Dokumen tersebut membahas tentang pengembangan potensi pembangunan di Kota Tangerang melalui kerjasama pemerintah-swasta untuk mengatasi keterbatasan pemerintah dalam penyediaan sarana prasarana yang memadai akibat pertumbuhan penduduk yang pesat. Kerjasama ini diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan sarana prasarana sekaligus mempermudah proses pembangunan.
1. PENGEMBANGAN POTENSI PEMBANGUNAN DI KOTA TANGERANG
MELALUI KERJASAMA PEMERINTAH- SWASTA ( KPS )
( Public-Private Partnership )
Anton Riyanto
I. LATAR BELAKANG
Pesatnya peningkatan pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia yang mencapai 4% pertahun atau
dua kali lipat pertumbuhan penduduk Indonesia secara keseluruhan, menimbulkan permasalahan tidak
seimbangnya ketersediaan sarana prasarana dasar dan pelayanan publik dengan jumlah penduduk
( Andrew W Hammer, 1999).
Permasalahan yang muncul hampir diseluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kota Tangerang, terjadi karena
keterbatasan kemampuan pemerintah, baik berupa keterbatasan sumber daya keuangan1
, sumber
daya manusia maupun manajemen pemerintahan. Implikasi dari keterbatasan kemampuan pemerintah
ini mengakibatkan tidak seimbangnya ketersediaan sarana prasarana kota dengan kebutuhan masyarakat,
sehingga beberapa kebutuhan dasar masyarakat di Kota Tangerang, baik berupa ketersediaan air bersih,
pengelolaan persampahan, ataupun penyediaan rumah, menjadi tidak memadai.
Kondisi ini apabila tidak segera ditangani, dikhawatirkan akan menjadi faktor pemicu munculnya berbagai
permasalahan perkotaaan lainnya, seperti berkembangnya slum area, konflik sosial, penurunan kualitas
lingkungan, tingginya angka kriminalitas dll, yang pada akhirnya dapat menghambat perkembangan kota
Tangerang.
Berkenaan dengan kondisi tersebut, Pemerintah Kota Tangerang telah berupaya mencari berbagai solusi
untuk meningkatkan ketersediaan sarana prasarana perkotaan sekaligus pelayanan kebutuhan dasar
masyarakat, melalui pengenaan pajak maupun retribusi. Akan tetapi upaya yang dilakukan tersebut masih
belum memadai, seperti yang diharapkan.
Bertolak dari permasalahan tersebut diatas, maka sudah sewajarnya apabila pemerintah Kota Tangerang
lebih mengembangkan pendekatan Kerjasama Pemerintah-Swasta (public-private partnership), untuk
memenuhi ketersediaan sarana prasarana dasar perkotaan dan peningkatan pelayanan kebutuhan dasar
masyarakat..
Pendekatan ini diharapkan menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan perkotaan akibat
keterbatasan pemerintah, sehingga perkembangan kota tidak terhambat, sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Untuk merealisasikan hal tersebut maka diperlukan peran aktif pemerintah untuk
memfasilitasi terwujudnya kerjasama pemerintah-swasta dan tidak menghambat partisipasi sector
swasta. Diharapkan, melalui kerjasama pemerintah-swasta, dapat menciptakan pembangunan yang
berkelanjutan.
1
Diestimasikan Pemerintah Indonesia harus menginvestasikan sekurang-kurangnya 1,4 milyar dolar AS per tahun untuk
memenuhi kebutuhan pelayanan sarana prasarana kota kota atau sekitar seperlima (20%) dari anggaran pembangunan
(Nurmandi Achmad, MSc; 1999)
1
2. MEGA URBAN JABODETABEK
PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK
DAN AKTIFITASNYA
PENINGKATAN KEBUTUHAN DAN
PELAYANAN SARANA PRASARANA
PERKEMBANGAN KOTA TANGERANG YANG PESAT
TERBATASNYA KETERSEDIAAN DAN
PELAYANAN SARANA PRASARANA
BAGAIMANA UPAYA MELIBATKAN SEKTOR SWASTA UNTUK PENGEMBANGAN
SARANA PRASARANA KOTA, SEHINGGA PERKEMBANGAN KOTA TIDAK TERHAMBAT
TIDAK MEMADAINYA KETERSEDIAAN DAN PELAYANAN SARANA PRASARANA
DENGAN KEBUTUHAN MASYARAKAT
• TIMBULNYA PERMASALAHAN PERKOTAAN (SLUM AREA, KUALITAS
KEHIDUPAN MENURUN DLL)
• PERKEMBANGAN KOTA TERHAMBAT
PERLUNYA PELIBATAN SEKTOR SWASTA UNTUK PENGEMBANGAN
SARANA PRASARANA KOTA
URBANISASI
KETERBATASAN KEMAMPUAN PEMERINTAH
• KEUANGAN
• MANAJEMEN
• SUMBER DAYA MANUSIA
ANALISA KONDISI SARANA PRASARANA KOTA DAN KERJASAMA
PEMERINTAH-SWASTA (KPS)
Skema Kerangka Pikir
2
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
3. II. KONSEP DASAR KERJASAMA PEMERINTAH - SWASTA
Pada prinsipnya, kerjasama pemerintah-swasta untuk pelayanan publik, dilatarbelakangi oleh adanya
keterbatasan pendanaan maupun rendahnya kualitas pelayanan (inefisien dan inefektif) dari
pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik. Oleh karena itu, konsep kerjasama pemerintah-swasta,
dapat dipandang sebagai upaya pengaturan kembali, tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk
meningkatkan kualitas pelayanannya, dengan menghemat pengeluaran tanpa harus melalaikan kewajiban
pemerintah sebagai provider fasilitas publik
Pada hakekatnya, pelibatan sektor swasta dalam pengembangan sarana prasarana, akan memberikan
keuntungan baik bagi masyarakat, pemerintah maupun swasta. Bagi sektor swasta keuntungan yang
didapat dengan mekanisme ini adalah profit sedangkan bagi masyarakat adalah terpenuhinya kebutuhan
dasar masyarakat yang memadai. Adapun keuntungan bagi pemerintah, adalah mempermudah proses,
waktu penyediaan serta meringankan beban pendanaan untuk memenuhi kebutuhan sarana prasarana
perkotaan. Keuntungan lainnya yang diperoleh pemerintah, adalah terciptanya transfer teknologi dan
efesiensi managerial dari pihak swasta, yang dikombinasikan dengan rasa tanggung jawab, kepedulian
terhadap lingkungan dan pengetahuan local serta dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
2. 1. Dasar Pemikiran Perlunya Pelibatan Peran Serta Sektor Swasta
Secara umum, alasan mengapa peran serta sektor swasta perlu dilibatkan dalam pengembangan sarana
prasarana kota, adalah:
1. Keterbatasan kemampuan pemerintah ( sumber daya keuangan, sumber daya manusia maupun
manajemen pemerintahan)
2. Banyaknya bidang pelayanan perkotaan yang belum sepenuhnya ditangani oleh pemerintah,
sehingga untuk memenuhi kebutuhan yang belum tertangani oleh pemerintah, sektor swasta dapat
berperan tanpa harus mengambil alih tanggung jawab pemerintah.
