SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 49
PAN Indonesia
Bio tani
                                                                           Final Draft
                                     Kertas Posisi
                                Mempromosikan
                                Hak atas Pangan
                     Sebagai upaya Kecil Untuk Penegasan
        Realisasi Progresif Ketahanan Pangan Dalam konteks Nasional

                     (Position paper: Ensure Rirght to Food for All Now!
                               Make Food a Fundamental Right!
                  and position for Moving Towards realisation Right to Food)


                                            BioTani Indonesia



Seruan
1. Arusutamakan Hak atas Pangan lokal, dan realisasikan potensi aliansi,

2. Tingkatkan kerjasama internasional dalam upaya menyusun pantauan terhadap
pelaksanaan progresif hak atas kecukupan pangan,

3. Konsolidasikan upaya pemantauan dan lobby untuk intervensi sebagai pendukung
upaya realisasi progresif (harmonisasi legislasi, memantau, dan intervensi) terhadap
kemungkinan adanya perubahan/amandeman UUD 1945, maupun legislasi.


I. Ancangan Posisi

     Hak atas kecukupan Pangan telah berhasil disusun oleh FAO pada bulan
November 2004 dan diadopsi 187 anggota FAO dalam wujud satu panduan sukarela.
Panduan sukarela ini dimaksudkan sebagai pendukung bagi Negara anggota FAO guna
merealisasikan secara progresif hak atas kecukupan pangan dalam konteks ketahanan
pangan nasionalnya. Meskipun jauh dari sempurna dari apa yang diidealkan oleh
masyarakat madani, baik isi (soal sumberdaya genetik: Tjahjadi, 2004), maupun juga
isi keseluruhannya dan format statusnya (dari elaborasi Draft Code of Conduct to
Voluntary Guideline: Fian 2004; Special Rapporteur, 2004), namun panduan sukarela
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                                   1
ini dalam pandangan masyarakat madani dewasa ini merupakan instrumen terbaru
yang paling komprehensif, dan menurut Sofia Monsalve Suárez and Sandra Ratjen (
2006) yang disepakati negara-negara di dunia dalam mendefinisikan hak atas pangan
dan kewajiban-kewajiban terkait oleh negara. Panduan ini maksudnya merupakan
penjabaran hak atas pangan dalam Pasal 11 (the right to adequate food and the
fundamental right to be free from hunger) dalam Kovenan Ekosob yang membutuhkan
penafsiran lebih lanjut untuk melaksanakan hak atas pangan, khususnya dalam rangka
memberikan definisi isi dari hak dan kewajiban Negara. Panduan Sukarela inilah
jawabannya – yang beranjak dari General Comment Nomor 12 tahun 1999, Pasal 15:
kewajiban untuk menghargai, melindungi, dan memenuhi (fasilitasi, promosi, dan
membantu) dari para pakar Kovenan Ekosob, dan termasuk juga menjabarkan
substansi dari apa yang disebut oleh Asbjørn Eide (1999) Clarifying the Right to Food
and Nutrition and the Corresponding State Obligations kepada Komisi HAM PBB.

    Dewasa ini Panduan Sukarela ini pun dipandang masyarakat madani (FIAN)
sebagai langkah penting untuk menetapkan standar bagi hak atas pangan, dan
panduan praktis bagi Negara untuk memakai HAM untuk mencapai ketahanan
pangan. Dalam waktu kurang dari dua tahun FAO berhasil mengadopsi Panduan
Sukarela hak atas kecukupan pangan ke dalam sistem PBB yang lebih luas, atas
dukungan komunitas HAM, guna memerangi kelaparan dan malnutrisi
(www.fao.org/docrep/meeting/009/y9825e/y9 825e00.htm, June 2005).

    Apakah yang dimaksud dengan mencapai ketahanan pangan dengan memakai
HAM?
    Panduan Sukarela tidak berisi atau menciptakan ikatan baru mengenai kewajiban-
kewajiban hukum; nilainya terletak dalam kemampuannya untuk membantu
menterjemahkan hak menjadi rekomendasi untuk suatu tindakan yang konkrit, dan
dalam kegunaannya sebagai rujukan yang penting untuk orientasi kebijakan dan
program nasional (Mischler et all, FAO 2006). Namun, manfaat terbesar dari Panduan
Sukarela ini adalah bahwa panduan ini memberikan prioritas untuk memampukan
orang untuk memberi makan dirinya sendiri, dan mengulang kembali kewajiban untuk
memberikan pangan bagi mereka yang secara temporer/ sementara waktu, atau
permanen tidak dapat memanfaatkan sumberdaya, seperti lahan atau kredit sebagai
upaya memberi pangan bagi dirinya sendiri. Cara dari dua tujuan tersebut dapat
dicapai dengan kemestian berkorespondensi pada prinsip-prinsip yang dikandung
dalam HAM. Yaitu penguatan (empowerment), partisipasi, dan transparansi, serta tidak
pandang bulu (non-discrimination) – dalam proses politik pada semua aras –
mengenai desain, perencanaan, pelaksanaan atau pemantauan. Salah satu contoh,
Penguatan dalam kerangka HAM adalah memampukan individu untuk mengecek
akuntabiltas Negara sebagai pemegang tanggungjawab dan kewajiban (duty holders)
terhadap kemiskinan, dan karenanya, kelaparan yang membelenggunya.



 2                                           BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
Terkait dengan upaya-upaya implementasi Hak atas Kecukupan Pangan tidaklah
cukup dengan tangan kosong, ataupun menyiarkan hasil-hasil observasi BioTani
Indonesia selama berlangsungnya negosiasi penyusunan Hak atas Kecukupan Pangan
di FAO Roma Italia, maka BioTani Indonesia menjajaki dengan satu studi tentang
ketahanan pangan pada komunitas di 9 pulau kecil di 6 provinsi di Indonesia.
Rinciannya P. Bukuh Batam di Kep. Riau, P. Tunda di Serang Banten, P. Tidung di
Kep. Seribu DKI Jaya, P. Sapudi di Madura Jatim, P. Balang Lompo, dan P. Karanrang
di Pangkep Sulsel, P. Talaga, P. Makassar, dan P. Kabaena di Sekitar P. Buton Sultra.
pemilihan pulau-pulau kecil dilakukan berdasarkan persyaratan kedekatannya dengan
kota besar yang umumnya merupakan ibukota provinsi

Hasil studi Biotani Indonesia
       Mengetahui, dan menganalisis pemahaman komunitas yang tinggal di pulau
       kecil atas konsep ketahanan (hak atas) pangan
       Menjelaskan variabel-variabel yang mempunyai pengaruh terhadap ketahanan
       pangan penduduk di pulau kecil.

    Sebagai catatan studi ini lingkupnya terbatas, berfokus hanya kepada pangan –
tidak termasuk air dan sumberdayanya - dengan metode survei lapang, bukan
memakai kuesioner yang mendalam (Oxfam GB, 2006). Kesimpulan studi

         Komunitas responden yang tinggal di pulau-pulau yang diteliti sebagian
         terbesar adalah kelompok usia produktif, dengan tingkat pendidikan rendah
         dan mayoritas, memang bermata pencaharian sebagai nelayan.
         Mereka yang berusia lebih muda, cenderung memiliki jumlah anggota keluarga
         kecil (dua orang anak), sementara yang berusia lebih tua cenderung
         mempunyai anggota keluarga menengah (hingga delapan orang dalam satu
         keluarga).
         Hasil perolehan tangkapan rata-rata nelayan dalam sekali melaut adalah sebesar
         11.5 kilogram setara ikan – jenis ikan tidak disebut responden.
         Bagian terbesar nelayan menggunakan perahu bermesin dan jaring serta mata
         pancing dalam proses produksinya. Kenaikan harga BBM tentunya mempunyai
         dampak serius terhadap proses produksi tersebut.
         Dilihat dari frekwensi kebiasaan makan, bagian terbesar responden( 98 persen)
         mengaku terbiasa makan paling tidak dua kali dalam sehari dengan menu
         utamanya nasi disertai lauk. Separuh lebih (55 persen) menyatakan pernah
         mengalami makan kurang dari biasanya.
         Hampir separuh (46 persen) dari responden yang menyatakan pernah
         mengalami kurang pangan tersebut, hal ini dialami 2-3 kali dalam sebulan.
         Sekitar 20 persen darinya mengakui pernah tidak makan sama sekali dalam
         sehari. Kekurangan pangan ini diakui juga menimpa anak-anak mereka.
         Dari mereka yang pernah mengalami masalah kurang pangan tersebut,
         penyebab utamanya adalah kekurangan yang berkaitan dengan uang dan akses

BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                              3
serta sumber dana yang tersedia. Umumnya komunitas (nelayan) yang
         mengalami masalah kekurangan uang ini menghubungi sanak keluarga dan
         pedagang/pemilik toko untuk mendapatkan bantuan
         Rendahnya daya-beli dan kesulitan dalam mengakses sumber dana dan pasar
         sebagai penyebab kondisi rawan pangan, diperburuk lagi dengan fakta bahwa
         lebih dari 60 persen pengeluaran mereka digunakan untuk pangan. Pada sisi
         lain hasil produksi sendiri komunitas pulau kecil hanya menduduki peringkat
         ketiga setelah “sumber lainnya”.
         Bagian terbesar responden mengaku tidak mengetahui tentang adanya regulasi
         yang mengatur tentang pangan baik nasional maupun daerah dan lokal. Mereka
         cenderung lebih peduli dengan regulasi yang berkaitan langsung dengan
         profesi mereka sebagai nelayan.
         Lebih dari separuh responden menyatakan mereka tidak mengetahui upaya-
         upaya pelestarian lingkungan di sekitar mereka, terutama tentang hutan bakau.
         Namun menurut mereka hutan bakau sangat sesuai di Indonesia
         Hasil uji empirik memperlihatkan daya-tahan terhadap masalah pangan
         keluarga berkaitan erat dengan tingkat pendidikan ibu dan pendapatan
         keluarga, meskipun pengaruh tersebut relatif kecil untuk variabel yang terakhir.
         Hasil produksi keluarga nelayan ternyata tidak mendukung hipotesis akan
         pengaruhnya terhadap ketahanan pangan.

Rekomendasi studi

                         Rekomendasi
     A
                                                                         P
     c           Akuntabilitas dan Partisipasi
                                                                         a
     c                        Duty bearer                               r
     o
                                                                         t
     u
                                Human Rights
                                                                         i
     n
               Fulfils              are:            Claims               c
     t                            Universal
            responsibility                          right                i
     a        towards
                                 Inalienable
                                 Indivisible
                                                     from                p
     b
                                                                         a
     i
                                                                         t
     l                       Right holder                                i
     i
                                                                         o
     t
                                                                         n
     y


 4                                              BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
1. Ketergantungan pada pasar cukup tinggi meskipun ketersediaan komoditas
       pangan – volume dan keteraturan pasokan dari pulau besar – di pasar pulau
       kecil belum memadai identifikasinya dalam studi ini. Dalam pengamatan
       selama studi terlihat PDS, public distrubution system berkecenderungan kuat
       adalah prakarsa dan swakelola oleh anggota komunitas. Negara – sebagai Duty
       bearer – amat lemah accountability-nya dalam melaksanakan kewajibannya
       terhadap right holder, yaitu komunitas maupun individu di pulau kecil –
       terbilang tinggi partisipasinya dalam pemenuhan “kecukupan” pangannya.
       Sementara itu, pada sisi lain hasil produksi sendiri komunitas pulau kecil hanya
       menduduki peringkat ketiga setelah “sumber lainnya”.
    2. Ketergantungan pada pasar cukup tinggi meskipun ketersediaan komoditas
       pangan – volume dan keteraturan pasokan dari pulau besar – di pasar pulau
       kecil belum memadai identifikasinya dalam studi ini. Dalam pengamatan
       selama studi terlihat PDS, public distrubution system berkecenderungan kuat
       adalah prakarsa dan swakelola oleh anggota komunitas. Negara – sebagai Duty
       bearer – amat lemah accountability-nya dalam melaksanakan kewajibannya
       terhadap right holder, yaitu komunitas maupun individu di pulau kecil –
       terbilang tinggi partisipasinya dalam pemenuhan “kecukupan” pangannya.
       Sementara itu, pada sisi lain hasil produksi sendiri komunitas pulau kecil hanya
       menduduki peringkat ketiga setelah “sumber lainnya”.
    3. Pendekatan solusi dari sisi komunitas pulau kecil kepada negara, dengan skema
       lunak pula, berupa pertanyaan: Is There a Right Not to be Hunger or Poor?
       Dengan dasar pertanyaan ini, maka musti dimulai (positive freedom
       approaches; Sen 1987) melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan
       (Musrenbang). Musrenbang sebagai awal Proses penyusunan APBD - dari
       tingkat desa, kabupaten hingga provinsi - dapat ditingkatkan fungsi
       instrumentalnya untuk lebih mempedulikan komunitas pulau kecil, termasuk
       aspek-aspek ketahanan pangan “berbasiskan hak atas pangan”
       ditumbuhkembangkan ke dalam penyusunan anggaran belanja secara
       partisipatif (right-based approach). Dengan demikian kewajiban negara untuk
       memastikan adanya kecukupan pangan, pada gilirannya, dapat dipantau oleh
       publik secara luas, maupun digugat oleh komunitas yang bersangkutan.


      Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, dapat disusun satu catatan penting kepada
pemerintah RI, sebagai berikut.
-     Pemerintah mesti merancang dan mengadopsi peraturan yang mengutamakan
hak asasi manusia dalam mendesain kebijakan terkait dengan ketahanan pangan dan
gizi,
-     Pemerintah musti melaksanakan mekanisme yang efektif dan menetapkan
prosedur pengaduan (effective monitoring mechanisms and complaints procedures)
pada semua aras, tetapi khususnya pada tingkat kebupaten dan tingkat desa,
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                                5
-     Pemerintah dan para donor musti mengadopsi dan mendukung program
berjangka panjang yang tujuannya secara khusus bagi pelaksanaan kebijakan
swasembada pangan.


II. Persoalan yang dihadapi

Konstitusi Republik Indonesia
    Tidak dicantumkannya secara eksplisit jaminan terpenuhinya hak atas pangan
dalam perumusan Pasal 28 H ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945, bahwa “Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”

   Hak atas pangan dicantumkan secara implisit, tetapi berkaitan dengan beberapa hak
dasar manusia lainnya. Sebagai perbandingan Hak atas pangan dalam Konstitusi Afrika
Selatan memperoleh pengakuan secara tegas mengacu kepada hak memiliki akses
kepada kecukupan pangan.
    The right of everyone to have access to sufficient food (section 27(1)(b))
    The right of children to basic nutrition (section 28(1)(c))
    The right of prisoners and detainees to adequate nutrition (section 35(2)(e)).
   Mochamad Isnaeni Ramdhan (2004) menyatakan (...) dalam Perubahan Undang-
Undang Dasar 1945 telah diatur jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia dan
Warganegara secara lebih rinci daripada sebelumnya. Namun demikian, konstitusi
merupakan hukum dasar sehingga pengaturan terhadap substansi konstitusi memang
diformulasikan secara abstrak, umum sedangkan penyelenggaraan lebih lanjut diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut ia menyarankan

1. jika hak atas pangan perlu diatur dalam konstitusi maka beberapa langkah yang
   dapat dilakukan antara lain mengajukan nalaran akademik perlunya hak atas
   pangan diatur dalam pasal tersendiri dalam konstitusi. Nalaran akademik tersebut
   perlu dipresentasikan rapat yang diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan
   Rakyat;

2. jika dikaitkan dengan praktek penyelenggaraan jaminan hak atas pangan yang
   kurang optimal, maka tuntutan terhadap perumusan peraturan pelaksana dalam
   bentuk undang-undang yang wajib diprioritaskan, sehingga lembaga negara yang
   harus diajak berunding adalan Dewan Perwakilan Rakyat serta Pemerintah.

    Pasal 28 I ayat (5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang undangan.



 6                                           BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
Perundangan
   Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan tidak mencantumkan Hak
atas Pangan, namun secara eksplisit menyatakan kewajiban mewujudkan ketahanan
pangan. UU tersebut dalam kenyatannya memang, mengamanatkan bahwa
pemerintah bersama masyarakat mewujudkan ketahanan pangan. Namun tampak,
bahwa pemerintah berbagi kewajiban Negara secara berjenjang, yaitu dari Negara
kepada keluarga secara individual - hal ini seirama dengan alam pikiran Kelirumologi
- contohnya, sistem demokrasi Pancasila yang diasaskan kepada kekeluargaan yang
ditumbuhkembangkan oleh Soeharto. Berbagi kewajiban Negara dapat dilihat pada
pernyataan Kaman Nainggolan (2006) tentang RUANG LINGKUP KETAHANAN
PANGAN. Khususnya Lintas Wilayah: Nasional, Daerah, dan RT. RT, dalam hal ini,
tidak diuraikan kepanjangannya, namun secara akal sehat dapat diartikan sebagai
rumah tangga, bukan rukun tetangga.

       Adapun rujukannya, ialah
     BAB VII KETAHANAN PANGAN, Pasal 45,
     Ayat 1
     Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan
     ketahanan pangan.

     Ayat 2
     Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, sebagaimana dimaksud pada ayat
     (1), Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan
     pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun
     mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli
     masyarakat.

   Sebagai tambahan mengenai tanggungjawab Negara dalam hal ketersediaan
pangan guna memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus berkembang
dari waktu ke waktu terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002
Tentang Ketahanan Pangan. (Pasal 2).

   Lebih jauh dalam perspektif legal tertulis, penjenjangan kewajiban Negara secara
tegas terlihat dalam hal cadangan pangan pemerintah sebagai bagian dari Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan.

         Bab III
         CADANGAN PANGAN NASIONAL
         Pasal 5
         (1) Cadangan pangan nasional terdiri dari cadangan pangan pemerintah, dan
         cadangan pangan masyarakat.
         (2) Cadangan pangan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri
         atas:
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                            7
a. Cadangan pangan Pemerintah Desa;
         b. Cadangan pangan pemerinah Kabupaten/kota;
         c. Cadangan pangan Pemerintah Propinsi;
         d. Cadangan pangan Pemerintah Pusat.

   Pemerintah (Pusat hingga Desa) dapat menugaskan badan pemerintah atau badan
usaha yang bergerak di bidang pangan untuk mengadakan dan mengelola cadangan
pangan tertentu yang bersifat pokok sesuai UU (Pasal 7). Namun PP tersebut
menyatakan, bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang seluas-luasnya
dalam upaya mewujudkan cadangan pangan masyarakat. Cadangan pangan yang
dimaksud tersebut dilakukan secara mandiri serta sesuai dengan kemampuan masing-
masing (Pasal 8)

   Dengan pola tanggungjawab berjenjang dengan, tetapi berujung dengan sistem
pengontrakkan pengadaan dan pengelolaan cadangan pangan nasional kepada suatu
badan usaha, dengan contoh PP tersebut, dapat dikatakan tidak mudah dipahami
gambarannya oleh kalangan masyarakat desa, dan elitnya. Dan hak yang tercantum
dalam Pasal 8 cenderung berada dalam posisi atau konteks kewajiban bagi
masyarakat.

   Dapat dikatakan dengan adanya penjenjangan tanggungjawab ketahanan pangan
adalah kepanjangan sistem lama (Soeharto) yang mengembangkan sistem
kekeluargaan. Tegasnya UU No. 7 tentang Pangan Tahun 1996 adalah bagian dari
Kelirumologi nasional: ekonomi berasaskan kekeluargaan, dan sistem politik
Indonesia, SPI adalah bersandar kepada keluarga besar. Konflik tidak harus
diselesaikan melalui voting, pemungutan suara terbanyak, melainkan musyawarah
kekeluargaan, demikian.jargon populis pada masanya.

   Pada sisi lain, dan waktu yang lebih mutakhir unsur Negara (pemerintah dan
parlemen) telah meratifikasi International Covenant on Economic, Social, and Cultural
Rights menjadi Undang-undang No. 11 tentang Pengesahan International Covenant
on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya, kovenen Ekosob) tertanggal 28 Oktober 2005. Pasal 11
dalam UU No. 11 tahun 2005 mencantumkan hak atas pangan.

         Dalam konteks hak atas pangan dan keterkaitan ICESCR dengan konvensi
      lainnya Johannes Brandstäter (2002) mengutip modul pelatihan HAM, khususnya
      Kovenan Ekosob:
     • ICESCR Pasal 11(1) menyatakan bahwa “hak azasi atas standar kehidupan yang
         layak seperti cukupnya pangan, perumahan, pakaian.”
     •   Pasal 11(2) mengakui “hak mendasar dari setiap orang untuk bebas dari
         kelaparan”.

 8                                            BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
•    Konvensi hak azasi manusia pada anak-anak, Pasal 24(2)(c) mewajibkan pihak
         pemerintah untuk memerangi penyakit, dan kekurangan gizi …
    •    Protokol Tambahan untuk Geneva Conventions, dan Relating to the Protection
         of Victims of International and Non-International Armed Conflicts.


     Beranjak dari pendekatan ini , maka terdapat the instrument of Public Interest
Litigation/class action bagi masyarakat madani mengusung satu kasus ke pengadilan.


Kebijakan
   Hak atas pangan sudah termaktub dalam kebijakan pemerintah – melalui Dewan
Ketahanan Pangan - tentang Kebijakan Umum Ketahanan Pangan Tahun 2006-2009,
namun hal ini, agaknya, diupayakan bukan hanya sekadar pemanis atau lips service.
Sebagai contoh dalam Ringkasan Ekskutif dari kebijakan tersebut tidak tecantum hak
atas pangan, melainkan pernyataan yang terang-benderang pada angka 14., yaitu
     Undang-Undang Nomor 7 tahun 1006 tentang Pangan menyatakan bahwa
     perwujudan ketahanan pangan merupakan tanggung jawab pemerintah bersama-
     sama masyarakat.
    Meskipun demikian dalam uraian Konsep Umum Tahun 2006-2009 tersebut
disebutkan Hak atas pangan dicantumkan pada Landasan Hukum (Bab II versi cetak),
dan pada bagan Kerangka Sistem Ketahanan Pangan (Bab. II versi online), meskipun
tidak memadai paparannya. Demikian juga, jika lebih seksama diperiksa pada bagian
selanjutnya pada dokumen itu.

