1. 1
KEWENANGAAN MK TERHADAP TAP MPR1
OLEH AHMAD SOLIHIN2
A. Pendahuluan.
Sebelum perubahan UUD Negara Republik Indonesia 1945, Republik Indonesia
menganut prinsip supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai salah satu
bentuk varian sistem supremasi parlemen yang dikenal di dunia. Oleh karena itu, paham
kedaulatan rakyat yang dianut dan diorganisasikan melalui pelembagaan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dikonstruksikan sebagai lembaga penjelmaan
seluruh rakyat Indonesiayang berdaulat, yang disalurkan melalui prosedur perwakilan
politik (political representation) melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Perwakilan
Daerah (regional representation) melalui utusan daerah,dan perwakilan fungsional
(functional representation) melalui utusan golongan. Ketiganya dimaksudkan untuk
menjamin agar kepentingan seluruh rakyat yang berdaulat benar-benar tercermin dalam
keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Sehingga lembaga yang
mempunyai kedudukan tertinggi tersebut sah disebut sebagai penjelmaan seluruh rakyat. 3
Garis pertanggung jawaban Presiden dan Wakil Presiden sekarang langsung
kepada rakyat berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UUD NRI 1945 pada Pasal 1
ayat 2 yang mengatakan “ Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar. Kedudukan MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara,
tetapi bergeser sebagai lembaga negara yang kedudukannya sama dengan lembaga negara
lainnya, seperti DPR, MA dan MK dan lainnya.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam system ketatanegaraan Indonesia,
telah memberikan kontribusi yang positif bagi pengembangan negara hukum yang
demokratis. Kehadiran MK sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution)
dapat dianggap sebagai kemenangan terhadap supremasi hukum dan konstitusi yang
dicita-citakan. Sebagai bagian dari kekuasaan peradilan, MK adalah institusi peradilan
yang bisa menjaga dan menjamin terlaksananya pemenuhan hak-hak konstitusi (basic
rights) warga negara. MK merupakan perwujudan mekanisme cheks and balances, yang
1
. Tugas Akhir Mata Kuliah Teori Hukum Konstitusi. Pasca Sarjana Ilmu Hukum USU.
2
. NIM : 137005032
3
. Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009 hal. 149.
2. 2
berfungsi membatasi kekuasaan mayoritas, sekaligus bertindak sebagai hakim yang dapat
menundukkan masalah politik sesuai dengan rel konstitusi. Jadi, betapa penting dan
strategisnya peranan MK dalam kehidupan bermasyarakatdan bernegara.4
Peranan itu berangkat dari perubahan evolusioner terhadap prinsip-prinsip
konstitusionalisme, yang menghendaki produk legislasi harus merujuk dan bersumber
pada perintah imperative konstitusi. Hal itu terjadi seiring dengan menyusutnya gagasan
kedaulatan parlemen dalam praktek demokrasi, sekaligus menguatnya gagasan
centralized system sebagai akibat dari lunturnya kepercayaan terhadap decentralized
system1 dalam kekuasaan peradilan. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dirumuskan
dalam perubahan konstitusi baru, yang digunakan pula sebagai koreksi terhadap system
pemerintahan otoriter oleh rezim pemerintahan demokratis. MK merupakan salah satu
pertandanya, dan kemudian tumbuh berkembang di negara-negara demokrasi baru di
kawasan Eropa Timur, Afrika, Amerika Latin dan Asia. Tak terkecuali Indonesia, yang
telah memutuskan membentuk MK melalui amandemen konstitusi (UUD 1945) pada
tahun 2001.5
Perubahan UUD 1945 pada Pasal 24 C, dinyatakan pula bahwa“ Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar .” ini
berarti bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) bertugas dalam rangka mengawal proses agar
setiap hukum yang dibuat oleh Pemerintah tidak menyimpang dari konstitusi serta
mengacu kepada Pancasila dan UUD 1945. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka
mengenai kedudukan TAP MPR yang telah ditetapkan terdahulu atau sebelum diadakan
amandemen UUD 1945 apabila ditinjau dengan sistem perundang-undangan di negara
kita setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
B.TAP MPR Sebelum Perubahan UUD 1945.
Sebelum kita menjawab eksistensi TAP MPR dalam kontekskeberadaan UU
Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka
terlebih dahulu yang mesti kita pahami adalah sejarah eksistensi TAP MPR sebelum
4
. TIM KRHN,Mengapai Keadilan Konstitusi,2008, hal 1.