3. Swasta dapat memberikan berbagai alternatif pilihan pelayanan yang lebih luwes kepada
konsumen
4. Menciptakan persaingan dan mendorong pendekatan yang bersifat kewiraswastaan dalam
pembangunan nasional
5. Peran serta swasta akan mendorong terciptanya efisiensi operasional
6. Semakin berkurangnya peran pemerintah dimasa datang ( fasilitator dan regulator) sementara
peran masyarakat dan swasta akan semakin besar
2. 2. Bentuk Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)
Terdapat beberapa bentuk kerjasama Pemerintah-Swasta, yang berkembang di Indonesia, antara lain:
1. Built , Operate dan Transfer (BOT)
2. Konsesi
3. Joint Ventures
4. Community based provision
5. Service contrak
Setiap bentuk kerjasama tersebut memiliki karakterisitik tersendiri, baik dari segi :
• Kepemilikan Aset,
• Intensitas Regulatoritas,
• Sumber Investasi (Keuangan),
• Tenaga Kerja
• Waktu Persiapan Kontrak.
3
4. Pengenalan karakteristik dari setiap bentuk kerjasama pemerintah-swasta, yang dikombinasikan dengan
penilaian kondisi kemampuan pemerintah, akan sangat membantu untuk menentukan bentuk kerjasama
yang akan dikembangkan.
Karakteristik Bentuk kerjasama Pemerintah – Swasta
SERVICE BOT
KONSESI
JOINT
VENTURE
COMMUNITY-
BASED
KEPEMILIKAN
ASET
Pemerintah Pemerintah Pemerintah
Bersama Komunitas
ITENSITAS
REGULATORITAS
Moderat Tinggi
Tinggi Moderat Moderat
SUMBER
INVESTASI
Pemerintah Swasta
Swasta Bersama
NGO, Swasta,
atau Pemerintah
TENAGA KERJA Moderat Tinggi Tinggi
Rendah Rendah
WAKTU
PERSIAPAN
KONTRAK
Moderat Tinggi Tinggi
Tinggi Rendah
III. PERMASALAHAN PENGEMBANGAN SARANA PRASARANA DI KOTA TANGERANG
Kota Tangerang sebagai bagian dari wilayah Mega Urban Jabodetabek, dan merupakan wilayah penyangga
DKI Jakarta, mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kegiatan perumahan, industri, perdagangan dan
jasa yang berkembang di Kota Tangerang, secara tidak langsung telah menjadi faktor penarik (pull factor)
bagi tinggginya arus urbanisasi ke Kota Tangerang, sehingga berdampak pada tingginya pertumbuhan
penduduk Kota Tangerang (disamping proses pertumbuhan / kelahiran alamiah )
Kondisi tersebut tercermin dari kecenderungan pertumbuhan penduduk Kota Tangerang yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari kenaikan jumlah penduduk yang cukup significant, yaitu
dari 1.416.842 penduduk pada tahun 2002, menjadi 1.466.577 pada tahun.2003, dengan rata-rata laju
pertumbuhan 3,51%. ( Tangerang dalam angka 2003).
Seiring dengan penambahan jumlah penduduk, maka terjadi pula peningkatan kebutuhan sarana dan
prasarana. Pemerintah Kota Tangerang telah berupaya untuk meningkatkan ketersediaan sarana prasarana
kota, akan tetapi keterbatasan sumber daya keuangan, sumber daya manusia maupun manajemen
pemerintahan, menyulitkan pemerintah Kota Tangerang meningkatkan ketersediaan dan pelayanan saran
prasarana kota.
Keterbatasan kemampuan pemerintah Kota Tangerang yang sangat terlihat jelas, adalah pada sumber
daya keuangan. Berdasarkan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Kota Tangerang periode
2001 - 2003, dapat diindikasikan bahwa meskipun dari tahun ketahun terjadi kenaikan anggaran, baik dari
jumlah penerimaan maupun alokasi untuk anggaran pembangunan ( anggaran publik), namun
jumlah anggaran tersebut masih kurang, untuk memenuhi kebutuhan pengembangan sarana prasarana
perkotaan yang memadai.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kota Tangerang periode 2001-2003(dalam juta rupiah)
No URAIAN 2001 2002 2003
1 Penerimaan 347.842 470.762 522.843
2 Belanja 292.788 408.313 541.144
• Rutin 169.056 217.145
• Pembangunan 123.732 191.168
• Aparatur 161.593
• Publik 357.991
4
5. Sebagai contoh terbatasnya sumber daya keuangan yang tersedia dengan kebutuhan pengembangan
sarana prasarana, dapat di lihat dari perbandingan antara total penerimaan Kota Tangerang ataupun alokasi
untuk anggaran publik (pembangunan) dengan besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk pengembangan
sarana prasarana air minum ataupun pelayanan persampahan.
Untuk pengembangan pelayanan air minum Kota Tangerang yang memadai pada tahun 2004, setidaknya
diperlukan dana sebesar Rp. 200 milyar. Apabila kebutuhan dana ini tidak dapat dipenuhi, maka dana yang
dibutuhkan akan semakin membesar pada tahun mendatang, seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk yang harus dilayani. (Sumber:PDAM Kota Tangerang 2004)
Adapun untuk pelayanan persampahan, Dinas Kebersihan Umum Kota Tangerang sebagai pengelola
pelayanan persampahan, akan membutuhkan tambahan anggaran, rata-rata sebesar 17.244 milyar/tahun
untuk meningkatkan pelayanan pengelolaan sampah hingga mencapai tahapan ideal dari tahun 2004 –2010,
(Sumber Dinas PU Kota Tangerang 2004 ).
Tingkat Pelayanan Sampah Dan Kebutuhan Anggaran / tahun
Uraian 2004 2005 206 2007 2008 2009 2010
Tingkat pelayanan ( % ) 64,39 69.83 74.56 79.59 84.16 88.29 92.66
Anggaran yang dibutuhkan
(Dalam Jutaan Rupiah)
13.647 11.896 14.685 16.807 18.772 20.949 23.954
Rata-rata anggaran/tahun 17..244
Sumber: Dinas PU Kota Tangerang 2004
Berdasarkan contoh tersebut diatas, maka dapat prediksikan bahwa hanya untuk pengembangan air minum
dan pelengelolaan sampah saja, beban belanja Pemerintah Kota Tangerang akan meningkat sebesar ± Rp.