   Jika dilihat dalam konteks yang lebih luas, betapa pun juga, pencantuman hak atas
pangan pada Kebijakan Umum Ketahanan Pangan tersebut sudah jelas merupakan
langkah maju dari dokumen sebelumnya, yaitu kebijakan tentang Rencana Aksi
Nasional HAM (RANHAM) kedua melalui Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004
(Agustus 2004; Sept. 2006). Sebagai catatan, dalam pengamatan BioTani Indonesia,
wakil Indonesia baru hadir dalam IGWG FAO tentang negosiasi penyusunan Hak atas
Kecukupan Pangan pada putaran III di kantor pusat FAO di Roma Italia bulan Juli 2004
– itupun hanya utusan/staf dari KBRI di Roma – sehingga mustahil hak atas kecukupan
pangan dapat dimasukkan ke dalam RAN HAM..(Lihat juga: FAO Right-to-Food
masukkan ke RAN HAM RI - Press_Relea... yang disirkulasikan kepada Mass Media
group Sep 26, 2004). Yang tercantum dalam (RANHAM) kedua adalah hak atas
pangan yang didekati dengan pembangunan: kebijakan ketahanan pangan,
peningkatan kelembagaan daerah, peningkatan produksi pangan, diversifikasi pangan,
dsb. (RAN HAM 2004-2009, halaman 125, dan 131; Jakarta Sept. 2006)

   Pemerintah menjabarkan RAN HAM kedua secara ringkas padat ke dalam (tabel)
Rencana Kegiatan RANHAM Indonesia Tahun 2004-2009. Pada butir E. Penerapan
Norma dan Standar Instrumen HAM, yang diterbitkan oleh Presiden RI Megawati
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                                9
Soekarnoputri (tanpa tanggal), dicantumkan hak atas pangan, yaitu pada halaman 38;
dalam tabel berkolom 4 dituliskan:

     Peningkatan pemenuhan atas hak pangan (kolom Program/Kegiatan); 2004-2009
     (Jadwal); Departemen Pertanian dan instansi terkait (Pelaksana); Terpenuhinya
     hak atas pangan (Indikator keberhasilan (out put)).

   Catatan kecil, UU Pangan tidak termasuk revisi dalam angka C. Persiapan
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Yang mendjadi prioritas adalah UU
tentang HAM, UU Pengadilan HAM, dan KUHP. Kemudian, Pelaksana hanya
departemen Pertanian dan instansi terkait, sementara pada hak lainnya, contohnya
pada halaman 36-37, Hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, dan hak untuk
berpartisipasi dan berekspresi dalam kegiatan kebudayaan, pelaksananya ádalah
departemen yang bersangkutan dan instansi terkait di Pusat dan Daerah. Dapat
dibayangkan, bahwa hak atas pangan akan dirumuskan di “pusat” alias departemen
pertanian saja.

   Beranjak dari analog di atas, maka secara logika akal sehat linier, arena partisipasi
(baca: advokasi) masyarakat madani adalah di pusat (baca: departemen pertanian), jika
hak atas kecukupan pangan hendak ditagihkan pengakuan realisasinya secara penuh
kepada Negara.

    Tetapi hak atas pangan yang ringkas Rencana Kegiatan RANHAM Indonesia
Tahun 2004-2009 tersebut, dapat disimak penjabarannya pada Komitmen Indonesia
dan Komitmen Para Gubernur dan Bupati/Walikota Selaku Ketua Dewan Ketahanan
Pangan – sebagai upaya menyiasati pola komando (atas-ke-bawah) ke dalam sistem
otonomi daerah. Yang menonjol adalah:
     Menurunkan tingkat KELAPARAN dan KEMISKINAN sekurang-kurangnya 1
     persen per tahun (KesepakatanGubernur, 20 November 2006)

    Pada sisi lain Departemen Kelautan dan Perikanan, DKP (Rumusan Rakernas DKP
2005) mengakui pengarusutamaan HAM, di antaranya hak atas pangan dalam satu
tarikan nafas dengan hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan dan
pemukiman, tanah, air bersih dan aman, sumber daya alam dan lingkungan hidup,
mencakup 10 unsur standar dasar kemanusiaan disertai dengan pelestarian
sumberdaya alam dan lingkungan hidup) dalam rencana aksi nasionalnya.
     (...) program (rencana aksi) nasional yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu
     2005-2009, meliputi : (1) pengelolaan ekonomi makro, (2) pemenuhan hak-hak
     dasar (pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan dan pemukiman,
     tanah, air bersih dan aman, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman,
     dan partisipasi), (3) perwujudan kesetaraan dan keadilan gender, (4) percepatan
     pengembangan kawasan/wilayah.


10                                             BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
Rencana aksi nasional tersebut disusun dari (...) 5 (lima) strategi, yaitu: (1) perluasan
kesempatan kerja, (2) pemberdayaan kelembagaan masyarakat, (3) peningkatan
kapasitas kelembagaan dan. SDM, (4) perlindungan sosial, dan (5) penataan kemitraan
global.

  Rencana aksi nasional tersebut dijabarkan ke dalam program-program DKP,
antara lain :

     Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)
     Budidaya pedesaan

     Pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil
     Intensifkasi
     peningkatan mutu
     Pengembangan Konsultan Keuangan/Pendamping UMKM
     Mitra Bank (KKMB)
     Program/Proyek Pinjaman dan Hibah Luar Negeri
     (MCRMP, COREMAP, COFISH, MFCDP, JFPR, OSRO, dll)

   Rasanya tidak mengherankan dengan pernyataan Departemen Kelautan dan
Perikanan tersebut, karena secara formal telah dua (2) kali BioTani Indonesia
mendesakkan pentingnya pengakuan hak atas pangan, khususnya bagi komunitas
pulau kecil. Pertama, dalam Roundtable Kedua tentang presentasi Temuan Fakta
Rawan Pangan di Pulau Tunda Banten di Jakarta, 4-5 Juni 2003 DKP diwakili oleh
Ferrianto Jais, Tata Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan Dr. Toni Pulau-pulau
Kecil, dan Ir. Sugiono, Perencana Pulau-pulau kecil, dan kedua dalam Dialog
Kebijakan di Pulau Tunda 20 Januari 2004, diwakili oleh Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Serang Provinsi Banten.

   Beranjak dari pernyataan DKP di atas, maka secara logika akal sehat linier, arena
partisipasi (baca: advokasi) masyarakat madani adalah tersebar di dalam beberapa
program, jika hak atas kecukupan pangan hendak ditagihkan pengakuan realisasinya
secara penuh kepada Negara.

    Pangan, dan hak atas pangan, pada sisi lain yang tak kalah pentingnya dalam
situasi yang sering terjadinya nyaris tiga tahun belakangan ini berupa bencana alam:
Tsunami dan gempa bumi, dan bencana buatan manusia: banjir lumpur di Sidoarjo,
banjir bandang melanda 12 provinsi (kompas, 1 Feb. 2007), dan banjir yang terjadi 2-
4 Februari 2007 yang melumpuhkan 70% kegiatan Jakarta (Kompas, 5 Feb. 2007)
tanah longsor di banyak tempat di Indonesia, disertai juga anomali iklim dan
perubahan cuaca yang – di antara nya menghentikan nelayan Pulau Tunda melaut,
pada gilirannya, semuanya itu diikuti jeritan perlunya bantuan pangan (food aid).
Namun demikian tidak ditemukan secara eksplisit suatu aturan perundangan yang

BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                                   11
mengatur bantuan pangan – yang ada UU No.7 tentang Pangan tahun 1996, dan
upaya pemerintah mengatur bantuan pangan dalam konteks kemiskinan dalam
menyusun Rancangan Undang-Undang Kemiskinan (Depsos, 2004). Sementara itu
pada aras internasional sudah terdapat Food Aid Convention, 1999 yang
ditandatangani di London 13 April 1999 – kendatipun tidak ada mekanisme untuk
pemantauan yang efektif maupun untuk pemberlakuan kewajiban penandatangan
konvensi ini, juga soal sengketa, dan sebagainya - berakhir tahun 2002, tetapi akan
direnegosiasi dalam tahaun-tahun mendatang. Yang sudah ada Panduan Sukarela
tentang Hak atas Kecukupan Pangan (FAO, 2004).

     Kutipan RUU Kemiskinan:
                                      BAB IX
                              PELAYANAN SOSIAL DASAR
                                      Bagian kesatu
                                     Bantuan pangan
                                        Pasal 10
     Bantuan pangan bertujuan untuk meningkatkan kecukupan pangan dan status gizi
     serta diversifikasi pangan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat miskin.
     Usulan pasal tersebut dalam RUU Kemiskinan secara eksplisit mencantumkan
kecukupan pangan sebagai pelayanan sosial dasar dalam urutan pasal pertama. Usulan
tersebut esensinya berkesesuaian dengan Panduan Sukarela Hak atas Kecukupan
Pangan meskipun terdapat beberapa hal kekurangan. Misalnya, cara keluar yang jelas
(exit startegy), dan adanya pencegahan terjadinya gangguan produksi dan pasar
pangan lokal, dan sebagainya – semuanya teramasuk dalam strategi pengentasan
kelompok miskin, serta memenuhi dan melindungi HAM.

     Panduan 15 Bantuan pangan internasional dipandang menekankan bahwa
     bantuan pangan haruslah aman dan memperhitungkan makanan dan budaya pola
     konsumsi pangan. Program bantuan pangan hendaknya tidak mengganggu
     produksi dan pasar pangan lokal, dan harus menghindari penciptaan
     ketergantungan dengan mempunyai cara keluar yang jelas. Badan-badan
     kemanusiaan harus dijamin keamanannya dan akses kepada penduduk yang
     membutuhkan. Selain itu, bantuan pangan untuk keadaan darurat harus juga
     memperhitungkan pemberian jangka panjang dan tujuan rehabilitasi (BioTani
     Indonesia, 2006).


Politis
     Politis terhadap implementasi hak atas pangan di Indonesia dapat disimak, bahwa
pemerintah mengulang kembali komitmennya untuk mendukung pelaksanaan hak atas
pangan pada aras nasional - sebagaimana observasi masyarakat madani di FAO Roma
Italia pada minggu pertama November 2006.
12                                           BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
Several Government representatives from Mozambique, Indonesia, Brazil,
     Germany and Switzerland reiterated their political commitment towards
     supporting the implementation of the Right to Food at the national level (FIAN,
     online, 2006).

    Kelanjutan komitmen tersebut tertuang dalam makalah kepala Badan Ketahanan
Pangan nasional (BKPN) dalam Acara Presentasi Hasil Studi Biotani Indonesia tentang
ketahanan pangan pada komunitas 9 pulau kecil di enam provinsi dan dilanjutkan
dengan Rountable Discussion di Hotel Le Meredien Jakarta, pada 12 Desember 2006.
    "Peran strategis Ketahanan Pangan:
    Menjamin hak atas pangan" (Halaman 3)
meskipun, dalam kenyataan lebih lanjut, dalam pernyataan oral tidak ada uraian lebih
lanjut, namun terlihat lebih khusus bilamana disandingkan dengan naskah sambutan
kunci Menteri Pertanian yang lebih mengungkapkan kebijakan umum ketahanan
pangan.

     Pada sisi lain, realitas menunjukkan hingga saat ini terbaca belum cukup jelas
dan tegas mengenai perlu dan mendesaknya dilakukannya revisi UU Pangan tahun
1996 oleh pemerintah yang disuarakan oleh BKPN, terkecuali secara lisan-informal
oleh Narasumber yang mewakili Kepala BKPN dalam Acara Presentasi Hasil Studi dan
Rountable Discussion di Hotel Le Meredien Jakarta, 12 Desember 2006. Posisi
pemerintah, khususnya BKPN sudah berubah jauh, bukan seperti ketika BioTani
Indonesia secara nyaring mengingatkan pemerintah soal perlunya mulai menjajaki
pengakuan Hak atas Pangan yang tengah dinegosiasikan oleh IGWG FAO, dan
ketahanan pangan hendaknya tidak dipandang sebagai business as usual, ketika BKPN
– namanya masih Bimas Dewan Ketahanan Pangan - menyelenggarakan seminar
nasional itu pada akhir Januari 2003. Lebih dari itu, dua tahun berikutnya, April 2005
ketika FAO mendanai seminar nasional tentang Hak atas Pangan, dan kini gaung
kelanjutannya terpapar dalam kalimat singkat dalam makalah kepala BKPN tersebut.
Singkatnya dapat dikatakan pemerintah sudah bergeser dari posisi entitlements by
policy now moving to rights.

    Sementara itu, upaya yang sudah pernah dilakukan, pada sisi lainnya lagi, ialah
BioTani Indonesia mencoba masukkan Hak atas Pangan sebagai satu ayat tersendiri
kepada Komisi Konstitusi RI (BioTani Indonesia, 2003) – sebagai kelanjutan dari acara
tukar-gagasan - pada bulan Desember 2003 (lihat: Seminar Nasional dan Lokakarya
tentang Dapatkah Right to Food Masuk Dalam Undang Undang Dasar (UUD)? yang
diselenggarakan oleh BioTani PAN Indonesia bekerjasama dengan Oxfam-GB, Jakarta
13-14 Desember 2003.). Oleh narasumber gagasan ini disarankan agar diusulkan
secara resmi ke Komisi Konstitusi tanggal 19 Desember 2003. (lihat juga: Kalawarta
Terompet BioTani Indonesia 2003/2004).



BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                                 13
III. Posisi dan Rekomendasi lanjutan dalam skala Nasional

    Yang pertama, dan yang terutama, ialah BioTani Indonesia dalam posisi
menyatakan, bahwa hak atas pangan tidak cukup memadai pengakuannya oleh
Negara Republik Indonesia, namun upaya ke arah itu sedang berlangsung. Dengan
mencermati kondisi ini karena itu BioTani Indonesia menyatakan rekomendasi sebagai
berikut


1. Pengarusutamaan Hak atas Pangan Lokal
      Langkah pertama adalah Knowing & claiming your right to food, tetapi sekaligus
juga early warning kepada pemda di lokasi anggota konsorsium program Building
Opportunity – yaitu Banten (Biotani Indonesia), Sulawesi Tenggara (JPKP), Maluku (Sor
Silai di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dan Sita Kena di Kabupaten Aru). Di sini
strategi kegiatan yang akan ditekankan adalah penyuluhan kepada komunitas, dengan
mengundang partisipasi pemerintah daerah.

     Faktor legal pendukung dalam pengarus utamaan Hak atas pangan, ialah UU
No.11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan ICESCR. Hak atas pangan dalam undang-
undang tersebut dapat dipakai sebagai latar belakang, dan juga dasar legal hak atas
pangan.

     Menjajaki potensi – test case - penegakkan keadilan (access to justice) atau
Justiciability., sebagai langkah mendukung perjuangan rakyat memperoleh hak atas
pangan (support people struggle for their right to food).

     Justiciability adalah konsep kunci dalam HAM. Justiciability menurut Rolf
Kunnemann (2003) terbagi dalam tiga aras. Justiciability dari pelanggaran (of
violation), Justiciability dari kewajiban (of obligation), dan Justiciability dari hak (of
rights) (Justiciability-page3-4-from-Right-to-food-journal-no2.pdf. FIAN. December
2003a). Bagi kita dengan cara menghimpun beberapa contoh kasus yang terkait
dengan hak atas pangan, maka akan mempermudah pengenalan mengenai tiga aras
justisibialitas tersebut. Dengan memakai Justiciability, maka akan diupayakan
pergeseran cara pandang soal perlindungan terhadap Hak atas Pangan. Yaitu
perlindungan negatif dari hak atas pangan ke arah perlindungan positif dan eksplisit.
Sebagai catatan FIAN (2003b) menyatakan soal justisibialitas, ialah bahwa
perlindungan negatif serupa dengan perlindungan negatif dari hak asasi manusia
lainnya, dan sangat diperlukan bahwa negara menahan untuk campurtangan dengan
upaya-upaya yang dilakukan oleh individu untuk memberi makan diri mereka sendiri
– yaitu, menghargai hak ini. Akibatnya, kewajiban negatif tidak membutuhkan
pemanfaatan sumberdaya negara, juga mereka tidak membutuhkan analisis kompleks.


14                                              BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
Dengan mengajukan satu kasus yang dipandang terkait dengan hak atas pangan
(kombinasi Panduan Sukarela Hak atas Kecukupan Pangan dan UU No[1].11 Tahun
2005 Tentang Pengesahan ICESCR) ke pengadilan, dan karenanya akan adanya suatu
keputusan pengadilan atas kasus hak atas pangan, maka diharapkan muncul adanya
pergeseran cara pandang itu. Berikut adalah contohnya yang dikemukakan oleh Rolf
Künnemann and Sandra Epal¬Ratjen (2004).

     The end of the year 2001 was a milestone in the history of the right to food. For
     the first time, civil society actors in two countries brought cases directly related to
     the right to food before their national Supreme Courts. Both of the cases, the
     petition in India and the popular recourse action in Argentina mark significant
     progress toward justiciability, independent of the final outcome of the cases. They
     both show how a human rights framework and mechanisms can be used within
     the national legal system to halt violations of the right to food
     (Künnemann, Rolf; EpalRatjen, Sandra, 2004).

   Dengan strategi ini pula, maka dapat didekati dengan memanfatkan Panduan
Sukarela Hak atas Kecukupan Pangan. Panduan Sukarela ini hendaknya dipahami
sebagai instrumen penting dalam upaya memberikan masukkan kepada Negara untuk
menyusun standar hak atas pangan. Contohnya, Panduan 7 pada Hak atas Kecukupan
Pangan FAO merekomendasikan agar Negara memasukkan ketentuan dalam hukum
domestik mereka, mungkin pada tingkat konstitusional, yang memfasilitasi kemajuan
perwujudan hak atas kecukupan pangan – consensus building adalah imperatif.
Ketentuan ini harus memasukkan mekanisme hukum agar individu dan kelompok
rentan mendapatkan akses kepada pemulihan yang efektif bila hak atas kecukupan
pangan mereka dilanggar – atau dikatakan justiciability of directive principles.
Kemudian, negara harus menyebarkan informasi tentang hak dan pemulihan serta
mempertimbangkan penguatan hukum untuk memberi akses bagi kepala rumahtangga
perempuan kepada pengurangan kemiskinan dan program serta proyek keamanan
gizi.

  Suatu kerangka kerja hukum yang cukup membuat individu dan kelompok dapat
menuntut hak mereka atas kecukupan pangan dan untuk meminta pemulihan atas
pelanggaran hak hak mereka menurut administratif, kuasi-yudisial dan badan-badan
peradilan. Semua orang, tetapi khususnya yang paling rentan, harus mempunyai akses
kepada keadilan bila hak mereka atas kecukupan pangan tidak dihargai, dilindungi
atau dipenuhi (FAO, 2006). Karenanya konsultasi nasional dan regional diperlukan,
dengan melibatkan masyarakat madani, dan wakil komunitas rentan ketahanan
pangan, serta badan-badan internasional terkait.

   Merealisasikan potensi aliansi (human right to food networking), berdasarkan
lingkungan yang sudah kondusif di kalangan masyarakat madani dalam setahun-dua
dewasa ini. Ancangan aliansi ini sering didengungkan dengan kalimat: promoting a

BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                                   15
rights based approach and the VG within the NGO/CSO community, by concentrating
efforts to get the development community and the grass¬roots organisations use this
approach.

    Dengan mengupayakan suatu aliansi atau semacamnya akan lebih kuat gaungnya
dalam melakukan berbagi pengalaman berupa asupan tentang potensi kandungan
kekayaan informasi dasar bahwa hak atas pangan itu berdimensi yang justisiabel
(justiciability of right to food), bukan sekadar menyebarkan wacana, ataupun lobby.
     Lingkungan masyarakat madani, ialah, sebagai contoh, dengan munculnya koalisi
Ekosob – The Institute ECOSOC Rights http://ecosocrights.blogspot.com/ - yang
diakrabi oleh harian pagi di Jakarta. Ada pula Perhimpunan Bantuan Hukum
Indonesia, PBHI. Februari tahun silam, bersama dengan Komnas HAM, PBHI
menyelenggarakan pertemuan menjajaki hak atas pangan, dengan titik berat kepada
reforma agraria dan permasalahannya: sumber-sumber agraria (tanah, air, dan pangan),
sejumlah masalah lainnya, disertai dengan kampanye membangun opini, aksi massa,
legal work, dan sebagainya (www.pbhi.co.id).

   Secara umum dapat dilukiskan kondisi dewasa ini jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan tiga tahun silam, ketika BioTani Indonesia berupaya menggalang
koalisi terhadap beberapa ornop di Indonesia – yang hasilnya nyaris mandek,
mengingat bahwa Panduan Sukarela mengenai Hak atas Kecukupan Pangan masih
dalam taraf negosiasi di FAO Roma Italia.

    Kenyataannya, dewasa ini hak atas pangan, secara luas masih belum dikenali baik.
Kompas, sebagai contoh, sebagai sebuah harian yang cukup memadai mewartakan
HAM lebih dari satu dekade, ternyata, tidak memberikan perhatian khusus hak atas
pangan dalam jajak pendapat mengenai HAM. Dalam berita jajak pendapat bertajuk
Paradoks Perlindungan HAM di Indonesia (2 Januari 2007) hanya mencantumkan Hak
hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidup, sebagai hak pada
urutan pertamanya dari total 35 hak asasi manusia untuk dijajaki pendapatnya
khalayak.

    Potensi lainny adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat
kabupaten-kota. Dua kali pengalaman BioTani Indonesia melakukan sosialisasi
Panduan Sukarela mengenai Hak atas Kecukupan Pangan pada minggu II Januari di
Bau-Bau Pulau Buton 11 Januari 2006, dan di Serang provinsi Banten 12 Januari 2006
menunjukkan adanya komitmen anggota wakil rakyat itu untuk melanjutkan kegiatan
sosialisasi itu.




16                                          BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
2. Tingkatkan kerjasama internasional dalam upaya menyusun pantauan
    Komunikasi dan tukar gagasan teknis penyusunan pertanyaan untuk pantauan
terhadap pelaksanaan progresif hak atas kecukupan pangan, dan juga mendukung
upaya rekanan berkerja/ lobby di PBB, dalam kerangka kepedulian berikut:
     promoting a gender approach in the general MDG process and especially
     regarding hungerand poverty reduction, especially through pressure created by
     civil society activities and through advocacy, training and awareness raising with
     regard to gender specific right to food violations and the situation of rural women;


3. Konsolidasikan upaya pemantauan dan lobby untuk intervensi sebagai pendukung
upaya realisasi progresif (harmonisasi legislasi, dan memantau, dan intervensi)
terhadap kemungkinan adanya perubahan/amandeman UUD 1945, maupun legislasi

   3.1. Harmonisasi legislasi
       Dengan cakupan usul:
    The NGOs and CSOs backing the process are convinced that a rights-approach to
    hunger and malnutrition is essential for changing the conditions for many of the
    hungry. The development of adequate policies to reduce hunger and malnutrition
    and to guarantee access to these groups to productive resources would become a
    key concern over more technical issues of food production, increasing yields, etc.
    While these issues are also important and should not be downplayed, the right to
    adequate food constitutes a legal claim for the individual person faced by hunger
    and malnutrition. The right could be invoked at national courts or at international
    supervisory institutions. Therefore, with a rights-approach, the state would
    become liable to provide immediate and long-term measures – a scenario which
    is different from just hoping that an increased food production at the national
    level will reach the poor.