5
.ibid hal :1
3. 3
perubahan UUD1945. Sebagaimana Penjelasan sebelumnya mengenai MPR bahwa
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan merumuskan dalam pasal-pasal serta
penjelasannya bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas dan wewenang
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah sebagai berikut :
a. Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilkakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Pasal 1 ayat (2)).
b. Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-UndangDasar dan garis-garis
besar daripada haluan negara (Pasal 3).
c. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MajelisPermusyawaratan Rakyat dengan
suara yang terbanyak (Pasal6 ayat (2)).
d. Majelis Permusyawaratan Rakyat mengubah Undang-Undang Dasar (Pasal 37).
Di samping itu, dalam Pasal 102 Ketetapan MPR Nomor.I/MPR/1973 tentang
peraturan tata tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat dirumuskan bahwa bentuk putusan
majelis adalah sebagai berikut :
a. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
b. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah putusan majelis yang
mempunyai kekuatan hukum mengikat ke luar dan ke dalam. Keputusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat adalah putusan majelis yang mempunyai kekuatan hukum
mengikat ke dalam majelis. Selain itu dalam Pasal 109 dirumuskan bahwa Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) ditetapkan dalam bentuk ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
UUD 1945 sebelum amandemen, sehingga penjelasan umum merumuskan bahwa
kedaulatan rakyat dipegang oleh sebuah lembaga yang bernama Majelis
Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Majelis
Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar, memilih presiden dan
wakil presiden. Menurut Hemat penulis bahwa Majelis ini merupakan majelis tertinggi
pada waktu itu yang dimana produk yang ia hasilkan merupakan dasar hukum atau
hukum dasar. Presiden yang dipilih oleh MPR adalah mandataris majelis. Presiden wajib
menjalankan putusan-putusan majelis.
4. 4
Ketetapan MPR No. I/MPR/1973 tentang peraturan tata tertib majelis
permusyawaratan rakyat tersebut kemudian telah diubah beberapa kali, dan pada saat
menjelang perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku adalah Ketetapan MPR
No. II/MPR/1999 tentang peraturan tata tertib majelis permusyawaratan rakyat (sekarang
menjadi ketetapan MPR No. II/MPR/2003). Sesuai dengan Pasal 102 dan Pasal 109
Ketetapan MPR No.I/MPR/1973 tentang peraturan tata tertib majelis permusyawaratan
rakyat Republik Indonesia, maka Pasal 90 dan Pasal 97 Ketetapan MPR No.
II/MPR/1999 tentang peraturan tata tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat (sekarang
menjadi ketetapan MPR No.II/MPR/2003). juga memuat bentuk putusan MPR yang
sama, Namun demikian dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1999 menambahkan beberapa
ketentuan antara lain Pasal 96 yang menyatakan sebagai berikut “Perubahan Undang -
Undang Dasar 1945 dilaksanakan sesuaidengan ketentuan Pasal 37 Undang- Undang
Dasar 1945”.
Sejak dimulainya pembentukan ketetapan MPRS pada tahun1960 dan ketetapan
MPR pada tahun 1973, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara telah membentuk
berbagai macam ketetapan MPRS dan ketetapan MPR yang mempunyai ciri-ciri yang
berbeda. Dari berbagai ketetapan MPRS dan ketetapan MPR ditemukan beberapa jenis
materi yang termuat di dalamnya, yaitu :
1. Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang bersifat mengatur sekaligus perintah
kepada Presiden. Contoh :Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang pembaruan
agrarian dan pengelolaan sumber daya alam.
2. Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang bersifat penetapan (Beschikking)
.Contoh : Ketetapan MPR No.III/MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden
Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia.
3. Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang bersifat mengatur ke dalam (interne
regelingen). Contoh : KetetapanMPR No. I/MPR/1973 tentang peraturan tata
tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat.
4. Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang bersifatdeklaratif. Contoh : Ketetapan
MPRS No. VII/MPRS/1965 tentang „GESURI”, “TAVIP The Fifth Freedom is
our Weapon”
5. 5
5. Dan “The Era of Confrontation” sebagai pedoman-pedoman Pelaksana Manifesto
Politik Republik Indonesia.
6. Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang bersifat rekomendasi. Contoh :
Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001tentang rekomendasi arah kebijakan
pemberatasan dan pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
7. Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang bersifat Perundang-undangan. Contoh
: tentang peran tentara nasional Indonesia dan Peran kepolisian negara
RepublikIndonesia.
