Kajian Pendidikan Teknologi Kejuruan buku vocation education stephen billet
1. CHAPTER 3
V O C AT I O N S
By :
Muhammad Agung Prabowo (7156130754)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI KEJURUAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2013
2. PENDAHULUAN
Ada beberapa hal yang dibahas dalam bab 3
pendahuluan pendidikan kejuruan. Antara lain adalah :
1. Pengertian pendidikan kejuruan menurut para ahli
vocations
2. Hakikat pendidikan kejuruan
3. Fungsi pendidikan kejuruan
4. Tujuan pendidikan kejuruan
5. Landasan pendidikan kejuruan
6. The valuating of vocation
7. Imperative of Brute Fact’s
2
4. PENGERTIAN PENDIDIKAN KEJURUAN
1. Pendidikan kejuruan adalah pendidikan jenjang menengah yang
mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan
jenis pekerjaan tertentu. PP 29 tahun 1990 pasal 1 ayat 3.
2. Byram dan Wenrich (1956) mengatakan bahwa “vocational education is
teaching people how to work effectively)
3. Rupert Evans(1978): Pendidikan Kejuruan adalah bagian dari sistem
yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu bekerja pada satu
kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan daripada bidang-bidang
pekerjaan lainnya.
4. Smith-Hughes (1917) mendefinisikan “vocational education was training
less than college grade to fit for useful employment” (Thompson, 1973:107).
5. UUNo.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 21:
Pendidikan Kejuruan merupakan jenjang pendidikan menengah yang
mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang
tertentu.
7. HAKIKAT PENDIDIKAN KEJURUAN
•
...does not imply a one-way subordination of the person to the practice. Vocation describes work
that is fulfilling and meaningful to the individual, such that it helps to provide a sense of self, of
personal identity. (Hansen,1994, p. 263)
Terjemahan :
…Tidak berarti seseorang melalukan satu arah subordinasi untuk latihan tersebut.
Pendidikan Kejuruan yaitu pekerjaan yang penuh makna bagi individu, serta membantu
untuk memberikan rasa percaya diri, dan memiliki identitas pribadi yang kuat.
(Hansen, tahun 1994, hal 263)
•
The dominant vocation of all human beings at all times is living-intellectual and moral
growth. (Dewey, 1916 p.310)
…Pendidikan kejuruan tergantung dari tingkat intelektual dan moral seseorang.
(Dewey, thn 1916 hal.310)
8. FUNGSI PENDIDIKAN KEJURUAN
1. Menyiapkan individu menjadi
manusia seutuhnya yang mampu
meningkatkan kualitas hidup,
mengembangkan dirinya, dan
memiliki keahlian dan keberanian
membuka peluang meningkatkan
penghasilan.
2. Menyiapkan individu menjadi
tenaga kerja produktif.
3. Menyiapkan individu untuk hidup
bermasyarkat.
4. Menyiapkan individu menguasai
IPTEK
Selalu ada kesempatan sekecil apapun peluangnya
9. TUJUAN PENDIDIKAN KEJURUAN
1. Menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia produktif,
mampu bekerja mandiri, mengisi lowongan pekerjaan yang ada
didunia usaha dana dunia industri, sebagai tenaga kerja tingkat
menengah sesuai dengan kompetensi bidang keahliannya.
2. Menyiapkan peserta didik agar mampu memilih karir, ulet dan
gigih dalam berkompetensi, beradaptasi dilingkungan kerja dan
mengembangkan sikap professional dalam bidangnya.
3. Membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni agar mampu mengembangkan diri melalui jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
4. Membekali peserta didik dengan kompetensi-kompetensi sesuai
dengan program keahiannya yang dipilih.