218 milyar, dari Rp. 541 milyar menjadi ± Rp. 759 milyar atau naik 41%. Kenaikan beban belanja ini, jauh
lebih kecil dari rata-rata kenaikan penerimaan sebesar 23%. dari tahun 2001 – 2003. Beban belanja Kota
Tangerang ini masih akan bertambah dengan adanya kebijakan di bidang pendidikan, dimana Pemerintah
berencana membangun 214 sekolah selama 3 tahun (Tahun 2005 – 2007) dengan perkiraan biaya sebesar
213,5 milyar (belum termasuk bunga bank)
Bertolak dari hal tersebut, maka pemerintah kota Tangerang harus mensiasati ketimpangan keterbatasan
sumber daya keuangan dengan kebutuhan pengembangan sarana prasarana perkotaan. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan adalah dengan lebih mengembangkan konsep Kerjasama Pemerintah-Swasta
(KPS) atau Public Private Partnership.
Pengembangan konsep ini, secara legalitas tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, karena telah terakomodir pada Perda No.17 tahun 2000 tentang Kerjasama Pemerintah
Daerah dengan Badan Usaha Swasta. Diharapkan melalui kerjasama pemerintah-swasta, ketersediaan
sarana prasarana serta pelayanannya, akan meningkat tanpa terlalu membebani anggaran dan melalaikan
kewajiban pemerintah sebagai provider dan regulator pelayanan publik. Secara tidak langsung, hal ini akan
menciptakan kesejahteraan masyarakat, sekaligus memberikan kontribusi yang cukup signifikant, bagi
peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Sebagai langkah awal untuk mengembangkan konsep KPS, maka Pemerintah Kota Tangerang harus
menganalisa kondisi sarana prasarana yang ada, untuk mengetahui tingkat ketersediaan dan
pelayanan untuk setiap jenis sarana prasarana. Berdasarkan hasil analisa tersebut, yang dikombinasikan
dengan analisis kemampuan pemerintah (dana, manajemen dan SDM), maka akan didapat strategi
(kebijakan ) Pemerintah Kota Tangerang, baik berupa sarana prasarana yang hendak dikerjasamakan,
bentuk kerjasama yang diinginkan, skala prioritas, maupun tujuan yang ingin dicapai dari kerjasama.
5
6. 3.1. Potensi Sarana Prasarana Yang Dapat Dikembangkan Melalui Kerjasama Pemerintah- Swasta (KPS )
Seperti yang telah uraikan sebelumnya, bahwa untuk mengembangkan konsep KPS, Pemerintah Kota
Tangerang harus jeli untuk menilai kondisi sarana prasarana yang kurang memadai, tetapi memiliki
potensi untuk dikerjasamakan. Hasil “analisa awa”l mengindikasikan bahwa sarana prasarana kota di Kota
Tangerang yang memiliki potensi untuk dikembangkan melalui konsep KPS, dapat dibedakan menjadi 2
(dua) katagori, yaitu:
A. Sarana prasarana kota yang “sudah dikelola”
B. Sarana prasarana kota yang “belum” dikelola
3.1.1. Sarana Prasarana Kota Yang Sudah Dikelola
Terdapat beberapa sarana prasarana di Kota Tangerang, yang saat ini dikelola oleh pemerintah, namun
pengelolaannya masih belum optimal, sehingga masih diperlukan pengembangan. Sarana prasarana
tersebut adalah
1. Air Bersih
Pelayanan air bersih melalui perpipaan di Kota Tangerang dikelola oleh PDAM Kabupaten
Tangerang, PDAM Kota Tangerang dan sebagian kecil swasta dengan cakupan layanan mencapai
30% dari seluruh penduduk ( 26% oleh PDAM Kabupaten Tangerang dengan kapasitas 740 l/det,
42.546 sambungan dan 4% oleh PDAM Kota Tangerang dengan kapasitas 235 l/det; 8.807
sambungan).
Sebagai kebutuhan dasar masyarakat, ketersediaan air bersih di Kota Tangerang masih kurang
memadai sehingga memerlukan investasi untuk memperluas cakupan pelayanan. Hal ini
didasarkan atas pertimbangan:
a. Komitmen Pemerintah Indonesia, pada Millenium Development Goal (MDG), melalui
program Indonesia Sehat, yang berupaya untuk meningkatkan cakupan pelayanan air bersih
sebesar 91,2% dari seluruh penduduk perkotaan pada tahun 2015
b. Terbatasnya cakupan pelayanan air bersih melalui perpipaan (PDAM) yang saat ini, hanya
mencapai 30% dari total penduduk di Kota Tangerang, dibandingkan dengan dengan standard
cakupan pelayanan air bersih penduduk perkotaan sebesar 80%
• Wilayah yang belum terlayani oleh PDAM, antara lain sebagian besar wilayah
kecamatan Ciledug, Larangan dan Karang Tengah..
c. Masih terbatasnya kapasitas PDAM (kota dan Kabupaten) sebesar 975 liter/detik,
dibandingkan dengan proyeksi kebutuhan air Kota Tangerang untuk domestik (rumah tangga)
pada tahun 2010, sebesar 4.166 liter/detik (Sumber: RTRW Kota Tangerang 1994-2010).
Hal lainnya yang sangat mendukung bagi peningkatan pelayanan air bersih adalah:
• Arah kebijakan pengembangan kota Tangerang sebagai kota Industri, perdagangan /
jasa serta permukiman, sehingga diperlukan dukungan pelayanan air bersih yang
optimal.
• Sektor Industri merupakan “Pasar potensial“ bagi produk air bersih, dikarenakan
tingginya penggunaan air bersih.
• Mengurangi pengambilan “airtanah dalam” yang berlebihan oleh sektor industri, yang
dapat menurunkan kualitas lingkungan
• Retribusi air bersih dari sektor industri yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
rumah tangga, dapat digunakan untuk subsidi silang, bagi masyarakat yang tidak mampu.
2. Sampah
Pelayanan sampah di Kota Tangerang, dilakukan oleh sub dinas Kebersihan Pekerjaan Umum.
Saat ini, pelayanan sampah masih kurang memadai, sehingga masih diperlukan investasi untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kurang optimalnya pelayanan sampah di Kota
Tangerang, didasarkan atas fakta:
6
7. a. Masih Banyaknya Sampah Yang Belum Terangkut
• Jumlah sampah padat yang dihasilkan Kota Tangerang (sampah domestik dan non
domestik) pada tahun 2004, diestimasikan sebesar 3.299 m3
/hari, dengan volume
sampah yang dapat diangkut sebesar 2.124 m3
/hari (64,39%), sehinggga masih terdapat
1.175 m3
/hari, sampah yang tidak terangkut (Sumber : Dinas PU Kota Tangerang 2004)
b. Kecenderungan Peningkatan Volume Sampah Yang Dihasilkan Dan Tidak Terangkut
Pada Masa Yang Akan Datang
• Kecenderungan meningkatnya pertumbuhan penduduk Kota Tangerang dari tahun ke
tahun, secara tidak langsung berdampak pada semakin meningkatnya volume sampah
yang dihasilkan.
