SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 19
Descargar para leer sin conexión
Diambil dari, Leonard Andaya, Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke 17, Ininnawa
2004 (terj. Nurhady Sirimorok dari The Heritage of Arung Palakka, A History of South Sulawesi (Celebes)
in the Seventeenth Century, Martinus Nijhoff, The Hague, 1981).



Bab 5
Perang yang Tak Tuntas




Saat penandatanganan perjanjian Bungaya tanggal 18 November 1667, Speelman
mengungkapkan kekhawatirannya akan kemanjuran dokumen ini untuk
mempertahankan perdamaian: “…. Kepercayaan pemerintah Makassar terhadap kami
masih sedikit sekali; seakan kita masih dalam keadaan perang, meski di luar mereka
terlihat ramah dan baik” (Stapel 1922:191). Ketika salinan perjanjian dalam bahasa
Melayu diperlihatkan kepada Sultan Banten, dia mengungkapkan bahwa orang di
Makassar telah menjanjikan sesuatu yang tidak dapat dan ingin mereka penuhi
(Macleod 1900:1290). Penunjukan Karaeng Karunrung menggantikan Karaeng
Sumanna sebagai Tuma’bicara-butta kira-kira tiga hari sebelum perundingan di
Bungaya mengisyaratkan apa yang akan terjadi kemudian.
        Karaeng Karunrung digambarkan oleh Speelman sebagai “seorang yang tidak
dapat dipercaya, musuh lama Kompeni, angkuh dan agresif …..” Karena itu Speelman
bersikap pura-pura terhadap tudingan Karaeng Karunrung kepada Arung Palakka
bahwa dia tidak disukai lagi oleh Sultan Hasanuddin (KA 1157a:330v). Dan kejadian-
kejadian di kemudian hari membuktikan terjadinya keretakan besar di istana Goa, ini
diiringi dengan meluncurnya tuduhan dan balasannya dari faksi yang pro dan kontra
perang setelah berakhirnya perang. Meski demikian, kekalahan Goa yang dulunya
sangat kuat, membawa sesuatu yang positif: menyatukan kedua faksi dalam
kemarahan dan keputusasaan atas perampokan terhadap negeri mereka. Kekuasaan
mereka diruntuhkan, dan mereka tidak punya kekuatan untuk mencegah tahanan
yang baru saja bebas, bergabung dengan tentara Bugis, Turatea, Butung dan Ternate
untuk melakukan penjarahan besar-besaran (KA 1157a: 327v ,330r ,339v). Dalam
kemarahan, para pemimpin Goa menyaksikan pengambilalihan wilayah-wilayah yang
secara tradisional selalu menjadi bagian kekuasaan Makassar. Benteng Ujung
Pandang diserahkan kepada Belanda, begitu pula Galesong, pantai barat dari Popo di
selatan hingga Barombong di utara, serta Bantaeng dengan seluruh sawahnya yang
subur (KA 1157a:340r). Bahkan harapan bahwa Belanda akan pergi setelah perjanjian
ditandatangani harus terkubur oleh penempatan permanen Belanda di Benteng
Ujung Pandang.
Meski kesuraman menyelimuti pemerintahan Goa, Karaeng Karunrung
menolak menerima keadaan itu dan mulai membentuk kembali ikatan dengan seluruh
sekutu Goa pada masa perang. Pendukung utama Goa adalah selalu orang Melayu
Makassar yang penghidupannya kini terancam oleh kehadiran Belanda di Makassar.
Seruan juga disampaikan langsung kepada rakyat Bangkala dan Layo, yang
penguasanya bergabung dengan Arung Palakka dan Kompeni selama perang, kepada
penguasa lain di Turatea, penguasa Bantaeng, Bulukumba, “Badjiuy” (?), dan Luwu.
Di luar Sulawesi, kerajaan Bima dan Sumbawa memperlihatkan bahwa mereka sangat
senang bersekutu dengan Goa. Bahkan Arumpone La Ma’darĕmmĕng telah dijanji
bahwa jika Bone membantu Goa, maka statusnya akan diangkat menjadi “saudara”
Goa. Kompeni dan Arung Palakka mencurigai La Ma’darĕmmĕng berencana untuk
membuat deklarasi demi mendukung siapa saja hingga dia yakin akan arah
perkembangan perang ini (KA 1157b: 359r-360v; KA 1157c:387r-v; KA 1157d:397r;
Macleod 1900:1291).
        Kompeni dan Arung Palakka sama-sama yakin bahwa perang akan terjadi
lagi. Sebaliknya, mereka telah tersemangati oleh tawaran Karaeng Tallo dan Karaeng
Lengkese yang memperlihatkan perpecahan besar di kubu musuh (KA 1157a:332r;
KA 1157b:359r, 360r). Dengan melihat perkembangan ini, Speelman merasa “lebih
baik memulai [peperangan] daripada menjaga perdamaian yang telah dengan bejat
dilanggar oleh tindakan jahat dan akal bulus [Karaeng Karunrung] (KA
1157b:359r). Malam tanggal 13 April 1668, tempat penginapan orang Inggris
dibakar dan kapal-kapal Belanda mulai menggempur Sombaopu. Pada saat
bersamaan, Arung Palakka memimpin pasukan Bugis menyerang Kampung Melayu
yang terletak antara Sombaopu dan Benteng Rotterdam. Pada babak awal
peperangan ini, pasukan Bugis memperlihatkan hal yang tidak biasa, kurangnya
keberanian, yang hampir dibayar dengan nyawa Arung Palakka. Ketika dia mencoba
mencari jalan di bawah lindungan kegelapan malam, cahaya dari rumah yang
terbakar membuat dia terlihat oleh musuh dan tangannya tertembak. Dia terjatuh
dan ditinggalkan oleh orang-orangnya kecuali para pengawalnya yang membawanya
lari hingga selamat (KA 1157b:362v; Macleod 1900:1291).
        Terjadi beberapa lagi peperangan di bulan April yang dinyatakan oleh
Belanda sebagai kemenangan mereka, namun kenyataannya hanya ada jalan buntu.
Pasukan Makassar mulai membangun perbentengan di dekat Benteng Rotterdam,
dan Speelman harus menjaga pasukan Belanda yang kini berkurang hingga hanya
503 orang, dan 175 di antaranya tidak berdaya karena penyakit atau terluka. Mereka
harus diamankan di dalam benteng hingga bantuan tambahan pasukan 500 orang tiba
dari Batavia (Macleod 1900:1291). Di utara Makassar, pasukan Bugis dan Makassar
tetap berperang meski pertempuran ini tidak menentukan. Tanggal 4 Mei, beberapa
pasukan Makassar melesat keluar dan menyerang dengan ganas ke perkemahan
Bugis dan Belanda. Pertempuran berlangsung sepanjang hari dan malam dengan
pasukan Makassar yang terus mendapat tambahan pasukan dari belakang. Akhirnya
penyerangan itu mengendor dengan pihak Makassar kehilangan empat puluh orang
dan terluka seratus orang. Sementara pihak Belanda kehilangan satu orang dan lima
terluka, dan Bugis dengan tiga orang tewas serta empat puluh lima terluka. Setelah
pertempuran ini, tidak terjadi apa-apa hingga empat atau lima hari (KA 1157e:373v).
        Bagi Belanda, yang lebih penting ketimbang pertempuran seperti itu adalah
pemboman terhadap posisi musuh dan memblokade pelabuhan Makassar. Persediaan
beras dan garam Goa terkena pengaruh, dan tidak ada ikan yang ditangkap karena
tidak ada nelayan yang berani berlayar. Hanya daging kerbau yang tersedia. Pihak
Belanda dan Arung Palakka tahu bahwa Sombaopu akan dijejali penduduk, termasuk
wanita, anak-anak, orang Portugis, dan blokade serta pemboman yang mereka
lancarkan akan menyebabkan malapetaka bagi mereka. Kediaman Sultan dan mesjid
masing-masing berlubang oleh bola meriam yang ditembakkan dari meriam kapal
(KA 1157e:374r). Sebuah kisah dari Makassar, Sinrili’na Kappala’ Tallumbatua (SKT),
memberi penggambaran tentang blokade dan gempuran meriam yang mungkin
mencerminkan ingatan rakyat akan kejadian ini.1 Kisah ini menekankan bagaimana
bola meriam tidak hentinya menghujani kedudukan pasukan Makassar dan
bagaimana persediaan makanan merosot dengan cepat. Akhirnya, keadaan menjadi
amat genting sehingga para pasukan menyatakan: “Lebih baik mati berdarah
daripada mati kelaparan” (L-32:145). Gambaran yang dihadirkan adalah tinggal
sedikit sawah yang ditanami, kapal nelayan tidak dapat lagi ke laut, dan akhirnya
kelaparan dirasakan oleh pasukan Makassar. Inilah alasan utama, menurut SKT,
kekalahan orang Makassar (L-32:144-5, passim).
        Dalam perang ini Speelman bergantung sepenuhnya pada tentara pribumi,
khususnya Bugis, dan hanya menugaskan dua puluh tiga Belanda untuk berperang
bersama Arung Palakka. Untuk melindungi Arung Palakka seratus tentara terlatih
dari Ternate dilengkapi dengan senjata juga ditugaskan mengiringi di semua
peperangan (Ka 1157e:381v). Karena orang Bugis percaya bahwa Arung Palakka
mempunyai upĕ’, Speelman menganggap keselamatan Arung Palakka sangat penting
untuk menjaga efektifitas keikutsertaan pasukan Bugis dalam perang ini. Perilakunya
yang tidak takut bahaya dalam pertempuran, meski dianggap konyol oleh Belanda,
semakin menonjolkan “kedigdayaan” yang dia miliki di mata pengikutnya. Dalam
perang sengit selama dua jam pada tanggal 17 Mei 1668 antara pasukan Bugis dan
Makassar, Arung Palakka masuk ke dalam kancah pertempuran, yang lagi-lagi
mengundang kritikan Speelman bahwa dia memperlihatkan dirinya pada saat yang
sebenarnya tidak perlu. Namun, Speelman mengakui bahwa kehadiran Arung
Palakka di tengah-tengah peperangan sangat memompa keberanian pasukan Bugis
(KA 1157f:381r). Legenda telah menyebar tentang Arung Palakka, dan sepanjang dia
selalu ada bersama pasukan Bugis, dalam keadaan tidak awas dan kebal terhadap
senjata dan keris musuh, pasukan Bugis percaya bahwa mereka tidak akan kalah. Dia
dihormati melebihi pemimpin Bugis lainnya karena dukungannya terhadap Kompeni
dan keberanian yang jauh melebihi pemimpin Bugis lainnya (KA 1157f:386v).2
Meski dengan keberadaan Arung Palakka, kinerja pasukan Bugis di kancah
peperangan cukup menguras kesabaran Speelman. Tidak seperti pujian yang dia
curahkan kepada pasukan Bugis dalam peperangan sebelum Perjanjian Bungaya,
waktu itu dia menulis ke Batavia bahwa “kami tidak menganggap baik atau percaya
jika pasukan Bugis diberi tugas untuk bertindak tanpa dukungan Belanda”. Dalam
menjelaskan pertempuran dua jam antara Bugis dan Makassar di pertengahan Mei,
Speelman tetap mengakui keberanian Arung Palakka, meski tidak setuju Arung
Palakka mengambil resiko yang sia-sia. Dia mengakui keberanian Arung Palakka
dapat memompa keberanian pasukan Bugis, “yang, sayang sekali, sangat kecil” (KA
1157c:381r). Kritik terhadap kontribusi pasukan Bugis ini terlihat dalam keputusan
Speelman meminta Sultan Butung mengirim 800 hingga 1000 pekerja secepatnya
karena “tidak ada pekerjaan yang bisa diharap dari orang Bugis” (KA 1157c:338v,
391r). “Orang Bugis” yang dirujuk Speelman adalah campuran, sering merupakan
tentara yang tidak disiplin yang keinginannya terhadap hasil perang bertolak
belakang dengan niat Arung Palakka dan Toangke. Selama Arung Palakka dan para
letnan-nya memimpin pertempuran, keseragaman perintah dapat dipertahankan.
Namun, di hampir seluruh kesempatan, setelah pertempuran pasukan Bugis
melakukan tindakan pribadi dengan melakukan penjarahan dan pelecehan terhadap
orang Makassar. Penggarongan yang tidak menaruh belas kasihan ini dilihat oleh
penduduk Makassar sebagai sebuah keadaan yang menanti mereka jika mereka kalah
dalam perang ini. Maka mereka semakin yakin untuk melawan. Benteng Sombaopu
dan Tallo diperkokoh dan pasukan Tallo diperkuat oleh tambahan 100 tentara
Makassar dan 300 pejuang Wajo (KA 1157c:392r).
        Perang mengalami titik balik tak terduga ketika timbul epidemik di Makassar
antara April dan Juli 1668. Sementara sumber Belanda yang muncul kemudian
melaporkan sebuah “epidemik demam yang menakutkan” (Macleod 1900:1292),
Catatan Harian Kerajaan Goa dan Tallo (Ligtvoet 1880:127) dan sumber Belanda
sezaman (KA 1157g:431r-v) menyebut dengan jelas adanya sebuah “bencana”.
Penyakit itu meminta banyak korban khususnya pasukan Belanda yang memang
dalam keadaan lemah. Pada bulan Mei 100 orang Belanda mati, pada bulan Juni dan
Juli, masing-masing 125 dan 135 orang. Speelman sendiri terserang demam, namun
dia sembuh dengan menghindari epidemik itu di laut. Pasukan Bugis yang ada di
Makassar juga terjangkit, sekitar 2.000 dari 4.000 tentara menderita sakit berat pada
akhir bulan Juli. Orang Makassar sendiri, juga tidak terhindar dari serangan wabah
ini. Di Sombaopu, Belanda menghitung tujuh puluh tiga orang yang dikubur dalam
sehari, dan di Tallo jumlah orang meninggal adalah dua puluh per hari. Namun pada
tanggal 16 Juli, tidak ada lagi orang Belanda yang jatuh sakit, dan dirasa epidemik itu
telah berakhir (Macleod 1900:1292-3; KA 1157h:424r).
        Penyakit ini melemahkan kedua kubu, pertempuran pun dibatasi pada bulan
Mei dan Juni hingga hanya terjadi beberapa pertempuran kecil di sawah. Namun
pertentangan di dalam istana Goa antara faksi “perang” dan faksi “damai” terus
berlanjut, meski epidemik juga terus berlangsung. Tanggal 25 Mei, seorang kurir
dengan rombongan berjumlah dua belas orang tiba di perkubuan Belanda dengan
sebuah pasar untuk Arung Palakka dari tuan mereka, Karaeng Lengkese. Surat itu
ditulis atas nama Karaeng Tallo:

… Saya tidak melakukan tindakan buruk terhadap Laksamana [Speelman], saya juga tidak
disakiti oleh dia. Saya tidak bisa menahan Karaeng Popo [yaitu; supaya tidak terlibat dalam
perang] karena saya tidak punya kekuatan. Namun kita bersaudara, karena telah ada
persaudaraan selama bertahun-tahun antara negeri Bone dan Makassar, marilah kita semua
mengesampingkan kebencian dan hidup sekali lagi sebagai saudara (KA 1157c:385v).

