Buku ini membahas upaya untuk memastikan rakyat Indonesia, khususnya keluarga nelayan tradisional dan masyarakat adat, terbebas dari kemiskinan melalui pembatalan kebijakan privatisasi sumber daya perikanan. Buku ini juga menganalisis bagaimana privatisasi sumber daya alam telah mengakibatkan masalah nasional, demokrasi, dan kerakyatan di Indonesia."
2. Sejatinya, secara keseluruhan pembatalan HP3 adalah upaya
sadar untuk memastikan rakyat Indonesia (baca: keluarga
nelayan tradisional dan masyarakat adat) keluar dari himpitan
kemelaratan yang kian bertambah berat.
In fact, the overall annulment of HP3 is a conscious effort to
ensure the Indonesian people (traditional fisherfolk families
and indigenous peoples) come out from the crushing pressure
of poverty that is growing worse.
Riza Damanik
ii
iii
3. HAK ASASI NELAYAN
Terobosan Konstitusi Untuk Selamatkan Rakyat
Penulis
M. Riza Damanik
Prolog
Gunawan
Epilog
Abdul Halim
Kata Sambutan
Chairilsyah, S.H
Dedy Ramanta
Berry Nahdian Forqan
Editor
Mida Saragih
Penerjemah
Mida Saragih
Adam Pantouw
Dinar Setiawan
Desain grafis
Dodo
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Hak Asasi Nelayan:Terobosan Konstitusi untuk Selamatkan Rakyat
Cetakan Pertama, April 2012
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
xl + 232 hal., 17 cm x 24 cm
ISBN: 978-979-19559-5-9
Diterbitkan oleh
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Jl. Lengkeng Blok J-5
Perumahan Kalibata Indah
Jakarta 12750
Indonesia
Telp. +62 21 798 9522
Faks. +62 21 798 9543
Email. kiara@kiara.or.id
Website. www.kiara.or.id
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
The People’s Coalition for Fisheries Justice
2012
4. Prolog
Prologue
Gunawan
Sekretaris Jenderal Indonesian Human Rights Committee
for So ial Justice (IHCS)
c
Gunawan
General Secretary of Indonesian Human Rights Committee
for Social Justice (IHCS)
Privatisasi dan komersialisasi atas sumber-sumber agraria
(kekayaan alam) akibat penguasaan dan penggunaan,
dalam hal ini adalah pesisir, pulau kecil, dan perairan
Indonesia oleh Toean-Toean Modal adalah cerminan dari
tiga problematika sekaligus, yaitu problem nasional;
problem demokrasi; dan problem kerakyatan
Problem kerakyatan yang berupa terasingnya penduduk
desa pesisir dan pulau kecil, nelayan kecil, nelayan
masyarakat adat, dan nelayan masyarakat tradisional
dari sumber-sumber agraria adalah juga dan turunan
dari problem demokrasi. Pertama, teralienasinya tenaga
produktif dan kekuatan produktif penduduk desa pesisir
dan pulau-pulau kecil, nelayan kecil, nelayan masyarakat
adat, dan nelayan masyarakat tradisional telah
mengakibatkan perekonomian nasional tidak demokratis
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945;
kedua, praktek privatisasi di wilayah pesisir, pulau-pulau
kecil dan perairan telah dilegalkan oleh produk hukum
yang disahkan oleh DPR, yang berarti transisi demokrasi
di Indonesia adalah basa-basi oligarki kekuasaan (the old
reactionary regime) yang secara prosedural melegitimasi
reorganisasi dan rekonsolidasi modus operandi nasional
dari internasionalisasi modal pasca developmentalisme.
Dan itulah problem nasional indonesia ketika negara,
Privatisation and commercialization of agrarian resources
(natural resources) through control and utilization, in
this case on coastal, small islands and Indonesian water by
“Toean-Toean Modal” or the capitalist are the reflection of
three problems, which are national, democratic and populist
problems.
Populist problematics take form in the marginalization of
coastal and small islands communities, small fisherfolk,
customary fisherfolk community and traditional fisherfolk
from their agrarian resources which also a derivative of
democracy problem. First, the alienation of productive
labour and productive capacity of coastal and small
island communities, also small fisherfolk, customary
fisherfolk community and traditional fisherfolk have led
to undemocratic national economy based on Article 33
of 1945 Constitution; second, privatization practices of
coastal area, small islands and the water has been legalized
by law product passed on by the House of Representative,
which means the democracy transition in Indonesia is a
mere oligarchy (the old reactionary regime) lip service
which procedurally legitimize the reorganization and
reconsolidation of national operational mode from postdevelopmentalism international capital. And that constitute
national problem in Indonesia, when the government, the
5. Perekonomian (mode produksi dan alat produksi), dan
masyarakat tetap di bawah dominasi dan hegemoni
kapitalisme internasional (imperialisme baru).
Cita-cita Indonesia Merdeka 100%
Para pedagang Arab, para petualang Eropa, Dinasti
Tiongkok dan India, telah memiliki sebutan tersendiri
untuk kepulauan yang kemudian menjadi teritori Negara
Kesatuan Republik Indonesia ini. Suatu tempat di antara
dua lautan dan dua benua, itulah Nusa Antara, yang
kemudian lebih dikenal sebagai Nusantara. UUD 1945
Pasal 25 A menyatakan, ”Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri
Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hakhaknya ditetapkan dengan undang-undang.”
Bercirikan nusantara seharusnya merupakan kesadaran
akan posisi Indonesia yang terdiri dari pulau besar,
pulau kecil, pantai dan perairan serta kesadaran akan
geo-strategis dan geo-politis, bahwasanya Indonesia
bukan hanya “perlintasan,” tetapi sekaligus tujuan
akibat kekayaan alamnya. Dari era merkantilisme,
kolonialisme hingga imperialism baru sekarang ini,
strategi pertahanan banyak negara, tidak hanya di
kedaulatan teritorialnya saja, tetapi juga keamanan
jalur transportasi internasionalnya serta di mana modal
mereka ditanamkan.
Hukum internasional yang dibangun lewat mekanisme di
PBB (Hukum Internasional HAM) di antaranya Deklarasi
Universal HAM, Kovenan Internasional Hak SipilPolitik dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial,
Budaya—mengakui hak setiap bangsa untuk menentukan
nasibnya sendiri (self-determination rights), dan bahwa
kemerdekaan adalah hak setiap bangsa diyakini oleh
penduduk kepulauan nusantara, yang telah menyatukan
diri sebagai bangsa Indonesia yang dibangun lewat
pergerakan nasional yang kemudian memproklamirkan
kemerdekaan
negara-bangsa
Indonesia.
Untuk
itulah, bangsa Indonesia berhak menguasai dan
mempergunakankan tanah-air di kepulauan Indonesia,
yang bersifat abadi. Artinya jika negara-bangsa Indonesia
lenyap, baru hilanglah hak bangsa tersebut.
viii
economy (production and production tool), and the peoples
stay under the hegemony of international capitalism (new
imperialism).
Indonesia Aspiration is to be 100% Independent
Arabic trader, Europe traveler, Tiongkok Dynasty and
Indian had their own name for a stretch of island that later
on become Republic of Indonesia territory. A place between
two ocean and two continent, that’s where Nusa Antara1
lies, or known better as Nusantara. The article 25 A of
1945 Constitution stated that “Republic of Indonesia is an
archipelagic country with Nusantara characteristic where
its boundaries and rights are defined by law.
Nusantara characteristic should be the underlaying
conscious of Indonesia’s position which consisted of big
islands, small islands, coastal and water, also for the
geographically strategic and
geopolitics of Indonesia
not to be considered merely as a “passage way”, but also a
destination in the search of natural resources. In the era
of mercantilism, colonialism to recent new imperialism,
a nation guard-strategy should not only focusing within
its territory, but including the security of international
transportation route also sites of investment.
International law built through UN mechanism
(International Law on Human Rights) which among other
are Declaration on Universal Human Rights, International
Convenant on Civil-political Rights and International
Convenant on Economy, Social, Cultural Rights–acknowledge
the rights of every nation to be self determine, and that to be
independent is the rights of every nation. Nusantara peoples
believe in the laws, and united as Indonesian which built
through national movement which then proclaimed the birth
of nation-state Indonesia. Thus, it is the rights of Indonesia as
a nation to control and utilize Indonesia territory, eternally.
It means, only the collapse of Indonesia can annul the rights.
These nation rights which enable the emergence of concepts
governing the citizen rights over agrarian resources as
well for nation rights to control over natural resources.
The customary communities have special position, which
based on, first, their rights guaranteed by the 1945
1. Antara in English means between, and Nusa means a nation
ix
6. Hak bangsa tersebutlah yang kemudian melahirkan
konsepsi tentang hak-hak warga negara atas sumbersumber agraria dan Hak Menguasai Negara Atas Kekayaan
Alam. Masyarakat adat mempunyai kedudukan istimewa,
hal ini dikarenakan, pertama, hak-haknya dilindungi
oleh konstitusi, sebagaimana tercantum di dalam UUD
1945 Pasal 18 B (2): “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang.” Kedua, UUPA 1960 sebagai implementasi dari
pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa hukum agraria
yang berlaku di Indonesia bersumber dari hukum
adat dan masyarakat hukum adat mendapat limpahan
wewenang dari pemerintahan pusat sebagaimana Pasal 2
(4) UUPA 1960: “Hak menguasai dari Negara tersebut di
atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerahdaerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum
adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.”
Hak Bangsa, Hak Menguasai Negara, Hak Warga Negara,
dan Hak Masyarakat Adat, adalah pewujudan bahwa
kepulauan nusantara adalah milik publik (rakyat/warga
negara), yang akan dikelola lewat 446 badan publik
(BUMN, koperasi, kolektivitas masyarakat adat) dan untuk
kepentingan publik (negara dan masyarakat).
Para pemimpin perjuangan nasional Indonesia, dalam
merumuskan cita-cita Indonesia merdeka, sebagaimana
kemudian tersurat dalam Pembukaan UUD 1945,
memandang kemerdekaan dari empat hal. Pertama,
kemerdekaan adalah hak segala bangsa (self determination
rights). Kedua, kemerdekaan adalah penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan (anti kolonialisme
dan anti imperialisme), karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan (hak asasi manusia universal) dan
perikeadilan. Ketiga, kemerdekaan adalah pintu gerbang
Negara Indonesia, untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
x
Constitution article 18 B (2): “The State recognizes and
respects traditional communities along with their traditional
customary rights as long as these remain in existence and
are in accordance with the societal development and the
principles of the Unitary State of the Republic of Indonesia,
and shall be regulated by law. ” Second, 1960 Law on
Agrarian Land Reform as the implementation of article
33 of 1945 Constitution stated that agrarian reform law of
Indonesia is based on customary law and that the indigenous
people receive authority from the central government as
stated in article 2 (4) of 1960 Agrarian Reform Law: “The
execution of natural resources control can be disposed by the
state to Swatantra areas and indigenous communities, when
needed and as long does not contradict to national interest,
according to Government Regulation”
The Nation Rights, state rights of control, citizen rights,
indigenous peoples rights, are the manifestation of
Nusantara as public possession (peoples/ citizen), managed
by 446 public bodies (State owned enterprise, cooperative,
indigenous peoples) and for public interest (state and
peoples)
The leaders of Indonesia national struggle in formulating
the dreamed Independent Indonesia as later on written in
the 1945 Constitution preamble, seen independency from
four perspectives: first, to be independent is the rights of
any nation (self determination rights). Second, independence
means all imperialism in the world must be eliminated
(anti-colonialism and anti-imperialism), due to violating
the humanity (universal human rights) and justice. Third,
independence is a gate for Indonesia nation to establish
Indonesia government that protect Indonesia peoples and
Indonesia’s territory, and to promote peoples welfare, to
educate nation lives, and to take part in world order based
on independency, eternal peace, and social justice in the form
of a sovereign Republic of Indonesia based on Pancasila. 2
The underlying meaning of national independency is for a
nation-state to manage their agrarian resources (natural
resources) for the greatest prosperity of the peoples, which
regulated in Article 33 of 1945 Constitution as an effort to
eliminate human exploitation, “the strong” over “the weak”
(exploitation de l’homme par l’homme). Thus national
2. Pancasila is the official philosophical foundation of Indonesia, which consisted of five points.
It is originated from old javanese words, Panca means five and Sila means principles.
xi
7. dan keadilan sosial, dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan
Pancasila.
