Dokumen tersebut membahas latar belakang pendirian Daerah Istimewa Yogyakarta dan status istimewanya. Dokumen ini juga membahas sejarah pendirian Keraton Yogyakarta, Taman Pintar Yogyakarta, proses pembuatan gerabah, dan sejarah pembangunan Candi Borobudur.
1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia
setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia.
Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan
sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga
Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status
sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan
penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis),
India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan
terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda
status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut
dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa
kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah
pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga
diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno
yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai
sebuah Negara.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang yang telas dijelaskan, maka dapat dibuat
perumusan masalah sebagai berikut:
pengertian-pengertian candi Borobudur, pantai parangtritis, taman pintar, gerabah,
keraton, museum, dan malioboro
1
2. 1.3. Tujuan
Adapun tujuan yang dari penulisan makalah ini yaitu dapat mengetahui masalah-
masalah yang terjadi pada sejarah-sejarah tempat yang ada di daerah Yogyakarta serta
mengatasi masalah tersebut:
Pada pembuatan makalah ini metode yang digunakan dalam mengumpulkan
data yaitu dari buku-buku mengenai sejarah-sejarah daerah Yogyakarta dan data dari
internet. Sehingga apabila dalam penulisan makalah ini ada kata-kata atau kalimat
yang hampir sama dari sumber atau penulis lain harap dimaklumi dan merupakan
unsur ketidaksengajaan.
2
3. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 Masehi (beberapa bulan setelah
Perjanjian Giyanti yang dilaksanakan pada 13 Februari 1755) atau tahun Jawa 1682
oleh Pangeran Mangkubumi Sukowati yang memiliki gelar Sri Sultan Hamengku
Buwono I Sebelum menempati Kraton Yogyakarta yang ada saat ini, Sri Sultan
Hamengku Buwono I atau Sri Sultan Hemengku Buwono Senopati Ingalogo
Ngabdulrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah tinggal di Ambar Ketawang
Gamping, Sleman. Lima kilometer di sebelah barat Kraton Yogyakarta.
Pada awalnya, ada beberapa versi, lokasi Keraton Yogyakarta adalah bekas
pesanggrahan yang bernama Garjitawati. Fungsi Pesanggrahan Garjitawati adalah
tempat peristirahatan iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan
Surakarta) yang akan dimakamkan di Makam Imogiri Sedangkan versi lain
menyebutkan bahwa lokasi Keraton Yogyakarta adalah sebuah mata air yang
bernama Umbul Pacethokan, terletak di tengah hutan Beringan.Dari Ambar
Ketawang Ngarso Dalem menentukan ibukota Kerajaan Mataram di Desa Pacetokan.
Sebuah wilayah yang diapit dua sungai yaitu sungai Winongo dan Code. Lokasi ini
berada dalam satu garis imajiner Laut Selatan, Krapyak, Kraton, dan Gunung Merapi.
Raja yang Berkuasa di Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono I
(GRM Sujono) memerintah pada tahun 1755-1792. Sri Sultan Hamengku Buwono II
(GRM Sundoro) memerintah pada tahun 1792-1812. Sri Sultan Hamengku Buwono
III (GRM Surojo) memimpin pada tahun 1812-1814. Sri Sultan Hamengku Buwono
IV (GRM Ibnu Djarot) memerintah pada tahun 1814-1823. Sri Sultan Hamengku
Buwono V (GRM Gathot Menol) memerintah pada tahun 1823-1855. Sri Sultan
Hamengku Buwono VI (GRM Mustojo) memerintah pada tahun 1855-1877. Sri
Sultan Hamengku Buwono VII (GRM Murtedjo) memerintah pada tahun 1877-1921.
3
4. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (GRM Sudjadi) memerintah pada tahun 1921-
1939. Sri Sultan Hamengku Buwono IX (GRM Dorojatun) memimpin pada tahun
1940-1988. Sri Sultan Hamengku Buwono X (GRM Hardjuno Darpito) memimpin
tahun 1989 hingga saat ini.
2.2 Taman Pintar
Taman Pintar ini dibangun untuk mewujudkan prinsip Ki Hajar Dewantara yaitu;
Memahami, Menirukan dan Mengembangkan.
Sejarah Taman Pintar secara singkat bisa dikatakan digagas atas kepedulian
pemerintahan Kota Yogyakarta untuk membangun sebuah tempat yang dapat
meningkatkan kualitas manusia mengingat perkembangan sains pada masa ini
terutama teknologi informasi.
Disebut Taman Pintar karena dikawasan ini nantinya anak-anak, mulai dari pra
sekolah sampai sekolah menengah bisa dengan leluasa memperdalam pemahaman
soal materi-materi pelajaran yang telah diterima di sekolah dan sekaligus berekreasi.