• Volume sampah yang dihasilkan akan mencapai 4.079 m3/hari, pada tahun 2010,
dengan estimasi setiap penduduk menghasilkan sampah sebesar 2 liter/org/hari.
(Sumber : Dinas PU Kota Tangerang, 2004)
• Volume sampah yang tidak terangkut pada tahun 2010 akan mencapai 1.955 m3/hari,
apabila tidak ada investasi peningkatan pelayanan sampah yang signifikant (Sumber :
Dinas PU Kota Tangerang, 2004)
PROYEKSI PENINGKATAN SAMPAH DI KOTA TANGERANG
0
1000
2000
3000
4000
5000
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
TAHUN
VOLUMESAMPAH
(M3/HARI)
VOLUME SAMPAH
(M3/HARI)
TIDAK TERANGKUT
(M3/HARI)
c. Tidak Tercapainya Target Retribusi Sampah
• Adanya kecenderungan ( trend) penurunan realisasi peneriman dari tahun ke tahun
TARGET DAN REALISASI RETRIBUSI SAMPAH
TAHUN TARGET (Rp)
REALISASI
(Rp) SELISIH (Rp)
1999/2000 510.972.000 436.588.500 -74.383.500
2000/2001 400.000.000 306.346.000 -93.654.000
2001/2002 1.000.000.000 344.840.000 -655.160.000
2002/2003 864.000.000 322.680.000 -541.320.000
2003/2004 900.000.000 73.408.500 - 826.591.500
7
8. • Pada prinsipnya, realisasi pendapatan retribusi sampah haruslah meningkat setiap
tahun, mengingat kecenderungan kenaikan jumlah penduduk, akan berdampak pada
meningkatnya jumlah sampah yang dihasilkan
3. Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA)
Tempat pembuangan sampah resmi di Kota Tangerang terletak di sebelah selatan Desa Kedaung
Wetan, Rawa Kucing, Neglasari, seluas 8 Ha (2 Ha milik Pemda dan 6 Ha swasta), dengan lahan
yang masih tersedia sebesar 0,25 Ha. Saat ini telah direncanakan lokasi TPA baru seluas 10 Ha
di desa Jatiwaringin, Kab Tangerang, namun hingga kini, belum dioperasikan.
Pola pengelolaan sampah yang digunakan di TPA, adalah berupa open dumping dan
compositing, namun secara operasional, pola open dumping (pembuangan secara terbuka)
lebih sering dilakukan, sehingga kurang baik bagi kondisi lingkungan sekaligus rentan akan
keterjadian konflik ( Contoh Kasus: TPA Bantar Gebang, Bojong, Leuwigajah)
Berdasarkan permasalahan tersebut, dapat disimpulkan bahwa partisipasi / kemitraan swasta
dalam pengelolaan TPA terutama dalam hal pengelolaan sampah yang ramah lingkungan di
Kota Tangerang, memiliki prospek untuk dikembangkan.
4. Pengelolaan Air limbah ( IPAL dan IPLT )
Sistem pengelolaan air limbah yang beroperasi di Kota Tangerang saat ini berupa sistem setempat
(on site) dan sistem terpusat (of site). Adapun sistem terpusat yang dilengkapi dengan instalansi
pengolahan, memiliki kondisi sebagai berikut:
NO IPAL /
IPLT
Cakupan Layanan Sistem
Pengolahan
Keterangan
1 IPAL
Tanah
Tinggi
kelurahan Sukasari –
Babakan Ujung
sebanyak 2750 rumah
(11.7000 jiwa)
• oxidation ditch
• Kapasitas 2,30
m3/jam (55,2
m3/hari
2 IPAL
Karawaci
kelurahan Karawaci
sebanyak 7043 rumah
oksidation
dengan 7 unit
kolam oksidasi
Penurunan kinerja kolam
oksidasi,akibat perubahan
fungsi rumah menjadi home
industri ( salon atau bengkel) yg
mempengaruhi kualitas limbah
3 IPLT
Kelurahan
Bawang
karawaci
Kelurahan Karawaci
sebanyak 20.000
rumah
kapasitas
70m3/hari
kerjasama pemerintah-swasta
(pola inti Konsultama; 17-4-
2002, untuk jangka 5 tahun
Berdasarkan kondisi seperti tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan
pengelolaan air limbah saat ini masih kurang optimal, dikarenakan:
• Terbatasnya truk pengangkut tinja
8
TARGET DAN REALISASI RETRIBUSI SAMPAH
0
200.000.000
400.000.000
600.000.000
800.000.000
1.000.000.000
1.200.000.000
2000 2001 2002 2003 2004
TAHUN
PENDAPATAN REALISASI (Rp)
TARGET (Rp)
9. • Terbatasnya IPLT, menyebabkan pembuangan lumpur septik dari sistem setempat (on
site) dan sistem terpusat (of site) di pusat kota disatukan pada IPAL Tanah Tinggi
• Kondisi instalasi pengolahan kolam biologis, mengalami pendangkalan, sehingga
pengolahan / reduksi kualitas air limbah tidak optimal
5. Parkir
Sistem pengelolaan parkir yang terdapat di Kota Tangerang, terdiri dari 2 jenis, yaitu parkir on
street (sepanjang jalan) dan Of street ( pertokoan mal ). Pengelolaan parkir (parkir on street) di
Kota Tangerang saat ini dilakukan oleh Dinas Perhubungan, dan belum dikelola secara khusus
melalui ”pembentukan badan perparkiran”.
Kondisi pengelolaan parkir on street pada saat ini, masih kurang memadai. Kondisi ini tercerminkan
dari :
a. Timbulnya kemacetan lalulintas pada lokasi parkir on street.
b. Tidak tercapainya target pendapatan yang ditetapkan, padahal besaran target yang
ditetapkan cukup rendah.
• Berdasarkan target pendapatan tahun 2003, sebesar Rp.375.500.000/tahun, maka
dengan asumsi tarif parkir sebesar Rp.1000, jumlah kendaraan yang diparkir
sepanjang jalan umum di Kota Tangerang hanya sebesar 1028 kendaraan/hari.
• Hasil analisa studi transportasi Kota Tangerang 2000, menunjukan jumlah rata-rata
kendaraan parkir dapat mencapai 116 kendaraan/hari, hanya untuk ruas Jl.
Kisamaun.
TARGET DAN REALISASI RETRIBUSI PARKIR KOTA TANGERANG
0
50.000.000
100.000.000
150.000.000
200.000.000
250.000.000
300.000.000
350.000.000
400.000.000
2000/2001 2001/2002 2002/2003
TAHUN
PENDAPATAN
TARGET (Rp)
REALISASI (Rp)
c. Adanya Penurunan realisasi pendapatan pada tahun 2002/2003 dibandingkan tahun
2001/2002, dengan besaran target pendapatan yang ditetapkan sama.
