Hukum adat merupakan penetapan hubungan antara peristiwa berdasarkan pengalaman berulang yang biasa terjadi. Dokumen ini membahas empat jenis hukum adat dan tujuh pengecualian (khawarikul 'adi) dari aturan umum hukum adat. Hukum adat digunakan sebagai landasan hukum syara' namun dapat berubah jika Allah menghendakinya.
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
Aqidah Tauhid merupakan pokok Diinul Islam, di mana tugas utama
semua Nabi dan Rasul adalah menyampaikan Aqidah Tauhid, menegakkannya,
serta mendidik umat di atas fondasi ini. Umat yang kuat aqidahnya akan terbebas
dari semua perbudakan dan belenggu keyakinan yang menghalangi kemajuan
berpikir dan produktivitas amal saleh. Aqidah kuat yang menghunjam di hati akan
melahirkan buah cinta, takut dan harapan serta ketundukan yang tinggi terhadap
Allah, dan ikatan hati yang kuat sesama kaum mukminin, serta semangat beramal
saleh.
Dalam mempelajari ilmu Tauhid para ulama telah menetapkan beberapa
syarat, adapun syarat tersebut ialah1
:
a. Dengan yakin jangan menaruh syak (ragu), dhan, dan waham.
b. Muafakat dengan hak yakni bersetuju dengan hukum yang benar.
c. Dengan dalil aqli dan dalil naqli keterangan-keterangan yang shah dibuat
dalil, bukan taqlid teturunan.
Apabila terhimpun ketiga perkara ini, barulah orang itu dikatakan ma’rifah
kepada Allah, maka tidak sempurnalah ma’rifah (mengenal Allah) sebelum
mengetahui hukum yang diwajibkan bagi tiap-tiap mukallaf dalam mempelajari
tauhid.
Hukum artinya adalah Sekumpulan Peraturan yang menetapkan suatu
Perbuatan. Dan melarang suatu Perbuatan. Sebab apabila terlanggar salah satu
dari Hukum Peraturan tersebut. Maka akan dikenakan Sanksi, atau diambil
tindakan oleh Undang-undang yang tertera dan di dalam peraturan itu sendiri.
Hukum yang wajib diketahui oleh mukallaf supaya dapat memahami ilmu
tauhid dengan benar dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu Hukum Aqli, Hukum
Syar‟i dan Hukum „Adi („adat). Namun Pada kesempatan ini kami hanya akan
membahas tentang hukum ‘adi (‘adat) saja.
1
Haji Abdurrahman Bin Haji Muhammad A’li Sughai Banar, Kifayatul Mubtadiin.(Maktan Darul
Hikmah,-) hlm 3.
2. 2
BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM ‘ADI (‘ADAT)
A. Definisi Hukum ’Adi (‘Adat)
Hukum ‘adi (‘adat) adalah menetapkan keterkaitan suatu perkara atas
suatu perkara lainnya atau menafikannya karena disebabkan kejadiannya
berulang-ulang (sudah biasa) dan sah bersalahan antara kedua perkara itu, serta
tidak ada hubungan salah satu dengan yang lainnya2
. Boleh juga hukum ‘adi ini
sebut dengan hukum Sebab Akibat.
Ketetapan hukum ‘Adi menjadi landasan hukum Syara’ maka ketentuan-
ketentuannya wajib dihormati, seperti merokok akan menimbulkan penyakit
kanker hati maka sebaiknya tidak merokok, atau apabila terlalu banyak makan
sambal akan menimbulkan sakit perut maka janganlah terlalu sering makan
sambal dan lain sebagainya.
Firman Allah dalam Qs. ar-Ra’d ayat 11
Artinya:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di
muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
2
Habib Utsman bi Abdullah bin ‘Aqil Bin Yahya, Kitab Sifat Dua Puluh,(Banda Aceh: Putra Aceh
Sejati, 1324H/1906M) hlm. 4
3. 3
Firman Allah yang menunjukkan kepada Syari’at dan Hakikat, di dalam
pengamalannya bagi kita sebagai ummat Islam adalah : Firman Allah yang
menunjukkan kepada ‘Adat adalah untuk dijadikan landasan ‘amal dan
pembicaraan, sedangkan firman Allah yang menunjukkan kepada hakikat adalah
untuk di ‘itikadkan sebagai landasan tawakal, sabar dan syukur kepada Allah
SWT.
Sepanjang Allah masih menyelenggarakan hukum ‘Adat maka ketentuan
hukum ‘Adat harus dihormat (dilakukan), namun apabila Allah tidak
menyelenggarakan hukum ‘Adat, Allah tidak mentaklif untuk menjalankan
ketetapan hukum’Adat semata-mata, melainkan memerintahkan untuk bertawakal
(berserah diri) secara penuh kepada Allah SWT. Diserta dengan sabar dan
bersyukur.
Sebagaimana peristiwa yang menimpa kepada Nabi Ibrahim AS, ketika
akan dibakar oleh Raja Namrud. Di hadapan Nabi Ibrahim AS tidak nampak lagi
perjalanan Syari’at (hukum ‘Adat) untuk dapat menghindari dari kedzaliman Raja
Namrud. Di saat seperti ini Nabi Ibrahim AS berserah diri secara bulat kepada
Allah (Tawakal), di hatinya berkeyakinan bahwa api tidak mempunyai
kemampuan sedikitpun untuk menciptakan hangus dan panas, hanya Allah lah
yang mampu mewujudkan suatu perkara. Maka disaat situasi dan kondisi Nabi
Ibrahim yang demikian itu, datanglah pertolongan dari Allah, dimana ketentuan
hukum ‘Adat menjadi sangat bertolak belakang, api bukannya merasa panas
melainkan menjadi dingin yang menggigil, sebagaimana firman Allah dalam al-
Qur’an surat 21, al-Anbiya ayat 69 :
Artinya :
“Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi
Ibrahim".