Inti makna dari sebuah kemerdekaan nasional adalah
agar sebuah negara bangsa (nation state) dapat mengelola
sumber-sumber agraria (kekayaan alam) yang dimilikinya
untuk
sebesar-sebesar
kemakmuran
rakyatnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, sebagai
upaya menghapuskan eksploitasi manusia ”yang kuat”
kepada manusia ”yang lemah” (exploitation de l’homme
par l’homme), perekonomian nasional disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. UUD
1945 Pasal 33 mengamanatkan: (1) perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
(2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara; dan (3) bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Alasan berdirinya bangsa Indonesia bukan sekedar
konsolidasi primordial tetapi juga konsolidasi nasional
ekonomi politik yang harus maju dan muncul, karena
kalau gagal akan hilang selamanya di tengah kekuatan
besar ekonomi, politik, budaya, dan militer negara-negara
besar. Belajar dari negara-negara Asia dan Amerika
Latin yang menjawab keterbelakangannya pasca era
kolonialisme dengan dua langkah. Langkah pertama
adalah penataan kembali kekayaan alam (sumber-sumber
agraria) guna menjawab situasi minus kapital (modal)
tetapi surplus tenaga kerja dan kekayaan alam melalui
pembaruan agraria (reforma agraria). Inilah kekuatan
produktif yang dipergunakan untuk langkah kedua, yaitu
membangun industri dasar-berat-besar yang mengelola
hasil kekayaan alam, yaitu hasil tambang, utamanya
baja, guna mendukung industri ringan dan pertanian
dan perikanan yang menyerap banyak tenaga kerja serta
industri pertahanan khususnya pengadaan alutsista
(alat utama sistem persenjataan). Outputnya adalah
terpenuhinya beberapa komponen utama kekuatan
nasional, antara lain pangan, industri, dan militer.
Bersatulah buruh, tani, dan prajurit, menjadi terealisir
bukan hanya dalam pertahanan negara tetapi juga
kemakmuran bangsa dan rakyat.
xii
economy formulated as a communal endeavor based on
family system principle. Article 33 of 1945 Constitution
mandated: (1) the economy shall be organized as a common
endeavor based upon the principles of the family system. (2)
sectors of production which are important for the country
and affect the life of the people shall be under the powers
of the State; and (3) the land, the waters and the natural
resources within shall be under the powers of the State and
shall be used to the greatest benefit of the people.
The reason behind the rise of Indonesia is more than just a
primordial consolidation but also national economy politic
consolidation that has to grow and emerge, and not to fail
since its failure will caused a fatal collapse among great
powers of economy, politic, culture, and military of the
big nations. Learn from Asia and Latin America countries
that took two steps in answering their setbacks during
post-colonialism era. First, step is re-setting their natural
resources (agrarian resources) through agrarian reform
to cope with minimum-capital situation but in the other
hand have labour surplus and abundance natural resources.
This is the productive capacity then used in the second
stage, to build basic-weight-big industries to manage the
natural resource production, including mining, mainly steel
production, to support light-weight industry, agriculture and
fishery that labour intensive as well for security industry
especially supplying defense equipment.
Then it was perfect to have the national struggle leaders
(peoples struggle) as Indonesia founding fathers, which
then formulated national economy as written in Republic of
Indonesia Constitution of 1945 article 33 regarding natural
wealth, sectors of production related to the peoples lives
shall be under state control for the greatest benefit of the
peoples. State rights of control over the natural resources
and sectors of production which peoples lives dependent
on should not be interpreted as state possession. The state
obligations are to formulate policy (beleid), to govern
(bestuursdaad), to regulate (regelendaad), to manage
(beheersdaad), and to monitor (toezichthoudendaad). All
done for the greatest prosperity of the peoples
xiii
8. Maka tepatlah ketika tokoh pergerakan nasional
(pergerakan rakyat) yang kemudian menjadi founding
fathers negara Indonesia yang merdeka, merumuskan
perekonomian nasional, yang termaktub dalam konstitusi
Republik Indonesia, UUD 1945 Pasal 33, kekayaan alam
dan cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang
banyak dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Hak menguasai negara atas kekayaan alam dan
cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang
banyak tidaklah diartikan negara mempunyai. Tetapi
negara memiliki tugas untuk merumuskan kebijaksanaan
(beleid), melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad),
melakukan
pengaturan
(regelendaad),
melakukan
pengelolaan (beheersdaad); dan melakukan pengawasan
(toezichthoudendaad). Itu semua dilakukan untuk sebesarbesar kemakmuran.
Merebut Alat Produksi Pengetahuan
Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945 telah menjawab dua
pertanyaan sekaligus: “Mengapa Manusia Memberontak”
dan “Alasan Berdirinya Sebuah Bangsa.” Namun nilai-nilai
konstitusional kemudian meredup seiring dengan praktik
depolitisasi, deidelogisasi, dan, politik massa mengambang
yang dilakukan oleh rezim militer Orde Baru dengan
cara represif maupun korporatisme negara. Sehingga
konsolidasi demokrasi dalam transisi demokrasi pasca
Orde Baru, bukanlah mengimplementasikan demokrasi
ekonomi sebagaimana bunyi pasal 33 ayat 1-3, yaitu
perpaduan antara Hak Menguasai Negara dengan Usaha
Bersama yang berasas kekeluargaan (gotong-royong).
Akan tetapi justru liberalisasi ekonomi, sebagaimana
penambahan ayat 4 dalam pasal 33 UUD 1945.
Sedari awal, prinsip dari perekonomian Indonesia di
dalam UUD 1945 adalah demokrasi ekonomi. Namun,
dalam proses amandemen konstitusi, muncul satu ayat
yang secara eksplisit menyebut bahwa perekonomian
nasional berdasarkan pada demokrasi ekonomi.
Pertanyaannya, apakah dengan pencantuman tersebut
justru akan mereduksi atau mempertegas konsep
demokrasi ekonomi yang sudah digagas oleh para pendiri
republik dalam penyusunan awal konstitusi Indonesia?
xiv
Regain Knowledge Production Tool
The 1945 Constitution and its preamble answered to
questions at once: “Why peoples revolt?” and “The reason
of building a nation”. But then, the constitutional values is
fading as the practices of depoliticization, de-ideologyzation,
and mass politic emerging, practiced by the New Order
military regime (rezim Orde Baru) through either repression
or state corporatism. Thus democracy consolidation in the
post-New Order democratic transition, did not implement
democratic economy as defined in article 33 point 1-3, that
is a combination of State Rights of Control through common
endeavor based on the principles of the family system
(gotong-royong). In contrary, what happened was economy
liberalization, using the additional point 4 in article 33 of
1945 Constitution.
Since the beginning, Indonesia economical principle in the
1945 Constitution is democratic economy. But through
constitutional amendment, a new point was added and
explicitly stated that national economy is based on
democratic economy. The question is, wether the additional
point is affirming or in the contrary reducing the democratic
economy concept aspired by founding fathers of Indonesia in
the first constitution arrangement?
The democratic economy principles was stated clearly in
Soekarno speech on 1 June 1945 in BPUPKI3 meeting, while
explaining the meaning of Pancasila. In his explanation,
the “sila” or principles in Pancasila consisted of Belief
in God, Internationalism (humanity), nationality (sosionational), citizenships (sosio-democracy), and prosperity.
Through main body of the constitution (article 33 of
1945 constitution) the meaning of democratic economy is
explained further. Article (1) stated that the economy is build
as a common endeavour based on the principles of the family
system. On the next two articles (2) and (3), explained about
State rights of control related to 449 with natural resource
and sectors of production that peoples lives relied upon.
Meanwhile, post the amendement, the use of democratic
economy phrase in the constitution in contrary may be
interpreted as liberal competition. “Democratic Economy”
in article (4) understood as an equal chance for everyone
3. The committee for Preparatory Work for Indonesia Independence, set up in March 1945 by the
Japanese, where the first president and vice president also registered as the member.
xv
9. Prinsip demokrasi ekonomi ini tampak jelas dalam
Pidato Sukarno pada tanggal 1 Juni 1945 di BPUPKI
saat menjelaskan makna yang terkandung di dalam
Pancasila. Menurut Sukarno, sila-sila dalam Pancasila
terdiri dari Ketuhanan, Internasionalisme (kemanusiaan),
Kebangsaan
(sosio-nasional),
Kerakyatan
(sosiodemokrasi), dan Kesejahteraan. Dan melalui Batang
Tubuh Konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) makna demokrasi
ekonomi dijelaskan lebih lanjut di dalamnya. Ayat
(1) menyatakan soal perekonomian yang disusun
sebagai usaha bersama dengan berdasarkan pada asas
kekeluargaan. Selanjutnya, dalam ayat (2) dan ayat (3),
menjelaskan tentang Hak Menguasai Negara terkait 449
dengan kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang
menguasai hajat hidup orang banyak.
Sementara, pasca amandemen, penggunaan kata
demokrasi ekonomi dalam konstitusi justru bisa sebagai
persaingan bebas. “Demokrasi Ekonomi” dalam ayat (4)
dimaknai sebagai pemberian kesempatan yang sama
kepada setiap orang untuk memperoleh akses. Artinya,
jika setiap orang harus berusaha, maka setiap orang harus
bersaing satu dengan yang lainnya untuk memperoleh
kesempatan itu, untuk menggunakan kesempatan itu.
Dalam persaingan tersebut tentu terdapat warga
negara Indonesia yang bisa memperoleh hak itu dan ada
kelompok masyarakat yang tidak akan memperoleh hak
itu. Artinya, akan ada yang menang dan ada yang kalah.
Yang akan menang tentu adalah mereka yang mampu
memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan
untuk memperoleh hak itu. Dan yang mampu, memenuhi
syarat-syarat tersebut, biasanya mempunyai modal besar
dan menguasai managemen berusaha yang baik, serta
menguasai teknologi yang tinggi. Sementara, kelompokkelompok masyarakat yang tidak memenuhi persyaratan
ini, yang tidak termasuk dalam kategori ini, tentu akan
tersingkir dari proses persaingan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sesungguhnya
pencantuman demokrasi ekonomi dalam Pasal 33 saat
amandemen keempat, justru membuat kerancuan dalam
pemaknaan demokrasi ekonomi Indonesia.
Hal ini terjadi karena beberapa kemungkinan. Pertama,
ketidakpahaman para stakeholder yang terlibat dalam
proses amandemen konstitusi. Kedua, kerancuan itu
xvi
to gain access. Meaning, if everyone has to struggle than
everyone has to compete each other to gain the chance, to
use the chance.
In the competition, it would be expected to have some
Indonesia citizens who managed to have the rights while
some other groups would be failed. It means, some would
loose and some would win. The winners are those who can
cope with the requirements set in order to get the rights.