Di samping pembentukan ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR tersebut, dalam
rangka pengaturan ke dalam MPR juga menetapkan berbagai keputusan MPR.Dalam
konteks hierarki peraturan perundang-undangan sebelum amandemen UUD 1945
bahwa UUD 1945 hanya menetapkan secara tegas beberapa jenis peraturan
perundang-undangan, yaitu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU),dan Peraturan Pemerintah, sedangkan tentang ketetapan
MPR (TAPMPR) tidak dirumuskan di dalamnya. Namun setelah terbentuknya
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada tahun1960, terdapat suatu
jenis peraturan yang disebut dengan ketetapanMPR(S).6
Dasar hukum Ketetapan MPR(S) dalam UUD 1945 memang tidak diatur
secara jelas dan tegas seperti halnya undang-undang, peraturan pemerintah pengganti
undang-undang, dan peraturan pemerintah. walaupun demikian kita dapat
menemukan dasar hukum itu dalam Undang-Udang Dasar 1945.7
Eksistensi Ketetapan MPR(S) menjadi lebih jelas dengan ditetapkannya
ketetapan MPR(S) No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai
sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan perundangan
Republik Indonesia. Dalam lampiran II ketetapan MPR(S) No. XX/MPRS/1966
tentang tataurutan peraturan perundangan Republik Indonesia menurut Undang-
Undang Dasar 1945, dirumuskan bahwa bentuk peraturan perundangan di Indonesia
adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,
6
. Maria Farida Indrati, Majalah ilmu hukum Yuridika volume 20, Nomor 1, Januari2005
7
. Sri Soemantri M, Ketetapan MPR(S) sebagai salah satu Sumber Hukum Tata Negara,Cet. Pertama,
Remaja Karya, 1985, hal : 30
6. 6
2. Ketetapan MPR(S),
3. Undang-undang/Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu),
4. Peraturan Pemerintah,
5. Keputusan Presiden (einmahlig).
Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi
Menteri, dan lain-lain. ketetapan MPR(S) No. XX/MPRS/1966 tersebut kemudian
dicabut dengan ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata
urutan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal juga harus dilihat secara
implisit. hal ini dapat diamati dalam penjelasannya mengenai dasar hukum Ketetapan
MPR(S) tersebut dalam pasal 2 ayat (3), pasal 3, dan pasal 6ayat (2) UUD 1945.
ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tersebut dirumuskan bahwa hierarki peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia adalah :
1. UndangUndang Dasar 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,
3. Undang-Undang.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
5. Peraturan Pemerintah.
6. Keputusan Presiden.
7. Peraturan Daerah.
Berdasarkan ketentuan dalam ketetapan MPRSNo.XX/MPRS/1966 dan ketetapan
MPR No. III/MPR/2000 Tersebut,maka ketetapan MPR termasuk dalam hierarki
peraturan perundang-undangan dan terletak di bawah Undang-Undang Dasar 1945.
C. TAP MPR Setelah Amandemen UUD 1945
Setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 hal-hal yang berhubungan dengan
kedudukan, tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah
mengalami transformasi yang sangat signifikan hal ini disebabkan karena berubahnya
supremasi MPR sebelum amandemen menjadi supremasi konstitusi setelah amandemen
UUD 1945.
Secara historis dalam sidang MPR RI Akhir masa jabatan periode 199-
2004 yang diselenggarakan pada tanggal 23-26September, MPR telah menetapkan
Keputusan MPR No. 7/MPR/2004 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyaratan
7. 7
Rakyat Republik Indonesia, anggota majelis hasil pemilihan umum tahun 2004.
Keputusan MPR No. 7/MPR/2004 tersebut ditetapkan pada tanggal 26 september 2004.
dan merupakan keputusan MPR yang mencabut dan sekaligus menggantikan Ketetapan
MPR No. II/MPR/1999 tentang PeraturanTata Tertib Majelis Permusyaratan Rakyat
Republik yang telah diubah terakhir dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/2003.
Setelah satu tahun berlakunya ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang
peninjauan terhadap materi dan status hukum ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sementara dan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun
1960 sampai dengan tahun 2002. maka berdasarkan pasal 4 angka 4 Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) bersama Presiden telah membentuk Undang-Undang Nomor 10 tahun
2004 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan. Menurut Ketentuan Pasal 7
ayat (1) undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan dinyatakan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut
:1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden.