10. PRINSIP PENDIDIKAN
KEJURUAN
• Kesadaran akan karir
• Pendidikan yang menyeluruh dan merupakan bagian dari
masyarakat (public system)
• Kurikulum dalam pendidikan kejuruan berdasarkan atas
kebutuhan-kebutuhan dunia kerja/dunia industri
• Inovasi ditekankan pada kurikulum pendidikan kejuruan
• Seseorang disiapkan untuk dapat memasuki duni kerja
melalui pendidikan kejuruan
• Pengawasan dan meningkatkan pengalaman pekerjaan
/okupasi dapat diberikan melalui pendidikan kejuruan
11. TIGA TEORI PENDIDIKAN
KEJURUAN
(Prosser dan Allen, 1925)
1. Pendidikan Kejuruan yang efektif hanya dapat
diberikan jika tugas latihan dilakukan dengan
cara, alat, dan mesin yang sama seperti yang
diterapkan di tempat kerja
2. Pendidikan kejuruan akan efektif jika individu
dilatih secara langsung dan spesifik
3. Menumbuhkan kebiasaan kerja yang efektif
kepada siswa akan terjadi hanya jika pelatihan
dan pembelajaran yang diberikan berupa
pekerjaan nyata dan bukan sekedar latihan
12. Dimensi Kejuruan (Vokasi)
Individu
Sosial
Hansen (tahun 1994, hal 266) mengusulkan bahwa vokasi
menggambarkan suatu pekerjaan yang sosial dan nilai yang
memiliki makna tentang hubungan pribadi. Dengan demikian,
Hansen menekankan hubungan antara pribadi dan faktor
sosial.
15. Landasan Hukum
• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pasal 15: Menyatakan bahwa jenis pendidikan
mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
• Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan
menengah yang mempersiapkan peserta didik
terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.
16. Landasan Filosofis
• Eksitensialisme: pendidikan kejuruan harus
mengembangkan eksistensi manusia, bukan
merampasnya.
• Esensialisme : pendidikan kejuruan harus
mengkaitkan dirinya dengan system-sistem
yang lain (ekonomi, ketenagakerjaan, politik,
social dan moral).
• Pragmatism, yaitu pandangan yang melihat
bahwa pendidik dan siswa unsur penting dalam
proses pembelajaran.
17. Landasan Psikologi
• Pendidikan kejuruan melandaskan diri pada
keyakinan bahwa manusia itu memiliki
perbedaan
dalam
dimensi-dimensi
fisik,intelektual, emosional, dan spiritualnya.
Oleh karena itu, perlu digunakan cara-cara
penyampaian yang berbeda-beda pulas
18. Landasan Sosiologi
• Pemahaman atas interaksi sosial akan
membantu perencanaan kurikulum yang sesuai
dengan keputusan tentang bagaimana sekolah
akan
berhubungan
dengan
masyarakat
(Beane:2005).
19. Landasan Kultural
• Pendidikan selalu terkait dengan manusia,
sedang setiap manusia selalu menjadi anggota
masyarakat dan pendukung kebudayaan
tertentu.
Kebudayaan
dan
pendidikan
mempunyai hubungan timbal balik, sebab
kebudayaan dapat dilestarikan /dikembangkan
dengan jalan mewariskan kebudayaan dari
generasi ke generasi penerus dengan jalan
pendidikan, baik secara formal maupun
informal. Sebaliknya bentuk, ciri-ciri dan
pelaksanaan pendidikan itu ikut ditentukan
oleh kebudyaaan di tempat proses pendidikan
berlangsung.
20. Landasan Ilmu
dan Teknologi
Pengetahuan
• Pendidikan dan Ilmu pengetahuan dan
teknologi sangat erat kaitannya, seiring dengan
kemajuan IPTEK maka pendidikan juga akan
mengalami kemajuan yang sangat pesat, begitu
juga kemajuan cabang-cabang ilmu akan
menyebabkan tersedianya informasi empiris
yang cepat dan tepat yang akan bermuara pada
kemajuan teknologi pendidikan.
21. The Valuing of Vocations
• “Every person shall be occupied in something which makes
the lives of others betterworth living, and which accordingly
makes the ties which binds persons together moreperceptible
– which breaks down the barriers of distance between them. It
denotes a stateof affairs in which the interests of each in his
work is uncoerced and intelligent: based onits congeniality to
his own aptitudes. (cited as seen Dewey, 1916, p. 316)”
Terjemahannya:
• “Setiap orang harus disibukkan dalam sesuatu yang membuat
kehidupan orang lain lebih baik dan layak dalam
kehidupannya. Dan membuat ikatan lebih erat secara
bersama-sama – sehingga lebih mudah memecah suatu
masalah atau hambatan antar mereka. Hal ini merupakan
keadaan di mana kepentingan masing-masing pribadi dalam
bekerja tidak terjadi paksaan dan cerdas dalam bekerja.
(dikutip dari Dewey, 1916, hal.316)”
22. The Valuing of Vocations
• Palmer (2000) berpendapat bahwa kejuruan
sebagai kejuruan yang menunjukkan pertumbuhan
ke arah otentik kebutuhan diri yang ingin dicapai
lebih dari melalui kerja saja, meskipun pekerjaan
merupakan komponen utama dari pertimbangan.
