1. TUGAS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
RESUME METODE PENELITIAN DAN ETIKA DALAM
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
DISUSUN OLEH :
BIMANTORO KUSHARI - 1201110123
KELAS A 2011
UNIVERSITAS TELKOM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
MANAJEMEN BISNIS TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
2014
2. Ruang Lingkup Penelitian Komunikasi Antar Budaya :
1. Komponen-Komponen Budaya
Pandangan dunia (subjective experience world) suatu budaya. Asante (1980)
menyebut tiga tipe pandangan dunia:
(a) Afrosentrik;
melihat realitas terpadu dan bergerak secara agung. Tidak ada pemisahan
antara yang material dan spiritual, yang profan dan yang sakral, bentuk
dan substansi.
(b) Eurosentrik;
melihat materi sebagai ilusi, yang real adalah yang datang dari alam
spiritual
(c) Asiosentrik ;
melihat materi saja yang real, yang spiritual itu ilusi. Everything that not
within sense-experience become non-sense.
2. Komponen-Komponen Komunikasi
• Komponen penting dalam penelitian Komunikasi Antarbudaya adalah:
(1) Pesan Komunikasi;
(2) Peserta Komunikasi;
(3) Sandi yang digunakan;
(4) Media
• Selain komponen tersebut, penelitian KAB dapat juga mencakup:
(1) kinesika yakni pesan non-verbal berupa isyarat, postur atau ungkapan wajah;
(2) proksemika atau studi jarak dan ruang;
(3) vokalika (studi suara);
(4) sistem komunikasi artifaktual (penampilan tubuh, citra tubuh, dll.) dan
(5) sistem komunikasi sentuhan
Prosedur Penelitian Komunikasi Antarbudaya :
1. Paradigma Positivistik
Paradigma ini bertujuan menguji seperangkat hubungan berkaitan dengan perilaku
manusia yang dapat digeneralisasikan.Paradigma positivistik ditegakkan pada logiko-empirisme
3. Prinsip paradigma ini adalah mengukur yang teramati (observables), melakukan
kuantifikasi, dan merumuskan generalisasi hasil akhir.Paradigma positivistik
mengkonstruksi realitas seperti apa yang kita kehendaki.
Peneliti dengan paradigma positivistik menganggap realitas itu obyektif dan tunggal dan
identik.
2. Paradigma Naturalistik
Asumsi paradigma naturalistik adalah bahwa realitas adalah hasil konstruksi ki ta karena
setiap orang mengkonstruksi realitas, maka kita mengenal banyak realitas . Pengamat
dan yang diamati berhubungan secara interaktif dan saling mempengaruhi.
Tujuan penelitian tidak untuk menemukan pengetahuan nomotetik (hukum-hukum yang
dapat digeneralisasikan), tetapi mengembangkan pengetahuan idiografik (penjelasan
tentang kasus-kasus). Penelitian naturalistik selalu terkait dengan nilai-nilai (value-bound).
ETIKA DALAM KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Antropolog Edward T. Hall (1973) berpendapat bahwa budaya adalah komunikasi dan
komunikasi adalah budaya. Dengan kata lain, “tak mungkin memikirkan komunikasi tanpa
memikirkan konteks dan makna kulturnya” (Kress,1993:13). Implisit dalam konsep
komunikasi adalah etika komunikasi yang harus dipenuhi ketika pebisnis berkomunikasi
dengan pebisnis lainnya dari budaya yang berbeda. Etika adalah standar-standar moral yang
mengatur perilaku kita: bagaimana kita bertindak dan mengharapkan orang lain bertindak
(Verderber, 1978:313). Etika biasanya berkaitan dengan penilaian tentang perilaku benar
atau tidak benar, yang baik atau tidak baik, yang pantas atau tidak pantas, yang berguna
tidak berguna, dan yang harus dilkukan atau tidak boleh dilakukan.
Berbagai aspek etika komunikasi bisnis, seperti bagaimana kita memanggil nama, kenalan,
meyapa, berjanji, melakukan presentasi, melakukan negosiasi, melakukan kontrak, semua
itu berkaitan dengan budaya. Jadi, tidak ada etika komunikasi bisnis yang universal.
1. Kerumitan Etika Bahasa Verbal
Etika berbicara sangat bervariasi dalam bisnis. Misalnya, umumnya orang Jerman dan
Swedia adalah pendengar yang baik. Namun tidak demikian halnya dengan orang Italia dan
orang Spanyol; mereka malah sering memotong pembicaraan dengan bahasa tubuh dan
isyarat tangan yang hidup dan terkesan berlebihan.
