1. Tahap perkembangan moral Kohlberg
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence
Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago
berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya
akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. [1] Ia menulis disertasi doktornya pada tahun
1958 [2] yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan
moral dari Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis,
mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti
perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, [3]
yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan
konstruktif.[4] Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses
perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya
berlanjut selama kehidupan,[2] walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis
dari penelitiannya.[5][6]
Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia
tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila
mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan
mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam
tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-
konvensional.[7][8][9] Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap
tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral
dibanding tahap/tingkat sebelumnya.[4]
Daftar isi
1 Tahapan-tahapan
o 1.1 Pra-Konvensional
o 1.2 Konvensional
o 1.3 Pasca-Konvensional
2 Contoh dilema moral yang digunakan
o 2.1 Dilema Heinz
3 Kritik
4 Lihat pula
5 Referensi
6 Bacaan lebih lanjut
o 6.1 Bacaan Bahasa Indonesia
7 Pranala luar
2. Tahapan-tahapan
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga
tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.[7][8][9] Mengikuti
persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori perkembangan kognitif, adalah
sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini.[10][11] Walaupun demikian, tidak
ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak
dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru
dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap
sebelumnya.[10][11]
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
( Apa untungnya buat saya?)
Tingkat 2 (Konvensional)
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal
( Principled conscience)
Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun
orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada
dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan
konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam
perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari
tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah
secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan
dianggap semakin salah tindakan itu.[12] Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut
pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai
sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan
dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian
pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap
kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga
punggungmu.”[4] Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas
atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat
pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan
dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif
dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
3. Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di
tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan
pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan
keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau
menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba
menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut,[4] karena telah mengetahui ada
gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan
dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai
menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk
mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini.
Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap
ini; 'mereka bermaksud baik…'.[4]
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial
karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap
empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga;
kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan
apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa
melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas
untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara
moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan
yang buruk dari yang baik.
Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima
dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang
terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat
sebelum perspektif masyarakat. Akibat „hakekat diri mendahului orang lain‟ ini membuat
tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan
nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa
memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan
jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau
absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu,
hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak
mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan
terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang.[8] Hal tersebut diperoleh melalui keputusan
mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak
berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip
etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap
keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak
4. tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan
dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara
kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant[13]). Hal ini bisa dilakukan dengan
membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga
memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John
Rawls[14]). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak
pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan
bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.
Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan
seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada,
yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.[11]
Contoh dilema moral yang digunakan
Perkembangan Moral Peserta Didik
Auliya Nur Rohmah
12
Apr 2012
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence
Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar di University of Chicago berdasarkan teori
yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-
anak terhadap dilema moral.Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 yang menjadi
awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis,
mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti
perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget,
yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan
konstruktif Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses
perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya
berlanjut selama kehidupan,walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis
dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia
tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila
mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan
mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam
tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-
konvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan
5. dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral
dibanding tahap/tingkat sebelumnya.
1. Rumusan Masalah
1) Apa Pengertian Moral?
2) Bagaimana Pola Perkembangan Moral?
3) Bagaimana Tahap-Tahap Perkembangan Moral?
4) Bagaimana Cara Mempelajari Sikap Moral?
5) Bagaimana Implikasinya bagi pendidikan?
1. Tujuan Penulisan
1) Mengetahui Pengertian Moral.
2) Mengetahui Bagaimana Pola Perkembangan Moral.
3) Mengetahui Bagaimana Tahap-Tahap Perkembangan Moral.
4) Mengetahui Bagaimana Cara Mempelajari Sikap Moral.
5) Mengetahui Bagaimana Implikasinya bagi pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Moral
Moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti tata cara , kebiasaan, dan adat. Perilaku
sikap moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, yang
dikembangakan oleh konsep moral. Yang dimaksud dengan konsep moral ialah peraturan
perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Konsep moral inilah yang
menentukan pola perilaku yang diharapakan dari seluruh anggota kelompok.[1]
Menurut piaget (sinilungan, 1997), hakikat moralitas adalah kecenderungan menerima dan
menaati sistem peraturan. Selanjutnya, kohlberg (gnarsa, 1985) mengemukakan bahwa aspek
moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, tapi sesuatu yang berkembang dan dapat
diperkembangkan/dipelajari. Perkembangan moral merupakan proses internalisasi
nilai/norma masyarakat sesuai dengan kematangan dan kemampuan seseorang dalam
menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku dalam kehidupannya. Jadi, perkembangan
moral mencangkup aspek kognitif yaitu pengetahuan tentang baik/buruk atau benar/salah,
dan aspek afektif yaitu sikap perilaku moral itu dipraktekkan. piaget mengajukan
perkembangan moral, yang digambarkan pada aturan permainan. Menurut beliau hakekat
moralitas adalah kecenderungan menerima dan menaati sistem peraturan.