        Karaeng Lengkese merumuskan pesan ini dengan cara tradisional Sulawesi
Selatan dalam mencari pemulihan hubungan dan “pembaharuan” ikatan perjanjian
yang telah ada, sebagai “saudara”. Sebagai ipar Arung Palakka, keberpihakan
Karaeng Lengkese terhadap perdamaian telah dapat diduga kalangan istana Goa. Dia
akhirnya meninggalkan Goa dan mencari perlindungan Karaeng Tallo (1157h:409v).
Meski ikatan antara Goa dan Tallo amat dekat dan dapat disebut sebagai kerajaan
kembar, masih terdapat dua pusat kekuasaan baik secara prinsip maupun secara
alami: yang satu dipegang Karaeng Goa dan yang lain dipegang Karaeng Tallo.
        Arung Palakka membicarakan perihal ini kepada para bangsawannya dan
kemudian mengirimkan balasan kepada Karaeng Lengkese. Mereka akan sangat
senang jika tercipta perdamaian dan ketenangan di dalam negeri. Sedangkan
mengenai perjanjian antara Bone dan Goa, itu telah dilanggar dan “dilupakan” oleh
kedua pihak. Namun jika mereka dengan setia mempertahankan perjanjian yang baru
ditandatangani di Bungaya, maka tidak ada lagi masalah di kedua pihak (KA
1157c:386r). Balasan ini juga dikemas dengan cara tradisional dan memperjelas
hubungan Bone dan Goa. Bahwa mereka tidak boleh menimpakan kesalahan kepada
salah satu kerajaan, namun kedua kerajaan secara bersama telah “melanggar” dan
“melupakan” perjanjian. Dalam hal ini, pelanggaran perjanjian adalah keputusan
bersama, karena itu mereka harus menghindari saling tuding dan ganti rugi spiritual
yang biasa mengikuti sebuah perjanjian yang “terlanggar”. Sebagai ganti perjanjian
terdahulu, mereka menyerukan kepada para penguasa Makassar untuk menggunakan
perjanjian Bungaya dengan cara yang sama ketika menggunakan perjanjian-
perjanjian terdahulu di Sulawesi Selatan.
        Ketika Arung Palakka membawa surat Karaeng Lengkese ke Speelman, dia
segera mencurigai adanya rencana Karaeng Karunrung untuk memecah belah Arung
Palakka dan Belanda (KA 1157c:386r). Speelman tidak menghiraukan, atau
meragukan, desas-desus tentang pertemuan rahasia antara bangsawan Makassar
tertentu dengan Arung Palakka selama perang. Dia memang melaporkan seluruh
pembicaraan faksi-faksi dan pertentangan kekuasaan di istana Goa, namun
kelihatannya dia tidak memperhatikan kemungkinan salah satu faksi itu secara diam-
diam mendekati Arung Palakka. Sementara itu, kepahitan semakin dirasakan di istana
Goa setiap kali mereka menelan kekalahan di medan pertempuran, dan ini semakin
mempertegang hubungan antar faksi. Dalam keadaan damai perbedaan pendapat
dapat diberi toleransi, namun dalam perang perbedaan pendapat seperti ini dapat
menyebabkan kecurigaan bahkan konflik terbuka. Ketegangan di istana Goa semakin
tidak dapat ditolerir sehingga faksi yang berada di bawah pimpinan Karaeng Tallo
memutuskan untuk mendekati Arung Palakka secara langsung dengan harapan dapat
segera mengakhiri perang sebelum kerajaan-kerajaan Makassar hancur lebur dan
tidak dapat diperbaiki lagi. Niat damai Karaeng Tallo kemudian ditegaskan oleh
saudara perempuannya, isteri Kaicili’ Kalimata. Dia memberitahu pihak Belanda
bahwa pada tanggal 14 Juni Sultan Hasanuddin dan Karaeng Karunrung datang
langsung untuk berunding dengan Karaeng Tallo demi berdamai dengan Kompeni.
Menurut catatannya, Karaeng Tallo memberitahu mereka bahwa dia menginginkan
tercipta lagi perdamaian di negeri ini. Kemudian Sultan Hasanuddin dilaporkan
mengatakan bahwa bila hubungan dengan Kompeni hendak dipulihkan, dia
menginginkan itu dilakukan secara diam-diam dan tak dilanggar (KA 1157d:398v-
399r). Namun, kesepakatan tidak tercapai oleh kedua faksi, maka Karaeng Tallo,
Lengkese, dan Agangnionjo (Tanete) kemudian mengumumkan sikap netral mereka
terhadap perang. Takut akan pembalasan dendam, Karaeng Tallo meminta
perlindungan Belanda yang kemudian datang dalam bentuk lima pengawal pribadi
berkebangsaan Eropa dan enam puluh tentara Ternate serta dua kapal untuk
menjaga muara sungai Tallo (Macleod 1900:1291).
        Semangat pasukan Bugis-Belanda terpompa kembali oleh datangnya kabar
bahwa tambahan pasukan telah dikirim dari Batavia dan tibanya sekutu Bone yang
telah lama dinanti-nanti di Segeri. Pasukan Bone telah membakar Segeri, yang tetap
setia kepada Goa, membunuh 100 pengawal dan membawa 40 tawanan. Tosa’dĕng,
putra Datu Soppeng, dikirim bersama 230 orang kepercayaannya, 210 di antaranya
dipersenjatai senapan laras panjang (musket), timah dan mesiu, dengan kapal Belanda
untuk bergabung bersama pasukan Bone ini. Tiga hari sebelum mereka tiba, Goa
mengirim bantuan pasukan ke Segeri dan membakar Lipukasi. Kapal yang membawa
pasukan Bone mundur karena takut beberapa wilayah yang telah direbut kembali
membantu Goa. Dengan datangnya Tosa’dĕng dan tambahan pasukan Bugis yang
tepat waktu, beberapa daerah yang berada dalam keadaan bimbang kembali
bergabung dengan pasukan Bugis meski masih ada pasukan Makassar dengan 100
penembak bersenapan. Walaupun Karaeng Tanete berpihak pada Arung Palakka,
putranya bergabung dengan Goa dengan sepengetahuan ayahnya dan mungkin sekali
atas restunya.3
        Ketika kapal Belanda pulang ke Makassar, mereka membawa pesan dari
Tosa’dĕng bahwa tanggal 20 Juni sekutu mereka telah menguasai tiga benteng
Makassar dibawah Karaeng Paranggi dan mengambil enam puluh kepala. Mereka
kini berencana untuk menyeberangi pegunungan untuk menyerang Bulo-Bulo.
Setelah kemenangan itu, Karaeng Tanete menghadiahi Tosa’dĕng tiga puluh tael atau
980 mas emas yang dikirim untuknya dari Sultan Hasanuddin untuk memperoleh
kesetiaan. Ketakutan terhadap pasukan Bugis semakin meyakinkannya untuk
menolak pemberian ini dan menghadiahkannya pada Tosa’dĕng. Goa kini mendekati
sekutunya yang semakin menjauh dengan kekayaan, karena tidak bisa lagi dengan
kekerasan, ini juga terlihat di Selayar. Beberapa armada Makassar dikirim ke pulau
itu dengan membawa hadiah dan janji-janji kepada para penguasa Selayar untuk
mencegah mereka bergabung dengan pasukan Bugis dan Belanda (KA 1157d:398r;
Macleod 1900:1293). Namun keunggulan Bugis-Belanda yang telah terlihat lebih
meyakinkan para penguasa Selayar bahwa Goa tidak lagi mempunyai pendukung
militer, politik dan spiritual untuk mempertahankan supremasi di Sulawesi Selatan.
Terlihat tanda-tanda kemerosotannya, dan banyak kerajaan mulai menyesuaikan
kedudukan mereka dalam hierarki antar-negara di wilayah ini mengingat munculnya
kekuatan baru ini.
        Tibanya pasukan Bone dengan kemenangan di Segeri, dekat sekali dari
perbatasan Goa, mempengaruhi pemerintah Goa. Atas permintaan mereka,
ditetapkan sebuah gencatan senjata selama tiga hari pada tanggal 14 Juli 1668
sehingga Goa dapat berunding dengan sekutu-sekutunya tentang pemilihan jalan
damai. Ketika batas waktu tiba, mereka kemudian meminta lagi –dan diberi lagi-
perpanjangan gencatan senjata selama lima hari. Kurangnya tanda-tanda kemajuan
mulai mengganggu pihak Belanda yang akhirnya memutuskan dalam konsul, pada
tanggal 20, menolak seluruh “dalih sembrono” Makassar untuk melanjutkan gencatan
senjata dan menolak menerima surat apapun dari pemerintah Goa. Meski gencatan
senjata telah dimulai dengan catatan yang menjanjikan, pihak Belanda menjadi sadar
akan meningkatnya kekerasan pendirian para penguasa Goa. Speelman menduga
perubahan sikap ini kebanyakan karena pengaruh Karaeng Karunrung. Dia bahkan
percaya sebuah desas-desus bahwa Karaeng Karunrung pernah mengatakan bahwa
Makassar tidak akan baik lagi sebelum orang Kristen diusir (KA 1157h:409r).
        Tanggal 18, dua kurir tiba dari Timurung membawa surat dari Arumpone La
Ma’darĕmmĕng dan putranya Daeng Pabila. Isi surat ini memperlihatkan salah satu
alasan kuat mengapa Goa kembali bersikap keras. La Ma’darĕmmĕng telah mengirim
dua atau tiga misi ke Arung Matoa Wajo La Tĕnrilai Tosenngĕng untuk mengakui
kembali perjanjian mereka. Pendekatan ini ditolak oleh La Tĕnrilai demi memenuhi
permintaan Sultan Hasanuddin yang dikirim lewat dua misi yang berbeda. Dalam
surat dari Goa itu, Sultan Hasanuddin menjelaskan bahwa tanpa bantuan Wajo,
kerajaannya akan meratap. Dia menyeru Wajo agar menyerang Soppeng untuk
menarik pasukan Bone dari Segeri dan daerah sekitarnya sehingga dapat melegakan
tekanan terhadap balatentara Goa. Menghadapi dua kekuatan yang sedang bersaing,
Wajo harus mengingat kembali kewajibannya dari perjanjian dengan kedua kerajaan.
La Tĕnrilai mempertimbangkan dan akhirnya memutuskan bahwa kehidupan Wajo
bersandar pada Goa. Meski dia memutuskan membantu Goa, dia tidak mampu
mencegah dua wilayah Wajo, Timurung dan Pammana, untuk bergabung dengan
Bone (KA 1157h:415v-416r). Namun ketika pasukan Goa datang membantu Wajo,
Pammana kembali memulihkan persekutuannya dengan Wajo (KA 1157g:435r).
Sebagian unit politik atau wanua yang lebih kuat tidak setuju dengan penilaian
kerajaan tentang di mana kekuatan politik sebenarnya berada dan memutuskan untuk
berada dalam posisi independen untuk mempertahankan kepentingan mereka sendiri.
       Di samping kesetiaan Wajo terhadap Goa, Bulo-Bulo mengirim 1.000 orang
ke Makassar, dan Mandar menjanjikan untuk melancarkan pertempuran di utara.
Kira-kira tanggal 20, sebuah kabar tiba di Makassar bahwa balatentara Mandar telah
tiba dengan perahu di Parepare dan berencana membangun benteng di sana. Namun
penduduk Bugis setempat berhasil menghalangi usaha ini, maka pasukan Mandar
yang terdiri dari 1.000 orang, di antaranya terdapat Karaeng Bontomarannu, pergi ke
Lero, ujung sebuah tanjung yang menjorok di depan pantai, untuk melanjutkan
serangan mereka (KA 1157h:416r-v).
       Misi berbahaya pasukan Mandar ini mewakili sifat sporadis pertempuran-
pertempuran yang terjadi di bulan-bulan awal perang ini. Pertempuran besar
pertama terjadi tanggal 5 Agustus ketika pasukan Makassar melakukan pergerakan
ke Tallo dan kemudian berbelok ke pertahanan Arung Palakka di Bontoala. Sekitar
25 hingga 30 “bendera”, masing-masing menandai sebuah unit pemerintahan di
bawah Karaeng, mengepung Bontoala dan mendirikan sebuah perkampungan di
selatannya. Sepasukan pengawal terlatih yang terdiri dari 300 hingga 400 orang
datang dari Tallo menyertai pasukan Bugis dan Belanda, dan perang pun berlanjut
dengan intensitas yang bervariasi hingga tengah hari. Karaeng Layo
menginformasikan pada Belanda bahwa pasukan Makassar merencanakan sebuah
serangan besar pada hari itu sehingga Belanda meneruskan berita ini pada Arung
Palakka dengan tambahan instruksi bahwa dia tidak boleh melakukan apa-apa hingga
ada instruksi selanjutnya dari Fort Rotterdam. Karena tidak mampu mentolerir
keberadaan pasukan Makassar di hutan yang begitu dekat dari Bontoala, Arung
Palakka mengabaikan instruksi ini dan bersama dengan orang-orang pilihannya dia
bergerak untuk melakukan serangan mendadak. Pasukan Makassar tidak memberi
perlawanan berarti, bahkan mundur, dan dikejar oleh Arung Palakka beserta
pasukannya hingga jarak sekitar setengah jam sebelum mereka kembali ke
bentengnya. Beberapa waktu kemudian, Arung Palakka dan orang-orangnya kembali
menyerang beberapa pasukan Makassar di tempat terbuka, tapi kali ini mereka
terkepung di hutan. Dari semua arah datang tentara Makassar, termasuk beberapa
unit yang telah lebih dulu ada di seberang Bontoala. Ini adalah pengepungan yang
terencana dengan baik, dan jika tidak datang bantuan 300 orang yang dikirim dari
Fort Rotterdam untuk memecah serangan Makassar, Arung Palakka kemungkinan
terbunuh. Para juru tembak yang dikirim Speelman untuk melindungi Arung Palakka
terus menembak dengan frekwensi yang tetap ke barisan pasukan Makassar dan
berhasil melepaskan Arung Palakka dan orang-orangnya dari hutan. Kelak ketika
Speelman menyalahkan Arung Palakka karena tindakan beresiko itu, dia menjawab
bahwa dia tidak menyangka taktik seperti itu diterapkan musuh dan dia tidak akan
mengabaikan perintah lagi. Namun Speelman tidak yakin Arung Palakka akan
menjadi lebih patuh pada aturan, meski sudah menyatakannya. Dalam sebuah surat
ke Batavia dia menggambarkan Arung Palakka sebagai seorang yang terlalu
mengikuti keinginan diri sendiri dan paling licik ketika bertindak secara terpaksa
karena melihat seorang yang dicintainya terluka atau berada dalam bahaya (KA
1157g:431r-432r; Macleod 1900:1293).
       Sepanjang hari pasukan Makassar menyebar ke wilayah timur, utara dan
selatan Fort Rotterdam. Hanya laut di sebelah barat yang terbuka bagi Belanda.
Balatentara Makassar kembali menguasai benteng-benteng pertahanan yang
seharusnya dihancurkan berdasarkan Perjanjian Bungaya. Ini membuat gusar
Speelman. Serangan yang sudah diperkirakan akhirnya tiba, dan ini merupakan
serangan ambisius dengan tujuan merebut kembali Fort Rotterdam. Sekitar 1.000
orang terlibat dalam peperangan pertama, utamanya terdiri dari orang Melayu dan
Wajo. Namun mereka dapat dipukul mundur sambil menyeret kawan mereka yang
terluka. Dapat terdengar dari mereka keluhan tentang sikap pengecut pasukan
Makassar yang tidak turut dalam pertempuran itu, dan bahkan tidak berkeinginan
untuk itu (KA 1157g:431v). Meski pasukan Makassar dikagumi Belanda dan amat
ditakuti pasukan Bugis, perpecahan yang dalam di pemerintahan Goa mengenai
bukan hanya melancarkan tapi juga melanjutkan perang mempengaruhi keteguhan
para pasukan. Tidak seperti di awal perang ketika perbedaan pendapat tidak dapat
merintangi keputusan untuk perang, kini perbedaan sudah terlalu besar untuk dapat
diabaikan. Orang Melayu Makassar telah dengan setia berperang untuk Goa, dan
mereka mengharapkan hal yang sama dari orang Makassar sendiri. Tidak heran jika
mereka harus menelan kepahitan demi mengetahui bahwa para pemimpin Makassar
sedang berpikir untuk menyerah pada musuh. Kepahitan ini, disebut dalam laporan
Kompeni pada waktu itu, ditumpahkan dalam sebuah naskah Makassar yang
sumbernya tidak diketahui namun ditulis oleh orang Melayu Makassar, berisikan
sejarah mereka di Sulawesi Selatan (L-24:4). Orang Wajo juga mengabadikan
keberanian dan kesetiaan Arung Matoa La Tĕnrilai Tosenngĕng. Ketika dia dikabari
oleh Sultan Hasanuddin bahwa Sombaopu telah jatuh dan dengan begitu Wajo harus
mengurus diri sendiri, “…air mata La Tĕnrilai jatuh, lengan atasnya menegang
begitu dia menekan gagang kerisnya dan berkata: “Ada sepuluh ribu orang Wajo
datang bersama saya ke sini [ke Makassar]. Biarlah mereka semua gugur sebelum
Goa direbut (L-4: tanpa halaman, section 23)”. Sikap setia orang Wajo dan Melayu
sangat terasa pada waktu itu hingga tercatat dalam rekonstruksi perang yang muncul
kemudian.

Keberhasilan serangan Goa di daerah pedalaman amat berlawanan dengan kesulitan
yang dialami dalam menghadapi Arung Palakka dan Belanda di bagian barat
Sulawesi Selatan. Pasukan Makassar di bawah Syahbandar Daeng Makkulle,4
ditambah seribu orang dari Wajo dan Lamuru, bergerak melewati Soppeng dan
membakar semua yang dilaluinya. Tidak ada pasukan Bugis di Soppeng maka rakyat
mengungsi ke Tanete dan Segeri di mana pasukan Bugis berkumpul di bawah Arung
Belo Tosa’dĕng. Dia membawahi kira-kira 2.000 orang dari Soppeng bersenjata
ditambah 1.000 orang dari Bone dengan delapan puluh senapan (musket). Dia
meminta Belanda mengirim sebuah kapal untuk ditempatkan tidak jauh dari pantai
agar dapat mencegah serangan Makassar dari belakang jika dia membawa
pasukannya bertempur. Tanpa kapal ini dia takut meninggalkan wanita dan anak-
anak di belakang karena pasukan Mandar masih ada di Lero dan dapat bergerak dari
laut untuk menyerang posisi mereka. Dia mengeluhkan Daeng Memang, komandan
pasukan Bone di perbatasan Soppeng, yang dia anggap pengecut. Dan sifat
penakutnya itulah yang menyebabkan banyak pertumpahan darah di pihak warga
Soppeng. Salah satu bangsawan Soppeng yang berada di tengah pengungsi
melaporkan bahwa pasukan Wajo tidak sedikitpun menyentuh wilayah Bone, dan
bahwa Daeng Pabila tetap berada di Timurung dan dengan “mati-matian”
pasukannya mempertahankan Soppeng. Penegasan dari laporan ini datang dari
Karaeng Tanete dan Datu Soppeng yang telah melarikan diri ke Palakka di Bone.
Mereka menggambarkan penghancuran seluruh dataran rendah Soppeng hingga ke
kaki pegunungan (KA 1157g:434r-v).5 Hubungan antara Bone dan Soppeng menjadi
tegang, namun daya tarik Arung Palakka, yang untungnya dapat menyatakan bahwa
leluhurnya berasal dari Bone dan Soppeng, cukup memadai untuk meyakinkan kedua
sekutu Bugis ini hingga mereka dapat mengubur perbedaan dan kembali bersatu
demi tugas penting mereka menggulingkan Goa.
        Belanda bertindak segera terhadap pemintaan kapal dari Tosa’dĕng. Besok
paginya Meliskerk dikirim ke Tanete untuk berjaga-jaga di lepas pantai dan kelak
untuk mengangkut balatentara Soppeng ke sebuah tempat di Maros. Sebelumnya,
Maros menyambut hangat utusan Bugis dan menyatakan kesediaan bergabung
melawan Goa. Dalam sebuah pertemuan dengan lima orang terpenting di Maros,
utusan ini diyakinkan bahwa jika pasukan Bugis kelak didaratkan pada tempat yang
telah ditentukan, pasukan Maros akan segera bergabung. Satu-satunya permintaan
mereka adalah pasukan Bugis jangan menjarah tanah mereka (KA 1157g:433v-435v).
        Pada tanggal 11 dan 12 Agustus, pasukan Goa di Makassar keluar dari
benteng-benteng untuk mengejek pasukan Bugis dan Belanda. Sementara itu, mereka
mengirimkan pasukan cukup banyak ke utara di mana pasukan itu dibagi, setengah ke
Maros dan setengah ke Siang. Begitu vitalnya Maros bagi Goa sehingga pengawal
elit Sultan Hasanuddin, salah satu adalah putranya, dan pasukan terbaik Melayu
termasuk dalam ekspedisi ini. Di Siang, pasukan Makassar menyerang sangat
dahsyat pada tanggal 12 Agustus. Dengan meriam dan senjata-senjata yang lebih
kecil mereka menyerang, namun berhasil dikalahkan dan kehilangan enam puluh lima
kepala “ditambah mayat di medan perang yang kepalanya masih ada”. Di Maros,
pasukan Makassar juga dipaksa mundur pada tanggal 14 Agustus. Sekitar 5.000
pasukan Bugis bergerak ke Goa sementara 2.000 lainnya tinggal untuk menjaga
kemenangan mereka di Maros. Arung Palakka puas dengan kinerja pasukan Bugis-
nya. Dia mengatakan pada Speelman bahwa “inilah pasukan sejati dan jika orang
Bugis menjadi prajurit dia akan mengungguli semua musuh dan bahaya.” Demi
mendorong sekutunya agar melakukan hal yang sama, Belanda memuji dan
membayar para pemimpin Bugis yang terlibat dalam kemenangan ini (KA
1157g:435r-436v; Macleod 1900: 1294).
        Sukses pasukan Bugis di Siang dan Maros mengguratkan kesan mendalam
bagi Turatea, yang kini berjanji untuk menjadi sekutu. Namun, ketika hanya 150
orang datang bergabung dengan Belanda dan sekutunya pada pertengahan Oktober,
muncul keraguan terhadap Turatea. Sementara itu, Sultan Hasanuddin mengutus
Karaeng Ballo dan Karaeng Laikang ke Turatea untuk membawa sekutu yang dulu
terombang-ambing itu kembali ke pihak mereka. Namun usaha itu sia-sia karena
sudah luas diketahui bahwa Goa telah terdesak, dan desas-desus sudah tersebar
bahwa pasukan Makassar telah divonis; bertarung dan mati di pos mereka, atau lari
ke pegunungan. Sultan Hasanuddin, menurut desas-desus, menginginkan
perdamaian, tapi Karaeng Karunrung mendukung orang Melayu yang menyerukan
untuk terus melawan. Orang Melayu dengan gamblang menyatakan: “Jika kita tidak
lagi bisa melakukan apa-apa atau melindungi diri, itulah saatnya kita mencari jalan
damai.” (KA 1157i:440v-443v).
        Tanggal 12 Oktober 1668, pasukan Belanda-Bugis mengalahkan pasukan Goa
dalam sebuah pertempuran besar di Makassar. Menurut keyakinan Speelman, jika
saja pasukan Belanda-Bugis meneruskan serangan, kemenangan ini menjadi momen
penentu jalannya perang. Namun kemenangan harus tertunda oleh tewasnya Arung
Belo Tosa’dĕng di medan perang. Dia adalah putra sulung dan kesayangan Datu
Soppeng La Tĕnribali dan teman dekat Arung Palakka. Speelman memberi
penghormatan terhadap keberanian dan kejujurannya: “Pangeran ini adalah di antara
yang paling berani di pasukan Bugis, namun sembrono, lalai dan tidak disiplin” (KA
1157i:442r). Kematian Tosa’dĕng merupakan pukulan berat bagi pasukan Bugis,
namun pengaruh politiknya di Sulawesi Selatan belum muncul ke permukaan hingga
dua dekade kemudian ketika muncul pertanyaan tentang siapa yang akan mewarisi
mahkota Soppeng. Pada saat kematiannya itu Tosa’dĕng sedang menjalankan tugas
dari Arung Palakka.
       Arung Belo Tosa’dĕng meninggalkan kesan bagi orang Bugis dan Makassar
karena keberanian dan kesetiaan terhadap Arung Palakka. Dalam Sinrili’ Kappala’
Tallumbatua, Arung Belo disebutkan sebagai adik Arung Palakka, mereka berdua
disebut sebagai pangeran Goa. Di akhir cerita ini, Arung Belo terbunuh oleh pasukan
Makassar karena tugasnya membantu Arung Palakka dalam perang melawan ayah
mereka, penguasa Goa (L-32:148). Dalam masyarakat Bugis hingga kini, cerita-cerita
rakyat selalu menyatukan Arung Palakka dan Arung Belo yang setia.
       Di akhir Oktober, 265 dari 577 tentara Belanda terbaring sakit di Fort
Rotterdam. Ini menambah suram perkubuan Belanda dan sekutunya. Tanpa tentara
Belanda yang menyokong pasukan-pasukan Bugis, Speelman tidak yakin dapat
mempertahankan posisinya. Pasukan Makassar membakar seluruh perahu dan rumah
hingga lapangan di depan pemukiman orang Belanda dan menggunakan rumah batu
orang Cina sepanjang hari untuk menyerang pasukan Belanda dan Bugis. Speelman
kini meminta lebih banyak “tentara dan kewenangan” dari Batavia agar dia dapat
membawa kemenangan dari perang ini. Dia percaya bahwa hanya dengan lebih
banyak bantuan baru mereka dapat mengusir orang Melayu “yang dengan senjata api
mereka, dapat dengan sekuat-kuatnya mempertahankan kesetiaan rakyat.” Dengan
menggusur orang Melayu dan Karaeng Karunrung, Speelman memperkirakan
perdamaian akhirnya akan dapat dicapai di Makassar. (KA 1157i:440v-441v, 445v-
446r; Macleod 1900: 1294).
       Perkiraan Speelman terhadap situasi ini tampaknya muncul dari laporan
orang-orang yang lari dari istana Goa. Mereka menyatakan bahwa Karaeng
Karunrung telah mencegah segala upaya Sultan Hasanuddin dan pemimpin lainnya di
pemerintahan untuk membicarakan perdamaian. Menurut mereka, situasi di Goa
telah mencapai sebuah keadaan di mana Karaeng Karunrung telah menjadi penguasa
utama yang memerintah dengan gelar “Raja Tua”.6 Dia tidak lagi meminta pendapat
siapapun dan melakukan apa yang dia inginkan. Adalah Karaeng Tallo yang paling
menantang Karaeng Karunrung. Dia awalnya menginginkan perdamaian namun kini
tidak lagi punya pengaruh di pemerintahan Goa. Dia sendiri telah diawasi dan
dikontrol oleh Daeng “Marouppa”, seorang pengikut Karaeng Karunrung. Meski
pada laporan awal disebutkan betapa sengit kebencian orang Melayu terhadap
Belanda, Speelman tetap mencoba untuk memecah belah pemimpin-pemimpin orang
Melayu dan Makassar. Namun akhirnya, Speelman maklum bahwa orang Melayu
“bagi Belanda adalah musuh yang lebih sengit dibandingkan orang Makassar sendiri”
(KA 1157j:450r,455r-v).
       Speelman dengan perasaan enggan menerapkan perintah dari Batavia untuk
memulai perundingan damai pada tanggal 6 November 1668. Sementara Goa sendiri
menggunakan waktu selama perundingan damai untuk memulihkan kembali
hubungan dengan sekutu-sekutunya dulu. Pada tanggal 16 November, mereka
menghentikan pembicaraan dan empat hari kemudian melancarkan serangan yang
berhasil di utara Makassar. Mereka berhasil merebut kembali wilayah Maros,
Labakkang, Siang, Barru, Segeri dan beberapa daerah lainnya dari pasukan Bugis,
yang lepas dari tangan mereka pada awal perang ini. Belanda tidak menghubungkan
kemenangan ini pada kecerdikan dan keberanian pasukan Makassar melainkan lebih
mencoba menenangkan Batavia bahwa “kelalaian dan ketakutan yang pantas dicela
dari pasukan Bugis” adalah alasan terhadap kekalahan ini. Tambahan bantuan
Belanda ke Maros dan Turatea berhasil membantu balatentara Bugis untuk merebut
kembali wilayah yang telah jatuh, tetapi Labakkang tetap berada di tangan Makassar
(KA 1161a:618v-619r).