• Pada prinsipnya realisasi pendapatan retribusi parkir harus dari tahun ketahun harus
meningkat, mengingat pesatnya perkembangan Kota Tangerang
6. Rumah Susun Sewa (Rusunawa)
RETRIBUSI PARKIR
TAHUN TARGET (Rp) REALISASI (Rp) SELISIH (Rp) KETERANGAN
2000/2001 283.500.000 146.916.100 -136.583.900 Parkir jalan umum
2001/2002 375.000.000 186.554.700 -188.445.300 Parkir jalan umum
2002/2003 375.500.000 179.297.000 -196.203.000 Parkir jalan umum
9
10. Perkembangan industri dan perdagangan yang pesat di Kota Tangerang, berimplikasi pada
peningkatan jumlah penduduk, dan mengakibatkan munculnya permasalahan kebutuhan tempat
tinggal (rumah). Hal ini dikarenakan semakin berkembangnya kota, ketersediaan lahan untuk
pemukiman akan semakin terbatas, akan tetapi seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk,
permintaan rumah akan semakin meningkat.
Konsekuensi dari kondisi tersebut mengakibatkan harga lahan menjadi tinggi, dan secara tidak
langsung memicu mahalnya harga rumah. Akibatnya, sebagian masyarakat yang tidak mampu,
menempati lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya ataupun tidak layak huni.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah Kota Tangerang, mengembangkan rumah
susun sewa (rusunawa) di Kecamatan Karawaci yaitu Rusunawa Alam jaya, Manis Jaya, Manis
(I,II,II, IV ) dan Manis (V,VI,VII).
Total unit kamar yang tersedia dari keseluruhan rusunawa adalah sebesar 560 unit dan telah
terjual (tersewa) seluruhnya.(Sumber: Dinas Perkim) Rumah susun tersebut dikelola oleh
pemerintah kota, Perumnas dan kerjasama pemerintah-swasta,
Ketersediaan rusunawa di Kota Tangerang, masih dirasakan belum mencukupi kebutuhan tempat
tinggal, sehingga memerlukan pengembangan (penambahan) rusunawa. Hal ini didasarkan atas
pertimbangan :
a. Perkembangan kota Tangerang sebagai kota industri, perdagangan dan jasa
• Kegiatan industri di Kota Tangerang saat ini sekitar 1000 perusahaan, dengan 31,4%
penduduk, bekerja di sektor industri, yang pada umumnya merupakan pendatang dan
merupakan kelas pekerja (buruh) yang tidak mampu membeli rumah.
• Perusahaan industri tidak menyediakan fasilitas perumahan bagi karyawannya, sehingga
karyawan menempati rumah tidak layak huni ( kontrakan/ bedeng) dan mengakibatkan
kekumuhan (kualitas lingkungan menurun)
b. Tingginya minat masyarakat untuk mendiami rumah susun sewa yang ditunjukan dari jumlah
pemohon yang melebihi kapasitas unit rusunawa yang tersedia
c. Terbatasnya kemampuan daya beli masyarakat ( masyarakat miskin) .
• Setiap tahun kota Tangerang membutuhkan 12.600 unit rumah2
. 22% dari total rumah
tangga yang ada di Kota Tangerang adalah keluarga miskin3
, yang tidak mampu membeli
rumah, sehingga menempati rumah tidak layak huni ( slum area ) atau pemukiman ilegal4
(skuater area)
• Untuk itu dibutuhkan 2.6005
unit rumah bagi masyarakat tidak mampu
7. Terminal
2
Pertumbuhan penduduk Kota Tangerang 48.000 jiwa pertahun. Dengan asumsi 1 keluarga terdiri dari 4 orang ,
maka kebutuhan rumah baru di Kota Tangerang sebesar 12.600 rumah/tahun (sumber: SPAR Kota Tangerang
2000)
3
Keluarga miskin diketemukan disemua penjuru kota di Indonesia dengan kisaran 20-40% dari total rumah
tangga yang ada disetiap kelurahan. Pada Kota Tangerang, diperkirakan 22% dari total rumah tangga yang ada,
merupakan keluarga miskin. ( Sumber: SPAR Kota Tangerang 2000)
4
Terdapat 71 lokasi kampung kumuh dan 1674 KK atau 7081 jiwa yang menenmpati wilayah squater (Sumber:
Strategi penanganan squater Kota Tangerang, 2004; Dinas Perkim)
5
Untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal dari keluarga miskin di Kota Tangerang , maka 22% dari 12.600
rumah baru/tahun atau 2.600 unit rumah baru yang murah harus tersedia, agar terjangkau oleh keluarga miskin
(sumber SPAR Kota Tangerang 2000)
10
11. Terdapat 5 buah terminal di Kota Tangerang yaitu 1 Terminal Tipe A yaitu Terminal Poris Plawad
dan 4 terminal Tipe C yang terdiri dari Terminal Ciledug, Terminal Cimone, Terminal Cibodas
sertaTerminal Pasar Baru. Terminal ini melayani Angkutan Dalam Kota, Angkutan Kota Kabupaten
(KOKAB), Angkutan Tangerang-DKI Jakarta, Angkutan Kota Dalam Propinsi (AKDP) dan Angkutan
Kota Antar Propinsi (AKAP)
Terminal angkutan umum merupakan titik simpul dalam jaringan transportasi jalan, yang
berfungsi sebagai pelayanan umum sekaligus tempat pengendalian pengawasan dan
pengaturan lalulintas. Oleh karena itu, terminal memiliki berbagai fungsi, baik untuk penumpang,
pemerintah maupun operator/pengusaha.
Terkait dengan fungsi terminal bagi pemerintah, maka terminal berfungsi untuk menata lalulintas,
sumber pemungutan retribusi dan pengendali kendaraan umum. Fungsi ini tidak sepenuhnya
dilaksanakan, berdasarkan kondisi:
a. Munculnya terminal-terminal bayangan, yang berdampak pada kesemrawutan / kemacetan
lalulintas serta banyaknya angkutan umum ilegal yang beroperasi
b. Tidak berfungsinya terminal, sebagai tempat menaikan dan menurunkan penumpang, tetapi
hanya dilintasi oleh angkutan umum
c. Adanya penarikan retribusi terminal dilakukan diluar terminal (dijalan raya)
d. Tidak tercapainya taget retribusi terminal yang telah ditetapkan.
• Adanya kecenderungan tidak tercapainya target penerimaan retribusi terminal dari
tahun ketahun
TAHUN TARGET REALISASI
2000 825.000.000 326.873.700
2001 600.000.000 589.657.600
2002 650.000.000 531.434.800
2003 850.000.000 839.904.600
• Hasil analisa studi transportasi Kota Tangerang tahun 2000, menunjukan bahwa
retribusi terminal dapat mencapai Rp. 1.377.729.000,- hanya untuk Angkutan
Dalam Kota ( Angkutan yang terdapat di Kota Tangerang adalah Angkutan Dalam
Kota, KOKAB, Angkutan Tangerang-DKI Jakarta, AKDP dan AKAP)
8. Agribisnis pada Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP)
Keberadaan Bandara Soekarno Hatta Di Kota Tangerang, berimplikasi pada terdapatnya kawasan
khusus untuk keamanan bandara berupa kawasan keselamatan operasi penerbangan. Kawasan ini
dikembangkan secara terbatas, sehingga sebagian dari wilayah ini diperuntukan bagi
pengembangan pertanian (Agribisnis).