5. Peraturan Daerah.
Dengan ketentuan tentang hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7
ayat (1) tersebut, eksistensi dari ketetapan MPRS dan ketetapan MPR tidak diakui lagi
dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia. Pendapat
ini bisa dikemukakan walaupun dalam Pasal 7 ayat (4) dan penjelasannya menyatakan
Peraturan yang dibentuk oleh MPR dapat merupakan jenis peraturan perundang-
undangan apabila diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan telah mengalami transformasi yang sangat signifikan dimana khususnya pada
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan
peraturanperundang-undangan. sebelumnya dalam Undang-Undang No. 10tahun 2004
tentang pembentukan peraturan perundang-undanganpada Pasal 7 ayat (1) dinyatakan
hierarki peraturan perundang-undangan antara lain sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
8. 8
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
3. Peraturan Pemerintah.
4. Peraturan Presiden.
5. Peraturan Daerah.
Sedangkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundangan-undangan dinyatakan bahwa hierarki peraturan
perundang-undangan adalah sebagai berikut :
1. UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
2. KetetapanMajelis PermusyawaratanRakyat.
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah.
5. Peraturan Presiden.
6. Peraturan Daerah
Perbedaan yang sangat signifikannya adalah dengan dimasukkannya kembali
Ketetapan MPR dalam hierarki peraturanperundang-undangan. Perbedaannya adalah
dengan masuknya TAP MPR dalam UU No. 12 Tahun 2011tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan, dan Peraturan daerah pada UUNo. 10 tahun 2004 tidak
menjabarkan secara detail berbeda halnya dengan UU No. 12tahun 2011 yang
menyebutkan secara jelas Peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota.
D. Mahkamah Konstitusi dan TAP MPR.
Mahkamah Konstitusi hadir sebagai keniscayaan teoritik dari salah satu gagasan
penting yang melandasi perubahan UUD 1945, yaitu terwujudnya kehidupan bernegara
dan berbangsa yang demokratis yang ditegakkan di atas prinsip-prinsip negara hukum
(rule of law), gagasan yang diturunkan dari amanat Pembukaan UUD 19458
Pengujian undang-undang yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi
adalah menguji secara konstitusionalitas suatu undang-undang, menguji sejauh mana
undang-undang yang bersangkutan bersesuai atau bertentangan (tegengesteld) dengan
UUD. Constitutie is de hoogste wet. Manakala Mahkamah Konstitusi memang suatu
8
.I Dewa Gede Palguna, Perfekif Teoritik Eksistensi Mahkamah Konstitusi (Pasca Perubahan UUD 1945),
Jurnal MK Volume 2, Nomor 3, November 2005, Hal 8
9. 9
undang undang bertentangan dengan UUD maka undang-undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.9
Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi tentunya mempunyai persoalan-persoalan,
persoalan itu dikategorikan menjadi 3 aspek sebagai mana yang dikatan oleh M.Solly
Lubis10
, yakni
1. aspek ketentuan dalam peraturan perundang-undangan,
2. aspek putusan yang dikeluarkan,
3. serta implementasi putusan atau respon para pihak (pemohon, pemerintah dan DPR)
dan masyarakat terhadap putusan yang dikeluarkan.
Dari konteks peraturan perundang-undangan setidaknya ditemukan beberapa
persoalan, yaitu: persoalan pertama, ruang lingkup pengujian peraturan oleh MK. Sesuai
dengan ketentuan, MK hanya menguji undang-undang terhadap UUD, sementara
pengujian peraturan dibawah undang-undang terhadap undang-undang menjadi
kewenangan MA. Adanya dualisme dalam pengujian peraturan perundang-undangan. MK
tidak berwenang melihat konstitusionalitas peraturan dibawah undang-undang, karena itu
menjadi wewenang MA (Mahkamah Agung).
Menurut M.Solly Lubis, antara UU dengan UU dan peraturan lain yang berada di
bawahnya ada jarak dan jenjang hierarkhis, misalnya PP (Peraturan Pemerintah), Perda
(Peraturan Daerah), berbagai SK (surat keputusan). Di antara semuanya itu sebagai
bentuk-bentuk peraturan hukum yang disebut juga perangkat peraturan hukum ataupun
juridischvormen, ada jarak keperingkatan (tatanan menurut peringkat) atau hierarkhi11
.
