1. BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara multikultural yang terdiri dari berbagai macam ras,
suku, agama, bahasa, dan etnis. Dalam keberagaman tersebut terdapat sebuah identitas
Nasional yang menjadi kebanggaan Negara Indonesia. Keberagaman tersebut merupakan
bukti kekayaan bangsa Indonesia yang menghasilkan kebudayaan Nasional. Kebudayaan
Nasional itu sendiri terdiri dari kebudayaan-kebudayaan Lokal yang dihasilkan di berbagai
daerah di Indonesia.
Salah satu bentuk kebudayaan Nasional adalah sistem ritual upacara keagamaan yang
banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Upacara Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan
Cirebon merupakan salah satu bentuk kebudayaan lokal yang ikut memperkaya kebudayaan
Nasional Indonesia. Upacara Panjang Jimat sudah dilaksanakan sejak Keraton Kasepuhan
didirikan dan terus berlangsung sampai sekarang.
Pelaksanaan Upacara ini memang terus berlangsung sampai sekarang, namun seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi nilai-nilai lama dalam
upacara tersebut yang semula menjadi acuan masyarakat menjadi goyah akibat masuknya
nilai-nilai baru dari luar. Upacara tradisional sebagai nilai-nilai lama masyarakat
pendukungnya lambat laun akan terkikis oleh pengaruh modern dan nilai-nilai baru tersebut.
Dengan kata lain mungkin upacara tradisional mengalami perubahan atau pergeseran akibat
pengaruh modern tersebut (Ani Rostiyati dkk, 1995: 2).
Untuk mengkaji permasalahan tersebut sangat pening diadakan penelitian tentang
perubahan atau pergeseran upacara tradisional yang terjadi masa sekarang. Sebelum kita
mengkaji lebih dalam penyebab permasalahan tersebut, maka kita harus melihat seberapa
jauh perubahan itu terjadi dengan menggunakan kajian historis. Setelah itu maka kita bisa
mencari akar penyebab terjadinya perubahan tersebut dan menemukan kesimpulan akhir
apakah benar perubahan tersebut menuju ke arah positif atau ke arah negatif dan kita bisa
menemukan jalan keluar permasalahan tersebut. Dengan memperhatikan pertimbangan
tersebut maka kami mengangkat makalah ini dengan judul “Upacara Panjang Jimat Sebagai
Entitas Lokal Keraton Kasepuhan Cirebon dan Perubahannya (Sebuah Kajian Historis,
Sosial, dan Ekonomi)”.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini kami membuat beberapa rumusan masalah yang
menjadi pokok pembahasan. Rumusan masalah dapat membatasi pembahasan agar tidak
melebar. Adapun Rumusan masalah yang kami tetapkan adalah:
1. Bagaimana awal mula munculnya Maulid Nabi sebagai akar dari panjang Jimat, proses
penyebarannya ke Jawa, serta perkembangannya sehingga menjadi sebuah Upacara Panjang
Jimat?
2. Latar belakang apa saja yang menyebabkan perubahan Upacara Panjang Jimat?
3. Seberapa besar perubahan yang terjadi dalam Upacara Panjang Jimat saat ini dibandingkan
dengan keberadaannya di awal kemunculannya?
4. Bagaimana dampak Upacara Panjang Jimat terhadap kehidupan masyarakat sekitar keraton
kasepuhan di bidang sosial dan ekonomi?
1.3. Tujuan penulisan
Adapun tujuan yang ingin di capai dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk
menjawab rumusan masalah diatas, yakni:
1
2. 1. Menjelaskan awal mula munculnya Maulid Nabi sebagai akar dari Panjang Jimat, proses
penyebarannya ke Jawa, serta perkembangannya sehingga menjadi sebuah Upacara Panjang
Jimat.
2. Mengetahui latar belakang yang menyebabkan perubahan Upacara Panjang Jimat.
3. Menjelaskan prosesi panjang jimat di Kasepuhan Cirebon
4. Menjelaskan perubahan yang terjadi dalam Upacara Panjang Jimat saat ini dibandingkan
dengan keberadaannya di awal kemunculannya.
5. Menjelaskan dampak Upacara Panjang Jimat terhadap kehidupan masyarakat sekitar
keraton kasepuhan di bidang sosial dan ekonomi.
2
3. BAB II
PEMBAHASAN
PANJANG JIMAT KERATON KASEPUHAN CI REBON
2.1 Sejarah Singkat Cirebon dan Keraton Kasepuhan
2.1.1 Sejarah Singkat Cirebon
Sejarah kemunculan Cirebon dapat dikaji dari berbagai sumber yang ditemukan.
Deskripsi dari sumber-sumber tersebut beragam namun tetap dapat ditarik benang merah
yang sebenarnya. Terdapat kemungkinan pada awalnya daerah Cirebon berada di bawah
kekuasaan Raja Sunda di Galuh dan Pajajaran. Dari Purwaka Caruban Nagari didapatkan
keterangan bahwa pada awalnya Cirebon adalah sebuah daerah yang bernama Tegal AlangAlang yang kemudian disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh Raden
Walangsungsang diubah namanya menjadi Caruban (Atja, 1986: 161).