     The rights-approach helps to clearly define the role of the state and other actors
     involved in the implementation of policies aimed to reduce hunger and
     malnutrition.

    Dalam Lampiran disajikan contoh atau model text sebagai rujukan atau kerangka
panduan dan berisikan gagasan dan usulan bagi upaya harmonisasi legislasi yang
mengakomodasikan secara positif mengenai hak atas pangan. Hak atas pangan sangat
berhubungan dengan hak untuk hidup – hak sipil, sangat diakui dalam hukum
internasional dan regional dan melalui sejumlah konstitusi nasional di beberapa
negara. Namun masih dibutuhkan adanya penegakkan jaminan hak (Right guarantee),
yaitu jaminan mengenai hak atas pangan ialah dengan mengupayakan kepastian
adanya kewajiban positif dari Negara dalam satu aturan pada tataran perundangan.
Dalam konteks ini Negara mengemban tugas dan kewajiban (duty and obligation),
agar kewajiban yang formal dan kewajiban substantif (menghormati, melindungi, dan
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                                    17
memenuhi – sering disebut juga sebagai norma utama, primary norms standar
kemanusiaan), keduanya dapat diembankan kepada Negara (duty bearer) secara
eksplisit ke dalam satu undang-undang, atau Perppu - contohnya terlampir. Namun
RUU Kemiskinan, khususnya Pasal 10 patut pula diintervensi dengan perspektif
Panduan Sukarela tentang Hak atas Kecukupan Pangan FAO, seraya turut serta
mengawalnya, sehingga dapat segera dibahas di DPR.
  Beranjak dari semua uraian telaah di muka, maka BioTani Indonesia dengan tegas
menyatakan:

Seruan
1. Arusutamakan Hak atas Pangan lokal, dan realisasikan potensi aliansi,

2. Tingkatkan kerjasama internasional dalam upaya menyusun pantauan terhadap
pelaksanaan progresif hak atas kecukupan pangan,

3. Konsolidasikan upaya pemantauan dan lobby untuk intervensi sebagai pendukung
upaya realisasi progresif (harmonisasi legislasi, memantau, dan intervensi) terhadap
kemungkinan adanya perubahan/amandeman UUD 1945, maupun legislasi.

Jakarta, 6 Februari 2007

Biotani Indonesia
Jl. Persada Raya No. 1
Menteng Dalam
Jakarta 12870 Indonesia
Telp. +62-21-8296545
email: biotani@rad.net.id, biotani2004a@yahoo.com
http://www.biotani.org


Kontak
1. Riza V. Tjahjadi
2. M. Yusuf Shandy
3. Efendi Koto




18                                            BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
Rujukan


Abbas, Halid, dan Purna, Ibnu (2006) Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional
HAM di Indonesia 2004-2009. Kerjasama Direkrotat jendral Perlindungan HAM, Staf
Ahli Menteri Sekretaris Negara, Raoul Wallenberg Institue, dan Pusat Studi HAM &
Demokrasi Universitas Nasional. Cetakan Ketiga. Jakarta. September 2006.

Biotani Indonesia (2003) Usulan Kepada Komisi Konstitusi. Hak atas Pangan Ke
dalam UUD 1945. Surat. Jakarta, 19 Desember 2003.

Biotani Indonesia (2007) RIGHT to FOOD Guidelines. FAO’ Voluntary Guidelines to
Support the Progressive Realisation of the Right to Adequate Food in the Context of
National Food Security. Putting it into Practice. Materi Sosialisasi Panduan Sukarela
Hak aatas Kecukupan Pangan. Jakarta, 15 Januari 2007.

Brandstäter, Johannes. Circle of Rights summary on Right to Food. Briefing
Information to partners. Bread for the World. Rome Italy, 7 Juni 2002.

Künnemann, Rolf,.and Epal¬Ratjen, Sandra (2004) The Right to Food: A Resource
Manual for NGOs. AAAS Science and Human Rights Program; HURIDOCS.
Washington D.C.

Menteri Pertanian RI. (2006). Keynote Speech. Naskah pada Presentasi dan
Roundtable Dalam Upaya Sosialisasi Hasil Studi Ketahanan Pangan di Pulau-Pulau
Kecil tanggal 12 Desember 2006.

Monsalve Suárez, Sofia, and Ratjen, Sandra (2006) Reporting Guidelines to Monitor
the Implementation of ICARRD Final Declaration. DRAFT version, July 2006. FIAN
International

Nainggolan, Kaman. Program dan Prioritas Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan
pada Presentasi dan Roundtable Dalam Upaya Sosialisasi Hasil Studi Ketahanan
Pangan di Pulau-Pulau Kecil tanggal 12 Desember 2006. Kepala Badan Ketahanan
Pangan. Badan Ketahanan Pangan. Jakarta, 12 Desember 2006.

Oxfam GB (2006) Quantitative Analysis of Household Food Security. Lampiran.
Program Building Opportunity.

Ramdhan, Mochammad. I. Hak atas Pangan dalam Konstitusi, Makalah disajikan
dalam Seminar Nasional dan Lokakarya tentang Dapatkah Right to Food Masuk Dalam

BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                             19
Undang Undang Dasar (UUD)? Diselenggarakan oleh Biotani PAN Indonesia
bekerjasama dengan Oxfam-GB, Jakarta 13-14 Desember 2003.

Tjahjadi, Riza V. (2006) Panduan Sukarela untuk Mendukung Realisasi Progresif Hak
Asasi atas Kecukupan Pangan Dalam Konteks Ketahanan Pangan Nasional. FAO.
Terjemahan. Biotani Indonesia. Jakarta, Juni 2006

Undang-undang Republik Indonesia, No.7, Tahun 1996, Tentang Pangan.

Undang-Undang No.11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan ICESCR.




Online

Interim report of the special rapporteur of theFile Format: Microsoft Word - View as
HTML
An update on the “voluntary guidelines” on the right to adequate food ... As NGOs
noted, the draft text is “no masterpiece of political will”.10 ...
www.ohchr.org/english/bodies/chr/docs/ga59/newfood.doc

biotani@rad.net.id Sep 28, 2004       [communitygallery] FAO Right-to-Food masukkan
ke RAN H...

Departemen Kelautan dan Perikanan (2005) 30/05/05 - Info Aktual: Kemiskinan
Nelayan
Rumusan Rakernas DKP 2005 : Penanggulangan Kemiskinan. www.dkp.go.id

Departemen Sosial (nd) Rancangan Undang-Undang Kemiskinan. www.depsos.go.id

fian-windfuhr@comlink.org Sep 22, 2004 [Guidelines] Guidelines adopted

FIAN online (2006) The challenge ahead: towards implementation of the Right to Food
at the national level.
http://www.fian.org/live/index.php?option=com_content&task=view&id=245&Itemid=93

FOOD AID CONVENTION, 1999. lihat:
r0.unctad.org/commodities/agreements/foodaidconvention.pdf, juga
www.fao.org/Legal/rtf/fac99-e.htm
ec.europa.eu/europeaid/projects/foodsec/pdf/documents-london-convention-
1999_en.pdf

Status legal Food Aid Convention
20                                                BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
www.globalpolicy.org/socecon/hunger/relief/2006/06globalfoodaid.pdf
www.oxfam.org/en/files/bp71_food_aid_240305.pdf

LostWorst, Right2AdequateFood on PGR by FAO From: biotani@rad.net.id Date:
Mon, August 16, 2004 15:14 To: biotani2004a@yahoo.com Priority: High

[reformasitotal] Right-to-Adequate-Food_Indonesia-10YEARS-after ...... toward FAO’s
Voluntary Guideline on the Right to Adequate Food (VG) By BioTani ... see also:
LostWorst, Right2AdequateFood on PGR by FAO, a statement of ...
www.mail-archive.com/reformasitotal@yahoogroups.com/msg01294.html - 42k - Cached - Similar
pages

reformasitotal Right-to-Adequate-Food_Indonesia-10YEARS-after-WFS_RomeItaly A
statement by ... FAO’s Voluntary Guideline on the Right to Adequate Food (VG) By
BioTani ...
osdir.com/ml/reformasitotal@yahoogroups.com/msg01294.html - 41k - Cached - Similar pages

Rights and Democracy | What We DoNo Masterpiece of Political Will. NGO Caucus
(IGWG 3): Final Evaluation Report ... Moreover the guidelines recognize that the right
to adequate food must be ...
www.dd-rd.ca/site/what_we_do/index.php?lang=en&subsection=projects&id=1599 - 25k

Sunggul Sinaga Nov 17, 2003 Re: RI absen di FAO IGWGII, Ingin tahu alasan.
Jawaban atas pertanyaan BioTani Indonesia melalui e-mail.




BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                                       21
L a m p i ra n 1


1. Contoh partial dari sebuah draft UU dengan penegakkan hak atas pangan yang
jelas:


                     THE RIGHT TO FOOD AND FOOD SECURITY

3.    (1) Every person has the right to food and nutrition security including a
           standard of living adequate for the health of himself and his family
           including clothing housing and medical care.

      (2) The Government shall promote and protect the peoples right to food and
          nutrition security.

      (3) The Government shall put in place mechanisms, budgetary allocations,
           safety net programmes, credit programmes and schemes, wage policies and
          legislation, land tenure policies and legislation to ensure the accelerated full
          realization of the right to food and nutrition security for all without adverse
          discrimination.

      (4) The Government shall progressively eliminate hunger by improving
          wages and incomes of people in order that by 2015 there shall be no
          person earning less than $1 a day.

     (5) All people in Indonesia shall be entitled to the protection of their economic
         interest health and safety in the consumption of food and food products and to
         fair and non discriminatory treatment by a supplier or trader of food or food
         products.

     (6) The government shall take steps, legislative, economic, technical or otherwise
         to the maximum of its available resources with a view to achieving
         progressively the full realization of peoples rights enshrined in the
         international covenants related to the right to food and nutrition security to
         which Indonesia is a party.

     (7) The Government shall as part of achieving the progressive realization of the
         right to food and nutrition security promote broad based economic
         development that is conducive to the promotion and sustainability of food and


22                                               BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
nutrition security at national and house hold level and mainstream food and
            nutrition security in all its development programmes.

     (8) Government shall in partnership with communities civil society and partners
         take measures to maintain adapt and strengthen dietary diversity and healthy
         eating habits and food preparation as well as feeding patterns including breast
         feeding while ensuring that changes in availability and access to food supply
         do not negatively affect dietary composition and intake.

     (9) Government shall put in place mechanisms, legislation and other practices that
         promote and ensure expanded access to agricultural inputs of improved variety
         with patent-free option seeds, organic fertilisers, botanical pesticides and other
         non-chemicals that are environmentally friendly and socially just.

     (10) Vulnerable groups shall be given special consideration through safety net
          programmes by improving the targeting mechanisms and input subsidies to
          ensure expanded access to means of food production for such groups.

     (11) Government shall progressively increase annual budgetary allocation for the
          programmes in (10) as part of social protection for vulnerable groups.

     (12) Government shall endeavour to regulate activities that restrict fair and free
          competition concerning the prices of food, food products or inputs to food
          production.



Progressive Realisation of Right
5. (1) No person, entity or political party shall use food aid for political purposes.
      (2)    No person shall with hold food aid from any vulnerable person for any
             reason based on political opinion, tribe, region, marital status, disability, or
             other status, nor shall food aid be used to induce change of political
             affiliation.

      (3)    In the registration for food aid or distribution or evaluation of food aid the
             human rights of the beneficiaries shall be maintained and respected.

      (4)    Any person who demands a bribe or other favour (sexual, financial or
             otherwise) from a beneficiary of food aid shall be guilty of an offence under
             this part.

      (5)    Contravention of the provisions of this section shall be an offence.
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                                      23
Establishment of the Authority
14.    There is hereby established an Authority known as The Indonesia Food and
       Nutrition Security Authority (in this Act otherwise referred to as the “Authority”)
       which shall be a body corporate by that name with perpetual succession and a
       Common Seal and capable of suing and being sued in its corporate name and
       capable of acquiring and disposing of any moveable or immoveable property
       and performing such acts and things as bodies corporate may by law do or
       perform and have power to perform such functions and exercise such powers as
       are conferred by this Act.

Constitution of the Authority,
Constitution of the Authority
Appointment of members of the Authority
Chairperson of the Authority
Tenure of Office of members
Removal from Office and vacancy
Minister to Gazette Policy
Remuneration of Members
Meetings of the Authority
Duties and Responsibilities of Members, etc.
is open for discussion


Commission, an independent institution
          FUNCTIONS AND RESPONSIBILITIES OF THE AUTHORITY

35.     All authorities (including all organs of the Government) bodies and
       persons shall recognise the status of the Authority as a national
       institution independent of the authority or direction of any other body or
       person in matters related to the right to food and nutrition security.

Competence and powers
36.    The Authority shall be competent in every respect to protect and promote
       the right to food and nutrition security in Malawi in the broadest sense possible
       and to investigate violations of such right on its own motion or upon
       complaints received from any person, class of person or body.


Duties and function
37. (1) The duties and functions of the Authority shall be-
          (a) to act as a resource for the right to food and nutrition security for the
              Government and the people of Indonesia;

24                                              BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
(b) to assist in educating the public on, and promoting awareness on food
                  security, safety, nutrition, safety nets and respect for, the right to food
                  and nutrition security ;
              (c) to promote more particularly the right to food and nutrition security of
                  vulnerable groups, such as children, lactating mothers, illiterate persons,
                  persons with disabilities, the poor, the widowed, the orphans and the
                  elderly;
              (d) to consider, deliberate upon, and make recommendations regarding any
                  issues, on its own volition or as may be referred to it by the
                  Government, stake holders or vulnerable groups, regarding food and
                  nutrition security;
              (e) to study the status and effect of legislation, judicial decisions and
                  administrative provisions and policies for the protection and promotion
                  of the right to food and nutrition security and to prepare reports on such
                  matters and submit the reports, with such recommendations or
                  observations as the Authority considers appropriate, to the authorities
                  concerned or to any other appropriate authorities.
              (f) to perform any other function which the Government, in particular the
                  President or Parliament, may assign to the Authority in connection with
                  the duties of Indonesia under those international agreements in the field
                  of the right to food and nutrition security to which Indonesia is a party,
                  without derogation from the fact that the Government shall remain
                  primarily responsible for performing such functions.

         (2) The Authority shall keep the President and Parliament fully informed on
             matters concerning the general conduct of the affairs of the Authority.

Hearing
                         HEARINGS, INVESTIGATIONS AND REMEDIES

40.    (1) The Authority may hear and consider complaints and petitions within
         its competence brought before it by individuals or groups of individuals.

         (2) Complaints may be brought before the Authority on behalf of individuals or
         groups of individuals by the individuals themselves, legal practitioners, their
         representatives, third parties, non-governmental organisations, professional
         associations or any other representative organisations having an appropriate
         interest in the matter.


Procedures of hearing
41. The Authority shall have power to determine its own procedure for the
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                                    25
conduct of hearing of matters brought before it but may otherwise be guided by
      such procedures as may be prescribed by regulations made under this Act.


Conduct of investigation
42. (1) for the purposes of conducting investigations necessary for the
         exercise of its powers and performance of its duties and functions, the
         Authority shall have powers -

          (a) through a member of the Authority or any member of its staff designated
              in writing by a member of the Authority or by the Authority either
              generally or specially to require from any person such particulars and
              information as may be reasonably necessary in connection with any
              investigation;
          (b) to require any person by notice in writing under the hand of a member
              of the Authority to appear before it at a time and place specified in such
              notice and to produce to it all articles or documents in the possession or
              custody or under the control of any such person and which may be
              necessary in connection with that investigation:

                Provided that-

                (i) such notice shall contain the reasons why the presence of such
                     person is required and why any such article or document should be
                     produced;
                (ii) When appearing and being examined before the
                Authority, such person may be assisted by a
                legal practitioner and shall be entitled to peruse
                or examine the articles and documents to refresh his memory;

          (c)      through a member of the Authority, to administer an oath to, or take
                   an affirmation from, any person referred to in paragraph (b), or any
                   person present at the place referred to in paragraph (b), irrespective
                   of whether or not such person has been required under that
                   paragraph to appear before it, and question him under such oath or
                   affirmation in connection with any matter which may be necessary in
                   connection with that investigation.

      (2) A notice under subsection (1) shall not be effectively served unless it is
      delivered by-

      (a) a member of the Authority;
      (b) a member of the staff of the Authority;
26                                              BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
(c) a police officer or any other person, authorised in that behalf by the
             Authority in relation to an investigation .

         3. Any person questioned under subsection (1) shall -

         (a) be competent and compelled to answer all questions put to him regarding
             any fact or matter connected with the investigation;
         (b) be competent and compellable to produce to the Authority any article or
             document in his possession or custody or under his control which may be
             necessary in connection with that investigation.

         4. The law regarding privilege as applicable to a witness summoned to give
         evidence in a criminal case in a court of law shall apply in relation to their
         questioning of a person under subsection (1).

         5. If it appears to the Authority during the course of an investigation that any
         person is being implicated in the matter being investigated, the Authority shall
         afford such person an opportunity to be heard in connection therewith by way
         of the giving of evidence or the making of submissions and such person or his
         legal representative shall be entitled, through the Authority, to question other
         witnesses, determined by the Authority pursuant to this section.

         6. The Authority may direct that any person or category of persons or all
         persons the presence of whom, in the opinion of the Authority, is not desirable,
         shall not be present at the proceedings or any part thereof during, or in the
         course of, an investigation.

         7. The Authority may in its sole discretion conduct open or closed hearings
         during its investigation of any matter.


Remedies
Is open for discussion


                         DECENTRALISATION AND COLLABORATION

Local Authorities Role

46.   Local Authorities shall have the responsibility to plan measures paralleling those
of the Government as well as plan and execute measures concerning the promotion
and protection of the right to food and nutrition security according to the social,
economic and cultural conditions of the area under their jurisdiction.
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                                    27
Regulations made by Local Authorities

47. Local Authorities may subject to the approval of the Authority promulgate
regulations dealing with the protection and promotion of the right to food and
nutrition security in the areas under their jurisdiction.




28                                            BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
Lampiran 2

                 Keterangan latar belakang Kertas Posisi

Riza V. Tjahjadi (2004)
(message circulation by e-mail 16 Agustus 2004)

       The report contains text proposals by Members of the IGWG for each element of
       the Voluntary Guidelines, during the Third Session of IGWG 5-9 July 2004.
       Voluntary Guidelines as reflection Right-based approaches to Food Security doesn't
       bring stronger Farmers' Rights, in contrast, expanding the intellectual property
       rights (IPR) regime into FAO… 7.3bis States should, within the framework of
       relevant international agreements, including those on the intellectual property,
       promote access medium and small-scale farmers to research results enhancing food
       security.

----

What is the meaning, what are the implications of consolidated the last two texts
mentioned above?

I have some reasons as argument why we lost and keep text of Voluntary Guidelines
on Right to Adequate Food worst for farmers and local communities. First, Plant
Genetic Resources (PGR) in the text clearly stands to IPR regime within World Trade
organisation (WTO). We understood: No other stronger the international instrument
than TRIPs, including UPOV’ system for plant breeder rights. PGR under TRIPs will be
more awful, when we aware to meaning of “specific national policies legal
instruments” in the context of recent trend Free Trade Agreement (FTA). It can be
brought under TRIPs Plus; that is stronger (control) monopoly regime over PGR.

Second, "sharing benefit arising from the use of these resources", can be interpreted as
specific in the context of food and agriculture. Meaning, we should refer to the
International Treaty on PGR for food and agriculture, and therefore, I may say:
Nonsense to bring real share of benefit to farmers in the "Center of origin" (including
farmers in the “Centre of crop diversity”). This because, MTA or material transfer
agreement in the treaty yet begin to be negotiated. Meanwhile, if we refer into broader
scope, that is the Convention on Biological Diversity (CBD), I, then, recognise access
to benefit sharing or ABS is still not clear.



BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                                29
For me, PGR as well as seeds is the most valuable issue advocate by the most NGOs
and farmers' groups in the South. Once again the South, esp. in the Southeast Asia
region for more than TWO DECADES... although in the last couple years the strongest
voice in the WTO articulated by the African countries (the African Group) when
dealing TRIPs, esp. Article 27.3.b. (Tjahjadi, 16 Agustus 2004).

---


E/CN.4/Sub.2/1999/12
28 June 1999

COMMISSION ON HUMAN RIGHTS
Sub-Commission on Prevention of
Discrimination and Protection
of Minorities
Fifty-first session
Item 4 of the provisional agenda

      THE REALIZATION OF ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

                The right to adequate food and to be free from hunger

          Updated study on the right to food, submitted by Mr. Asbjørn Eide
              in accordance with Sub-Commission decision 1998/106

               IV. CLARIFYING THE RIGHT TO FOOD AND NUTRITION
                  AND THE CORRESPONDING STATE OBLIGATIONS


44. The right to food forms part of the broader right to an adequate standard of living.
(10) The right to an adequate standard of living - or to livelihood - sums up the main
concern underlying all economic and social rights, which is to integrate everyone into
a humane society. The ultimate purpose of promoting the right to adequate food is to
achieve nutritional well-being for the individual child, woman and man. Human
nutritional status is determined by at least three major clusters of conditions which
interact in a dynamic fashion, relating to food, health and care, and with education as
a cross-cutting dimension. Food alone is not sufficient to ensure good nutrition for the
individual. The right to adequate food is a necessary, but not alone sufficient
component of the right to adequate nutrition. The full realization of the latter depends
also on parallel achievements in the fields of health, care for the vulnerable, and
education. Later instruments, especially the Convention on the Rights of the Child,


30                                             BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
recognize this broader right to nutrition as well as its cross-cutting nature relative to
many other rights, including civil and political rights.