Usually those who can meet the requirements are the
ones with big capital and have the skill of good business
management and have access to high technology. While
other communities that failed to meet the requirements or
fit into the category, shall be eliminated in the competition
process.
Based on the explanation, having the democratic economy
phrase in article 33 in the fourth amendement is in fact
creating an absurdity in giving meaning to Indonesia
democratic economy.
There are some possibility of why it happened. First,
misunderstanding among the stakeholders involved in the
constitution amendement process. Second, the situation
continued due to the supposedly constitution guardian, the
Constitutional Court, was focusing more to the normatif
issue (narrative) without further assessment on the history
of thinking dynamics during the constitution amendement
process.
Thus, it become most significant today to re-open the
discussion of thinking construction behind national economy
which conform to the constitution, by referring to the history
of founding father thinking dynamics.
The judicial review in the Constitutional Court has set a new
motion direction. First, the attempt to criticize a law product
through filing a lawsuit into Constitutional Court has led
to critics upon neoliberalism by using constitutionalism
frame of reference, to bring an ideology to mass movement,
especially for mass organization or NGO and advocates.
Second, re introduce the idea of nation, economy, and society
in the context of Indonesia independency as mandated by the
1945 Constitution. Third, distributing court materials in the
Constitutional Court, as part of critical education in a hope
that it would serve as knowledge production tools in the
interest of national, democracy and peoples struggles.
xvii
10. tetap berjalan juga dikarenakan Mahkamah Konstitusi
yang diasumsikan sebagai pengawal konstitusi ternyata
dalam beracara lebih berkutat pada norma (kalimat)
dalam konstitusi, tanpa menilisik lebih jauh tentang
sejarah dinamika pemikiran selama proses penyusunan
konstitusi.
Maka, menjadi signifikan hari ini untuk mendiskusikan
kembali konstruksi pemikiran ekonomi nasional yang
sesuai dengan konstitusi, dengan tetap menjadikan
sejarah dinamika pemikiran para founding fathers sebagai
referensi.
Gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi
telah menimbulkan arah gerak baru. Pertama, upaya
mengkritisi sebuah produk hukum melalui gugatan
di Mahkamah Konstitusi telah mengakibatkan kritik
terhadap neoliberalisme dengan menggunakan kacamata
konstitusionalisme, sehingga yang terjadi adalah
ideologisasi gerakan massa, khususnya organisasi massa
atau LSM (NGO) dan para advokat. Kedua, memunculkan
kembali gagasan tentang negara, perekonomian, dan
masyarakat dalam konsteks kemerdekaan Indonesia
seperti yang diamanatkan oleh konstitusi/ UUD 1945.
Ketiga, pendistribusian materi-materi persidangan di MK,
adalah bahan bagi pendidikan kritis masyarakat yang
diharapkan akan menjadi alat produksi pengetahuan bagi
kepentingan perjuangan nasional, perjuangan demokrasi
dan perjuangan kerakyatan.
Undang-Undang Dasar 1945, sebagai konstitusi Republik
Indonesia, dalam mengatur persoalan agraria (bumi,
air, angkasa dan isinya) dan kewajiban negara serta
hak-hak warga negara, telah menggaris enam hal.
Pertama, Indonesia adalah negara kepulauan yang
bercirikan nusantara (Pasal 25 A); kedua, kekayaan alam
dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33
(3)); ketiga, cabang produksi yang menyangkut hajat
hidup orang banyak dikuasai negara (33 (2)); keempat,
perekonomian Indonesia berdasarkan kekeluargaan dan
demokrasi ekonomi (Pasal 33 (1) dan Pasal 33 (4); kelima,
perlindungan hak asasi manusia (Pasal 28 A-J); keenam,
Perlindungan hak masyarakat adat (Pasal 18 B, 28 I, dan
Pasal 32).
Namun ternyata, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
belum mewujudkan pendekatan Integrated Coastal
xviii
The 1945 Constitution, as the constitution of Republic of
Indonesia, in regulating agrarian related issue (earth,
water, sky and its content) and state obligation including
citizen rights, has set six principles. First, Indonesia is an
archipelagic country with Nusantara character (article 25
A); second, natural resources under state authority to be
managed for peoples prosperity (article 33 (3)); third, sectors
of production which peoples lives dependent on shall under
state control (article 22 (2)); fourth, Indonesia economy
based on family system and democratic economy (article 33
(1) and article 33 (4); fifth, human rights protection (article
28 A-J); sixth, indigenous people rights protection (article 18
B, 28 I, and 32).
Unfortunately, Law No. 27/2007 has yet used Integrated
Coastal Management approach, shown by the lack of
solution to the unequal utilization and control over natural
resources and its contradictory to other laws. Also, the law
No. 27/2007 is emphasizing more on investment aspect and
tend to be pro-business, thus shrinks the community space,
especially small traditional fisherfolk and indigenous people
in participating in the management planning.
In spite of having social and environmental regulation
included in the law, also for environmental rehabilitation,
these aspects are already regulated under different laws,
to name a few Law on Limited Liability Company, Law on
Environmental Protection and Management, also other
law regarding natural resource management and Law on
Disaster Risk Management.
Jakarta, March 15th, 2012
xix
11. Management, yang ditandai dengan tidak adanya
pembaruan atas penguasaan dan pengunaan yang
timpang dan adanya ketidaksingkronan dengan undangundang lainnya. Dan, Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 juga lebih menekankan pada aspek investasi dan
lebih pro dunia usaha, sehingga tidak ada ruang untuk
masyarakat khususnya nelayan kecil tradisional dan
masyarakat adat dalam pengusulan rencana pengelolaan.
Kalaupun ada pengaturan soal kewajiban sosial
dan lingkungan, serta perbaikan lingkungan hidup,
sesungguhnya hal-hal tersebut telah diatur di peraturan
perundangan yang lain, seperti Undang-Undang Perseroan
Terbatas, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, serta peraturan perundangan yang
terkait pengelolaan sumber daya alam dan UndangUndang Penanggulangan Bencana.
Jakarta, 15 Maret 2012
xx
xxi
12. DAFTAR ISI
Contents
Prolog
Prologue
vi
Daftar Isi
Contents
xxiii
Kata Sambutan
Preface
xxiv
Pengantar
Introduction
Pendahuluan: Sekilas Mengenai HP3
Foreword: HP3 at a Glance
xxxvii
1
Bab I. Subtansi Gugatan Koalisi Tolak HP3
Chapter I. Subtance of the Claim by the “Reject HP3” Coalition
11
Bab II. Menakar Konstitusinalitas Mahkamah Konstitusi
Chapter II. Analysis of the Constitutional Court Ruling
17
Bab III. Terobosan Mahkamah Kontitusi
Chapter III. Breakthroughs in the Constitutional Court
25
Bab IV. Ambiguitas Keputusan Mahkamah
Chapter IV. Ambiguity of Court Rulling
33
Bab V. Rekomendasi dan Agenda Tindak Lanjut
Chapter V. Recommendation and Follow-up Agenda
41
Epilog
Epilogue
46
Daftar Pustaka
Bibliography
57
Lampiran Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-VII/2010
Attachment Constitutional Court Ruling No.3/PUU-VII/2010
59
Biografi Penulis
Author Biography
230
13. KATA SAMBUTAN
Ketua Umum Sarekat Hijau Indonesia (SHI)
Chairilsyah, S.H
Membaca tulisan Riza Damanik dalam buku ini, Saya
memahaminya sebagai sebuah harapan untuk merajut
datangnya nuansa baru, tidak hanya sekedar bagi
terwujudnya ekspektasi “esok harus lebih baik dari hari
sebelumnya”, tetapi bagaimana mengajak kita semua
untuk melakukan perlawanan dan pembebasan terhadap
praktek ketidakadilan.
Sebab jika tulisan dalam buku ini, hanya ditujukan
semata-mata untuk lebih memperjelas dan memahami
isi putusan Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan
mengadili permohonan uji materil terhadap UndangUndang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) yang kemudian
membatalkan pasal-pasal terkait Hak Pengusahaan
Perairan Pesisir (HP3), maka menurut hemat Saya, buku
ini cukup ditulis dan/ atau disusun oleh sekelompok
ahli hukum yang akan membahasnya berdasarkan basis
keilmuannya.
Karenanya, sebagai seorang intelektual dan praktisi, Saya
melihat sesungguhnya harapan penulis melalui buku ini
dimaksudkan agar terbangunnya sebuah kekuatan baru
yang memiliki kemampuan kembalinya kedaulatan bangsa
yang sudah tercabik-cabik oleh rezim ekonomi dan politik.
PREFACE
Chairman of The Indonesia Green Union (SHI)
Chairilsyah, S.H
Having read what Riza Damanik wrote in this book, I see it
as a hope to weave a new nuance, not only for the purpose
of “tomorrow must be better than yesterday”, but how to
persuade us to take part in the struggle and be free from all
injustice practices.
If the purpose of this book merely to clarify and understand
the content of Constitutional Court decision which review
and judge the judicial review application of Law No.27/2007
regarding Management of Coastal Area and Small Islands
(PWP3K) that resulted in the annulment of articles related
to Coastal Water Concessions (HP3), then in my opinion,
law experts would be enough to write this book from their
academical perspective.
Because of that, as an intellectual and practitioner, I see
what’s the writer truly hopes for the book is as a way to build
a new strength to empower and bring back our sovereignty
that has been torn apart by the economic and political
regime
As initial requirements to build the new strength, Riza
believes that: first, the fisherfolk possessing adequate
aggressiveness to look and learn for new policy and program
related to fishery which relatively high compare to the
previous years.
14. Sebagai modal awal untuk terwujudnya kekuatan baru
tersebut, Riza Damanik melihatnya: pertama, terdapat
agresivitas para nelayan untuk mencari tahu dan
mempelajari berbagai kebijakan dan program terkait
kenelayanan relatif tinggi
dibanding tahun-tahun
sebelumnya; kedua, keterlibatan dan perhatian publik—
baik yang pro maupun kontra—mulai dari aparatur
pemerintah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
politisi, akademisi, mahasiswa/i, praktisi hukum, LSM,
budayawan, dan perhatian publik secara umum untuk
membincangkan berbagai kebijakan dan program
pemerintah dalam lingkup kelautan dan kenelayanan
semakin membesar. Hal ini ditunjukkan dengan semakin
mengarusutamanya gelombang politik, baik di tingkat
lokal, nasional, hingga pada forum-forum global yang
mendesakkan terwujudnya keadilan perikanan dalam
beragam perspektif.
Akan halnya, putusan Mahkamah Konstitusi dalam
permohonan uji materiil ini sendiri, Saya melihatnya baru
sebatas pengakuan de jure dan/ atau supplement di tengah
gelombang politik yang masih akan terus berjuang merebut
pengakuan de facto dari negara.
Perjuangan masyarakat nelayan adalah kebangkitan
yang didasari oleh perlawanan terhadap peminggiran
dan perampasan hak asasi manusia. Hal tersebut
sejalan dengan tujuan utama Indonesia merdeka:
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan
umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; serta, ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar pada
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Disinilah urgensi kehadiran buku: “Hak Asasi Nelayan,
Terobosan Konstitusi untuk Selamatkan Rakyat,” yang
ditulis Bung Riza Damanik. Untuk memberi pemahaman
yang komprehensif bagi kita bahwa perjuangan nelayan
dan organisasi sosial hari ini merupakan perjuangan
konstitusional yang identik dengan cita-cita kemerdekaan
Indonesia.