Dari penemuan sebuah prasasti yang diberi nama Huludayeuh tidak berangka tahun
yang ditemukan di desa Cikahalang blok Huludayeuh Kecamatan sumber Kabupaten Cirebon
pada tahun 1991 diperoleh sebuah informasi baru. Isi prasasti ini untuk memperingati jasa
“Ratu Purana (Sri Baduga) Sri Maharaja Ra ( tu) (ha ) ji Ri Pakwan Sia Sain ra (tu) (de)
wata” yang memberikan kemakmuran bagi seluruh kerajaan. Kehadiran prasasti di daerah
Cirebon sebelah Utara Gunung Ciremai Kuningan ini menjadi suatu bukti bahwa daerah
tersebut masuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda yang beribu kota di Pajajaran
(Djafar, 1994: 3-11). Kemudian pada perkembangan selanjutnya dengan dipelopori oleh
Syarif Hidayatullah Cirebon memisahkan dirinya dari kerajaan Sunda, akan dipaparkan di
Sejarah Keraton kasepuhan.
Berita-berita tentang Cirebon selanjutnya diperoleh dari sumber Portugis yaitu berita
dari Tome Pires yang menyebut Cirebon dengan Corobam. Menurut catatan Pires, Cirebon
adalah sebuah pelabuhan yang indah dan selalu ada empat sampai lima kapal yang berlabuh
di sana. Hasil bumi yang utama adalah beras selain mengahsilkan bahan makanan lainnya
(Cortesao, 1967: 183).
Adanya kegiatan perdagangan di wilayah Jawa Barat juga dicatat dalam berita Tome
Pires, kerajaan Sunda memiliki enam buah pelabuhan yaitu Banten, Pontang, Cigede, Tanara,
Calap, dan Cimanuk. Selain penyebutan pelabuhan di kerajaan Sunda Pires juga
menyebutkan bahwa ada sejumlah pelabuhan lainnya di wilayah Jawa yaitu Japura, Tegal,
Semarang, Demak, Jepara, Rembang, Tuban, Giri, Surabaya, dan Cirebon (Cortesao, 1967:
170-181).
Dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Cirebon pada awalnya berada dibawah
kekuasaan Kerajaan Sunda Galuh Pakuan Pajajaran. Pada masa Portugis Cirebon menjadi
sebuah kota pelabuhan dagang yang ramai dikunjungi dan perkembangannya pada masa
Belanda tetap menjadi sebuah kota Pelabuhan dibawah kekuasaan Belanda. Pada masa
sekarang Cirebon menjadi sebuah Kota Kabupaten di Provinsi Jawa Barat.
Kajian menarik yang perlu digaris bawahi adalah peran Cirebon sebagai kota
pelabuhan dagang yang ramai dikunjungi oleh bangsa dari negeri lainnya. Keadaan seperti ini
mendukung Cirebon menjadi sebuah kota yang menerima kedatangan orang-orang asing yang
sudah pasti membawa pengaruh baru baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun dalam
bidang agama, adat dan budaya. Pengaruh baru dalam bidang agama, adat, dan budaya inilah
yang akan dibahas di makalah ini sebagai awal mula kemunculan peringatan Maulid Nabi
atau yang dikenal sebagai upacara Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan Cirebon.
3
4. 2.1.2 Sejarah Singkat Keraton Kasepuhan
Keraton Kasepuhan terletak di Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon dengan luas
16 hektar yang dibatasi oleh tembok Keraton, tidak termasuk Alun-alun dan Mesjid Agung
Sang Cipta Rasa. Untuk sampai ke sana dari Jalan Lemah Wungkuk kita dapat berjalan lurus
ke arah Selatan sampai tiba di Alun-alun Keraton Kasepuhan. Dari Alun-alun Keraton inilah
kita dapat melihat kompleks Keraton Kasepuhan yang terletak persis di sebelah Selatan Alunalun.
Dilihat dari sudut historisnya Keraton kasepuhan merupakan pembagian dari keraton
kasunanan kerajaan Cirebon. Kerajaan Cirebon awalnya merupakan sebuah perkampungan
yang bernama Tegal Alang-alang dan kemudian dibentuk menjadi perkampungan Cirebon
oleh Pangeran Walangsungsang pada tahun 1445 M. Pembentukan dilakukan awalnya ketika
Pangeran Walangsungsang mencari ilmu agama Islam di daerah Tegal Alang-Alang ini,
kemudian beliau melihat potensi daerah pesisir ini kaya akan udang dan bisa dijadikan
pelabuhan dagang sehingga secara resmi Pangeran Walangsungsang mendirikan kampung
Cirebon (PRA. Arif Natadiningrat, 2009).
Selain Pangeran Walangsungsang, Sri Baduga Maharaja juga mempunyai seorang
Putri yang bernama Rara Santang yang telah kembali dari Mekkah dan beragama Islam. Rara
Santang membawa serta putranya yang bernama Syarif Hidayatullah, Syarif Hidayatullah
inilah yang mengukuhkan Cirebon bentukan Pangeran Walangsungsang sebagai daerah
kekuatan agama Islam yang merdeka dari kerajaan Sri Baduga Maharaja di Pakuan Pajajaran
dan menjadi raja Cirebon bergelar Susuhunan Jati 1479 M. Dalam versi sejarah Keraton
Cirebon, Susuhunan Jati wafat pada tahun 1568 M dan dikuburkan di Gunung Jati (Cirebon)
sehingga dikenal pula sebagai Sunan Gunung Jati.
Pusat pengaturan pemerintahan Kerajaan Cirebon terdapat di Keraton Pakungwati.
Keraton Pakungwati sudah dipakai oleh Raja-raja Cirebon sejak masa-masa awal
perkembangan Islam. Nama Pakungwati tetap dipertahankan hingga masa pemerintahan
Panembahan Ratu I, dan Panembahan Ratu II (Panembahan Girilaya). Setelah itu pada tahun
1679 M masa kepemimpinan Sultan Anam Badridin I terjadi perebutan kekuasaan intern
kerajaan sehingga beliau membagi kerajaan Cirebon yang pusat pemerintahannya di Keraton
Pakungwati ini menjadi tiga pusat kerajaan di tiga keraton. Keraton tersebut yaitu Keraton
Kasunanan, Keraton Kasepuhan, dan Keraton Kanoman. Keraton Kasepuhan mengambil
tempat di kompleks bekas Keraton Pakungwati, dan sejak itu berkembang terus sampai ke
selatan.
