1. 1
CATATAN PINGGIR
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 20141
Oleh : Ahmad Solihin2
NIM : 137005032
Pendahuluan.
Pemilihan kepala Daerah atau yang lebih dikenal dengan pilkada merupakan
amanat UUD 1945 perubahan keempat pada tanggal 18 Agustus 2000, khususnya pasal
18 Ayat (4) yang redaksinya berbunyi “ Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis.
Ketentuan ini kemudian di implementasikan kedalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini
kemudian di rubah dan dipecah menjadi tiga buah Undang-Undang yaitu Undang –
Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa, Undang-undang Nomor 22
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota serta Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah.
Undang-undang No 22 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur , Bupati dan
Walikota yang disahkan pada tanggal 30 September 2014 oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014 Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 243. Tidak bernasib sama dengan dua saudaranya yang
lain, dengan adanya aksi demontrasi di luar parlemen dan walkout fraksi partai democrat
di parlemen dalam pengesahaannya.
Hanya dalam hitungan jam Undang-undang Nomor 22 tahun 2014 dinyatakan
dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
tahun 2014 yang ditetapkan oleh Presiden Susilo bambang Yudhoyono pada tanggal 2
Oktober 2014, diundangkan juga pada tanggal yang sama 2 Oktober 2014 dan lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 245.
Perpu merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh presiden berdasarkan keadaan
hal ikwal kegentingan yang memaksa dan terdapat dalam UUD 1945 pasal 22 ayat (1).
Makna Pasal 22 UUD 1945 ini menyediakan pranata khusus dengan memberi wewenang
kepada Presiden untuk membuat Peraturan Pemerintah (sebagai) Pengganti Undang-
Undang. Pembuatan Undang-Undang untuk mengisi kekosongan hukum dengan cara
membentuk Undang-Undang seperti proses biasa atau normal dengan dimulai tahap
pengajuan Rancangan Undang-Undang oleh DPR atau oleh Presiden akan memerlukan
waktu yang cukup lama sehingga kebutuhan hukum yang mendesak tersebut tidak dapat
diatasi.
Dari rumusan kalimat tersebut jelas bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud
pada pasal ini adalah sebagai pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi
tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang memaksa,
UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak
memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-
Undang. Apabila pembuatan peraturan diserahkan kepada DPR maka proses di DPR
1 . Tugas Mata Kuliah Hukum Pemerintahan Daerah.
2 . Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Hukum USU, Jurusan Hukum Tata Negara.
2. 2
memerlukan waktu yang cukup lama karena DPR sebagai lembaga perwakilan,
pengambilan putusannya ada di tangan anggota, yang artinya untuk memutuskan sesuatu
hal harus melalui rapat-rapat DPR sehingga kalau harus menunggu keputusan DPR
kebutuhan hukum secara cepat mungkin tidak dapat terpenuhi.
Unsur “kegentingan yang memaksa” harus menunjukkan dua ciri umum, yaitu:
(1) Ada krisis (crisis), dan (2) Kemendesakan (emergency). Suatu keadaan krisis apabila
terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and
sudden disturbunse). Kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang
tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu
permusyawaratan terlebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan
menurut nalar yang wajar (reasonableness) apabila tidak diatur segera akan menimbulkan
gangguan baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan.3
Menurut Jimly Asshiddiqie, syarat materiil untuk penetapan Perppu itu ada tiga,
yaitu: a. Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau reasonable necessity; b.
Waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat kegentingan waktu; dan c. Tidak
tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt)
alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan
Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut.4
Apabila ketiga syarat tersebut telah terpenuhi, dengan sendirinya Presiden selaku
dengan kewenangan konstitusional yang dimilikinya untuk mengatur hal-hal yang
diperlukan dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara dan roda
pemerintahan yang dipimpinnya. Materi apa saja yang dapat dan perlu dimuat dalam
Perppu tentunya tergantung kebutuhan yang dihadapi dalam praktik (the actual legal
necessity). Bahkan, ketentuan tertentu yang menyangkut perlindungan hak asasi manusia
yang dijamin dalam undang-undang dasar dapat saja ditentukan lain dalam Perppu
tersebut sepanjang hal itu dimaksudkan untuk mengatasi keadaan darurat guna
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.5
Hal ini dikemudian diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi No
138/PUU-VII/2009 yang menetapkan tiga syarat Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang diperlukan apabila:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum
secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan
hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-
Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama
sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.6
Disamping itu, dengan disebutnya ”Presiden berhak” terkesan bahwa pembuatan
Perpu menjadi sangat subjektif karena menjadi hak dan tergantung sepenuhnya kepada
Presiden. Pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada
penilaian subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut
tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di
3
. Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat studiHukum FH UII kerjasama dengan Gama Media, Yogyakarta,
1999, hal : 158-159
4
. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hal : 282
5
.Ibid.
6
. Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 138/PUU-VII/2009.
3. 3
atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif
yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa.
Dalam kasus tertentu dimana kebutuhan akan Undang- Undang sangatlah
mendesak untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang
dirasakan oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perpu bahkan dapat
menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perpu sebagai upaya untuk
menyelesaikan persoalan bangsa dan negara.
Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat
menimbulkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c) akibat hukum
baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum
tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma
hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau
menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang-
Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya
sama dengan Undang-Undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut.
Menurut penulis putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak menjelaskan secara rinci
apakah ketiga persyaratan itu berlaku secara kumulatif, sehingga Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang dapat dikeluarkan oleh presiden, atau hanya satu atau dua
syarat yang dapat dipenuhi baru dapat dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang.
Pemilihan Kepala Daerah Bukan merupakan rejim Pemilihan Umum.
Pemilihan kepala daerah baik langsung maupun dipilih oleh DPRD telah
menimbulkan pro dan kontra, silang pendapat antara partai politik maupun pendapat dari
kalangan akademisi dalam mengajukan argumentasinya, tentunya ini sangat baik dalam
memperkaya dan menguatkan khasanah ilmu pengetahuan. Argumentasi itu didasarkan
kepada pasal 18 (4) UUD 1945 dan pasal 22E UUD 1945.
UUD 1945 merupakan konstitusi Negara Indonesia yang sudah diamandemen
sebanyak empat kali. Konstitusi menurut Joseph Raz mengartikan konstitusi dalam arti
“tipis” dan “tebal” dalam arti “tipis” konstitusi adalah aturan hukum yang membentuk
dan mengatur organ-organ utama pemerintahan beserta kewenangan yang dimilikinya,
serta prinsip-prinsip dasar negara.7
Jadi menurut penulis kalau diilustrasikan organ-organ itu diberikan nomor dalam
hal ini adalah pasal-pasal tentunya pemilihan kepala daerah bukanlah pemilihan umum.
Atau konstitusi itu diibaratkan sebuah bangunan bertingkat, maka lantainya adalah bab
dari UUD sedangkan pasal adalah kamar-kamar yang berada dilantai tersebut. Misalnya
Bab 1 adalah Bentuk dan kedaulatan, maknanya adalah lantai 1 namanya bentuk dan
kedaulatan dan pasal 1 ini mempunyai (3) ayat, maka pasal 1 adalah kamar yang ber
nomor satu dan dalam kamar itu terdapat tiga ruangan, begitu seterusnya. Yang
membawa konsekwensinya Pemilihan Kepala daerah tidak termasuk kategori Pemilihan
Umum.8
Pemilihan kepala daerah diatur dalam pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar
1945, menyebutkan “ Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis” “ yang
7
. Joseph Raz. On the Authority and Interpretation of Constitutions, Some Preliminaries dalam Larry
Alexander (ed), Constitusionalism: Philosopichal Foundations, Cambridge University Press, Cambridge, 1998, hal
153.
8
. Lihat Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 072-073/PUU-II/2004 tertanggal 21 Maret 2005.
4. 4
berbeda dengan ketentuan Pemilihan Umum diatur dalam BAB VIIB Pasal 22E yang
terdiri dari :
1) Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil setiap lima tahun sekali.
