut TUGU NASIONAL;
 Menggambarkan suasana masa lalu, sekarang dan akan datang
 Material Bangunan: besi beton, besi, dan marmer, yang tahan gempa
(tahan cakaran zaman sebagai monument)
 Merupakan simbol dari revolusi bangsa Indonesia, kepribadian Indonesia,
sifat dinamis bangsa Indonesia, cita-cita bangsa Indonesia, menyalanya api
semangat patriotik bangsa, tingginya karya cipta bangsa, kebesaran dan
kejayaan bangsa.
 Usia Tugu : harus mampu berumur 1.000 tahun
Dengan spirit adegan tersebut, Tugu Nasional pada saat berdiri, yang tercipta adalah
suasana yang membangkitkan semangat patriotisme bagi pemuda-pemuda Indonesia di
masa depan. Pada kesempatan memberikan hadiah bagi pemenang sayembara Tugu
4
Sudarsono, Perancang Tugu Monas, Kompas, 6 Mei 1984, hlm.2. Diberitakan pada Sayembara Pertama hanya
dihasilkan Pemenang Kedua yang dimenangkan oleh Arsitek F Silaban, sedangkan pada Sayembara Ulangan,
malahan hanya dimenangkan oleh Pemenang Ketiga dan Keempat, yaitu kelompok Ary Sudarsono alumni ITB.
Bung Karno kemudian memanggil 2 arsitek kenamaan pada zamannya yaitu F. Silaban dan Soedarsono untuk
merancang secara masing-masing decían Tugu Nasional.
2
Monas, Bung Karno sempat menyampaikan kembali gagasannya tentang konsep
arsitektur Tugu Monas5
sbb:
“… bukan hanja kesukaran terletak kepada kesukaran apa jang dinamakan
nasional, tetapi kesukarannja ialah bahwa tugu itu harus benar-benar berupa
tugu, bahwa tugu ini harus melambangkan revolusi kita, bahwa tugu ini harus
menggambarkan kepribadian Indonesia, bahwa tugu ini harus menggambarkan
dinamik Indonesia, bahwa tugu ini harus mentjerminkan tjita-tjita Indonesia,
bahwa tugu ini harus melambangkan, menggambarkan api jang berkobar di
dalam dada kita… “
“Lebih daripada itu, tugu ini nantinja sesudah dilukis, diprojectkan harus
dilaksanakan dalam benda, benda jang tidak bergerak, entah benda itu nanti
betonkah, entah besikah, entah aluminiumkah, menurut kehendak daripada
pelukis, jaitu menurut kehendak pentjiptanya, benda jang mati, tidak berubah,
jang malahan sebagai saja terangkan tempo hari itu harus tahan 1.000 tahun,
tetapi harus menggambarkan pula hal jang sebenarnja bergerak. Ja ini kesukaran
jang paling sukar.”
“Satu hal jang terbuat dari benda, jang dus pada achirnja mati, tetapi jang
djiwanja harus djiwa jang bergerak. Revolusi – salah satu jang harus dilukiskan
oleh tugu ini --, adalah satu hal jang bergerak; kepribadian Indonesia, djangankan
dianggap bahwa kepribadian itu satu hal jang mati, kepribadian adalah
pengutaraan daripada djiwa, itupun bergerak; kenasionalan itupun bukan satu hal
jang mati tetapi pun hal jang bergerak; sehingga saudara-saudara djuga
merasakan kesukaran dan kesulitan dari pada juri dalam menilai hasil – hasil
sajembara; kesukaran daripada peserta-peserta untuk mentjerminkan hal jang
bergerak ini, jang dinamis ini, dalam satu bentuk daripada materi jang mati.”
Tugu Monas menurut impian Bung Karno adalah: “untuk memberi kepada bangsa
Indonesia secara visual material (visueel materieel) satu tanda kebesaran, tanda
kebesaran kita sebagai bangsa, tanda kebesaran kita sebagai negara” 6
, dengan
demikian laras dengan skenario adegan Kehadiran sebuah Bangsa Besar, Bangsa
Indonesia.
Pada kesempatan lain Bung Karno menyampaikan imaji tentang Tugu Nasional:
“Seluruh rakyat Indonesia jiwanya, hatinya, rohnya, kalbunya, harus menjulang ke langit
laksana Tugu Nasional sekarang ini. Bahkan sepuluh kali, seratus kali, seribu kali
tingginya Tugu Nasional” 7
.
Dalam dunia arsitektur yang berorientasi ke Timur terkandung keterpaduan holistik
antara makrokosmos dan mikrokosmos. Karya Arsitektur yang ditemukan di bumi
nusantara yang lazim disebut tradisional atau vernacular dimanifestasikan sebagai
setara dengan sosok manusia yang terdiri atas bagian kepala, badan, dan kaki. Dapat
dimisalkan bagian sosok manusia pada sebuah rumah sebagai berikut: bagian kepala
adalah atap bangunan, terkadang dengan mahkota atap. Badan atau tubuh bangunan
berupa dinding atau tembok, sedangkan kaki bangunan berupa ketinggian bangunan
atau turap. Tugu Monas, sekalipun merupakan produk arsitektur modern karena
mempergunakan teknologi bangunan tinggi (material beton, menggunakan lift dsb),
tetapi memiliki konsep padu-padan atau sintesa antara arsitektur modern dengan
bentuk lingga-yoni) dari budaya Jawa Kuno.
5
Presiden Soekarno dalam Upacara Pemberian Hadiah Para Pemenang Sayembara Rencana Tugu Nasional di
Istana Negara tanggal 17 Nopember 1960
6
Soekarno, Pidato Pelantikan Panitia Sejarah, Jakarta, 3 Januari 1964
7
Soekarno, Pidato Peresmian Jalan Silang Monas, Jakarta, 16 Agustus 1964, Jakarta: Arsip Nasional
3
Bukti bahwa Tugu Monas dirancang menyerupai morfologis manusia, terlihat mulai dari
kaki bangunan yang berupa basemen hingga ke bangunan di lantai dasar yang kokoh.
Badan tugu berupa cerobong lift atau badan tugu itu sendiri yang berlapis marmer.
Sedangkan kepala berupa cawan dan lidah api Monas. Lengkap sudah simbolik holistik
arsitektur : kaki, badan, kepala dan mahkota.
Namun sayang, performa arsitektur Tugu Monas tidak seideal konsep perancangannya.
Awalnya pada ke-empat sudut luar, tepat di atas Museum Sejarah direncanakan ada
empat kelompok patung karya seniman Edhie Soenarso8
. Konsep awal berupa 4
(empat) adegan ‘banteng yang perkasa’ namun kemudian diubah menjadi patung realis
dengan tema adegan khusus. Mengapa konsep ‘4 banteng’ yang akhirnya ‘4 patung
diaroma’ telah dipilih oleh Bung Karno juga disebut sebagai bagian dari skenario
simbolik. Kutipan tentang simbolisme ‘banteng’ sebagai simbol ke-Indonesiaan9
:
Jadi, dalam masa inilah aku mencetak satu perumpamaan yang
terkenal: Di Bawah Matahari Terbitt, manakala Liong Barongsai dari
Tiongkok bekerja-sama dengan Gadjah-Putih dari Muang Thai,
dengan Karibu dari Filipina, dengan Burung-Merak dari Birma,
dengan Lembu-Nandi dari India, dengan Ular-Hydra dari Vietnam,
dan sekarang, dengan Banteng dari Indonesia, maka Imperialisme
akan hancur lebur dari permukaan benua kita!.
c. Skenario Adegan ’Perjuangan Sebuah Bangsa Besar’ di Museum Sejarah
Lalu, bagaimana pula skenario diorama dalam Museum Sejarah?
Kutipan pidato Presiden Soekarno di awal makalah ini telah menguak gagasan adanya
’diorama’ di Museum Sejarah, yang ditindaklanjuti dengan Pembentukan Panitia
Museum Sejarah Tugu Nasional yang bekerja satu tahun sejak 7 September 1963.
Paralel dengan pembentukan panitia tersebut, Presiden juga menugaskan beberapa
seniman Indonesia (tidak termasuk pematung Edhie Soenarso) untuk studi banding ke
luar negeri guna mempelajari pembuatan diorama.
Salah satu tujuan pembangunan museum sejarah ini menurut Bung Karno, agar
siapapun yang berkunjung baik orang Indonesia maupun asing setelah keluar akan
berkata “Yes, the Indonesian people are great people. Yes, the Indonesian people are
becoming a great people again”.
Sekembali ke tanah air, Presiden meminta tiga buah sampel diorama yang memiliki
skenario (1) Sumpah Pemuda, (2) Kerawang Bekasi dan (3) Pemberontakan 1926.
Akan tetapi Bung Karno merasa kecewa atas hasil sampel tersebut, karena dinilai
kurang mampu menggambarkan adegan sejarah seperti yang dimaksud oleh Bung
Karno10
. Para seniman yang mencoba mengekspresikan sample adegan gagal, karena
keterbatasan materi diorama, yang seharusnya dibuat secara handmade sesuai
karakter manusia Indonesia, namun ditampilkan melalui model boneka buatan Jepang.
Bung Karno akhirnya menemui seniman yang dianggap tepat untuk menuangkan
gagasan diorama tersebut.
8
Wawancara dengan Edhie Soenarso, pematung dan seniman diorama, Yogyakarta, 15 Februari 2007
9
Cindy Adams (Terj.Abdul Bar Salim ).Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.Jakarta: Ketut
Masagung Corporation-PT Tema Baru,2000,hal.282
