1. Cerita ini menceritakan tentang persahabatan antara Sari dan Dea yang mulai retak akibat kesalahpahaman dan komunikasi yang kurang baik.
2. Dea merasa tersinggung karena tidak diberitahu soal terbitnya tabloid oleh Sari.
3. Setelah berusaha menyelesaikan masalah melalui Arman dan Tio, masalah selesai namun jarak di antara Sari dan Dea masih terasa.
IDMPO : SITUS GAME SLOT GACOR & BONUS SLOT 100%, JACKPOT
Serpih persahabatan (eni muslihah)
1. Lampung Post
Minggu, 02 Desember 2007
Serpih Persahabatan
Cerpen: Eni Muslihah
PUKUL 06.00, telepon seluler Sari berdering sekali, menandakan pesan singkat masuk ke
ponsel-nya. Sari memang punya kebiasaan yang tidak bagus, sehabis salat subuh Sari sering
melanjutkan mimpi yang sempat terputus. Tidak jarang ibunya selalu menasihatinya supaya
jangan meneruskan kebiasaan buruknya.
"Bangun Nak, katanya kau mau pergi pagi ini," kata ibu Sari, sambil membuka jendela
kamar Sari. "Kebiasaan mu ini jangan diteruskan, gimana kalau kamu nanti berumah-rumahan
alias berumah tangga kelak. Kasihan suami mu Nak," ujar Ibu Sari. "Tuh, ponsel
kamu bunyi," kata ibu Sari, sambil menunjuk ponsel putri bungsunya.
"Makasih ya Bu udah bangunin aku. Tapi Bu, ini kan baru pukul 06.00," jawab Sari sambil
meraba-raba mencari ponsel-nya yang baru saja berdering. "Maaf Bu, semalam aku tidur
agak malam, jadinya ngantuk berat," sahut Sari, sambil membuka pesan singkat yang
mengusik tidur paginya.
Ternyata pesan singkat itu asalnya dari Dea, sahabat Sari. Dea berusia jauh lebih di atas
dari Sari dan Dea sudah berkeluarga. Sekarang Dea memiliki tiga anak yang lucu-lucu, Sari
pun sangat menyenangi ketiga anaknya itu. Walaupun usia Dea terpaut jauh dengan Sari,
Dea bisa mengimbangi pertemanan mereka. Makanya, persahabatan mereka lumayan
langgeng.
"Ups, SMS dari Mba Dea," kata Sari sambil menunggu pesan yang ingin disampaikan Dea
terbuka. Maklumlah ponsel Sari bukan barang mahal, jadi menunggu pesan terbuka semua
membutuhkan waktu beberapa detik.
Betapa terkejutnya Sari membaca pesan yang berisikan ungkapan kekecewaan Dea pada
Sari. "Ri, apa perlu aku hadir pada rapat tanggal 17 September itu? Sepertinya Kau sudah
bisa jalan tanpa aku. Maaf ya Sar, semaleman aku gak bisa tidur mikirin tabloid. Aku malu
namaku masih nampang di situ, sedangkan tak satu pun tulisan maupun konsepku muncul
di sana. Kalau kau memang bisa kerjakan sendiri silakan saja," begitu pesan yang
disampaikan Dea pada Sari.
Dea dan Sari memang terlibat sebuah organisasi besar. Mereka berdua satu tim. Bidang
yang mereka geluti adalah informasi publik. Salah satu produknya Sinar Abadi. Selama ini
Dea bertanggung jawab atas penerbitan karena kesibukannya sebagai seorang pekerja di
salah satu instansi swasta dan sebagai seorang ibu yang harus mengasuh ketiga anaknya,
akhirnya terbitnya Sinar Abadi sering tertunda. Sementara itu, Sari adalah seorang
mahasiswi semester akhir di perguruan swasta tempatnya tinggal. Waktu luang yang
dimiliki Sari relatif banyak, karena tidak ada lagi jadwal perkuliahan yang harus di tempuh
Sari. Makanya, Sari sering muncul dan mengaktualisasikan kegemarannya sebagai penulis
di organisasi itu.