2) Pemilihan Umum diselengarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden
dan Wakil presiden dan DPD.
3) Peserta Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai
politik.
4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.
5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri.
6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran konsep dalam memandang Pemilukada.
Pergeseran Pemilukada menjadi bagian dari rezim hukum Pemilu ini tidak terlepas dari
pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 72–73/PUU/2004 tentang Pengujian UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Meskipun dalam pertimbangan
putusan tersebut dinyatakan bahwa Pemilihan umum kada langsung tidak termasuk dalam
kategori pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 dan
penyelenggaraannya dapat berbeda dengan Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22E UUD 19454, namun tiga hakim konstitusi yaitu H.M. Laica Marzuki, A. Mukthie
Fadjar dan Maruarar Siahaan memberikan dissenting opinion (pendapat berbeda) yang
mengkategorikan Pemilukada sebagai bagian dari rezim hukum Pemilu. Pendapat
berbeda (dissenting opinion) itulah yang kemudian diakomodir oleh pembentuk Undang-
Undang ke dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum dan Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua undang-
undang tersebut mengaktegorikan Pemilukada sebagai bagian dari rezim hukum Pemilu,
dan mengamanatkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengadili sengketa hasil
Pemilukada. Pengalihan kewenangan mengadili sengketa hasil Pemilukada dari
Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi telah berlaku efektif sejak tanggal 1
November 2008 berdasarkan berita acara pengalihan wewenang mengadili dari
Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi pada 29 Oktober 2008.
Terhitung sejak pada Oktober 2008 sampai Maret 2013, tercatat sebanyak 554
perkara diregistrasi di MK. Dari jumlah tersebut, MK memutuskan sebanyak 56 perkara
dikabulkan, 332 ditolak, 114 tidak dapat diterima, 15 perkara ditarik kembali, dan 1
gugur.9
Putusan inilah kemudian diakomodir dalam Undang-Undang No 22/2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum yang sepertinya memberi angin segar memasukkan
pemilihan kepala daerah ke dalam rezim pemilihan umum. Hal ini dapat disimak dari
definisi ketentuan pasal 1 angka 4 undang-undang tersebut, yakni bahwa Pemilu Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan
wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
9
. Mahkamah Konstitusi, “Rekapitulasi Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPHPUD, di unduh tanggal 10 Desember
2014.
5. 5
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Undang-undang No 22 /2007 tentang penyelenggara pemilihan umum ini
kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu, yang menyebutkan bahwa “pemilihan gubernur, Bupati dan walikota adalah
pemilihan untuk memilih Gubernur, Bupati dan Walikota secara demokratis dalam
negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945” (vide pasal 1 angka 4).
Kesepakatan rumusan “secara demokratis” untuk pilkada dicapai dengan maksud
agar bersifat fleksibel, baik dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun secara tidak
langsung oleh DPRD. Keduanya, asalkan dilakukan secara jujur dan adil serta sesuai
dengan prinsip-prinsip pemilihan secara demokratis.10
Sama halnya dengan pendapat Kant yang dikutip oleh Sartono “Pilkada yang
demokratis sebagai salah satu bentuk konsep yang harus didukung dengan tertib hukum
dan partisipasi manusia secara keseluruhan yang menjadi keselarasan yang ditentukan
sebelumnya (harmonia praestabilitia) sebagai etika yang asasi yang berasal dari perasaan
dan kepercayaan. Sedangkan, teori demokrasi menjadi bingkai pendukung terhadap
pengembangan konsep politik yang mengarahkan pilkada yang jujur dan adil sebagai
budaya demokratis suatu negara.”11
Pemilihan kepala daerah Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2014.
Sebagai suatu kajian terhadap ketatanegaraan baiknya kita melihat beberapa
persoalan substansi yang esensial, yang pertama adalah bagaimana Perpu Nomor 1 tahun
2014 mengatur tentang pemilihan kepala daerah, pada pasal 1 angka 1 “Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan
kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan
Walikota secara langsung dan demokratis.