45. Article 11 of the ICESCR focuses on the food dimensions of the broader concept.
The call by the World Food Summit for a better definition of the right to food as
contained in article 11 has now in broad outline been met through the process
described in chapter III and culminated with the adoption by the Committee on
Economic, Social and Cultural Rights of General Comment No. 12. This is a most
significant step in the process towards clarification of the content of the right to food
and the steps that should be taken for its realization. Given its origin as the official
interpretation by the treaty body responsible for monitoring States parties'
implementation of the right to adequate food, this general comment will in the time
ahead stand as the most authoritative document formulated to date regarding the right
to food.

---

      Sejarah hak azasi atas pangan
         KTT Pangan Dunia tahun 1996 meminta UNHCR untuk mendefinisikan
      kandungan hukum dari hak azasi atas pangan. Konsekuensi lain dari KTT ini
      adalah untuk membuat “draf tata laksana pada hak asasi atas pangan yang cukup”
      (FIAN dan lainnya). Pasal 4 menyatakan bahwa definisi (2002) dari hak azasi atas
      pangan:
         Definisi: Hak asasi atas pangan berarti bahwa setiap laki-laki, perempuan
         dan anak-anak sendiri dan dalam masyarakat dengan yang lainnya harus
         memiliki akses fisik dan ekonomi setiap saat kepada pangan yang cukup
         dengan menggunakan dasar sumberdaya yang layak untuk pelaksanaannya
         dengan cara yang sesuai dengan martabat manusia. Hak azasi atas pangan
         merupakan bagian yang jelas dari hak azasi atas standar kehidupan yang
         layak.


      Core content dan Standar Minimal dari definisi tersebut
      General Comment 12 mengatakan dalam §8 core content berisi
      • Ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi
        kebutuhan makan harian dari individu, bebas dari bahan yang berbahaya, dan
        dapat diterima dalam budaya yang bersangkutan
      • Ketersediaan dari pangan tersebut dalam hal ini berkelanjutan dan tidak akan
        menyalahi penikmatan hak azasi manusia lainnya.
      Dalam konteks ini Brandstäter (2002) menyatakan akses adalah fundamental. Ini
      harus cukup dalam hal kualitas dan jumlah. Suatu ketika pernah didefinisikan
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                                      31
dengan istilah pemasukan (intake) nutrisi, kalori dan protein. Konsekuensi dari
     kekurangan pangan, kelaparan dan kekurangan gizi, dapat didiagnosa dengan
     pertimbangan medis.
       Terdapat minimum standard yang universal dalam semua keadaan: Pasal 11(2)
     ICESCR sebagai hak yang fundamental right untuk bebas dari kelaparan.
        Dalam perspektif ini, maka bisa saja memandang kebutuhan makan harian
     minimal seperti halnya kebutuhan pendapatan minimal guna mencegah kelaparan
     dan kekurangan gizi serta kekurangan dari kebutuhan dasar lainnya bagi
     kelompok yang kekurangan. Ini sering disebut dengan absolute poverty line atau
     basic needs line, di mana kebutuhan pendapatan untuk standar kehidupan yang
     layak menurut Pasal 1191) disebut relative poverty line. Tidak adanya kemiskinan
     absolut dapat dilihat sebagai minimum standard menurut hak azasi kepada standar
     kehidupan yang layak. Dalam istilah pendapatan garis kemiskinan relatif biasanya
     didefinisikan sebagai persentase dari rata-rata penghasilan per kapita dalam suatu
     negara. Kebanyakan ilmuwan sosial setuju bahwa semua yang di bawah 40% dari
     penghasilan per kapita biasanya dilihat sebagai kekurangan relatif. Oleh sebab itu
     tanda 40% disebut dengan “relative poverty line” atau “adequacy line”.
     Interdependensi dari hak azasi
     •   Hak atas pangan adalah bagian dari hak atas standar kehidupan yang layak.
     •   Hak ini dapat dilihat untuk dilaksanakan melalui alih kesejahteraan sosial,
         melalui hak untuk memperoleh kehidupan atau melalui hak atas keamanan
         sosial, di dalam suatu kondisi dimana orang orang tidak mendapatkan
         kehidupan mereka (yang layak).
     •   Hak untuk bekerja: bagi banyak kelompok rentan, hak atas pangan berarti hal
         yang utama dari semua hak keluarga atau masyarakat untuk memberi makan
         mereka sendiri. Ini berarti bahwa akses kepada sumberdaya produktif dan
         pekerjaan. Kebanyakan orang menyadari hak mereka atas pangan dengan
         menyadari hak mereka akan pekerjaan.
     •   Hak untuk kesehatan: hubungannya jelas untuk pertanyaan kekurangan gizi,
         yang merupakan penyebab terbesar dari besarnya jumlah kematian yang
         berhubungan dengan kesehatan di belahan bumi Selatan. Dan lagi, pengaruh
         teknik produksi pertanian yang dikembangkan oleh agrobisnis telah
         mengancam kesehatan semua orang.
     •   Hak asasi perempuan atas pangan: dalam undang undang, kondisi ekonomi
         dan sosial perempuan telah dirugikan. Hak azasi perempuan terdapat dalam
         banyak situasi yang ditimbulkan pada hak azasi mereka atas pangan.
     •   Hak asasi budaya dan minoritas yang berhubungan dengan pangan telah
         dihargai, dilindungi dan dipenuhi. Dalam banyak kasus ini mengharuskan

32                                              BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
masyarakat untuk memberi makan sendiri. Hal ini jelas untuk masyarakat adat.
             Masyarakat ini menilai pangan sebagai bagian dari budaya mereka.
      •      Di dalam banyak kondisi (masyarakat adat) perlu melihat kepada hak azasi atas
             pangan, dan dalam hak azasi tertentu hak untuk memberi makan diri sendiri,
             adalah hak masyarakat.
      •      Kebanyakan pengamat setuju bahwa reformasi pertanian merupakan kondisi
             yang penting untuk melaksanakan hak azasi atas pangan itu sendiri.

---


Memberlakukan Hak-hak ESC Melalui Sistem Hukum Domestik


Justiciability berarti:
   Kasus dapat diajukan ke pengadilan. Paling tidak itu adalah kewajiban negara untuk
menjamin perlindungan hukum dari hak-hak ESC yang dilindungi secara internasional.
Lihat General Comment 9: “… maksud pelaksanaan yang dipilih harus cukup untuk
menjamin pemenuhan dari kewajiban Convenant. Kebutuhan untuk menjamin
justiciability akan relevan bila menjelaskan cara terbaik untuk memberi pengaruh
hukum domestik kepada hak-hak Covenant.” (para7)
Disarankan strategi berikut:
      i.        Menggunakan pengadilan untuk menjamin pelaksanaan hak ESC secara
                langsung. Identifikasi kelalaian pemerintah.
      ii.       Pastikan justiciability dengan meminta informasi publik tentang status
                perwujudan hak-hak ESC (see General Comment 1).
      iii.      Dapatkan kewajiban pemerintah untuk hak hak ESC dari hak-hak asasi sipil
                dan politik, contohnya, yang berhubungan dengan hak azasi untuk hidup.
      iv.       Bentuk kewajiban untuk hak-hak azasi ESC berdasarkan pada prinsip non-
                diskriminasi, lihat tidak hanya Pasal 2.2 ICESCR, tetapi juga Pasal 26 ICCPR.
      v.        Bentuk kewajiban untuk hak azasi ESC berdasarkan pada hak asasi yang
                tidak dapat dipisahkan
      vi.       Gunakan konsep jaminan non-regresi dalam menikmati hak asasi ESC –
                dengan kata lain, pelarangan pada adopsi kebijakan, tindakan dan undang-
                undang yang memperburuk situasi hak azasi ESC yang telah dinikmati oleh
                penduduk ... satu dari kewajiban yang jelas adalah pemberlakuan keadilan.
      vii.      Hak untuk perlindungan keadilan dan jaminan dari proses untuk
                melindungi hak asasi ESC (p 427). Hak untuk perlindungan keadilan adalah
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                                    33
satu dari hak-hak yang penting yang dijamin dalam hak asasi manusia yang
              dapat memberikan keuntungan efektif untuk justiciability dari hak-hak ESC.
              Terdapat 3 komponen penting dari jaminan oleh proses dalam perangkat
              Eropa, Amerika dan Afrika:
              a. Tinjauan keadilan yang memadai dari keputusan administratif
              b. Waktu yang beralasan
              c. Kesetaraan tentara (jaminan prosedur yang setara)
      viii.   Menterjemahkan konstitusi negara dan jaminan hukum menggunakan
              norma internasional
      ix.     Menggunakan hak yang lebih tinggi dari pengadilan di negara lain
---


PANDUAN 15: BANTUAN PANGAN INTERNASIONAL

15.1 Negara-negara donor harus menjamin bahwa kebijakan bantuan pangan mereka
membantu upaya upaya nasional oleh Negara penerima untuk mencapai keamanan
pangan dan berdasarkan ketentuan bantuan pangan mereka yang mendasarkan pada
penjajakan kebutuhan yang mentargetkan khususnya ketidaktahanan pangan dan
kelompok-kelompok rentan. Dalam konteks ini, negara donor harus memberikan
bantuan dengan memperhitungkan keamanan pangan, yang penting tidak merusak
produksi pangan lokal dan kebutuhan nutrisi dan makanan harian serta budaya
masyarakat negara penerima. Bantuan pangan harus diberikan dengan strategi keluar
(clear exit strategy) yang jelas dan menghindari terbentuknya ketergantungan. Donor
harus mempromosikan peningkatan penggunaan pasar-pasar komersial domestik dan
regional untuk memenuhi kebutuhan pangan di negara negara yang cenderung
kelaparan dan menurunkan ketergantungan pada bantuan pangan.

15.2 Transaksi bantuan pangan internasional, seperti bantuan pangan bilateral yang
dimonetisasi, harus dilaksanakan sesuai dengan FAO Principles of Surplus Disposal
and Consultative Obligation, Food Aid Convention dan WTO Agreement on
Agriculture, dan harus memenuhi standar-standar keamanan pangan yang telah
disetujui secara internasional, menurut keadaan lokal, tradisi dan budaya makan.

15.3 Negara dan pelaku bukan pemerintah yang relevan, sesuai dengan hukum
internasional, aman dan tidak dirintangi aksesnya kepada penduduk yang
membutuhkan, seperti untuk penjajakan kebutuhan internasional dan agensi agensi
kemanusiaan yang terlibat dalam distribusi bantuan pangan internasional.

15.4 Ketentuan bantuan pangan internasional dalam keadaan darurat harus khusus
memperhitungkan tujuan-tujuan rehabilitasi dan pembangunan jangka panjang di
34                                          BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
negara penerima dan harus menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan yang diakui
secara internasional.


15.5 Penjajakan kebutuhan dan perencanaan, pemantauan dan evaluasi ketentuan
bantuan pangan harus, sebisa mungkin, dibuat dengan cara partisipatif, dan bila
mungkin, dalam kolaborasi yang dekat dengan pemerintah penerima pada tingkat
nasional dan lokal.



     10 Februari 2006 18:09:49
     Laporan Advokasi Hak Atas Pangan PBHI: RAKYAT BUTUH PANGAN BUKAN
     PENGGUSURAN

     1. Mengapa Hak Atas Pangan

     Banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau, sesungguhnya
     menunjukan masih kacaunya pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Pun
     demikian dengan persoalan air bersih terutama di kota besar seperti Jakarta.
     Dengan maksud membenahi manajemen di perusahaan daerah air minum, PAM
     JAYA diprivatisasi, tapi apa yang menjadi hasil, kualitas air masih buruk dan
     harganya kian mahal. Maka pengelolaan sumber daya air berpengaruh kepada hak
     atas pangan masyarakat. Namun ditengah situasi tersebut Mahkamah Konstitusi
     (MK) justru menolak permohonan judicial review dari organisasi-organisasi
     masyarakat sipil (Civil Soceity Organizations – CSOs) atas Undang-Undang
     Nomor 7 Tahun 2004, sebuah undang-undang yang dinilai melanggar UUD 1945
     dan Undang-Undang Nomor 39 Tentang Hak Asasi Manusia serta lebih
     mengedepankan kepentingan modal internasional terutama World Bank (Bank
     Dunia) dan Asian Development Bank (Bank Pembangunan Asia) dan membatasi
     hak akses masyarakat kepada air. Meski demikian Komnas HAM (Komisi Nasional
     Hak Asasi Manusia ternyata tidak menunjukan sikap yang tegas dalam
     perlindungan hak asasi manusia sebagai amanatnya sebagaimana yang tercantum
     dalam Undang-Undang Nomor 39 Tentang HAM.

     Dalam situasi tersebut di atas, juga muncul wabah gizi buruk dan busung lapar di
     beberapa tempat di Indonesia. Pemerintahan SBY-JK menjawab permasalahan
     tersebut dengan revitalisasi pertanian. Akan tetapi tanpa reforma agraria, maka
     revitalisasi pertanian dikhawatirkan hanya akan menciptakan “Revolusi Hijau Jilid
     Kedua. Kekhawatiran akan hancurnya pertanian dengan ketiadaan reforma agraria,
     seakan menjadi kenyataan ketika pemerintahan SBY-JK, sebagai tindaklanjut dari
     Konfenrensi Infrastruktur 2005 (Infrastruktur Summit 2005) mengeluarkan


BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                             35
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
     Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

     Dan kembali organisasi-organisasi masyrakat sipil melakukan aksi penolakan salah
     satunya dengan legal reform dengan mengajukan judicial review Perpres 36
     Tahun 2005 ke Mahkamah Agung (MA) dengan pengalaman kekalahan judicial
     review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang pengelolaan Sumber Daya
     Air dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
     Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomer 1 Tahun 2004 tentang Perubahan
     Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-
     Undang di MK.

     PBHI, dalam rangka pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya
     hak masyarakat kepada sumber-sumber agraria (tanah, air, dan pangan), selain
     melakukan aksi penggalangan opini (opinion building) lewat kampanye publik
     serta aksi massa juga melakukan legal work bersama dalam koalisi, juga membuat
     terobosan atau inisiatif dengan mengadakan audiensi ke Komnas HAM menuntut
     agar Komnas HAM bersikap kepada KTT Infrastruktur 2005. Komnas HAM
     memang telah mengeluarkan rekomendasinya atas Perpres 36/2005, namun sikap
     terhadap hasil-hasil KTT Infrastruktur 2005 tetap signifikan dan mendasar,
     dikarenakan ada secarama modus operandi yang sama antara hasil-hasil KTT
     Infrastruktur 2005 dengan progam developmentalism dan Marshal Plan, yaitu
     internasionalisasi modal tanpa batas.

     Dalam konteks mekanisme HAM nasional dan internasional, Special Rapporteur
     on Rights to Food yang dibentuk Komisi HAM PBB, telah menawarkan kerangka
     acuan bagi perlindungan hak atas pangan dan mengeluarkan rekomendasi bahwa
     tanpa reforma agraria, maka kelaparan dan kemiskinan tidak bisa diatasi.

     Komnas HAM yang kala itu diwakili oleh bapak Saffroedin Bahar, kurang lebih
     mengatakan bahwa Komnas HAM dalam tema agraria masih berkonsentrasi
     dengan penyelesaian konflik agraria di masa lalu dengan mendorong terbentuknya
     KNUPKA (Komisi Nasional untuk Poenyelesaian Konflik Agraria) dan invetarisasi
     hukum adat. Sedang PBHI sendiri memilih jalan dalam rangka pemajuan dan
     pembelaan hak asasi manusia akan melakukan pendampingan hukum kepada
     masyarakat dalam rangka menyelesaikan konflik agraria dan mendorong tema
     reforma agraria dalam rangka pemajuan HAM dari membanguan wacana atau
     discourse (social justice initiative) hingga ke legal reform serta akan mengikuti
     mekanisme advokasi hak atas pangan yang ditawarkan Pelapor Khusus Hak Atas
     Pangan.

     Sebagai tindaklanjut dari itu, PBHI kembali mendatangi Komnas HAM untuk
     memberikan tawaran tematik tentang perlunya Komnas HAM melakukan

36                                            BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
assessment hak atas pangan dengan realita busung lapar, gizi buruk, flu burung
     dan anthrax sebagai pintu masuk. Bapak Ansyari Thayib dari Komnas HAM yang
     kala itu menerima delegasi PBHI, kemudian menawarkan kerjasama
     penyelengggaran Focus Group Discussion (FGD) tentang hak atas pangan.

     Bapak H Amidhan selaku ketua subkomisi Ekosob Komnas HAM, kemudian
     meminta PBHI agar membikin rincian yang lebih detil mengingat Komnas HAM
     pernah menyelenggaran seminar hak atas Pangan.

     Dari studi PBHI atas dokumen-dokumen seminar hak atas pangan Komnas HAM,
     PBHI menyimpulkan ada beberapa hal yang semestinya segera ditindaklanjuti.

     2. Mendisain Pemenuhan dan Perlindungan Hak Atas Pangan

     Untuk mendukung basis pengetahuan PBHI sebagai bekal FGD, maka PBHI
     menyusun working paper (kertas kerja) berfungsi sebagai bagian dari pemantauan,
     analisis, dan sebagai bahan kampanye. Yang mana paper tersebut mencakup peta
     rawan pangan, evaluasi kebijakan publik negara dan studi instrumen-instrumen
     HAM yang mengatur perlindungan hak atas pangan.

     FGD Hak Atas Pangan diselenggarakan tanggal 24 November 2005, dihadiri oleh
     multi stake holder yang terkait dengan hak atas pangan, mulai dari instansi negara,
     human rights defender, ormas tani, gerakan mahasiswa, kelompok perempuan,
     ormas keagamaan, dan lain-lain.

     Daftar Peserta Focus Group Discussion TentangPenganturan dan Realitas
     Pemenuhan Hak Atas Pangan Kerjasama: Komnas HAM dan PBHI, 24 November
     2005

     No Institusi

         PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia
         Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
         FSPI (Federasi Serikat Petani Indonesia)
         FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia)
         Departemen Perikanan dan Kelautan
         Komisi Nasional Perempuan
         YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)
         Departemen Sosial
         ISAC (Institute of Studi and Advocacy)
         Migrant Care
         INFID (Internasional NGO for Indonesia Development)
         BKP-Deptan (Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian)

BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                               37
Bina Swadaya
       Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia)
       Departemen Perindustrian
       Dirjen pertanian dan Pangan (Bappenas) Badan Perencanaan Pembangunan
       Nasional
       Biro Hukum Departemen Perdagangan
       UPC (Urban Poor Consortium)
       Komisi IV DPR RI
       Yayasan Sosial Bina Desa
       Agra (Aliansi Gerakan Reforma Agraria)
       PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)
       KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria)
        FMN (Front Mahasiswa Nasional)

     Beberapa Hal yang Mengemuka dalam FGD hak atas pengan tersebut adalah
     sebagi berikut:

     A. Guidelines atau Code of Conduct Pemenuan Hak Atas Pangan

     Prinsip umum dari hak atas pangan, adalah, pertama, pemenuhan hak atas pangan
     rakyat adalah tanggungjawab negara. Kedua, ketahanan pangan hanya bisa
     dicapai jika ada kecukupan lahan bagi produksi pangan, distribusi yang baik
     produksi pangan, dan ketersedian pangan pangan yang dkonsumsi.

     Sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, khususnya hak ekonomi, sosial dan
     budaya, sudah cukup banyak instrumen dan mekanisme hak asasi manusia
     internasional dan nasional yang bisa dijadikan guidelines. Diluar instrumen utama
     hak asasi manusia internasional, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
     (Universal Declaration of Human Rights), dan Konvenan Internasional Hak
     Ekonomi, Sosial, Budaya (International Covenant on Economic, Social and
     Cultural Rights), ada World Food Summit, CEDAW (Convention on the
     Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/Konvensi tentang
     Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), Konvensi Hak
     Anak (Convention on the Rights of the Child), UN Millenium Developments Goals
     (MDGs) dan lain.

     Di Indonesia instrumen dan mekanisme HAM juga bisa dibilang lebih dari
     mencukupi. Beberapa diantaranya adalah UUD 1945 BAB XA Hak Asasi Manusia
     Pasal 28 A- 28 J, Tap MPR Nomer 17 Tahun 1998 tentang HAM, Tap MPR Nomer
     7 Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, Undang-
     Undang Nomer 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomer 26 Tahun
     2000 tentang Peradilan HAM, dan Undang-Undang Nomer 27 Tahun 2005


38                                            BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pemerintah Indonesia juga telah
     meratifikasi beberapa konvenan internasional HAM.

     Namun di luar instrumen HAM, banyak juga instrumen yang justru mengganggu
     hak atas pangan, misalnya kesepakatan-kesepakatan di WTO (World Trade
     Organization/Organisasi Perdagangan Dunia), termasuk juga perjanjian bilateral
     dengan negara dengan IMF (International Monetary Fund/Lembaga Keuangan
     Internasional), World Bank (Bank Dunia), ADB (Asian Development Bank/ Bank
     Pembangunan Dunia), hal ini terkait dengan kebijakan negara tentang privatisasi,
     pencabutan subsidi, dan liberalisasi perdagangan dan permodalan yang disponsori
     lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut.

     Negara (pemerintah RI) memang telah membikin instrumen (badan dan produk
     hukum) dalam rangka pemenuhan hak atas pangan, yaitu Badan Ketahanan
     Pangan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

     Namun dalam kenyataan negara gagal memenuhi hak atas pangan dan bahkan
     mengeluarkan kebijakan ekonomi yang memiskinkan rakyat yang berdampak
     pada situasi rawan pangan

     Untuk itu, dalam konteks legal, diperlukan Judicial review Undang-Undang
     Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan produk hukum yang kontraproduktif
     dengan pemenuhan hak atas pangan. Salah satu kendala adalah pertanyaan
     bagaimana produk hukum yang kontraproduktif dengan ketahanan pangan akan
     tetapi Mahkamah Konstitus (MK) menolak judicial review, contohnya adalah
     Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air,


     C. Social Policy

     Pemenuhan hak atas pangan memerlukan langkah yang komprehensif dan lintas
     sektoral, yang mana hal tersebut tercermin dari kebijakan publik negara, yang hal
     tersebut meliputi:

     Pelaksanaan Reforma agraria dalam rangka melindungi hak akses masyarakat
     terhadap sumber-sumber agraria: kecukupan lahan, irigasi, air minum, dan
     kebijakan pertanian
     Perubahan sistem ekonomi dan perlindungan ekonomi rakyat
     Kebijakan perburuhan yang melindungi sektor informal, buruh migran, dan buruh
     industri
     Pemberdayaan dan perlindungan sektor usaha mikro (informal dan pertanian)
     Perlindungan hak akses masyarakat terhadap lapangan kerja


BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                              39
Jaminan sosial masyarakat dan Jatah Hidup (Jadup) bagi pengungsi bencana alam
      maupun wilayah konflik
      Tanggung jawab negara untuk memberikan pemahaman tentang gizi yang benar
      terhadap dan perlindungan bahan pangan dari virus (flu burung dan anthrax dan
      bahan kimia yang berbahaya termasuk kualitas air minum

      D. Pemerintahan

      Agar kebijakan publik negara dapat berjalan diperlukan anggaran dan solusi
      pembiayaan yang tercermin di APBN. Hal ini tentu sangat terkait dengan politik
      anggaran, kebijakan fiskal dan bagimana negara memanajemen hutang dan
      pembayaran hutang luar negeri.