6. Tokoh yang paling dikenaldalam kaitannya dengan perkembangan moral adalah lawrence E.
Kohlberg (19995). Melalui disertasinya yang sangat monumental yang berjudul ” the
development of modes of moral thinking and choice in the years 10 to 16 ” yang
diselesaikannya di university of chicago pada tahun 1958, dia melakukan penelitian empiris
lintas kelompok usia tentang cara perkembangan moral terhadap 75 orang anak dan remaja
yang berasal dari daerah yang berbeda di sekitar chicago. Anak-anak itu dibagi menjadi tiga
kelompok usia, yakni kelompok usia 10, 13, dan 16 tahun. Penelitiannya dilakukan dengan
cara menghadapkan para subjek penelitian atau responden kepada berbagai dilema moral dan
selanjutnya mencatat semua reaksi mereka. Dalam pandangan kohlberg, sebagaimana juga
pandangan jean piaget yaitu salah seorang yang sangat dikaguminya, berdasarkan
penelitiannya itu sangat tampak bahwa anak-anak dan remaja itu menafsirkan segala tindakan
dan perilakunya sesuai dengan struktur mental mereka sendiri. Mereka menilai hubungan
sosial dan perbuatan tertentu sebagai “adil” atau “tidak adil”, “ baik” atau ”buruk” juga
seiring dengan tingkat perkembangan atau setruktur moral mereka masing-masing.
Disamping perilaku moral ada juga perilaku tak bermoral yaitu perilaku yang tidak sesuai
dengan harapan sosial karena sikap tidak setuju dengan standar sosial yang berlaku atau
kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri, serta perilaku amoral atau nonmoral yaitu
perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena ketidak acuhan atau pelanggaran
terhadap standar kelompok sosial.
Berdasarkan penelitiannya itu, kohlberg menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut:
1. Penilaian dan perubahan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan moral
bukanlah soal permasalahan atau nilai, melainkan mengandung suatu tafsiran kognitif
terhadap keadaan dilema moral dan bersifat konstruksi kognitif yang bersifat aktif
terhadap titik pandang maing-masing individu sambil mempertimbangkan segala
macam tuntutan individu, hak, kewajiban, dan keterlibatan setiap pribadi terhadap
sesuatu yang baik dan adil. Kesemua itu merupakan tindakan kognitif.
2. Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal
harus di uraikan dan biasanya yang digunakan remaja untuk mempertamggung
jawabkan perbuatan moralnya.
3. Membenarkan gagasan jean piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun
telah mencapai tahap tertinggi dalam proses perkembangan moral. Sebagaimana
penelitian piaget telah membuktikan bahwa baru pada masa remaja pola pemikiran
oprasional-formal berkembang. Demikian pula kohlberg menunjukkan adanya
kesejajaran perkembangan kognitif dengan perkembangan moral, yaitu bahwa pada
masa remaja dapat juga dicapai tahap tertinggi perkembangan moral yang ditandai
dengan kemampuan remaja menerapkan prinsip keadilan universal pada penilaian
moralnya.[2]
1. Pola Perkembangan Moral
Dalam mempelajari perkembangan sikap moral peserta didik usia sekolah, piaget
(sinolungun, 1997) mengemukakan tiga tahap perkembangan moral sesuai dengan kajian
pada aturan dalam permainan anak.
Fase absolut,
7. Dimana anak menghayati peraturan sebagai sesuatu hal yang mutlak, tidak dapat diubah,
karena berasal dari otoritas yang dihormati (orang tua, guru, anak yang lebih berkuasa)
Fase realitas,
Dimana anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan orang lain. Dalam permainan,
anak menaati aturan yang disepakati bersama sebagai suatu kenyataan/realitas yang dapat
diubah asal disetujui bersama.
Fase subjektif,
Dimana anak memperhatikan motif atau kesengajaandalam memahami aturan dan gembira
mengembangakan sertamenerapkan.
1. Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Piaget mengatakan bahwa seorang anak melampui perkembangan melalui 4 tahap dalam
memahami dunia. Masing-masing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara berpikir yang
berbeda. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
1. Tahap sensorimotor (Sensorimotor stage)
Yaitu yang terjadi dari lahir hingga usia 2 tahun, merupakan tahap pertama piaget. Pada tahap
ini, perkembangan mental ditandai oleh kemajuan yang besar dalam kemampuan bayi untuk
mengorganisasikan dan mengkoordinasikan sensasi (seperti melihat dan mendengar) melalui
gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan fisik.
1. Tahap praoperasional (preoperational stage),
Yaitu yang terjadi dari usia 2 hingga 7 tahun, merupakan tahap kedua piaget, pada tahap ini
anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Mulai muncul pemikiran
egosentrisme, animisme, dan intuitif. Egosentrisme adalah suatu ketidakmampuan untuk
membedakan antara perspektif seseorang dengan perspektif oranglain dengan kata lain anak
melihat sesuatu hanya dari sisi dirinya.
Animisme adalah keyakinan bahwa obyek yang tidak bergerak memiliki kualiatas semacam
kehidupan dan dapat bertindak. Seperti sorang anak yang mengatakan, “Pohon itu bergoyang-
goyang mendorong daunnya dan daunnya jatuh.”
Intuitif adalah anak-anak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin mengetahui
jawaban atas semua bentuk pertanyaan. Mereka mengatakan mengetahui sesuatu tetapi
mengetahuinya tanpa menggunakan pemikiran rasional
.
1. Tahap operasional konkrit (concrete operational stage)
Yaitu yang berlangsung dari usia 7 hingga 11 tahun, merupakan tahap ketiga piaget. Pada
tahap ini anak dapat melakukan penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif sejauh
pemikiran dapat diterapkan ke dalam cotoh-contoh yang spesifik atau konkrit.
8. 1. Tahap operasional formal (formal operational stage)
Yaitu yang terlihat pada usia 11 hingga 15 tahun, merupakan tahap keempat dan terkahir dari
piaget. Pada tahap ini, individu melampaui dunia nyata, pengalaman-pengalaman konkrit dan
berpikir secara abstrak dan lebih logis.[3]
Sebagai pemikiran yang abstrak, remaja mengembangkan gambaran keadaan yang ideal.