Sari terdiam usai membaca pesan dari Dea. Tanpa sadar, Sari telah mengabaikan ibunya
yang terus saja berbicara padanya.
"Sar, kamu denger ibu kan?" tanya ibunya.
"Maaf bu. Ibu tadi bilang apa?" Sari balik bertanya pada ibunya, yang baru tersentak dari
2. lamunannya.
"Kamu ini masih pagi udah ngelamun. SMS dari siapa? Ibu tadi bilang buruan cuci piring,
tapi ibu sudah nyapu halaman depan," lanjut wanita paro baya itu pada putri bungsunya.
"Tenang Bu, itu udah jadi kewajiban Sari. Pasti aku kerjain. Sari gak bakal pergi sebelum
pekerjaan rumah selesai," celoteh Sari pada ibunya, sambil menutup pesan dari Dea. Sari
tidak sempat membalas SMS Dea, keburu ibunya bicara panjang lebar. Langsung saja Sari
beranjak dari tempat tidurnya, bergegas mengerjakan tugas rutinnya.
***
Seminggu sudah Sari tidak menjalin komunikasi pada Dea lewat SMS. Sari masih bingung
harus menjawab bagaimana pesan Dea. Sampai akhirnya mereka harus bertemu. Gadis
berkulit hitam manis itu mencoba meraba-raba perkataan dan sikap apa yang membuat Dea
jadi marah. Tiba-tiba muncul dalam benak Sari Tabloid Sinar Abadi.
"Ups. Kenapa sewaktu ini terbit, aku gak pernah konfirmasi dengan Mba Dea ya," jujur
Sari pada dirinya sendiri. Bahkan, yang membuat Dea lebih kesal, tabloid itu sampai ada di
tangannya, tak sepatah kata pun Sari memberi tahu, baik lewat SMS maupun yang lainnya.
Padahal, sebelumnya Dea sudah mengirim pesan pancingan. Harapan Dea, Sari akan
memberi tahu terbitnya dari mulut Sari.
"Oh Sari! Betapa bodohnya kau ini, kenapa pula gak bilang-bilang kalo Sinar Abadi sudah
terbit," keluh Sari pada dirinya sendiri.
Sari bingung bagaimana menjelaskan keteledorannya itu pada Dea. Tak lama kemudian,
Sari teringat Arman, atasan Sari dan Dea. Sari berpikir Arman adalah orang yang tepat
menyelesaikan masalah uang sedang dihadapinya. SMS yang Dea kirimkan sepekan lalu
pun langsung di-forward ke Arman. Arman pun membalas SMS Sari.
"Sar, masalah ini miskomunikasi aja. Kesalahan sepenuhnya tidak cuma di Sari aja, Saya
yang tanggung jawab. Nanti saya menghubungi Dea, tetep semangat ya...!" pesan balasan
Arman pada Sari.
Kini Sari mulai tenang. Berharap pada Arman masalah ini selesai dengan baik-baik. Tiga
hari berikutnya, Sari bertemu Arman di salah satu tempat tanpa sengaja. Sari pun
menanyakan kembali perkembangan masalahnya.
"Gimana urusan kita, selesai?" tanya Sari pada Arman, mengawali perjumpaan mereka.
"Oh.. saya belum menghubunginya. Nantilah cari waktu yang tepat. Sekarang saya masih
banyak urusan. Sabar ya," jawab Arman dengan meyakinkan Sari.
"Pokoknya saya gak mau masalah ini kelamaan. Saya udah kangen sama anak-anaknya.
Saya berharap ending bagus!" pinta Sari.
"Ya dah...tenang Bos," timpal Arman.
Belum sempat Arman menghubungi Dea untuk membicarakan permasalah itu, keesokan
harinya Sari dan Dea bertemu di sebuah pesta pernikahan rekan mereka. Sari merasa kikuk.