      Secara teknis pula dibutuhkan penyelerasan strategis atau sinkronisasi kebijakan
      dan koordinasi antar departemen dan pemerintah pusat dengan pemerintah
      daerah, hal ini tentu terkait dengan pengelolaan otonomi daerah.

      E. Rencana Aksi

      Diperlukan segera tindakan sesuai dengan mandat organisasinya masing-masing
      ataupu secara bersama yang itu berupa:

      Kampanye mendorong reforma agraria sebagai kata kunci penyelesaian situasi
      rawan pangan dan pemnuhan hak atas pangan
      Menjadikan World Food Sumit sebagai momentum
      Aksi menuntut pertanggungjawaban negara hak atas pangan yang melibatkan
      massa rakyat (pendidikan dan pengorganisiran)
      Legal work (judicial riview Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
      Pangan, gugatan class action atas kegagalan negara memenuhi hak atas pangan
      masyarakat, legal drafting sebagai bagian dari legal reform produk hukum terkait
      dengan pemenuhan hak atas pangan, dan penggunaan mekanisme HAM nasional
      dan internasional dalam rangka pembelaan dan perlindungan hak atas pangan
      Perlunya segara Komnas HAM melakukan assesment atau audit pelaksanan hak
      atas pangan yang dilakukan negara.

      Gunawan, PBHI 2005
      http://www.pbhi.or.id/content.php?id=54&id_tit=6
---




40                                              BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
United Nations High Commissioner for Human Rights
The right to food
Commission on Human Rights resolution 2000/10
(…)
2. Also reaffirms the right of everyone to have access to safe and nutritious food,
consistent with the right to adequate food and the fundamental right of everyone to be
free from hunger so as to be able fully to develop and maintain their physical and
mental capacities;
(…)
8. (…) Committee on Economic, Social and Cultural Rights in promoting the right to
adequate food, in particular its General Comment No. 12 (1999) on the right to
adequate food (art. 11 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights), in which the Committee affirmed, inter alia, that the right to adequate food is
indivisibly linked to the inherent dignity of the human person and is indispensable for
the fulfilment of other human rights enshrined in the International Bill of Human
Rights and is also inseparable from social justice, requiring the adoption of appropriate
economic, environmental and social policies, at both the national and international
levels, oriented to the eradication of poverty and the fulfilment of all human rights for
all;

52nd meeting
17 April 2000
[Adopted by a roll-call vote of 49 votes to 1, with 2 abstentions. ]

What is the right to food?
Since its inception, the United Nations has identified access to adequate food as both
an individual right and a collective responsibility. The 1948 Universal Declaration of
Human Rights proclaimed that "everyone has the right to a standard of living adequate
for the health and well-being of himself and his family, including food…". Nearly 20
years later, the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966)
developed these concepts more fully, stressing "the right of everyone to … adequate
food" and specifying "the fundamental right of everyone to be free from hunger".

So, what is the distinction between the right to be free from hunger and the right to
adequate food? The right to freedom from hunger is fundamental. This means that the
state has an obligation to ensure, at the very least, that people do not starve. As such,
this right is intrinsically linked to the right to life. In addition, however, states should
also do everything possible to promote full enjoyment of the right to adequate food for
everyone within their territory -- in other words, people should have physical and
economic access at all times to food that is adequate in quantity and quality for a
healthy and active life. For food to be considered adequate, it must also be culturally
acceptable and it must be produced in a manner that is environmentally and socially
sustainable. Finally, its provision should not interfere with the enjoyment of other
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007                                   41
Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft
Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft
Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft
Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft
Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft
Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft
Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft
Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft

Más contenido relacionado

La actualidad más candente

Intervensi konsumsi pangan dan gizi
Intervensi konsumsi pangan dan giziIntervensi konsumsi pangan dan gizi
Intervensi konsumsi pangan dan giziHusHa Hatimah
 
Kearifan masyarakat agraris dalam ketahanan pangan di pedesaan lereng lawu ka...
Kearifan masyarakat agraris dalam ketahanan pangan di pedesaan lereng lawu ka...Kearifan masyarakat agraris dalam ketahanan pangan di pedesaan lereng lawu ka...
Kearifan masyarakat agraris dalam ketahanan pangan di pedesaan lereng lawu ka...Sebelas Maret University
 
Peran WFP terhadap ketahanan pangan di Indonesia
Peran WFP terhadap ketahanan pangan di IndonesiaPeran WFP terhadap ketahanan pangan di Indonesia
Peran WFP terhadap ketahanan pangan di IndonesiaPhIee PoeRba
 
Memahami konsep neraca bahan makanan
Memahami konsep neraca bahan makananMemahami konsep neraca bahan makanan
Memahami konsep neraca bahan makananriri_hermana
 
Kebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan Nasional
Kebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan NasionalKebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan Nasional
Kebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan NasionalFaharuddin Fahar
 
Hubungan status gizi dengan ketersediaan pangan
Hubungan status gizi dengan ketersediaan panganHubungan status gizi dengan ketersediaan pangan
Hubungan status gizi dengan ketersediaan panganArsad Rahim Ali
 
Keamanan dan Ketahanan Pangan
Keamanan dan Ketahanan PanganKeamanan dan Ketahanan Pangan
Keamanan dan Ketahanan PanganLilik Sholeha
 
Memahami konsep sistem ketahanan pangan
Memahami konsep sistem ketahanan panganMemahami konsep sistem ketahanan pangan
Memahami konsep sistem ketahanan panganriri_hermana
 
Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Oleh Kelompok Nelayan di Desa Palang K...
Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Oleh Kelompok Nelayan di Desa Palang K...Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Oleh Kelompok Nelayan di Desa Palang K...
Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Oleh Kelompok Nelayan di Desa Palang K...MOH AFIFI A. JAMI'
 
[SMAN 1 JEMBER-XI IPS 1] Ketahanan pangan
[SMAN 1 JEMBER-XI IPS 1] Ketahanan pangan[SMAN 1 JEMBER-XI IPS 1] Ketahanan pangan
[SMAN 1 JEMBER-XI IPS 1] Ketahanan panganMeileni Nurhayati
 
MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA (2015-2025)
MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA (2015-2025)MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA (2015-2025)
MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA (2015-2025)Belajar Bareng Aquaponik
 
Makalah pemberdayaan masyarakat pesisir miskin
Makalah pemberdayaan masyarakat pesisir miskinMakalah pemberdayaan masyarakat pesisir miskin
Makalah pemberdayaan masyarakat pesisir miskinOperator Warnet Vast Raha
 

La actualidad más candente (16)

Intervensi konsumsi pangan dan gizi
Intervensi konsumsi pangan dan giziIntervensi konsumsi pangan dan gizi
Intervensi konsumsi pangan dan gizi
 
Kearifan masyarakat agraris dalam ketahanan pangan di pedesaan lereng lawu ka...
Kearifan masyarakat agraris dalam ketahanan pangan di pedesaan lereng lawu ka...Kearifan masyarakat agraris dalam ketahanan pangan di pedesaan lereng lawu ka...
Kearifan masyarakat agraris dalam ketahanan pangan di pedesaan lereng lawu ka...
 
Peran WFP terhadap ketahanan pangan di Indonesia
Peran WFP terhadap ketahanan pangan di IndonesiaPeran WFP terhadap ketahanan pangan di Indonesia
Peran WFP terhadap ketahanan pangan di Indonesia
 
Memahami konsep neraca bahan makanan
Memahami konsep neraca bahan makananMemahami konsep neraca bahan makanan
Memahami konsep neraca bahan makanan
 
Kebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan Nasional
Kebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan NasionalKebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan Nasional
Kebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan Nasional
 
Hubungan status gizi dengan ketersediaan pangan
Hubungan status gizi dengan ketersediaan panganHubungan status gizi dengan ketersediaan pangan
Hubungan status gizi dengan ketersediaan pangan
 
Bitranet edisi 46
Bitranet edisi 46Bitranet edisi 46
Bitranet edisi 46
 
Bitranet edisi 46
Bitranet edisi 46Bitranet edisi 46
Bitranet edisi 46
 
Keamanan dan Ketahanan Pangan
Keamanan dan Ketahanan PanganKeamanan dan Ketahanan Pangan
Keamanan dan Ketahanan Pangan
 
Memahami konsep sistem ketahanan pangan
Memahami konsep sistem ketahanan panganMemahami konsep sistem ketahanan pangan
Memahami konsep sistem ketahanan pangan
 
Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Oleh Kelompok Nelayan di Desa Palang K...
Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Oleh Kelompok Nelayan di Desa Palang K...Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Oleh Kelompok Nelayan di Desa Palang K...
Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Oleh Kelompok Nelayan di Desa Palang K...
 
Bitranet edisi 44
Bitranet edisi 44Bitranet edisi 44
Bitranet edisi 44
 
[SMAN 1 JEMBER-XI IPS 1] Ketahanan pangan
[SMAN 1 JEMBER-XI IPS 1] Ketahanan pangan[SMAN 1 JEMBER-XI IPS 1] Ketahanan pangan
[SMAN 1 JEMBER-XI IPS 1] Ketahanan pangan
 
MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA (2015-2025)
MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA (2015-2025)MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA (2015-2025)
MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA (2015-2025)
 
ketahanan pangan
ketahanan panganketahanan pangan
ketahanan pangan
 
Makalah pemberdayaan masyarakat pesisir miskin
Makalah pemberdayaan masyarakat pesisir miskinMakalah pemberdayaan masyarakat pesisir miskin
Makalah pemberdayaan masyarakat pesisir miskin
 

Similar a Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft

DANNY RAHDIANSYAH - FOOD SECURITY - FORUM MAGAZINE
DANNY RAHDIANSYAH - FOOD SECURITY - FORUM MAGAZINEDANNY RAHDIANSYAH - FOOD SECURITY - FORUM MAGAZINE
DANNY RAHDIANSYAH - FOOD SECURITY - FORUM MAGAZINEDanny Rahdiansyah
 
Kedaulatan Pangan dan Swasta dalam mendukung Ketahanan Pangan
Kedaulatan Pangan dan Swasta dalam mendukung Ketahanan PanganKedaulatan Pangan dan Swasta dalam mendukung Ketahanan Pangan
Kedaulatan Pangan dan Swasta dalam mendukung Ketahanan PanganSyahyuti Si-Buyuang
 
Peranan penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan
Peranan penyuluhan pertanian dan ketahanan panganPeranan penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan
Peranan penyuluhan pertanian dan ketahanan panganHerry Mulyadie
 
Kedaulatan Pangan adalah Basis untuk Mencapai Ketahanan Pangan
Kedaulatan Pangan adalah Basis untuk Mencapai Ketahanan PanganKedaulatan Pangan adalah Basis untuk Mencapai Ketahanan Pangan
Kedaulatan Pangan adalah Basis untuk Mencapai Ketahanan PanganSyahyuti Si-Buyuang
 
MAKALAH SANITASI MAKANAN
MAKALAH SANITASI MAKANANMAKALAH SANITASI MAKANAN
MAKALAH SANITASI MAKANANApapunituzar
 
Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Menuju Pengembangan Wilayah Berbasis Komo...
Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Menuju Pengembangan Wilayah Berbasis Komo...Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Menuju Pengembangan Wilayah Berbasis Komo...
Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Menuju Pengembangan Wilayah Berbasis Komo...Bidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN
 
Isu terkini keamanan_pangan
Isu terkini keamanan_panganIsu terkini keamanan_pangan
Isu terkini keamanan_panganSutisna Saza
 
Kompendium ketahanan-pangan
Kompendium ketahanan-panganKompendium ketahanan-pangan
Kompendium ketahanan-panganade_pitra
 
Konsumsi pangan dan gizi
Konsumsi pangan dan gizi Konsumsi pangan dan gizi
Konsumsi pangan dan gizi septy nora
 
3 MATERI PEPPGBM PERTEMUAN 9 TGL 6-4-2022 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PANG...
3 MATERI PEPPGBM  PERTEMUAN 9 TGL 6-4-2022 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PANG...3 MATERI PEPPGBM  PERTEMUAN 9 TGL 6-4-2022 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PANG...
3 MATERI PEPPGBM PERTEMUAN 9 TGL 6-4-2022 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PANG...InkaEndaFebiolaBrKar
 
3_7085_GIZ362_092019_pdf.pdf
3_7085_GIZ362_092019_pdf.pdf3_7085_GIZ362_092019_pdf.pdf
3_7085_GIZ362_092019_pdf.pdfambibidullah
 
majalah
majalahmajalah
majalahrin26
 
Ayumie valencia(ppt 3).pptx
Ayumie valencia(ppt 3).pptxAyumie valencia(ppt 3).pptx
Ayumie valencia(ppt 3).pptxayumievalencia
 

Similar a Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft (20)

DANNY RAHDIANSYAH - FOOD SECURITY - FORUM MAGAZINE
DANNY RAHDIANSYAH - FOOD SECURITY - FORUM MAGAZINEDANNY RAHDIANSYAH - FOOD SECURITY - FORUM MAGAZINE
DANNY RAHDIANSYAH - FOOD SECURITY - FORUM MAGAZINE
 
Kedaulatan Pangan dan Swasta dalam mendukung Ketahanan Pangan
Kedaulatan Pangan dan Swasta dalam mendukung Ketahanan PanganKedaulatan Pangan dan Swasta dalam mendukung Ketahanan Pangan
Kedaulatan Pangan dan Swasta dalam mendukung Ketahanan Pangan
 
PANG4413-M1.pdf
PANG4413-M1.pdfPANG4413-M1.pdf
PANG4413-M1.pdf
 
Coffee morning syahyuti 5
Coffee morning syahyuti 5Coffee morning syahyuti 5
Coffee morning syahyuti 5
 
Peranan penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan
Peranan penyuluhan pertanian dan ketahanan panganPeranan penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan
Peranan penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan
 
Kedaulatan Pangan adalah Basis untuk Mencapai Ketahanan Pangan
Kedaulatan Pangan adalah Basis untuk Mencapai Ketahanan PanganKedaulatan Pangan adalah Basis untuk Mencapai Ketahanan Pangan
Kedaulatan Pangan adalah Basis untuk Mencapai Ketahanan Pangan
 
MAKALAH SANITASI MAKANAN
MAKALAH SANITASI MAKANANMAKALAH SANITASI MAKANAN
MAKALAH SANITASI MAKANAN
 
Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Menuju Pengembangan Wilayah Berbasis Komo...
Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Menuju Pengembangan Wilayah Berbasis Komo...Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Menuju Pengembangan Wilayah Berbasis Komo...
Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Menuju Pengembangan Wilayah Berbasis Komo...
 
Isu terkini keamanan_pangan
Isu terkini keamanan_panganIsu terkini keamanan_pangan
Isu terkini keamanan_pangan
 
Kompendium ketahanan-pangan
Kompendium ketahanan-panganKompendium ketahanan-pangan
Kompendium ketahanan-pangan
 
Bulog
BulogBulog
Bulog
 
Konsumsi pangan dan gizi
Konsumsi pangan dan gizi Konsumsi pangan dan gizi
Konsumsi pangan dan gizi
 
3 MATERI PEPPGBM PERTEMUAN 9 TGL 6-4-2022 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PANG...
3 MATERI PEPPGBM  PERTEMUAN 9 TGL 6-4-2022 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PANG...3 MATERI PEPPGBM  PERTEMUAN 9 TGL 6-4-2022 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PANG...
3 MATERI PEPPGBM PERTEMUAN 9 TGL 6-4-2022 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PANG...
 
Makalah pmm margono
Makalah pmm margonoMakalah pmm margono
Makalah pmm margono
 
3_7085_GIZ362_092019_pdf.pdf
3_7085_GIZ362_092019_pdf.pdf3_7085_GIZ362_092019_pdf.pdf
3_7085_GIZ362_092019_pdf.pdf
 
Gizi PGS dan Anemia
Gizi PGS dan AnemiaGizi PGS dan Anemia
Gizi PGS dan Anemia
 
Vedro
VedroVedro
Vedro
 
Indeks kedaulatan pangan (yuti)
Indeks kedaulatan pangan (yuti)Indeks kedaulatan pangan (yuti)
Indeks kedaulatan pangan (yuti)
 
majalah
majalahmajalah
majalah
 
Ayumie valencia(ppt 3).pptx
Ayumie valencia(ppt 3).pptxAyumie valencia(ppt 3).pptx
Ayumie valencia(ppt 3).pptx
 

Más de Biotani & Bahari Indonesia

april23 Plastik n Sampah Pantauan april 2023.pdf
april23 Plastik n Sampah Pantauan april 2023.pdfapril23 Plastik n Sampah Pantauan april 2023.pdf
april23 Plastik n Sampah Pantauan april 2023.pdfBiotani & Bahari Indonesia
 
Plastik n Sampah Pantauan Okt 2022 - Copy (2).pdf
Plastik n Sampah Pantauan Okt 2022 - Copy (2).pdfPlastik n Sampah Pantauan Okt 2022 - Copy (2).pdf
Plastik n Sampah Pantauan Okt 2022 - Copy (2).pdfBiotani & Bahari Indonesia
 

Más de Biotani & Bahari Indonesia (20)

Plastik n Sampah Pantauan Maret 2024.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Maret 2024.pdfPlastik n Sampah Pantauan Maret 2024.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Maret 2024.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Februari 2024.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Februari 2024.pdfPlastik n Sampah Pantauan Februari 2024.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Februari 2024.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Januari 2024.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Januari 2024.pdfPlastik n Sampah Pantauan Januari 2024.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Januari 2024.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Desember 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Desember 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Desember 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Desember 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan November 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan November 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan November 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan November 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Oktober 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Oktober 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Oktober 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Oktober 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan September 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan September 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan September 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan September 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Agustus 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Agustus 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Agustus 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Agustus 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Juli 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Juli 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Juli 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Juli 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Juni 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Juni 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Juni 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Juni 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Juni 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Juni 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Juni 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Juni 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Mei 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Mei 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Mei 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Mei 2023.pdf
 
april23 Plastik n Sampah Pantauan april 2023.pdf
april23 Plastik n Sampah Pantauan april 2023.pdfapril23 Plastik n Sampah Pantauan april 2023.pdf
april23 Plastik n Sampah Pantauan april 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Maret 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Maret 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Maret 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Maret 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Feb 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Feb 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Feb 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Feb 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Jan 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Jan 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Jan 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Jan 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Des 2022.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Des  2022.pdfPlastik n Sampah Pantauan Des  2022.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Des 2022.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Nov2022.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Nov2022.pdfPlastik n Sampah Pantauan Nov2022.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Nov2022.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Okt 2022 - Copy (2).pdf
Plastik n Sampah Pantauan Okt 2022 - Copy (2).pdfPlastik n Sampah Pantauan Okt 2022 - Copy (2).pdf
Plastik n Sampah Pantauan Okt 2022 - Copy (2).pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Sept 2022 (1).pdf
Plastik n Sampah Pantauan Sept  2022 (1).pdfPlastik n Sampah Pantauan Sept  2022 (1).pdf
Plastik n Sampah Pantauan Sept 2022 (1).pdf
 

Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft

  • 1. PAN Indonesia Bio tani Final Draft Kertas Posisi Mempromosikan Hak atas Pangan Sebagai upaya Kecil Untuk Penegasan Realisasi Progresif Ketahanan Pangan Dalam konteks Nasional (Position paper: Ensure Rirght to Food for All Now! Make Food a Fundamental Right! and position for Moving Towards realisation Right to Food) BioTani Indonesia Seruan 1. Arusutamakan Hak atas Pangan lokal, dan realisasikan potensi aliansi, 2. Tingkatkan kerjasama internasional dalam upaya menyusun pantauan terhadap pelaksanaan progresif hak atas kecukupan pangan, 3. Konsolidasikan upaya pemantauan dan lobby untuk intervensi sebagai pendukung upaya realisasi progresif (harmonisasi legislasi, memantau, dan intervensi) terhadap kemungkinan adanya perubahan/amandeman UUD 1945, maupun legislasi. I. Ancangan Posisi Hak atas kecukupan Pangan telah berhasil disusun oleh FAO pada bulan November 2004 dan diadopsi 187 anggota FAO dalam wujud satu panduan sukarela. Panduan sukarela ini dimaksudkan sebagai pendukung bagi Negara anggota FAO guna merealisasikan secara progresif hak atas kecukupan pangan dalam konteks ketahanan pangan nasionalnya. Meskipun jauh dari sempurna dari apa yang diidealkan oleh masyarakat madani, baik isi (soal sumberdaya genetik: Tjahjadi, 2004), maupun juga isi keseluruhannya dan format statusnya (dari elaborasi Draft Code of Conduct to Voluntary Guideline: Fian 2004; Special Rapporteur, 2004), namun panduan sukarela BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 1
  • 2. ini dalam pandangan masyarakat madani dewasa ini merupakan instrumen terbaru yang paling komprehensif, dan menurut Sofia Monsalve Suárez and Sandra Ratjen ( 2006) yang disepakati negara-negara di dunia dalam mendefinisikan hak atas pangan dan kewajiban-kewajiban terkait oleh negara. Panduan ini maksudnya merupakan penjabaran hak atas pangan dalam Pasal 11 (the right to adequate food and the fundamental right to be free from hunger) dalam Kovenan Ekosob yang membutuhkan penafsiran lebih lanjut untuk melaksanakan hak atas pangan, khususnya dalam rangka memberikan definisi isi dari hak dan kewajiban Negara. Panduan Sukarela inilah jawabannya – yang beranjak dari General Comment Nomor 12 tahun 1999, Pasal 15: kewajiban untuk menghargai, melindungi, dan memenuhi (fasilitasi, promosi, dan membantu) dari para pakar Kovenan Ekosob, dan termasuk juga menjabarkan substansi dari apa yang disebut oleh Asbjørn Eide (1999) Clarifying the Right to Food and Nutrition and the Corresponding State Obligations kepada Komisi HAM PBB. Dewasa ini Panduan Sukarela ini pun dipandang masyarakat madani (FIAN) sebagai langkah penting untuk menetapkan standar bagi hak atas pangan, dan panduan praktis bagi Negara untuk memakai HAM untuk mencapai ketahanan pangan. Dalam waktu kurang dari dua tahun FAO berhasil mengadopsi Panduan Sukarela hak atas kecukupan pangan ke dalam sistem PBB yang lebih luas, atas dukungan komunitas HAM, guna memerangi kelaparan dan malnutrisi (www.fao.org/docrep/meeting/009/y9825e/y9 825e00.htm, June 2005). Apakah yang dimaksud dengan mencapai ketahanan pangan dengan memakai HAM? Panduan Sukarela tidak berisi atau menciptakan ikatan baru mengenai kewajiban- kewajiban hukum; nilainya terletak dalam kemampuannya untuk membantu menterjemahkan hak menjadi rekomendasi untuk suatu tindakan yang konkrit, dan dalam kegunaannya sebagai rujukan yang penting untuk orientasi kebijakan dan program nasional (Mischler et all, FAO 2006). Namun, manfaat terbesar dari Panduan Sukarela ini adalah bahwa panduan ini memberikan prioritas untuk memampukan orang untuk memberi makan dirinya sendiri, dan mengulang kembali kewajiban untuk memberikan pangan bagi mereka yang secara temporer/ sementara waktu, atau permanen tidak dapat memanfaatkan sumberdaya, seperti lahan atau kredit sebagai upaya memberi pangan bagi dirinya sendiri. Cara dari dua tujuan tersebut dapat dicapai dengan kemestian berkorespondensi pada prinsip-prinsip yang dikandung dalam HAM. Yaitu penguatan (empowerment), partisipasi, dan transparansi, serta tidak pandang bulu (non-discrimination) – dalam proses politik pada semua aras – mengenai desain, perencanaan, pelaksanaan atau pemantauan. Salah satu contoh, Penguatan dalam kerangka HAM adalah memampukan individu untuk mengecek akuntabiltas Negara sebagai pemegang tanggungjawab dan kewajiban (duty holders) terhadap kemiskinan, dan karenanya, kelaparan yang membelenggunya. 2 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 3. Terkait dengan upaya-upaya implementasi Hak atas Kecukupan Pangan tidaklah cukup dengan tangan kosong, ataupun menyiarkan hasil-hasil observasi BioTani Indonesia selama berlangsungnya negosiasi penyusunan Hak atas Kecukupan Pangan di FAO Roma Italia, maka BioTani Indonesia menjajaki dengan satu studi tentang ketahanan pangan pada komunitas di 9 pulau kecil di 6 provinsi di Indonesia. Rinciannya P. Bukuh Batam di Kep. Riau, P. Tunda di Serang Banten, P. Tidung di Kep. Seribu DKI Jaya, P. Sapudi di Madura Jatim, P. Balang Lompo, dan P. Karanrang di Pangkep Sulsel, P. Talaga, P. Makassar, dan P. Kabaena di Sekitar P. Buton Sultra. pemilihan pulau-pulau kecil dilakukan berdasarkan persyaratan kedekatannya dengan kota besar yang umumnya merupakan ibukota provinsi Hasil studi Biotani Indonesia Mengetahui, dan menganalisis pemahaman komunitas yang tinggal di pulau kecil atas konsep ketahanan (hak atas) pangan Menjelaskan variabel-variabel yang mempunyai pengaruh terhadap ketahanan pangan penduduk di pulau kecil. Sebagai catatan studi ini lingkupnya terbatas, berfokus hanya kepada pangan – tidak termasuk air dan sumberdayanya - dengan metode survei lapang, bukan memakai kuesioner yang mendalam (Oxfam GB, 2006). Kesimpulan studi Komunitas responden yang tinggal di pulau-pulau yang diteliti sebagian terbesar adalah kelompok usia produktif, dengan tingkat pendidikan rendah dan mayoritas, memang bermata pencaharian sebagai nelayan. Mereka yang berusia lebih muda, cenderung memiliki jumlah anggota keluarga kecil (dua orang anak), sementara yang berusia lebih tua cenderung mempunyai anggota keluarga menengah (hingga delapan orang dalam satu keluarga). Hasil perolehan tangkapan rata-rata nelayan dalam sekali melaut adalah sebesar 11.5 kilogram setara ikan – jenis ikan tidak disebut responden. Bagian terbesar nelayan menggunakan perahu bermesin dan jaring serta mata pancing dalam proses produksinya. Kenaikan harga BBM tentunya mempunyai dampak serius terhadap proses produksi tersebut. Dilihat dari frekwensi kebiasaan makan, bagian terbesar responden( 98 persen) mengaku terbiasa makan paling tidak dua kali dalam sehari dengan menu utamanya nasi disertai lauk. Separuh lebih (55 persen) menyatakan pernah mengalami makan kurang dari biasanya. Hampir separuh (46 persen) dari responden yang menyatakan pernah mengalami kurang pangan tersebut, hal ini dialami 2-3 kali dalam sebulan. Sekitar 20 persen darinya mengakui pernah tidak makan sama sekali dalam sehari. Kekurangan pangan ini diakui juga menimpa anak-anak mereka. Dari mereka yang pernah mengalami masalah kurang pangan tersebut, penyebab utamanya adalah kekurangan yang berkaitan dengan uang dan akses BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 3
  • 4. serta sumber dana yang tersedia. Umumnya komunitas (nelayan) yang mengalami masalah kekurangan uang ini menghubungi sanak keluarga dan pedagang/pemilik toko untuk mendapatkan bantuan Rendahnya daya-beli dan kesulitan dalam mengakses sumber dana dan pasar sebagai penyebab kondisi rawan pangan, diperburuk lagi dengan fakta bahwa lebih dari 60 persen pengeluaran mereka digunakan untuk pangan. Pada sisi lain hasil produksi sendiri komunitas pulau kecil hanya menduduki peringkat ketiga setelah “sumber lainnya”. Bagian terbesar responden mengaku tidak mengetahui tentang adanya regulasi yang mengatur tentang pangan baik nasional maupun daerah dan lokal. Mereka cenderung lebih peduli dengan regulasi yang berkaitan langsung dengan profesi mereka sebagai nelayan. Lebih dari separuh responden menyatakan mereka tidak mengetahui upaya- upaya pelestarian lingkungan di sekitar mereka, terutama tentang hutan bakau. Namun menurut mereka hutan bakau sangat sesuai di Indonesia Hasil uji empirik memperlihatkan daya-tahan terhadap masalah pangan keluarga berkaitan erat dengan tingkat pendidikan ibu dan pendapatan keluarga, meskipun pengaruh tersebut relatif kecil untuk variabel yang terakhir. Hasil produksi keluarga nelayan ternyata tidak mendukung hipotesis akan pengaruhnya terhadap ketahanan pangan. Rekomendasi studi Rekomendasi A P c Akuntabilitas dan Partisipasi a c  Duty bearer r o t u Human Rights i n Fulfils are: Claims c t Universal responsibility right i a towards Inalienable Indivisible from p b a i t l Right holder i i o t n y 4 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 5. 1. Ketergantungan pada pasar cukup tinggi meskipun ketersediaan komoditas pangan – volume dan keteraturan pasokan dari pulau besar – di pasar pulau kecil belum memadai identifikasinya dalam studi ini. Dalam pengamatan selama studi terlihat PDS, public distrubution system berkecenderungan kuat adalah prakarsa dan swakelola oleh anggota komunitas. Negara – sebagai Duty bearer – amat lemah accountability-nya dalam melaksanakan kewajibannya terhadap right holder, yaitu komunitas maupun individu di pulau kecil – terbilang tinggi partisipasinya dalam pemenuhan “kecukupan” pangannya. Sementara itu, pada sisi lain hasil produksi sendiri komunitas pulau kecil hanya menduduki peringkat ketiga setelah “sumber lainnya”. 2. Ketergantungan pada pasar cukup tinggi meskipun ketersediaan komoditas pangan – volume dan keteraturan pasokan dari pulau besar – di pasar pulau kecil belum memadai identifikasinya dalam studi ini. Dalam pengamatan selama studi terlihat PDS, public distrubution system berkecenderungan kuat adalah prakarsa dan swakelola oleh anggota komunitas. Negara – sebagai Duty bearer – amat lemah accountability-nya dalam melaksanakan kewajibannya terhadap right holder, yaitu komunitas maupun individu di pulau kecil – terbilang tinggi partisipasinya dalam pemenuhan “kecukupan” pangannya. Sementara itu, pada sisi lain hasil produksi sendiri komunitas pulau kecil hanya menduduki peringkat ketiga setelah “sumber lainnya”. 3. Pendekatan solusi dari sisi komunitas pulau kecil kepada negara, dengan skema lunak pula, berupa pertanyaan: Is There a Right Not to be Hunger or Poor? Dengan dasar pertanyaan ini, maka musti dimulai (positive freedom approaches; Sen 1987) melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Musrenbang sebagai awal Proses penyusunan APBD - dari tingkat desa, kabupaten hingga provinsi - dapat ditingkatkan fungsi instrumentalnya untuk lebih mempedulikan komunitas pulau kecil, termasuk aspek-aspek ketahanan pangan “berbasiskan hak atas pangan” ditumbuhkembangkan ke dalam penyusunan anggaran belanja secara partisipatif (right-based approach). Dengan demikian kewajiban negara untuk memastikan adanya kecukupan pangan, pada gilirannya, dapat dipantau oleh publik secara luas, maupun digugat oleh komunitas yang bersangkutan. Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, dapat disusun satu catatan penting kepada pemerintah RI, sebagai berikut. - Pemerintah mesti merancang dan mengadopsi peraturan yang mengutamakan hak asasi manusia dalam mendesain kebijakan terkait dengan ketahanan pangan dan gizi, - Pemerintah musti melaksanakan mekanisme yang efektif dan menetapkan prosedur pengaduan (effective monitoring mechanisms and complaints procedures) pada semua aras, tetapi khususnya pada tingkat kebupaten dan tingkat desa, BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 5
  • 6. - Pemerintah dan para donor musti mengadopsi dan mendukung program berjangka panjang yang tujuannya secara khusus bagi pelaksanaan kebijakan swasembada pangan. II. Persoalan yang dihadapi Konstitusi Republik Indonesia Tidak dicantumkannya secara eksplisit jaminan terpenuhinya hak atas pangan dalam perumusan Pasal 28 H ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945, bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” Hak atas pangan dicantumkan secara implisit, tetapi berkaitan dengan beberapa hak dasar manusia lainnya. Sebagai perbandingan Hak atas pangan dalam Konstitusi Afrika Selatan memperoleh pengakuan secara tegas mengacu kepada hak memiliki akses kepada kecukupan pangan. The right of everyone to have access to sufficient food (section 27(1)(b)) The right of children to basic nutrition (section 28(1)(c)) The right of prisoners and detainees to adequate nutrition (section 35(2)(e)). Mochamad Isnaeni Ramdhan (2004) menyatakan (...) dalam Perubahan Undang- Undang Dasar 1945 telah diatur jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia dan Warganegara secara lebih rinci daripada sebelumnya. Namun demikian, konstitusi merupakan hukum dasar sehingga pengaturan terhadap substansi konstitusi memang diformulasikan secara abstrak, umum sedangkan penyelenggaraan lebih lanjut diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut ia menyarankan 1. jika hak atas pangan perlu diatur dalam konstitusi maka beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain mengajukan nalaran akademik perlunya hak atas pangan diatur dalam pasal tersendiri dalam konstitusi. Nalaran akademik tersebut perlu dipresentasikan rapat yang diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat; 2. jika dikaitkan dengan praktek penyelenggaraan jaminan hak atas pangan yang kurang optimal, maka tuntutan terhadap perumusan peraturan pelaksana dalam bentuk undang-undang yang wajib diprioritaskan, sehingga lembaga negara yang harus diajak berunding adalan Dewan Perwakilan Rakyat serta Pemerintah. Pasal 28 I ayat (5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang undangan. 6 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 7. Perundangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan tidak mencantumkan Hak atas Pangan, namun secara eksplisit menyatakan kewajiban mewujudkan ketahanan pangan. UU tersebut dalam kenyatannya memang, mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat mewujudkan ketahanan pangan. Namun tampak, bahwa pemerintah berbagi kewajiban Negara secara berjenjang, yaitu dari Negara kepada keluarga secara individual - hal ini seirama dengan alam pikiran Kelirumologi - contohnya, sistem demokrasi Pancasila yang diasaskan kepada kekeluargaan yang ditumbuhkembangkan oleh Soeharto. Berbagi kewajiban Negara dapat dilihat pada pernyataan Kaman Nainggolan (2006) tentang RUANG LINGKUP KETAHANAN PANGAN. Khususnya Lintas Wilayah: Nasional, Daerah, dan RT. RT, dalam hal ini, tidak diuraikan kepanjangannya, namun secara akal sehat dapat diartikan sebagai rumah tangga, bukan rukun tetangga. Adapun rujukannya, ialah BAB VII KETAHANAN PANGAN, Pasal 45, Ayat 1 Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan. Ayat 2 Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Sebagai tambahan mengenai tanggungjawab Negara dalam hal ketersediaan pangan guna memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan. (Pasal 2). Lebih jauh dalam perspektif legal tertulis, penjenjangan kewajiban Negara secara tegas terlihat dalam hal cadangan pangan pemerintah sebagai bagian dari Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan. Bab III CADANGAN PANGAN NASIONAL Pasal 5 (1) Cadangan pangan nasional terdiri dari cadangan pangan pemerintah, dan cadangan pangan masyarakat. (2) Cadangan pangan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas: BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 7
  • 8. a. Cadangan pangan Pemerintah Desa; b. Cadangan pangan pemerinah Kabupaten/kota; c. Cadangan pangan Pemerintah Propinsi; d. Cadangan pangan Pemerintah Pusat. Pemerintah (Pusat hingga Desa) dapat menugaskan badan pemerintah atau badan usaha yang bergerak di bidang pangan untuk mengadakan dan mengelola cadangan pangan tertentu yang bersifat pokok sesuai UU (Pasal 7). Namun PP tersebut menyatakan, bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang seluas-luasnya dalam upaya mewujudkan cadangan pangan masyarakat. Cadangan pangan yang dimaksud tersebut dilakukan secara mandiri serta sesuai dengan kemampuan masing- masing (Pasal 8) Dengan pola tanggungjawab berjenjang dengan, tetapi berujung dengan sistem pengontrakkan pengadaan dan pengelolaan cadangan pangan nasional kepada suatu badan usaha, dengan contoh PP tersebut, dapat dikatakan tidak mudah dipahami gambarannya oleh kalangan masyarakat desa, dan elitnya. Dan hak yang tercantum dalam Pasal 8 cenderung berada dalam posisi atau konteks kewajiban bagi masyarakat. Dapat dikatakan dengan adanya penjenjangan tanggungjawab ketahanan pangan adalah kepanjangan sistem lama (Soeharto) yang mengembangkan sistem kekeluargaan. Tegasnya UU No. 7 tentang Pangan Tahun 1996 adalah bagian dari Kelirumologi nasional: ekonomi berasaskan kekeluargaan, dan sistem politik Indonesia, SPI adalah bersandar kepada keluarga besar. Konflik tidak harus diselesaikan melalui voting, pemungutan suara terbanyak, melainkan musyawarah kekeluargaan, demikian.jargon populis pada masanya. Pada sisi lain, dan waktu yang lebih mutakhir unsur Negara (pemerintah dan parlemen) telah meratifikasi International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights menjadi Undang-undang No. 11 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, kovenen Ekosob) tertanggal 28 Oktober 2005. Pasal 11 dalam UU No. 11 tahun 2005 mencantumkan hak atas pangan. Dalam konteks hak atas pangan dan keterkaitan ICESCR dengan konvensi lainnya Johannes Brandstäter (2002) mengutip modul pelatihan HAM, khususnya Kovenan Ekosob: • ICESCR Pasal 11(1) menyatakan bahwa “hak azasi atas standar kehidupan yang layak seperti cukupnya pangan, perumahan, pakaian.” • Pasal 11(2) mengakui “hak mendasar dari setiap orang untuk bebas dari kelaparan”. 8 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 9. Konvensi hak azasi manusia pada anak-anak, Pasal 24(2)(c) mewajibkan pihak pemerintah untuk memerangi penyakit, dan kekurangan gizi … • Protokol Tambahan untuk Geneva Conventions, dan Relating to the Protection of Victims of International and Non-International Armed Conflicts. Beranjak dari pendekatan ini , maka terdapat the instrument of Public Interest Litigation/class action bagi masyarakat madani mengusung satu kasus ke pengadilan. Kebijakan Hak atas pangan sudah termaktub dalam kebijakan pemerintah – melalui Dewan Ketahanan Pangan - tentang Kebijakan Umum Ketahanan Pangan Tahun 2006-2009, namun hal ini, agaknya, diupayakan bukan hanya sekadar pemanis atau lips service. Sebagai contoh dalam Ringkasan Ekskutif dari kebijakan tersebut tidak tecantum hak atas pangan, melainkan pernyataan yang terang-benderang pada angka 14., yaitu Undang-Undang Nomor 7 tahun 1006 tentang Pangan menyatakan bahwa perwujudan ketahanan pangan merupakan tanggung jawab pemerintah bersama- sama masyarakat. Meskipun demikian dalam uraian Konsep Umum Tahun 2006-2009 tersebut disebutkan Hak atas pangan dicantumkan pada Landasan Hukum (Bab II versi cetak), dan pada bagan Kerangka Sistem Ketahanan Pangan (Bab. II versi online), meskipun tidak memadai paparannya. Demikian juga, jika lebih seksama diperiksa pada bagian selanjutnya pada dokumen itu. Jika dilihat dalam konteks yang lebih luas, betapa pun juga, pencantuman hak atas pangan pada Kebijakan Umum Ketahanan Pangan tersebut sudah jelas merupakan langkah maju dari dokumen sebelumnya, yaitu kebijakan tentang Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) kedua melalui Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004 (Agustus 2004; Sept. 2006). Sebagai catatan, dalam pengamatan BioTani Indonesia, wakil Indonesia baru hadir dalam IGWG FAO tentang negosiasi penyusunan Hak atas Kecukupan Pangan pada putaran III di kantor pusat FAO di Roma Italia bulan Juli 2004 – itupun hanya utusan/staf dari KBRI di Roma – sehingga mustahil hak atas kecukupan pangan dapat dimasukkan ke dalam RAN HAM..(Lihat juga: FAO Right-to-Food masukkan ke RAN HAM RI - Press_Relea... yang disirkulasikan kepada Mass Media group Sep 26, 2004). Yang tercantum dalam (RANHAM) kedua adalah hak atas pangan yang didekati dengan pembangunan: kebijakan ketahanan pangan, peningkatan kelembagaan daerah, peningkatan produksi pangan, diversifikasi pangan, dsb. (RAN HAM 2004-2009, halaman 125, dan 131; Jakarta Sept. 2006) Pemerintah menjabarkan RAN HAM kedua secara ringkas padat ke dalam (tabel) Rencana Kegiatan RANHAM Indonesia Tahun 2004-2009. Pada butir E. Penerapan Norma dan Standar Instrumen HAM, yang diterbitkan oleh Presiden RI Megawati BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 9
  • 10. Soekarnoputri (tanpa tanggal), dicantumkan hak atas pangan, yaitu pada halaman 38; dalam tabel berkolom 4 dituliskan: Peningkatan pemenuhan atas hak pangan (kolom Program/Kegiatan); 2004-2009 (Jadwal); Departemen Pertanian dan instansi terkait (Pelaksana); Terpenuhinya hak atas pangan (Indikator keberhasilan (out put)). Catatan kecil, UU Pangan tidak termasuk revisi dalam angka C. Persiapan Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Yang mendjadi prioritas adalah UU tentang HAM, UU Pengadilan HAM, dan KUHP. Kemudian, Pelaksana hanya departemen Pertanian dan instansi terkait, sementara pada hak lainnya, contohnya pada halaman 36-37, Hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, dan hak untuk berpartisipasi dan berekspresi dalam kegiatan kebudayaan, pelaksananya ádalah departemen yang bersangkutan dan instansi terkait di Pusat dan Daerah. Dapat dibayangkan, bahwa hak atas pangan akan dirumuskan di “pusat” alias departemen pertanian saja. Beranjak dari analog di atas, maka secara logika akal sehat linier, arena partisipasi (baca: advokasi) masyarakat madani adalah di pusat (baca: departemen pertanian), jika hak atas kecukupan pangan hendak ditagihkan pengakuan realisasinya secara penuh kepada Negara. Tetapi hak atas pangan yang ringkas Rencana Kegiatan RANHAM Indonesia Tahun 2004-2009 tersebut, dapat disimak penjabarannya pada Komitmen Indonesia dan Komitmen Para Gubernur dan Bupati/Walikota Selaku Ketua Dewan Ketahanan Pangan – sebagai upaya menyiasati pola komando (atas-ke-bawah) ke dalam sistem otonomi daerah. Yang menonjol adalah: Menurunkan tingkat KELAPARAN dan KEMISKINAN sekurang-kurangnya 1 persen per tahun (KesepakatanGubernur, 20 November 2006) Pada sisi lain Departemen Kelautan dan Perikanan, DKP (Rumusan Rakernas DKP 2005) mengakui pengarusutamaan HAM, di antaranya hak atas pangan dalam satu tarikan nafas dengan hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan dan pemukiman, tanah, air bersih dan aman, sumber daya alam dan lingkungan hidup, mencakup 10 unsur standar dasar kemanusiaan disertai dengan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup) dalam rencana aksi nasionalnya. (...) program (rencana aksi) nasional yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu 2005-2009, meliputi : (1) pengelolaan ekonomi makro, (2) pemenuhan hak-hak dasar (pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan dan pemukiman, tanah, air bersih dan aman, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman, dan partisipasi), (3) perwujudan kesetaraan dan keadilan gender, (4) percepatan pengembangan kawasan/wilayah. 10 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 11. Rencana aksi nasional tersebut disusun dari (...) 5 (lima) strategi, yaitu: (1) perluasan kesempatan kerja, (2) pemberdayaan kelembagaan masyarakat, (3) peningkatan kapasitas kelembagaan dan. SDM, (4) perlindungan sosial, dan (5) penataan kemitraan global. Rencana aksi nasional tersebut dijabarkan ke dalam program-program DKP, antara lain : Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) Budidaya pedesaan Pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil Intensifkasi peningkatan mutu Pengembangan Konsultan Keuangan/Pendamping UMKM Mitra Bank (KKMB) Program/Proyek Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (MCRMP, COREMAP, COFISH, MFCDP, JFPR, OSRO, dll) Rasanya tidak mengherankan dengan pernyataan Departemen Kelautan dan Perikanan tersebut, karena secara formal telah dua (2) kali BioTani Indonesia mendesakkan pentingnya pengakuan hak atas pangan, khususnya bagi komunitas pulau kecil. Pertama, dalam Roundtable Kedua tentang presentasi Temuan Fakta Rawan Pangan di Pulau Tunda Banten di Jakarta, 4-5 Juni 2003 DKP diwakili oleh Ferrianto Jais, Tata Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan Dr. Toni Pulau-pulau Kecil, dan Ir. Sugiono, Perencana Pulau-pulau kecil, dan kedua dalam Dialog Kebijakan di Pulau Tunda 20 Januari 2004, diwakili oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang Provinsi Banten. Beranjak dari pernyataan DKP di atas, maka secara logika akal sehat linier, arena partisipasi (baca: advokasi) masyarakat madani adalah tersebar di dalam beberapa program, jika hak atas kecukupan pangan hendak ditagihkan pengakuan realisasinya secara penuh kepada Negara. Pangan, dan hak atas pangan, pada sisi lain yang tak kalah pentingnya dalam situasi yang sering terjadinya nyaris tiga tahun belakangan ini berupa bencana alam: Tsunami dan gempa bumi, dan bencana buatan manusia: banjir lumpur di Sidoarjo, banjir bandang melanda 12 provinsi (kompas, 1 Feb. 2007), dan banjir yang terjadi 2- 4 Februari 2007 yang melumpuhkan 70% kegiatan Jakarta (Kompas, 5 Feb. 2007) tanah longsor di banyak tempat di Indonesia, disertai juga anomali iklim dan perubahan cuaca yang – di antara nya menghentikan nelayan Pulau Tunda melaut, pada gilirannya, semuanya itu diikuti jeritan perlunya bantuan pangan (food aid). Namun demikian tidak ditemukan secara eksplisit suatu aturan perundangan yang BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 11