Perubahan kekuatan dalam perang ini mencatat satu hal penting bahwa selama
Sombaopu tetap menjadi simbol kebesaran Goa, kekuatan Makassar tidak akan
menyerah. Keberadaan Sultan Hasanuddin dan istana di dalam dinding Sombaopu
menjadi sebuah fokus kesetiaan bagi pasukan Makassar yang berserakan di mana-
mana. Selama dia tidak diganggu, rakyat percaya bahwa negeri tidak terancam.
Penting dicatat bahwa ketika lontara’ Bugis berbicara tentang kekalahan Goa, mereka
berbicara tentang jatuhnya Sombaopu.7 Dengan kesadaran penuh akan arti
pentingnya Sombaopu, Speelman mempersiapkan penyerangan akhir terhadap
benteng utama kerajaan itu. Dia memindahkan benteng utama dari Fort Rotterdam
ke benteng baru bernama Majennang di pantai, kemudian pada bulan Mei 1669 ke
benteng yang baru dibangun bernama Jacatra di tepi sungai Garassi (Macleod
1900:1294).
        Dengan berakhirnya angin muson barat, pasukan Belanda-Bugis melancarkan
beberapa serangan yang berhasil pada tanggal 14 dan 15 April 1669 dan memukul
seluruh perlawanan Makassar di utara Sombaopu. Pasukan Bugis dapat merasakan
akan tibanya kekalahan Goa dan terus melancarkan serangan malam untuk menjarah
dengan bebas di wilayah Makassar. Di akhir bulan April, 150 orang, kebanyakan
anak-anak dan wanita, telah diambil dari Goa, bersama dengan 400 sapi. Orang
Makassar yang diambil oleh pasukan Bugis dibiarkan kelaparan dan dalam keadaan
mengenaskan, hanya kulit binatang yang menutupi tubuh telanjang mereka. Blokade
Belanda di laut, ditaklukkannya pasukan Makassar di daerah penghasil beras, dan
berlanjutnya penyerangan pasukan Bugis ke Goa, memberi pengaruh besar terhadap
persediaan makanan Goa dan sekutunya. Di Selayar, setengah dari penduduknya
meninggal karena kelaparan. Penduduk dipaksa memakan dedaunan, batang pohon
pisang, biji mangga, dan sekam. Mereka yang masih mempunyai cukup kekuatan,
memilih menebang pohon sagu dan membuat sagu. Situasi serupa terlihat di banyak
wilayah yang dipegang Makassar. Dari tawanan dan pelarian terdengar laporan
bahwa banyak penduduk Makassar yang terbunuh oleh senjata api, tapi lebih banyak
yang mati karena kelaparan dan sakit. Karena yakin akhir perang telah dekat, banyak
dari orang Melayu Makassar telah melarikan diri ke Mandar, Pasir, Bima dan
tempat-tempat lain (KA 1157:452v; KA 1161a:620r-622r). Saatnya pun tiba, kedua
pihak berhikmad untuk pertempuran terakhir di Sombaopu.
        Dalam persiapan untuk menyerang istana yang berada dalam perlindungan
benteng yang kuat, Speelman memerintahkan untuk menggali terowongan secara
rahasia di bawah salah satu sisi dinding di mana penyerangan akan berlangsung.
Ketika terowongan itu selesai, Speelman memerintahkan untuk melangsungkan pesta
besar dan mengundang seluruh penguasa dan bangsawan yang kooperatif bersama
keluarga mereka. Pesta berlangsung tanggal 11 Juni hingga pagi tanggal 13. Pada
hari itu, diam-diam terowongan itu diisi dengan bubuk mesiu dan disegel hingga
penyerangan dimulai. Malam sebelumnya, upacara sumpah setia tradisional Sulawesi
Selatan dilangsungkan sebagai kebiasaan sebelum menghadapi perang besar. Seluruh
tentara Bugis secara terpisah dan dalam kelompok yang masing-masing terdiri dari
seratus orang melangsungkan upacara manngaru. Mereka berdiri dan meneriakkan
kesetiaan mereka kepada pemimpin mereka dan Belanda: “Dengan air mata dan keris
terhunus…..mereka bersumpah untuk mengalahkan Sombaopu atau mati.” Dalam
perang di Sombaopu, diperkirakan terdapat sekitar 1.200 hingga 1.500 pasukan
Bugis, 461 orang dari Tanete, Tidore, Bacan, Butung dan Pampanga (dari Luzon
utara di Filipina), dan 111 tentara Belanda. Perhitungan lebih rinci kemudian
memperlihatkan bahwa ada sekitar lebih dari 2.000 balatentara Bugis dan 572 dari
pihak lain, termasuk delapan puluh tiga tentara Belanda dan sebelas pelaut Belanda.
Pasukan Bugis, oleh Speelman dibagi menjadi enam pasukan. Di antara mereka yang
bergabung dengan Arung Palakka adalah Arung Kaju, Arung Mampu, Daeng
Malewa dan beberapa bangsawan Makassar. Pasukan Bugis di bawah Arung Palakka
diperintahkan dengan kekuatan besar untuk membersihkan wilayah timur Sombaopu
dari seluruh pasukan Makassar yang bertahan dan untuk menyerang serta membakar
Tana-Tana dan Bontokeke.8 Sementara pasukan lain mencoba mendobrak dinding
Sombaopu. Tiga kapal kecil dan sekoci Belanda berlayar ke Sungai Garassi dan
menyerang Sombaopu dari selatan (KA 1161b:633v-638v; Macleod 1900: 1294-5).
        Penyerangan dimulai pukul 6 sore pada tanggal 14 Juni 1669 dengan memicu
peledak yang telah diletakkan di terowongan rahasia. Ledakannya menimbulkan
lubang sekitar selebar 27 setengah meter di salah satu dinding Sombaopu yang
tebalnya mencapai tiga setengah meter dengan bahan batu merah. Ketika pasukan
Makassar menyadari apa yang terjadi, sekitar dua puluh lima orang melompat
melewati lubang itu untuk memukul mundur penyerang lapis pertama, sementara
yang lainnya memancang tonggak-tonggak kayu untuk menutupi lubang itu.
Awalnya benteng Belanda Jacatra mengarahkan senjatanya pada aktifitas ini namun
Speelman segera menahannya agar serangan dapat berlangsung lagi. Sementara
Speelman mengumpulkan kekuatannya, Sombaopu pun diperkuat oleh tibanya
balatentara Goa di bawah Karaeng Karunrung.
        Malam berikutnya, pertempuran bertambah sengit, melebihi hari sebelumnya,
sebagaimana digambarkan pada laporan Speelman:

Mereka [pasukan Sombaopu] bertempur dengan api dan batu; mereka mempertahankan diri
dengan tombak; mereka bergerak maju dengan saling mendorong satu sama lain, dan dengan
bambu mereka menangkap moncong senapan sehingga harus dibebaskan dengan pedang dan
badik. Tidak kurang anak panah dan jarum sumpit beracun; jambangan berisi api terus
menerus melayang di mana-mana, dan banyak di antara kepunyaan kami dilempar kembali
oleh musuh dan menyebabkan kerusakan. Jambangan berisi api ini menahan peluru senapan
di kedua pihak, dan meriam ditembakkan tak henti-hentinya ke lubang di dinding Sombaopu.
Granat dari mortir berat juga ditembakkan dan menciptakan kesan yang sangat
menyenangkan. Kesemuanya ini menciptakan musik yang indah sehingga sulit untuk
mengetahui, mempercayai, bahwa malam itu adalah malam yang sangat mengerikan, yang
suaranya tidak pernah didengar sekalipun oleh veteran perang di Eropa. Dari pihak kami
terdapat 5.000-6.000 bubuk mesiu yang digunakan di darat, dan 30.000 peluru senapan
ditembakkan, di samping itu 200 jambangan berisi api dan enam puluh hingga tujuh puluh
granat. Hampir tidak ada istirahat, hanya antara pukul 2 dan 3 pagi pihak musuh, yang telah
mengumpulkan kekuatan besar, beristirahat sejenak. Namun lima belas menit kemudian
pertempuran berlangsung lagi, bahkan lebih ganas daripada sebelumnya…..sekitar pukul 4
pagi mereka berhamburan ke depan dengan kemarahan meluap, dan meski meriam terus
ditembakkan ke lubang itu, sekelompok pasukan tetap keluar dari palang kayu itu …..dan
peperangan berlangsung hingga pagi tetapi Sombaopu tetap di tangan pasukan Makassar
(KA 1161b:639r-v).

        Meski Speelman yakin bahwa Sombaopu akan jatuh, dia mengakui bahwa
belum pernah ada perang yang menyamai perang ini, dan dia tidak mengira jika
ternyata musuh memberi perlawanan begitu sengit. Dia menyebut perang ini “perang
terberat yang pernah kami alami selama keberadaan komisi [perang]”. Pada tengah
hari 17 Juni, pihak penyerang kehilangan lima puluh jiwa dan terluka enam puluh
delapan orang, di antaranya beberapa orang Belanda dan perwira pribumi. Pada
tanggal 19, hujan turun, dan ini berlangsung selama enam hari. Pada malam tanggal
22, Arung Palakka mulai gelisah dan memutuskan untuk bertindak. Dia memimpin
pasukannya dan beberapa orang Bacan dan tentara Ambon di bawah Arung Bakkĕ
untuk memasuki lubang di dinding benteng, yang telah dibarikade oleh pasukan
Makassar. Setelah pertempuran sengit pasukan Makassar meninggalkan lubang itu,
maka masuklah pasukan Bugis dan sekutunya. Meski dalam guyuran hujan pasukan
Bugis terus membakar sebanyak yang mereka bisa, sehingga memaksa pasukan
Makassar mundur dari bastion timur dan barat benteng istana dan mendirikan lagi
pertahanan mereka di bagian selatan benteng Sombaopu. Salah satu meriam yang
dinamai Anak Mangkasar, yang merupakan kebanggaan pasukan Makassar,
dipindahkan ke bastion barat laut selama pemunduran pasukan. Begitu pasukan
Belanda-Bugis bergerak maju dari arah barat, kabar telah tersebar bahwa Sombaopu
telah ditinggalkan, dan pasukan Makasssar telah melarikan diri ke Goa dan Sungai
Garassi. Sultan Hasanuddin tidak ingin pergi begitu cepat namun api, yang ditiup
oleh angin baratlaut, akhirnya memaksa dia untuk pergi. Meski banyak dari pasukan
Makassar melarikan diri ketika pasukan Bugis memasuki lubang, Karaeng
Karunrung tetap tinggal di tempat dikelilingi oleh pengikutnya yang dengan keris
terhunus menentang siapa saja yang masuk. Semua orang yang ada dalam mesjid
telah dibawa keluar, dan hanya isteri Melayu Datu Soppeng, seluruh anaknya, dan
sekitar delapan puluh pengikutnya yang tinggal. Di antara anaknya adalah anak
tertua yang sering membual bahwa Sultan Hasanuddin telah menjanjinya untuk
dijadikan penguasa Soppeng jika perang dimenangkan. Dia bahkan telah bersumpah
akan membawa kepala ayahnya (Datu Soppeng) dan Arung Palakka ke Sultan
Hasanuddin atau mati dalam usahanya itu (KA 1161b:664r-645v; Macleod
1900:1295-6).
        Kegalauan menguasai ketika Sombaopu jatuh, penjarahan semakin menjadi-
jadi. Speelman memperkirakan ada sekitar 7.000 hingga 8.000 orang Bugis
melakukan penjarahan, dan dia yakin bahwa satu-satunya yang mereka takuti adalah
ancaman dari pemimpin mereka. Pada saat Speelman dan Arung Palakka tiba di
istana Sultan Hasanuddin, rumah itu telah dijarah. Ada dua orang Bugis berdiri di
pekarangan mengamati rampasan perang mereka. Ketika mereka melihat Arung
Palakka, mereka segera menawarkan apa yang telah mereka kumpulkan. Arung
Palakka menolak dan orang itu pun melanjutkan kembali pembagian barang (KA
1161b:648v). Meski Speelman mengutuk apa yang menurut dia merupakan
perampasan yang tak bersusila, bahkan cenderung liar, oleh orang Bugis, namun dia
melihat pasukan Bugis tetap menurut pada perintah pemimpinnya. Kedua orang tadi,
yang membagi rampasan perang mereka di pekarangan Sultan Hasanuddin, tidaklah
kehilangan disiplin mereka, namun hanya menjalankan apa yang sudah menjadi
kebiasaan perang di Sulawesi Selatan. Mereka memahami bahwa pilihan pertama dari
rampasan perang adalah untuk tuan mereka, maka ketika Arung Palakka datang
mereka menawarkan apa yang telah mereka kumpulkan. Arung Palakka sendiri
berpikir bahwa orang-orang ini telah menerima hak mereka dalam perang, dan ini
telah diperlihatkan kepada Speelman jauh sebelumnya. Setelah penandatanganan
Perjanjian Bungaya pada bulan November 1667, Arung Palakka dihadiahi sejumlah
barang berharga oleh Kompeni. Selama perayaan malam itu, dia membagi hadiah ini
ke para bangsawan pengikutnya dan kemudian membagi 800 rijksdaalders yang
dipinjam dari Kompeni ke orang-orang terbaiknya (KA 1157a:323v). Kemampuan
Arung Palakka memenuhi kewajiban kepada orang-orang yang melayaninya
merupakan salah satu faktor yang mempercepat penambahan tentaranya dan
meningkatkan kemasyhurannya sebagai pemimpin yang mempunyai upĕ’.
        Meski demikian, Speelman melihat penjarahan sebagai perbuatan menjijikkan
dan memerintahkan untuk mengumpul seluruh rampasan perang di satu tempat dan
dijaga oleh orang bersenjata. Karena Speelman diakui sebagai Komandan Tertinggi
Sekutu, Arung Palakka terpaksa menyetujui tindakan yang sudah diduganya ini. Di
kemudian hari, dia mendekati Speelman untuk meminta permisi bagi orangnya untuk
melanjutkan pelucutan karena adalah tanggung jawabnya sebagai pemimpin untuk
mengizinkan orang-orangnya mengambil keuntungan dari peperangan, sebagaimana
akan terjadi jika pihak musuh yang menang. Tidak ada penilaian moral terhadap
tindakan pelucutan setelah bahkan selama perang, karena ini memang norma yang
berlaku. Harapan akan rampasan perang adalah insentif langsung bagi pasukan
pribumi, dan alasan utama mengapa perang di kalangan pribumi cenderung berubah
dengan cepat menjadi pesta penjarahan. Setiap pemimpin diharapkan memberi
orangnya bayaran material dalam peperangan, dan lebih baik jika bayaran itu dalam
bentuk harta musuh. Meski begitu, Speelman tidak rela mengadopsi praktek
tradisional Sulawesi Selatan ini, dan dia menegaskan bahwa “kebijaksanaannya
[Arung Palakka] dalam hal seperti ini sangatlah kecil” (KA 1161b:649r).
        Jumlah barang yang diambil sangat beragam. Setiap orang Bugis kelihatan
tenggelam dalam barang jarahan, dengan barang yang paling dicari adalah porselen
dan barang-barang yang terbuat dari tembaga. Bahkan sebuah gudang penuh barang
yang dijaga oleh Daeng Manompo’, seorang pengikut setia Arung Palakka, juga
dijarah. Untuk menepati janji pada Speelman, dia mengirim Arung Kaju bersama
beberapa orang Toangke untuk mengembalikan barang-barang itu. Mereka
mengembalikan barang jarahan dan langsung dijaga oleh para Toangke sendiri.
Hanya tembakan yang menghalangi orang Bugis melanjutkan penjarahan, namun
selama kejadian itu, Speelman mencatat bahwa tidak ada orang yang memperoleh
sesedikit Arung Palakka (KA 1161b:649r-652r).
       Setelah penaklukan Sombaopu, Belanda memastikan bahwa benteng itu tidak
akan pernah lagi digunakan sebagai benteng utama. Seluruh senjata yang ditemukan
di benteng itu dibuang dan dinding yang menghadap ke utara dan ke laut serta
bastion laut dihancurkan. Jumlah senjata yang direbut Belanda memberi gambaran
akan persenjataan Goa. Terdapat tiga puluh tiga meriam seberat 46.000 pon dan
sebelas yang seberat 24.000 pon, 145 senjata api kecil, delapan puluh tiga laras bedil,
dua pelontar batu, enam puluh senapan laras panjang (musket), dua puluh tiga
arquebuses (semacam yang jika digunakan diletakkan di atas kaki tiga), 127 laras
senapan musket, dan sekitar 8.483 peluru (Macleod:1296-7). Jumlah senjata yang
mengesankan ini digunakan dengan begitu efektif oleh Sombaopu. Tidak heran,
usaha penaklukan benteng ini merupakan salah satu perang tersulit yang pernah
dihadapi Kompeni di Timur.