Bersatu-Bersarekat-Berlawan
xxvi
Second, a growing public involvement and attention–both
for the pros and cons–start from state apparatus, member of
the House of Representative (DPR), politician, academician,
college students, law practitioner, NGO, humanist, and public
attention in general to talk about vast issue of state’s policy
and program related to marine and fishery. It can be seen
through the emerging political wave, from local, national
level, and up to global forums that urging fishery justice
from diverse perspectives.
On the Constitutional Court’s decision regarding the
judicial review application, I see it as merely a de jure
acknowledgement and/or supplement amidst the continuous
political waves of seizing back de facto acknowledgement
from the state.
The rising struggle of the fishing communities are based
on the fight against marginalization and deprivation of
human rights. This is in line with the main purpose of
an independent Indonesia: to protect the whole nation
and the entire homeland of Indonesia; to promote the
general welfare; intellectual life of the nation; as well as to
participate in the establishment of world order based on
freedom, peace and social justice.
This is where the urgency of the presence of the book:
“The Fisherfolk’s Rights: Constitution Breakthroughs to
Save Peoples,” that written by Riza Damanik. To provide
a comprehensive understanding that the struggles of
traditional fisherfolk and social organization today is a
constitutional struggle that is identical to the ideals of
independence Indonesia.
Unite – Associate – Resist!
Jakarta, March 21st, 2012
Jakarta, 21 Maret 2012
xxvii
15. KATA SAMBUTAN
PREFACE
Dedy Ramanta
Sekretaris Nasional Kesatuan Nelayan Tradisional
Indonesia (KNTI)
Dedy Ramanta
National Secretary Indonesian Traditional Fisherfolk Unity
(KNTI)
Sejarah penting untuk ditulis, tidak sekedar untuk
diingat, sebab ingatan punya keterbatasan. Pesan mulia
ini sejalan dengan keinginan KIARA (Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan) untuk menuliskan perjuangan
para nelayan dalam merebut kedaulatan hak-hak
konstitusinya. Penulisan sejarah perjuangan nelayan
dalam konteks perjuangan konstitusional merupakan hal
baru dalam tradisi perjuangan kaum nelayan di Indonesia.
Maka hadirnya buku ini menjadi modal berharga bagi
perjuangan nelayan untuk masa yang akan datang
Jamak diketahui satu dekade belakangan, sebagai sub
sektor dari gerakan sosial, gerakan nelayan merupakan
sub sektor baru yang keberadaannya masih tertinggal
dengan gerakan-gerakan sosial seperti gerakan kaum tani,
gerakan kaum buruh maupun gerakan kaum mahasiswa.
Meskipun pada era tahun 1960-an gerakan nelayan
pernah mengalami kemajuan dengan berkembangnya
berbagai koperasi nelayan yang berperan tidak hanya
sebagai wadah aktivitas ekonomi, namun juga menjadi
sarana pemberdayaan politik para anggotanya (Barisan
Nelayan Indonesia). Sayangnya gerakan nelayan waktu itu
dianggap sebagai bagian dari gerakan komunis dan ujungujungnya ditumpas oleh orde baru.
Nampaknya trauma yang dialami oleh nelayan akibat
represi orde baru dan juga depolitisasi yang dilakukan
History is important to be written, not just to be
remembered, since memory is limited. This noble message
is in line with KIARA (The People’s Coalition for Fishery
Justice) initiative to write fisherfolk struggle in regain
their constitutional rights sovereignty. Writing history of
fisherfolk struggle in the context of constitutional rights is a
novelty in fisherfolk struggle tradition in Indonesia. Thus, the
presence of this book become a valuable asset for fisherfolk
struggle in the future.
It is well known during the one last decade, as a subsector
of social movement, fisherfolk movement is a new one which
existence among other social movements such as peasant,
labor, and student movement is still left behind. Although
during 1960s fisherfolk movement once a progressive
movement as some fisherfolk cooperation evolved and
become more than just an economic forum, but also as a
political empowerment facility for its members (Indonesia
Fisherfolk Front/ BNI). Unfortunately at that time, fisherfolk
movement was considered as part of communist movement
and by the end dismissed by New Order.
It seems the traumatic experiences of New Order repression
and depoliticization by the state have made difficult for
fisherfolk movement to evolve. The absence of strong
organization among fisherfolk practically made various
harmful policy were not significantly responded.
16. oleh negara membuat gerakan sosial nelayan sulit untuk
berkembang. Ketiadaaan organisasi yang kuat di kalangan
nelayan praktis membuat berbagai kebijakan yang
merugikan nelayan tidak mendapat respon yang berarti
Bahkan rencana privatisasi kawasan pesisir dan pulaupulau kecil yang kemudian dikenal dengan HP3 (Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir) yang diatur dalam UndangUndang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K)—tidak
pernah terdengar di kalangan nelayan, khususnya nelayan
tradisional. Dari proses pembahasan Rancangan UndangUndang sampai dengan Pengesahan UU tersebut, “sepi”
suara protes yang berasal dari kalangan nelayan sebagai
kelompok potensial yang bakal dirugikan. Hal ini menjadi
pertanda bahwa negara melalui berbagai perangkatnya
tidak berusaha menyambungkan gagasan kebijakan yang
dilahirkannya dengan nelayan, sebagai subjek kebijakan
yang nantinya akan menerima dampak maupun manfaat.
Latar peristiwa adanya HP3 yang telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 justru menjadi
alat konsolidasi bagi nelayan-nelayan tradisional untuk
sadar dan bangkit, bahwa hak-hak konstitusionalnya telah
dilanggar oleh pemerintah melalui serangkaian pasalpasal yang telah disahkan oleh wakil rakyat. Bahkan,
oleh nelayan isu HP3 menjadi salah satu alat konsolidasi
lahirnya KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia).
Melalui berbagai rapat-rapat akbar di kampung-kampung
nelayan dan pertemuan-pertemuan dengan berbagai ahli
di berbagai kampus, nelayan tradisional menyimpulkan
bahwa HP3 melanggar hak-hak konstitusi nelayan. Untuk
itu setidaknya ada 27 orang nelayan sebagai perwakilan
nelayan tradisional untuk melakukan gugatan judicial
review ke Mahkamah Konstitusi. Melalui putusan Nomor
3/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi mengabulkan
sebagian besar tuntutan nelayan tradisional untuk
mencabut HP3 dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun
2007. Meskipun bukan kemenangan besar, putusan
tersebut setidaknya menjadi pertanda awal bahwa isuisu gerakan sosial di kalangan nelayan mulai tumbuh dan
mempunyai ruang untuk bersemi.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, selain
membatalkan pasal-pasal tentang HP3, juga menyatakan
sebuah subyek hukum yang disebut “Nelayan Tradisional”.
xxx
Even privatization planning of coastal zone and small island
which then known as HP3 (the Coastal Waters Concessions)
that provided by Law No. 27/2007 on Management of Coastal
Zone and Small Islands (PWK-PPK)–was never be heard
between fisherfolk, especially traditional fisherfolk. From the
process of Law draft assessment to Law legalization, there
was only small voice from fisherfolk as potentially harmed
group. This is a sign that the state through its various
state instruments did not try to socialize their policy to the
fisherfolk, as a policy subject who will receive its impact and
benefit.
The background event of HP3 that provided in Law No.
27/2007 turned out to be consolidation mean for traditional
fisherfolk to become aware and revive, that the government
has violated their constitutional rights through a set of
articles legalized by peoples representative. Later on they
used HP3 issue as a consolidation tool to establish KNTI
(Indonesian Traditional Fisherfolk Unity).
Through rally of meetings in fisherfolk villages and some
meetings with various experts in universities, traditional
fisherfolk concluded that HP3 has been violated their
constitutional rights. Therefore at least there were 27
representative fisherfolk filed a Judicial Review lawsuit to
the Constitutional Court. Through Court Ruling No. 3/PUUVIII/2010, the Court has granted most of their demands to
revoke HP3 (Coastal Waters Concessions) in Law no. 27/2007.
Although that was not a big victory, at least the decision
became an initial sign that social movement issues among
fisherfolk has started to grow and have space to evolve.
On that Constitutional Court decision, beside revoked
articles of HP3, it also declared “traditional fisherfolk” as a
legal subject. This decision is important for us as fisherfolk.
Because fisherfolk is a very general term. In fisherfolk works,
there are various subpart that connected each other.
The description of fisherfolk is every person who seek or
fishing in the sea, lake, or reservoar. When referring to
fisherfolk description in Law No.45 / 2009 on Fishery in
article 1 paragraph 10, fishermen is a person whom his
livelihood is fishing. While the term of small scale fisherfolk
contained in Law No.45/2009 article 1 paragraph 11, which
means person whose his livelihood is fishing using boat with
maximum size 5 (five) gross tons (GT). While according to
Directorate General of Fisheries, Department of Agriculture
xxxi
17. Keputusan ini penting bagi kami sebagai nelayan. Sebab
nelayan merupakan istilah yang sangat umum. Di dalam
kerja nelayan terdapat berbagai sub bagian yang saling
berkaitan.
Makna nelayan adalah setiap orang yang mencari dan
atau menangkap ikan di laut, danau maupun waduk.
Bila merujuk pengertian nelayan dalam Undang-Undang
Perikanan Nomor 45 tahun 2009 pasal 1 ayat 10, Nelayan
adalah orang yang mata pencahariannya menangkap ikan.
Sedangkan istilah Nelayan Kecil terdapat dalam UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 pasal 1 ayat 11, yang artinya
adalah orang yang mata pencahariannya menangkap ikan
untuk kebutuhan sehari-hari dengan menggunakan kapal
perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT).
Sedangkan menurut menurut definisi Dirjen Perikanan
Departemen Pertanian (tahun 1988) yang disebut nelayan
adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam
operasi penangkapan binatang atau tanaman air dengan
tujuan sebagian atau seluruhnya untuk dijual. Orang yang
melakukan pekerjaan seperti membuat perahu, jaring,
mengangkut alat tangkap, mengangkut ikan beserta
perlengkapannya tidak termasuk nelayan. Demikian juga
istri, anak dan anggota keluarga tidak termasuk sebagai
nelayan.
Secara hukum pengertian nelayan tradisional hanya
terdapat dalam dalam Permendagri No 30 Tahun 2010
tentang Pengelolaan Sumber Daya di Wilayah Laut. Dalam
Permendagri Nomor 30 Tahun 2010, nelayan tradisional
adalah seseorang yang mata pencahariannya sehari-hari
mengeksploitasi sumberdaya laut secara turun temurun
dengan menggunakan bahan dan peralatan tradisional.
Penjelasan lainnya terdapat dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi No 3/PUU-VIII/2010 perihal Pengujian UU No
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Buku yang ditulis Bung Riza Damanik
tentang analisis putusan Mahkamah Konstitusi terkait
pembatalan HP3 adalah kontribusi besar bagi perjuangan
nelayan dalam merebut hak-hak konstitusinya. Semoga
gerakan sosial nelayan segera bersemi kembali.
(year 1988), fisherfolk is a person who actively work in
harvesting water animal or plant for the purpose of selling
half or all of it. Person who works in making boat or net,
carrying fishing gear, fish and its tools are not a fisherfolk.
Likewise a wife, children and member of the family are not a
fisherfolk.
Legally, traditional fisherfolk description only presented
in Regulations of Internal Affair Ministry No. 30 Year 2010
on Management of Marine Resources. On that regulation,
traditional fisherfolk is a person who his livelihood is
exploiting marine hereditarily by using traditional materials
and tools. Other explanations present in Constitutional
Court Decision No.3 /PUU-VIII/2010 about examination of
Law no.27/2007 on Management of Coastal Zone and Small
Islands.