Mereka dapat berpikir seperti apakah orangtua yang ideal dan membandingkan orangtua
mereka dengan standar ideal yang mereka miliki. Mereka mulai mempersiapkan
kemungkinan-kemungkinan bagi masa depan dan terkagum-kagum terhadap apa yang
mereka lakukan.
- Dalam tahap pengembangan moral ini menurut kohlberg ada 3 tahap perkembangan moral
yaitu:
a. Tahap Prakonvensional
Dimana aturan berisi ukuran moral yang dibuat otoritas pada tahap perkembangan ini anak
tidak akan melanggar aturan karena takut ancaman hukuman dari otoritas.
b. Tahap konvensional
Anak mematuhi aturan yang dibuat bersama, agar ia diterima dalam kelompok sebaya/oleh
otoritasnya.
1. Tahap pascakonvensional
Anak menaati aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya.
- Dalam tahap pengembangan moral ini menurut J. Bull perkembangan moral dibagi menjadi
4 yaitu:
a. Tahap anomi ketidakmampuan moral bayi. Moral bayi barulah suatu potensi yang siap
dikembangkan dalam lingkungan.
b. Tahap heteronomi dimana moral yang berpotensial dipacu berkembang orang lai/otoritas
melalui aturan dan kedisiplinan.
c. Tahap sosionomi dimana moral berkembang ditengah sebaya/dalam masyarakat, mereka
lebih menaati aturan kelompok dari pada aturan otoritas.
d. Tahap otonomi moral yang mengisi dan mengendalikan kata hati serta kemampuan
bebasnya untuk berperilaku tanpa tekanan lingkungan.[4]
Adapun tahap-tahap perkembangan moral yang dikenal diseluruh dunia yang di kemukakan
oleh kohlberg (1995) sebagai berikut:
Tingkat 1: Prakonvensional.
9. Pada tingkat ini aturan berisi aturan moral yang dibuat berdasarkan otoritas. Anak tidak
melanggar aturan moral karana takut ancaman atau hukuman dari otoritas. Tingkat pra-
konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa
juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat
pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya
langsung.
Tingkat ini dibagi menjadi dua tahap:
Tahap orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman
Pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan ini ditentukan oleh adanya
kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Anak harus menurut, atau kalau tidak, akan
mendapat hukuman.
Tahap relativistik -instrument
Pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung pada aturan yang berada di luar
dirinya yang ditentukan orang lain yang memiliki otoritas. Anak mulai sadar bahwa setiap
kejadian mempunyai beberapa segi yang bergantung pada kebutuhan (relativisme) dan
kesenangan seseorang (hedonisme), perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang
paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan
orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya
sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Jadi
hubungan disini bukan atas dasar loyalitas, trimakasih dan keadilan.
Tingkat 2 : Konvensional.
Pada tingkatan ini anak mematuhi aturan yang dibuat bersama agar diterima dalam
kelompoknya, Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa.
Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya
dengan pandangan dan harapan masyarakat.. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap.
tahap orientasi mengenai anak yang baik.
Pada tahap ini anak mulai memperlihatkan orientasi perbuatan yang dapat dinilai baik atau
tidak baik oleh orang lain atau masyarakat. Sesuatu dikatakan baik dan benar apabila sikap
dan perilakunya dapat diterima oleh orang lain atau masyarakat.
tahap mempertahankan norma sosial dan otoritas.
Pada tahap ini anak menunjukkan perbuatan baik dan benar bukan hanya agar dapat diterima
oleh lingkungan masyarakat di sekitarnya, tetapi juga bertujuan agar dapat ikut
mempertahankan aturan dan norma/ nilai sosial yang ada sebagai kewajiban dan tanggung
jawab moral untuk melaksanakan aturan yang ada.
Tingkat 3: pasca konvensional, otonom atau berlandaskan prinsip
Pada tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya. Tingkat ini
juga terdiri dari dua tahap yaitu:
10. tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial.
Pada tahap ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial dan
masyarakat. Seseorang menaati aturan sebagai kewajiban dan tanggung jawab dirinya dalam
menjaga keserasian hidup masyarakat.
tahap prinsip etika universal.
Pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat subyektif ada juga norma etik (baik/
buruk, benar/ salah) yang bersifat universal sebagai sumber menentukan sesuatu perbuatan
yang berhubungan dengan moralitas.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg seperti halnya Piaget menunjukkan
bahwa sikap dan perilaku moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari
kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi juga terjadi
sebagai akibat dari aktivitas spontan yang dipelajari dan berkembang melalui interaksi sosial
anak dengan lingkungannya.[5]
Berdasarkan tingkatan dan tahap-tahap perkembangan moral itu, kemudian Kohlberg (1995)
menerjemahkannya ke dalam motif-motif individu dalam melakukan perbuatan moral. Sesuai
dengan tahap-tahap perkembangan moral, maka motif-motif perilaku moral manusia adalah
sebagai berikut :
Motif 1 erbuatan moral individu dimotivasi oleh penghindaran terhadap hukuman
dan suara hati pada dasarnya merupakan ketakutan irasional terhadap hukuman.
Motif 2 erbuatan moral individu dimotivasi oleh keinginan untuk mendapat
ganjaran dan keuntungan. Sangat boleh jadi reaksi rasa bersalah diabaikan dan hukuman
dipandang secara pragmatis sehingga membedakan rasa takut, rasa nikmat. Atau rasa sakit
dari akibat hukuman
Motif 3 erbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan orang
lain, baik yang nyata atau yang dibayangkan secara hipotesis.