2.3 Gerabah
Gerabah dibuat dari satu atau dua jenis tanah liat yang dicampur. Warnanya tidak
bening, berpori, dan bersifat menyerap air. Campuran yang digunakan terdiri dari
pasir kasar atau pasir halus, dan pembakarannya antara 1000-1150 derajad Celcius.
Kadang-kadang lebih rendah dari itu.Diduga gerabah pertama kali dikenal pada masa
neolitik (kira-kira 10.000 tahun SM) di daratan Eropa dan mungkin pula sekitar akhir
masa paleolitik (kira-kira 25.000 tahun SM) di daerah Timur Dekat. Menurut para
ahli kebudayaan, gerabah merupakan kebudayaan yang universal (menyeluruh),
artinya gerabah ditemukan di mana-mana, hampir di seluruh bagian dunia.
Perkembangannya bahkan juga penemuannya muncul secara individual di tiap daerah
tanpa harus selalu mempengaruhi. Mungkin juga masing-masing bangsa menemukan
sendiri sistem pembuatan gerabah tanpa adanya unsur peniruan dari bangsa lain.
4
5. Gerabah muncul pertama kali pada waktu suatu bangsa mengalami masa
foodgathering (mengumpulkan makanan). Pada masa ini masyarakat hidup secara
nomaden, senantiasa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam
corak hidup seperti itu wadah gerabah dapat digunakan secara efektif karena gerabah
merupakan benda yang ringan dan mudah dibawa-bawa. Selain itu gerabah juga
merupakan benda yang kuat, paling tidak lebih kuat daripada yang dibuat dari bahan
lain, seperti kayu, bambu atau kulit binatang.
Yang terpenting, bahan pembuatan gerabah mudah didapat. Tanah liat terdapat di
mana-mana. Karena itu adalah suatu hal yang wajar jika setiap masyarakat bisa
menjadi produsen bagi kepentingannya sendiri. Akan tetapi mengenai proses
„penemuan‟ gerabah itu sendiri, belum satu orang pun bisa menguraikannya secara
ilmiah. Barangkali bisa diuraikan begini. Pada waktu itu beberapa orang sedang
membakar hasil buruannya. Kebetulan pembakaran itu dilakukan di atas tanah yang
tergolong jenis tanah liat. Setelah selesai membakar daging itu, mereka mendapatkan
tanah di bawahnya berubah menjadi keras. Dari sinilah muncul gagasan untuk
membuat suatu wadah dari tanah liat yang dibakar.
Pembuatan gerabah jelas membutuhkan api sebagai faktor yang utama, meskipun
panas matahari barangkali dapat juga dipakai untuk fungsi yang sama. Karena itu
dapat dipastikan bahwa munculnya gerabah merupakan efek lain dari penemuan dan
domestikasi api. Masyarakat yang belum mengenal api tentulah mustahil bisa
memproduksi gerabah. Dengan demikian, tafsiran bahwa gerabah mula pertama
dikenal pada masa neolitik dapat diterima, sebab penemuan dan domestikasi api baru
dikenal pada akhir masa paleolitik atau awal masa neolitik.
Melalui temuan-temuan lainnya diketahui bahwa pada masa itu manusia hidup
dalam corak berburu dan mengumpulkan makanan. Usaha mengumpulkan makanan
berarti membutuhkan „sesuatu‟ untuk wadah makanan tersebut. Dalam hal ini wadah
yang paling tepat adalah gerabah karena gerabah mudah dibawa ke mana saja. Dan
5
6. ini sesuai dengan corak hidup nomaden. Karena itulah gerabah memiliki arti yang
penting bagi manusia, sehingga ia dapat diterima dalam setiap kebudayaan dan terus
semakin berkembang selama belum ditemukan wadah lain yang memiliki tingkat
efektifitas setinggi gerabah.
Penggunaan wadah gerabah oleh suatu kelompok manusia memiliki arti penting
bahkan jauh lebih penting daripada yang bisa kita bayangkan. Dengan dikenalnya
wadah yang kecil, mudah dibawa dan kuat, suatu kebudayaan maju selangkah lagi ke
arah kebudayaan yang lebih tinggi. Apa lagi dengan dikenalnya corak kebudayaan
hidup menetap, fungsi gerabah semakin meluas. Kebutuhan gerabah yang beraneka
ragam melahirkan tipe-tipe gerabah yang semakin banyak. Kalau sebelumnya
digunakan wadah lain yang jauh lebih sulit diperoleh, kini mereka bisa membuat
wadah gerabah yang lebih mudah didapat.