2.2 Awal Mula Kemunculan Maulid Nabi dan Penyebarannya di Jawa
Maulid sebagai bagian dari tradisi keagamaan dapat dilihat dari segi historis maupun
dari segi sosial budaya. Dari segi historis terdapapat dalam catatan Al-Sandubi dalam
karyanya ”Tarikh Al-Ikhtilaf Fi Al-Maulid Al-Nabawi, Al-Mu’izzli-Dinillah” (341-365 H
atau 953-975 M). Diungkapkan olehnya bahwa dalam sejarah Islam penguasa bani Fatimah
yang pertama menetap di Mesir adalah orang pertama yang menyelenggarakan perayaan
kelahiran Nabi. Kemudian kurun waktu berikutnya tradisi yang semula dirayakan hanya oleh
golongan Syi’ah ini juga dilaksanakan oleh golongan Sunni dimana Khalifah Nur Al-Din
penguasa Syiria (511-569 H / 1118-474 M) adalah penguasa Suni pertama yang tercatat
merayakan maulid Nabi. Perayaan Maulid secara besar-besaran dilaksanakan pertama kali
oleh Raja Al-Mudhaffar Abu Sa’id Kokburi bin Zain al-Din Ali bin Baktatin (549-630 H /
1154-1232 M) penguasa Irbil, 80 KM tenggara Mossul ( Nico Kaptein dalam Tedjasudhana,
1994: 10-41).
Kemudian mengkaji penyebaran Maulid Nabi sampai ke Indonesia sangat berkaitan
dengan jasa Sultan Salahuddin Al Ayyubi Khalifah dari dinasti Abbasiah penguasa Al
Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah). Salahuddin memerintah para tahun 1174-
4
5. 1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub, setingkat Gubernur dengan pusat
kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang
dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia.
Perintah merayakan Maulid ini disampaikan pertama kali pada musim Haji 579 H
(1183 Masehi). Sebagai penguasa dua tanah suci saat itu atas persetujuan Khalifah Bani
Abbas di Baghdad juga, Sultan menghimbau agar seluruh jamaah haji seluruh dunia jika
kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat
Islam dimana saja berada. Maksud Sultan Salahuddin merayakan tradisi ini selain bentuk
cintanya pada Rasul juga sebagai cara membangkitkan semangat juang umat Islam yang kala
itu kehilangan semangat juang dan persaudaraan ukhuwah ketika terjadi perang salib.
Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu
tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul
Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid
Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, sehingga tidak dapat
dikategorikan bid’ah yang terlarang.
Bagi sebagian orang Islam tradisi merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW
merupakan sebagai salah satu bentuk rasa cinta umat kepada Rasul Nya. Di tanah Jawa
sendiri tradisi ini telah ada sejak zaman walisongo, pada masa itu tradisi Maulid Nabi
dijadikan sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam dengan menghadirkan berbagai
macam kegiatan yang menarik masyarakat. Pada saat ini tradisi Maulid/Mauludan di Jawa
disamping sebagai bentuk perwujudan cinta umat kepada Rasul juga sebagai penghormatan
terhadap jasa-jasa Walisongo.
Sebagian masyarakat Jawa merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i atau
al-Burdah atau dalam istilah orang Jakarta dikenal dengan rawi. Barzanji dan Diba’i adalah
karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah
keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu
juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa
untuk dijadikan teladan umat manusia. Sedangkan Al-Burdah adalah kumpulan syair-syair
pujian kepada Rasulullah SAW yang dikarang oleh Al-Bushiri.
Berbagai macam acara dibuat untuk meramaikan acara ini, lambat laun menjadi
bagian dari adat dan tradisi turun temurun kebudayaan setempat. Di Yogyakarta, dan
Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten,. Istilah ini berasal dari stilasi lidah
orang Jawa atas kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat. Perayaan umumnya bersifat
ritual penghormatan (bukan penyembahan) terhadap jasa para wali penyebar Islam, misalnya
upacara Panjang Jimat yaitu upacara pencucian senjata pusaka peninggalan para wali.
Di Cirebon upacara Maulid Nabi (selanjutnya disebut dengan Panjang Jimat)
dilaksanakan di empat tempat yang menjadi peninggalan dari Syarief Hidayatullah. Masingmasing di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan/Kasunanan dan
kompleks makam Syekh Syarief Hidayatullah. Di Jogjakarta dan Surakarta di masing-masing
keraton dengan acaranya Grebeg Mulud. Pada zaman kesultanan Mataram perayaan Maulid
Nabi disebut Grebeg Mulud. Kata "Grebeg" artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan
para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi
lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya.
Di Garut terdapat upacara Ngalungsur yaitu proses upacara ritual dimana barangbarang pusaka peninggalan Sunan Rohmat (Sunan Godog/Kian Santang) setiap setahun sekali
dibersihkan atau dicuci dengan air bunga-bunga dan digosok dengan minyak wangi supaya
tidak berkarat, di fokuskan di desa Lebak Agung, Karangpawitan. Di Banten kegiatan di
fokuskan di Masjid Agung Banten. ditempat lain diantaranya tempat-tempat ziarah makam
para wali.