10
Pelaksana Pembina Tugu Nasional, Tugu Nasional.Laporan Pembangunan 1961-1978, Jakarta, 1997,
Cetakan kedua, hlm. 43
4
Dipanggilah seorang seniman pematung bernama Edhie Soenarso11
. Petikan dialog
antara keduanya:
”Edhie, Kau bisa buat diorama?” tanya Bung Karno.
”Bung, bukankah saya tidak diajak studi banding melihat diorama ke
Luar Negeri? Jawab Edhie, karena ia tidak termasuk yang ditugaskan.
”Kowe punya Nasionalisme Bernegara atau tidak?
”Ya, saya akan coba, Bung, Jawab Edhie
“Tidak ada coba-coba! Tantang Bung Karno
Dialog terakhir itulah pembuka ‘babakan baru’ dunia kesenirupaan Indonesia. Bersama
seniman Saptoto, Boediani, dan Sutrisno, Edhie Soenarso mengawali pembuatan
sampel diorama dengan pembuatan patung-patung mini yang menggambarkan 3 buah
adegan (terpasang pada kotak diorama sebelah Timur). Ide tersebut dapat diterima oleh
kelompok Sejarawan yang terlibat12
. Kemudian tim seniman diberi draaiboeken Laporan
Lengkap, Lukisan Sedjarah Visuil Museum Sedjarah Tugu Nasional yang diterbitkan
Panitia Museum Sedjarah Tugu Nasional tanggal 1 Agustus 196413
, berupa 40 adegan
sejarah lengkap dengan diskripsi dan historiografi seri A, B1,B2 dan C. Kemudian pada
tahun 1970 diterbitkan buku Usul Tambahan Adegan sebanyak 48 adegan seperti yang
kini tersaji di Museum Sejarah saat ini, di luar 3 kotak diorama yang berada di tengah hall.
II. Kajian Estetik Diorama Monas 1964 – 2007
a. Konsep Hegelian
Diorama14
Museum Sejarah ditampilkan periodikal pada empat sisi dinding masing–
masing terpilih mewakili sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang menurut Profesor
RZ Leirissa15
merepresentasi semangat filosofis Hegelian16
yang memaknai perjalanan
sebuah bangsa dari masa purba (diorama nomor.1) menuju ke satu tujuan akhir tertentu
yaitu terbentuknya NKRI dengan masuknya Irian Barat (diorama nomor.48)
Kotak-kotak diorama yang saat ini tersaji sebanyak 52 kotak (3 kotak merupakan
diorama tambahan bertema KTT Non Blok, Tetuko dan Masuknya Timor Timur), penting
peranannya sebagai media visual tiga dimensi yang mampu mengantar pemirsanya ke
nuansa kesejarahan perjuangan pada masa lalu, terutama generasi mudanya. Begitu
mudah dicerna tapi berkesan mendalam.Tepatlah ketika berkunjung untuk menelisik
Tugu Monas, diorama berperan sebagai ‘jantung’nya.
Akan tetapi mampukah ‘diorama’ sebagai ‘jantung’ tetap bernafas setelah berperan 47
tahun sejak selesai dibuat tahun 1964? Sepanjang masa tersebut, diorama hampir tidak
pernah diwacanakan kepada publik, apalagi sebagai kajian ilmiah. Padahal, secara
fakta, kondisi diorama sudah mengalami degradasi dan amat membutuhkan ‘tangan-
tangan kasih’ untuk menyelamatkannya sebagai Benda Cagar Budaya17
.
11
Edhi Soenarso, pematung dan pembuat diorama, karena karya-karyanya yang luar biasa, maka pemerintah
menganggap berjasa besar terhadap bangsa dan negara dalam meningkatkan, memajukan, dan membina
kebudayaan nasional. Pada 12 Agustus 2003 dianugrahi Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma
12
Wawancara dengan Edhie Soenarso, pematung dan seniman diorama, Yogyakarta, 15 Februari 2007
13
Panitia Museum Sedjarah Tugu Nasional. Laporan Lengkap, Lukisan Sedjarah Visuil Museum Sedjarah Tugu
Nasional, Djakarta, 1964
14
Diorama menurut kamus bahasa Indonesia Kontemporer karya Drs Peter Salim dan Yenny Salim, hlm 357:
pemandangan dalam ukuran kecil yang dibuat seperti aslinya, dilengkapi patung-patung, dan dipadukan dengan
warna-warna alami.
15
Prof. RZ Leirissa memimpin 5 Sejarawan yang bertugas memberikan Evaluasi Sisi Sejarah Diorama Monas
Maret 2007: Prof.Dr. Suzanto Zuhdi, Dr. Saleh A Djamhari, Dra.MPM Lili Manus, dan Dr. Ir Yuke Ardhiati,MT
16
Hasil Evaluasi Diorama Museum Sejarah Nasional pada Tugu Monumen Nasional, Jakarta, 22 Februari 2007
17
Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya Bab 1 Pasal 1ayat 1a. Diorama Museum
Sejarah layak mewakili jenis artefak yang menandai sebuah peristiwa Sejarah Kesenirupaan di Indonesia.
5
A. Seni Merepresentasi Jamannya
Perkembangan seni lukis yang dibawa oleh Raden Saleh Bastaman (1807-1880)
dikenal dengan gaya mooi indie (Hindia Molek), pada masanya juga menginspirasi
Bung Karno, Sang Presiden sekaligus pencinta keindahan romantik, sangat
menginginkan kecintaannya terhadap tanah air dapat diekspresikan melalui karya seni.
Bagaimana perjuangan sebuah bangsa dapat diabadikan ke dalam sebuah Museum
Sejarah, merupakan impian Bung Karno. Sayangnya ketika itu di Indonesia belum satu
orang senimanpun yang pernah membuat diorama. Sekalipun Bung Karno pernah
mengutus beberapa seniman (tidak termasuk Edhi Soenarso) untuk melakukan studi
banding pembuatan diorama ke luar negeri, nampaknya Bung Karno masih merasa
perlu untuk mendiskusikan bagaimana diorama dapat dibuat, Bung Karno menanyakan
kesanggupan Edhie Soenarso18
dalam dialog bahasa Jawa:
“Apa kowe lila yen diorama Monas iki digawe karo seniman saka
Perancis?” (Apakah kau rela bila diorama Monas dibuat oleh seniman
dari Perancis?)
“Lha nggih mboten lila” Jawab Edhi Soenarso (Lha, ya tidak rela)
“Yen ngono, pikirno, tak wenehi wektu seminggu lan ora ono liya
jawabanne kecuali sanggup!” Demikian ujar Bung Karno. (Kalau
demikian, pikirkan. Kuberi waktu satu minggu dan tidak ada jawaban
lainnya kecuali sanggup!”
Dialog di atas adalah sebuah peristiwa sejarah, bahwa tokoh Edhie Soenarso telah
‘menggurat sejarah’ melalui karya dioramanya untuk Museum Sejarah Monas. Meski
tanpa proses belajar membuat diorama secara khusus, Edhie Soenarso berbekal
pengalaman estetis sebelumnya bertekad ‘padamu negeri’ bersama tim seniman
lainnya, diantaranya Saptoto dan Gardono.Kemudian ditambahkan tim seniman antara
lain seniman patung Saptoto, Soetrisno, Boediani, Askabal, Dono, Soeparto, Soewardi,
Suwandi, Mursanto. Sedangkan pelukis naturalisnya, Fadjar Sidik, Abdul Kadir, Gambir
Anom, Soedarso, Trubus dan Katmoyo.
B. Diorama, Karya Seni Rupa Yang ‘Mengabdi’
Untuk mewujudkan diorama Museum Sejarah, terlibat berbagai cabang seni rupa
sebagai Tim Kerja, seperti seniman lukis aliran figuratif. Ia berperan pada awal
pekerjaan untuk membuat sketsa wajah tokoh dan sketsa adegan termasuk penarikan
garis ke dalam ruang (perspektif dengan titik hilang yang wajar). Pada tahap berikutnya,
berperan seniman patung realis untuk mewujudkan tokoh pada sketsa menjadi wujud
tiga dimensional dalam ukuran miniatur dan diwarnai dengan teori ‘kedalaman’ (depth).
Ketika setting adegan sudah diposisikan di kotak diorama, maka peran sang pelukis
naturalis gaya mooi indie memberikan suasana dengan panorama sebagai latarnya.
Pengaruh gaya naturalis mooi indie terasa pada diorama outdoor, namun pada diorama
indoor ’kurang’ terkesan. Unsur gelap terang kurang dipertimbangkan. Apakah
dikarenakan seni Disain Interior belum berkembang pada masa tersebut itu?
18
Yuke Ardhiati.Bung Karno Sang Arsitek. Jakarta: Komunitas Bambu, 2005, hlm.316, dan dilanjutkan
wawancara dengan Edhi Soenarso di Yogyakarta tahun 2007. Edhie menuliskan nama-nama seniman patung
antara lain Saptoto, Soetrisno, Boediani, Askabal, Dono, Soeparto, Soewardi, Suwandi, Mursanto. Sedangkan
pelukis naturalisnya, Fadjar Sidik, Abdul Kadir, Gambir Anom, Soedarso, Trubus dan Katmoyo, yang kini banyak
yang sudah tiada. Mereka bekerja penuh dedikasi pada negara dan bekerja di bangunan lantai basemen Monas.
6
C. Sekilas Teknik Pembuatan Diorama
IV. Diorama ’Seni Yang Langka’
a. Kelangkaan Tenaga Ahli Diorama
Diorama dikatakan sebagai ’seni yang mengabdi’ bukan hanya karena beragamnya
cabang seni rupa saja yang harus terlibat sebagai tim kerja (pelukis figuratif, pematung
realis, pelukis naturalis dan pembuat maket bangunan), akan tetapi juga perlunya tim
sejarawan sebagai aktor penentu adegan berdasar historiografi.