Pengembangan agribisnis pada kawasan ini memiliki prospek yang cukup baik, mengingat :
11
TARGET DAN REALISASI RETRIBUSI TERMINAL
0
100.000.000
200.000.000
300.000.000
400.000.000
500.000.000
600.000.000
700.000.000
800.000.000
900.000.000
2000 2001 2002 2003
Tahun
Pendapatan
TARGET
REALISASI
12. • Perkembangan kota Tangerang yang cukup pesat dengan jumlah penduduk yang cukup
banyak, sudah merupakan potensi ”pasar lokal ” bagi produk pertanian
• Kedudukan Kota Tangerang dalam skala regional (Jabodetabek), dapat menjadi potensi
”pasar regional” bagi produk pertanian
• Tangerang sebagai Kota Industri dan adanya rencana pengembangan ”Bandara City”, dapat
memperbesar ”pasar” bagi produk pertanian.
9. Rumah Potong Hewan ( RPH )
Di Kota Tangerang terdapat 3 (tiga) RPH yaitu RPH Karawaci, RPH Gondrong dan RPH Bayur
serta satu TPH (Tempat Pemotongan Hewan) sapi/kerbau., yaitu TPH Sumur Pacing. Dari ketiga
RPH tersebut, RPH Bayur (klasifikasi type B) dengan daya tampung 300-400 ekor sapi/kerbau
dikelola oleh Pemerintah Kota Tangerang
Adapun kondisi dari RPH dan TPH yang terdapat di Kota Tangerang adalah sebagai berikut:
NO RPH
Jumlah Pemotongan / hari
Aset Keterangan
2002 2003 2004
1 Bayur 20 28 37 Pemerintah
2 Karawaci 83 98 90 Swasta SNI
3 Gondrong 25 26 27 Swasta
4 TPH Sumur Pacing 14 19 5 Swasta Ilegal
Rata-rata 142 171 159
Berdasarkan kondisi RPH seperti tersebut diatas, maka keberadaan RPH Bayur yang merupakan
milik pemerintah, masih belum optimal dikarenakan:
• Jumlah hewan yang dipotong relatif lebih sedikit dibandingkan dengan RPH karawaci milik
swasta sedangkan pada sisi lainnya permintaan pasar terhadap daging sapi di Kota
Tangerang (tahun 2004 sekitar 300 ekor/hari, dan baru terpenuhi 159 ekor/hari.)
• Standard pelayanan yang belum memenuhi syarat (RPH karawaci memilki standar nasioanl
Indonesia / SNI)
• Cenderung tidak tercapainya target penerimaan retribusi yang sudah ditetapkan
• Masih adanya tempat pemotongan hewan yang ilegal
Bertolak dari hal tersebut, maka sudah selayaknya dipertimbangkan kerjasama pemerintah-
swasta untuk peningkatan kondisi pelayanan RPH Bayur.
3.1.2. Sarana Prasarana Kota Perkotaaan Yang Belum Dikelola
Perkembangan Kota Tangerang tidak terlepas dari kebijakan regional (Jabodetabek), mengingat kedudukan
Kota Tangerang sebagai bagian dari metropolitan Jabodetabek. Salah satu implikasi dari cepatnya
perkembangan kota, adalah munculnya kebutuhan pengembangan sarana prasarana perkotaan, untuk
mengimbangi akselerasi perkembangan kota yang berjalan dengan cepat.
Sarana dan prasarana perkotaaan tersebut, sampai saat ini belum dikembangkan / dikelola, dikarenakan
untuk mengembangkannnya dibutuhkannya investasi yang sangat besar. Sarana prasarana kota tersebut
adalah:
1. Sarana Prasarana Jalan
a. Frontage tol, sepanjang jalan tol Jakarta-Merak
Jalan sejajar tol (frontage tol) ruas Jl. Thamrin – Jl. Gatot Subroto
Jalan sejajar tol (frontage tol) ruas Jl. Thamrin – Jl. Hasyim Asyhari – Puri Kembangan;
b. STA 11
c. STA 15.400
Rencana pengembangan sarana prasarana kota jalan ini, telah terakomodir pada kebijakan sistem
transportasi Kota Tangerang, dengan tujuan umum:
12
13. • Menyeimbangkan pesatnya pertumbuhan yang terjadi di poros utara – selatan (Serpong-
Bandara),
• Pemecahan beban lalulintas kearah bandara Soekarno-Hatta, yang selama ini hanya
dilayani oleh jalan Tol Soedyatmo.
• Pemisahan pergerakan penumpang dan barang yang berasal dari Jl. Daan Mogot.
• Pengembangan terminal terpadu
Realisasi pengembangan jalan penghubung ini, pada masa depan akan semakin penting,
mengingat adanya rencana peningkatan kapasitas pelayanan bandara dan pembangunan Bandara
City, yang berimplikasi pada meningkatnya arus lalulintas dari dan ke Bandara Soekarno–Hatta.
2. Pembangunan Pusat Kota Baru ( CBD )
Secara legalitas, rencana pembangunan ”pusat kota baru” sudah tertuang didalam RTRW Kota
Tangerang ( Perda No.23 tahun 2000). Salah satu potensi penunjang rencana ini adalah :
• Kawasan Pusat Kota Baru Tangerang berada pada lokasi strategis dengan tingkat
aksesibilitas yang tinggi ke/dari Bandara Soekarno – Hatta, dilayani dengan jaringan
kereta api, jalan Negara dan jalan tol.
• Terdapatnya lahan seluas ± 240 Ha, yang merupakan aset pemerintah pusat
( Departemen Hukum dan HAM), yang sebagian besar masih berupa lahan tidak
terbangun (lahan pertanian).
Saat ini, pengembangan ”Pusat Kota Baru” sudah dimulai dengan pembangunan Pusat
Pemerintahan (Puspem), sedangkan sarana prasarana kota penunjang lainnya belum
dilaksanakan/ terealisasi.
3. Pengembangan Dry Port ( Peti Kemas )
Secara legalitas rencana pengembangan Dry Port (Peti kemas) sudah tertuang didalam RTRW
Kota Tangerang. Potensi pengembangan dyr port memiliki prospek yang cukup baik, dengan
pertimbangan:
• Kota Tangerang merupakan kota industri, perdagangan / jasa, sehingga dengan adanya
dry port, dapat menjadi penunjang kegiatan industri
• Keberadaan Bandara Soekarno-Hatta dan rencana pengembangan Bandara (Airportt
City), sehingga ketersediaan dry port dapat berfungsi sebagai kelengkapan fasilitas /
penunjang Bandara.