Pertemuan ini tidak seperti biasanya. Ada sekitar setengah jam Sari dan Dea tidak memulai
percakapan. Kebekuan suasana itu pun akhirnya menyair karena tangisan anak Dea yang
bungsu. Sari sibuk, berusaha menenangkan si kecil. Alhasil anak Dea pun terhenti dari
3. tangisannya.
Barulah tiga menit pertama Sari memulai pembicaraan. "Mba Dea, gimana kesibukanmu
sekarang?" tanya Sari yang berusaha mencairkan suasana. "Aku minta maaf, SMS-mu
waktu itu gak saya bales. Aku bingung gimana bales-nya," lanjut Sari.
"Saat itu yang ada di pikiranku, gimana caranya Sinar Abadi bisa terbit. Gak satu pun dari
temen-temen tim saya beri tahu. Sekali lagi maaf ya," tutur Sari.
Dea pun senyum kecut tanpa melihat Sari. "Menurutku, terbitnya Sinar Abadi tanpa
memberi tahu aku, terjawab sudah," jawab Dea. "Kayaknya emang aku dah gak layak lagi
berada di organisasi ini," tambahnya. "Tapi demi Allah, aku sudah berusaha meluangkan
waktu untuk bisa eksis di sini. Dan kenyataannya aku tidak bisa," keluh Dea pada Sari.
"Mungkin jalan yang terbaik, aku harus memilih mana yang prioritas buat hidupku. Tapi
kalau Sari bisa mengerjakan dengan sendirian tabloid itu, ya silakah sajalah," ungkap Dea
sambil menahan rasa sedihnya.
Kembali Sari tidak bisa mengutarakan perasaan hatinya. Ia hanya bisa menangis dan
menangis. Senja pun mulai menyingsing, dan pertemuan mereka pun harus berakhir tanpa
ada penyelesaian yang tegas. Sekali lagi, Sari hanya bisa mengucap kata "maaf", Sari pun
berlalu dari Dea.
Usai prtemuan itu, semalaman Sari tidak bisa tidur memikirkan pertemuan mereka berdua.
Lagi-lagi, Sari berharap pada Arman untuk bisa menenangkan perasaannya. Kemudian Sari
mengirimkan pesan lewat telepon selulernya pada Arman. Sari menyeritakan hasil
pertemuannya dengan Dea. Tapi sayang, Arman tidak membalas pesan dari Sari.
Akhirnya Sari pun memutuskan untuk menceritakan permasalahan itu pada Tio, teman Sari.
Kebetulan Tio juga banyak tau tentang Dea. Tio memang orang yang bijak, dari Tio lah
Sari banyak belajar memetik sebuah hikmah dari sebuah persoalan. Walaupun pada
dasarnya Tio punya sifat yang sedikit temperamen. Tapi di satu sisi Tio orangnya cukup
baik dan menenangkan hati.
Tak terasa waktu terus berlalu dan malam pun makin larut. Perlahan tapi pasti
permasalahan yang tengah Sari hadapi tenggelam menjadi sebuah mimpi yang indah. Sari
terbangun lantaran mendengar azan subuh berkumandang. Sedikit banyaknya Sari mulai
melupakan kejadian bersama Dea kemarin. Bergegaslah Sari pergi ke kamar mandi,
mengambil air wudu dan menunaikan salat subuh.
Kriiiing..., ponsel Sari berdering, tanda ada pesan yang masuk. Sebuah pesan dari Dea. Sari
pun buru-buru menuntaskan salat subuhnya. Pesan itu berbunyi pengulangan pesan Dea
yang lalu. Ternyata beberapa pesan Dea yang lain tidak bisa terbuka di ponsel Sari.
Yahh...maklumlah ponsel Sari sudah lawas.