Motif 4 erbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan yang
mendalam karena kegagalan dalam melaksanakan kewajiban dan rasa diri bersalah atas
kerugian yang dilakukan terhadap orang lain.
Motif 5 erbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap upaya
mempertahankan rasa hormat terhadap orang lain dan masyarakat yang didasarkan atas akal
budi dan bukan berdasarkan emosi, keprihatinan terhadap rasa hormat bagi diri sendiri.
Misalnya, untuk menghindari sikap menghakimi diri sendiri sebagai makhluk yang tidak
rasional, tidak konsisten dan tanpa tujuan.
Motif 6 erbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap sikap
mempersalahkan diri karena melanggar prinsip-prinsipnya sendiri. Individu cenderung
membedakan antara rasa hormat terhadap diri karena mencapai rasionalitas dengan rasa
hormat terhadap diri sendiri karena mampu mempertahankan prnsip-prinsip moral.[6]
D. Cara Mempelajari Sikap Moral
11. Sikap dan perilaku moral dapat dipelajari dengan cara berikut.
1. Belajar melalui cob/ ralat (tryal and error). Anak mencoba belajar mengatahui apakah
perilakunya sudah memenuhi standart sosial dan persetujuan sosial atau belum. Bila belum,
maka anak dapat mencoba lagi sampai suatu ketika secara kebetulan dapat berperilaku sesuai
dengan yang diharapkan.
2. Pendidikan langsung yang dilakukan dengan cara anak belajar memberi reaksi tertentu
secara tepat dalam situasi tertentu, serta dilakukan dengan cara memenuhi peraturan yang
berlaku dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat sekitar.
3. Identifikasi dengan orang yang dikaguminya. Cara ini biasanya dilakukan secara tidak
sadar dan tanpa tekanan dari orang lain. Yang penting ada teladan dari orang yang
diidentifikasikan untuk ditiru perilakunya.
Pendidikan saat ini umunya mempersiapkan peserta didik memilki banyak pengetahuan,
tetapi tidak tahu cara memecahkan masalah tertentu yang dihadapai dalam kehidupan
bermasyarakat sehari-hari. Pendidikan lebih mempersiapkan peserta didik untuk menjadi
anak yang pandai dan cerdas, tetapi kurang mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anak
yang baik. Masalah berkenaan dengan baik dan buruk menjadi kajian bidang moral.
Demikian juga dalam mengembangkan aspek moral peserta didik berarti bagaimana cara
membantu peserta didik untuk menjadi anak yang baik, yang mengetahui dan berperilaku
atau bersikap berbuat baik dan benar. Sikap dan perilaku moral dapat dikembangkan melalui
pendidikan dan penanaman nilai/ norma yang dilakukan secara terintegrasi dalam pelajaran
maupun kegiatan yang dilakukan anak di keluarga dan sekolah. Pendidikan bukan hanya
mempersiapkan anak menjadi manusia cerdas, tetapi juga menjadi manusia yang baik,
berbudi luhur, dan berguna bagi orang lain.[7]
E. implikasinya bagi pendidikan
pengembangan moral melalui pendidikan mestinya bukan hanya mengajarkan nilai-nilai
sebagai slogan saja. Hal ini tampak pada moral yang diyakini penganut dan moral budaya
yang diterima warga masyarakat.
Proses pendidikan dan pembelajaran moral diteladankan orang tua dan dilakukan secara
terpadu (integrated) pada tiap peluang dalam semua kegiatan sekolah.disana pendidik
mengajarkan keteraturan hidup, disiplin serta melatih dan membiasakan peserta didik
bermoral dalam perilaku dan kegiatannya. Otoritas mendukung berbagai kegiatan
pengembangan moral warga masyarakat sebagai bagian upaya membangun karekter manusia
indonesia seutuhnya. Cara yang ideal adalah dengan memantapkan pancasila melalui
keteladanan pendidik pada umumnya kepada warga bangsa sebagai peserta didik sepanjang
hayat. Disini berproses pembangunan watak bangsa.[8]
BAB III
PENUTUP
1. kesimpulan
2. Pengertian Moral
12. Moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti tata cara , kebiasaan, dan adat. Perilaku
sikap moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, yang
dikembangakan oleh konsep moral. Yang dimaksud dengan konsep moral ialah peraturan
perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Konsep moral inilah yang
menentukan pola perilaku yang diharapakan dari seluruh anggota kelompok.
1. Pola Perkembangan Moral
Piaget (sinolungun, 1997) mengemukakan tiga tahap perkembangan moral sesuai dengan
kajian pada aturan dalam permainan anak.
Fase absolut,
Fase realitas,
Fase subjektif,
Dimana anak memperhatikan motif atau kesengajaandalam memahami aturan dan gembira
mengembangakan sertamenerapkan.
1. Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Piaget mengatakan bahwa seorang anak melampui perkembangan melalui 4 tahap dalam
memahami dunia. Masing-masing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara berpikir yang
berbeda. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
1. Tahap sensorimotor (Sensorimotor stage)
2. Tahap praoperasional (preoperational stage)
1. Tahap operasional konkrit (concrete operational stage)
1. Tahap operasional formal (formal operational stage)
- Dalam tahap pengembangan moral ini menurut kohlberg ada 3 tahap perkembangan moral
yaitu:
a. Tahap Prokonvensional.
b. Tahap konvensional
c. Tahap pascakonvensional
Adapun tahap-tahap perkembangan moral yang dikenal diseluruh dunia yang di kemukakan
oleh kohlberg (1995) sebagai berikut:
Tingkat 1: Prakonvensional.