The book that written by Riza Damanik about the analysis
for Constitutional Court ruling of the HP3 annulment--is
a major contribution to traditional fisherfolk struggle to
regain the constitutional rights. Hopefully movements of
traditional fisherfolk will soon blossomed again!
Greetings for traditional fisherfolk struggle!
Jakarta, April 2nd, 2012
Salam perjuangan nelayan tradisional!
Jakarta, 02 April 2012
xxxii
xxxiii
18. KATA SAMBUTAN
PREFACE
Berry Nahdian Forqan
Direktur Eksekutif Nasional WALHI
Berry Nahdian Forqan
National Executive Director of WALHI
Koalisi Tolak HP3 yang terdiri dari 9 organisasi masyarakat
sipil dan 27 pimpinan organisasi nelayan, pada tanggal
13 Januari 2010 bersama-sama mengajukan gugatan
Uji Materi terhadap Undang-Undang No.27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil kepada Mahkamah Konstitusi. Di mana yang
menjadi pokok utama gugatan adalah terkait dengan
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir yang disingkat dengan
sebutan HP3, yang telah memberikan ruang yang sangat
besar kepada kepentingan korporasi untuk menguasai dan
mengelola wilayah perairan pesisir sekaligus menegasikan
kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir pada
umumnya.
Melalui proses persidangan, diskusi, kampanye dan
berbagai upaya lainnya yang cukup menguras tenaga,
pikiran dan energi serta memakan waktu kurang lebih
satu setengah tahun, akhirnya gugatan Uji Materi yang
disampaikan oleh Koalisi Tolak HP3 membuahkan hasil
yang menggembirakan dengan keluarnya
putusan
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Juni 2011, yang inti
keputusannya adalah membatalkan pasal-pasal terkait
dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3).
Tentunya Keputusan Mahkamah Konstitusi ini membawa
angin segar bagi gerakan pemenuhan hak asasi nelayan
The Coalition against HP3 (Rights over Coastal Water)
consisted of nine civil society organizations and 27 leader
of fisherfolk organizations filed judicial review on Law
No. 27/2007 regarding Rights of Coastal and Small Islands
Management to the Constitutional Court on January 13,
2010. The main subject of the lawsuit set towards the Rights
over Coastal Water or HP3, which posses the potential
entrance for corporation to take over and manage a given
coastal area while negating the interests of fisherfolk and
public in general.
Through the court process, discussion, campaign and other
efforts that absorbed much thinking process and energy for
around one an a half years, a good news finally arrived with
the release of the Constitutional Court’s judicial review result
on 16 June 2011, stated the annulment of the articles related
to HP3.
The Constitutional Court’s decision is bringing new hope
for movement concerning on the basic rights fulfillment of
fisherfolk and coastal communities through out Indonesia.
In this case, the Constitutional Court is affirming nation
sovereignty in the face of corporate interest, and put it
back to peoples as the highest rights holder to manage their
water and coastal area as mandated in the constitution.
19. dan masyarakat pesisir di Indonesia. Dalam kasus
ini Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali akan
kedaulatan Negara berhadapan dengan kepentingan
korporasi, dan mengembalikannya kembali kepada rakyat
sebagai kelompok yang paling berhak atas pengelolaan
wilayah perairan dan pesisir sebagaimana konstitusi kita
mengamanatkan. Dengan demikian terbuka ruang yang
cukup (paling tidak secara konstitusional) bagi nelayan dan
masyarakat pesisir, untuk mengelola sumberdaya perairan
dan persisir mereka secara mandiri demi mewujudkan
kesejahteraan dan kemakmuran bersama, bangsa dan
Negara.
Tantangan
selanjutnya
adalah
bagaimana
menterjemahkan keputusan Mahkamah Konstitusi ini
ke dalam langkah gerak berbagai aktivitas, baik yang
dilakukan oleh kelompok organisasi masyarakat sipil
maupun kelompok nelayan dan masyarakat pesisir
umumnya dalam rangka mendorong pemenuhan hakhak nelayan dan masyarakat pesisir, terutama dalam
pemenuhan hak atas akses dan kontrol terhadap
sumber-sumber
kehidupan
mereka.
Mulai
dari
mengkonstruksikan kembali berbagai regulasi dan
kebijakan terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulai kecil termasuk berbagai perizinan
yang sudah ada sampai, kepada tindakan konkret di
lapangan. Sehingga untuk itu dibutuhkan sebuah analisis
terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi ini yang
sekiranya mampu memandu kita semua, bukan saja buat
kalangan aktivis gerakan sosial, organisasi masyarakat
sipil, organisasi/ kelompok nelayan dan masyarakat di
wilayah pesisir, namun juga bagi siapapun pihak-pihak
yang berkepentingan untuk menyusun langkah-langkah
strategis ke depannya, dalam rangka merebut kembali hak
asasi nelayan dan masyarakat pesisir di Indonesia.
Thus a space is now opened (at least constitutionally) for the
fisherfolk and coastal communities to manage their marine
and coastal resources independently to build a peaceful and
prosperous live, as a nation and a country.
The next challenge is how to translate the decision into
stages of action either in civil society organization, in
fisherfolk group, or coastal community in general as a way
to urge the basic rights fulfillment of fisherfolk and coastal
community in general including access and control over their
livelihood. Started with reconstructing various regulations
and policy related to coastal and small islands management
including the existing permits, up to concrete action in the
field. Thus, we need an analysis on the decision to guide
all of us, not only for social movement activist, civil society
organization, fisherfolk organization/groups and coastal
community, but also for any interested party to formulate
strategic plan ahead in order to reclaim the rights of
fisherfolk and coastal community in Indonesia.
Jakarta, March 20, 2012
Jakarta, 20 Maret 2012
xxxvi
xxxvii
20. Pengantar
Setelah sekitar 13 tahun menggeluti langsung isu-isu
kelautan dan kenelayanan, ada yang berbeda dalam
kurun waktu empat tahun terakhir. Pertama, agresivitas
para nelayan untuk mencari tahu dan mempelajari
berbagai kebijakan dan program terkait kenelayanan
relatif tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dengan
demikian, satu tahapan menuju organisasi nelayan yang
kuat: terorganisir, terdidik, dan mandiri—semakin dekat
terwujud.
Kedua, menuju lahirnya keterlibatan dan perhatian
publik—baik yang pro maupun kontra—mulai dari
aparatur pemerintah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), politisi, akademisi, mahasiswa/i, praktisi hukum,
LSM, budayawan, dan perhatian publik secara umum
untuk membincangkan berbagai kebijakan dan program
pemerintah dalam lingkup kelautan dan kenelayanan
semakin membesar. Hal ini ditunjukkan dengan semakin
mengarusutamanya gelombang politik, baik di tingkat
lokal, nasional, hingga pada forum-forum global yang
mendesakkan terwujudnya keadilan perikanan dalam
beragam perspektif.
Kali ini, Kamis 16 Juni 2011, Mahkamah Konstitusi (MK)
membatalkan ketentuan Hak Pengusahaan Perairan
Pesisir (HP3) karena terbukti bertentangan dengan
konstitusi—Undang-Undang Dasar 1945. Secara vulgar,
HP3 melegalkan praktik pengusahaan perairan pesisir
dan pulau-pulau kecil—untuk kegiatan budidaya,
pariwisata, dan pertambangan—kepada sektor swasta,
termasuk asing untuk masa pengusahaan 60 tahun
akumulatif. Daripada itu, sektoralisme pengelolaan
Introduction
After 13 years of struggling with fishery and marine issues,
something different happen in the last four years. First, the
aggressiveness of fisherfolk to find and learn various policy
and program related to fisher community has been relatively
high compare to the previous years. It tells us that we are a
step closer to have a strong fisherfolk organization, which
are organized, educated and independent.
Second, entering an era of higher public involvement
and attention–both pros and cons– started from state
apparatus, member of House of Representatives, politician,
academicians, college students, law practitioners, NGOs,
humanists, and public attention in general to talk about
various state’s policy and program in the scope of marine
and fisher community. It is seen from the mainstreaming
of political wave in broad perspective, either in local and
national level, up to global forums urging for fishery justice.
This time, on Thursday, 16 June 2011, the Constitutional
Court annulled the Coastal Water Concessions (HP3) that
proven violating The 1945 Constitution. In a vulgar way,
HP3 legalized the commercial utilization of coastal water
and small islands–including for cultivation, tourism, and
mining–to private sector including foreigner for 60 year
accumulative contract period. Besides, the agrarian resource
management (coastal water and small islands) is worsening,
and threatening peoples’ life and livelihood quality. Thus, the
HP3 annulment is a big moment to bring back the virtue of
constitution as guidance to live as a nation and a country.
Also to put more value to policy advocacy in ending the
21. sumber daya agraria (baca: perairan pesisir dan pulaupulau kecil) kian akut, serta mengancam kualitas hidup
dan penghidupan rakyat. Karenanya, pembatalan
ketentuan HP3 adalah momentum besar untuk
mengembalikan keutamaan konstitusi sebagai panduan
hidup berbangsa dan bernegara. Sekaligus menambah
bobot advokasi kebijakan untuk mengakhiri sektoralisme
pengelolaan sumber daya agraria (secara menyeluruh) di
Indonesia.
sectoralism approach in agrarian resource management (as
a whole) in Indonesia
At this moment, after the Constitutional Court Ruling
annuling the articles related to Coastal Water Concessions
(HP3), Thursday, June 16, 2011, I have again found both.
In North Sulawesi, Tuesday, June 21, 2011, in the presence
of numbers of traditional fisherfolk organization leaders,
I found a great fighting spirit to further follow-up the
Constitutional Court Ruling in the fisherfolk’s daily lives.
Di Sulawesi Utara, Selasa 21 Juni 2011, di hadapan
sejumlah
pimpinan-pimpinan
organisasi
nelayan
tradisional, saya menemukan modalitas juang yang besar
untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi ke
dalam kehidupan keseharian kaum nelayan.
For those that have been “evicted” from their living
space (coastal water)–they want to win back their rights
constitutionally. The same also for those that who (feel)
have lost their existence as Indonesian traditional fisherfolk–
impatiently wanting to know if there is any breakthrough
in Constitutional Court Decision that can bring back
their existence. At the same time, public in general, either
(previously) pros or cons toward HP3, is interested in
understanding the Constitutional Court Decision that had
been taking one year and 5 months of hard works.
Bagi mereka yang sedang “terusir” dari ruang hidupnya
(baca: perairan pesisir)—mereka ingin merebut kembali
hak-haknya dengan cara-cara yang konstitusional.
Demikian pula bagi mereka yang (merasa) kehilangan
eksistensinya sebagai nelayan tradisional Indonesia—
tak sabar ingin mengetahui, adakah terobosan Putusan
Mahkamah Konstitusi yang dapat memulihkan kembali
eksistensi keluarga nelayan. Di saat yang sama, publik
luas, baik yang (sebelumnya) pro maupun kontra terhadap
HP3, tertarik mendalami Putusan Mahkamah Konstitusi
yang telah menghabiskan waktu persidangan lebih dari 1
tahun 5 bulan tersebut.
Everyone is expecting a written document of simple analysis
of the Constitution Court’s decision: a 169 pages decision of
sophisticated systematic in its typical law language.
That is why the analysis of the Constitutional Court’s decision
on Judicial Review upon Law no. 27/2007 regarding Rights
of Coastal Area and Small Islands management needed to
be written. To bring a simpler picture of the Constitutional
Court’s decision and at the same time in a hope to bring a
more constructive discussion to operate useful items stated
in the decision for peoples’ prosperity at the greatest.