Lima hari setelah kejatuhan Sombaopu, Sultan Hasanuddin menyerahkan tahta
kepada putranya I Mappasomba (“Menaklukkan”) karena dipercaya bahwa penguasa
baru dengan nama yang mujur akan mengubah jalannya perang (KA 1161b:658v).
Namun, pihak lain menyatakan, Sultan Hasanuddin sadar kekalahan tidak terelakkan,
karena itu dia memutuskan turun dari pemerintahan sehingga tidak akan disalahkan
jika mereka kalah (KA 1161b:660r). Sultan Hasanuddin memerintah ketika Goa
masih merupakan kerajaan paling kuat dan dihormati di Indonesia Timur. Karena
memerintah dalam masa jaya Goa, dia menolak untuk dikenang sebagai seorang
penguasa yang juga memimpin kerajaan menuju kehancuran.
        Dengan kematian ekonomi dan politik Goa, Bone muncul sebagai kerajaan
teratas di Sulawesi Selatan. Maka, Perang Makassar dicatat dalam sumber-sumber
Bugis sebagai puncak sejarah Bone ketika kerajaan itu memperoleh kembali
kehormatannya. Sumber-sumber ini mengingatkan kembali akan penghinaan yang
terjadi tahun 1643 dan 1667 ketika Bone tidak mempunyai penguasa, sebuah situasi
yang tidak dianggap enteng oleh masyarakat Bugis-Makassar yang sadar sejarah.
Kata yang diterjemahkan sebagai “Kronik” (Chronicle dalam bahasa Inggris) secara
harfiah berarti “Cerita para Pendahulu” (dalam bahasa Bugis attoriolong dan dalam
bahasa Makassar patturioloang), pendahulu adalah para mantan penguasa kerajaan.
Salah satu alasan menulis cerita ini, kata seorang penulis Kronik Makassar, supaya
orang lain tidak memandang rendah mereka karena tidak punya penguasa
(Abdurrahim & Wolhoff [tanpa tahun]:9). Maka, adalah kebanggaan jika sumber-
sumber Bone menggambarkan bagaimana rakyat mereka memperoleh kemenangan
besar terhadap Goa dengan bantuan Belanda dan memperoleh kembali penguasa dan
siri’ mereka. Belanda dilihat sebagai pemeran pembantu dalam persaingan antara
Bone dan Goa yang berlangsung selama lebih seabad ini dan mencapai puncaknya
pada Perang Makassar tahun 1666-9.
       Para pemimpin Bone-Soppeng yang paling bertanggung jawab atas
kemenangan ini menjadi pahlawan, yang nama dan keberaniannya diabadikan oleh
para penutur cerita di desa-desa dan tokoh-tokohnya diabadikan dalam cerita nasihat
yang ada di dokumen-dokumen tua istana. Toangke, pengikut setia Arung Palakka
yang mengiringinya dalam pengasingan panjang, dihargai oleh masyarakat dengan
status khusus yang bertahan hingga abad ke-20.9 Arung Belo Tosa’dĕng, kawan
terdekat Arung Palakka, dikenang dengan gegap gempita dalam sumber-sumber
Bone-Soppeng dan dijadikan anak Karaeng Goa dan saudara Arung Palakka dalam
sebuah cerita pedesaan Makassar (L-32:15). Namun pujaan tertinggi ada pada Arung
Palakka yang didewakan oleh orang Bone-Soppeng atas perbuatan yang dianggap
luar biasa. Begitu kuatnya Goa pada abad ke-17, sehingga banyak orang yang
mengejek gagasan militer Belanda untuk menyerang kerajaan yang digdaya itu.
Namun Belanda berani menguji kekuatan mereka melawan Goa, “Ayam jantan dari
Timur”, dan ternyata menang. Keterkejutan dan ketidakmengertian masyarakat
Sulawesi Selatan yang mengikuti keberhasilan Belanda ditenangkan dengan
penjelasan bahwa kemenangan disebabkan oleh satu orang dan upĕ’ yang
dipunyainya. Orang itu adalah Arung Palakka. Maka legenda pun tersebar bahkan
selama hidup Arung Palakka, dan ini melicinkan jalannya ketika memegang peran
sebagai penguasa atasan di Sulawesi Selatan.
       Namun Arung Palakka tidak bertahta sendiri; dia berbagi kehormatan dan
kekuasaan dengan VOC. Yang terakhir ini menambahkan elemen baru dan kerumitan
bagi keadaan di pulau ini. Dengan VOC yang kini memancangkan kekuasaan
permanen di Sulawesi Selatan, politik di wilayah ini pun tak pelak dimasukkan ke
dalam pertimbangan strategis Kompeni yang lebih luas –di luar pulau Sulawesi. Di
masa sebelumnya, seorang penguasa Sulawesi Selatan yang bermaksud untuk
memegang posisi sebagai penguasa atasan dapat bersekutu dengan penguasa
Mataram, Banten atau Aceh. Kini, karena Kompeni bisa menjadi sekutu yang
potensial, pertimbangan seperti yang diambil dalam perang di Eropa dan negara-
negara Asia di mana pabrik besar Kompeni berlokasi juga menjadi relevan. Segera
menjadi jelas bahwa, siapa saja yang paling bisa mengetahui kepentingan Kompeni
dan membantu keinginan Kompeni bahkan dengan kekuatan militer bila perlu, akan
dapat mencuat dibanding yang lainnya. Perang Makassar telah menjadikan Kompeni
sebagai kekuatan di, namun bukan milik, Sulawesi Selatan. Perbedaan inilah yang
disadari oleh Arung Palakka dan dimanipulasi untuk menciptakan salah satu
penguasa atasan paling berhasil dalam sejarah daerah ini.
1
  Tidak diketahui kapan cerita rakyat ini pertama kali dikisahkan, namun ketepatannya
memaparkan faktor-faktor penyebab kekalahan Goa menunjukkan; kemungkinan cerita ini
dibuat tidak terlalu jauh dari kejadian yang digambarkannya, atau bertahannya detail dalam
ingatan rakyat Makassar yang dengan setia menyimpannya selama beberapa abad. Teks
tertulis dari cerita ini dibuat dari penampilan seorang pasinrili’, pada tahun 1930-an
(wawancara langsung A.A. Cense, 27 Desember 1975).
2 Begitu kuatnya pengaruh Arung Palakka di Sulawesi Selatan sehingga dia sering beralih

menjadi pahlawan Makassar, keterikatannya dengan Belanda dibenarkan oleh anggapan
bahwa itu dilakukan untuk membalas ketersinggungan pribadi pada ayahnya, penguasa Goa.
Untuk pembahasan mengenai peralihan Arung Palakka dari seorang pahlawan Bugis menjadi
pahlawan Makassar, lihat L.Y. Andaya 1980.
3  Ini adalah cara lumrah untuk “menghindari kerugian”. Selama masa panjang
pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan tahun 1950-1963, banyak keluarga yang
salah satu anaknya berperang di pihak pemberontak dan lainnya di pihak pemerintah.
Beberapa di antara mereka menjelaskan secara terbuka bahwa ini keputusan keluarga yang
diambil secara sadar untuk menjamin terjaganya harta mereka.
4 Menurut sumber Belanda sezaman Syahbandar Daeng Makkulle juga memimpin sebuah

armada kecil Goa yang dikirim melawan Butung sekitar bulan April atau Mei 1666 (KA
1148b:511).
5 Salah satu Kronik Bugis dari Soppeng menggambarkan kehancuran Soppeng di mana tidak

ada manusia melainkan hanya babi hutan dan rusa yang dapat ditemui. Dalam episode ini
pengkhianatan Bone dianggap sebagai penyebab nasib buruk Soppeng, dan banyak dari para
bangsawan yang menuntut Arung Palakka agar lebih berhati-hati supaya dapat sekali lagi
mentautkan peruntungan Soppeng dengan Bone. Meski kejadian ini, dalam Kronik,
ditempatkan tidak lama setelah pendaratan pasukan Bugis di Bone tahun 1666, namun sangat
mungkin insiden ini mengarah pada kejadian yang disebutkan berlangsung tahun 1668. Lihat
L-1:30.
6 Catatan Belanda menuliskan dengan jelas “radja toua”. Apakah yang dimaksud adalah

Tumailalang Toa itu tidak diketahui. Ketika beberapa pangeran Bugis memperoleh kekuasaan
di Johor pada awal abad ke-18, mereka menciptakan dua jabatan yang konotasinya hanya ada
di Sulawesi Selatan yaitu “Raja Muda” dan “Raja Tua”. Kedua jabatan ini dianggap sebagai
penasehat utama sang penguasa (L.Y. Andaya 1975:295-6).
7 Baik Kronik Goa maupun Tallo tidak ada yang menuliskan tentang kekalahan Goa. Kronik

Goa hanya memaparkan daftar penguasa dan keturunannya dari masa Sultan Hasanuddin
hingga Sultan Abdul Jalil (m. 1709), bahkan tidak ada petunjuk bahwa telah terjadi perang.
Lihat Abdurrahim dan Wolhoff [tanpa tahun]: 74-8. Kronik Tallo berakhir di pertengahan
abad ke-17 di puncak kejayaan Makassar di Sulawesi Selatan, seakan menganggap yang
terjadi setelahnya tidak berarti untuk disebutkan. Lihat Abdurrahim dan Borahima 1975:320;
L-4: tanpa halaman; L-17:65 dan lainnya.
8 Dua desa ini tidak disebutkan dalam peta daerah ini yang dibuat tahun 1693. Karena orang

Makassar, sebagaimana kelompok masyarakat lainnya di Indonesia, menganggap daerah
yang terkena bencana sebagai daerah yang tidak menguntungkan, kemungkinan besar kedua
desa ini tidak dihuni kembali (setelah bencana perang).
9 Sepanjang prosesi pelantikan Arumpone tahun 1931, keturunan Toangke diberi tempat

utama. Lihat Cense 1931:4.

Más contenido relacionado

La actualidad más candente

La actualidad más candente (7)

Kisah Sepasang Rajawali_Kho Ping Hoo
Kisah Sepasang Rajawali_Kho Ping HooKisah Sepasang Rajawali_Kho Ping Hoo
Kisah Sepasang Rajawali_Kho Ping Hoo
 
The Horse And His Boy_Indonesia_Bag 01
The Horse And His Boy_Indonesia_Bag 01The Horse And His Boy_Indonesia_Bag 01
The Horse And His Boy_Indonesia_Bag 01
 
Kepimpinan melalui teladan
Kepimpinan melalui teladanKepimpinan melalui teladan
Kepimpinan melalui teladan
 
Gladiator ala jawa
Gladiator ala jawaGladiator ala jawa
Gladiator ala jawa
 
Syair bidasari
Syair bidasariSyair bidasari
Syair bidasari
 
Ceramah komsas 2016
Ceramah komsas 2016Ceramah komsas 2016
Ceramah komsas 2016
 
Peace, be still
Peace, be stillPeace, be still
Peace, be still
 

Destacado

Leaders Presentation from the Support Workers Summit 2009
Leaders Presentation from the Support Workers Summit 2009Leaders Presentation from the Support Workers Summit 2009
Leaders Presentation from the Support Workers Summit 2009MistyJ
 
molson coors brewing COORS_AR2001
molson coors brewing  COORS_AR2001molson coors brewing  COORS_AR2001
molson coors brewing COORS_AR2001finance46
 
Thesis Midterm032610
Thesis Midterm032610Thesis Midterm032610
Thesis Midterm032610klee4vp
 
Kehityksellinen valmennus
Kehityksellinen valmennusKehityksellinen valmennus
Kehityksellinen valmennusAnssi Balk
 
Writing online content sustainability
Writing online content sustainabilityWriting online content sustainability
Writing online content sustainabilityBarry Gregory
 
Have Breakfast… Or…Be Breakfast
Have Breakfast… Or…Be BreakfastHave Breakfast… Or…Be Breakfast
Have Breakfast… Or…Be BreakfastRajesh Goyal
 
[参考情報]OSC広島のお知らせ
[参考情報]OSC広島のお知らせ[参考情報]OSC広島のお知らせ
[参考情報]OSC広島のお知らせYoshitake Takata
 
Sosialemedier it-trender2011 - bare for løye
Sosialemedier it-trender2011 - bare for løyeSosialemedier it-trender2011 - bare for løye
Sosialemedier it-trender2011 - bare for løyeIngeborg Dirdal
 
CLX1101BalSheet-456456
CLX1101BalSheet-456456CLX1101BalSheet-456456
CLX1101BalSheet-456456finance48
 
Demo e-Skills Quality Conference
Demo e-Skills Quality ConferenceDemo e-Skills Quality Conference
Demo e-Skills Quality ConferenceLex Hendriks
 
Creating a good architecture
Creating a good architectureCreating a good architecture
Creating a good architectureFrank Sons
 
Rx for Ad Agencies Suffering From Direct, Digital and Social Media Confusion...
Rx for Ad Agencies Suffering From Direct,  Digital and Social Media Confusion...Rx for Ad Agencies Suffering From Direct,  Digital and Social Media Confusion...
Rx for Ad Agencies Suffering From Direct, Digital and Social Media Confusion...Clive Maclean
 

Destacado (20)

Leaders Presentation from the Support Workers Summit 2009
Leaders Presentation from the Support Workers Summit 2009Leaders Presentation from the Support Workers Summit 2009
Leaders Presentation from the Support Workers Summit 2009
 
molson coors brewing COORS_AR2001
molson coors brewing  COORS_AR2001molson coors brewing  COORS_AR2001
molson coors brewing COORS_AR2001
 
Thesis Midterm032610
Thesis Midterm032610Thesis Midterm032610
Thesis Midterm032610
 
Kehityksellinen valmennus
Kehityksellinen valmennusKehityksellinen valmennus
Kehityksellinen valmennus
 
Writing online content sustainability
Writing online content sustainabilityWriting online content sustainability
Writing online content sustainability
 
Sosialemedier221012
Sosialemedier221012Sosialemedier221012
Sosialemedier221012
 
Breaking Technologies
Breaking TechnologiesBreaking Technologies
Breaking Technologies
 
Have Breakfast… Or…Be Breakfast
Have Breakfast… Or…Be BreakfastHave Breakfast… Or…Be Breakfast
Have Breakfast… Or…Be Breakfast
 
[参考情報]OSC広島のお知らせ
[参考情報]OSC広島のお知らせ[参考情報]OSC広島のお知らせ
[参考情報]OSC広島のお知らせ
 
Fifteen 12112010
Fifteen 12112010Fifteen 12112010
Fifteen 12112010
 
Sosialemedier it-trender2011 - bare for løye
Sosialemedier it-trender2011 - bare for løyeSosialemedier it-trender2011 - bare for løye
Sosialemedier it-trender2011 - bare for løye
 
CLX1101BalSheet-456456
CLX1101BalSheet-456456CLX1101BalSheet-456456
CLX1101BalSheet-456456
 
InterACT 2009 Cafofo do Luli
InterACT 2009 Cafofo do LuliInterACT 2009 Cafofo do Luli
InterACT 2009 Cafofo do Luli
 
Demo e-Skills Quality Conference
Demo e-Skills Quality ConferenceDemo e-Skills Quality Conference
Demo e-Skills Quality Conference
 
Cloud Security Law Issues--an Overview
Cloud Security Law Issues--an OverviewCloud Security Law Issues--an Overview
Cloud Security Law Issues--an Overview
 
Creating a good architecture
Creating a good architectureCreating a good architecture
Creating a good architecture
 
Rx for Ad Agencies Suffering From Direct, Digital and Social Media Confusion...
Rx for Ad Agencies Suffering From Direct,  Digital and Social Media Confusion...Rx for Ad Agencies Suffering From Direct,  Digital and Social Media Confusion...
Rx for Ad Agencies Suffering From Direct, Digital and Social Media Confusion...
 