5
6. Di Keraton kasepuhan sendiri perayaan Panjang Jimat secara besar-besaran selalu
diadakan, terutama sesudah Syarief Hidayatullah atau lebih dikenal sebagai Sang Susuhunan
Jati memegang tampuk pemerintahan Nagri Carbon (Kerajaan Cirebon) 1479 M. Susuhunan
Jati mengadakan berbagai perayaan secara besar-besaran ini bukan semata karena
menghormati Nabi Muhammad SAW sebagai penyebar agama saja tetapi juga karena
menghormati nenek-moyang.
Menurut garis ayah, Syarief Hidayatullah adalah keturunan ke-22 Nabi Muhammad
SAW. Ayahnya adalah Syarief Abdullah yang datang ke Pulau Jawa dari Mesir melalui
Gujarat, menikah dengan Nyimas Rara Santang putri Sri Baduga Maharaja penguasa
Pajajaran. Sebagai keturunan langsung dari penyebar agama Islam, Syarief Hidayatullah
begitu menghormatinya secara khusus pula sebagai seorang keturunan kepada nenekmoyangnya. Sejak saat itu muludan di Kerajaan Cirebon selalu meriah hingga kini.
Dapat dipahami juga bahwa tradisi keagamaan maulid merupakan salah satu sarana
penyebaran Islam di Indonesia. Islam tidak mungkin dapat segera tersebar dan diterima
masyarakat luas Indonesia, jika saja proses penyebarannya tidak melibatkan tradisi
keagamaan. Penyebaran agama Islam sejak abad ke-13 M semakin meluas di Nusantara
terutama atas kegiatan kaum sufi yang mampu menyajikan Islam dalam kemasan yang
atraktif, khususnya dengan menerangkan kontinuitas kebudayaan masyarakat dalam konteks
Islam (Azyumardi Azra, 1998).
Menurut Ahmad Anas jelas terdapat fakta yang kuat bahwa tradisi maulid merupakan
salah satu ciri kaum muslimin tradisional di Indonesia dan umumnya dilakukan oleh kalangan
sufi. Maka dari segi ini dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa masuknya perayaan
maulid bersamaan dengan prosesnya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh pendakwah atau
dalam hal ini kaum sufi (Ahmad Anas, 2003: 67).
Corak dengan kaum tradisional itu tidak lepas pula dari strategi dakwah yang
diterapkan oleh penyebar Islam awal di Indonesia saat itu yang sebagian besar petani yang
tinggal di daerah pedesaan dan tingkat pendidikannya yang sangat rendah, maka pola
penyebarannya pun disesuaikan dnegan kemampuan pemahamaan masyarakat. Sehingga
materi dakwah pada waktu itu lebih diarahkan pada peningkatan keyakinan serta ajaran
ibadah yang bersifat pemujaan secara ritual. Selain itu ditopang oleh perilaku ibadah dan
upacara ritual keagamaan yang dianggap akan makin memperkokoh keimanan dan keislaman
mereka sangat dianjurkan seperti tahlilan, yasinan, ziarah kubur, kenduri, haul, upacara yang
terikat dengan kematian, termasuk muludan, dan lain sebagainya.
Kondisi lainnya yang berpengaruh dalam penyebaran Maulid Nabi ini adalah kondisi
sosial politik pada abad ke-14 hingga ke-16 M. Di berbagi belahan dunia Islam sedang marak
dan berada pada puncak penyebaran tradisi maulid yang perintisannya sejak awal abad ke-12.
Kegiatan maulid mencapai puncak popularitasnya di kalangan masyarakat sehingga
penguasa-penguasa pun kemudian mengakomodasinya sebagai kegiatan resmi negara yang
salah satu motifnya adalah kepentingan politik. Acara Maulid Nabi ini menjadi sebuah
penglegitimasian keberadaan sultan di kerajaan. Di Keraton Kasepuhan sendiri Sultan
memegang peranan penting dalam upacara Panjang Jimat sebagai orang yang diutamakan.
Hal tersebut dilakukan untuk memperlihatkan kewibawaan sultan dimata masyarakat.
2.3 Prosesi Panjang Jimat
Prosesi adat "Panjang Jimat" adalah refleksi dari proses kelahiran Nabi Muhammad
SAW dan merupakan acara puncak dari serangkaian kegiatan Maulud Nabi Muhamad di
Keraton Kasepuhan Cirebon. “Panjang” berarti sederetan iring-iringan berbagai benda pusaka
dalam prosesi itu dan “Jimat” berarti “siji kang dirumat” atau satu yang dihormati yaitu
kalimat sahadat “La Illa ha Illahah” sehingga arti gabungan dua kata itu adalah sederetan
persiapan menyongsong kelahiran nabi yang teguh mengumandangkan kalimat sahadat
6
7. kepada umat di dunia. Pada umumnya masing-masing upacara terdiri atas kombinasi berbagai
macam unsur upacara seperti berkorban, berdo’a, bersaji makan bersama, berprosesi, semadi,
dan sebagainya. Urutannya telah tertentu sebagai hasil ciptaan para pendahulunya yang telah
menjadi tradisi (AB Usman dkk, 2004: 205).
Pengaruh Khalifah Sholahuddin Al Ayubi seperti telah dijelaskan kemudian
menyebar ke seluruh dunia termasuk ke Kerajaan Cirebon dan Sultan Cirebon Syarif
Hidayatullah kemudian mengadopsikan acara maulud nabi itu dengan budaya Jawa sehingga
menjadi prosesi Panjang Jimat. Secara serentak, upacara pelal Panjang Jimat di Cirebon
diselenggarakan di empat tempat yang menjadi peninggalan dari Syarief Hidayatullah.