Pada masa pembuatan diorama, kolaborasi antara Tim Sejarawan dan Seniman
menjadi sebuah ’peristiwa sejarah’. Keduanya terpanggil untuk ‘bela negara’ =
mengabdi negara. Sayangnya kini, tak banyak ahli yang masih menekuninya, karena
telah tergusur oleh maraknya seni kontemporer.
Menurut Edhie Soenarso19
yang menjadi penanggungjawab pembuatan diorama
Museum Sejarah itu, pada tahun 1964 seluruh diorama sudah selesai dibuat dari
material plastik yang mudah pecah, yang hanya bertahan sekitar 20 tahun. Semestinya
pada tahun 1984 sudah harus dilaksanakan konservasi dengan bahan fiberglass akan
tetapi tidak dilakukan malah dilakukan pelapisan bahan cat yang sama sekali
bertentangan dengan bahan aslinya. Ia juga menuliskan jenis cat dipergunakannya
ketika mewarnai boneka adegan antara lain berupa cat dasar dan cat mix-up dari jenis
aclyric bermerk Winsor dan Rembran.
b. Kelangkaan Teknik Maintenance Diorama
Delapan buah karya diorama Museum Sejarah yang telah selesai, sedianya akan
ditayangkan kepada publik sebelum tanggal 17 Agustus 196620
, namun akhirnya pada
20 Agustus 1966 Presiden Soekarno baru akan melakukan inspeksi21
. Pergolakan politik
yang bertepatan meletus pada masa itu, akhirnya membatalkan seluruh rencana.
Untuk mengetahui secara pasti usia diorama, perlu menyimak catatan Edhi Soenarso
yang mencatat selesainya pekerjaan diorama di tahun 1964. Maka usia diorama saat ini
mencapai 47 tahun untuk yang pertama kali, dan kenyataannya dibuat secara bertahap,
termasuk yang relatif akhir yaitu diorama No.47 Surat Perintah 11 Maret 196622
. Secara
keseluruhan karya diorama ditayangkan penuh kepada publik setelah Presiden
Soeharto pada 19 Maret 1977 yang berkenan menyelesaikan karya bangsa ini.
Sekalipun baru berusia 47 tahun, bila ditinjau berdasar keunikannya serta merekam
peristiwa sejarah, diorama Museum Sejarah otomatis menjadi Benda Cagar Budaya
(BCB)23
yang termasuk Warisan Budaya Tangible Heritage menurut Edi Sedyawati.24
Dengan kondisinya yang sudah terdegradasi akibat sering di cat ulang, sehingga
19
Dikutip dari salah satu bagian dari naskah tulisan Edhi Soenarso menjelang diterbitkan bukunya berkenaan
dengan 75 tahun usia sang seniman maestro ini.
20
Kompas.”Pelukisan Sedjarah dalam ’diorama’”.Djakarta, 8 Desember 1965,hlm.1
21
Kompas.”Diorama Jang Selesai Akan Dipertundjukkan”.Djakarta,20 Agustus 1966, hlm.2
22
Kompas.”Presiden Tinjau Diorama”.Djakarta, 19 Maret 1977, hlm.1
23
UU No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya pasal 1.
24
Materi Kuliah Manajemen Sumber Daya Budaya pada Program Magister Jurusan Arkeologi Universitas
Indonesia tahun 2005-2006
7
berkesan sangat glossy, sudah saatnya diperlukan Keputusan Segera untuk
menyelamatkannya. Diperlukan pilihan secara arif karena keduanya mengandung
konsekuensi teknis, Konservasi ataukah dilakukan Pembuatan Ulang (Replika) dengan
diorama lama sebagai ‘master’nya dan replikanya terbuat dari fiberglass sebagai
material yang lebih tahan.
Akan tetapi diorama-diorama yang ‘terancam’ terdegradasi bukan hanya koleksi
Museum Sejarah Monas saja. Beberapa koleksi museum lain di Indonesia juga dapat
terimbas dampak ‘ketidakahlian’ dalam maintenance.
Dinas Permuseuman DKI Jakarta dapat berperan sebagai arranger yang dapat
memfasilitasi tersedianya tenaga maintenance untuk menyelamatkan diorama-diorama
tersebut. Bisa dipastikan seniman Edhie Soenarso akan bersuka cita untuk memberikan
advis berkenaan dengan karya-karya dioramanya yang telah bermetamorfosa menjadi
BCB ini.
V. Kajian Teknik Estetik : Tampilan Diorama
a. Pencahayaan di dalam kotak Diorama
Bila kita menyimak diorama di Museum Sejarah, terasa kurangnya ‘lighting’ yang
mendukung suasana, bahkan terdapat ‘distorsi cahaya’ dari luar yang merusak
pandangan di dalam kotak. Diperlukan penanganan khusus masalah ini, karena
merusak konsentrasi pemirsa.
Usulan paling praktis berupa penambahan Double Moveable Screen dapat dijajagi, dan
juga penggantian jenis kaca tidak memantul supercyn. Screen pada sisi diorama dipilih
warna gelap solid, yang ditempatkan persis di belakang pemirsa. Sedang warna terang
dapat berfungsi sebagai screen pada area hall untuk keperluan tayangan film
dokumenter atau diorama elektronik seperti di Museum 10 Nopember Surabaya. Selain
itu penerangan serta tulisan pada caption mulai meredup dan rusak.
b. Performa Fisik dan Bingkai Diorama
Selain efek pengecatan ulang yang kurang tepat pada diorama yang berakibat glossy
dan telah menghilangkan nilai estetis kesan ‘depth’ , ternyata tampilan bingkai berwarna
perak/ silver dari material aluminium juga dirasakan mengganggu pemirsa, seolah-olah
seperti ‘mengungkung’ imajinasi padahal keasyikan menyaksikan diorama memerlukan
daya imajinasi yang tak terbatas. Akan lebih baik warna frame disamarkan dengan
‘melukis’nya serupa dengan warna dinding marmer.
c. Peran Hall pada Museum Sejarah
Hall seluas lebih kurang 1.600m2 di Museum Sejarah terkesan sangat lapang, dan
cenderung lengang. Diperlukan optimalisasi peran hall sejauh mendukung diorama
utama25
. Sejarah Perjuangan Bangsa. Hall Museum Sejarah lebih tepat bila menggerai
artefak serta patung-patung termasuk ‘patung dada’ para tokoh yang telah tersaji dalam
diorama.
25
Pada hall Museum Sejarah Monas saat ini terdapat Museum Busway, yang terkesan soliter karena tidak
menyatu dengan tema utama.
8
Selain hall yang lengang, dinding-dinding marmer yang terkesan ‘dingin’ juga dapat
dioptimalkan sebagai media gerai dengan pilihan artefak yang seharmoni dengan tema
keseluruhan, sehingga benar-benar tercipta suasana holistik dan tercapailah tujuan
pembangunan museum sejarah, dan setelah keluar dari museum akan berkata “Yes,
the Indonesian people are great people. Yes, the Indonesian people are becoming a
great people again”.
VI. Saran Penyempurnaan
Setelah menelisik diorama dan berbagai pernak-perniknya, maka makalah ini akan
diakhiri dengan beberapa Saran Penyempurnaan sbb:
a. Konservasi Expertise bagi Seniman Diorama
1. Secara empiris diorama tetap dibutuhkan karena perannya yang
fungsional auditif sangat diperlukan sebagai media apresiasi di museum-
museum, terutama Diorama pertama karya bangsa Indonesia di Museum
Sejarah. Diperlukan pemikiran struktural : Cukupkah Konservasi atau
Diperlukan Replika (seluruhnya atau sebagian) mengingat kondisinya
yang sudah terdegradasi.
2. Kelangkaan Expertise Diorama, berupa Seniman Tenaga Ahli dalam
berbagai cabang Ilmu Seni Rupa perlu diberikan apresiasi dan perhatian
khusus, salah satunya adalah pemberian Sertifikat Master of Craftmen
kepada para seniman yang terlibat.
3. Untuk mendorong dan memotivasi lahirnya Seniman Diorama, dapat
dilakukan melalui pembukaan Jurusan baru atau Mata Ajar pada Jurusan
Seni Rupa dan Desain di seluruh di Indonesia.
4. Untuk mendorong terselenggaranya Konservasi BCB secara terstruktur
Jurusan Arkeologi dapat mengadopsinya pula sebagai Mata Ajar.
b. Konservasi Expertise untuk Maintenance
1. Perlu digelar Kursus Teknik Pemeliharaan Diorama yang pesertanya
secara nasional dapat dihimpun, dan Dinas Permuseuman DKI Jakarta
dapat berperan aktif sebagai arranger -nya.
2. Perlu pemikiran secara komersial dengan menggalang kerjasama dengan
gallery atau penerbit yang memiliki kredibilitas untuk ‘merekam’ diorama
seluruh Indonesia ke dalam bentuk buku, catalog, website atau CD agar
informasi dapat terdistribusi di masyarakat.
3. Mata Ajar Teknik Maintenance juga dapat dibuka di Jurusan Seni Rupa
untuk memfasilitasi kelangkaan tenaga teknik pada museum-museum.
4. Jurusan Arkeologi dapat pula mengembangkan jurusan Konservasi
Diorama sebagai salah satu kajian khusus untuk menjembatani
kelangkaan tenaga maintenance ini.
Jakarta, 23 Maret 2007
9
Yuke Ardhiati
yuke_ardhiati@yahoo.com
10