111
111111
111
 
Tevi (laminas)
Tevi (laminas)Tevi (laminas)
Tevi (laminas)
 
Landing Page (Rus)
Landing Page (Rus)Landing Page (Rus)
Landing Page (Rus)
 

Similar a Bab 5 perang yang tak tuntas

Sejarah Sultan Hasanudin Makasar
Sejarah Sultan Hasanudin MakasarSejarah Sultan Hasanudin Makasar
Sejarah Sultan Hasanudin MakasarMarhadi Thea
 
Benteng-Benteng Pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo
Benteng-Benteng Pertahanan Kerajaan Gowa-TalloBenteng-Benteng Pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo
Benteng-Benteng Pertahanan Kerajaan Gowa-TalloDaengPalallo
 
Perang Banjar-Perlawanan Rakyat Palembang
Perang Banjar-Perlawanan Rakyat PalembangPerang Banjar-Perlawanan Rakyat Palembang
Perang Banjar-Perlawanan Rakyat Palembangchelseyvioletaa
 
Biografi lengkap kapitan pattimura
Biografi lengkap kapitan pattimuraBiografi lengkap kapitan pattimura
Biografi lengkap kapitan pattimuraEKo Sup
 
perang bali
perang baliperang bali
perang baliDEDI3060
 
Sultan agung {khilmi}
Sultan agung {khilmi}Sultan agung {khilmi}
Sultan agung {khilmi}Niaa Nia
 
Makalah pahlawan nasional
Makalah pahlawan nasionalMakalah pahlawan nasional
Makalah pahlawan nasionalLano Arintaka
 
Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Praktik Kolonial
Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Praktik KolonialPerlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Praktik Kolonial
Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Praktik KolonialNadhira Felicia
 

Similar a Bab 5 perang yang tak tuntas (10)

Sejarah Sultan Hasanudin Makasar
Sejarah Sultan Hasanudin MakasarSejarah Sultan Hasanudin Makasar
Sejarah Sultan Hasanudin Makasar
 
Benteng-Benteng Pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo
Benteng-Benteng Pertahanan Kerajaan Gowa-TalloBenteng-Benteng Pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo
Benteng-Benteng Pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo
 
Perang Banjar-Perlawanan Rakyat Palembang
Perang Banjar-Perlawanan Rakyat PalembangPerang Banjar-Perlawanan Rakyat Palembang
Perang Banjar-Perlawanan Rakyat Palembang
 
Perang Padri
Perang PadriPerang Padri
Perang Padri
 
Biografi lengkap kapitan pattimura
Biografi lengkap kapitan pattimuraBiografi lengkap kapitan pattimura
Biografi lengkap kapitan pattimura
 
Perlawanan Untung Surapati
Perlawanan Untung SurapatiPerlawanan Untung Surapati
Perlawanan Untung Surapati
 
perang bali
perang baliperang bali
perang bali
 
Sultan agung {khilmi}
Sultan agung {khilmi}Sultan agung {khilmi}
Sultan agung {khilmi}
 
Makalah pahlawan nasional
Makalah pahlawan nasionalMakalah pahlawan nasional
Makalah pahlawan nasional
 
Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Praktik Kolonial
Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Praktik KolonialPerlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Praktik Kolonial
Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Praktik Kolonial
 

Más de Amril Taufik Gobel

Presentasi Blog di Masjid Darussalam, 19 April 2015
Presentasi Blog di Masjid Darussalam, 19 April 2015Presentasi Blog di Masjid Darussalam, 19 April 2015
Presentasi Blog di Masjid Darussalam, 19 April 2015Amril Taufik Gobel
 
Ground breakingceremony csr-ptcsi
Ground breakingceremony csr-ptcsiGround breakingceremony csr-ptcsi
Ground breakingceremony csr-ptcsiAmril Taufik Gobel
 
Menulis di blog dan manfaat yang menyertainya
Menulis di blog dan manfaat yang menyertainyaMenulis di blog dan manfaat yang menyertainya
Menulis di blog dan manfaat yang menyertainyaAmril Taufik Gobel
 
Report of employee gathering to bali
Report of employee gathering to baliReport of employee gathering to bali
Report of employee gathering to baliAmril Taufik Gobel
 
Materi presentasi mangrove oleh El Kail
Materi presentasi mangrove oleh El KailMateri presentasi mangrove oleh El Kail
Materi presentasi mangrove oleh El KailAmril Taufik Gobel
 
Presentasi sosialisasi asean di makassar
Presentasi sosialisasi asean di makassarPresentasi sosialisasi asean di makassar
Presentasi sosialisasi asean di makassarAmril Taufik Gobel
 
Makalah ttg asean deplu 10 des.2010
Makalah ttg asean  deplu 10 des.2010 Makalah ttg asean  deplu 10 des.2010
Makalah ttg asean deplu 10 des.2010 Amril Taufik Gobel
 
Romi blogging-amprokan-bekasi-7mar2010-printed
Romi blogging-amprokan-bekasi-7mar2010-printedRomi blogging-amprokan-bekasi-7mar2010-printed
Romi blogging-amprokan-bekasi-7mar2010-printedAmril Taufik Gobel
 
Cara Sholat Sesuai Rasululloh Saw
Cara Sholat Sesuai Rasululloh SawCara Sholat Sesuai Rasululloh Saw
Cara Sholat Sesuai Rasululloh SawAmril Taufik Gobel
 
Final Report Blogger Survey May09 Fresh!
Final Report Blogger Survey May09 Fresh!Final Report Blogger Survey May09 Fresh!
Final Report Blogger Survey May09 Fresh!Amril Taufik Gobel
 

Más de Amril Taufik Gobel (20)

Presentasi Blog di Masjid Darussalam, 19 April 2015
Presentasi Blog di Masjid Darussalam, 19 April 2015Presentasi Blog di Masjid Darussalam, 19 April 2015
Presentasi Blog di Masjid Darussalam, 19 April 2015
 
Program book abfi2013
Program book abfi2013Program book abfi2013
Program book abfi2013
 
Ground breakingceremony csr-ptcsi
Ground breakingceremony csr-ptcsiGround breakingceremony csr-ptcsi
Ground breakingceremony csr-ptcsi
 
Channel 9 Edisi Agustus 2011
Channel 9 Edisi Agustus 2011Channel 9 Edisi Agustus 2011
Channel 9 Edisi Agustus 2011
 
Channel 9 Edisi Juli 2011
Channel 9 Edisi Juli 2011Channel 9 Edisi Juli 2011
Channel 9 Edisi Juli 2011
 
Channel 9 Edisi Juni 2011
Channel 9 Edisi Juni 2011Channel 9 Edisi Juni 2011
Channel 9 Edisi Juni 2011
 
Menulis di blog dan manfaat yang menyertainya
Menulis di blog dan manfaat yang menyertainyaMenulis di blog dan manfaat yang menyertainya
Menulis di blog dan manfaat yang menyertainya
 
Report of employee gathering to bali
Report of employee gathering to baliReport of employee gathering to bali
Report of employee gathering to bali
 
Materi presentasi mangrove oleh El Kail
Materi presentasi mangrove oleh El KailMateri presentasi mangrove oleh El Kail
Materi presentasi mangrove oleh El Kail
 
Indonesia movieland
Indonesia movielandIndonesia movieland
Indonesia movieland
 
Presentasi sosialisasi asean di makassar
Presentasi sosialisasi asean di makassarPresentasi sosialisasi asean di makassar
Presentasi sosialisasi asean di makassar
 
Makalah ttg asean deplu 10 des.2010
Makalah ttg asean  deplu 10 des.2010 Makalah ttg asean  deplu 10 des.2010
Makalah ttg asean deplu 10 des.2010
 
Proposal fun time 09
Proposal fun time 09Proposal fun time 09
Proposal fun time 09
 
Romi blogging-amprokan-bekasi-7mar2010-printed
Romi blogging-amprokan-bekasi-7mar2010-printedRomi blogging-amprokan-bekasi-7mar2010-printed
Romi blogging-amprokan-bekasi-7mar2010-printed
 
[Kpde]E Gov Sragen Regency
[Kpde]E Gov Sragen Regency[Kpde]E Gov Sragen Regency
[Kpde]E Gov Sragen Regency
 
Bens Radio Profile
Bens Radio ProfileBens Radio Profile
Bens Radio Profile
 
Kajian Pengobatan Nabi
Kajian Pengobatan NabiKajian Pengobatan Nabi
Kajian Pengobatan Nabi
 
Kajian Pengobatan Nabi
Kajian Pengobatan NabiKajian Pengobatan Nabi
Kajian Pengobatan Nabi
 
Cara Sholat Sesuai Rasululloh Saw
Cara Sholat Sesuai Rasululloh SawCara Sholat Sesuai Rasululloh Saw
Cara Sholat Sesuai Rasululloh Saw
 
Final Report Blogger Survey May09 Fresh!
Final Report Blogger Survey May09 Fresh!Final Report Blogger Survey May09 Fresh!
Final Report Blogger Survey May09 Fresh!
 