Masing-masing di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan/Kasunanan
dan kompleks makam Syekh Syarief Hidayatullah pendiri Kasultanan Cirebon atau lebih
dikenal dengan Sunan Gunung Djati.
Rirual-ritual Panjang Jimat hampir sama dengan upacara yang lainnya, yang
semuanya mengukuhkan homogenitas model Jawa yang orisil Maka pada saat itu tampaklah
raja melakukan miyos dalem (penampilan raja kehadapan rakyatnya). Kemampuan raja
mencapai kesatuan dimanfaatkan untuk mendengarkan keabsahan keraton. Pada kegiatan itu
raja menyampaikan berkahnya untuk kesejahteraan rakyatnya (Ismawati Budaya dan
Kepercaan Jawa Pra-Islam dalam Amin, 2000: 20-21).
Berdasarkan penelitian yang kami lakukan secara langsung pada tanggal 7-9 Maret
2009 dengan melakukan wawancara, pengamatan langsung, dan juga bantuan dari sumber
buku yang telah kami baca, maka kami mendapatkan beberapa fakta tentang perubahan
Panjang Jimat berupa prosesi dan keadaan masyarakatnya. Pada hasil pertama kami akan
mengungkapkan tentang prosesi panjang jimat terlebih dahulu.
Di Keraton Kasepuhan Panjang Jimat diturunkan oleh petugas dan ahli agama di
lingkungan kerabat kesultanan Keraton kasepuhan, yang terdiri atas:
1) Diadakan Susrana
Tahap ini diadakan di gedung/bangsal dalem. Disinilah disajikan Nasi Rosul sebanyak
7 golongan, untuk tiap-tiap golongan ditumpangkan/ditempatkan di atas tasbih/piring besar.
Petugas-petugasnya adalah : Nyi Penghulu, Nyi Krum yang disaksikan oleh para Ratu Dalem.
Di belakang Bangsal Dalem yang disajikan air mawar, kembang goyah, “serbad boreh”
(panem) dan hidangan tumpeng 4 “pangsong”/”ancek”/”angsur”. Yang berisi kue-kue dan
tempat dong-dang yang berisis makanan, petugasnya adalah Nyi Kotif Agung, Nyi Kaum
dengan disaksikan oleh para Ratu/family kasultanan.
2) Di Gedung Bangsal Prabayaksa yaitu sebelah utara bangsal dalem dan di bangsal
Pringgadani (sebelah utara bangsal Prabayaksa), diperuntukan bagi para undangan di tengah
ruangan dilowongkan untuk deretan upacara, terus dari Jinem ke Sri Manganti.
Di Keraton Kasepuhan, upacara puncak Pelal Panjang Jimat dimulai tepat pukul 21.00
WIB dipimpin langsung oleh Sultan Sepuh XIII Maulana Pakuningrat, sementara prosesi
iring-iringan jimat keraton dibawa dari Bangsal Prabayaksa Keraton menuju Langgar Agung
dipimpin Putra Mahkota Kesultanan Kasepuhan Pangeran Raja Adipati PRA. Arief
Natadiningrat.
Selanjutnya Sultan menyerahkan payung pusaka kepada Putra Mahkota PRA Arief
Natadiningrat sebagai wakil dirinya dalam iring-iringan Panjang Jimat.
Urut-urutan panjang jimat di Kesultanan Kasepuhan yaitu pertama barisan lilin yang
melambangkan kelahiran nabi pada malam hari, barisan kedua berupa Manggaran, Nagan,
dan Jantungan yang lambangkan kebesaran dan keagungan.
Barisan ketiga, berupa air mawar, pasatan, dan kembang goyang sebagai perlambang
air ketuban dan usus atau ari-ari bayi, barisan keempat berupa air serbat dalam empat baki
dan dua guci sebagai perlambang kelahiran. Barisan kelima berupa tumpeng jeneng, 10 nasi
7
8. uduk, 10 nasi putih sebagai perlambang seorang bayi harus diberi nama yang baik agar
menjadi orang yang berguna, dan barisan keenam adalah tujuh nasi jimat.
Nasi Jimat itu diarak dengan pengawalan 200 barisan abdi dalem yang masing-masing
membawa simbil-simbol sebagai perlambang. Barisan pertama ialah pembawa lilin, bertujuan
sebagai penerang, diikuti iring-iringan pembawa perangkat upacara seperti "manggaran",
"nadan" dan "jantungan" (perlambang kebesaran dan keagungan).
Setelah serombongan iring-iringan lengkap berkumpul di Bangsal Purbayaksa, putra
mahkota PRA. Arief atas izin Sultan Kasepuhan, memimpin arak-arakan menuju Langgar
Agung, sekira 100 meter, masih di lingkungan keraton. Arak-arakan yang keluar dari Bangsal
Purbayaksa disambut di luar keraton oleh pengawal pembawa obor (perlambang Abu Tholib,
paman nabi menyambut kelahiran bayi Muhammad pada malam hari yang kemudian menjadi
manusia agung) sebelum akhirnya dibawa ke mushala. Di mushala itu Nasi Jimat Tujuh Rupa
itu dibuka bersama dengan sajian makanan lain termasuk makanan yang disimpan di 38 buah
piring pusaka peninggalan Sunan Gunung Djati berusia 600 tahun.
Di mushala (Langgar Agung), dilakukan shalawatan serta pembacaan (mengaji) kitab
Barjanzi sampai pukul 24.00 WIB. Setelah shalawatan dan pembacaan kitab yang dipimpin
imam Masjid Agung "Sang Cipta Rasa" Keraton Kasepuhan, makanan lalu disantap bersama.