Dalam pandangan Axel Hadenius suatu pemilu dapat dikatakan berlangsung secara
demokratis apabila memenuhi tiga kriteria : yaitu 1, Keterbukaan, 2, ketepatan dan 3
efektifitas.12
Sedangkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2014 diatur dalam pasal 1 angka 5
“Pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah
pelaksanaan kedaulatan rakyat di provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur,
bupati, dan walikota secara demokratis melalui lembaga perwakilan rakyat”
Dari kedua ketentuan perundang-undangan ini penulis simpulkan bahwa pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota bukan merupakan rejim dari pemilihan umum,merupakan
pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara demokratis, dengan mekanisme yang
berbeda yaitu dengan langsung oleh rakyat dan melalui perwakilan rakyat. Baik
pemilihan langsung maupun tidak langsung semangat dari kedua peraturan ini adalah
dilaksanakan secara demokratis.
Asas penyelenggara pemilihan kepala daerah adalah Pemilihan dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
10
. Janedri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, Jakarta:KonstitusiPress, 2012, hal : 95.
11
. Sartono Sahlan dan Awaludin Marwan, Nasib Demokrasi Lokal di Negeri Barbar, Yogyakarta: Thafa Media,
2012, hal : 60.
12
. Lihat Axel Hadenius, Democracy and Development, Cambridge university Press, 1992.
6. 6
adil.(Vide Pasal 2 Perpu Nomor 1 tahun 2014), sedangkan Undang-undang Nomor 22
tahun 2014 menganut asas Pemilihan dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas
bebas, terbuka, jujur, dan adil.(vide pasal 2).
Dari kedua asas pelaksanaan pemilihan kepala daerah ini tentunya mempunyai
asas yang berbeda sangat mendasar yakni langsung, umum, bebas , rahasia, jujur dan adil
yang notabene adalah prinsip dasar dari pemilihan umum. Sedangkan Undang-Undang
Nomor 22 tahun 2014 hanya berasaskan kepada bebas, rahasia serta jujur dan adil, yang
menurut penulis inilah yang membedakan atau karakteristik dari pemilihan kepala daerah
sebagai pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind dari penerapan
otonomi daerah dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Setidaknya itulah persamaan paradigma yang penulis tangkap antara Dewan
Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah, Presiden selaku pemegang mandat Perpu
berangkat dari paradigma bahwa Pilkada langsung adalah bagian dari urusan
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga termasuk rezim hukum pemerintah
daerah dan tak ada kaitannya dengan pemilihan umum (pemilu), tetapi sama secara
implementasi.
Kedua adalah tentang uji publik, ketentuan diatur dalam Bab VI pasal 38 yaitu :
(1) Warga negara Indonesia yang mendaftar sebagai bakal calon Gubernur, bakal Calon
Bupati, dan bakal CalonWalikota yang diusulkan oleh Partai Politik, gabungan
Partai Politik, atau perseorangan wajib mengikuti Uji Publik.
(2) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mengusulkan dari 1 (satu) bakal
Calon Gubernur, bakal Calon Bupati, dan bakal Calon Walikota untuk dilakukan Uji
Publik.
(3) Uji Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh panitia Uji
Publik.
(4) Panitia Uji Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) beranggotakan 5 (lima) orang
yang terdiri atas 2 (dua) orang berasal dari unsur akademisi, 2 (dua) orang berasal
dari tokoh masyarakat, dan 1 (satu) orang anggota KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota.
(5) Uji Publik dilaksanakan secara terbuka paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum
pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota.
(6) Bakal Calon Gubernur, bakal Calon Bupati, dan bakal Calon Walikota yang
mengikuti Uji Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh surat
keterangan telah mengikuti Uji Publik dari panitia Uji Publik.
Menurut penulis ketentuan uji publik ini dalam pemilihan kepala daerah merupakan
hal yang baru baik dalam hal substansinya maupun pelaksanaannya. Uji public
merupakan salah satu persyaratan menjadi calon gubernur, bupati maupun walikota yang
diusulkan oleh partai politik maupun gabungan partaai politik serta calon perseorangan,
perpu ini memberikan peluang kepada partai politik dan gabungan partai politik
mengusulkan banyak bakal calon. Sementara itu persyaratan bakal calon perseorangan
yang akan mengikuti uji publik tidak ada batasan yang jelas, sehingga diprediksi akan
banyak bakal calon perseorangan yang mengikuti uji publik.