Kesemuanya, mengharapkan adanya dokumen analisis
sederhana terhadap putusan Mahkamah Konstitusi: yang
berisikan 169 halaman, dengan kerumitan sistematika
penulisan dan bahasa hukumnya yang khas.
Untuk itulah, analisis putusan Mahkamah Konstitusi
terhadap Uji Materi Undang-Undang No. 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
perlu dituliskan. Agar dapat memberikan gambaran yang
lebih sederhana terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi,
sekaligus berharap dapat memicu diskusi konstruktif untuk
mengoperasionalkan hal-hal yang bermanfaat dari putusan
ini untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kalibata, 2 Juli 2011
xl
M.Riza Damanik
Sekretaris Jenderal KIARA
Ketua Koalisi Tolak HP3
Kalibata, July 2nd, 2011
M.Riza Damanik
General Secretary of KIARA
Chairman of the Reject HP3 Coalition
Bagi mereka yang (merasa)
kehilangan eksistensinya
sebagai nelayan tradisional
Indonesia—tak sabar
ingin mengetahui, adakah
terobosan Putusan
Mahkamah Konstitusi yang
dapat memulihkan kembali
eksistensi keluarga nelayan.
Those who (feel to) have lost
their existence as Indonesian
traditional fisherfolk are
impatient to find out whether
there is a breakthrough in
the Constitutional Court
Ruling that can restore the
fisherfolk’s family way of life.
xli
23. Pada tanggal 26 Juni 2007, dalam Sidang Paripurnanya,
DPR RI mengesahkan Undang-Undang No. 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil (PWP-PPK). Konon idenya adalah sebagai
sebuah terobosan untuk mengurai konflik peraturan
perundangan yang (sebelumnya) telah mengatur wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk menjembatani
keinginan negara melindungi kepentingan keluarga
nelayan dan masyarakat adat. Asumsinya, dengan
hadirnya undang-undang tersebut, pembangunan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil dapat berjalan ke arah
maksimal.
Secara prosedural, penyusunan Rancangan UndangUndang (RUU) PWP-PPK memakan waktu yang panjang
dan melibatkan sejumlah pihak, termasuk asing. Yakni,
diperlukan waktu tujuh tahun lebih untuk mengesahkan
undang-undang ini.
Hal ini cukup beralasan. Sebab, di saat proses penyusunan
berlangsung, ditemukan sedikitnya 20 undang-undang
yang melakukan pengaturan di wilayah pesisir (DKP,
2001). Akibatnya, pengelolaan wilayah pesisir tidak
pernah berjalan efektif; cenderung eksploitatif; bahkan,
tidak memberikan kepastian dan perlindungan hukum
bagi masyarakat adat dan nelayan tradisional. Padahal,
sekitar 91,8 persen pelaku perikanan di Indonesia adalah
merupakan nelayan tradisional, dengan kontribusi pangan
perikanan untuk kebutuhan konsumsi domestik, sebesar
92 persen dari total produksi tahunannya (KIARA, 2011).
Diawali dengan penyusunan Naskah Akademik pada
paruh kedua tahun 2000, yang melibatkan akademisi,
praktisi hukum, LSM, juga memperoleh masukan dari
sejumlah ahli dari luar, terutama dari Rhode Island
2
On June 26, 2007, Indonesia’s Legislature in their Plenary
Meeting passed on Law No. 27 year 2007 on Management
of Coastal Water and Small Islands (PWK-PPK). Supposedly
that was a breakthrough to solve the previous conflicting
law between regulating coastal zone and small island,
and state willingness to protect the interest of fishermen’s
family and customary community. Assumed, with that law,
the development of coastal zone and small island would be
maximized.
By the procedure, preparation of the draft law (RUU)
of PWP-PPK needs a longer time and involving some
stakeholders, including foreign party. It took more than 7
years to legalize this law.This is reasonable. Since during
the preparation process, at least 20 laws on management
of coastal zone (DKP, 2011) were found. As the result,
management of coastal zone had never ran effectively; tend
to be exploitative; did not even provide the law certainty
and protection to indigenous people and traditional
fisherfolk. Whereas, around 91,8 percent of fishery actors are
traditional fisherfolk, with fishery contribution as food for
domestic consumption, amount to 92 percent of total yearly
production (KIARA, 2011).
Began with preparation of Academic Manuscript on
second half of year 2000, that involved academician, law
practitioner, non-governmental organization, also received
inputs from foreign expert, particularly from Rhode Island
University, and some public policy practitioners from USA..
Likewise on budgetary context. Besides used state budgets
allocation, from initiation, preparation, to socialization
phases of PWP-PKK Law—either directly or indirectly—also
involved a set of international financing, for example USAID,
and also foreign debt from ADB and World Bank.
3
24. University dan sejumlah pegiat kebijakan publik asal
Amerika Serikat.
There was no corrective action to inequality in coastal area
and small island resource control and operation. Likewise, no
resolution on the overlapping legal regulations that govern
those area. Law of PWP-PPK even promoting the provision
of the Coastal Water Concessions (HP3) as a legal instrument
on managing coastal water and small islands—for
cultivation, tourism, and mining—to private sector, including
foreign party.
Demikian halnya dalam konteks anggaran. Selain
menggunakan alokasi anggaran negara, pada tahap
inisiasi, penyusunan hingga sosialisasi UU PWP-PPK—baik
secara langsung maupun tidak langsung—diketahui pula
melibatkan serangkaian pembiayaan asing, semisal Badan
Bantuan Pembangunan Internasional Amerika (USAID),
termasuk utang luar negeri yang bersumber dari Bank
Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia.
More detail, subject to HP3 is including water surface,
water column, to seabed zone with 60 accumulative years
of concession. Even, it can be switched and used as debt
collateral charged with a mortgage.
Tidak justru melakukan koreksi terhadap ketimpangan
penguasaan dan pengusahaan sumber daya pesisir
dan pulau-pulau kecil. Demikian halnya mengurai
tumpang-tindih antar peraturan perundang-undangan
yang mengatur kawasan tersebut. Undang-undang
PWP-PPK justru mempromosikan ketentuan Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) sebagai instrumen
legal pengusahaan perairan pesisir dan pulau-pulau
kecil—untuk kegiatan budidaya, pariwisata, dan
pertambangan—kepada sektor swasta, termasuk asing.
Thus, the substance of HP3 automatically become the legal
basis in eliminating the rights of fisherfolk’s family, coastal
customary communities to access their natural resources,
both in their coastal and small islands territories.
Moreover, the practices of damaging an island ecosystem,
sea allotment, and forcedly evicting fisherfolk continue to
appear recently. Based on KIARA’s note at least in the last
four years, there are no less than 42 ecologically important
areas: coastal area and small island—that keep “digging up”
by mining industry.
Lebih rinci, obyek HP3 berupa permukaan air, kolom,
hingga dasar perairan dengan masa pengusahaan 60
tahun akumulatif. Bahkan, dapat beralih, dialihkan
dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak
tanggungan.
Even, more than 20 islands already allotted by foreign
party for tourism industry; about 50 thousand hectares
of cultivation concession area is under foreign control; 20
small islands (including in state border) are “adopted” by
mineral, oil, and gas companies. Recently, about one million
hectares of coastal ecosystem had been converted in to
palm oil plantation and coastal reclamation project. All
of it potentially bring exacerbate pressure of fishermen
family poverty. All mentioned above has the potential in
exacerbating the poverty of fisherfolk’s family.
Dengan demikian itu, substansi HP3 dipastikan akan
melegalkan pencabutan hak-hak keluarga nelayan,
masyarakat adat dan pesisir dalam mengakses sumber
daya baik di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.
Apalagi, praktik penghancuran ekosistem pulau,
pengkaplingan laut, dan penggusuran nelayan terus
mengemuka belakangan ini. Setidaknya dalam catatan
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) rentang
empat tahun terakhir, tidak kurang dari 42 kawasan
ekologis penting: pesisir dan pulau-pulau kecil—terus
“digali” oleh industri pertambangan.
Bahkan, lebih dari 20 pulau telah dikapling asing untuk
industri pariwisata; sekitar 50 ribu hektar lahan konsesi
budidaya di bawah pengusahaan asing; 20 pulau kecil
(termasuk yang di perbatasan) tengah “diadopsi” oleh
perusahaan mineral, minyak dan gas. Belakangan, sekitar
satu juta hektar ekosistem pesisir sudah dikonversi untuk
4
Konon idenya adalah
sebagai sebuah terobosan
untuk mengurai konflik
peraturan perundangan
yang (sebelumnya) telah
mengatur wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil,
termasuk menjembatani
keinginan negara melindungi
kepentingan keluarga nelayan
dan masyarakat adat.
It is said that the idea was
to make it a breakthrough
to resolve the conflict of
laws which had (previously)
regulated coastal water
areas and small islands,
including to bridge the state’s
intent to protect the interests
of fisherfolk families and
indigenous peoples.
Based on the above considerations, on January 13th, 2010
Indonesia civil society coalition filed a Judicial Review
against Laws No. 27 year 2007, of an articles related to HP3
to the Constitutional Court. This coalition then named The
Coalition against HP3.
Besides gained support from 9 civil society organizations
and 27 fishermen organization leader, this this attempt also
supported by experts and academicians, such as: Prof. Dr.
Nurhasan Ismail, SH., M.Si.; Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, SH,
MH.; Prof. Dr. Ronald. Z. Titahelu, S.H., M.S.; Dedi Supriadi
5
25. perluasan perkebunan sawit dan pembangunan reklamasi
pantai. Kesemuanya berpotensi memperparah himpitan
kemiskinan keluarga nelayan.
Adhuri, Ph.D; and, Henry Thomas Simarmata. Likewise some
witnesses from fishermen and indigenous people: Karyono, H.
Masnun and Bona Beding.
Dengan berdasar pada pertimbangan tersebut di atas,
koalisi masyarakat sipil Indonesia pada tanggal 13 Januari
2010 mengajukan gugatan Uji Materi (Judicial Review)
terhadap Undang-Undang No. 27 Tahun 2007. Yakni,
terhadap pasal-pasal terkait HP3 ke Mahkamah Konstitusi.
Koalisi ini selanjutnya disebut Koalisi Tolak HP3 .
Table. List of Petitioners for Judicial Review of Law Number 27 of 2007
1
No
2
Selain mendapat dukungan dari 9 organisasi masyarakat
sipil dan 27 pimpinan organisasi nelayan, upaya
pembatalan tersebut juga mendapat dukungan dari para
ahli dan akademisi, di antaranya: Prof. Dr. Nurhasan Ismail,
SH., M.Si.; Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, SH, MH.; Prof. Dr.
Ronald. Z. Titahelu, S.H., M.S.; Dedi Supriadi Adhuri, Ph.D;
dan, Henry Thomas Simarmata. Demikian juga sejumlah
saksi dari nelayan dan masyarakat adat: Bapak Karyono,
Bapak H. Masnun dan Bapak Bona Beding.