Dengan percaya diri Sari membalas dengan kata-kata, "SMS-mu ini sudah aku baca, dan
sampai kapanpun akan tetap kusimpan. Ini adalah sebuah pelajaran berharga buatku, aku
tidak akan mengulanginya lagi. Maafkan aku ya Mba...," begitu balasan Sari.
Tak lama kemudian, Dea pun membalas dengan pesan yang cukup mengejutkan yang
berbunyi, "Aku pun belajar dari orang-orang yang tampak loyal. Ternyata tidak cuma
fulan...carilah cara yang lain dik, jangan menikam dari belakang," balasan Dea kembali
pada Sari.
4. Sontak Sari terkejut. Begitu besarkah rasa marah Dea pada Sari sehingga dipenghujung
pesannya begitu mengena sasaran. Padahal sepengetahuannya, pesan-pesan seperti itu tidak
mungkin keluar dari seorang Dea. Sari tahu persis siapa Dea, karakter menghunjam orang
tidak mungkin muncul dari diri seorang Dea.
Sari dengan penuh rasa emosi bercampur sedih, mengirim ulang pesan itu kepada Arman.
Arman-lah satu-satunya orang yang berhak membaca pesan Dea. Dengan penuh
kemarahan, Sari meminta untuk bertemu sesegera mungkin pada Arman. Sari minta
pertanggungjawaban Arman atas persoalan ini. Sepanjang jalan menuju kantor organisasi
yang menerbitkan Tabloid Sinar Abadi, Sari menangis. Kepalanya terasa berat. Seperti ada
batu besar yang menimpanya.
Dalam hati, Sari selalu berkata, "Aku bukan orang yang seperti ada dalam pikiranmu Dea.
Aku adalah Sari yang selalu ingin bersamamu baik dalam senang maupun susah."
Sesampainya di kantor tersebut, Sari langsung meminjam ponsel temannya untuk membuka
pesan yang tidak bisa dibaca di pesawat teleponnya. Pesan itu adalah pesan terusan yang
berbunyi "Aku agak sulit memaafkan kejadian ini semua, toh maafku tidak begitu berarti
bagimu. Ada dan tiadanya aku, kau tetap berprestasi. Teruslah kau berkiprah selagi kau
belum berkeluarga dan beranak -inak. Biar Allah saja yang tahu," pesan yang cukup
mengguncangkan hati Sari. Wajar kalau Sari memutuskan persoalan ini untuk diketahui
Arman dan meminta segera diselesaikan.
Pada akhirnya, Arman pun turun tangan menyelesaikan persoalan yang tampak sepele ini.
Pagi sekali Arman berkunjung ke rumah Dea, tapi sayang Dea sudah keburu pergi bekerja.
Arman pun bertemu dengan suami Dea dan menyeritakan duduk persoalan ini pada suami
Dea. Arman berharap persoalan ini segera berakhir dengan cara yang baik.
Memang apa yang diharapkan Arman terwujud. Keesokannya Dea mendatangi rumah Sari.
Membawa buah tangan. Sari pun terheran dengan perlakuan Dea yang tampak tidak pernah
terjadi apa-apa. Padahal kemarin, sempat terjadi ketegangan antara mereka.
Sari menyambut gembira kedatangan Dea walaupun hanya beberapa menit saja. Sari
berpikir selesai sudah persoalan antara mereka dan hari-hari berikutnya Sari berharap
hubungan mereka tetap seperti sediakala.
Sayang, harapan Sari tidak tercapai. Rupanya Dea masih membutuhkan waktu lama untuk
bisa melupakan kejadian yang dialaminya. Akhirnya, walaupun selesai permasalahan
mereka, tetap saja masih ada jarak antara mereka, kaca yang sudah pernah pecah tidak
mungkin bisa disatukan kembali seperti sedia kala. Enam bulan berikutnya Dea pergi ke
Pulau Jawa, menemani sang suami yang sedang bertugas di sana. Empat tahun berikutnya,
Dea sudah punya momongan baru dan Sari sudah berkeluarga bersama lelaki yang
diharapkannya.***