• Winch (2004a) mengklaim bahwa meskipun ada
perdebatan tentang jumlah waktu kita bekerja,
bagaimanapun, kami ingin pekerjaan yang harus
berharga, bukan hanya dalam imbalan kita saja,
tetapi juga di kepuasan intrinsik yang datang dari
melakukan sesuatu yang kita lihat sebagai sesuatu
(pekerjaan) yang berharga.
23. The Valuing of Vocations
• Bauman (1998), memberikan gagasan untuk
menemukan diri yang otentik atau nilai sebenarnya
dengan cara yang mencerminkan penyimpangan
dan egaliter dunia dari pandangan yang
sebelumnya adalah etos kerja telah digantikan oleh
estetika kerja.
• “. . . a vocation may be many things. . .. but what most
emphatically it is not –not in thisrendering of it at any rate– is a
proposition for a life project or a whole life strategy. (1998, p.
36)”
Terjemahannya:
• “... Sebuah kejuruan mungkin sangat banyak variasinya...
tetapi apa yang dipilih merupakan pilihannya selamanya-tidak
mengambil kejuruan yang bukan bidangnya - ada proposisi
untuk proyek hidup atau strategi seumur hidup. (1998, hal.
36)”
24. The Valuing of Vocations
• Pernyataan sentiment baik yang baru dan tradisi lama
dipegang dari posisi-posisi istimewa elit sosial dari Aristoteles.
• Kritik ini menekankan perlunya konsepsi kejuruan yang
dimediasi oleh bentuk-bentuk sosial dan keharusan, namun
pada akhirnya diartikulasikan oleh dan mengistimewakan
perspektif pribadi.
• Kebanyakan orang ingin terlibat dalam pekerjaan yang dapat
membuat penilaian tentang nilainya, daripada membuat
penilaian dari sudut pandang poin orang lain.
• Akibatnya, tidak semua bentuk pekerjaan berbayar
menyatakan bahwa individu yang melakukannya dapat
diklasifikasikan sebagai kejuruan mereka: hanya komponenkomponen yang memiliki arti besar bagi mereka.
• Martin (2001) menunjukkan bahwa kejuruan adalah karya kita
memilih untuk melakukan yang berbeda dari pekerjaan yang
harus kita lakukan (hal. 257).
25. The Valuing of Vocations
•
Demikian pula, Hansen (1994, hlm263-264) menyatakan bahwa:
“. . . being a teacher, a minister, a doctor, or a parent would not be vocational
if the individual kept the practice at arm’s length, divorced from his or her
sense of identity, treating it in effect as one among many indistinguishable
occupations. In such a case, the person would be merely an occupant of a
role. This is not to say the person would conceive the activityas meaningless.
He or she might regard it as strictly a job, as a necessity one has to accept,
perhaps in order to secure the time or resources to do something else. Thus,
in addition tobeing of social value, an activity must yield a sense of personal
fulfilment in its own right in order to be a vocation.”
Terjemahannya:
• “...menjadi guru, pendeta, dokter, atau orang tua atau tidak menjadi kejuruan
apapun jika individu terus bekerja dengan (menggunakan) lengan panjang,
berlindung dari identitas dirinya, memulihkan dari efek sebagai salah satu di
antara banyak pekerjaan yang dibedakan. Dalam kasus seperti itu, orang
tersebut akan hanya menjadi penghuni peran. Ini bukan untuk mengatakan
orang tersebut akan memahami aktivitas sebagai sesuatu yang berarti. Dia
mungkin menganggapnya sebagai pekerjaan yang ketat, sebagai salah satu
kebutuhan yang harus diterima, mungkin dalam rangka untuk menggunakan
waktu atau sumber daya untuk melakukan sesuatu yang lain. Dengan
demikian, selain menjadi nilai sosial, kegiatan harus menghasilkan rasa
pemenuhan pribadi dalam dirinya sendiri agar menjadi kejuruan.”
26. The Valuing of Vocations
• Dalam satu penelitian, seorang mahasiswi fisioterapi bekerja
paruh waktu di sebuah gimnasium sebagai resepsionis dan
pelatih, untuk membantu dukungan studi universitasnya
(Billett dkk., 2005).
• Kemudian dia bekerja paruh waktu untuk menjadi resepsionis
di sebuah pusat fisioterapi, untuk tujuan terkait. Pekerjaan
paruh waktu ini selaras dengan dan menjadi bagian dari
lintasan kejuruannya.