Kesulitan bisa muncul saat kita pertama kali betemu dengan calon mitra bisnis, bagaimana
kita harus menyapa, menggunakan gelarnya, untuk menghormatinya atau memanggil nama
pertamanya supaya cepat dan akrab.
2. Kerumitan Etika Bahasa Nonverbal
4. Sebagaimana juga bahasa verbal, bahasa non verbal seperti sikap tubuh, gerak-gerak,
sentuhan, ekspresi wajah, senyuman, kontak mata, nada suara, diam, pakaian, penggunaan
ruang, konsep waktu, pengendalian emosi, dll yang dianut suatu kelompok budaya juga
sangat rumit dan berbeda dari suatu budaya ke budaya lainnya. Baik disadari ataupun tidak,
seringkali perilaku-perilaku nonverbal tersebut merupakan bagian dari etika komunikasi
yang harus dipenuhi dalam proses komunikasi bisnis.Pesan nonverbal paling bermakna
adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan
3. Perbedaan Orientasi Nilai Budaya
Dalam negosiasi antarbudaya, proses komunikasi yang terjadi jelas lebih rumit daripada
dalam negosiasi dengan orang-orang yang berbeda budaya sama. Dalam hal ini, idealnya
negosiasi harus memahami bahasa verbal, bahasa nonverbal dan nilai-nilai lain yang dianut
mitra bisnis mereka, sehingga mereka menjadi peka terhadap perbedaan budaya,
menyadari bagaimana perbedaan tersebut memengaruhi proses negosiasi yang akan
mereka lakukan dari awal hingga akhir (mulai dari perkenalan hingga penandatanganan
persetujuan bisnis yang mungkin memakan waktu relatif lama). Problemnya adalah bahwa
apa yang dianggap perilaku baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, sopan atau tidak
sopan dalam suatu budaya seringkali dipersepsikan berbeda atau bahkan bertentangan
dengan budaya lain. Misalnya, mamanggil nama pertama kepada atasan di Indonesia
dianggap tidak sopan, seperti juga di Jepang dan di Korea, sementara hal tersebut biasa saja
di Amerika atau di Australia.
Tidak berlebihan bila perbedaan-perbedaan dalam orientasi nilai budaya juga dapat
menimbulkan kesalah pahaman dalam berbagai perilaku dan presentasi bisnis. Banyak
kegagalan manajemen dan bisnis yang dialami para manajer atau pengusaha disebabkan
karena ketidak mampuan untuk memahami bahsa verbal, non verbal, dan nilai -nilai yang
dianut mitra bisnis mereka. Sikap mereka yang berorientasi pada nilai -nilai budaya sendiri
dan kurang memperhatikan nilai-nilai budaya calon mitra bisnis mereka.
Masalah akan timbul bila etika komunikasi suatu pihak dihadapkan kepada pihak lain. Lewis
(1996) menggambarkan bagaimana konsep kebenaran berada antara suatu bangsa dengan
bangsa lainnya, yang jug dapat berlaku dalam konteks bisnis.
Kerumitan komunikasi didasari oleh fakta bahwa komunikasi manusia bersifat omnipresent
(ada di mana-mana). Karena komunikasi manusia itu pelik, maka etika komunikasi manusia
juga pelik. Kita biasanya menilai etika komunikasi kita sendiri berdasarkan niat yang kita
miliki. Namun ketika kita menilai etika etika komuniakasi orang lain, kita menilai etika
komunikasi mereka berdasarkan tindakan-tindakan mereka yang kasat mata. Biasanya niat
yang sama mungkin diwujudkan lewat tindakan yang berbeda, atau tindakan yang sama
mungkin berdasarkan niat yang berbeda.
5. Selain itu komuniksai terdiri dari berbagai konteks. Ada komunikasi antarpersonal (dua
orang), komuniksai kelompok kecil, komunikasi publik, komunikasi organisasi, komunikasi
massa dan komunikasi anatarbudaya (Tubbs dan Moss, 1994). Pesannya bisa verbal (kata-kata)
dan nonverbal seperti ekspresi muka, isyarat tangan, intonasi, bahkan juga diam. Etika
komunikasi menjadi musykil karena kita sulit menerapkan suatu standar untuk semua situasi
komunikasi, pada setiap waktu dan dalam setiap budaya.
Sehingga komunikasi langsung ini dapat memupuk keakraban dan kehangatan dengan
sesama kita. Tanpa komunikasi tatap muka, kemanusiaan kita tereduksi. Kita menjadi
terasing dengan lingkungan sendiri dan “linglung”. Dalam era bisnis abad ke-21, para
pebisnis tetap merasa perlu untuk bertemu dan berunding secara tatap muka, meskipun
mereka juga menggunakan peralatan komunikasi yang canggih.