PRA Arief yang mengenakan pakaian khas tradisi Cirebonan berupa kemeja hitam dan
blangkon, pulang kembali ke keraton dengan pengawalan ketat, sebab ribuan warga yang rela
menunggu berlama-lama, pada berebut untuk memegang atau sekadar menyentuh calon
Sultan Kasepuhan Cirebon itu karena diyakini bisa membawa berkah “Ngalap berkah”.
Sebelum arak-arakan membawa Nasi Jimat Tujuh Rupa dimulai, Sultan Kasepuhan,
Maulana Pakuningrat memberi wejangan kepada para abdi dalem dan tamu undangan. Sultan
menyampaikan makna dari perayaan Panjang Jimat yang sudah berusia ratusan tahun.
Sebagaimana sebutan "pelal", Panjang Jimat merupakan puncak dari serangkaian ritual yang
ditujukan untuk mengenang dan merayakan kelahiran (maulud) Nabi Muhammad saw. Acara
ini merupakan penutup rangkaian acara tradisi yang setiap tahun selalu berjalan meriah dan
menjadi magnet tersendiri bagi ratusan ribu warga untuk datang ke Kota Cirebon.
Pelal Panjang Jimat, atau rangkaian panjang acara adat mengenang dan merayakan
Maulid Nabi Muhammad SAW, bahkan telah menjadi agenda tersendiri. Tidak hanya bagi
abdi dalem keraton atau warga Kota Cirebon, tetapi juga warga dari daerah lain seperti
Indramayu, Majalengka, Kuningan, termasuk juga Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis,
Bandung, bahkan wilayah Jateng seperti Tegal, Brebes, Batang, Pekalongan, Semarang
sampai Jakarta dan Banten. Banyak masyarakat yang percaya menyaksikan Muludan yang
digelar tiga keraton di Cirebon memberikan semangat spiritual dalam menempuh kehidupan,
bahkan tidak jarang beberapa orang berusaha menggapai benda pusaka dengan tujuan
mendapatkan berkah pada malam Panjang Jimat itu.
2.4. Perubahan Panjang Jimat Dilihat dari Aspek Sosial dan Ekonomi.
2.4.1 Perubahan Panjang Jimat dilihat dari aspek sosial
Berdasarkan penelitian yang telah kami lakukan, terdapat fakta-fakta baru tentang
Panjang Jimat. Kami bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa pelaksanaan upacara
Panjang Jimat sekarang mengalami perubahan atau pergeseran. Secara umum perubahan
pelaksanaan Panjang Jimat tersebut bukan terletak pada struktur upacaranya tapi dalam
bentuk permukaannya. Perubahan penyelenggaraan dalam bentuk permukaannya banyak
berubah dilakukan untuk mendukung program pemerintah yakni pariwisata dan
pembangunan (Seputar Indonesia, 10 Maret 2009). Sedangkan mengenai tujuan, kesakralan,
struktur secara intern masih tetap terjaga. Prosesi upaca masih lengkap meskipun sedikit ada
penyederhanaan.
8
9. Seperti yang telah diketahui bahwa upacara Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan
sudah ada sejak jaman dahulu dan sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat
Cirebon. Hal ini khususnya dikarenakan masyarakat masih memegang teguh adat istiadat
ataupun kebiasaan akan tradisi yang diwariskan turun temurun. Secara prinsip, upacara
Panjang Jimat tetap dilakukan dari tahun ke tahun, namun dalam pelaksanaannya lebih
ditingkatkan yakni dilaksanakan dengan lebih besar, meriah, diisi dengan program
pembangunan dan dikaitkan dengan pariwisata. Terdapat suatu indikasi bahwa hal ini
disebabkan karena sudah memasuki jaman globalisasi yang serba modern.
Akibat dari globalisasi tersebut menyebabkan upacara Panjang Jimat yang merupakan
salah satu adat atau kultur Keraton kasepuhan juga mengalami perubahan. Hal ini sebenarnya
tidak menjadi masalah karena meskipun mengalami perubahan tapi tetap mempunyai
struktur, tujuan, esensi yang sama dengan pelaksanaan grebeg maulud dahulu. Nilai
kesakralan dan getaran emosi masyarakat masih tetap ada.
Pernyataan ini sependapat dengan peryataan Poespoprojo (1987: 164) bahwa dalam
masyarakat dinamik upacara adat yang mengalami perubahan biasanya dalam bentuk
permukaannya saja bukan pada strukturnya (non empiris). Sebab struktur selalu tetap dimiliki
manusia, meski manusia tersebut telah terjerat oleh kemajuan jaman. Rangkaian upacara
Panjang Jimat ini tidak mengalami peruban, begitu juga makna yang terdapat dalam setiap
rangkaian yang dilaksanakan tetap tidak berubah dan masih sama seperti dulu.
Pemahaman upacara tradisional yang penting, khususnya Panjang Jimat ini bukan
pada level empirisnya (luarnya) tapi pada level non empirisnya yakni struktur pada upacara
tersebut. Selama strukturnya sama, maka prinsip dari upacara Panjang Jimat tetap sama,
inilah yang paling esensial dalam pelaksanaan upacara Panjang Jimat agar tetap terjaga
keaslian, kesakralan, struktur, nilai, dan tujuannya.
Selanjutnya jika dilihat perubahan dalam pelaksanaan upacara Panjang Jimat saat ini
terletak pada bentuk luarnya (empiris) yaitu untuk mendukung program pariwisata dan
pembangunan seperti diketahui bahwa sebelum upacara dimulai dengan pesta rakyat
menyongsong perayaan Panjang jimat, yakni berupa keramaian untuk hiburan masyarakat.