Pada tingkat ini aturan berisi aturan moral yang dibuat berdasarkan otoritas. Anak tidak
melanggar aturan moral karana takut ancaman atau hukuman dari otoritas. Tingkat ini dibagi
menjadi dua tahap:
Tahap orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman
Tahap relativistik -instrument
13. Tingkat 2 : Konvensional.
Pada tingkatan ini anak mematuhi aturan yang dibuat bersama agar diterima dalam
kelompoknya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap.
tahap orientasi mengenai anak yang baik.
tahap mempertahankan norma sosial dan otoritas.
Tingkat 3: pasca konvensional, otonom atau berlandaskan prinsip
Pada tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya. Tingkat ini
juga terdiri dari dua tahap yaitu:
tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial.
tahap prinsip etika universal.
D. Cara Mempelajari Sikap Moral
Sikap dan perilaku moral dapat dipelajari dengan cara berikut.
1. Belajar melalui cob/ ralat (tryal and error).
2. Pendidikan langsung yang dilakukan dengan cara anak belajar memberi reaksi tertentu
secara tepat dalam situasi tertentu, serta dilakukan dengan cara memenuhi peraturan yang
berlaku dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat sekitar.
3. Identifikasi dengan orang yang dikaguminya.
E. implikasinya bagi pendidikan
pengembangan moral melalui pendidikan mestinya bukan hanya mengajarkan nilai-nilai
sebagai slogan saja. Hal ini tampak pada moral yang diyakini penganut dan moral budaya
yang diterima warga masyarakat.
Makalah Perkembangan Moral pada Remaja
9:12 AM |
BAB I
PENDAHULUAN
14. 1. LATAR BELAKANG
Remaja merupakan suatu masa dari umur manusia yang paling banyak mengalami
perubahan, sehingga membawanya pindah dari masa kanak-kanak menuju kepada masa
dewasa. Perubahan-perubahan yang terjadi itu, meliputi : jasmani, rohani, pikiran, perasaan
dan sosial. Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki
tahap progresif.
Meskipun perkembangan aspek-aspek kepribadian telah diawali pad masa-masa
sebelumnya, tetapi puncaknya boleh dikatakan terjadi pada masa remaja. Sebab setelah
melewati masa remaja ini remaja telah berubah menjadi seorang dewasa yang boleh
dikatakan telah terbentuk suatu pribadi yang relative tetap.
Perkembangan moral, nilai dan sikap (tingkah laku) ini berkembang sangat pesat pada
masa remaja. Dapat dikatakan bahwa pada masa remaja menjadi penentu perkembangan hal-
hal tersebut.
2. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah ini antara lain:
1. Apakah pengertian dari perkembangan mora?
2. Bagaimana karakteristik perkembangan moral pada remaja?
3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral pada remaja?
4. Bagaimanakah perbedaan individu dalam perkembangan moral?
5. Bagaimana hubungan antara nilai, moral, sikap, dan tingkah laku?
6. Bagaimana tahap-tahap perkembangan moral?
7. Bagaimana implementasi perkembangan moral dalam kehidupan sehari-hari?
3. TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini antara lain:
1. Mahasiswa memahami pengertian dari perkembangan moral
2. Mahasiswa mengetahui karakteristik perkembangan moral pada remaja
3. Mahasiswa dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral pada
remaja
4. Mahasiswa mengetahui perbedaan individu dalam perkembangan moral
5. Mahasiswa mengetahui hubungan antara nilai, moral, sikap, dan tingkah laku
15. 6. Mahasiswa mengetahui tahap-tahap perkembangan moral
7. Mahasiswa mengetahui implementasi dari perkembangan moral dalam kehidupan sehari-hari
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN PERKEMBANGAN MORAL
Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan,
peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Moral dapat juga diartikan sebagai ajaran
tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Dalam moral
diatur segala perbuatan yang dinilai baik, perlu dilakukan,dan suatu perbuatan yang dinilai
tidak baik dan perlu dihindari. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima
dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti:
a. Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan,
memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan
b. Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan
yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Seseorang
dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja
adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh masyarakat dan kemudian mau membentuk
perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan
diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan
nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang
lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya
terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya
berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar
memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana
yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
2. KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN MORAL
16. Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai
dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional
formal, yakni:
a. mulai mampu berfikir abstrak.
b. mulai mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotetis, maka pemikiran
remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat, dan situasi,
tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka.
c. Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan
kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggapnya sebagai
suatu yang bernilai walau belum mampu mempertanggungjawabkannya secara pribadi.
d. Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. e.
Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
f. Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
g. Penilaian secara psikologis menjadi lebih mahal.
3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN MORAL
Adapun Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral:
a. Hubungan harmonis dalam keluarga, yang merupakan tempat penerapan pertama sebagai
individu. Begitupula dengan pendidikan agama yang diajarkan di lingkungan keluarga sangat
berperan dalam perkembangan moral remaja.
b. Masyarakat, tingkah laku manusia bisa terkendali oleh kontrol dari yang mempunyai
sanksi-sanksi buat pelanggarnya.
c. Lingkungan sosial, lingkungan sosial terutama lingkungan sosial terdekat yang bisa
sebagai pendidik dan pembina untuk memberi pengaruh dan membentuk tingkah laku yang
sesuai.
d. Perkembangan nalar, makin tinggi penalaran seseorang , maka makin tinggi pula moral
seseorang.
e. peranan media massa dan perkembangan teknologi modern. Hal ini berpengaruh pada
moral remaja. Karena seorang remaja sangat cepat untuk terpengaruh terhadap hal-hal yang
baru yang belum diketahuinya.