Gerabah sebagai salah satu benda hasil kebudayaan manusia merupakan unsur
yang paling penting dalam usaha untuk menggambarkan aspek-aspek kehidupan
manusia. Sampai kini gerabah yang berhasil ditemukan terutama berbentuk wadah,
seperti periuk, cawan, pedupaan, kendi, tempayan, piring, dan cobek.
2.4 Candi Borobudur
Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah
candi juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan
purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang,
gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur
tidak jelas, meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak
diketahui. Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa"
karya Sir Thomas Raffles. Raffles menulis mengenai monumen bernama borobudur,
akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama
persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya
6
7. bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah
Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis
Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu
yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi memang seringkali dinamai berdasarkan
desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin
berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka
bermakna, "Boro purba".Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur
berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya
menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu
artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu
terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari
ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan
lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara
konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara
berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur
artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas".
Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor
pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan
prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur
adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang
melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat
diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur
diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula
disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī
7
8. Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut
Bhūmisambhāra. Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat
asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari
wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam
bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan
boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.
Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan
kesatuan perlambang Terletak sekitar 40 kilometer (25 mil) barat laut dari Kota
Yogyakarta, Borobudur terletak di atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang
gunung kembar; Gunung Sundoro-Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-
Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit Tidar, lebih dekat di
sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini terletak dekat
pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur. Menurut
legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai dataran Kedu adalah tempat yang
dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa'
karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.
2.5 Malioboro
Malioboro adalah kanal bisnis bagi kelompok Tionghoa yang dimasa lalu
memiliki sejarah hubungan naik turun dengan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Di
Kotagede, kaum Tionghoa tidak diperbolehkan berdagang karena memang sudah ada
mayoritas pebisnis pribumi seperti Kelompok Kalang dan Kelompok pedagan
Muslim yang melingkar pada organisasi Muhammadijah. Di tengah kota kelompok
Tionghoa ini menjadikan Malioboro sebagai daerah modal untuk mengembangkan
bisnisnya. Perang Jawa tidak akan bisa lepas dari percaturan politik Tionghoa. Tokoh
seperti Tumenggung Secodiningrat. Sejarah Secodiningrat adalah sejarah
percampuran juga sejarah politik dan kebencian rasial. Politik Cinta-Benci yang
selalu menandai sejarah kekuasaan Jawa-Mataram ini ternyata mendapatkan tempat
8
9. dalam cerita jalan Malioboro. Di jaman Secodiningrat inilah jalan Malioboro menjadi
saksi beberapa intrik keraton yang kemudian juga melibatkan ketidaksenangan Paku
Alam terhadap peran Secodiningrat.”sekitar tahun 1916 kawasan pecinan yang
berkembang di wilayah setjodiningratan yaitu sebelah timur kantor pos besar, mulai
menjadi basis bisnis menyaingi wilayah kotagede. apalagi setelah dibangun pasar
gedhe yang sekarang bernama pasar bringharjo dan mulai beroprasi tahun 1926 geliat
ekonomi di kawasan ini mulai beranjak naik. padahal sebelumnya jalan ini hanyalah
jalan biasa yang jarang dijamah kecuali sebagai tempat lewat menuju keraton.
Kawasan Pecinan mulai meluas ke utara, sampai ke Stasiun Tugu yang dibangun
pada 1887 dan Grand Hotel de Yogya (berdiri pada 1911, kini Hotel Garuda).
Malioboro menjadi penghubung titik stasiun sampai Benteng Rusternburg (kini
Vredeburg) dan Kraton. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang
jalan ini. Karena itu, secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua
kultur dominan, yakni Jawa dan Cina.
2.6 Museum Perjuangan Yogyakarta
Musuem Perjuangan Yogyakarta adalah museum yang memiliki koleksi
mengenai perjuangan bangsa Indonesia. Terletak kurang lebih 2 km dari pusat kota
Yogyakarta Dalam rangka peringatan setengah abad kebangkitan nasional, di
Yogyakarta pada tahun 1958 telah dibentuk sebuah panitia yang diberi nama "Panitia
setengah Abad Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta". Panitia tersebut
diketuai oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX dan beranggotakan kepala-kepala
jawatan, wakil-wakil dari kalangan militer dan polisi, pemimpin-pemimpin partai dan
organisasi dari segala aliran dan keyakinan yang tergabung dalam Panitia Persatuan
Nasional (PPN), kaum cerdik cendekiawan dan karya.