4. 4
B. Pembagian Hukum Adat ada empat macam, yaitu :
a. Keterkaitan adanya suatu perkara dengan adanya suatu perkara
(Ada dengan Ada)
Misalnya:
Ada terasa kenyang sebab Adanya makanan dalam Perut.
Ada merasa sakit sebab Adanya luka.
b. Keterkaitan tidak adanya suatu perkara dengan tidak adanya suatu
perkara (Tiada dengan Tiada)
Misalnya:
Tiada rasa kenyang sebab tiada makan.
Tiada sembuh penyakit sebab tiada minum obat.
c. Keterkaitan adanya suatu perkara dengan tidak adanya sutu perkara
(Ada dengan Tiada)
Misalnya :
Ada dingin sebab tiada selimut.
Ada haus sebab tiada minum.
d. Keterkaitan tidak adanya suatu perkara dengan adanya suatu
perkara (Tiada dengan Ada)
Misalnya:
Tiada dingin sebab adanya selimut.
Tiada basah sebab adanya mantel.
· Ini menjadi suatu ilmu serta bisa memudahkan untuk menelusuri ilmu
Tauhid. Sehingga menumbuhkan rasa Haqqul Yaqin kepada Allah SWT. Dan
perlu kita perhatikan, karena seringnya kita lihat Adat Api adalah Membakar,
Adat Air adalah Membasahi, Adat Angin adalah Bertiup dingin, Adat Bumi
adalah Memberi tempat tumbuh segala tumbuhan.
5. 5
Namun bisa hukum ‘adi ini bersalahan antara kedua perkara tersebut, yang
biasanya disebut Khawarikul ‘adi ( suatu kejadian yang bersalahan hukum ‘adi).
Adapun kejadian Khawarikul ‘adi terhimpun kedalam tujuh bagi3
, antara lain:
1. Irhash : kejadian luar biasa pada Calon Nabi(Nabi masih kecil), seperti
Awan selalu menaungi Rasul Saw pada Waktu beliau dalam perjalanan
Niaga Ke Syam.
2. Mujizat : kejadian luar biasa pada Nabi dan Rasul, seperti Tongkat Nabi
Musa bisa membelah Lautan.
3. Karamah : kejadian luar biasa pada para Waliyullah, seperti bercahayanya
jari Imam Nawawi, keluar bau harum dari makam Siti Fatimah, dan dapat
berjalan diatas air Imam Abdul Qadir Jailani.
4. Maunah:kejadian luar biasa pada orang mukmin yang soleh, seperti
terselamatkan dari kejadian berbahaya yang menurut kasat mata tidak
mungkin didiselamatkan lagi, berkat dan cukup makanan yang sedikit bagi
orang banyak.
5. Istidjrad : kejadian luar biasa pada orang fasiq atau kafir, seperti
bertambah harta dan kesehatannya padahal ia selalu berbuat ma’siat
kepada Allah.
6. Ihanah : Kejadian luar biasa pada orang fasiq atau kafir namun segala yang
diinginkan berbalik kejadiaanya, seperti Musailamah Al-kasab (nabi palsu)
pada suatu hari ia meludahi sumur yang sedikit airnya dengan berkata
bahwa air sumur tersebut akan bertambah banyak, tetapi kenyataanya
sumur tersebut bertambah kering dan sama sekali tiada keluar airnya,
maka bertambahlah kehinaan dirinya.
7. Sihir : kejadian luar biasa pada orang fasiq dan kafir, seperti santet, susuk,
tenung, membuat orang sejahtera dan mudharat dengan menggunakan
iblis, syaitan atau jin.
3 3
Haji Abdurrahman Bin Haji Muhammad A’li Sughai Banar, Kifayatul Mubtadiin….hal. 21
6. 6
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukum adat adalah Menetapkan suatu perkara (sebab) kepada perkara
yang lain (musabbab) atau meniadakan suatu perkara dari perkara yang lain
dengan melalui suatu analisa dari sering terjadi, dan boleh bersalah, serta tidak
ada hubungan salah satu dengan yang lainnya .
Hukum adat terbagi atas empat perkara, yaitu :
a. Keterkaitan adanya suatu perkara dengan adanya suatu perkara.
b. Keterkaitan tidak adanya suatu perkara dengan tidak adanya suatu
perkara.
c. Keterkaitan adanya suatu perkara dengan tidak adanya sutu perkara.
d. Keterkaitan tidak adanya suatu perkara dengan adanya suatu perkara.
7. 7
DAFTAR PUSTAKA
Haji Abdurrahman Bin Haji Muhammad A’li Sughai Banar, Kifayatul
Mubtadiin.(Maktan Darul Hikmah,-)
Habib Utsman bi Abdullah bin ‘Aqil Bin Yahya, Kitab Sifat Dua Puluh, Banda
Aceh: Putra Aceh Sejati, 1324H/1906M
Kamarul Shukri Mohd. Teh, Pengantar Ilmu Tauhid (Buku digital), Kuala
Lumpur: Yeochprinco sdn. Bhd, 2008
http://rpcellular.blogspot.com/2011/10/kajian-tauhid-tentang-hukum-adat.html,
diakses 14-04-2013