Más contenido relacionado

Similar a Kebesaran Bangsa

Prinsip dasar ilmu sejarah
Prinsip dasar ilmu sejarahPrinsip dasar ilmu sejarah
Prinsip dasar ilmu sejarahdidid
 
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi IdentitasIndonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi IdentitasSatrio Arismunandar
 
Sejarah Karya Seni Rupa
Sejarah Karya Seni RupaSejarah Karya Seni Rupa
Sejarah Karya Seni RupaYuni Ratnasari
 
LATIHAN SOAL SEJARAH KELAS XII.docx
LATIHAN SOAL SEJARAH KELAS XII.docxLATIHAN SOAL SEJARAH KELAS XII.docx
LATIHAN SOAL SEJARAH KELAS XII.docxDistributorGensetMag
 
Saiful Bakhri-Skripsi-FIB-Naskah Ringkas-2015
Saiful Bakhri-Skripsi-FIB-Naskah Ringkas-2015Saiful Bakhri-Skripsi-FIB-Naskah Ringkas-2015
Saiful Bakhri-Skripsi-FIB-Naskah Ringkas-2015Saiful Bakhri
 
AKULTURASI DAN PERKEMBANGAN BUDAYA ISLAM 13 MEI.pptx
AKULTURASI DAN PERKEMBANGAN BUDAYA ISLAM 13 MEI.pptxAKULTURASI DAN PERKEMBANGAN BUDAYA ISLAM 13 MEI.pptx
AKULTURASI DAN PERKEMBANGAN BUDAYA ISLAM 13 MEI.pptxDARIUSDARIUS30
 
Monumen Pers Nasional
Monumen Pers NasionalMonumen Pers Nasional
Monumen Pers NasionalImas Angga
 
1._KONSEP_DIAKRONIK_DAN_SINKRONIK_DALAM_ILMU_SEJARAH.ppt-Copy.ppt
1._KONSEP_DIAKRONIK_DAN_SINKRONIK_DALAM_ILMU_SEJARAH.ppt-Copy.ppt1._KONSEP_DIAKRONIK_DAN_SINKRONIK_DALAM_ILMU_SEJARAH.ppt-Copy.ppt
1._KONSEP_DIAKRONIK_DAN_SINKRONIK_DALAM_ILMU_SEJARAH.ppt-Copy.pptTitisTiarni2
 
2. BAB I.pdf
2. BAB I.pdf2. BAB I.pdf
2. BAB I.pdfAdon14
 
Seni rupa dan peradaban
Seni rupa dan peradabanSeni rupa dan peradaban
Seni rupa dan peradabangaleri-mural
 
Peninggalan sejarah
Peninggalan sejarahPeninggalan sejarah
Peninggalan sejarahrishky
 
1 sejarah-pembentukan-paskibraka
1 sejarah-pembentukan-paskibraka1 sejarah-pembentukan-paskibraka
1 sejarah-pembentukan-paskibrakaArief Khoerudin
 
Buku Murid PPKn - Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Bab 1 - Fase D.pdf
Buku Murid PPKn - Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Bab 1 - Fase D.pdfBuku Murid PPKn - Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Bab 1 - Fase D.pdf
Buku Murid PPKn - Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Bab 1 - Fase D.pdfAhmadRaihanSain
 
sastra melayu lama
sastra melayu lamasastra melayu lama
sastra melayu lamaIyan Ryani
 
Karya seni kriya manca negara
Karya seni kriya manca negaraKarya seni kriya manca negara
Karya seni kriya manca negaraVJ Asenk
 
bab-i-kelas-9-seni-rupa.ppt
bab-i-kelas-9-seni-rupa.pptbab-i-kelas-9-seni-rupa.ppt
bab-i-kelas-9-seni-rupa.pptsetyorrini1
 
bab-i-kelas-9-seni-rupa.ppt
bab-i-kelas-9-seni-rupa.pptbab-i-kelas-9-seni-rupa.ppt
bab-i-kelas-9-seni-rupa.pptDianDian884182
 

Similar a Kebesaran Bangsa (20)

Prinsip dasar ilmu sejarah
Prinsip dasar ilmu sejarahPrinsip dasar ilmu sejarah
Prinsip dasar ilmu sejarah
 
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi IdentitasIndonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
 
Sejarah Karya Seni Rupa
Sejarah Karya Seni RupaSejarah Karya Seni Rupa
Sejarah Karya Seni Rupa
 
Historiografi
HistoriografiHistoriografi
Historiografi
 
LATIHAN SOAL SEJARAH KELAS XII.docx
LATIHAN SOAL SEJARAH KELAS XII.docxLATIHAN SOAL SEJARAH KELAS XII.docx
LATIHAN SOAL SEJARAH KELAS XII.docx
 
Pembahasan soal
Pembahasan soalPembahasan soal
Pembahasan soal
 
Saiful Bakhri-Skripsi-FIB-Naskah Ringkas-2015
Saiful Bakhri-Skripsi-FIB-Naskah Ringkas-2015Saiful Bakhri-Skripsi-FIB-Naskah Ringkas-2015
Saiful Bakhri-Skripsi-FIB-Naskah Ringkas-2015
 
AKULTURASI DAN PERKEMBANGAN BUDAYA ISLAM 13 MEI.pptx
AKULTURASI DAN PERKEMBANGAN BUDAYA ISLAM 13 MEI.pptxAKULTURASI DAN PERKEMBANGAN BUDAYA ISLAM 13 MEI.pptx
AKULTURASI DAN PERKEMBANGAN BUDAYA ISLAM 13 MEI.pptx
 
Monumen Pers Nasional
Monumen Pers NasionalMonumen Pers Nasional
Monumen Pers Nasional
 
1._KONSEP_DIAKRONIK_DAN_SINKRONIK_DALAM_ILMU_SEJARAH.ppt-Copy.ppt
1._KONSEP_DIAKRONIK_DAN_SINKRONIK_DALAM_ILMU_SEJARAH.ppt-Copy.ppt1._KONSEP_DIAKRONIK_DAN_SINKRONIK_DALAM_ILMU_SEJARAH.ppt-Copy.ppt
1._KONSEP_DIAKRONIK_DAN_SINKRONIK_DALAM_ILMU_SEJARAH.ppt-Copy.ppt
 
2. BAB I.pdf
2. BAB I.pdf2. BAB I.pdf
2. BAB I.pdf
 
Seni rupa dan peradaban
Seni rupa dan peradabanSeni rupa dan peradaban
Seni rupa dan peradaban
 
Peninggalan sejarah
Peninggalan sejarahPeninggalan sejarah
Peninggalan sejarah
 
Dewi
DewiDewi
Dewi
 
1 sejarah-pembentukan-paskibraka
1 sejarah-pembentukan-paskibraka1 sejarah-pembentukan-paskibraka
1 sejarah-pembentukan-paskibraka
 