Pada tanggal 20 Mei 1958, di halaman Gedung Agung, Yogyakarta diadakan
upacara peringatan setengah abad kebangkitan nasional. Selain itu juga dilakukan
rangkaian kegiatan antara lain kerja bakti, gerakan menambah hasil bumi,
9
10. mengumpulkan bingkisan untuk dikirim kepada kesatuan-kesatuan yang sedang
berjuang menumpas pemberontakan, serta mengadakan ziarah ke makam para
pahlawan nasional. Meski demikian, panitia merasa ada sesuatu yang kurang. Oleh
karena itulah muncul gagasan Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku ketua Panitia
Setengah Abad Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta untuk
mengadakan suatu peninggalan kepada generasi mendatang.
Seusai upacara tanggal 20 Mei 1958, diadakan rapat panitia. Rapat berhasil
membentuk Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional yang
anggotanya terdiri dari anggota Dewan Pimpinan Panitia Peringatan Setengah Abad
Kebangkitan Nasional Yogyakarta. Sebagai tempat berdirinya monumen Sri Sultan
Hamengkubuwana IX memberikan sebagian halaman Ndalem Brontokusuman.
2.7 Pantai Parangtritis
Sejarah nama Parangtritis bisa dibilang cukup menarik. Konon, ada seorang
pelarian dari Kerajaan Majapahit bernama Dipokusumo yang melakukan semedi di
kawasan ini. Ketika sedang bersemedi, ia melihat air yang menetes (tumaritis) dari
celah-celah batu karang (parang). Kemudian ia memberi nama daerah tersebut
Parangtritis yang berarti air yang menetes dari batu.
Pantai Parangtritis diyakini merupakan perwujudan dari kesatuan trimurti yang
terdiri dari Gunung Merapi, Keraton Jogja, dan Pantai Parangtritis itu sendiri.
Masyarakat setempat meyakini Pantai Parangtritis merupakan bagian dari daerah
kekuasaan Ratu Selatan atau yang dikenal dengan nama Nyai Roro Kidul. Menurut
mereka, Nyai Roro Kidul menyukai warna hijau, oleh karena itu wisatawan yang
berkunjung ke Parangtritis disarankan tidak memakai baju berwarna hijau. Selain
sarat dengan kisah misteri Nyai Roro Kidul, Pantai Parangtritis juga dikisahkan
sebagai tempat bertemunya Panembahan Senopati dengan Sunan Kalijaga sesaat
setelah Panembahan Senopati selesai menjalani pertapaan. Selain terkenal sebagai
10
11. tempat rekreasi, Parangtritis juga merupakan tempat keramat. Banyak pengunjung
yang datang untuk bermeditasi. Pantai ini merupakan salah satu tempat untuk
melakukan upacara Labuhan dari Keraton Jogjakarta.
2.7.1 Keistimewaan
Parangtritis adalah sebuah pantai yang landai dan mempesona dikombinasikan
dengan bukit berbatu, bukit pasir, dengan pasir berwarna hitam. Pantai Parangtritis
yang cantik memiliki banyak fenomena yang menarik, baik pemandangan alamnya
maupun kisah supranaturalnya. Ombak Parangtritis selalu membawa kayu dan bambu
menuju darat yang mungkin berasal dari pantai lain di dekatnya. Beberapa kayu
diambil dan dibawa oleh penduduk setempat untuk kemudian digunakan di rumah
mereka sendiri. Pantai Parangtritis juga merupakan sebuah kawasan wisata yang
sempurna untuk menikmati matahari tenggelam (sunset) yang sangat romantis.
11
12. BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi yang berdasarkan wilayah
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu
ditambahkan pula mantan-mantan wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan
Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan enklave di Yogyakarta.
Sementara itu, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah provinsi yang memiliki status
istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman
sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman,
sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai "Kerajaan
vasal/Negara bagian/Dependent state" dalam pemerintahan penjajahan mulai dari
VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC
(Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara
Angkatan Darat Xvi Jepang (Kekaisaran Jepang).
3.2. Saran
Bagi masyarakat yang mempunyai jiwa nasionalis yang tinggi disarankan untuk
tidak melupakan sejarah yang ada. Tanpa sejarah, kita takkan sampai pada titik saat
ini yaitu Kemerdekaan dan menjadi Negara berkembang.
12
13. DAFTAR PUSTAKA
Hardi. 1988. Menarik Pelajaran Dari Sejarah . Jakarta: Haji Mas Agung Sudiyoto
Adipranoto. 1988. Indonesia Berjuang. Surakarta: Widya Duta.Tim LIPI. 1985.
Ditugaskan Sejarah "Perjuangan Merdeka 1945-1985" . Jakarta: PT. Masa
Merdeka.
http://www.yadhisejarahkita.com/daftar%20pustaka.htm
13