4. PERBEDAAN INDIVIDU DALAM PERKEMBANGAN MORAL
17. Setiap individu mempunyai perbedaan dalam men yikapi nilai, moral, dan sikap,
tergantung dimana individu tersebut berada. Pada anak-anak terdapat anggapan
bahwa aturan-aturan adalah pasti dan mutlak oleh karena diberikan oleh orang dewasa
atau Tuhan yang tidak bisa diubah lagi (Kohlberg,1963). Sedangkan pada anak-anak yang
berusia lebih tua, mereka bisa menawar aturan-aturan tersebut kalau disetujui oleh
semua orang.
Pada sebagian remaja dan orang dewasa yang penalarannya terhambat,
pedoman mereka hanyalah menghindari hukuman. Sedangkan untuk tingkat
kedua sudah ada pengertian bahwa untuk memenuhi kebutuhan sendiri seseorang juga harus
memikirkan kepentingan orang lain. Perbedaan perseorangan juga dapat dilihat pada latar
belakang kebudayaannya. Jadi, ada kemungkinan terdapat individu atau remaja yang
tidak mencapai perkembangan nilai, moral dan sikap serta tingkah laku yang diharapkan
padanya.
5. HUBUNGAN ANTARA NILAI, MORAL, SIKAP, DAN TINGKAH LAKU
Nilai Merupakan sesuatu yang baik, diinginkan atau dicita-citakan dan dianggap
penting oleh warga masyarakat, misalnya kebiasaan dan sopan santun. Menurut Green, sikap
merupakan kesediaan bereaksi individu terhadap suatu hal, sikap berkaitan dengan motif dan
mendasari tingkah laku seseorang. Tingkah laku adalah implementasi dari sikap yang
diwujudkan dalam perbuatan.
Dalam kaitan dengan pengamalan nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol
dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud. Dalam
hal ini aliran Psikonalisis tidak membeda-bedakan antara moral, norma dan nilai. Semua
konsep itu menurut Freud menyatu dalam konsepnya super ego. Super ego sendiri dalam teori
Freud merupakan bagian dari jiwa yang berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku ego,
sehingga tidak bertentangan dengan masyarakat.
6. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN MORAL
Dari hasil penyelidikan kohlberg mengemukakan 6 tahap (stadium) perkembangan moral
yang berlaku secara universal dan dalam urutan tertentu. Ada 3 tingkat perkembangan moral
menurut kohlberg, yaitu tingkat :
I Prakonvensional
II Konvensional
18. III Pasca-konvensional
Masing-masing tingkat terdiri dari 2 tahap, sehingga keseluruhan ada 6 tahapan yang
berkembang secara bertingkat dengan urutan yang tetap. Tidak setiap orang dapat mencapai
tahap terakhir perkembangan moral. Dalam stadium nol, anak menganggap baik apa yang
sesuai dengan permintaan dan keinginannya. Hingga sesudah stadium ini datanglah:
Tingkat I; prakonvensional, yang terdiri dari stadiun 1 dan 2
Pada stadium 1, anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak menganggap
baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya. Anak hanya mengetahui bahwa
aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Ia harus
menurut atau kalau tidak, akan memperoleh hukuman.
Pada stadium 2, berlaku prinsip Relaivistik-Hedonism. Pada tahap ini, anak tidak lagi
secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau ditentukan oleh orang
lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai berbagai segi. Jadi, ada
Relativisme. Relativisme ini artinya bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan sesorang.
Misalnya mencuri kambing karena kelaparan. Karena perbuatan “mencuri” untuk memenuhi
kebutuhanya, maka mencuri dianggap sebagai perbuatan yang bermoral, meskipun perbuatan
mencuri itu diketahui sebagai perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
Tingkat II : konvensional
Stadium 3, menyngkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini, anak
mulai memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi perbuatan-
perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orag lain, masyarakat adalah sumber yang
menentukan, apakah perbuatan sesorang baik atau tidak. Menjadi “anak yang manis” masih
sangat penting daam stadium ini.
Stadium 4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dari otoritas. Pada
stdium ini perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat diterima oleh
lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan-
aturan atau norma-norma soisal. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut
melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak timbul kekacauan.
Tingkat III: Pasca-Konvensional
Stadium 5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan
lingkungan sosial, pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan
lingkungan sosial, dengan masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan kewajibannya, harus
sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial kerena sebaiknya, lingkungan sosial atau
masyarakat akan memberikan perlindungan kepadanya.
19. Stadium 6, tahap ini disebut prinsisp universal. Pada tahap ini ada norma etik
disamping norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang ada
unsur subjektif ynag menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak. Dalam hal ini, unsur
etika akan menentukan apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya. Menurut Furter
(1965), menjadi remaja berarti mengerti nila-nilai. Mengerti nilai-nilai ini tidak berarti hanya
memperoleh pengertian saja melainkan juga dapat menjelaskanya/mengamalkannya. Hal ini
selanjutnya berarti bahwa remaja sudah dapat menginternalisasikan penilaian-penilaian
moral, menjadikanya sebagai nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya penginternalisasian nilai-
nilai ini akan tercemin dalam sikap dan tingkah lakunya.