Buku Murid PPKn - Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Bab 1 - Fase D.pdf
Buku Murid PPKn - Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Bab 1 - Fase D.pdfBuku Murid PPKn - Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Bab 1 - Fase D.pdf
Buku Murid PPKn - Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Bab 1 - Fase D.pdf
 
sastra melayu lama
sastra melayu lamasastra melayu lama
sastra melayu lama
 
Karya seni kriya manca negara
Karya seni kriya manca negaraKarya seni kriya manca negara
Karya seni kriya manca negara
 
bab-i-kelas-9-seni-rupa.ppt
bab-i-kelas-9-seni-rupa.pptbab-i-kelas-9-seni-rupa.ppt
bab-i-kelas-9-seni-rupa.ppt
 
bab-i-kelas-9-seni-rupa.ppt
bab-i-kelas-9-seni-rupa.pptbab-i-kelas-9-seni-rupa.ppt
bab-i-kelas-9-seni-rupa.ppt
 

Kebesaran Bangsa

  • 1. Menguak Sejarah Sebuah Bangsa Besar Melalui Diorama1 Kajian Teknik - Estetik Diorama Monumen Nasional Yuke Ardhiati2 …Kemudian di bawah tugu itu akan diadakan satu museum bersedjarah, jang di dalam museum itu, Saudara-Saudara dengan melihat sadja, bisa melihat tingkatan-tingkatan, fase-fase daripada sedjarah Indonesia, masa kebesaran di dalam djaman Bahari, masa kegelapan di dalam djamanya imperialismo Belanda, masa kebangkitan kembali kepada kebesaran. Itu semua akan Saudara-Saudara bisa lihat di dalam museum sedjarah itu… Kutipan Pidato Presiden Soekarno, 16 Agustus 1964, berkaitan dengan gagasannya tentang akan adanya ‘diorama’ di dalam museum sedjarah. I. Kawasan Monas adalah Diorama tentang Ke-Indonesiaan a. Jalan Silang Empat Penjuru, Keberadaan NKRI Sejauh ini, sadar atau tidakkah masyarakat Indonesia, bahwa di hamparan Kawasan Monumen Nasional yang meliputi Tugu Nasional, Lapangan Merdeka dan seluruh bangunan besar yang akan didirikan di sekelilingnya merupakan skenario sebuah ‘diorama’? Arti lain dari kosa kata diorama selama ini diartikan sempit ‘sebagai pemandangan dalam ukuran kecil seperti aslinya, dilengkapi patung-patung, dan dipadukan dengan warna-warna alami’ ternyata memiliki intepretasi yang lebih luas yaitu, sebuah ‘skenario simbolik’ berupa adegan ‘pemandangan dalam ukuran kecil’ dari sebuah negara yang besar, Indonesia. ‘Diorama di Kawasan Monas’ adalah sebuah kenyataan yang mencitrakan hal tersebut, ia dapat ditelisik berdasar nilai-nilai simboliknya. Tentang keberadaan jalan-silang empat penjuru, simak paparan penggagasnya, Presiden Soekarno3 : Saudara-Saudara mengenai Tugu Nasional ini, Monumen Nasional saja perintahkan untuk membuat djalan-silang. Kenapa kok djalan – silang. Kenapa tidak satu djalan yang menuju ke Tugu? Kenapa tidak, misalnyapun dua djalan, entah dari barat ke Tugu, kemudian ke Timur? Atau dua djalan, atu dari Selatan ke Tugu, dari Tugu ke Utara. Kenapa saja perintahkan membuat djalan – silang dari empat penjuru? ...tetapi keinginan saja untuk mengadakan djalan-silang itu adalah mengandung pula satu simbolik. Simbolik, bahwa pertama Indonesia ini terletak di persimpangan djalan. Indonesia terletak pada djalan silang djuga daripada dunia ini. Djalan-silang empat. Dari benua Asia ke benua Australia, dari Lautan Teduh ke Lautan Indonesia,- Lautan Hindia dinamakan dahulu. Diperempatan djalan inilah, persimpangan perempatan djalan dari Asia ke Australia, laksana sabuk zamrut jang meliliti chatulistiwa, die zich daar slingert om den evenaar als gordel van smaragd. Laksana zamrut mengelilingi chatulistiwa 1 Disajikan sebagai makalah dalam rangka Seminar Penyempurnaan Diorama Monumen Nasional, Istana Bogor, 22-23 Maret 2007 2 Arsitek Profesional dan Sejarawan Muda. Pengajar di Fakultas Seni Rupa & Desain Universitas Trisakti dan Magíster Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia. 3 Soekarno,Pidato Presiden Pada Pembukaan Djalan Silang Monumen Nasional di Lapangan Merdeka, Djakarta, 16 Agustus 1964 1
  • 2. Skenario Presiden Soekarno untuk Kawasan Monas yang pertalikan dengan sejarah perjuangan bangsa, jelas mencitrakan ’diorama’ tentang ke-Indonesiaan’ yang berfokus pada sebuah ’nation’ yang bersebut ’bangsa Indonesia’, yang negaranya terhampar megah di atas sebuah kawasan silang dunia. Kawasan Monas dan Tugu Nasional selain berperan untuk ’tengaran’ perjuangan kemerdekaan dan persatuan bangsa Indonesia juga dimaksudkan untuk menengarai putusnya ‘mata rantai’ bangsa Indonesia dengan kolonialisme. Hal tersebut terungkapkan ketika Presiden Soekarno memutuskan lokasi berdirinya Tugu Monas di Lapangan Merdeka yang sebelumnya bernama Lapangan Ikada, hal yang sama juga dilakukan oleh Presiden Soekarno ketika pada tahun 1957 memutuskan untuk meruntuhkan Benteng Prins Hendrik di Pintu Air yang semula disebut Wihelmina Park atau Taman Wijayakusuma sebagai lokasi untuk kawasan Masjid Istiqlal. Terasa bukan, bahwa Kawasan Monas merupakan Kawasan Diorama Ke-Indonesiaan? Secara fisik diorama kawasan Monas dapat terbagi atas 3 (tiga) bagian yaitu (1) Diorama di Kawasan Monas, (2) Diorama Arsitektural Tugu Nasional (3) Diorama Museum Sejarah. b. Skenario Adegan Kelahiran Sebuah Bangsa Besar pada Diorama Arsitektural Tugu Nasional Lalu, apa skenario diorama pada fisik arsitektur Tugu Nasional ? Skenario Presiden Soekarno atau Bung Karno tentang performa fisik arsitektural Tugu Nasional sangat jelas untuk mencerminkan sebuah monumen yang mampu menceriterakan kebesaran sebuah bangsa. Secara gamblang tertulis sekalipun sulit diterjemahkan dalam kriteria sayembara terbuka perancangan Tugu Nasional pada tanggal 17 Februari 1955 dan Sayembara Ulangan pada 10 Mei 19564 yang menegaskan antara lain:  Bentuk bangunan (arsitektur): adalah tugu, bertiga dimensi, menjulang tinggi  Tugu tidak hanya sebagai benda mati (material) tetapi benda itu harus “hidup” (memiliki nilai spiritual)  Tinggi tugu semula direncanakan 45m dan berkembang menjadi 137 m  Sifat: nasional, sehingga disebut TUGU NASIONAL;  Menggambarkan suasana masa lalu, sekarang dan akan datang  Material Bangunan: besi beton, besi, dan marmer, yang tahan gempa (tahan cakaran zaman sebagai monument)  Merupakan simbol dari revolusi bangsa Indonesia, kepribadian Indonesia, sifat dinamis bangsa Indonesia, cita-cita bangsa Indonesia, menyalanya api semangat patriotik bangsa, tingginya karya cipta bangsa, kebesaran dan kejayaan bangsa.  Usia Tugu : harus mampu berumur 1.000 tahun Dengan spirit adegan tersebut, Tugu Nasional pada saat berdiri, yang tercipta adalah suasana yang membangkitkan semangat patriotisme bagi pemuda-pemuda Indonesia di masa depan. Pada kesempatan memberikan hadiah bagi pemenang sayembara Tugu 4 Sudarsono, Perancang Tugu Monas, Kompas, 6 Mei 1984, hlm.2. Diberitakan pada Sayembara Pertama hanya dihasilkan Pemenang Kedua yang dimenangkan oleh Arsitek F Silaban, sedangkan pada Sayembara Ulangan, malahan hanya dimenangkan oleh Pemenang Ketiga dan Keempat, yaitu kelompok Ary Sudarsono alumni ITB. Bung Karno kemudian memanggil 2 arsitek kenamaan pada zamannya yaitu F. Silaban dan Soedarsono untuk merancang secara masing-masing decían Tugu Nasional. 2