Apabila jaman dahulu dalam Panjang Jimat ini tidak ada keramaian berupa pasar malam dan
para pedagang, maka sekarang mereka ada dan sangat ramai sekali. Pekan raya atau pasar
malam yang dipergunakan untuk kepentingan pariwisata dan pembangunan, antara lain:
1. Sebagai arena rekreasi bagi masyarakat misalnya; sirkus, arena permainan anak-anak,
panggung kesenian (musik) dan lain-lain
2. Sebagai forum informasi dan komunikasi tentang kebijaksanaan yang dapat diperoleh dari
eksposisi atau pameran dari instansi pemerintah
3. Sebagai sarana melestarikan kesenian kebudayaan daerah. Untuk itu disediakan panggung
kesenian daerah, pentas kesenian daerah dan lainnya.
Pasar malam tersebut dipakai sebagai ajang berjualan bagi para pedagaang seperti
penjual makanan, minuman, mainan ank-anak, pakaian, sepatu, bunga dan lainya. Akibat
adanya pasar malam dalam perayaan sekaten membuat susana menjadi meriah dan ramai.
Disamping itu dalam kegiatan pasar malam tersebut juga diadakan kegiatan keagamaan
khususnya agama islam. Kegiatan keagamaan itu antara lain santapan rohani melalui menara
siaran, pengajian umum, pameran keagamaan. Pentas seni keagamaan, tabligh di masjid besar
dan lainnya.
Hal utama yang paling terlihat adalah maksud dan tujuan masyarakat khususnya
generasi muda yang akan datang ke acara Panjang Jimat ini. Pada masa Syarif Hidayatullah
ketika Panjang Jimat ini diadakan masyarakat memang benar-benar khusyuk mengikuti ritual
Panjang Jimat ini dan mendengarkan ilmu agama dari tabligh yang diadakan oleh ulama.
Sekarang keadaannya bergeser, mereka malah lebih bertujuan untuk mengunjungi pasar
malam khususnya anak-anak remaj. Memang masih banyak golongan tua yang benar-benar
9
10. berniat untuk mengikuti Panjang Jimat ini secara keseluruhan, namun kebanyakan dari
generasi mudanya hanya ingin datang ke pasar malamnya saja.
Dari 35 orang yang kami wawancara, 25 Orang tua berumur diatas 30 tahun, dan 10
anak muda dibawah 25 tahun kami mendapatkan sebuah kesimpulan. Orang tua yang berada
diatas 30 tahun memang benar-benar berniat untuk mengikuti Panjang Jimat dan para anak
mudanya hanya berniat untuk melihat-lihat saja pasar malam dan pekan raya tersebut. Dari
fakta tersebut didapatkan kesimpulan bahwa saat ini upacara Panjang Jimat dalam bentuk
luarnya telah mengalami pergeseran khususnya dari kalangan anak muda yang kurang
memperhatikan kesakralan dari makna Panjang Jimat itu sendiri.
Demikian adalah beberapa perubahan yang terjadi pada pelaksanaan upacara Panjang
Jimat saat ini. Tampak dalam perubahannya bukan yang menyangkut strukur tapi yang
mendukung pariwisata dan pembangunan secara prinsipil kesakralan, tujuan, nilai serta
struktur dalam upacara grebeg tidak mengalami perubahan. Meskipun dalam prosesi upacara
ada sedikit perbedaan hal tersebut disebabkan karena perubahan jaman, dianggap lebih
praktis, ekonomis, sehingga dalam pelaksanaan upacara ada sedikit perkembangan bila
dibandingkan dengan dahulu.
2.4.2 Penyelenggaraan Upacara Panjang Jimat Terhadap Kehidupan Ekonomi
Masyarakat Sekitar
Sebagaimana yang kita tahu bahwa upacara Panjang Jimat yang merupakan rentetan
dari acara maulidan di Keraton Kasepuhan awalnya hanyalah sebuah upacara peringatan
kelahiran nabi Muhammad Saw saja yang di dalamnya terdapat ritual-ritual khusus sebagai
simbol untuk meneladani kerasulannya.
Diselenggarakannya Upacara Panjang Jimat (Muludan) ini ternyata memberikan
dampak bagi kehidupan masyarakat sekitar keraton. Penyelenggaraan acara ini seakan-akan
dimanfaatkan oleh para pedagang setempat untuk mengais rejeki. Apalagi dua minggu
sebelum acara, pihak keraton mengizinkan ribuan pedagang kaki lima (PKL) untuk berjualan
selama rentetan kegiatan menyambut Maulud Nabi Muhammad Saw. Sehingga tidak
mengherankan bila halaman depan atau jalan menuju Keraton Kasepuhan ini disesaki oleh
berbagai pedagang, mulai dari pedagang makanan, pakaian, barang antik, mainan anak,
peralatan rumah tangga, dan sebagainya.
Keadaan tersebut lebih populer dengan istilah pasar kaget. Pedagangnya pun tidak
hanya berasal dari Cirebon saja bahkan adapula yang berasal dari daerah lain seperti
Kuningan, Majalengka, Indramayu atau daerah lainnya yang sengaja mencoba mencari
peruntungan dalam acara Mauludan di Keraton Kasepuhan ini. Pedagang-pedagang tersebut
terdiri dari pedagang yang memang setiap tahunnya berjualan dalam acara Mauludan di
Keraton Kasepuhan dan ada pula diantara pedagang tersebut yang baru sekali mencoba
berjualan dalam acara tersebut.