Menurut asas hukum (rechtsbeginsel), materi atau substansi peraturan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan materi peraturan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangandengan materi peraturan yang lebih tinggi daripadanya, misalnya isi UU
tidak boleh bertentangan dengan isi UUD. Isi Perda tidak boleh bertentangan dengan isi
PP ataupun dengan isi UU bahkan juga dengan isi UUD. Dalam rangka kegiatan legislasi,
misalnya oleh Badan Legislatif (Baleg) di DPR, dan juga di forum-forum pertimbangan
kebijakan (political consideration) dan kebijakan penetapan hukumnya (legal policy),
begitu juga di pihak eksekutif (presiden, menteri-menteri, kepala-kepala daerah), harus
9
. M. Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal. 84.
10
. M.Solly Lubis, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember 2006
11
.M.Solly Lubis, Ibid.
10. 10
berpegang padaasas hukum tadi Sewaktu asas ini diterapkan pada tahap pembuatan
UU,berarti materi maupun jiwa UU itu harus disesuaikan dan janganbertentangan dengan
materi maupun jiwa UUD RI 1945.
Kesesuaian dan kadar kesesuaiannya dengan UUD inilah yang biasa disebut
konstitusionalitas (constitutionality, constitutionaliteit). Urusan mengontrol dan
mengevaluasi konstitusionalitas inilah yang menjadi kewajiban dan tugas MK melalui
hak ujinya(toetsingsrecht) dengan maksud politis agar kebijakan (policy)yang menjadi
muatan UU itu tidak bertentangan dengan amanat yang terkandung dalam UUD.
Pengujian UU dengan memakai UUD (konstitusi) sebagai batu ujian dan referensi
inilah yang menandai kekhususan wewenang MK. Maka namanya pun disebut
Mahkamah Konstitusi. Kalau pada tingkat UU sudah lolos dari ujian konstitusionalitas
seperti itu, maka peraturan hukum yang berada di bawahnya,seperti: PP, Perda, SK, dsb,
tidak lagi menjadi porsi MK, dan semuanya itu menjadi sasaran kewenangan MA
(MahkamaAgung). Maka jika diukur menurut prinsip keterwakilan kepentingan secara
nasional (representativeness of nationalinterest) dapat dikatakan bahwa kebersamaan
kerja dan tanggungjawab antara Presiden sebagai top administrator dan chief executive
bersama-sama dengan DPR, pembuatan UU sebagai puncak kegiatan legislasi nasional
itu, apalagi jika sudah memenuhi persyaratan keabsahannya baik dari segi materiil
maupun formil, itu saja pun -yakni UU- sudah cukup berat untuk dievaluasi oleh MK.
Dari uraian diatas kita dapat memahami bahwa kewenangan Mahkamah
Konstitusi hanya melakukan pengujian terhadap suatu undang-undang yang diuji dengan
UUD 1945,tetapi tidak berwenang menguji Tap MPR terhadap UUD 1945, walaupun
ketentuan Tap MPR saat sekarang merupakan peraturan Perundang-undangan dibawah
UUD 1945.
Sebagai sebuah contoh terhadap hal ini kita lihat pengujian Tap MPR terhadap
UUD 1945 yaitu Putusan No 24/PUU-XI/2013 yang diajukan Racmawati Soekarnoputri.
Dengan alasan Mahkamah menyatakan permohonan para pemohon menguji
konstitusionalitas Pasal 6 Tap MPR No. I/MPR/2003, sepanjang frasa “baik karena
bersifat einmalig (final)” dan frasa “maupun telah selesai dilaksanakan”, khususnya
nomor urut 30 mengenai TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967. Eksistensi Ketetapan
(TAP) MPRS/MPR secara historis tertuang di beberapa peraturan yang mengatur tentang
11. 11
hierarki peraturan perundang-undangan. “Seperti, TAP MPRS No. XX/MPRS/1966
tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan RI dan TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, serta UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,”
Putusan yang bersifat dan mengikat dari mahkamah konstitusi dapat dilakukan
Pembatalan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang hanya dimungkinkan dengan Tap
MPR. Hal ini dikatakan Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Bandung, Jaih Mubarok, “Sebetulnya bisa saja diajukan ke paripurna MPR.
Nantinya akan melahirkan Tap MPR. Hal ini dimungkinkan karena secara hierarki
putusan MK ada di bawah Tap MPR.12
12
. Dapat dilihat di www. Republika.co.id. tanggal 25 Maret 2012.