3
4
Tabel. Daftar Pemohon Uji Materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
Organisasi
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
1 (KIARA) diwakili oleh M Riza Adha
Damanik
Indonesian Human Right Committe for
2
Social Justice (IHCS) diwakili oleh Gunawan
Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan
3 Peradaban Maritim (PK2PM) diwakili oleh
Muhamad Karim
No
6
No
Nelayan
1
Tiharom
3
Wartaka
2
Waun
5
6
7
8
9
Organizations
The People’s Coalition on Fishery Justice
(KIARA) represented by M Riza Adha Damanik
Indonesian Human Right Committee for Social
Justice (IHCS) represented by Gunawan
Centre Study for Ocean Development and
Maritime Civilization (PK2PM) represented by
Muhamad Karim
Agrarian Reform Consortium (KPA)
represented by Idham Arsyad
Indonesia Peasant Union (SPI) represented by
Henry Saragih
Indonesian Secretariat for the Development
of Human Resources in Rural Area-InDHRRA/
Bina Desa represented by Dwi Astuti
The Indonesian Legal Aid Foundation (YLBHI)
represented by Patra Mijaya Zein;
Friends of The Earth Indonesia (WALHI)
represented by Berry Nahdian Forqan
The Indonesian Peasant Alliance (API)
represented by Muhammad Nur Uddin
No
1
Fisherfolk
2
Waun
4
Carya Bin Darja
7
Jamhuri
3
5
6
8
9
10
11
Tiharom
Wartaka
Kadma
Saidin
Rosad
Tarwan
Tambrin Bin
Tarsum
Yusup
7
26. 4
5
6
7
8
9
8
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
diwakili oleh Idham Arsyad
Serikat Petani Indonesia (SPI) diwakili oleh
Henry Saragih
Yayasan Bina Desa Sadajiwa diwakili oleh
Dwi Astuti
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) diwakili oleh Patra
Mijaya Zein;
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI) diwakili oleh Berry Nahdian
Forqan
Aliansi Petani Indonesia (API) diwakili oleh
Muhammad Nur Uddin
4
Carya Bin Darja
7
Jamhuri
9
Tarwan
5
6
8
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
Kadma
Saidin
Rosad
Tambrin Bin Tarsum
Yusup
Rawa Bin Caslani
Kasirin
Salim
Warta
Rakim Bin Taip
Kadim
Abdul Wahab Bin
Kasda
Mujahidin
Kusnan
Caslan Bin Rasita
Kartim
Rastono Bin Cartib
Ratib Bin Takrib
Wardi
Andi Sugandi
Budi Laksana
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
Rawa Bin Caslani
Kasirin
Salim
Warta
Rakim Bin Taip
Kadim
Abdul Wahab Bin
Kasda
Mujahidin
Kusnan
Caslan Bin Rasita
Kartim
Rastono Bin Cartib
Ratib Bin Takrib
Wardi
Andi Sugandi
Budi Laksana
9
27. BAB I
CHAPTER I
SUBTANSI GUGATAN
KOALISI TOLAK HP3
SUBSTANCE OF THE
CLAIM BY THE “REJECT
HP3” COALITION
10
11
28. Secara substansi, terdapat 7 pokok pikiran yang melatari
upaya Uji Materi terhadap Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil oleh Koalisi Tolak HP3.
1. Bahwa Pasal 1 angka 44 , angka 75, dan angka
18 6 , Pasal 16 ayat (1)7, Pasal 23 ayat (2)8 dan
ayat (4)9 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
sebagai penjelasan objek HP3 tumpang tindih
dengan peraturan perundang-undangan yang lain
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
2. Bahwa Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 yang mengatur konsep HP3 sebagai hak
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
UUD 1945;
4. Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya non hayati;
sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu
karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air
laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan
kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut
tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang
laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.
5. Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil
laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari,
teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.
6. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP3, adalah hak atas bagian-bagian
tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang
terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas
permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
7. Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP3.
8. Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau
lebih kepentingan berikut: a. konservasi; b. pendidikan dan pelatihan; c. penelitian dan
pengembangan; d. budidaya laut; e. pariwisata; f. usaha perikanan dan kelautan dan industri
perikanan secara lestari; g. pertanian organik; dan/atau h. peternakan.
9. Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP3.
Substantially, there are seven main ideas that underlie
efforts to Judicial Review of Law Number 27 of 2007 on the
Management of Coastal Areas and Small Islands by the Reject
HP3 Coalition.
1. Article 1 number 44, number 75 and number 186, article
16 paragraph (1)7, article 23 paragraph (2)8 and
paragraph (4)9 Law No. 27 of 2007 as an explanation of
the HP3 objects overlapped with other laws and caused
legal uncertainty and are contradictory to article 28D
paragraph (1) of the 1945 Constitution;
2. Article 1 number 18 of Law No. 27 of 2007 that governs
the concept of HP3 are contrary to article 33 paragraph
(2) and paragraph (3) of the 1945 Constitution;
4. Coastal and Small Islands Resources are the biological, non-biological resources; artificial
resources, and environmental services; biological resources include fish, coral reefs, seagrass
beds, mangroves and other marine biota; non-biological resources include sand, sea, seabed
minerals; artificial resources including marine infrastructure related to marine and fisheries,
and environmental services of natural beauty, the sea floor surface for underwater installations
related with marine and fisheries also ocean wave energy contained in Coastal Areas.
5. Coastal waters are marine waters adjacent to land covering as far as 12 nautical miles from the
coastline, the waters linking the shore and islands, estuary, bay, shallow waters, brackish
marshes, and lagoons.
6. Coastal Waters Concessions, hereinafter referred to as HP3, is the right over certain parts of
the coastal waters for marine and fishery business, as well as other businesses associated with
the utilization of Coastal Areas and Small Islands Resources that covers the sea surface and
water column down to the surface of the sea floor to a certain limited extent.
7. The utilization of coastal waters is given in the form of HP3.
8. The utilization of Small Islands and surrounding waters is prioritized for one or more of the
following interests: a. conservation; b. education and training; c. research and development;
d. marineculture; e. tourism; f. fisheries and maritime affairs also fisheries industries in a
sustainable manner; g. organic farming; and/or h. farms.
9. The utilization of Small Islands and surrounding waters referred to in paragraph (2) and meet
the requirements in paragraph (3) shall have HP3 issued by the Government or Local Government
in accordance with their authority.
29. 3. Bahwa Pasal 14 ayat (1)10 Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3),
Pasal 28A , Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
4. Bahwa Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2)11 UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 yang mengatur HP3
bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945,
Pasal 28A UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3)
UUD 1945.
5. Bahwa Pasal 20 ayat (1)12 Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 yang memperkenankan HP3 sebagai objek
hak tanggungan bertentangan dengan Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945.
6. Bahwa Pasal 23 ayat (4), ayat (5) , dan ayat (6)
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang
mewajibkan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan
perairan di sekitarnya mempunyai HP3 yang
diterbitkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah
bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 28C
ayat (2), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
13
14
7. Bahwa Pasal 60 ayat (1) huruf b15 Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 bertentangan dengan Pasal 28A,
Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 28G ayat (1)
UUD 1945.
3. Article 14 paragraph (1)10 of Law No. 27 of 2007 is
contrary to article 1 paragraph (3), article 28A, article
28D paragraph (1), article 28I paragraph (2) and article
33 paragraph (3) of the 1945 Constitution.
4. Article 16 paragraph (1) and paragraph (2)11 of Law
No. 27 of 2007 on HP3 are contradictory to article 18B
paragraph (2) of the 1945 Constitution, article 28A of
the 1945 Constitution and article 33 paragraph (1) and
paragraph (3) of the 1945 Constitution.
5. Article 20 paragraph (1)12 of Law No. 27 of 2007 which
allows HP3 to be an object of mortgage is contrary to
article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution.
6. Article 23 paragraph (4), paragraph (5)13, and paragraph
(6)14 of Law No. 27 of 2007 that requires the utilization
of small islands and surrounding waters to possess
HP3 issued by the government or local government are
contrary to article 18B (2), article 28C paragraph (2),
and article 28H paragraph (2) of the 1945 Constitution.
7. Article 60 paragraph (1) letter b15 Law Number 27
Year 2007 is contradictory to article 28A, article 28E
paragraph (1) and paragraph (2) and article 28G
paragraph (1) of the 1945 Constitution.
10. Usulan penyusunan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RSWP-3-K), Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K), Rencana Pengelolaan Wialayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil (RPWP-3-K), dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil (RAPWP-3-K) dilakukan oleh Pemerintah Daerah serta dunia usaha.
10. The proposed Strategic Plan for Coastal Areas and Small Islands (RSWP-3-K), the Zoning Plan of
Coastal Areas and Small Islands (RZWP-3-K), Management Plan of Coastal Areas and Small Islands
(RPWP-3- K), and the Action Plan for Management of Coastal Areas and Small Islands (RAPWP-3-K)
is formulated by the Local Government and the private sector.
11. HP3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air
sampai dengan permukaan dasar laut.
11. The HP3 as referred to in paragraph (1) includes the management of the sea surface and water
column up to the surface of the sea floor.
12. HP3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan.
12. The HP3 can transfer, be transferred, and registered as collateral by applying mortgage.
13. Untuk pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya yang telah digunakan untuk
kepentingan kehidupan Masyarakat, Pemerintah atau Pemerintah Daerah menerbitkan HP3 setelah
melakukan musyawarah dengan Masyarakat yang bersangkutan.
13. For the utilization of small islands and surrounding waters that have been used for the
benefit of livelihood of the Community, the Government or Local Government issues HP3 after
consultating with the impacted communities.
14. Bupati/walikota memfasilitasi mekanisme musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
14. Regent/Mayor facilitates the consultation mechanism referred to in paragraph (5).
15. … memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP3 sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
15. ... obtain compensation for the loss of access to the Coastal and Small Islands Resources that
has been the livelihood to fulfill the needs as a result of HP3 granting in accordance with the
legislation.
14
15
31. Ditengah sedang bergesernya praktik liberalisasi
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam
Indonesia: dari ruang darat ke laut. Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, melalui Surat Putusan Nomor 3/
PUU-VIII/2010, tertanggal 16 Juni 2011, mengabulkan
permohonan Koalisi Tolak HP3 dan membatalkan
ketentuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Di
atas kertas, kebijakan mengkavling ruang hidup nelayan
tradisional dan masyarakat adat di wilayah perairan
pesisir dan pulau-pulau kecil—dibatalkan.
Terdapat dua persoalan pokok yang perlu dijawab oleh
Mahkamah Konstitusi terhadap permintaan Uji Materi UU
PWP-PPK yang diajukan Koalisi Tolak HP3, sebagai berikut:
1. Apakah pemberian HP3 bertentangan prinsip
penguasaan negara atas sumber daya alam bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, jaminan
konstitusi terhadap hak hidup dan mempertahankan
kehidupan bagi masyarakat pesisir, prinsip nondiskriminasi serta prinsip kepastian hukum yang adil
sebagaimana didalilkan oleh Koalisi Tolak HP3;
2. Apakah penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3K, RAPWP-3-K yang tidak mendudukkan masyarakat
sebagai peserta musyawarah melanggar hak-hak
konstitusional para Pemohon (baca: Koalisi Tolak HP3)
sehingga bertentangan dengan konstitusi.
Terkait kedua pertanyaan di atas, Mahkamah Konstitusi
pun memberikan penjabaran. Pertama, dengan adanya
anak kalimat “dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945, maka sebesar-besar kemakmuran rakyatlah yang
menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan
In the midst of shifting liberalization for management
practices and utilization of natural resources Indonesia:
from land to sea space; the Constitutional Court of the
Republic of Indonesia, through of the Constitutional Court
Ruling No. 3/PUU-VIII/2010 letter, dated June 16, 2011,
granted the judicial review of The Coalition Rejects HP3 and
cancel the provisions of the Coastal Water Concessions (HP3).
On paper, the policy of living space to marginalize fisherfolk
and indigenous peoples in the area of coastal waters and
small islands, has been canceled.