• Namun, dalam studi yang sama, wanita itu bekerja paruh
waktu di sebuah restoran untuk mendukung studi
universitasnya.
• Pemilik restoran mendorong dia untuk mengambil peran
pengawasan dan pelatihan dengan pelayan paruh waktu
lainnya di restoran. Namun, dia menolak, karena ini bukan
bagaimana dia ingin menghabiskan waktu dan energi.
Berbeda dengan pemilik restoran yang sedang berlatih
kejuruannya melalui pekerjaan mereka, bagi dia, pekerjaan
hanyalah sarana untuk mencapai tujuan, bukan kejuruannya.
27. The Valuing of Vocations
• Somerville (2006 ) melaporkan bahwa banyak pekerja
perawatan manula terlibat dalam bentuk pekerjaan itu
karena dinilai lebih mudah (tersedia secara lokal dan
cocok dengan komitmen lain).
• Namun, seiring waktu, ia menemukan bahwa banyak
dari para pekerja itu melakukan pekerjaan mereka
untuk mengidentifikasi dirinya sebagai pekerja
perawatan manula.
• Jadi, keterlibatan awal mereka didasarkan pada
pemenuhan keharusan pribadi satu jenis (misalnya
uang produktif). Namun, melalui keterlibatan dalam
kegiatan ini dan dengan usia pasien, pekerjaan
mereka menjadi penting dalam cara-cara yang
melampaui pekerjaan yang hanya dibayar yaitu
menjadi kejuruan mereka.
28. The Valuing of Vocations
Menurut Dewey (1916)
TUJUAN
SOSIAL
TUJUAN
PRIBADI
Di sini kita melihat saling ketergantungan yang kuat antara
tujuan sosial dan tujuan pribadi. Keterlibatan ini
memberikan pengertian bahwa didalam bekerja bukan saja
mencari penghasilan tetapi juga perlu adanya hubungan
sosial antar pekerja agar suasana kerja lebih nyaman dan
harmonis.
29. Imperative of Brute Fact’s
• Fakta brute (Searle, 1995): fakta-fakta alam.
• Dua dimensi kasar kejuruan individu:
(i) ada kegiatan yang muncul dari dunia fisik dan
(ii) ada fakta Brute/kasar yang membentuk ruang lingkup
panggilan individu (yaitu apa yang mereka bisa terlibat
dalam dan cita-cita)
Pertama, banyak dari kegiatan di mana manusia terlibat
masalah yang didapatkan dalam alam.
Seperti: Kebutuhan untuk membangun dan memelihara,
kebutuhan panas dan dingin, perawatan untuk muda dan
tua, memberikan ketentuan kesehatan bagi mereka yang
sehat dan persediaan makanan yang aman secara
imperatif yang ditemukan di alam, dan diwujudkan dalam
kegiatan yang berusaha untuk mengatasi kebutuhan
hewan, dan bagaimana mereka berubah.
30. Imperative of Brute Fact’s
Kedua,
individu juga dibentuk oleh kematangan, yang dapat
membentuk suatu perkembangan emosionalnya dan
juga perkembangan tingkah laku. Pilihan kejuruan
dibatasi oleh fakta Brute berupa penuaan yaitu usia.
Misalnya: pada suatu tingkat usia, petugas
pemadam kebakaran dan personil militer tidak
memiliki kekuatan fisik yang diperlukan untuk terlibat
dalam beberapa aspek garis depan dari pekerjaan
mereka. Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa
'pemadam kebakaran' mampu melanjutkan kejuruan
yang mereka sukai, tetapi melalui peran pelatihan,
pendidikan dan pengawasan, tidak dalam tugas
garis depan (Billett et al., 2005).
31. Imperative of Brute Fact’s
Kejuruan muncul dan diubah melalui
sebuah trialitas (tiga unsur dalam
satu kesatuan) terdiri dari:
KELEMBAGAAN
FAKTA BRUTE/
KASAR
PRIBADI
32. Imperative of Brute Fact’s
Trialitas terdiri dari tiga set fakta: kontribusi dari fakta
brute/kasar, sosial dan pribadi.
Bersama-sama, mereka menyediakan dasar untuk
mengelaborasi pandangan tentang kejuruan,
bagaimana mereka dihasilkan, masuk
kedalamnya dan berubah melalui negosiasi yang
terdiri dari kehidupan sosial, fakta brute/kasar dan
faktor pribadi.