7. IMPLEMENTASI PERKEMBANGAN MORAL
Adapun implementasi dari perkembangan moral pada remaja adalah:
a. Dalam bergaul, remaja sudah mulai selektif dalam memilih teman
b. Remaja sudah peka terhadap permasalahan yang terjadi di sekitarnya dan sudah mulai
mencari solusi terhadap permasalahan tersebut
c. Sudah mulai mencoba untuk membahagiakan orang lain
d. Timbul rasa kepedulian jika melihat hal-hal yang menyentuh hati
e. Remaja sudah mulai membentuk kepribadiannya yang sesuai dengan nilai-nilai yang
diyakininya
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai, yang berarti tidak hanya memperoleh
pengertian saja tetapi juga dapat menjalankannya atau mengamalkannya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan moral yaitu hubungan harmonis dalam keluarga, masyarakat,
lingkungan sosial, perkembangan nalar, dan peranan media massa dan perkembangan
teknologi modern.
Karakteristik perkembangan moral antara lain: mulai mampu berfikir abstrak, mulai
mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotetis, mulai tumbuh kesadaran akan
kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada, keyakinan moral lebih berpusat
pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah, keadilan muncul sebagai kekuatan
20. moral yang dominan, penilaian moral menjadi kurang egosentris, dan penilaian secara
psikologis menjadi lebih mahal.
Perbedaan individu dalam perkembangan nilai, moral dan sikap,sesuai dengan umur,
faktor kebudayaan, dan tingkat pemahamannya.
perubahan bagi saya....!!!!
0inShare
Perkembangan Moral Peserta Didik
OPINI | 26 September 2012 | 16:55 Dibaca: 3286 Komentar: 0 Nihil
Oleh: Alim Sumarno,
Notulen: M. SAIFUL
Perkembangan Moral Peserta Didik
Di dalam kehidupan bermasyarakat arti nilai sebuah moral sangat penting. Dalam hal ini
orang dapat dikatakan bermoral apabila dalam menjalani kehidupan Hurlock, istilah moral
berasal dari kata latin mos(moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai
atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan
melakukan peraturan, nilai- nilai atau prinsip-prinsip moral (Yusuf,2002). Konsep moral
sudah dapat dibentuk sejak masa anak yaitu lebih kurang awal dari usia 2 tahun. Meskipun
sudah dipelajari sejak kecil, namun setelah dewasa manusia tetap berhadapan dengan
masalah-masalah moral dan meningkatkan konsep moralnya dalam berhubungan dengan
orang lain. Bahwa perkembangan moral seorang anak sejalan dengan perkembangan
kognitifnya. Dengan makin bertambahnya tingkat pengetahuan, makin banyak pula nilai-nilai
moral. Menurut Hurlock (dalam Sianawati,dkk, 1992) meskipun perkembangan peserta didik
melewati pentahapan yang tetap, namun usia mereka dalam mencapai tahapan tertentu
berbeda menurut tingkat perkembangan kognitif mereka
Pola asuh adalah perlakuaan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi
perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehar-ihari (Meichati,1978). Menurut
Gunarsa (1989) keluarga merupakan lingkungan kehidupan yang dikenal anak untuk pertama
kalinya, dan untuk seterusnya peserta didik banyak belajar di dalam kehidupan keluarga.
Karena itu peranan orang tua dianggap paling besar pengaruhnya terhadap perkembangaan
moral seorang anak. Dalam hal ini dapat dilihat perbedaan perkembangan moral anak ditinjau
dari persepsi pola asuh, yaitu pada orang tua yang menerapkan pola asuh anak yang duduk di
TK mulai memperlihatkan keinginan untuk menjadi “anak baik” dan menunjukkan
kesetiaan/loyalitas terhadap orang-orang tertentu. Ia sedang memasuki suatu tahap penting
perkembangan moral, yang oleh ahli teori Lawrence Kohlberg disebut sebagai tahap “norma-
norma interpersonal”. Anak mulai menginternalisir moral-moral sebagaimana yang orang
dewasa tunjukan.
21. Menurut Piaget, perkembangan moral anak menengah dan akhir berada dalam suatu transisi
antara dua tahap yaitu tahap realisme moral atau heteronomous morality dan tahap moralitas
berdasarkan hubungan timbal balik atau disebut juga autonomous morality. Dalam tahap
realisme moral, anak melihat peraturan dari orang tua dan orang dewasa lainnya sebagai
sesuatu yang tidak akan pernah berubah sehingga mereka harus senantiasa mentaati tanpa
perlu mempertanyakannya. Mereka juga cenderung menaati peraturan secara kaku dan
menilai kebenaran atau kebaikan berdasarkan konskuensi perilaku, bukan berdasarkan
maksud atau motivasi si pelaku. Pada tahap ini juga berkembang ide immanent justice
(keadilan abadi), yaitu suatu pemikiran bahwa pelanggaran peraturan pasti akan mendapatkan
hukuman dengan segera, maupun itu dari orang, objek atau tuhan. Misalnya peserta didik
yang berbohong kepada ibunya dan kemudian jatuh dari sepeda sehingga lututnya terluka,
akan berpikir bahwa kecelakaan itu terjadi sebagai hukuman karena ia telah berbohong
kepada ibunya
Pada tahap moralitas berdasarkan hubungan timbal balik, anak sudah menyadari bahwa
peraturan merupakan kesepakatan sosial yang dapat berubah dan dapat dipertanyakan. Anak
jjuga sudah mampu melihat bahwa ia tidak perlu patuh terhadap keinginan orang lain dan
bahwa pelanggaran peraturan tidak merupakan kesalahan atau pasti akan mendapat hukuman.