  • 3. Monas, Bung Karno sempat menyampaikan kembali gagasannya tentang konsep arsitektur Tugu Monas5 sbb: “… bukan hanja kesukaran terletak kepada kesukaran apa jang dinamakan nasional, tetapi kesukarannja ialah bahwa tugu itu harus benar-benar berupa tugu, bahwa tugu ini harus melambangkan revolusi kita, bahwa tugu ini harus menggambarkan kepribadian Indonesia, bahwa tugu ini harus menggambarkan dinamik Indonesia, bahwa tugu ini harus mentjerminkan tjita-tjita Indonesia, bahwa tugu ini harus melambangkan, menggambarkan api jang berkobar di dalam dada kita… “ “Lebih daripada itu, tugu ini nantinja sesudah dilukis, diprojectkan harus dilaksanakan dalam benda, benda jang tidak bergerak, entah benda itu nanti betonkah, entah besikah, entah aluminiumkah, menurut kehendak daripada pelukis, jaitu menurut kehendak pentjiptanya, benda jang mati, tidak berubah, jang malahan sebagai saja terangkan tempo hari itu harus tahan 1.000 tahun, tetapi harus menggambarkan pula hal jang sebenarnja bergerak. Ja ini kesukaran jang paling sukar.” “Satu hal jang terbuat dari benda, jang dus pada achirnja mati, tetapi jang djiwanja harus djiwa jang bergerak. Revolusi – salah satu jang harus dilukiskan oleh tugu ini --, adalah satu hal jang bergerak; kepribadian Indonesia, djangankan dianggap bahwa kepribadian itu satu hal jang mati, kepribadian adalah pengutaraan daripada djiwa, itupun bergerak; kenasionalan itupun bukan satu hal jang mati tetapi pun hal jang bergerak; sehingga saudara-saudara djuga merasakan kesukaran dan kesulitan dari pada juri dalam menilai hasil – hasil sajembara; kesukaran daripada peserta-peserta untuk mentjerminkan hal jang bergerak ini, jang dinamis ini, dalam satu bentuk daripada materi jang mati.” Tugu Monas menurut impian Bung Karno adalah: “untuk memberi kepada bangsa Indonesia secara visual material (visueel materieel) satu tanda kebesaran, tanda kebesaran kita sebagai bangsa, tanda kebesaran kita sebagai negara” 6 , dengan demikian laras dengan skenario adegan Kehadiran sebuah Bangsa Besar, Bangsa Indonesia. Pada kesempatan lain Bung Karno menyampaikan imaji tentang Tugu Nasional: “Seluruh rakyat Indonesia jiwanya, hatinya, rohnya, kalbunya, harus menjulang ke langit laksana Tugu Nasional sekarang ini. Bahkan sepuluh kali, seratus kali, seribu kali tingginya Tugu Nasional” 7 . Dalam dunia arsitektur yang berorientasi ke Timur terkandung keterpaduan holistik antara makrokosmos dan mikrokosmos. Karya Arsitektur yang ditemukan di bumi nusantara yang lazim disebut tradisional atau vernacular dimanifestasikan sebagai setara dengan sosok manusia yang terdiri atas bagian kepala, badan, dan kaki. Dapat dimisalkan bagian sosok manusia pada sebuah rumah sebagai berikut: bagian kepala adalah atap bangunan, terkadang dengan mahkota atap. Badan atau tubuh bangunan berupa dinding atau tembok, sedangkan kaki bangunan berupa ketinggian bangunan atau turap. Tugu Monas, sekalipun merupakan produk arsitektur modern karena mempergunakan teknologi bangunan tinggi (material beton, menggunakan lift dsb), tetapi memiliki konsep padu-padan atau sintesa antara arsitektur modern dengan bentuk lingga-yoni) dari budaya Jawa Kuno. 5 Presiden Soekarno dalam Upacara Pemberian Hadiah Para Pemenang Sayembara Rencana Tugu Nasional di Istana Negara tanggal 17 Nopember 1960 6 Soekarno, Pidato Pelantikan Panitia Sejarah, Jakarta, 3 Januari 1964 7 Soekarno, Pidato Peresmian Jalan Silang Monas, Jakarta, 16 Agustus 1964, Jakarta: Arsip Nasional 3
  • 4. Bukti bahwa Tugu Monas dirancang menyerupai morfologis manusia, terlihat mulai dari kaki bangunan yang berupa basemen hingga ke bangunan di lantai dasar yang kokoh. Badan tugu berupa cerobong lift atau badan tugu itu sendiri yang berlapis marmer. Sedangkan kepala berupa cawan dan lidah api Monas. Lengkap sudah simbolik holistik arsitektur : kaki, badan, kepala dan mahkota. Namun sayang, performa arsitektur Tugu Monas tidak seideal konsep perancangannya. Awalnya pada ke-empat sudut luar, tepat di atas Museum Sejarah direncanakan ada empat kelompok patung karya seniman Edhie Soenarso8 . Konsep awal berupa 4 (empat) adegan ‘banteng yang perkasa’ namun kemudian diubah menjadi patung realis dengan tema adegan khusus. Mengapa konsep ‘4 banteng’ yang akhirnya ‘4 patung diaroma’ telah dipilih oleh Bung Karno juga disebut sebagai bagian dari skenario simbolik. Kutipan tentang simbolisme ‘banteng’ sebagai simbol ke-Indonesiaan9 : Jadi, dalam masa inilah aku mencetak satu perumpamaan yang terkenal: Di Bawah Matahari Terbitt, manakala Liong Barongsai dari Tiongkok bekerja-sama dengan Gadjah-Putih dari Muang Thai, dengan Karibu dari Filipina, dengan Burung-Merak dari Birma, dengan Lembu-Nandi dari India, dengan Ular-Hydra dari Vietnam, dan sekarang, dengan Banteng dari Indonesia, maka Imperialisme akan hancur lebur dari permukaan benua kita!. c. Skenario Adegan ’Perjuangan Sebuah Bangsa Besar’ di Museum Sejarah Lalu, bagaimana pula skenario diorama dalam Museum Sejarah? Kutipan pidato Presiden Soekarno di awal makalah ini telah menguak gagasan adanya ’diorama’ di Museum Sejarah, yang ditindaklanjuti dengan Pembentukan Panitia Museum Sejarah Tugu Nasional yang bekerja satu tahun sejak 7 September 1963. Paralel dengan pembentukan panitia tersebut, Presiden juga menugaskan beberapa seniman Indonesia (tidak termasuk pematung Edhie Soenarso) untuk studi banding ke luar negeri guna mempelajari pembuatan diorama. Salah satu tujuan pembangunan museum sejarah ini menurut Bung Karno, agar siapapun yang berkunjung baik orang Indonesia maupun asing setelah keluar akan berkata “Yes, the Indonesian people are great people. Yes, the Indonesian people are becoming a great people again”. Sekembali ke tanah air, Presiden meminta tiga buah sampel diorama yang memiliki skenario (1) Sumpah Pemuda, (2) Kerawang Bekasi dan (3) Pemberontakan 1926. Akan tetapi Bung Karno merasa kecewa atas hasil sampel tersebut, karena dinilai kurang mampu menggambarkan adegan sejarah seperti yang dimaksud oleh Bung Karno10 . Para seniman yang mencoba mengekspresikan sample adegan gagal, karena keterbatasan materi diorama, yang seharusnya dibuat secara handmade sesuai karakter manusia Indonesia, namun ditampilkan melalui model boneka buatan Jepang. Bung Karno akhirnya menemui seniman yang dianggap tepat untuk menuangkan gagasan diorama tersebut. 8 Wawancara dengan Edhie Soenarso, pematung dan seniman diorama, Yogyakarta, 15 Februari 2007 9 Cindy Adams (Terj.Abdul Bar Salim ).Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.Jakarta: Ketut Masagung Corporation-PT Tema Baru,2000,hal.282 10 Pelaksana Pembina Tugu Nasional, Tugu Nasional.Laporan Pembangunan 1961-1978, Jakarta, 1997, Cetakan kedua, hlm. 43 4