Bab 5 perang yang tak tuntas

  • 1. Diambil dari, Leonard Andaya, Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke 17, Ininnawa 2004 (terj. Nurhady Sirimorok dari The Heritage of Arung Palakka, A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, Martinus Nijhoff, The Hague, 1981). Bab 5 Perang yang Tak Tuntas Saat penandatanganan perjanjian Bungaya tanggal 18 November 1667, Speelman mengungkapkan kekhawatirannya akan kemanjuran dokumen ini untuk mempertahankan perdamaian: “…. Kepercayaan pemerintah Makassar terhadap kami masih sedikit sekali; seakan kita masih dalam keadaan perang, meski di luar mereka terlihat ramah dan baik” (Stapel 1922:191). Ketika salinan perjanjian dalam bahasa Melayu diperlihatkan kepada Sultan Banten, dia mengungkapkan bahwa orang di Makassar telah menjanjikan sesuatu yang tidak dapat dan ingin mereka penuhi (Macleod 1900:1290). Penunjukan Karaeng Karunrung menggantikan Karaeng Sumanna sebagai Tuma’bicara-butta kira-kira tiga hari sebelum perundingan di Bungaya mengisyaratkan apa yang akan terjadi kemudian. Karaeng Karunrung digambarkan oleh Speelman sebagai “seorang yang tidak dapat dipercaya, musuh lama Kompeni, angkuh dan agresif …..” Karena itu Speelman bersikap pura-pura terhadap tudingan Karaeng Karunrung kepada Arung Palakka bahwa dia tidak disukai lagi oleh Sultan Hasanuddin (KA 1157a:330v). Dan kejadian- kejadian di kemudian hari membuktikan terjadinya keretakan besar di istana Goa, ini diiringi dengan meluncurnya tuduhan dan balasannya dari faksi yang pro dan kontra perang setelah berakhirnya perang. Meski demikian, kekalahan Goa yang dulunya sangat kuat, membawa sesuatu yang positif: menyatukan kedua faksi dalam kemarahan dan keputusasaan atas perampokan terhadap negeri mereka. Kekuasaan mereka diruntuhkan, dan mereka tidak punya kekuatan untuk mencegah tahanan yang baru saja bebas, bergabung dengan tentara Bugis, Turatea, Butung dan Ternate untuk melakukan penjarahan besar-besaran (KA 1157a: 327v ,330r ,339v). Dalam kemarahan, para pemimpin Goa menyaksikan pengambilalihan wilayah-wilayah yang secara tradisional selalu menjadi bagian kekuasaan Makassar. Benteng Ujung Pandang diserahkan kepada Belanda, begitu pula Galesong, pantai barat dari Popo di selatan hingga Barombong di utara, serta Bantaeng dengan seluruh sawahnya yang subur (KA 1157a:340r). Bahkan harapan bahwa Belanda akan pergi setelah perjanjian ditandatangani harus terkubur oleh penempatan permanen Belanda di Benteng Ujung Pandang.
  • 2. Meski kesuraman menyelimuti pemerintahan Goa, Karaeng Karunrung menolak menerima keadaan itu dan mulai membentuk kembali ikatan dengan seluruh sekutu Goa pada masa perang. Pendukung utama Goa adalah selalu orang Melayu Makassar yang penghidupannya kini terancam oleh kehadiran Belanda di Makassar. Seruan juga disampaikan langsung kepada rakyat Bangkala dan Layo, yang penguasanya bergabung dengan Arung Palakka dan Kompeni selama perang, kepada penguasa lain di Turatea, penguasa Bantaeng, Bulukumba, “Badjiuy” (?), dan Luwu. Di luar Sulawesi, kerajaan Bima dan Sumbawa memperlihatkan bahwa mereka sangat senang bersekutu dengan Goa. Bahkan Arumpone La Ma’darĕmmĕng telah dijanji bahwa jika Bone membantu Goa, maka statusnya akan diangkat menjadi “saudara” Goa. Kompeni dan Arung Palakka mencurigai La Ma’darĕmmĕng berencana untuk membuat deklarasi demi mendukung siapa saja hingga dia yakin akan arah perkembangan perang ini (KA 1157b: 359r-360v; KA 1157c:387r-v; KA 1157d:397r; Macleod 1900:1291). Kompeni dan Arung Palakka sama-sama yakin bahwa perang akan terjadi lagi. Sebaliknya, mereka telah tersemangati oleh tawaran Karaeng Tallo dan Karaeng Lengkese yang memperlihatkan perpecahan besar di kubu musuh (KA 1157a:332r; KA 1157b:359r, 360r). Dengan melihat perkembangan ini, Speelman merasa “lebih baik memulai [peperangan] daripada menjaga perdamaian yang telah dengan bejat dilanggar oleh tindakan jahat dan akal bulus [Karaeng Karunrung] (KA 1157b:359r). Malam tanggal 13 April 1668, tempat penginapan orang Inggris dibakar dan kapal-kapal Belanda mulai menggempur Sombaopu. Pada saat bersamaan, Arung Palakka memimpin pasukan Bugis menyerang Kampung Melayu yang terletak antara Sombaopu dan Benteng Rotterdam. Pada babak awal peperangan ini, pasukan Bugis memperlihatkan hal yang tidak biasa, kurangnya keberanian, yang hampir dibayar dengan nyawa Arung Palakka. Ketika dia mencoba mencari jalan di bawah lindungan kegelapan malam, cahaya dari rumah yang terbakar membuat dia terlihat oleh musuh dan tangannya tertembak. Dia terjatuh dan ditinggalkan oleh orang-orangnya kecuali para pengawalnya yang membawanya lari hingga selamat (KA 1157b:362v; Macleod 1900:1291). Terjadi beberapa lagi peperangan di bulan April yang dinyatakan oleh Belanda sebagai kemenangan mereka, namun kenyataannya hanya ada jalan buntu. Pasukan Makassar mulai membangun perbentengan di dekat Benteng Rotterdam, dan Speelman harus menjaga pasukan Belanda yang kini berkurang hingga hanya 503 orang, dan 175 di antaranya tidak berdaya karena penyakit atau terluka. Mereka harus diamankan di dalam benteng hingga bantuan tambahan pasukan 500 orang tiba dari Batavia (Macleod 1900:1291). Di utara Makassar, pasukan Bugis dan Makassar tetap berperang meski pertempuran ini tidak menentukan. Tanggal 4 Mei, beberapa pasukan Makassar melesat keluar dan menyerang dengan ganas ke perkemahan Bugis dan Belanda. Pertempuran berlangsung sepanjang hari dan malam dengan pasukan Makassar yang terus mendapat tambahan pasukan dari belakang. Akhirnya
  • 3. penyerangan itu mengendor dengan pihak Makassar kehilangan empat puluh orang dan terluka seratus orang. Sementara pihak Belanda kehilangan satu orang dan lima terluka, dan Bugis dengan tiga orang tewas serta empat puluh lima terluka. Setelah pertempuran ini, tidak terjadi apa-apa hingga empat atau lima hari (KA 1157e:373v). Bagi Belanda, yang lebih penting ketimbang pertempuran seperti itu adalah pemboman terhadap posisi musuh dan memblokade pelabuhan Makassar. Persediaan beras dan garam Goa terkena pengaruh, dan tidak ada ikan yang ditangkap karena tidak ada nelayan yang berani berlayar. Hanya daging kerbau yang tersedia. Pihak Belanda dan Arung Palakka tahu bahwa Sombaopu akan dijejali penduduk, termasuk wanita, anak-anak, orang Portugis, dan blokade serta pemboman yang mereka lancarkan akan menyebabkan malapetaka bagi mereka. Kediaman Sultan dan mesjid masing-masing berlubang oleh bola meriam yang ditembakkan dari meriam kapal (KA 1157e:374r). Sebuah kisah dari Makassar, Sinrili’na Kappala’ Tallumbatua (SKT), memberi penggambaran tentang blokade dan gempuran meriam yang mungkin mencerminkan ingatan rakyat akan kejadian ini.1 Kisah ini menekankan bagaimana bola meriam tidak hentinya menghujani kedudukan pasukan Makassar dan bagaimana persediaan makanan merosot dengan cepat. Akhirnya, keadaan menjadi amat genting sehingga para pasukan menyatakan: “Lebih baik mati berdarah daripada mati kelaparan” (L-32:145). Gambaran yang dihadirkan adalah tinggal sedikit sawah yang ditanami, kapal nelayan tidak dapat lagi ke laut, dan akhirnya kelaparan dirasakan oleh pasukan Makassar. Inilah alasan utama, menurut SKT, kekalahan orang Makassar (L-32:144-5, passim). Dalam perang ini Speelman bergantung sepenuhnya pada tentara pribumi, khususnya Bugis, dan hanya menugaskan dua puluh tiga Belanda untuk berperang bersama Arung Palakka. Untuk melindungi Arung Palakka seratus tentara terlatih dari Ternate dilengkapi dengan senjata juga ditugaskan mengiringi di semua peperangan (Ka 1157e:381v). Karena orang Bugis percaya bahwa Arung Palakka mempunyai upĕ’, Speelman menganggap keselamatan Arung Palakka sangat penting untuk menjaga efektifitas keikutsertaan pasukan Bugis dalam perang ini. Perilakunya yang tidak takut bahaya dalam pertempuran, meski dianggap konyol oleh Belanda, semakin menonjolkan “kedigdayaan” yang dia miliki di mata pengikutnya. Dalam perang sengit selama dua jam pada tanggal 17 Mei 1668 antara pasukan Bugis dan Makassar, Arung Palakka masuk ke dalam kancah pertempuran, yang lagi-lagi mengundang kritikan Speelman bahwa dia memperlihatkan dirinya pada saat yang sebenarnya tidak perlu. Namun, Speelman mengakui bahwa kehadiran Arung Palakka di tengah-tengah peperangan sangat memompa keberanian pasukan Bugis (KA 1157f:381r). Legenda telah menyebar tentang Arung Palakka, dan sepanjang dia selalu ada bersama pasukan Bugis, dalam keadaan tidak awas dan kebal terhadap senjata dan keris musuh, pasukan Bugis percaya bahwa mereka tidak akan kalah. Dia dihormati melebihi pemimpin Bugis lainnya karena dukungannya terhadap Kompeni dan keberanian yang jauh melebihi pemimpin Bugis lainnya (KA 1157f:386v).2
  • 4. Meski dengan keberadaan Arung Palakka, kinerja pasukan Bugis di kancah peperangan cukup menguras kesabaran Speelman. Tidak seperti pujian yang dia curahkan kepada pasukan Bugis dalam peperangan sebelum Perjanjian Bungaya, waktu itu dia menulis ke Batavia bahwa “kami tidak menganggap baik atau percaya jika pasukan Bugis diberi tugas untuk bertindak tanpa dukungan Belanda”. Dalam menjelaskan pertempuran dua jam antara Bugis dan Makassar di pertengahan Mei, Speelman tetap mengakui keberanian Arung Palakka, meski tidak setuju Arung Palakka mengambil resiko yang sia-sia. Dia mengakui keberanian Arung Palakka dapat memompa keberanian pasukan Bugis, “yang, sayang sekali, sangat kecil” (KA 1157c:381r). Kritik terhadap kontribusi pasukan Bugis ini terlihat dalam keputusan Speelman meminta Sultan Butung mengirim 800 hingga 1000 pekerja secepatnya karena “tidak ada pekerjaan yang bisa diharap dari orang Bugis” (KA 1157c:338v, 391r). “Orang Bugis” yang dirujuk Speelman adalah campuran, sering merupakan tentara yang tidak disiplin yang keinginannya terhadap hasil perang bertolak belakang dengan niat Arung Palakka dan Toangke. Selama Arung Palakka dan para letnan-nya memimpin pertempuran, keseragaman perintah dapat dipertahankan. Namun, di hampir seluruh kesempatan, setelah pertempuran pasukan Bugis melakukan tindakan pribadi dengan melakukan penjarahan dan pelecehan terhadap orang Makassar. Penggarongan yang tidak menaruh belas kasihan ini dilihat oleh penduduk Makassar sebagai sebuah keadaan yang menanti mereka jika mereka kalah dalam perang ini. Maka mereka semakin yakin untuk melawan. Benteng Sombaopu dan Tallo diperkokoh dan pasukan Tallo diperkuat oleh tambahan 100 tentara Makassar dan 300 pejuang Wajo (KA 1157c:392r). Perang mengalami titik balik tak terduga ketika timbul epidemik di Makassar antara April dan Juli 1668. Sementara sumber Belanda yang muncul kemudian melaporkan sebuah “epidemik demam yang menakutkan” (Macleod 1900:1292), Catatan Harian Kerajaan Goa dan Tallo (Ligtvoet 1880:127) dan sumber Belanda sezaman (KA 1157g:431r-v) menyebut dengan jelas adanya sebuah “bencana”. Penyakit itu meminta banyak korban khususnya pasukan Belanda yang memang dalam keadaan lemah. Pada bulan Mei 100 orang Belanda mati, pada bulan Juni dan Juli, masing-masing 125 dan 135 orang. Speelman sendiri terserang demam, namun dia sembuh dengan menghindari epidemik itu di laut. Pasukan Bugis yang ada di Makassar juga terjangkit, sekitar 2.000 dari 4.000 tentara menderita sakit berat pada akhir bulan Juli. Orang Makassar sendiri, juga tidak terhindar dari serangan wabah ini. Di Sombaopu, Belanda menghitung tujuh puluh tiga orang yang dikubur dalam sehari, dan di Tallo jumlah orang meninggal adalah dua puluh per hari. Namun pada tanggal 16 Juli, tidak ada lagi orang Belanda yang jatuh sakit, dan dirasa epidemik itu telah berakhir (Macleod 1900:1292-3; KA 1157h:424r). Penyakit ini melemahkan kedua kubu, pertempuran pun dibatasi pada bulan Mei dan Juni hingga hanya terjadi beberapa pertempuran kecil di sawah. Namun pertentangan di dalam istana Goa antara faksi “perang” dan faksi “damai” terus berlanjut, meski epidemik juga terus berlangsung. Tanggal 25 Mei, seorang kurir
  • 5. dengan rombongan berjumlah dua belas orang tiba di perkubuan Belanda dengan sebuah pasar untuk Arung Palakka dari tuan mereka, Karaeng Lengkese. Surat itu ditulis atas nama Karaeng Tallo: … Saya tidak melakukan tindakan buruk terhadap Laksamana [Speelman], saya juga tidak disakiti oleh dia. Saya tidak bisa menahan Karaeng Popo [yaitu; supaya tidak terlibat dalam perang] karena saya tidak punya kekuatan. Namun kita bersaudara, karena telah ada persaudaraan selama bertahun-tahun antara negeri Bone dan Makassar, marilah kita semua mengesampingkan kebencian dan hidup sekali lagi sebagai saudara (KA 1157c:385v). Karaeng Lengkese merumuskan pesan ini dengan cara tradisional Sulawesi Selatan dalam mencari pemulihan hubungan dan “pembaharuan” ikatan perjanjian yang telah ada, sebagai “saudara”. Sebagai ipar Arung Palakka, keberpihakan Karaeng Lengkese terhadap perdamaian telah dapat diduga kalangan istana Goa. Dia akhirnya meninggalkan Goa dan mencari perlindungan Karaeng Tallo (1157h:409v). Meski ikatan antara Goa dan Tallo amat dekat dan dapat disebut sebagai kerajaan kembar, masih terdapat dua pusat kekuasaan baik secara prinsip maupun secara alami: yang satu dipegang Karaeng Goa dan yang lain dipegang Karaeng Tallo. Arung Palakka membicarakan perihal ini kepada para bangsawannya dan kemudian mengirimkan balasan kepada Karaeng Lengkese. Mereka akan sangat senang jika tercipta perdamaian dan ketenangan di dalam negeri. Sedangkan mengenai perjanjian antara Bone dan Goa, itu telah dilanggar dan “dilupakan” oleh kedua pihak. Namun jika mereka dengan setia mempertahankan perjanjian yang baru ditandatangani di Bungaya, maka tidak ada lagi masalah di kedua pihak (KA 1157c:386r). Balasan ini juga dikemas dengan cara tradisional dan memperjelas hubungan Bone dan Goa. Bahwa mereka tidak boleh menimpakan kesalahan kepada salah satu kerajaan, namun kedua kerajaan secara bersama telah “melanggar” dan “melupakan” perjanjian. Dalam hal ini, pelanggaran perjanjian adalah keputusan bersama, karena itu mereka harus menghindari saling tuding dan ganti rugi spiritual yang biasa mengikuti sebuah perjanjian yang “terlanggar”. Sebagai ganti perjanjian terdahulu, mereka menyerukan kepada para penguasa Makassar untuk menggunakan perjanjian Bungaya dengan cara yang sama ketika menggunakan perjanjian- perjanjian terdahulu di Sulawesi Selatan. Ketika Arung Palakka membawa surat Karaeng Lengkese ke Speelman, dia segera mencurigai adanya rencana Karaeng Karunrung untuk memecah belah Arung Palakka dan Belanda (KA 1157c:386r). Speelman tidak menghiraukan, atau meragukan, desas-desus tentang pertemuan rahasia antara bangsawan Makassar tertentu dengan Arung Palakka selama perang. Dia memang melaporkan seluruh pembicaraan faksi-faksi dan pertentangan kekuasaan di istana Goa, namun kelihatannya dia tidak memperhatikan kemungkinan salah satu faksi itu secara diam- diam mendekati Arung Palakka. Sementara itu, kepahitan semakin dirasakan di istana Goa setiap kali mereka menelan kekalahan di medan pertempuran, dan ini semakin
  • 6. mempertegang hubungan antar faksi. Dalam keadaan damai perbedaan pendapat dapat diberi toleransi, namun dalam perang perbedaan pendapat seperti ini dapat menyebabkan kecurigaan bahkan konflik terbuka. Ketegangan di istana Goa semakin tidak dapat ditolerir sehingga faksi yang berada di bawah pimpinan Karaeng Tallo memutuskan untuk mendekati Arung Palakka secara langsung dengan harapan dapat segera mengakhiri perang sebelum kerajaan-kerajaan Makassar hancur lebur dan tidak dapat diperbaiki lagi. Niat damai Karaeng Tallo kemudian ditegaskan oleh saudara perempuannya, isteri Kaicili’ Kalimata. Dia memberitahu pihak Belanda bahwa pada tanggal 14 Juni Sultan Hasanuddin dan Karaeng Karunrung datang langsung untuk berunding dengan Karaeng Tallo demi berdamai dengan Kompeni. Menurut catatannya, Karaeng Tallo memberitahu mereka bahwa dia menginginkan tercipta lagi perdamaian di negeri ini. Kemudian Sultan Hasanuddin dilaporkan mengatakan bahwa bila hubungan dengan Kompeni hendak dipulihkan, dia menginginkan itu dilakukan secara diam-diam dan tak dilanggar (KA 1157d:398v- 399r). Namun, kesepakatan tidak tercapai oleh kedua faksi, maka Karaeng Tallo, Lengkese, dan Agangnionjo (Tanete) kemudian mengumumkan sikap netral mereka terhadap perang. Takut akan pembalasan dendam, Karaeng Tallo meminta perlindungan Belanda yang kemudian datang dalam bentuk lima pengawal pribadi berkebangsaan Eropa dan enam puluh tentara Ternate serta dua kapal untuk menjaga muara sungai Tallo (Macleod 1900:1291). Semangat pasukan Bugis-Belanda terpompa kembali oleh datangnya kabar bahwa tambahan pasukan telah dikirim dari Batavia dan tibanya sekutu Bone yang telah lama dinanti-nanti di Segeri. Pasukan Bone telah membakar Segeri, yang tetap setia kepada Goa, membunuh 100 pengawal dan membawa 40 tawanan. Tosa’dĕng, putra Datu Soppeng, dikirim bersama 230 orang kepercayaannya, 210 di antaranya dipersenjatai senapan laras panjang (musket), timah dan mesiu, dengan kapal Belanda untuk bergabung bersama pasukan Bone ini. Tiga hari sebelum mereka tiba, Goa mengirim bantuan pasukan ke Segeri dan membakar Lipukasi. Kapal yang membawa pasukan Bone mundur karena takut beberapa wilayah yang telah direbut kembali membantu Goa. Dengan datangnya Tosa’dĕng dan tambahan pasukan Bugis yang tepat waktu, beberapa daerah yang berada dalam keadaan bimbang kembali bergabung dengan pasukan Bugis meski masih ada pasukan Makassar dengan 100 penembak bersenapan. Walaupun Karaeng Tanete berpihak pada Arung Palakka, putranya bergabung dengan Goa dengan sepengetahuan ayahnya dan mungkin sekali atas restunya.3 Ketika kapal Belanda pulang ke Makassar, mereka membawa pesan dari Tosa’dĕng bahwa tanggal 20 Juni sekutu mereka telah menguasai tiga benteng Makassar dibawah Karaeng Paranggi dan mengambil enam puluh kepala. Mereka kini berencana untuk menyeberangi pegunungan untuk menyerang Bulo-Bulo. Setelah kemenangan itu, Karaeng Tanete menghadiahi Tosa’dĕng tiga puluh tael atau 980 mas emas yang dikirim untuknya dari Sultan Hasanuddin untuk memperoleh