• Rencana pengembangan Pelabuhan Banjarnegara
4. Pengembangan Pusat Kota Lama ( Revitalisasi)
Revitalisasi adalah upaya untuk mengembalikan serta menghidupkan kembali vitalitas kawasan
kota yang dulunya pernah vital/hidup akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi,
melalui intervensi fisik dan non fisik (rehabilitasi ekonomi, rekayasa sosial-budaya serta
pengembangan institusional).
Gejala kemunduran suatu kawasan di Kota Tangerang, mulai terlihat di Kawasan Kota Lama
(Pasar Lama - Jl . Kisamaun). Kondisi ini tercermin dari preferensi masyarakat yang lebih memilih
pergi ke kawasan lainnya yang lebih menarik, dibandingkan ke ‘Pusat kota lama’. Apalagi, “pusat
kota lama” ini memiliki persoalan dengan lalu lintas yang padat. Kondisi ini dikhawatirkan lambat
laun akan menjadikan “pusat kota lama” menjadi area yang “mati” pada masa yang akan datang.
Potensi revitalisasi “kawasan kota lama”, memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan,
mengingat sarana prasarana kota yang sudah tersedia serta masih bergeraknya kegiatan
perekonomian, pada wilayah ini.
5. Pengembangan Sungai Cisadane ( Water Front City )
Era otonomi dan Globalisasi berimplikasi pada tingginya tingkat kompetisi antar kota untuk menarik
investor, agar perkembangan kota dapat terus berkembang. Secara tidak langsung, kondisi ini
13
14. mengharuskan pemerintah kota untuk lebih jeli menggali berbagai potensi yang ada, sehingga
dinamika perkembangan kota dapat terus berjalan.
Salah satu potensi yang terdapat di Kota Tangerang, dan belum dikelola dengan baik adalah
keberadaan sungai Cisadane. Saat ini, potensi Sungai Cisadane, hanya dimanfaatkan sebagai
bahan baku air bersih bagi PDAM, bahkan kondisinya cenderung semakin berkurang, dengan
adanya pembuangan limbah, pemukiman kumuh dll.
Salah satu upaya untuk mengoptimalkan potensi sungai adalah dengan penataan sungai (water
front cities). Melalui rencana penataan sungai ini diharapkan kelestarian sungai akan terjaga,
sekaligus dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan wilayah (munculnya pusat
pertumbuhan/ kegiatan ekonomi bagi peningkatan PAD),
IV. UPAYA PENGEMBANGAN MEKANISME KERJASAMA PEMERINTAH-SWASTA
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kota Tangerang sudah seharusnya
lebih menekankan upaya pelibatan sector swasta didalam mengembangkan sarana prasarana, mengingat
pemerintah memiliki keterbatasan kemampuan, terutama keterbatasan sumber daya keuangan.
Keberhasilan kerjasama pemerintah- swasta hanya dapat diraih dengan adanya pengertian antara pihak
swasta dan Pemerintah. Untuk mencapai hal tersebut, maka upaya awal yang harus dilakukan pemerintah,
adalah dengan menarik perhatian (minat) sektor swasta untuk berperanserta mengembangkan sarana
prasarana kota. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pemerintah mempromosikan sarana prasarana kota yang hendak dikerjasamakan (Pemerintah
berinisiatif mengajukan usulan kegiatan)
• Upaya promosi dapat dilakukan dengan lebih menfungsikan badan / kantor yang memiliki
akses dengan pihak swasta seperti Dinas Indagkopar, KPMP atau KPDE
• Memanfaatkan event berskala local, regional atau nasional, seperti Hut Kota Tangerang,
Musrenbang, event promosi dll.
2. Pemerintah merespon sector swasta yang berinisiatif mengajukan usulan kerjasama pengembangan
sarana prasarana kota
Kedua upaya tersebut perlu didukung dengan terlebih dahulu menyiapkan Prosedur (Panduan) Dasar,
bagi pelaksanaan kerjasama pemerintah - swasta.
4.1. Prosedur (Panduan) Dasar Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah-Swasta
Secara garis besar terdapat empat (4) tahapan yang harus dilakukan pemerintah daerah untuk tercapainya
kesepakatan kerja sama antara pemerintah dan swasta, yaitu:
1. Persiapan proyek
2. Analisa pemilihan bentuk kerja sama pemerintah-swasta
3. Proses pelibatan partisipasi pihak swasta
4. Membuat hubungan kerja sama yang kuat dan berkelanjutan
A. Persiapan Proyek
Merupakan tahapan awal dari rencana pelaksanaan kerjasama pemerintah-swasta. Materi yang perlu
dilakukan pada tahapan ini adalah:
1. Identifikasi pelayanan sarana prasarana kota: Apakah cukup baik atau buruk, dengan
analisisnya terdiri dari :
• Kepemilikan aset yang ada termasuk sarana prasarana kota, modal dan tarif
• Cakupan pelayanan yang ada ;
• Keadaan kepuasan konsumen secara menyeluruh ;
• Perbandingan pendapatan dan biaya yang ada.
2. Penentuan Tujuan; Adanya kejelasan tujuan yang hendak dicapai apakah perbaikan
pelayanan, perluasan cakupan ataupun peningkatan standar pelayanan
3. Pembentukan Tim Pengkaji; Apabila hasil indentifikasi pelayanan dan penentuan tujuan,
merekomendasikan perlunya keterlibatan pihak swasta, maka pemerintah perlu membentuk tim
pengkaji multidisiplin ilmu.
14
15. Tugas tim pengkaji adalah menilai kelayakan usulan/ proposal kerjasama yang diajukan pihak
swasta, baik dari segi teknologi yang akan digunakan, struktur pembiayaan, aspek sosial,
politik, maupun hukum dan perundangan (Aspek Teknis, non teknis maupun keuangan)
B. Analisa Pemilihan Bentuk Kerjasama Pemerintah-swasta
Pada tahapan ini, kegiatan yang harus dilakukan adalah:
1. Menilai kelayakan usulan / proposal kerjasama yang diajukan oleh pihak swasta, berupa:
• Penentuan Model kerjasama pemerintah-swasta
• Jangka waktu kerjasama
• Keuntungan dan kerugian
• tarif dan kontribusi
• Tantangan dan hambatan dalam kerjasama pemerintah-swasta
• Aspek kelembagaan dan dasar hukum
Pemerintah sebagai provider harus cermat memilih sistem kerjasama apa yang akan digunakan
dengan segala pertimbangan. Salah satu pertimbangannya adalah ketersediaan dana yang ada
pada pemerintah, artinya dengan dana yang ada, fasilitas apa yang dapat disediakan dan
seberapa besar jangkauan pelayanannya. Selain itu, pemerintah harus menetapkan pula standar-
standar performances yang harus disiapkan oleh swasta dalam penyediannya
2. Membuka dialog dengan beberapa partner swasta yang berminat bekerjasama serta
mengevaluasi setiap partner berdasarkan transparansy maupun efektifitas kerja.