  • 12. mengatur bantuan pangan – yang ada UU No.7 tentang Pangan tahun 1996, dan upaya pemerintah mengatur bantuan pangan dalam konteks kemiskinan dalam menyusun Rancangan Undang-Undang Kemiskinan (Depsos, 2004). Sementara itu pada aras internasional sudah terdapat Food Aid Convention, 1999 yang ditandatangani di London 13 April 1999 – kendatipun tidak ada mekanisme untuk pemantauan yang efektif maupun untuk pemberlakuan kewajiban penandatangan konvensi ini, juga soal sengketa, dan sebagainya - berakhir tahun 2002, tetapi akan direnegosiasi dalam tahaun-tahun mendatang. Yang sudah ada Panduan Sukarela tentang Hak atas Kecukupan Pangan (FAO, 2004). Kutipan RUU Kemiskinan: BAB IX PELAYANAN SOSIAL DASAR Bagian kesatu Bantuan pangan Pasal 10 Bantuan pangan bertujuan untuk meningkatkan kecukupan pangan dan status gizi serta diversifikasi pangan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat miskin. Usulan pasal tersebut dalam RUU Kemiskinan secara eksplisit mencantumkan kecukupan pangan sebagai pelayanan sosial dasar dalam urutan pasal pertama. Usulan tersebut esensinya berkesesuaian dengan Panduan Sukarela Hak atas Kecukupan Pangan meskipun terdapat beberapa hal kekurangan. Misalnya, cara keluar yang jelas (exit startegy), dan adanya pencegahan terjadinya gangguan produksi dan pasar pangan lokal, dan sebagainya – semuanya teramasuk dalam strategi pengentasan kelompok miskin, serta memenuhi dan melindungi HAM. Panduan 15 Bantuan pangan internasional dipandang menekankan bahwa bantuan pangan haruslah aman dan memperhitungkan makanan dan budaya pola konsumsi pangan. Program bantuan pangan hendaknya tidak mengganggu produksi dan pasar pangan lokal, dan harus menghindari penciptaan ketergantungan dengan mempunyai cara keluar yang jelas. Badan-badan kemanusiaan harus dijamin keamanannya dan akses kepada penduduk yang membutuhkan. Selain itu, bantuan pangan untuk keadaan darurat harus juga memperhitungkan pemberian jangka panjang dan tujuan rehabilitasi (BioTani Indonesia, 2006). Politis Politis terhadap implementasi hak atas pangan di Indonesia dapat disimak, bahwa pemerintah mengulang kembali komitmennya untuk mendukung pelaksanaan hak atas pangan pada aras nasional - sebagaimana observasi masyarakat madani di FAO Roma Italia pada minggu pertama November 2006. 12 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 13. Several Government representatives from Mozambique, Indonesia, Brazil, Germany and Switzerland reiterated their political commitment towards supporting the implementation of the Right to Food at the national level (FIAN, online, 2006). Kelanjutan komitmen tersebut tertuang dalam makalah kepala Badan Ketahanan Pangan nasional (BKPN) dalam Acara Presentasi Hasil Studi Biotani Indonesia tentang ketahanan pangan pada komunitas 9 pulau kecil di enam provinsi dan dilanjutkan dengan Rountable Discussion di Hotel Le Meredien Jakarta, pada 12 Desember 2006. "Peran strategis Ketahanan Pangan: Menjamin hak atas pangan" (Halaman 3) meskipun, dalam kenyataan lebih lanjut, dalam pernyataan oral tidak ada uraian lebih lanjut, namun terlihat lebih khusus bilamana disandingkan dengan naskah sambutan kunci Menteri Pertanian yang lebih mengungkapkan kebijakan umum ketahanan pangan. Pada sisi lain, realitas menunjukkan hingga saat ini terbaca belum cukup jelas dan tegas mengenai perlu dan mendesaknya dilakukannya revisi UU Pangan tahun 1996 oleh pemerintah yang disuarakan oleh BKPN, terkecuali secara lisan-informal oleh Narasumber yang mewakili Kepala BKPN dalam Acara Presentasi Hasil Studi dan Rountable Discussion di Hotel Le Meredien Jakarta, 12 Desember 2006. Posisi pemerintah, khususnya BKPN sudah berubah jauh, bukan seperti ketika BioTani Indonesia secara nyaring mengingatkan pemerintah soal perlunya mulai menjajaki pengakuan Hak atas Pangan yang tengah dinegosiasikan oleh IGWG FAO, dan ketahanan pangan hendaknya tidak dipandang sebagai business as usual, ketika BKPN – namanya masih Bimas Dewan Ketahanan Pangan - menyelenggarakan seminar nasional itu pada akhir Januari 2003. Lebih dari itu, dua tahun berikutnya, April 2005 ketika FAO mendanai seminar nasional tentang Hak atas Pangan, dan kini gaung kelanjutannya terpapar dalam kalimat singkat dalam makalah kepala BKPN tersebut. Singkatnya dapat dikatakan pemerintah sudah bergeser dari posisi entitlements by policy now moving to rights. Sementara itu, upaya yang sudah pernah dilakukan, pada sisi lainnya lagi, ialah BioTani Indonesia mencoba masukkan Hak atas Pangan sebagai satu ayat tersendiri kepada Komisi Konstitusi RI (BioTani Indonesia, 2003) – sebagai kelanjutan dari acara tukar-gagasan - pada bulan Desember 2003 (lihat: Seminar Nasional dan Lokakarya tentang Dapatkah Right to Food Masuk Dalam Undang Undang Dasar (UUD)? yang diselenggarakan oleh BioTani PAN Indonesia bekerjasama dengan Oxfam-GB, Jakarta 13-14 Desember 2003.). Oleh narasumber gagasan ini disarankan agar diusulkan secara resmi ke Komisi Konstitusi tanggal 19 Desember 2003. (lihat juga: Kalawarta Terompet BioTani Indonesia 2003/2004). BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 13
  • 14. III. Posisi dan Rekomendasi lanjutan dalam skala Nasional Yang pertama, dan yang terutama, ialah BioTani Indonesia dalam posisi menyatakan, bahwa hak atas pangan tidak cukup memadai pengakuannya oleh Negara Republik Indonesia, namun upaya ke arah itu sedang berlangsung. Dengan mencermati kondisi ini karena itu BioTani Indonesia menyatakan rekomendasi sebagai berikut 1. Pengarusutamaan Hak atas Pangan Lokal Langkah pertama adalah Knowing & claiming your right to food, tetapi sekaligus juga early warning kepada pemda di lokasi anggota konsorsium program Building Opportunity – yaitu Banten (Biotani Indonesia), Sulawesi Tenggara (JPKP), Maluku (Sor Silai di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dan Sita Kena di Kabupaten Aru). Di sini strategi kegiatan yang akan ditekankan adalah penyuluhan kepada komunitas, dengan mengundang partisipasi pemerintah daerah. Faktor legal pendukung dalam pengarus utamaan Hak atas pangan, ialah UU No.11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan ICESCR. Hak atas pangan dalam undang- undang tersebut dapat dipakai sebagai latar belakang, dan juga dasar legal hak atas pangan. Menjajaki potensi – test case - penegakkan keadilan (access to justice) atau Justiciability., sebagai langkah mendukung perjuangan rakyat memperoleh hak atas pangan (support people struggle for their right to food). Justiciability adalah konsep kunci dalam HAM. Justiciability menurut Rolf Kunnemann (2003) terbagi dalam tiga aras. Justiciability dari pelanggaran (of violation), Justiciability dari kewajiban (of obligation), dan Justiciability dari hak (of rights) (Justiciability-page3-4-from-Right-to-food-journal-no2.pdf. FIAN. December 2003a). Bagi kita dengan cara menghimpun beberapa contoh kasus yang terkait dengan hak atas pangan, maka akan mempermudah pengenalan mengenai tiga aras justisibialitas tersebut. Dengan memakai Justiciability, maka akan diupayakan pergeseran cara pandang soal perlindungan terhadap Hak atas Pangan. Yaitu perlindungan negatif dari hak atas pangan ke arah perlindungan positif dan eksplisit. Sebagai catatan FIAN (2003b) menyatakan soal justisibialitas, ialah bahwa perlindungan negatif serupa dengan perlindungan negatif dari hak asasi manusia lainnya, dan sangat diperlukan bahwa negara menahan untuk campurtangan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh individu untuk memberi makan diri mereka sendiri – yaitu, menghargai hak ini. Akibatnya, kewajiban negatif tidak membutuhkan pemanfaatan sumberdaya negara, juga mereka tidak membutuhkan analisis kompleks. 14 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 15. Dengan mengajukan satu kasus yang dipandang terkait dengan hak atas pangan (kombinasi Panduan Sukarela Hak atas Kecukupan Pangan dan UU No[1].11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan ICESCR) ke pengadilan, dan karenanya akan adanya suatu keputusan pengadilan atas kasus hak atas pangan, maka diharapkan muncul adanya pergeseran cara pandang itu. Berikut adalah contohnya yang dikemukakan oleh Rolf Künnemann and Sandra Epal¬Ratjen (2004). The end of the year 2001 was a milestone in the history of the right to food. For the first time, civil society actors in two countries brought cases directly related to the right to food before their national Supreme Courts. Both of the cases, the petition in India and the popular recourse action in Argentina mark significant progress toward justiciability, independent of the final outcome of the cases. They both show how a human rights framework and mechanisms can be used within the national legal system to halt violations of the right to food (Künnemann, Rolf; EpalRatjen, Sandra, 2004). Dengan strategi ini pula, maka dapat didekati dengan memanfatkan Panduan Sukarela Hak atas Kecukupan Pangan. Panduan Sukarela ini hendaknya dipahami sebagai instrumen penting dalam upaya memberikan masukkan kepada Negara untuk menyusun standar hak atas pangan. Contohnya, Panduan 7 pada Hak atas Kecukupan Pangan FAO merekomendasikan agar Negara memasukkan ketentuan dalam hukum domestik mereka, mungkin pada tingkat konstitusional, yang memfasilitasi kemajuan perwujudan hak atas kecukupan pangan – consensus building adalah imperatif. Ketentuan ini harus memasukkan mekanisme hukum agar individu dan kelompok rentan mendapatkan akses kepada pemulihan yang efektif bila hak atas kecukupan pangan mereka dilanggar – atau dikatakan justiciability of directive principles. Kemudian, negara harus menyebarkan informasi tentang hak dan pemulihan serta mempertimbangkan penguatan hukum untuk memberi akses bagi kepala rumahtangga perempuan kepada pengurangan kemiskinan dan program serta proyek keamanan gizi. Suatu kerangka kerja hukum yang cukup membuat individu dan kelompok dapat menuntut hak mereka atas kecukupan pangan dan untuk meminta pemulihan atas pelanggaran hak hak mereka menurut administratif, kuasi-yudisial dan badan-badan peradilan. Semua orang, tetapi khususnya yang paling rentan, harus mempunyai akses kepada keadilan bila hak mereka atas kecukupan pangan tidak dihargai, dilindungi atau dipenuhi (FAO, 2006). Karenanya konsultasi nasional dan regional diperlukan, dengan melibatkan masyarakat madani, dan wakil komunitas rentan ketahanan pangan, serta badan-badan internasional terkait. Merealisasikan potensi aliansi (human right to food networking), berdasarkan lingkungan yang sudah kondusif di kalangan masyarakat madani dalam setahun-dua dewasa ini. Ancangan aliansi ini sering didengungkan dengan kalimat: promoting a BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 15
  • 16. rights based approach and the VG within the NGO/CSO community, by concentrating efforts to get the development community and the grass¬roots organisations use this approach. Dengan mengupayakan suatu aliansi atau semacamnya akan lebih kuat gaungnya dalam melakukan berbagi pengalaman berupa asupan tentang potensi kandungan kekayaan informasi dasar bahwa hak atas pangan itu berdimensi yang justisiabel (justiciability of right to food), bukan sekadar menyebarkan wacana, ataupun lobby. Lingkungan masyarakat madani, ialah, sebagai contoh, dengan munculnya koalisi Ekosob – The Institute ECOSOC Rights http://ecosocrights.blogspot.com/ - yang diakrabi oleh harian pagi di Jakarta. Ada pula Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, PBHI. Februari tahun silam, bersama dengan Komnas HAM, PBHI menyelenggarakan pertemuan menjajaki hak atas pangan, dengan titik berat kepada reforma agraria dan permasalahannya: sumber-sumber agraria (tanah, air, dan pangan), sejumlah masalah lainnya, disertai dengan kampanye membangun opini, aksi massa, legal work, dan sebagainya (www.pbhi.co.id). Secara umum dapat dilukiskan kondisi dewasa ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tiga tahun silam, ketika BioTani Indonesia berupaya menggalang koalisi terhadap beberapa ornop di Indonesia – yang hasilnya nyaris mandek, mengingat bahwa Panduan Sukarela mengenai Hak atas Kecukupan Pangan masih dalam taraf negosiasi di FAO Roma Italia. Kenyataannya, dewasa ini hak atas pangan, secara luas masih belum dikenali baik. Kompas, sebagai contoh, sebagai sebuah harian yang cukup memadai mewartakan HAM lebih dari satu dekade, ternyata, tidak memberikan perhatian khusus hak atas pangan dalam jajak pendapat mengenai HAM. Dalam berita jajak pendapat bertajuk Paradoks Perlindungan HAM di Indonesia (2 Januari 2007) hanya mencantumkan Hak hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidup, sebagai hak pada urutan pertamanya dari total 35 hak asasi manusia untuk dijajaki pendapatnya khalayak. Potensi lainny adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat kabupaten-kota. Dua kali pengalaman BioTani Indonesia melakukan sosialisasi Panduan Sukarela mengenai Hak atas Kecukupan Pangan pada minggu II Januari di Bau-Bau Pulau Buton 11 Januari 2006, dan di Serang provinsi Banten 12 Januari 2006 menunjukkan adanya komitmen anggota wakil rakyat itu untuk melanjutkan kegiatan sosialisasi itu. 16 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 17. 2. Tingkatkan kerjasama internasional dalam upaya menyusun pantauan Komunikasi dan tukar gagasan teknis penyusunan pertanyaan untuk pantauan terhadap pelaksanaan progresif hak atas kecukupan pangan, dan juga mendukung upaya rekanan berkerja/ lobby di PBB, dalam kerangka kepedulian berikut: promoting a gender approach in the general MDG process and especially regarding hungerand poverty reduction, especially through pressure created by civil society activities and through advocacy, training and awareness raising with regard to gender specific right to food violations and the situation of rural women; 3. Konsolidasikan upaya pemantauan dan lobby untuk intervensi sebagai pendukung upaya realisasi progresif (harmonisasi legislasi, dan memantau, dan intervensi) terhadap kemungkinan adanya perubahan/amandeman UUD 1945, maupun legislasi 3.1. Harmonisasi legislasi Dengan cakupan usul: The NGOs and CSOs backing the process are convinced that a rights-approach to hunger and malnutrition is essential for changing the conditions for many of the hungry. The development of adequate policies to reduce hunger and malnutrition and to guarantee access to these groups to productive resources would become a key concern over more technical issues of food production, increasing yields, etc. While these issues are also important and should not be downplayed, the right to adequate food constitutes a legal claim for the individual person faced by hunger and malnutrition. The right could be invoked at national courts or at international supervisory institutions. Therefore, with a rights-approach, the state would become liable to provide immediate and long-term measures – a scenario which is different from just hoping that an increased food production at the national level will reach the poor. The rights-approach helps to clearly define the role of the state and other actors involved in the implementation of policies aimed to reduce hunger and malnutrition. Dalam Lampiran disajikan contoh atau model text sebagai rujukan atau kerangka panduan dan berisikan gagasan dan usulan bagi upaya harmonisasi legislasi yang mengakomodasikan secara positif mengenai hak atas pangan. Hak atas pangan sangat berhubungan dengan hak untuk hidup – hak sipil, sangat diakui dalam hukum internasional dan regional dan melalui sejumlah konstitusi nasional di beberapa negara. Namun masih dibutuhkan adanya penegakkan jaminan hak (Right guarantee), yaitu jaminan mengenai hak atas pangan ialah dengan mengupayakan kepastian adanya kewajiban positif dari Negara dalam satu aturan pada tataran perundangan. Dalam konteks ini Negara mengemban tugas dan kewajiban (duty and obligation), agar kewajiban yang formal dan kewajiban substantif (menghormati, melindungi, dan BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 17
  • 18. memenuhi – sering disebut juga sebagai norma utama, primary norms standar kemanusiaan), keduanya dapat diembankan kepada Negara (duty bearer) secara eksplisit ke dalam satu undang-undang, atau Perppu - contohnya terlampir. Namun RUU Kemiskinan, khususnya Pasal 10 patut pula diintervensi dengan perspektif Panduan Sukarela tentang Hak atas Kecukupan Pangan FAO, seraya turut serta mengawalnya, sehingga dapat segera dibahas di DPR. Beranjak dari semua uraian telaah di muka, maka BioTani Indonesia dengan tegas menyatakan: Seruan 1. Arusutamakan Hak atas Pangan lokal, dan realisasikan potensi aliansi, 2. Tingkatkan kerjasama internasional dalam upaya menyusun pantauan terhadap pelaksanaan progresif hak atas kecukupan pangan, 3. Konsolidasikan upaya pemantauan dan lobby untuk intervensi sebagai pendukung upaya realisasi progresif (harmonisasi legislasi, memantau, dan intervensi) terhadap kemungkinan adanya perubahan/amandeman UUD 1945, maupun legislasi. Jakarta, 6 Februari 2007 Biotani Indonesia Jl. Persada Raya No. 1 Menteng Dalam Jakarta 12870 Indonesia Telp. +62-21-8296545 email: biotani@rad.net.id, biotani2004a@yahoo.com http://www.biotani.org Kontak 1. Riza V. Tjahjadi 2. M. Yusuf Shandy 3. Efendi Koto 18 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 19. Rujukan Abbas, Halid, dan Purna, Ibnu (2006) Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia 2004-2009. Kerjasama Direkrotat jendral Perlindungan HAM, Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara, Raoul Wallenberg Institue, dan Pusat Studi HAM & Demokrasi Universitas Nasional. Cetakan Ketiga. Jakarta. September 2006. Biotani Indonesia (2003) Usulan Kepada Komisi Konstitusi. Hak atas Pangan Ke dalam UUD 1945. Surat. Jakarta, 19 Desember 2003. Biotani Indonesia (2007) RIGHT to FOOD Guidelines. FAO’ Voluntary Guidelines to Support the Progressive Realisation of the Right to Adequate Food in the Context of National Food Security. Putting it into Practice. Materi Sosialisasi Panduan Sukarela Hak aatas Kecukupan Pangan. Jakarta, 15 Januari 2007. Brandstäter, Johannes. Circle of Rights summary on Right to Food. Briefing Information to partners. Bread for the World. Rome Italy, 7 Juni 2002. Künnemann, Rolf,.and Epal¬Ratjen, Sandra (2004) The Right to Food: A Resource Manual for NGOs. AAAS Science and Human Rights Program; HURIDOCS. Washington D.C. Menteri Pertanian RI. (2006). Keynote Speech. Naskah pada Presentasi dan Roundtable Dalam Upaya Sosialisasi Hasil Studi Ketahanan Pangan di Pulau-Pulau Kecil tanggal 12 Desember 2006. Monsalve Suárez, Sofia, and Ratjen, Sandra (2006) Reporting Guidelines to Monitor the Implementation of ICARRD Final Declaration. DRAFT version, July 2006. FIAN International Nainggolan, Kaman. Program dan Prioritas Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan pada Presentasi dan Roundtable Dalam Upaya Sosialisasi Hasil Studi Ketahanan Pangan di Pulau-Pulau Kecil tanggal 12 Desember 2006. Kepala Badan Ketahanan Pangan. Badan Ketahanan Pangan. Jakarta, 12 Desember 2006. Oxfam GB (2006) Quantitative Analysis of Household Food Security. Lampiran. Program Building Opportunity. Ramdhan, Mochammad. I. Hak atas Pangan dalam Konstitusi, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional dan Lokakarya tentang Dapatkah Right to Food Masuk Dalam BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 19
  • 20. Undang Undang Dasar (UUD)? Diselenggarakan oleh Biotani PAN Indonesia bekerjasama dengan Oxfam-GB, Jakarta 13-14 Desember 2003. Tjahjadi, Riza V. (2006) Panduan Sukarela untuk Mendukung Realisasi Progresif Hak Asasi atas Kecukupan Pangan Dalam Konteks Ketahanan Pangan Nasional. FAO. Terjemahan. Biotani Indonesia. Jakarta, Juni 2006 Undang-undang Republik Indonesia, No.7, Tahun 1996, Tentang Pangan. Undang-Undang No.11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan ICESCR. Online Interim report of the special rapporteur of theFile Format: Microsoft Word - View as HTML An update on the “voluntary guidelines” on the right to adequate food ... As NGOs noted, the draft text is “no masterpiece of political will”.10 ... www.ohchr.org/english/bodies/chr/docs/ga59/newfood.doc biotani@rad.net.id Sep 28, 2004 [communitygallery] FAO Right-to-Food masukkan ke RAN H... Departemen Kelautan dan Perikanan (2005) 30/05/05 - Info Aktual: Kemiskinan Nelayan Rumusan Rakernas DKP 2005 : Penanggulangan Kemiskinan. www.dkp.go.id Departemen Sosial (nd) Rancangan Undang-Undang Kemiskinan. www.depsos.go.id fian-windfuhr@comlink.org Sep 22, 2004 [Guidelines] Guidelines adopted FIAN online (2006) The challenge ahead: towards implementation of the Right to Food at the national level. http://www.fian.org/live/index.php?option=com_content&task=view&id=245&Itemid=93 FOOD AID CONVENTION, 1999. lihat: r0.unctad.org/commodities/agreements/foodaidconvention.pdf, juga www.fao.org/Legal/rtf/fac99-e.htm ec.europa.eu/europeaid/projects/foodsec/pdf/documents-london-convention- 1999_en.pdf Status legal Food Aid Convention 20 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 21. www.globalpolicy.org/socecon/hunger/relief/2006/06globalfoodaid.pdf www.oxfam.org/en/files/bp71_food_aid_240305.pdf LostWorst, Right2AdequateFood on PGR by FAO From: biotani@rad.net.id Date: Mon, August 16, 2004 15:14 To: biotani2004a@yahoo.com Priority: High [reformasitotal] Right-to-Adequate-Food_Indonesia-10YEARS-after ...... toward FAO’s Voluntary Guideline on the Right to Adequate Food (VG) By BioTani ... see also: LostWorst, Right2AdequateFood on PGR by FAO, a statement of ... www.mail-archive.com/reformasitotal@yahoogroups.com/msg01294.html - 42k - Cached - Similar pages reformasitotal Right-to-Adequate-Food_Indonesia-10YEARS-after-WFS_RomeItaly A statement by ... FAO’s Voluntary Guideline on the Right to Adequate Food (VG) By BioTani ... osdir.com/ml/reformasitotal@yahoogroups.com/msg01294.html - 41k - Cached - Similar pages Rights and Democracy | What We DoNo Masterpiece of Political Will. NGO Caucus (IGWG 3): Final Evaluation Report ... Moreover the guidelines recognize that the right to adequate food must be ... www.dd-rd.ca/site/what_we_do/index.php?lang=en&subsection=projects&id=1599 - 25k Sunggul Sinaga Nov 17, 2003 Re: RI absen di FAO IGWGII, Ingin tahu alasan. Jawaban atas pertanyaan BioTani Indonesia melalui e-mail. BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 21