  • 7. kesetiaan. Ketakutan terhadap pasukan Bugis semakin meyakinkannya untuk menolak pemberian ini dan menghadiahkannya pada Tosa’dĕng. Goa kini mendekati sekutunya yang semakin menjauh dengan kekayaan, karena tidak bisa lagi dengan kekerasan, ini juga terlihat di Selayar. Beberapa armada Makassar dikirim ke pulau itu dengan membawa hadiah dan janji-janji kepada para penguasa Selayar untuk mencegah mereka bergabung dengan pasukan Bugis dan Belanda (KA 1157d:398r; Macleod 1900:1293). Namun keunggulan Bugis-Belanda yang telah terlihat lebih meyakinkan para penguasa Selayar bahwa Goa tidak lagi mempunyai pendukung militer, politik dan spiritual untuk mempertahankan supremasi di Sulawesi Selatan. Terlihat tanda-tanda kemerosotannya, dan banyak kerajaan mulai menyesuaikan kedudukan mereka dalam hierarki antar-negara di wilayah ini mengingat munculnya kekuatan baru ini. Tibanya pasukan Bone dengan kemenangan di Segeri, dekat sekali dari perbatasan Goa, mempengaruhi pemerintah Goa. Atas permintaan mereka, ditetapkan sebuah gencatan senjata selama tiga hari pada tanggal 14 Juli 1668 sehingga Goa dapat berunding dengan sekutu-sekutunya tentang pemilihan jalan damai. Ketika batas waktu tiba, mereka kemudian meminta lagi –dan diberi lagi- perpanjangan gencatan senjata selama lima hari. Kurangnya tanda-tanda kemajuan mulai mengganggu pihak Belanda yang akhirnya memutuskan dalam konsul, pada tanggal 20, menolak seluruh “dalih sembrono” Makassar untuk melanjutkan gencatan senjata dan menolak menerima surat apapun dari pemerintah Goa. Meski gencatan senjata telah dimulai dengan catatan yang menjanjikan, pihak Belanda menjadi sadar akan meningkatnya kekerasan pendirian para penguasa Goa. Speelman menduga perubahan sikap ini kebanyakan karena pengaruh Karaeng Karunrung. Dia bahkan percaya sebuah desas-desus bahwa Karaeng Karunrung pernah mengatakan bahwa Makassar tidak akan baik lagi sebelum orang Kristen diusir (KA 1157h:409r). Tanggal 18, dua kurir tiba dari Timurung membawa surat dari Arumpone La Ma’darĕmmĕng dan putranya Daeng Pabila. Isi surat ini memperlihatkan salah satu alasan kuat mengapa Goa kembali bersikap keras. La Ma’darĕmmĕng telah mengirim dua atau tiga misi ke Arung Matoa Wajo La Tĕnrilai Tosenngĕng untuk mengakui kembali perjanjian mereka. Pendekatan ini ditolak oleh La Tĕnrilai demi memenuhi permintaan Sultan Hasanuddin yang dikirim lewat dua misi yang berbeda. Dalam surat dari Goa itu, Sultan Hasanuddin menjelaskan bahwa tanpa bantuan Wajo, kerajaannya akan meratap. Dia menyeru Wajo agar menyerang Soppeng untuk menarik pasukan Bone dari Segeri dan daerah sekitarnya sehingga dapat melegakan tekanan terhadap balatentara Goa. Menghadapi dua kekuatan yang sedang bersaing, Wajo harus mengingat kembali kewajibannya dari perjanjian dengan kedua kerajaan. La Tĕnrilai mempertimbangkan dan akhirnya memutuskan bahwa kehidupan Wajo bersandar pada Goa. Meski dia memutuskan membantu Goa, dia tidak mampu mencegah dua wilayah Wajo, Timurung dan Pammana, untuk bergabung dengan Bone (KA 1157h:415v-416r). Namun ketika pasukan Goa datang membantu Wajo,
  • 8. Pammana kembali memulihkan persekutuannya dengan Wajo (KA 1157g:435r). Sebagian unit politik atau wanua yang lebih kuat tidak setuju dengan penilaian kerajaan tentang di mana kekuatan politik sebenarnya berada dan memutuskan untuk berada dalam posisi independen untuk mempertahankan kepentingan mereka sendiri. Di samping kesetiaan Wajo terhadap Goa, Bulo-Bulo mengirim 1.000 orang ke Makassar, dan Mandar menjanjikan untuk melancarkan pertempuran di utara. Kira-kira tanggal 20, sebuah kabar tiba di Makassar bahwa balatentara Mandar telah tiba dengan perahu di Parepare dan berencana membangun benteng di sana. Namun penduduk Bugis setempat berhasil menghalangi usaha ini, maka pasukan Mandar yang terdiri dari 1.000 orang, di antaranya terdapat Karaeng Bontomarannu, pergi ke Lero, ujung sebuah tanjung yang menjorok di depan pantai, untuk melanjutkan serangan mereka (KA 1157h:416r-v). Misi berbahaya pasukan Mandar ini mewakili sifat sporadis pertempuran- pertempuran yang terjadi di bulan-bulan awal perang ini. Pertempuran besar pertama terjadi tanggal 5 Agustus ketika pasukan Makassar melakukan pergerakan ke Tallo dan kemudian berbelok ke pertahanan Arung Palakka di Bontoala. Sekitar 25 hingga 30 “bendera”, masing-masing menandai sebuah unit pemerintahan di bawah Karaeng, mengepung Bontoala dan mendirikan sebuah perkampungan di selatannya. Sepasukan pengawal terlatih yang terdiri dari 300 hingga 400 orang datang dari Tallo menyertai pasukan Bugis dan Belanda, dan perang pun berlanjut dengan intensitas yang bervariasi hingga tengah hari. Karaeng Layo menginformasikan pada Belanda bahwa pasukan Makassar merencanakan sebuah serangan besar pada hari itu sehingga Belanda meneruskan berita ini pada Arung Palakka dengan tambahan instruksi bahwa dia tidak boleh melakukan apa-apa hingga ada instruksi selanjutnya dari Fort Rotterdam. Karena tidak mampu mentolerir keberadaan pasukan Makassar di hutan yang begitu dekat dari Bontoala, Arung Palakka mengabaikan instruksi ini dan bersama dengan orang-orang pilihannya dia bergerak untuk melakukan serangan mendadak. Pasukan Makassar tidak memberi perlawanan berarti, bahkan mundur, dan dikejar oleh Arung Palakka beserta pasukannya hingga jarak sekitar setengah jam sebelum mereka kembali ke bentengnya. Beberapa waktu kemudian, Arung Palakka dan orang-orangnya kembali menyerang beberapa pasukan Makassar di tempat terbuka, tapi kali ini mereka terkepung di hutan. Dari semua arah datang tentara Makassar, termasuk beberapa unit yang telah lebih dulu ada di seberang Bontoala. Ini adalah pengepungan yang terencana dengan baik, dan jika tidak datang bantuan 300 orang yang dikirim dari Fort Rotterdam untuk memecah serangan Makassar, Arung Palakka kemungkinan terbunuh. Para juru tembak yang dikirim Speelman untuk melindungi Arung Palakka terus menembak dengan frekwensi yang tetap ke barisan pasukan Makassar dan berhasil melepaskan Arung Palakka dan orang-orangnya dari hutan. Kelak ketika Speelman menyalahkan Arung Palakka karena tindakan beresiko itu, dia menjawab bahwa dia tidak menyangka taktik seperti itu diterapkan musuh dan dia tidak akan mengabaikan perintah lagi. Namun Speelman tidak yakin Arung Palakka akan
  • 9. menjadi lebih patuh pada aturan, meski sudah menyatakannya. Dalam sebuah surat ke Batavia dia menggambarkan Arung Palakka sebagai seorang yang terlalu mengikuti keinginan diri sendiri dan paling licik ketika bertindak secara terpaksa karena melihat seorang yang dicintainya terluka atau berada dalam bahaya (KA 1157g:431r-432r; Macleod 1900:1293). Sepanjang hari pasukan Makassar menyebar ke wilayah timur, utara dan selatan Fort Rotterdam. Hanya laut di sebelah barat yang terbuka bagi Belanda. Balatentara Makassar kembali menguasai benteng-benteng pertahanan yang seharusnya dihancurkan berdasarkan Perjanjian Bungaya. Ini membuat gusar Speelman. Serangan yang sudah diperkirakan akhirnya tiba, dan ini merupakan serangan ambisius dengan tujuan merebut kembali Fort Rotterdam. Sekitar 1.000 orang terlibat dalam peperangan pertama, utamanya terdiri dari orang Melayu dan Wajo. Namun mereka dapat dipukul mundur sambil menyeret kawan mereka yang terluka. Dapat terdengar dari mereka keluhan tentang sikap pengecut pasukan Makassar yang tidak turut dalam pertempuran itu, dan bahkan tidak berkeinginan untuk itu (KA 1157g:431v). Meski pasukan Makassar dikagumi Belanda dan amat ditakuti pasukan Bugis, perpecahan yang dalam di pemerintahan Goa mengenai bukan hanya melancarkan tapi juga melanjutkan perang mempengaruhi keteguhan para pasukan. Tidak seperti di awal perang ketika perbedaan pendapat tidak dapat merintangi keputusan untuk perang, kini perbedaan sudah terlalu besar untuk dapat diabaikan. Orang Melayu Makassar telah dengan setia berperang untuk Goa, dan mereka mengharapkan hal yang sama dari orang Makassar sendiri. Tidak heran jika mereka harus menelan kepahitan demi mengetahui bahwa para pemimpin Makassar sedang berpikir untuk menyerah pada musuh. Kepahitan ini, disebut dalam laporan Kompeni pada waktu itu, ditumpahkan dalam sebuah naskah Makassar yang sumbernya tidak diketahui namun ditulis oleh orang Melayu Makassar, berisikan sejarah mereka di Sulawesi Selatan (L-24:4). Orang Wajo juga mengabadikan keberanian dan kesetiaan Arung Matoa La Tĕnrilai Tosenngĕng. Ketika dia dikabari oleh Sultan Hasanuddin bahwa Sombaopu telah jatuh dan dengan begitu Wajo harus mengurus diri sendiri, “…air mata La Tĕnrilai jatuh, lengan atasnya menegang begitu dia menekan gagang kerisnya dan berkata: “Ada sepuluh ribu orang Wajo datang bersama saya ke sini [ke Makassar]. Biarlah mereka semua gugur sebelum Goa direbut (L-4: tanpa halaman, section 23)”. Sikap setia orang Wajo dan Melayu sangat terasa pada waktu itu hingga tercatat dalam rekonstruksi perang yang muncul kemudian. Keberhasilan serangan Goa di daerah pedalaman amat berlawanan dengan kesulitan yang dialami dalam menghadapi Arung Palakka dan Belanda di bagian barat Sulawesi Selatan. Pasukan Makassar di bawah Syahbandar Daeng Makkulle,4 ditambah seribu orang dari Wajo dan Lamuru, bergerak melewati Soppeng dan membakar semua yang dilaluinya. Tidak ada pasukan Bugis di Soppeng maka rakyat
  • 10. mengungsi ke Tanete dan Segeri di mana pasukan Bugis berkumpul di bawah Arung Belo Tosa’dĕng. Dia membawahi kira-kira 2.000 orang dari Soppeng bersenjata ditambah 1.000 orang dari Bone dengan delapan puluh senapan (musket). Dia meminta Belanda mengirim sebuah kapal untuk ditempatkan tidak jauh dari pantai agar dapat mencegah serangan Makassar dari belakang jika dia membawa pasukannya bertempur. Tanpa kapal ini dia takut meninggalkan wanita dan anak- anak di belakang karena pasukan Mandar masih ada di Lero dan dapat bergerak dari laut untuk menyerang posisi mereka. Dia mengeluhkan Daeng Memang, komandan pasukan Bone di perbatasan Soppeng, yang dia anggap pengecut. Dan sifat penakutnya itulah yang menyebabkan banyak pertumpahan darah di pihak warga Soppeng. Salah satu bangsawan Soppeng yang berada di tengah pengungsi melaporkan bahwa pasukan Wajo tidak sedikitpun menyentuh wilayah Bone, dan bahwa Daeng Pabila tetap berada di Timurung dan dengan “mati-matian” pasukannya mempertahankan Soppeng. Penegasan dari laporan ini datang dari Karaeng Tanete dan Datu Soppeng yang telah melarikan diri ke Palakka di Bone. Mereka menggambarkan penghancuran seluruh dataran rendah Soppeng hingga ke kaki pegunungan (KA 1157g:434r-v).5 Hubungan antara Bone dan Soppeng menjadi tegang, namun daya tarik Arung Palakka, yang untungnya dapat menyatakan bahwa leluhurnya berasal dari Bone dan Soppeng, cukup memadai untuk meyakinkan kedua sekutu Bugis ini hingga mereka dapat mengubur perbedaan dan kembali bersatu demi tugas penting mereka menggulingkan Goa. Belanda bertindak segera terhadap pemintaan kapal dari Tosa’dĕng. Besok paginya Meliskerk dikirim ke Tanete untuk berjaga-jaga di lepas pantai dan kelak untuk mengangkut balatentara Soppeng ke sebuah tempat di Maros. Sebelumnya, Maros menyambut hangat utusan Bugis dan menyatakan kesediaan bergabung melawan Goa. Dalam sebuah pertemuan dengan lima orang terpenting di Maros, utusan ini diyakinkan bahwa jika pasukan Bugis kelak didaratkan pada tempat yang telah ditentukan, pasukan Maros akan segera bergabung. Satu-satunya permintaan mereka adalah pasukan Bugis jangan menjarah tanah mereka (KA 1157g:433v-435v). Pada tanggal 11 dan 12 Agustus, pasukan Goa di Makassar keluar dari benteng-benteng untuk mengejek pasukan Bugis dan Belanda. Sementara itu, mereka mengirimkan pasukan cukup banyak ke utara di mana pasukan itu dibagi, setengah ke Maros dan setengah ke Siang. Begitu vitalnya Maros bagi Goa sehingga pengawal elit Sultan Hasanuddin, salah satu adalah putranya, dan pasukan terbaik Melayu termasuk dalam ekspedisi ini. Di Siang, pasukan Makassar menyerang sangat dahsyat pada tanggal 12 Agustus. Dengan meriam dan senjata-senjata yang lebih kecil mereka menyerang, namun berhasil dikalahkan dan kehilangan enam puluh lima kepala “ditambah mayat di medan perang yang kepalanya masih ada”. Di Maros, pasukan Makassar juga dipaksa mundur pada tanggal 14 Agustus. Sekitar 5.000 pasukan Bugis bergerak ke Goa sementara 2.000 lainnya tinggal untuk menjaga kemenangan mereka di Maros. Arung Palakka puas dengan kinerja pasukan Bugis-
  • 11. nya. Dia mengatakan pada Speelman bahwa “inilah pasukan sejati dan jika orang Bugis menjadi prajurit dia akan mengungguli semua musuh dan bahaya.” Demi mendorong sekutunya agar melakukan hal yang sama, Belanda memuji dan membayar para pemimpin Bugis yang terlibat dalam kemenangan ini (KA 1157g:435r-436v; Macleod 1900: 1294). Sukses pasukan Bugis di Siang dan Maros mengguratkan kesan mendalam bagi Turatea, yang kini berjanji untuk menjadi sekutu. Namun, ketika hanya 150 orang datang bergabung dengan Belanda dan sekutunya pada pertengahan Oktober, muncul keraguan terhadap Turatea. Sementara itu, Sultan Hasanuddin mengutus Karaeng Ballo dan Karaeng Laikang ke Turatea untuk membawa sekutu yang dulu terombang-ambing itu kembali ke pihak mereka. Namun usaha itu sia-sia karena sudah luas diketahui bahwa Goa telah terdesak, dan desas-desus sudah tersebar bahwa pasukan Makassar telah divonis; bertarung dan mati di pos mereka, atau lari ke pegunungan. Sultan Hasanuddin, menurut desas-desus, menginginkan perdamaian, tapi Karaeng Karunrung mendukung orang Melayu yang menyerukan untuk terus melawan. Orang Melayu dengan gamblang menyatakan: “Jika kita tidak lagi bisa melakukan apa-apa atau melindungi diri, itulah saatnya kita mencari jalan damai.” (KA 1157i:440v-443v). Tanggal 12 Oktober 1668, pasukan Belanda-Bugis mengalahkan pasukan Goa dalam sebuah pertempuran besar di Makassar. Menurut keyakinan Speelman, jika saja pasukan Belanda-Bugis meneruskan serangan, kemenangan ini menjadi momen penentu jalannya perang. Namun kemenangan harus tertunda oleh tewasnya Arung Belo Tosa’dĕng di medan perang. Dia adalah putra sulung dan kesayangan Datu Soppeng La Tĕnribali dan teman dekat Arung Palakka. Speelman memberi penghormatan terhadap keberanian dan kejujurannya: “Pangeran ini adalah di antara yang paling berani di pasukan Bugis, namun sembrono, lalai dan tidak disiplin” (KA 1157i:442r). Kematian Tosa’dĕng merupakan pukulan berat bagi pasukan Bugis, namun pengaruh politiknya di Sulawesi Selatan belum muncul ke permukaan hingga dua dekade kemudian ketika muncul pertanyaan tentang siapa yang akan mewarisi mahkota Soppeng. Pada saat kematiannya itu Tosa’dĕng sedang menjalankan tugas dari Arung Palakka. Arung Belo Tosa’dĕng meninggalkan kesan bagi orang Bugis dan Makassar karena keberanian dan kesetiaan terhadap Arung Palakka. Dalam Sinrili’ Kappala’ Tallumbatua, Arung Belo disebutkan sebagai adik Arung Palakka, mereka berdua disebut sebagai pangeran Goa. Di akhir cerita ini, Arung Belo terbunuh oleh pasukan Makassar karena tugasnya membantu Arung Palakka dalam perang melawan ayah mereka, penguasa Goa (L-32:148). Dalam masyarakat Bugis hingga kini, cerita-cerita rakyat selalu menyatukan Arung Palakka dan Arung Belo yang setia. Di akhir Oktober, 265 dari 577 tentara Belanda terbaring sakit di Fort Rotterdam. Ini menambah suram perkubuan Belanda dan sekutunya. Tanpa tentara Belanda yang menyokong pasukan-pasukan Bugis, Speelman tidak yakin dapat
  • 12. mempertahankan posisinya. Pasukan Makassar membakar seluruh perahu dan rumah hingga lapangan di depan pemukiman orang Belanda dan menggunakan rumah batu orang Cina sepanjang hari untuk menyerang pasukan Belanda dan Bugis. Speelman kini meminta lebih banyak “tentara dan kewenangan” dari Batavia agar dia dapat membawa kemenangan dari perang ini. Dia percaya bahwa hanya dengan lebih banyak bantuan baru mereka dapat mengusir orang Melayu “yang dengan senjata api mereka, dapat dengan sekuat-kuatnya mempertahankan kesetiaan rakyat.” Dengan menggusur orang Melayu dan Karaeng Karunrung, Speelman memperkirakan perdamaian akhirnya akan dapat dicapai di Makassar. (KA 1157i:440v-441v, 445v- 446r; Macleod 1900: 1294). Perkiraan Speelman terhadap situasi ini tampaknya muncul dari laporan orang-orang yang lari dari istana Goa. Mereka menyatakan bahwa Karaeng Karunrung telah mencegah segala upaya Sultan Hasanuddin dan pemimpin lainnya di pemerintahan untuk membicarakan perdamaian. Menurut mereka, situasi di Goa telah mencapai sebuah keadaan di mana Karaeng Karunrung telah menjadi penguasa utama yang memerintah dengan gelar “Raja Tua”.6 Dia tidak lagi meminta pendapat siapapun dan melakukan apa yang dia inginkan. Adalah Karaeng Tallo yang paling menantang Karaeng Karunrung. Dia awalnya menginginkan perdamaian namun kini tidak lagi punya pengaruh di pemerintahan Goa. Dia sendiri telah diawasi dan dikontrol oleh Daeng “Marouppa”, seorang pengikut Karaeng Karunrung. Meski pada laporan awal disebutkan betapa sengit kebencian orang Melayu terhadap Belanda, Speelman tetap mencoba untuk memecah belah pemimpin-pemimpin orang Melayu dan Makassar. Namun akhirnya, Speelman maklum bahwa orang Melayu “bagi Belanda adalah musuh yang lebih sengit dibandingkan orang Makassar sendiri” (KA 1157j:450r,455r-v). Speelman dengan perasaan enggan menerapkan perintah dari Batavia untuk memulai perundingan damai pada tanggal 6 November 1668. Sementara Goa sendiri menggunakan waktu selama perundingan damai untuk memulihkan kembali hubungan dengan sekutu-sekutunya dulu. Pada tanggal 16 November, mereka menghentikan pembicaraan dan empat hari kemudian melancarkan serangan yang berhasil di utara Makassar. Mereka berhasil merebut kembali wilayah Maros, Labakkang, Siang, Barru, Segeri dan beberapa daerah lainnya dari pasukan Bugis, yang lepas dari tangan mereka pada awal perang ini. Belanda tidak menghubungkan kemenangan ini pada kecerdikan dan keberanian pasukan Makassar melainkan lebih mencoba menenangkan Batavia bahwa “kelalaian dan ketakutan yang pantas dicela dari pasukan Bugis” adalah alasan terhadap kekalahan ini. Tambahan bantuan Belanda ke Maros dan Turatea berhasil membantu balatentara Bugis untuk merebut kembali wilayah yang telah jatuh, tetapi Labakkang tetap berada di tangan Makassar (KA 1161a:618v-619r). Perubahan kekuatan dalam perang ini mencatat satu hal penting bahwa selama Sombaopu tetap menjadi simbol kebesaran Goa, kekuatan Makassar tidak akan
  • 13. menyerah. Keberadaan Sultan Hasanuddin dan istana di dalam dinding Sombaopu menjadi sebuah fokus kesetiaan bagi pasukan Makassar yang berserakan di mana- mana. Selama dia tidak diganggu, rakyat percaya bahwa negeri tidak terancam. Penting dicatat bahwa ketika lontara’ Bugis berbicara tentang kekalahan Goa, mereka berbicara tentang jatuhnya Sombaopu.7 Dengan kesadaran penuh akan arti pentingnya Sombaopu, Speelman mempersiapkan penyerangan akhir terhadap benteng utama kerajaan itu. Dia memindahkan benteng utama dari Fort Rotterdam ke benteng baru bernama Majennang di pantai, kemudian pada bulan Mei 1669 ke benteng yang baru dibangun bernama Jacatra di tepi sungai Garassi (Macleod 1900:1294). Dengan berakhirnya angin muson barat, pasukan Belanda-Bugis melancarkan beberapa serangan yang berhasil pada tanggal 14 dan 15 April 1669 dan memukul seluruh perlawanan Makassar di utara Sombaopu. Pasukan Bugis dapat merasakan akan tibanya kekalahan Goa dan terus melancarkan serangan malam untuk menjarah dengan bebas di wilayah Makassar. Di akhir bulan April, 150 orang, kebanyakan anak-anak dan wanita, telah diambil dari Goa, bersama dengan 400 sapi. Orang Makassar yang diambil oleh pasukan Bugis dibiarkan kelaparan dan dalam keadaan mengenaskan, hanya kulit binatang yang menutupi tubuh telanjang mereka. Blokade Belanda di laut, ditaklukkannya pasukan Makassar di daerah penghasil beras, dan berlanjutnya penyerangan pasukan Bugis ke Goa, memberi pengaruh besar terhadap persediaan makanan Goa dan sekutunya. Di Selayar, setengah dari penduduknya meninggal karena kelaparan. Penduduk dipaksa memakan dedaunan, batang pohon pisang, biji mangga, dan sekam. Mereka yang masih mempunyai cukup kekuatan, memilih menebang pohon sagu dan membuat sagu. Situasi serupa terlihat di banyak wilayah yang dipegang Makassar. Dari tawanan dan pelarian terdengar laporan bahwa banyak penduduk Makassar yang terbunuh oleh senjata api, tapi lebih banyak yang mati karena kelaparan dan sakit. Karena yakin akhir perang telah dekat, banyak dari orang Melayu Makassar telah melarikan diri ke Mandar, Pasir, Bima dan tempat-tempat lain (KA 1157:452v; KA 1161a:620r-622r). Saatnya pun tiba, kedua pihak berhikmad untuk pertempuran terakhir di Sombaopu. Dalam persiapan untuk menyerang istana yang berada dalam perlindungan benteng yang kuat, Speelman memerintahkan untuk menggali terowongan secara rahasia di bawah salah satu sisi dinding di mana penyerangan akan berlangsung. Ketika terowongan itu selesai, Speelman memerintahkan untuk melangsungkan pesta besar dan mengundang seluruh penguasa dan bangsawan yang kooperatif bersama keluarga mereka. Pesta berlangsung tanggal 11 Juni hingga pagi tanggal 13. Pada hari itu, diam-diam terowongan itu diisi dengan bubuk mesiu dan disegel hingga penyerangan dimulai. Malam sebelumnya, upacara sumpah setia tradisional Sulawesi Selatan dilangsungkan sebagai kebiasaan sebelum menghadapi perang besar. Seluruh tentara Bugis secara terpisah dan dalam kelompok yang masing-masing terdiri dari seratus orang melangsungkan upacara manngaru. Mereka berdiri dan meneriakkan kesetiaan mereka kepada pemimpin mereka dan Belanda: “Dengan air mata dan keris