Perpu ini belum mencermin rasa keadilan bagi calon gubernur, bupati dan walikota
yang diusulkan oleh partai politik, dimana penetapan sebagai calon dan calon terpilih
dapat dibatalkan apabila partai politik maupun gabungan partai politik menerima imbalan
dalam bentuk apapun pada proses pencalonan kepala daerah, calon terpilih, dan apabila
7. 7
terbukti partai politik atau gabungan partai politik di skorsing atau mendapatkan kartu
merah dengan sanksi tidak boleh mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah
yang sama sementara calon kepala daerah dari perseorangan pada tahapan penetapan
sebagai calon dan calon terpilih apabila terbukti mempergunakan money politik tidak
dibatalkan. Dan tidak ada pencabutan hak untuk dipilih sebagai kepala daerah pada
periode berikutnya apabila terbukti melakukan money politik pada daerah yang sama.
Sebagaimana yang diberikan terhadap partai politik maupun gabungan partai politik.
Perpu Nomor 1 tahun 2014 sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 22
tahun 2014, adanya norma hukum baru dalam hal membuka kotak suara apabila ada
perbedaan jumlah suara dari sertifikat hasil penghitungan suara di TPS hanya dapat
dilakukan pada PPS atau satu tingkat diatas TPS.13
Dari sisi persyaratan calon gubernur, bupati dan walikota pada pasal 7 uruf q
berbunyi “tidak mempunyai kepentingan dengan petahana” ketentuan ini dalam
penjelasannya cukup jelas tentunya bisa menibulkan penafsiran yang bermacam-macam,
seharusnya dijelaskan kepentingan yang dimaksud.
Selain surat suara yang dicetak oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi maupun
kabupaten / kota berjumlah sesuai dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) ditambah
dengan 2,5 % (dua koma lima persen) surat suara cadangan dari jumlah daftar pemilih
tetap, peraturan pemerintah ini juga mengatur tentang surat suara yang bertanda khusus
harus sudah disiapkan dengan jumlah sebanyak 2000 (dua ribu) surat suara, yang
diperuntukan guna mengantisipasi pemungutan suara ulang. Ketentuan ini merupakan
suatu langkah maju adanya persiapan pemungutan suara ulang, akan tetapi menurut
hemat penulis langkah ini merupakan langkah pemborosan dengan mencetak terlebih
dahulu, tentunya komisi pemilihan umum sebagai penyelenggara tidak menginginkan
adanya pemungutan suara ulang, kalaupun ada pemungutan suara ulang, ternyata
pemungutan suara ulang itu adalah lebih dari 5 TPS dengan asumsi jumlah pemilih per
TPS maksimal 800 (delapan ratus ) pemilih.
Saat ini Perpu ini sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat apakah diterima
menjadi sebuah Undang-Undang ataukah ditolak, penulis mengharapkan kalau diterima,
sudah dilakukan pembahasan pasal demi pasal sehingga perpu dapat dinyatakan layak
untuk menjadi suatu Undang-undang benar dikaji secara mendalam. Persoalan menolak
atau menerima oleh Dewan Perwakilan Rakyat seyogyanya dibahas secara konfrehensif
dengan mempertimbangankan aspek sosiologis, aspek yuridis, dan aspek aspek lainya di
infut dengan menakar manfaat dan mudharatnya pemilihan itu langsung maupun
pemilihan tidak langsung.
Seorang penganjur hak asasi manusia Amerika Serikat James Freeman Clarke
mengatakan “A politician thinks of the next election. A statesman, of the next generation
“SEORANG POLITISI MEMIKIRKAN PEMILU BERIKUTNYA, SEORANG
NEGARAWAN MEMIKIRKAN GENERASI BERIKUTNYA”.
13 . Lihat Juga Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006.