3. Menentukan perlu atau tidaknya, keikutsertaan pihak ketiga sebagai katalis atau fasilitator
proyek pembangunan. Dimana peranan pihak ketiga adalah meningkatkan kepercayaan dan
kenyamanan antara pemerintah dan swasta, sehingga dapat menyelesaikan kemungkinan
permasalahan yang timbul.
C. Proses Pengikutsertaan Pihak Swasta
Secara umum, terdapat dua prosedur pengikutsertaan pihak swasta yaitu :
• Tender terbuka secara kompetitif
• Negosiasi langsung.
Apapun bentuk prosedur yang dipilih, proses ini harus dapat menjamin bahwa keikutsertaan swasta
dapat meningkatkan kondisi sarana prasarana kota dan pelayanannya, menghasikan suatu inovasi dan
kreatifitas yang berharga serta terlepas dari korupsi.
Salah satu cara untuk mencapai inovasi dan kreatifitas yaitu dengan meminimasi persyaratan yang
spesifik dalam dokumen tender, dan lebih menekankan pada tujuan utama dari suatu proyek, dengan
melibatkan ide pihak swasta.
D. Mendirikan kerjasama yang kuat dan berkelanjutan
Kerjasama pemerintah-swasta yang kuat dan berkelanjutan, merupakan kunci bagi pembangunan yang
yang berkelanjutan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka diperlukan kesiapan berupa:
• Komitmen sumber daya dari semua pihak
• Pasrtisipasi dan Transparansi : Terakomodirnya kepentingan dari hampir semua stakeholder
khususnya untuk kaum miskin, dan harus dituangkan dalam proyek pembangunan yang akan
dilaksanakan,.
• Capacity Building : Kesiapan setiap stakeholder.
(a) konsumen akan dikenakan biaya seusia dengan biaya yang disepakati bersama
(b) sektor privat meningkatkan kemampuan usaha
(c) pemerintah dengan menggunakan kerangka kerjanya meningkatkan pemantauan
untuk tingkat pelayanan yang telah disepakati.
• Kesabaran : Panjangnya proses negosiasi dan penyiapan proyek.
• Fleksiblitas; Adanya sistem prosedur yang “bersih” untuk mengakomodir (mereduksi),
terkjadinya perubahan yang berdampak negatif, ketika kerjasama telah berjalan .
15
16. • Tanggung jawab sosial; Peningkatan pelayanan sarana prasarana kota ini memiliki tujuan
untuk membuat tingkat kehidupan penduduk akan lebih baik, khususnya peningkatan tingkat
kehidupan pada kaum miskin.
• Tanggung jawab terhadap lingkungan; mekanisme investasi yang akan dilakukan, harus
mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan, kesehatan masyarakat dan pemerintah.
Untuk itu diperlukan jaminan yang tercantum dalam seluruh perjanjian kontrak kerjasama,
berupa penggunanan sistem teknologi yang "eco-efisien".
V. KESIMPULAN
Pemerintah Kota Tangerang sudah selayaknya lebih mengembangkan konsep kerjasama Pemerintah –
Swasta (KPS) untuk meningkatkan potensi pembangunan, dikarenakan :
1. Keterbatasan kemampuan pemerintah kota Tangerang, khususnya keterbatasan sumber daya
keuangan, untuk dapat mengelola dengan optimal seluruh sarana prasarana perkotaan yang
sangat dibutuhkan oleh masyarakat
2. Masih banyaknya sarana prasarana perkotaan baik yang sudah dikelola maupun belum
dikelola, yang ketersediaan maupun tingkat pelayanan belum optimal.
3. Pengembangan Konsep kerjasama Pemerintah-Swasta telah memiliki dasar hukum yang kuat (
Perda No.17 tahun 2000 tentang Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha
Swasta)
4. Pengembangan Konsep Kerjasama Pemerintah-Swasta akan menguntungkan baik bagi
pemerintah, swasta maupun masyarakat.
VI. SARAN / REKOMENDASI
Sebagai langkah awal ( persiapan ) untuk mengembangkan konsep Kerjasama Pemerintah –
swasta, maka perlu dilakukan kajian detail, untuk mendapatkan gambaran yang sesungguhnya
dari potensi, peluang dan hambatan dari setiap upaya pelibatan sektor swasta dalam
pengembangan sarana prasarana perkotaan. Berdasarkan hasil kajianl, diharapkan diperoleh profil
investasi, sebagai masukan / bahan pertimbangan Pemerintah Kota Tangerang berupa:
1. Evaluasi kondisi sarana prasarana yang ada di Kota Tangerang
2. Merumuskan kebijakan Kerjasama Pemerintah – swasta ( Lihat Skema Rencana
Pengembangan Sarana Prasarana Kota melalui Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS )
berupa:
• Penentuan sarana prasarana perkotaaan atau pelayanan publik, yang hendak
dikembangkan melalui kemitraan dengan pihak swasta.
• Penentuan Skala prioritas pengembangan sarana prasarana perkotaan melalui
kerjasama pemerintah – swasta
16
17. • Strategi ( kebijakan ) serta upaya yang harus dilakukan pemerintah, untuk menarik
minat investor swsata
17
18. Pembentukan Tim Pengkaji
Analisa / Identifikasi Kondisi Sarana Prasarana Kota
• Cakupan Pelayanan dan kepuasan konsumen
• Kepemilikan aset , modal dan tariff
• Kemampuan pemerintah (dana, Manajemen, SDM)
• Perbandingan pendapatan dan biaya
• Penentuan tujuan kerjasama yang akan dicapai
Promosi dan Dialog dengan Swasta
Usulan / proposal
kerjasama dari pihak
swasta
Usulan kerjasama tidak layakUsulan kerjasama layak
Ditolak
Skema Rencana Pengembangan Sarana Prasarana Kota melalui
Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)
18
Sarana prasarana Kota
Tangerang
Analisa Proposal kerjasama pemerintah –swasta
• Penentuan bentuk kerjasama Pemerintah-swasta
• Jangka waktu kerjasama
• Penentuan Standard performance (standard pelayanan)
• Strategi dan kebijakan pemerintah (Capacity building)
Proses Pengikutsertaan Pihak Swasta
• Tender terbuka
• Negosiasi langsung
KERJASAMA PEMERINTAH - SWASTA
Ketersediaan dan
pelayanan Tidak Memadai
Pemerintah Kota Tangerang
Cost recovery
Bernilai ekonomis
Dapat Dikerjasamakan
Non Cost recovery
Tidak Bernilai ekonomis
Tidak Dapat Dikerjasamakan
Ketersediaan dan
pelayanan Memadai
Negosiasi
Tanggun
g jawab
Pemkot