  • 14. terhunus…..mereka bersumpah untuk mengalahkan Sombaopu atau mati.” Dalam perang di Sombaopu, diperkirakan terdapat sekitar 1.200 hingga 1.500 pasukan Bugis, 461 orang dari Tanete, Tidore, Bacan, Butung dan Pampanga (dari Luzon utara di Filipina), dan 111 tentara Belanda. Perhitungan lebih rinci kemudian memperlihatkan bahwa ada sekitar lebih dari 2.000 balatentara Bugis dan 572 dari pihak lain, termasuk delapan puluh tiga tentara Belanda dan sebelas pelaut Belanda. Pasukan Bugis, oleh Speelman dibagi menjadi enam pasukan. Di antara mereka yang bergabung dengan Arung Palakka adalah Arung Kaju, Arung Mampu, Daeng Malewa dan beberapa bangsawan Makassar. Pasukan Bugis di bawah Arung Palakka diperintahkan dengan kekuatan besar untuk membersihkan wilayah timur Sombaopu dari seluruh pasukan Makassar yang bertahan dan untuk menyerang serta membakar Tana-Tana dan Bontokeke.8 Sementara pasukan lain mencoba mendobrak dinding Sombaopu. Tiga kapal kecil dan sekoci Belanda berlayar ke Sungai Garassi dan menyerang Sombaopu dari selatan (KA 1161b:633v-638v; Macleod 1900: 1294-5). Penyerangan dimulai pukul 6 sore pada tanggal 14 Juni 1669 dengan memicu peledak yang telah diletakkan di terowongan rahasia. Ledakannya menimbulkan lubang sekitar selebar 27 setengah meter di salah satu dinding Sombaopu yang tebalnya mencapai tiga setengah meter dengan bahan batu merah. Ketika pasukan Makassar menyadari apa yang terjadi, sekitar dua puluh lima orang melompat melewati lubang itu untuk memukul mundur penyerang lapis pertama, sementara yang lainnya memancang tonggak-tonggak kayu untuk menutupi lubang itu. Awalnya benteng Belanda Jacatra mengarahkan senjatanya pada aktifitas ini namun Speelman segera menahannya agar serangan dapat berlangsung lagi. Sementara Speelman mengumpulkan kekuatannya, Sombaopu pun diperkuat oleh tibanya balatentara Goa di bawah Karaeng Karunrung. Malam berikutnya, pertempuran bertambah sengit, melebihi hari sebelumnya, sebagaimana digambarkan pada laporan Speelman: Mereka [pasukan Sombaopu] bertempur dengan api dan batu; mereka mempertahankan diri dengan tombak; mereka bergerak maju dengan saling mendorong satu sama lain, dan dengan bambu mereka menangkap moncong senapan sehingga harus dibebaskan dengan pedang dan badik. Tidak kurang anak panah dan jarum sumpit beracun; jambangan berisi api terus menerus melayang di mana-mana, dan banyak di antara kepunyaan kami dilempar kembali oleh musuh dan menyebabkan kerusakan. Jambangan berisi api ini menahan peluru senapan di kedua pihak, dan meriam ditembakkan tak henti-hentinya ke lubang di dinding Sombaopu. Granat dari mortir berat juga ditembakkan dan menciptakan kesan yang sangat menyenangkan. Kesemuanya ini menciptakan musik yang indah sehingga sulit untuk mengetahui, mempercayai, bahwa malam itu adalah malam yang sangat mengerikan, yang suaranya tidak pernah didengar sekalipun oleh veteran perang di Eropa. Dari pihak kami terdapat 5.000-6.000 bubuk mesiu yang digunakan di darat, dan 30.000 peluru senapan ditembakkan, di samping itu 200 jambangan berisi api dan enam puluh hingga tujuh puluh granat. Hampir tidak ada istirahat, hanya antara pukul 2 dan 3 pagi pihak musuh, yang telah mengumpulkan kekuatan besar, beristirahat sejenak. Namun lima belas menit kemudian
  • 15. pertempuran berlangsung lagi, bahkan lebih ganas daripada sebelumnya…..sekitar pukul 4 pagi mereka berhamburan ke depan dengan kemarahan meluap, dan meski meriam terus ditembakkan ke lubang itu, sekelompok pasukan tetap keluar dari palang kayu itu …..dan peperangan berlangsung hingga pagi tetapi Sombaopu tetap di tangan pasukan Makassar (KA 1161b:639r-v). Meski Speelman yakin bahwa Sombaopu akan jatuh, dia mengakui bahwa belum pernah ada perang yang menyamai perang ini, dan dia tidak mengira jika ternyata musuh memberi perlawanan begitu sengit. Dia menyebut perang ini “perang terberat yang pernah kami alami selama keberadaan komisi [perang]”. Pada tengah hari 17 Juni, pihak penyerang kehilangan lima puluh jiwa dan terluka enam puluh delapan orang, di antaranya beberapa orang Belanda dan perwira pribumi. Pada tanggal 19, hujan turun, dan ini berlangsung selama enam hari. Pada malam tanggal 22, Arung Palakka mulai gelisah dan memutuskan untuk bertindak. Dia memimpin pasukannya dan beberapa orang Bacan dan tentara Ambon di bawah Arung Bakkĕ untuk memasuki lubang di dinding benteng, yang telah dibarikade oleh pasukan Makassar. Setelah pertempuran sengit pasukan Makassar meninggalkan lubang itu, maka masuklah pasukan Bugis dan sekutunya. Meski dalam guyuran hujan pasukan Bugis terus membakar sebanyak yang mereka bisa, sehingga memaksa pasukan Makassar mundur dari bastion timur dan barat benteng istana dan mendirikan lagi pertahanan mereka di bagian selatan benteng Sombaopu. Salah satu meriam yang dinamai Anak Mangkasar, yang merupakan kebanggaan pasukan Makassar, dipindahkan ke bastion barat laut selama pemunduran pasukan. Begitu pasukan Belanda-Bugis bergerak maju dari arah barat, kabar telah tersebar bahwa Sombaopu telah ditinggalkan, dan pasukan Makasssar telah melarikan diri ke Goa dan Sungai Garassi. Sultan Hasanuddin tidak ingin pergi begitu cepat namun api, yang ditiup oleh angin baratlaut, akhirnya memaksa dia untuk pergi. Meski banyak dari pasukan Makassar melarikan diri ketika pasukan Bugis memasuki lubang, Karaeng Karunrung tetap tinggal di tempat dikelilingi oleh pengikutnya yang dengan keris terhunus menentang siapa saja yang masuk. Semua orang yang ada dalam mesjid telah dibawa keluar, dan hanya isteri Melayu Datu Soppeng, seluruh anaknya, dan sekitar delapan puluh pengikutnya yang tinggal. Di antara anaknya adalah anak tertua yang sering membual bahwa Sultan Hasanuddin telah menjanjinya untuk dijadikan penguasa Soppeng jika perang dimenangkan. Dia bahkan telah bersumpah akan membawa kepala ayahnya (Datu Soppeng) dan Arung Palakka ke Sultan Hasanuddin atau mati dalam usahanya itu (KA 1161b:664r-645v; Macleod 1900:1295-6). Kegalauan menguasai ketika Sombaopu jatuh, penjarahan semakin menjadi- jadi. Speelman memperkirakan ada sekitar 7.000 hingga 8.000 orang Bugis melakukan penjarahan, dan dia yakin bahwa satu-satunya yang mereka takuti adalah ancaman dari pemimpin mereka. Pada saat Speelman dan Arung Palakka tiba di istana Sultan Hasanuddin, rumah itu telah dijarah. Ada dua orang Bugis berdiri di
  • 16. pekarangan mengamati rampasan perang mereka. Ketika mereka melihat Arung Palakka, mereka segera menawarkan apa yang telah mereka kumpulkan. Arung Palakka menolak dan orang itu pun melanjutkan kembali pembagian barang (KA 1161b:648v). Meski Speelman mengutuk apa yang menurut dia merupakan perampasan yang tak bersusila, bahkan cenderung liar, oleh orang Bugis, namun dia melihat pasukan Bugis tetap menurut pada perintah pemimpinnya. Kedua orang tadi, yang membagi rampasan perang mereka di pekarangan Sultan Hasanuddin, tidaklah kehilangan disiplin mereka, namun hanya menjalankan apa yang sudah menjadi kebiasaan perang di Sulawesi Selatan. Mereka memahami bahwa pilihan pertama dari rampasan perang adalah untuk tuan mereka, maka ketika Arung Palakka datang mereka menawarkan apa yang telah mereka kumpulkan. Arung Palakka sendiri berpikir bahwa orang-orang ini telah menerima hak mereka dalam perang, dan ini telah diperlihatkan kepada Speelman jauh sebelumnya. Setelah penandatanganan Perjanjian Bungaya pada bulan November 1667, Arung Palakka dihadiahi sejumlah barang berharga oleh Kompeni. Selama perayaan malam itu, dia membagi hadiah ini ke para bangsawan pengikutnya dan kemudian membagi 800 rijksdaalders yang dipinjam dari Kompeni ke orang-orang terbaiknya (KA 1157a:323v). Kemampuan Arung Palakka memenuhi kewajiban kepada orang-orang yang melayaninya merupakan salah satu faktor yang mempercepat penambahan tentaranya dan meningkatkan kemasyhurannya sebagai pemimpin yang mempunyai upĕ’. Meski demikian, Speelman melihat penjarahan sebagai perbuatan menjijikkan dan memerintahkan untuk mengumpul seluruh rampasan perang di satu tempat dan dijaga oleh orang bersenjata. Karena Speelman diakui sebagai Komandan Tertinggi Sekutu, Arung Palakka terpaksa menyetujui tindakan yang sudah diduganya ini. Di kemudian hari, dia mendekati Speelman untuk meminta permisi bagi orangnya untuk melanjutkan pelucutan karena adalah tanggung jawabnya sebagai pemimpin untuk mengizinkan orang-orangnya mengambil keuntungan dari peperangan, sebagaimana akan terjadi jika pihak musuh yang menang. Tidak ada penilaian moral terhadap tindakan pelucutan setelah bahkan selama perang, karena ini memang norma yang berlaku. Harapan akan rampasan perang adalah insentif langsung bagi pasukan pribumi, dan alasan utama mengapa perang di kalangan pribumi cenderung berubah dengan cepat menjadi pesta penjarahan. Setiap pemimpin diharapkan memberi orangnya bayaran material dalam peperangan, dan lebih baik jika bayaran itu dalam bentuk harta musuh. Meski begitu, Speelman tidak rela mengadopsi praktek tradisional Sulawesi Selatan ini, dan dia menegaskan bahwa “kebijaksanaannya [Arung Palakka] dalam hal seperti ini sangatlah kecil” (KA 1161b:649r). Jumlah barang yang diambil sangat beragam. Setiap orang Bugis kelihatan tenggelam dalam barang jarahan, dengan barang yang paling dicari adalah porselen dan barang-barang yang terbuat dari tembaga. Bahkan sebuah gudang penuh barang yang dijaga oleh Daeng Manompo’, seorang pengikut setia Arung Palakka, juga dijarah. Untuk menepati janji pada Speelman, dia mengirim Arung Kaju bersama beberapa orang Toangke untuk mengembalikan barang-barang itu. Mereka
  • 17. mengembalikan barang jarahan dan langsung dijaga oleh para Toangke sendiri. Hanya tembakan yang menghalangi orang Bugis melanjutkan penjarahan, namun selama kejadian itu, Speelman mencatat bahwa tidak ada orang yang memperoleh sesedikit Arung Palakka (KA 1161b:649r-652r). Setelah penaklukan Sombaopu, Belanda memastikan bahwa benteng itu tidak akan pernah lagi digunakan sebagai benteng utama. Seluruh senjata yang ditemukan di benteng itu dibuang dan dinding yang menghadap ke utara dan ke laut serta bastion laut dihancurkan. Jumlah senjata yang direbut Belanda memberi gambaran akan persenjataan Goa. Terdapat tiga puluh tiga meriam seberat 46.000 pon dan sebelas yang seberat 24.000 pon, 145 senjata api kecil, delapan puluh tiga laras bedil, dua pelontar batu, enam puluh senapan laras panjang (musket), dua puluh tiga arquebuses (semacam yang jika digunakan diletakkan di atas kaki tiga), 127 laras senapan musket, dan sekitar 8.483 peluru (Macleod:1296-7). Jumlah senjata yang mengesankan ini digunakan dengan begitu efektif oleh Sombaopu. Tidak heran, usaha penaklukan benteng ini merupakan salah satu perang tersulit yang pernah dihadapi Kompeni di Timur. Lima hari setelah kejatuhan Sombaopu, Sultan Hasanuddin menyerahkan tahta kepada putranya I Mappasomba (“Menaklukkan”) karena dipercaya bahwa penguasa baru dengan nama yang mujur akan mengubah jalannya perang (KA 1161b:658v). Namun, pihak lain menyatakan, Sultan Hasanuddin sadar kekalahan tidak terelakkan, karena itu dia memutuskan turun dari pemerintahan sehingga tidak akan disalahkan jika mereka kalah (KA 1161b:660r). Sultan Hasanuddin memerintah ketika Goa masih merupakan kerajaan paling kuat dan dihormati di Indonesia Timur. Karena memerintah dalam masa jaya Goa, dia menolak untuk dikenang sebagai seorang penguasa yang juga memimpin kerajaan menuju kehancuran. Dengan kematian ekonomi dan politik Goa, Bone muncul sebagai kerajaan teratas di Sulawesi Selatan. Maka, Perang Makassar dicatat dalam sumber-sumber Bugis sebagai puncak sejarah Bone ketika kerajaan itu memperoleh kembali kehormatannya. Sumber-sumber ini mengingatkan kembali akan penghinaan yang terjadi tahun 1643 dan 1667 ketika Bone tidak mempunyai penguasa, sebuah situasi yang tidak dianggap enteng oleh masyarakat Bugis-Makassar yang sadar sejarah. Kata yang diterjemahkan sebagai “Kronik” (Chronicle dalam bahasa Inggris) secara harfiah berarti “Cerita para Pendahulu” (dalam bahasa Bugis attoriolong dan dalam bahasa Makassar patturioloang), pendahulu adalah para mantan penguasa kerajaan. Salah satu alasan menulis cerita ini, kata seorang penulis Kronik Makassar, supaya orang lain tidak memandang rendah mereka karena tidak punya penguasa (Abdurrahim & Wolhoff [tanpa tahun]:9). Maka, adalah kebanggaan jika sumber- sumber Bone menggambarkan bagaimana rakyat mereka memperoleh kemenangan besar terhadap Goa dengan bantuan Belanda dan memperoleh kembali penguasa dan siri’ mereka. Belanda dilihat sebagai pemeran pembantu dalam persaingan antara
  • 18. Bone dan Goa yang berlangsung selama lebih seabad ini dan mencapai puncaknya pada Perang Makassar tahun 1666-9. Para pemimpin Bone-Soppeng yang paling bertanggung jawab atas kemenangan ini menjadi pahlawan, yang nama dan keberaniannya diabadikan oleh para penutur cerita di desa-desa dan tokoh-tokohnya diabadikan dalam cerita nasihat yang ada di dokumen-dokumen tua istana. Toangke, pengikut setia Arung Palakka yang mengiringinya dalam pengasingan panjang, dihargai oleh masyarakat dengan status khusus yang bertahan hingga abad ke-20.9 Arung Belo Tosa’dĕng, kawan terdekat Arung Palakka, dikenang dengan gegap gempita dalam sumber-sumber Bone-Soppeng dan dijadikan anak Karaeng Goa dan saudara Arung Palakka dalam sebuah cerita pedesaan Makassar (L-32:15). Namun pujaan tertinggi ada pada Arung Palakka yang didewakan oleh orang Bone-Soppeng atas perbuatan yang dianggap luar biasa. Begitu kuatnya Goa pada abad ke-17, sehingga banyak orang yang mengejek gagasan militer Belanda untuk menyerang kerajaan yang digdaya itu. Namun Belanda berani menguji kekuatan mereka melawan Goa, “Ayam jantan dari Timur”, dan ternyata menang. Keterkejutan dan ketidakmengertian masyarakat Sulawesi Selatan yang mengikuti keberhasilan Belanda ditenangkan dengan penjelasan bahwa kemenangan disebabkan oleh satu orang dan upĕ’ yang dipunyainya. Orang itu adalah Arung Palakka. Maka legenda pun tersebar bahkan selama hidup Arung Palakka, dan ini melicinkan jalannya ketika memegang peran sebagai penguasa atasan di Sulawesi Selatan. Namun Arung Palakka tidak bertahta sendiri; dia berbagi kehormatan dan kekuasaan dengan VOC. Yang terakhir ini menambahkan elemen baru dan kerumitan bagi keadaan di pulau ini. Dengan VOC yang kini memancangkan kekuasaan permanen di Sulawesi Selatan, politik di wilayah ini pun tak pelak dimasukkan ke dalam pertimbangan strategis Kompeni yang lebih luas –di luar pulau Sulawesi. Di masa sebelumnya, seorang penguasa Sulawesi Selatan yang bermaksud untuk memegang posisi sebagai penguasa atasan dapat bersekutu dengan penguasa Mataram, Banten atau Aceh. Kini, karena Kompeni bisa menjadi sekutu yang potensial, pertimbangan seperti yang diambil dalam perang di Eropa dan negara- negara Asia di mana pabrik besar Kompeni berlokasi juga menjadi relevan. Segera menjadi jelas bahwa, siapa saja yang paling bisa mengetahui kepentingan Kompeni dan membantu keinginan Kompeni bahkan dengan kekuatan militer bila perlu, akan dapat mencuat dibanding yang lainnya. Perang Makassar telah menjadikan Kompeni sebagai kekuatan di, namun bukan milik, Sulawesi Selatan. Perbedaan inilah yang disadari oleh Arung Palakka dan dimanipulasi untuk menciptakan salah satu penguasa atasan paling berhasil dalam sejarah daerah ini. 1 Tidak diketahui kapan cerita rakyat ini pertama kali dikisahkan, namun ketepatannya memaparkan faktor-faktor penyebab kekalahan Goa menunjukkan; kemungkinan cerita ini dibuat tidak terlalu jauh dari kejadian yang digambarkannya, atau bertahannya detail dalam ingatan rakyat Makassar yang dengan setia menyimpannya selama beberapa abad. Teks
  • 19. tertulis dari cerita ini dibuat dari penampilan seorang pasinrili’, pada tahun 1930-an (wawancara langsung A.A. Cense, 27 Desember 1975). 2 Begitu kuatnya pengaruh Arung Palakka di Sulawesi Selatan sehingga dia sering beralih menjadi pahlawan Makassar, keterikatannya dengan Belanda dibenarkan oleh anggapan bahwa itu dilakukan untuk membalas ketersinggungan pribadi pada ayahnya, penguasa Goa. Untuk pembahasan mengenai peralihan Arung Palakka dari seorang pahlawan Bugis menjadi pahlawan Makassar, lihat L.Y. Andaya 1980. 3 Ini adalah cara lumrah untuk “menghindari kerugian”. Selama masa panjang pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan tahun 1950-1963, banyak keluarga yang salah satu anaknya berperang di pihak pemberontak dan lainnya di pihak pemerintah. Beberapa di antara mereka menjelaskan secara terbuka bahwa ini keputusan keluarga yang diambil secara sadar untuk menjamin terjaganya harta mereka. 4 Menurut sumber Belanda sezaman Syahbandar Daeng Makkulle juga memimpin sebuah armada kecil Goa yang dikirim melawan Butung sekitar bulan April atau Mei 1666 (KA 1148b:511). 5 Salah satu Kronik Bugis dari Soppeng menggambarkan kehancuran Soppeng di mana tidak ada manusia melainkan hanya babi hutan dan rusa yang dapat ditemui. Dalam episode ini pengkhianatan Bone dianggap sebagai penyebab nasib buruk Soppeng, dan banyak dari para bangsawan yang menuntut Arung Palakka agar lebih berhati-hati supaya dapat sekali lagi mentautkan peruntungan Soppeng dengan Bone. Meski kejadian ini, dalam Kronik, ditempatkan tidak lama setelah pendaratan pasukan Bugis di Bone tahun 1666, namun sangat mungkin insiden ini mengarah pada kejadian yang disebutkan berlangsung tahun 1668. Lihat L-1:30. 6 Catatan Belanda menuliskan dengan jelas “radja toua”. Apakah yang dimaksud adalah Tumailalang Toa itu tidak diketahui. Ketika beberapa pangeran Bugis memperoleh kekuasaan di Johor pada awal abad ke-18, mereka menciptakan dua jabatan yang konotasinya hanya ada di Sulawesi Selatan yaitu “Raja Muda” dan “Raja Tua”. Kedua jabatan ini dianggap sebagai penasehat utama sang penguasa (L.Y. Andaya 1975:295-6). 7 Baik Kronik Goa maupun Tallo tidak ada yang menuliskan tentang kekalahan Goa. Kronik Goa hanya memaparkan daftar penguasa dan keturunannya dari masa Sultan Hasanuddin hingga Sultan Abdul Jalil (m. 1709), bahkan tidak ada petunjuk bahwa telah terjadi perang. Lihat Abdurrahim dan Wolhoff [tanpa tahun]: 74-8. Kronik Tallo berakhir di pertengahan abad ke-17 di puncak kejayaan Makassar di Sulawesi Selatan, seakan menganggap yang terjadi setelahnya tidak berarti untuk disebutkan. Lihat Abdurrahim dan Borahima 1975:320; L-4: tanpa halaman; L-17:65 dan lainnya. 8 Dua desa ini tidak disebutkan dalam peta daerah ini yang dibuat tahun 1693. Karena orang Makassar, sebagaimana kelompok masyarakat lainnya di Indonesia, menganggap daerah yang terkena bencana sebagai daerah yang tidak menguntungkan, kemungkinan besar kedua desa ini tidak dihuni kembali (setelah bencana perang). 9 Sepanjang prosesi pelantikan Arumpone tahun 1931, keturunan Toangke diberi tempat utama. Lihat Cense 1931:4.