Dalam menilai perilaku orang lain, anak sudah mampu mempertimbangkan perasaan dan
melihat dari sudut pandang orang tersebut. Pada tahap ini juga berkembang ide
equalitarianisme, dimana anak percaya bahwa keadilan hukum harus ditetapkan pada semua
orang. Anak sudah menyadari bahwa pemberian hukuman harus berdasarkan pertimbangan
maksud si pelaku dan kondisi saat terjadinya pelanggaraan, dan hukuman yang diberikan
tidak harus berbentuk kekerasan, namun juga dapat berupa pembelajaran agar si pelaku
menjadi lebih baik dikemudian hari
Piaget berpendapat bahwa seraya berkembang, anak juga menjadi lebih canggih dalam
berfikir tentang persoalan-persoalan sosial. Piaget yakin bahwa peningkatan pemahaman
sosial ini terjadi melalui interaksi peserta didik dengan lingkungannya, terutama orang tua
dan teman sebaya. Sejalan dengan Piaget yang melihat perkembangan moral dari segi
kognitif, Kohberg juga menjelaskan tahapan perkembangan peserta didik . Hanya saja lebih
kompleks dari teori piaget . Menurut Kohlberg, perkembangan moral peserta didik menengah
dan akhir secara umum berada pada tingkat prakonvensional dan konvensional.
Menurut Hurlock (1993), perkembangan moral anak yang sesungguhnya dapat dilihat dari
dua aspek yaitu perkembangan konsep moral dan perkembangan perilaku moral.
Perkembangan konsep moral, seperti yang dijelaskan oleh Piaget dan Kohlberg, tidak
menjamin timbulnya tingkah laku moral, karena tingkah laku moral tidak hanya semata-mata
dipengaruhi oleh pengetahuan tentang konsep moral, tetapi juga ditentukan oleh banyak
faktor seperti tuntutan sosial, konsep diri anak, dan sebagainya. Salah satu faktor yang
penting dalam menentukan prilaku moral anak adalah adanya self regulation (pengaturan diri)
yaitu kemampuan mengontrol perilaku perilaku sendiri tanpa harus diawasi atau diingatkan
oleh orang lain. Dengan adanya pengaturan ini, anak akan mampu menunjukan atau menahan
perilaku tertentu secara tepat sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
Dibawah ini diberikan contoh aspek moral dan nilai-nilai agama yang perlu dikembangkan
pada jenjang pendidikan anak usia ini yang dikutif dari Standar Kompetensi Taman Kanak-
Kanak (TK) /Raodhatul Anfhal (RA) tahun 2004 (Depdi8knas, 2004).
Review artikel tentang perkembangan peserta didik.
22. Dari artikel di atas setelah saya pelajari terlintas bahwa seseorang yang menulis artikel
tersebut memfokuskan bahasan yang di tulis tentang perkembangan moral peserta didik.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwasanya konsep moral sudah dapat dibentuk sejak masa anak
yaitu lebih kurang awal dari usia 2 tahun atau pada tahapan pertumbuhan kedua yakni
berkisar pada usia 2 sampai 3 tahun menurut teorinya Erikson salah satu pakar perkembangan
psikologi.
Anak juga menjadi lebih canggih dalam berfikir tentang persoalan-persoalan sosial sehingga
anak itu lebih matang dalam menananmkan moral yang telah terwujud sejak usia dini agar
perkrmbanganya menjadi lebih baik dan sempurna sesuai dengan apa yang diharapkan
sebelumnya.Namun setelah dewasa manusia tetap berhadapan dengan masalah-masalah
moral dan meningkatkan konsep moralnya dalam berhubungan dengan orang lain. Bahwa
perkembangan moral seorang anak sejalan dengan perkembangan kognitifnyamaka dari itu
dengan makin bertambahnya tingkat pengetahuan, makin banyak pula nilai-nilai moral yang
didapat oleh anak tersebut.
Anak juga harus sudah mengerti tentang adanya tahapan-tahapan dalam peraturan karena
merupakan kesepakatan sosial yang dapat berubah dan dapat dipertanyakan. Anak juga sudah
mampu melihat bahwa ia tidak perlu patuh terhadap keinginan orang lain dan bahwa
pelanggaran peraturan tidak merupakan kesalahan atau pasti akan mendapat hukuman. Dalam
menilai perilaku orang lain, anak sudah mampu mempertimbangkan perasaan dan melihat
dari sudut pandang orang tersebut sehingga anak menjadi mandiri tampa tergantung kepada
orang lain sehingga anak juga dapat menilai sendiri mana yang baik dan mana yang buruk
yang dapat merugikan dirinya sendiri.
Pertumbuhan dan perkembangan anak berawal pada saat konsepsi hingga masa pertumbuhan
dan perkembangan itu berakhir yaitu saat dewasa. Namun, terkadang pada proses
pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut dapat5 mengalami suatu gangguan. Gangguan
tersebut dapat berupa gangguan bentuk anatomi, fisiologi maupun psikososial seorang anak
yang dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor yang mempengaruhi.
Dengan adanya pengaturan ini, anak akan mampu menunjukan atau menahan perilaku
tertentu secara tepat sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Dibawah ini diberikan contoh
aspek moral dan nilai-nilai agama yang perlu dikembangkan pada jenjang pendidikan anak
dalam perkembangan sosio emosional dalam perkembangan bakat anak yang dalam usia
perkembangannya mengalami perkembangan.dan Perkembangan moral itu harus didasarkan
pada sikap dan kemampuan yang dimiliki anak tersebut. Maka dari itu kita harus pandai-
pandai mengembangkan kepribadian kita. Dan semoga apa yang telah saya paparkan diatas
menjadi acuan kita untuk menjadi lebih baik di kedepanya amin………!