  • 5. Dipanggilah seorang seniman pematung bernama Edhie Soenarso11 . Petikan dialog antara keduanya: ”Edhie, Kau bisa buat diorama?” tanya Bung Karno. ”Bung, bukankah saya tidak diajak studi banding melihat diorama ke Luar Negeri? Jawab Edhie, karena ia tidak termasuk yang ditugaskan. ”Kowe punya Nasionalisme Bernegara atau tidak? ”Ya, saya akan coba, Bung, Jawab Edhie “Tidak ada coba-coba! Tantang Bung Karno Dialog terakhir itulah pembuka ‘babakan baru’ dunia kesenirupaan Indonesia. Bersama seniman Saptoto, Boediani, dan Sutrisno, Edhie Soenarso mengawali pembuatan sampel diorama dengan pembuatan patung-patung mini yang menggambarkan 3 buah adegan (terpasang pada kotak diorama sebelah Timur). Ide tersebut dapat diterima oleh kelompok Sejarawan yang terlibat12 . Kemudian tim seniman diberi draaiboeken Laporan Lengkap, Lukisan Sedjarah Visuil Museum Sedjarah Tugu Nasional yang diterbitkan Panitia Museum Sedjarah Tugu Nasional tanggal 1 Agustus 196413 , berupa 40 adegan sejarah lengkap dengan diskripsi dan historiografi seri A, B1,B2 dan C. Kemudian pada tahun 1970 diterbitkan buku Usul Tambahan Adegan sebanyak 48 adegan seperti yang kini tersaji di Museum Sejarah saat ini, di luar 3 kotak diorama yang berada di tengah hall. II. Kajian Estetik Diorama Monas 1964 – 2007 a. Konsep Hegelian Diorama14 Museum Sejarah ditampilkan periodikal pada empat sisi dinding masing– masing terpilih mewakili sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang menurut Profesor RZ Leirissa15 merepresentasi semangat filosofis Hegelian16 yang memaknai perjalanan sebuah bangsa dari masa purba (diorama nomor.1) menuju ke satu tujuan akhir tertentu yaitu terbentuknya NKRI dengan masuknya Irian Barat (diorama nomor.48) Kotak-kotak diorama yang saat ini tersaji sebanyak 52 kotak (3 kotak merupakan diorama tambahan bertema KTT Non Blok, Tetuko dan Masuknya Timor Timur), penting peranannya sebagai media visual tiga dimensi yang mampu mengantar pemirsanya ke nuansa kesejarahan perjuangan pada masa lalu, terutama generasi mudanya. Begitu mudah dicerna tapi berkesan mendalam.Tepatlah ketika berkunjung untuk menelisik Tugu Monas, diorama berperan sebagai ‘jantung’nya. Akan tetapi mampukah ‘diorama’ sebagai ‘jantung’ tetap bernafas setelah berperan 47 tahun sejak selesai dibuat tahun 1964? Sepanjang masa tersebut, diorama hampir tidak pernah diwacanakan kepada publik, apalagi sebagai kajian ilmiah. Padahal, secara fakta, kondisi diorama sudah mengalami degradasi dan amat membutuhkan ‘tangan- tangan kasih’ untuk menyelamatkannya sebagai Benda Cagar Budaya17 . 11 Edhi Soenarso, pematung dan pembuat diorama, karena karya-karyanya yang luar biasa, maka pemerintah menganggap berjasa besar terhadap bangsa dan negara dalam meningkatkan, memajukan, dan membina kebudayaan nasional. Pada 12 Agustus 2003 dianugrahi Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma 12 Wawancara dengan Edhie Soenarso, pematung dan seniman diorama, Yogyakarta, 15 Februari 2007 13 Panitia Museum Sedjarah Tugu Nasional. Laporan Lengkap, Lukisan Sedjarah Visuil Museum Sedjarah Tugu Nasional, Djakarta, 1964 14 Diorama menurut kamus bahasa Indonesia Kontemporer karya Drs Peter Salim dan Yenny Salim, hlm 357: pemandangan dalam ukuran kecil yang dibuat seperti aslinya, dilengkapi patung-patung, dan dipadukan dengan warna-warna alami. 15 Prof. RZ Leirissa memimpin 5 Sejarawan yang bertugas memberikan Evaluasi Sisi Sejarah Diorama Monas Maret 2007: Prof.Dr. Suzanto Zuhdi, Dr. Saleh A Djamhari, Dra.MPM Lili Manus, dan Dr. Ir Yuke Ardhiati,MT 16 Hasil Evaluasi Diorama Museum Sejarah Nasional pada Tugu Monumen Nasional, Jakarta, 22 Februari 2007 17 Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya Bab 1 Pasal 1ayat 1a. Diorama Museum Sejarah layak mewakili jenis artefak yang menandai sebuah peristiwa Sejarah Kesenirupaan di Indonesia. 5
  • 6. A. Seni Merepresentasi Jamannya Perkembangan seni lukis yang dibawa oleh Raden Saleh Bastaman (1807-1880) dikenal dengan gaya mooi indie (Hindia Molek), pada masanya juga menginspirasi Bung Karno, Sang Presiden sekaligus pencinta keindahan romantik, sangat menginginkan kecintaannya terhadap tanah air dapat diekspresikan melalui karya seni. Bagaimana perjuangan sebuah bangsa dapat diabadikan ke dalam sebuah Museum Sejarah, merupakan impian Bung Karno. Sayangnya ketika itu di Indonesia belum satu orang senimanpun yang pernah membuat diorama. Sekalipun Bung Karno pernah mengutus beberapa seniman (tidak termasuk Edhi Soenarso) untuk melakukan studi banding pembuatan diorama ke luar negeri, nampaknya Bung Karno masih merasa perlu untuk mendiskusikan bagaimana diorama dapat dibuat, Bung Karno menanyakan kesanggupan Edhie Soenarso18 dalam dialog bahasa Jawa: “Apa kowe lila yen diorama Monas iki digawe karo seniman saka Perancis?” (Apakah kau rela bila diorama Monas dibuat oleh seniman dari Perancis?) “Lha nggih mboten lila” Jawab Edhi Soenarso (Lha, ya tidak rela) “Yen ngono, pikirno, tak wenehi wektu seminggu lan ora ono liya jawabanne kecuali sanggup!” Demikian ujar Bung Karno. (Kalau demikian, pikirkan. Kuberi waktu satu minggu dan tidak ada jawaban lainnya kecuali sanggup!” Dialog di atas adalah sebuah peristiwa sejarah, bahwa tokoh Edhie Soenarso telah ‘menggurat sejarah’ melalui karya dioramanya untuk Museum Sejarah Monas. Meski tanpa proses belajar membuat diorama secara khusus, Edhie Soenarso berbekal pengalaman estetis sebelumnya bertekad ‘padamu negeri’ bersama tim seniman lainnya, diantaranya Saptoto dan Gardono.Kemudian ditambahkan tim seniman antara lain seniman patung Saptoto, Soetrisno, Boediani, Askabal, Dono, Soeparto, Soewardi, Suwandi, Mursanto. Sedangkan pelukis naturalisnya, Fadjar Sidik, Abdul Kadir, Gambir Anom, Soedarso, Trubus dan Katmoyo. B. Diorama, Karya Seni Rupa Yang ‘Mengabdi’ Untuk mewujudkan diorama Museum Sejarah, terlibat berbagai cabang seni rupa sebagai Tim Kerja, seperti seniman lukis aliran figuratif. Ia berperan pada awal pekerjaan untuk membuat sketsa wajah tokoh dan sketsa adegan termasuk penarikan garis ke dalam ruang (perspektif dengan titik hilang yang wajar). Pada tahap berikutnya, berperan seniman patung realis untuk mewujudkan tokoh pada sketsa menjadi wujud tiga dimensional dalam ukuran miniatur dan diwarnai dengan teori ‘kedalaman’ (depth). Ketika setting adegan sudah diposisikan di kotak diorama, maka peran sang pelukis naturalis gaya mooi indie memberikan suasana dengan panorama sebagai latarnya. Pengaruh gaya naturalis mooi indie terasa pada diorama outdoor, namun pada diorama indoor ’kurang’ terkesan. Unsur gelap terang kurang dipertimbangkan. Apakah dikarenakan seni Disain Interior belum berkembang pada masa tersebut itu? 18 Yuke Ardhiati.Bung Karno Sang Arsitek. Jakarta: Komunitas Bambu, 2005, hlm.316, dan dilanjutkan wawancara dengan Edhi Soenarso di Yogyakarta tahun 2007. Edhie menuliskan nama-nama seniman patung antara lain Saptoto, Soetrisno, Boediani, Askabal, Dono, Soeparto, Soewardi, Suwandi, Mursanto. Sedangkan pelukis naturalisnya, Fadjar Sidik, Abdul Kadir, Gambir Anom, Soedarso, Trubus dan Katmoyo, yang kini banyak yang sudah tiada. Mereka bekerja penuh dedikasi pada negara dan bekerja di bangunan lantai basemen Monas. 6