Dari kondisi tersebut kami mengkaji penghasilan para pedagang. Beberapa
narasumber yang kami wawancarai mengaku bahwa ketika mereka berjualan dalam acara
Mauludan tersebut penghasilan mereka meningkat dari hari-hari biasanya. Misalkan saja
Haryanto yang seorang penjual kaligrafi, mengaku omzetnya meningkat dari yang tiap
harinya mampu menjual sekitar 15-25 buah lukisan, pada acara Muludan tersebut dia bisa
menjual 30-50 buah lukisan.
Selain pedagang, pihak lain yang mendapatkan keuntungan dari adanya pasar kaget
tersebut tentu saja adalah pihak Keraton sendiri. Tentu saja karena dengan adanya pasar kaget
ini, pedagang yang berjualan di sekitar keraton harus memebayar sejumlah retribusi kepada
pihak Keraton. Menurut keraton sendiri retribusi semacam ini akan digunakan untuk
kepentingan amal.
10
11. Dampak yang sama juga dirasakan oleh sopir-sopir angkot yang melintasi wilayah
keraton Kasepuha. Umumnya selama acara ini berlangsung sopir angkot pun mendapat
keuntungan dari banyaknya masyarakat yang menggunakan jasa angkot untuk berkunjung ke
Keraton Kasepuhan dengan tujuan untuk ziarah atau sekedar belanja saja.
Dari data tersebut bisa dianalisis bahwa penyelenggaraan acara Muludan di Keraton
Kasepuhan memberikan dampak bagi perekonomian masyarakat sekitar, khususnya terhadap
pedagang dan sopir angkot yaitu meningkatnya penghasilan mereka jika dibandingkan harihari biasanya.
11
12. BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan dan Saran
3.1.1 Kesimpulan
Upacara Maulid Nabi adalah suatu bentuk kebudayaan tradisional. Maulid Nabi
merupakan suatu salah satu bentuk rasa cinta umat kepada Rasul Nya. Awal mula dari
Maulid Nabi ini, pertama kali oleh penguasa bani Fatimah yang pertama menetap di Mesir
kemudian sampai ke Indonesia atas jasa Sultan Salahuddin Al Ayyubi Khalifah dari dinasti
Abbasiah, di Jawa tradisi Maulid Nabi telah ada sejak zaman walisongo sedangkan di
Cirebon sendiri Maulid Nabi setelah Sultan Syarief Hidayatullah berkuasa.
Proses dari Maulid Nabi ini sama seperti upacara lainnya. Dalam proses Maulid Nabi ini
terdapat beberapa lilin yang dipasang di atas standar, manggara, nagam, jantungan Tumpeng
yang mendukung upacara Maulid Nabi.
Dengan berkembangnya jaman yang semakin modern dan mengarah ke globalisasi,
maka Maulid Nabi juga mengalami perubahan. Di aspek sosial Maulid Nabi sekarang lebih
mendukung kepada pariwisata dan pembangunan namun secara prinsipil kesakralan, tujuan,
nilai serta struktur dalam upacara grebeg tidak mengalami perubahan. Meskipun dalam
prosesi upacara ada sedikit perbedaan hal tersebut disebabkan karena perubahan jaman,
dianggap lebih praktis, ekonomis, sehingga dalam pelaksanaan upacara ada sedikit
perkembangan bila dibandingkan dengan dahulu. Di aspek ekonomi Maulud Nabi yang
dahulu merupakan sebuah upacara peringatan kelahiran nabi Muhammad Saw saja yang di
dalamnya terdapat ritual-ritual khusus sebagai simbol untuk meneladani kerasulannya kini
dijadikan oleh masyarakat sebagai tempat mencari rezeki.
3.1.2 Saran
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca guna perbaikan makalah selanjutnya.
12
13. DAFTAR PUSTAKA
AB Usman, dkk. (2004). “Upacara Sekaten Dalam Pendekatan Teologis” Merumuskan
Kembali Interkasi Islam – Jawa. Yogyakarta: Penerbit Gama Media.
Adeng, dkk. (1998). Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Amin, Darori. (2000). Islam & Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Penerbit Gama Media.
Anas, Ahmad. (2003). Menguak Pengalaman Sufistik (Pengalaman Keagamaan Jamaah
Maulid Al-Diba Girikusumo). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Atja. (1986). Purwaka Caruban Nagari (Karya sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah).
Bandung: Proyek Permuseuman Jawa Barat.
Azra, Azumardi. (1998). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII; Melacak Akar-Akar Pembaruan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan
Cortesao, Armando. (1967). The Suma Oriental of Tome Pires: An account of The East from
The Red Sea to Japan. Writen in Malacca and India in 1512-1515. London: Hakluyt Society.
Dasuki, H.A. (1978). Purwaka Tjaruban Nagari. Cirebon: Tidak diterbitkan.
Koentjaraningrat. (1987). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta; UI Press
Natadiningrat, PRA. Arief. (2009). Keraton Kasepuhan Cirebon. Cirebon: Keraton
Kasepuhan.
Tedjasudhana, Lillian D. (1994). Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW, Asal-Usul
Penyebaran Awalnya, Sejarah di Magrib dan Spanyol Muslim Sampai Abad Ke-10/ke-16.
Jakarta: INIS.
Rostiyati, Ani dkk. (1995). Fungsi Upacara Tradisional Bagi Masyarakat Pendukungnya
Masa Kini. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Yogyakarta.
Unang, Sunaryo. (1991). Buluarti Keraton Kasepuhan Cirebon. Cirebon: Penerbit tidak
tercantum.
Sumber Lisan:
13