As already set out in the Constitutional Court Ruling
previously, there were two constitutional matters that must
be addressed by the Court, namely:
1. Does the issuance of HP3 contradictory to the principle
of state control over natural resources for the greatest
welfare of the people, the constitutional guarantee
of the right to life and sustained livelihood of coastal
communities, the principles of non-discrimination and a
just legal certainty as argued by the Reject HP3 Coalition;
2. Does the drafting of RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3K, RAPWP-3-K that does not place the communities
as participants to the consultation violate the
constitutional rights of Petitioners (Reject HP3 Coalition)
and can be found unconstitution.
Related to both questions above, the Constitutional Court
gave the following explanations. First, with the phrase
“utilized for the greatest welfare of the people” in Article 33
paragraph (3) of the 1945 Constitution, then the greatest
welfare of the people is the primary measure for the state in
determining administration, regulation or management of
land, water, and natural resources contained therein.
32. pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Kedua, penguasaan oleh negara atas bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga
memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu
maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum
adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak
konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat
dan dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk
melintas, hak atas lingkungan yang sehat, dan lain-lain.
Ketiga, HP3 akan mengakibatkan hilangnya hak-hak
masyarakat adat/tradisional yang bersifat turun-temurun.
Padahal hak-hak masyarakat tersebut mempunyai
karakteristik tertentu, yaitu tidak dapat dihilangkan
selama masyarakat adat itu masih ada. Keempat, HP3
akan mengakibatkan tereliminasinya masyarakat adat/
tradisional dalam memperoleh HP3, karena kekurangan
modal, teknologi serta pengetahuan. Padahal, negara
dalam hal ini pemerintah berkewajiban memajukan
kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia [vide Pembukaan UUD 1945 alinea
keempat dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945].
Kelima, maksud UU PWP-PPK adalah dalam rangka
melegalisasi pengkaplingan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil untuk dijadikan private ownership dan
close ownership kepada perseorangan, badan hukum
20
Second, the control by State over earth, water and natural
resources contained therein shall also consider the prevailing
rights, both individual and collective, of peoples adhering to
traditional law (hak ulayat), the rights of indigenous peoples
and other constitutional rights entitled to the people and
guaranteed by the constitution, such as access right to cross,
right to a healthy environment, and others.
Mahkamah Konstitusi
menyatakan: Pasal 1 angka 18,
Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18,
Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 22, Pasal 23 ayat (4)
dan ayat (5), Pasal 50, Pasal
51, Pasal 60 ayat (1), Pasal
71 serta Pasal 75UndangUndang Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
4739) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
The Constitutional Court
states: Article 1 number
18, Article 16, Article 17,
Article 18, Article 19, Article
20, Article 21, Article 22,
Article 23 paragraph (4)
and paragraph (5), Article
50, Article 51, Article 60
paragraph (1), Article 71 and
Article 75 of Law Number 27
of 2007 on the Management
of Coastal Areas and Small
Islands (State Gazette of
the Republic of Indonesia
Year 2007 Number 84,
Supplementary State Gazette
of the Republic of Indonesia
Number 4739) to be in
contrary to the Constitution
of the Republic of Indonesia
Year of 1945 and to have no
binding legal effect.
Third, HP3 will result in the loss of indigenous/traditional
peoples’ rights which has been passed down through
the generations. However, these rights have certain
characteristics, which is that they cannot be eliminated as
long as the indigenous communities exist.
Fourth, HP3 will result in the elimination of indigenous/
traditional people in obtaining HP3 due to lack of capital,
technology and knowledge, while in fact, the state, in this
case the government, is obligated to promote the general
welfare and social justice for all Indonesian people [see the
fourth paragraph of the Preamble of the 1945 Constitution
and Article 34 paragraph (2) 1945 Constitution].
Fifth, the purpose of this legislation is in order to legalize
the division of coastal regions and small islands into lots to
be made the private and close ownership of individual, legal
entities or certain members of society, so that the largest
part of the management of coastal areas and small islands is
left to the individual, legal entities, and community groups as
set out in Law No. 27 of 2007 by granting HP3. This means
21
33. atau masyarakat tertentu, sehingga bagian terbesar
dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
diserahkan kepada perseorangan, badan hukum, dan
kelompok masyarakat yang dikonstruksikan menurut
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 dengan pemberian
HP3. Hal ini berarti bahwa terdapat semangat privatisasi
pengelolaan dan pemanfaatan perairan pesisir dan pulaupulau kecil kepada usaha perseorangan dan swasta.
Terakhir, penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K,
RAPWP-3-K yang hanya melibatkan pemerintah daerah
dan dunia usaha merupakan sebuah bentuk perlakuan
berbeda antar warga negara (unequal treatment) dan
mengabaikan hak-hak masyarakat untuk memajukan
dirinya dan memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya
Sejalan dengan penjelasan di atas, Mahkamah Konstitusi
menyatakan: Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal
18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4)
dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal
7116 serta Pasal 7517 Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4739) bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
that there is a spirit of privatization of the management and
utilization of coastal waters and small islands to businesses
and private individuals.
In line with the above explanation, the Constitutional Court
states: Article 1 number 18, Article 16, Article 17, Article
18, Article 19, Article 20, Article 21, Article 22, Article 23
paragraph (4) and paragraph (5), Article 50, Article 51,
Article 60 paragraph (1), Article 7113 and Article 7514 of Law
Number 27 of 2007 on the Management of Coastal Areas
and Small Islands (State Gazette of the Republic of Indonesia
Year 2007 Number 84, Supplementary State Gazette of the
Republic of Indonesia Number 4739) to be in contrary to the
Constitution of the Republic of Indonesia Year of 1945 and to
have no binding legal effect.
Or, in other words the entire articles related to HP3,
including Article 71 and 75 that have not been requested by
the Petitioners to be reviewed, are declared unconstitutional
and void.
Atau, dengan kata lain seluruh pasal terkait HP3—
termasuk Pasal 71 dan 75 yang tidak diajukan oleh
Pemohon—dinyatakan bertentangan dengan konstitusi
dan dibatalkan.
16. Ayat (1) Pelanggaran terhadap persyaratan sebagaimana tercantum di dalam HP3 dikenakan sanksi
administratif. Ayat (2) Sanksi administratif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berupa
peringatan, pembekuan sementara, denda administratif, dan/atau pencabutan HP3. Ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.
17. Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang yang karena kelalaiannya: (a)
melakukan kegiatan usaha di Wilayah Pesisir tanpa HP3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1); dan/atau (b) tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(4).
22
16. Paragraph (1) stated that Violation of the requirements as stated in the administrative
sanction of HP3. Subsection (2) that the administrative sanctions as referred to in paragraph
(1) a warning, suspension, administrative penalties, and / or revocation of HP3. Paragraph
(3) further provisions on administrative fines referred to in Paragraph (2) is regulated by
the Minister.
17. Liable to a maximum confinement of 6 (six) months or a fine of not more Rp300,000,000.00 (three
hundred million rupiah) per person due to negligence: (a) conduct business in Coastal Areas
without HP3 as referred to in Article 21 Paragraph (1), and / or (b) does not carry out the
obligations referred to in Article 21 Paragraph (4).
23
35. Selain
membatalkan
pasal-pasal
HP3,
Putusan
Mahkamah Konstitusi setebal 169 halaman tersebut, juga
menghasilkan 3 terobosan konstitusi yang menguatkan
esensi maupun eksistensi perjuangan masyarakat nelayan,
masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil pada umumnya.
Pertama, dalam rangka menilai sejauh mana pemberian
HP3 akan memberi manfaat bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat, Mahkamah Konstitusi empat
tolok-ukur:
1. Kemanfaatan sumberdaya alam bagi rakyat;
2. Tingkat pemerataan manfaat sumberdaya alam bagi
rakyat;
3. Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat
sumberdaya alam, serta;
4. Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun
temurun dalam memanfaatkan sumberdaya alam.
Dengan menggunakan keempat indikator tersebut,
Mahkamah Konstitusi menetapkan HP3 bertentangan
dengan Konstitusi. Atau dengan kata lain, pemberian HP3
tidak dapat memberikan (jaminan) pemanfaatan sumber
daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.
Menurut hemat saya, keempat indikator tersebut tidak saja
dapat dipergunakan untuk mengukur konstitusionalitas
HP3, namun juga dapat digunakan sebagai alat ukur
terhadap konstitusionalitas produk legislasi lain (nasional
maupun daerah) terkait pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup Indonesia. Semisal, UU Perkebunan,
UU Mineral dan Batubara, UU Perikanan, dan seterusnya.
In examining the ruling document, which is 169 pages thick,
there are at least three breakthroughs by the Constitutional
Court, not only internally, to strengthen the struggle of
fisherfolk communities and indigenous peoples, but also the
externally, to clarify the constitutional interpretation of a
number of legislation both in national and sub-national level.
Externally, in assessing how far does the granting of HP3
provide a benefit for the greatest welfare of the people, the
Constitutional Court used four benchmarks, namely:
1. the benefit of natural resources for the people;
2. the level of distribution of benefit of natural resources for
the people;
3. the level of public participation in determining the
benefit of natural resources, and;
4. the respect for people’s rights from generation to
generation in utilizing natural resources.
By using these four indicators, the Constitutional Court ruled
that HP3 to be contrary to the Constitution. Or in other
words, granting HP3 cannot provide (the guarantee of) the
utilization of coastal waters and small islands resources for
the greatest welfare of the people.
In my opinion, these four indicators can be used not only to
measure the constitutionality of HP3, but also to measure the
constitutionality of the other legislations (national and subnational) related to the management of natural resources
and environment of Indonesia, for instance, Plantation Law,
Mineral and Coal Law, Fisheries Law, and so on.
Thus, the Constitutional Court in its ruling of HP3 have also
provided a significant external contribution, for example
in asserting and providing a constitutional measuring
36. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya terhadap HP3 telah berkontribusi besarkeluar. Yakni, mempertegas dan menyiapkan alat ukur
konstitusi untuk mengukur operasionalisasi “sebesarbesar kemakmuran rakyat” ke dalam regulasi pengelolaan
sumberdaya alam Indonesia—yang selama ini kerap
diperdebatkan.
Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi menyebut dan
menegaskan eksistensi nelayan tradisional (sekali lagi:
nelayan tradisional)—bukan nelayan kecil (seperti
yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 tentang Perikanan) yang penyebutannya rancu
dan cenderung bias kepentingan ekonomi dan teknologi
semata. Yakni, sebagai nelayan kecil (merujuk pada
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan)
mengkategorikan nelayan hanya berdasarkan bobot dan
teknologi kapal, serta kapasitas ekonomi yang digelutinya.
Alhasil, aspek kebudayaan dan kearifan tradisional yang
sejatinya adalah panduan komunitas nelayan untuk
mengelola sumber daya perikanan dan keluatan secara
adil dan lestari—termarjinalkan.
28
instrument to the meaning of “ for the greatest welfare of the
people.”
Internally, the Constitutional Court Ruling acknowledged
and affirmed the existence of traditional fisherfolk (once
again, the traditional fisherfolk)-not small fishers, as found
in Law Number 45 of 2009 on Fisheries, which is a wrong
identification and on that is biased towards economic and
technology interests. “Small fishers” (referring to Law
Number 45 of 2009 on Fisheries) are categorized only by
vessel weight and technology, and the economic capacity
bracket they are in. As a result, aspects of traditional culture
and wisdom, which in essence is the guide for the fisherfolk
communities to manage fisheries and marine resources fairly
and sustainably has been disregarded.
Accordingly, the Constitutional Court has indirectly set out
the constitutional rights of traditional fisherfolk, among
them: the right to pass (access); the right to manage
resources in accordance with cultural principles and
traditional wisdom which is believed and passed down for
generations; the right to utilize resources, including, the
right to a healthy and clean water environment. All of which
29