  • 7. C. Sekilas Teknik Pembuatan Diorama IV. Diorama ’Seni Yang Langka’ a. Kelangkaan Tenaga Ahli Diorama Diorama dikatakan sebagai ’seni yang mengabdi’ bukan hanya karena beragamnya cabang seni rupa saja yang harus terlibat sebagai tim kerja (pelukis figuratif, pematung realis, pelukis naturalis dan pembuat maket bangunan), akan tetapi juga perlunya tim sejarawan sebagai aktor penentu adegan berdasar historiografi. Pada masa pembuatan diorama, kolaborasi antara Tim Sejarawan dan Seniman menjadi sebuah ’peristiwa sejarah’. Keduanya terpanggil untuk ‘bela negara’ = mengabdi negara. Sayangnya kini, tak banyak ahli yang masih menekuninya, karena telah tergusur oleh maraknya seni kontemporer. Menurut Edhie Soenarso19 yang menjadi penanggungjawab pembuatan diorama Museum Sejarah itu, pada tahun 1964 seluruh diorama sudah selesai dibuat dari material plastik yang mudah pecah, yang hanya bertahan sekitar 20 tahun. Semestinya pada tahun 1984 sudah harus dilaksanakan konservasi dengan bahan fiberglass akan tetapi tidak dilakukan malah dilakukan pelapisan bahan cat yang sama sekali bertentangan dengan bahan aslinya. Ia juga menuliskan jenis cat dipergunakannya ketika mewarnai boneka adegan antara lain berupa cat dasar dan cat mix-up dari jenis aclyric bermerk Winsor dan Rembran. b. Kelangkaan Teknik Maintenance Diorama Delapan buah karya diorama Museum Sejarah yang telah selesai, sedianya akan ditayangkan kepada publik sebelum tanggal 17 Agustus 196620 , namun akhirnya pada 20 Agustus 1966 Presiden Soekarno baru akan melakukan inspeksi21 . Pergolakan politik yang bertepatan meletus pada masa itu, akhirnya membatalkan seluruh rencana. Untuk mengetahui secara pasti usia diorama, perlu menyimak catatan Edhi Soenarso yang mencatat selesainya pekerjaan diorama di tahun 1964. Maka usia diorama saat ini mencapai 47 tahun untuk yang pertama kali, dan kenyataannya dibuat secara bertahap, termasuk yang relatif akhir yaitu diorama No.47 Surat Perintah 11 Maret 196622 . Secara keseluruhan karya diorama ditayangkan penuh kepada publik setelah Presiden Soeharto pada 19 Maret 1977 yang berkenan menyelesaikan karya bangsa ini. Sekalipun baru berusia 47 tahun, bila ditinjau berdasar keunikannya serta merekam peristiwa sejarah, diorama Museum Sejarah otomatis menjadi Benda Cagar Budaya (BCB)23 yang termasuk Warisan Budaya Tangible Heritage menurut Edi Sedyawati.24 Dengan kondisinya yang sudah terdegradasi akibat sering di cat ulang, sehingga 19 Dikutip dari salah satu bagian dari naskah tulisan Edhi Soenarso menjelang diterbitkan bukunya berkenaan dengan 75 tahun usia sang seniman maestro ini. 20 Kompas.”Pelukisan Sedjarah dalam ’diorama’”.Djakarta, 8 Desember 1965,hlm.1 21 Kompas.”Diorama Jang Selesai Akan Dipertundjukkan”.Djakarta,20 Agustus 1966, hlm.2 22 Kompas.”Presiden Tinjau Diorama”.Djakarta, 19 Maret 1977, hlm.1 23 UU No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya pasal 1. 24 Materi Kuliah Manajemen Sumber Daya Budaya pada Program Magister Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia tahun 2005-2006 7
  • 8. berkesan sangat glossy, sudah saatnya diperlukan Keputusan Segera untuk menyelamatkannya. Diperlukan pilihan secara arif karena keduanya mengandung konsekuensi teknis, Konservasi ataukah dilakukan Pembuatan Ulang (Replika) dengan diorama lama sebagai ‘master’nya dan replikanya terbuat dari fiberglass sebagai material yang lebih tahan. Akan tetapi diorama-diorama yang ‘terancam’ terdegradasi bukan hanya koleksi Museum Sejarah Monas saja. Beberapa koleksi museum lain di Indonesia juga dapat terimbas dampak ‘ketidakahlian’ dalam maintenance. Dinas Permuseuman DKI Jakarta dapat berperan sebagai arranger yang dapat memfasilitasi tersedianya tenaga maintenance untuk menyelamatkan diorama-diorama tersebut. Bisa dipastikan seniman Edhie Soenarso akan bersuka cita untuk memberikan advis berkenaan dengan karya-karya dioramanya yang telah bermetamorfosa menjadi BCB ini. V. Kajian Teknik Estetik : Tampilan Diorama a. Pencahayaan di dalam kotak Diorama Bila kita menyimak diorama di Museum Sejarah, terasa kurangnya ‘lighting’ yang mendukung suasana, bahkan terdapat ‘distorsi cahaya’ dari luar yang merusak pandangan di dalam kotak. Diperlukan penanganan khusus masalah ini, karena merusak konsentrasi pemirsa. Usulan paling praktis berupa penambahan Double Moveable Screen dapat dijajagi, dan juga penggantian jenis kaca tidak memantul supercyn. Screen pada sisi diorama dipilih warna gelap solid, yang ditempatkan persis di belakang pemirsa. Sedang warna terang dapat berfungsi sebagai screen pada area hall untuk keperluan tayangan film dokumenter atau diorama elektronik seperti di Museum 10 Nopember Surabaya. Selain itu penerangan serta tulisan pada caption mulai meredup dan rusak. b. Performa Fisik dan Bingkai Diorama Selain efek pengecatan ulang yang kurang tepat pada diorama yang berakibat glossy dan telah menghilangkan nilai estetis kesan ‘depth’ , ternyata tampilan bingkai berwarna perak/ silver dari material aluminium juga dirasakan mengganggu pemirsa, seolah-olah seperti ‘mengungkung’ imajinasi padahal keasyikan menyaksikan diorama memerlukan daya imajinasi yang tak terbatas. Akan lebih baik warna frame disamarkan dengan ‘melukis’nya serupa dengan warna dinding marmer. c. Peran Hall pada Museum Sejarah Hall seluas lebih kurang 1.600m2 di Museum Sejarah terkesan sangat lapang, dan cenderung lengang. Diperlukan optimalisasi peran hall sejauh mendukung diorama utama25 . Sejarah Perjuangan Bangsa. Hall Museum Sejarah lebih tepat bila menggerai artefak serta patung-patung termasuk ‘patung dada’ para tokoh yang telah tersaji dalam diorama. 25 Pada hall Museum Sejarah Monas saat ini terdapat Museum Busway, yang terkesan soliter karena tidak menyatu dengan tema utama. 8
  • 9. Selain hall yang lengang, dinding-dinding marmer yang terkesan ‘dingin’ juga dapat dioptimalkan sebagai media gerai dengan pilihan artefak yang seharmoni dengan tema keseluruhan, sehingga benar-benar tercipta suasana holistik dan tercapailah tujuan pembangunan museum sejarah, dan setelah keluar dari museum akan berkata “Yes, the Indonesian people are great people. Yes, the Indonesian people are becoming a great people again”. VI. Saran Penyempurnaan Setelah menelisik diorama dan berbagai pernak-perniknya, maka makalah ini akan diakhiri dengan beberapa Saran Penyempurnaan sbb: a. Konservasi Expertise bagi Seniman Diorama 1. Secara empiris diorama tetap dibutuhkan karena perannya yang fungsional auditif sangat diperlukan sebagai media apresiasi di museum- museum, terutama Diorama pertama karya bangsa Indonesia di Museum Sejarah. Diperlukan pemikiran struktural : Cukupkah Konservasi atau Diperlukan Replika (seluruhnya atau sebagian) mengingat kondisinya yang sudah terdegradasi. 2. Kelangkaan Expertise Diorama, berupa Seniman Tenaga Ahli dalam berbagai cabang Ilmu Seni Rupa perlu diberikan apresiasi dan perhatian khusus, salah satunya adalah pemberian Sertifikat Master of Craftmen kepada para seniman yang terlibat. 3. Untuk mendorong dan memotivasi lahirnya Seniman Diorama, dapat dilakukan melalui pembukaan Jurusan baru atau Mata Ajar pada Jurusan Seni Rupa dan Desain di seluruh di Indonesia. 4. Untuk mendorong terselenggaranya Konservasi BCB secara terstruktur Jurusan Arkeologi dapat mengadopsinya pula sebagai Mata Ajar. b. Konservasi Expertise untuk Maintenance 1. Perlu digelar Kursus Teknik Pemeliharaan Diorama yang pesertanya secara nasional dapat dihimpun, dan Dinas Permuseuman DKI Jakarta dapat berperan aktif sebagai arranger -nya. 2. Perlu pemikiran secara komersial dengan menggalang kerjasama dengan gallery atau penerbit yang memiliki kredibilitas untuk ‘merekam’ diorama seluruh Indonesia ke dalam bentuk buku, catalog, website atau CD agar informasi dapat terdistribusi di masyarakat. 3. Mata Ajar Teknik Maintenance juga dapat dibuka di Jurusan Seni Rupa untuk memfasilitasi kelangkaan tenaga teknik pada museum-museum. 4. Jurusan Arkeologi dapat pula mengembangkan jurusan Konservasi Diorama sebagai salah satu kajian khusus untuk menjembatani kelangkaan tenaga maintenance ini. Jakarta, 23 Maret 2007 9