  • 22. L a m p i ra n 1 1. Contoh partial dari sebuah draft UU dengan penegakkan hak atas pangan yang jelas: THE RIGHT TO FOOD AND FOOD SECURITY 3. (1) Every person has the right to food and nutrition security including a standard of living adequate for the health of himself and his family including clothing housing and medical care. (2) The Government shall promote and protect the peoples right to food and nutrition security. (3) The Government shall put in place mechanisms, budgetary allocations, safety net programmes, credit programmes and schemes, wage policies and legislation, land tenure policies and legislation to ensure the accelerated full realization of the right to food and nutrition security for all without adverse discrimination. (4) The Government shall progressively eliminate hunger by improving wages and incomes of people in order that by 2015 there shall be no person earning less than $1 a day. (5) All people in Indonesia shall be entitled to the protection of their economic interest health and safety in the consumption of food and food products and to fair and non discriminatory treatment by a supplier or trader of food or food products. (6) The government shall take steps, legislative, economic, technical or otherwise to the maximum of its available resources with a view to achieving progressively the full realization of peoples rights enshrined in the international covenants related to the right to food and nutrition security to which Indonesia is a party. (7) The Government shall as part of achieving the progressive realization of the right to food and nutrition security promote broad based economic development that is conducive to the promotion and sustainability of food and 22 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 23. nutrition security at national and house hold level and mainstream food and nutrition security in all its development programmes. (8) Government shall in partnership with communities civil society and partners take measures to maintain adapt and strengthen dietary diversity and healthy eating habits and food preparation as well as feeding patterns including breast feeding while ensuring that changes in availability and access to food supply do not negatively affect dietary composition and intake. (9) Government shall put in place mechanisms, legislation and other practices that promote and ensure expanded access to agricultural inputs of improved variety with patent-free option seeds, organic fertilisers, botanical pesticides and other non-chemicals that are environmentally friendly and socially just. (10) Vulnerable groups shall be given special consideration through safety net programmes by improving the targeting mechanisms and input subsidies to ensure expanded access to means of food production for such groups. (11) Government shall progressively increase annual budgetary allocation for the programmes in (10) as part of social protection for vulnerable groups. (12) Government shall endeavour to regulate activities that restrict fair and free competition concerning the prices of food, food products or inputs to food production. Progressive Realisation of Right 5. (1) No person, entity or political party shall use food aid for political purposes. (2) No person shall with hold food aid from any vulnerable person for any reason based on political opinion, tribe, region, marital status, disability, or other status, nor shall food aid be used to induce change of political affiliation. (3) In the registration for food aid or distribution or evaluation of food aid the human rights of the beneficiaries shall be maintained and respected. (4) Any person who demands a bribe or other favour (sexual, financial or otherwise) from a beneficiary of food aid shall be guilty of an offence under this part. (5) Contravention of the provisions of this section shall be an offence. BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 23
  • 24. Establishment of the Authority 14. There is hereby established an Authority known as The Indonesia Food and Nutrition Security Authority (in this Act otherwise referred to as the “Authority”) which shall be a body corporate by that name with perpetual succession and a Common Seal and capable of suing and being sued in its corporate name and capable of acquiring and disposing of any moveable or immoveable property and performing such acts and things as bodies corporate may by law do or perform and have power to perform such functions and exercise such powers as are conferred by this Act. Constitution of the Authority, Constitution of the Authority Appointment of members of the Authority Chairperson of the Authority Tenure of Office of members Removal from Office and vacancy Minister to Gazette Policy Remuneration of Members Meetings of the Authority Duties and Responsibilities of Members, etc. is open for discussion Commission, an independent institution FUNCTIONS AND RESPONSIBILITIES OF THE AUTHORITY 35. All authorities (including all organs of the Government) bodies and persons shall recognise the status of the Authority as a national institution independent of the authority or direction of any other body or person in matters related to the right to food and nutrition security. Competence and powers 36. The Authority shall be competent in every respect to protect and promote the right to food and nutrition security in Malawi in the broadest sense possible and to investigate violations of such right on its own motion or upon complaints received from any person, class of person or body. Duties and function 37. (1) The duties and functions of the Authority shall be- (a) to act as a resource for the right to food and nutrition security for the Government and the people of Indonesia; 24 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 25. (b) to assist in educating the public on, and promoting awareness on food security, safety, nutrition, safety nets and respect for, the right to food and nutrition security ; (c) to promote more particularly the right to food and nutrition security of vulnerable groups, such as children, lactating mothers, illiterate persons, persons with disabilities, the poor, the widowed, the orphans and the elderly; (d) to consider, deliberate upon, and make recommendations regarding any issues, on its own volition or as may be referred to it by the Government, stake holders or vulnerable groups, regarding food and nutrition security; (e) to study the status and effect of legislation, judicial decisions and administrative provisions and policies for the protection and promotion of the right to food and nutrition security and to prepare reports on such matters and submit the reports, with such recommendations or observations as the Authority considers appropriate, to the authorities concerned or to any other appropriate authorities. (f) to perform any other function which the Government, in particular the President or Parliament, may assign to the Authority in connection with the duties of Indonesia under those international agreements in the field of the right to food and nutrition security to which Indonesia is a party, without derogation from the fact that the Government shall remain primarily responsible for performing such functions. (2) The Authority shall keep the President and Parliament fully informed on matters concerning the general conduct of the affairs of the Authority. Hearing HEARINGS, INVESTIGATIONS AND REMEDIES 40. (1) The Authority may hear and consider complaints and petitions within its competence brought before it by individuals or groups of individuals. (2) Complaints may be brought before the Authority on behalf of individuals or groups of individuals by the individuals themselves, legal practitioners, their representatives, third parties, non-governmental organisations, professional associations or any other representative organisations having an appropriate interest in the matter. Procedures of hearing 41. The Authority shall have power to determine its own procedure for the BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 25
  • 26. conduct of hearing of matters brought before it but may otherwise be guided by such procedures as may be prescribed by regulations made under this Act. Conduct of investigation 42. (1) for the purposes of conducting investigations necessary for the exercise of its powers and performance of its duties and functions, the Authority shall have powers - (a) through a member of the Authority or any member of its staff designated in writing by a member of the Authority or by the Authority either generally or specially to require from any person such particulars and information as may be reasonably necessary in connection with any investigation; (b) to require any person by notice in writing under the hand of a member of the Authority to appear before it at a time and place specified in such notice and to produce to it all articles or documents in the possession or custody or under the control of any such person and which may be necessary in connection with that investigation: Provided that- (i) such notice shall contain the reasons why the presence of such person is required and why any such article or document should be produced; (ii) When appearing and being examined before the Authority, such person may be assisted by a legal practitioner and shall be entitled to peruse or examine the articles and documents to refresh his memory; (c) through a member of the Authority, to administer an oath to, or take an affirmation from, any person referred to in paragraph (b), or any person present at the place referred to in paragraph (b), irrespective of whether or not such person has been required under that paragraph to appear before it, and question him under such oath or affirmation in connection with any matter which may be necessary in connection with that investigation. (2) A notice under subsection (1) shall not be effectively served unless it is delivered by- (a) a member of the Authority; (b) a member of the staff of the Authority; 26 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 27. (c) a police officer or any other person, authorised in that behalf by the Authority in relation to an investigation . 3. Any person questioned under subsection (1) shall - (a) be competent and compelled to answer all questions put to him regarding any fact or matter connected with the investigation; (b) be competent and compellable to produce to the Authority any article or document in his possession or custody or under his control which may be necessary in connection with that investigation. 4. The law regarding privilege as applicable to a witness summoned to give evidence in a criminal case in a court of law shall apply in relation to their questioning of a person under subsection (1). 5. If it appears to the Authority during the course of an investigation that any person is being implicated in the matter being investigated, the Authority shall afford such person an opportunity to be heard in connection therewith by way of the giving of evidence or the making of submissions and such person or his legal representative shall be entitled, through the Authority, to question other witnesses, determined by the Authority pursuant to this section. 6. The Authority may direct that any person or category of persons or all persons the presence of whom, in the opinion of the Authority, is not desirable, shall not be present at the proceedings or any part thereof during, or in the course of, an investigation. 7. The Authority may in its sole discretion conduct open or closed hearings during its investigation of any matter. Remedies Is open for discussion DECENTRALISATION AND COLLABORATION Local Authorities Role 46. Local Authorities shall have the responsibility to plan measures paralleling those of the Government as well as plan and execute measures concerning the promotion and protection of the right to food and nutrition security according to the social, economic and cultural conditions of the area under their jurisdiction. BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 27
  • 28. Regulations made by Local Authorities 47. Local Authorities may subject to the approval of the Authority promulgate regulations dealing with the protection and promotion of the right to food and nutrition security in the areas under their jurisdiction. 28 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 29. Lampiran 2 Keterangan latar belakang Kertas Posisi Riza V. Tjahjadi (2004) (message circulation by e-mail 16 Agustus 2004) The report contains text proposals by Members of the IGWG for each element of the Voluntary Guidelines, during the Third Session of IGWG 5-9 July 2004. Voluntary Guidelines as reflection Right-based approaches to Food Security doesn't bring stronger Farmers' Rights, in contrast, expanding the intellectual property rights (IPR) regime into FAO… 7.3bis States should, within the framework of relevant international agreements, including those on the intellectual property, promote access medium and small-scale farmers to research results enhancing food security. ---- What is the meaning, what are the implications of consolidated the last two texts mentioned above? I have some reasons as argument why we lost and keep text of Voluntary Guidelines on Right to Adequate Food worst for farmers and local communities. First, Plant Genetic Resources (PGR) in the text clearly stands to IPR regime within World Trade organisation (WTO). We understood: No other stronger the international instrument than TRIPs, including UPOV’ system for plant breeder rights. PGR under TRIPs will be more awful, when we aware to meaning of “specific national policies legal instruments” in the context of recent trend Free Trade Agreement (FTA). It can be brought under TRIPs Plus; that is stronger (control) monopoly regime over PGR. Second, "sharing benefit arising from the use of these resources", can be interpreted as specific in the context of food and agriculture. Meaning, we should refer to the International Treaty on PGR for food and agriculture, and therefore, I may say: Nonsense to bring real share of benefit to farmers in the "Center of origin" (including farmers in the “Centre of crop diversity”). This because, MTA or material transfer agreement in the treaty yet begin to be negotiated. Meanwhile, if we refer into broader scope, that is the Convention on Biological Diversity (CBD), I, then, recognise access to benefit sharing or ABS is still not clear. BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 29
  • 30. For me, PGR as well as seeds is the most valuable issue advocate by the most NGOs and farmers' groups in the South. Once again the South, esp. in the Southeast Asia region for more than TWO DECADES... although in the last couple years the strongest voice in the WTO articulated by the African countries (the African Group) when dealing TRIPs, esp. Article 27.3.b. (Tjahjadi, 16 Agustus 2004). --- E/CN.4/Sub.2/1999/12 28 June 1999 COMMISSION ON HUMAN RIGHTS Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities Fifty-first session Item 4 of the provisional agenda THE REALIZATION OF ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS The right to adequate food and to be free from hunger Updated study on the right to food, submitted by Mr. Asbjørn Eide in accordance with Sub-Commission decision 1998/106 IV. CLARIFYING THE RIGHT TO FOOD AND NUTRITION AND THE CORRESPONDING STATE OBLIGATIONS 44. The right to food forms part of the broader right to an adequate standard of living. (10) The right to an adequate standard of living - or to livelihood - sums up the main concern underlying all economic and social rights, which is to integrate everyone into a humane society. The ultimate purpose of promoting the right to adequate food is to achieve nutritional well-being for the individual child, woman and man. Human nutritional status is determined by at least three major clusters of conditions which interact in a dynamic fashion, relating to food, health and care, and with education as a cross-cutting dimension. Food alone is not sufficient to ensure good nutrition for the individual. The right to adequate food is a necessary, but not alone sufficient component of the right to adequate nutrition. The full realization of the latter depends also on parallel achievements in the fields of health, care for the vulnerable, and education. Later instruments, especially the Convention on the Rights of the Child, 30 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 31. recognize this broader right to nutrition as well as its cross-cutting nature relative to many other rights, including civil and political rights. 45. Article 11 of the ICESCR focuses on the food dimensions of the broader concept. The call by the World Food Summit for a better definition of the right to food as contained in article 11 has now in broad outline been met through the process described in chapter III and culminated with the adoption by the Committee on Economic, Social and Cultural Rights of General Comment No. 12. This is a most significant step in the process towards clarification of the content of the right to food and the steps that should be taken for its realization. Given its origin as the official interpretation by the treaty body responsible for monitoring States parties' implementation of the right to adequate food, this general comment will in the time ahead stand as the most authoritative document formulated to date regarding the right to food. --- Sejarah hak azasi atas pangan KTT Pangan Dunia tahun 1996 meminta UNHCR untuk mendefinisikan kandungan hukum dari hak azasi atas pangan. Konsekuensi lain dari KTT ini adalah untuk membuat “draf tata laksana pada hak asasi atas pangan yang cukup” (FIAN dan lainnya). Pasal 4 menyatakan bahwa definisi (2002) dari hak azasi atas pangan: Definisi: Hak asasi atas pangan berarti bahwa setiap laki-laki, perempuan dan anak-anak sendiri dan dalam masyarakat dengan yang lainnya harus memiliki akses fisik dan ekonomi setiap saat kepada pangan yang cukup dengan menggunakan dasar sumberdaya yang layak untuk pelaksanaannya dengan cara yang sesuai dengan martabat manusia. Hak azasi atas pangan merupakan bagian yang jelas dari hak azasi atas standar kehidupan yang layak. Core content dan Standar Minimal dari definisi tersebut General Comment 12 mengatakan dalam §8 core content berisi • Ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan makan harian dari individu, bebas dari bahan yang berbahaya, dan dapat diterima dalam budaya yang bersangkutan • Ketersediaan dari pangan tersebut dalam hal ini berkelanjutan dan tidak akan menyalahi penikmatan hak azasi manusia lainnya. Dalam konteks ini Brandstäter (2002) menyatakan akses adalah fundamental. Ini harus cukup dalam hal kualitas dan jumlah. Suatu ketika pernah didefinisikan BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 31
  • 32. dengan istilah pemasukan (intake) nutrisi, kalori dan protein. Konsekuensi dari kekurangan pangan, kelaparan dan kekurangan gizi, dapat didiagnosa dengan pertimbangan medis. Terdapat minimum standard yang universal dalam semua keadaan: Pasal 11(2) ICESCR sebagai hak yang fundamental right untuk bebas dari kelaparan. Dalam perspektif ini, maka bisa saja memandang kebutuhan makan harian minimal seperti halnya kebutuhan pendapatan minimal guna mencegah kelaparan dan kekurangan gizi serta kekurangan dari kebutuhan dasar lainnya bagi kelompok yang kekurangan. Ini sering disebut dengan absolute poverty line atau basic needs line, di mana kebutuhan pendapatan untuk standar kehidupan yang layak menurut Pasal 1191) disebut relative poverty line. Tidak adanya kemiskinan absolut dapat dilihat sebagai minimum standard menurut hak azasi kepada standar kehidupan yang layak. Dalam istilah pendapatan garis kemiskinan relatif biasanya didefinisikan sebagai persentase dari rata-rata penghasilan per kapita dalam suatu negara. Kebanyakan ilmuwan sosial setuju bahwa semua yang di bawah 40% dari penghasilan per kapita biasanya dilihat sebagai kekurangan relatif. Oleh sebab itu tanda 40% disebut dengan “relative poverty line” atau “adequacy line”. Interdependensi dari hak azasi • Hak atas pangan adalah bagian dari hak atas standar kehidupan yang layak. • Hak ini dapat dilihat untuk dilaksanakan melalui alih kesejahteraan sosial, melalui hak untuk memperoleh kehidupan atau melalui hak atas keamanan sosial, di dalam suatu kondisi dimana orang orang tidak mendapatkan kehidupan mereka (yang layak). • Hak untuk bekerja: bagi banyak kelompok rentan, hak atas pangan berarti hal yang utama dari semua hak keluarga atau masyarakat untuk memberi makan mereka sendiri. Ini berarti bahwa akses kepada sumberdaya produktif dan pekerjaan. Kebanyakan orang menyadari hak mereka atas pangan dengan menyadari hak mereka akan pekerjaan. • Hak untuk kesehatan: hubungannya jelas untuk pertanyaan kekurangan gizi, yang merupakan penyebab terbesar dari besarnya jumlah kematian yang berhubungan dengan kesehatan di belahan bumi Selatan. Dan lagi, pengaruh teknik produksi pertanian yang dikembangkan oleh agrobisnis telah mengancam kesehatan semua orang. • Hak asasi perempuan atas pangan: dalam undang undang, kondisi ekonomi dan sosial perempuan telah dirugikan. Hak azasi perempuan terdapat dalam banyak situasi yang ditimbulkan pada hak azasi mereka atas pangan. • Hak asasi budaya dan minoritas yang berhubungan dengan pangan telah dihargai, dilindungi dan dipenuhi. Dalam banyak kasus ini mengharuskan 32 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 33. masyarakat untuk memberi makan sendiri. Hal ini jelas untuk masyarakat adat. Masyarakat ini menilai pangan sebagai bagian dari budaya mereka. • Di dalam banyak kondisi (masyarakat adat) perlu melihat kepada hak azasi atas pangan, dan dalam hak azasi tertentu hak untuk memberi makan diri sendiri, adalah hak masyarakat. • Kebanyakan pengamat setuju bahwa reformasi pertanian merupakan kondisi yang penting untuk melaksanakan hak azasi atas pangan itu sendiri. --- Memberlakukan Hak-hak ESC Melalui Sistem Hukum Domestik Justiciability berarti: Kasus dapat diajukan ke pengadilan. Paling tidak itu adalah kewajiban negara untuk menjamin perlindungan hukum dari hak-hak ESC yang dilindungi secara internasional. Lihat General Comment 9: “… maksud pelaksanaan yang dipilih harus cukup untuk menjamin pemenuhan dari kewajiban Convenant. Kebutuhan untuk menjamin justiciability akan relevan bila menjelaskan cara terbaik untuk memberi pengaruh hukum domestik kepada hak-hak Covenant.” (para7) Disarankan strategi berikut: i. Menggunakan pengadilan untuk menjamin pelaksanaan hak ESC secara langsung. Identifikasi kelalaian pemerintah. ii. Pastikan justiciability dengan meminta informasi publik tentang status perwujudan hak-hak ESC (see General Comment 1). iii. Dapatkan kewajiban pemerintah untuk hak hak ESC dari hak-hak asasi sipil dan politik, contohnya, yang berhubungan dengan hak azasi untuk hidup. iv. Bentuk kewajiban untuk hak-hak azasi ESC berdasarkan pada prinsip non- diskriminasi, lihat tidak hanya Pasal 2.2 ICESCR, tetapi juga Pasal 26 ICCPR. v. Bentuk kewajiban untuk hak azasi ESC berdasarkan pada hak asasi yang tidak dapat dipisahkan vi. Gunakan konsep jaminan non-regresi dalam menikmati hak asasi ESC – dengan kata lain, pelarangan pada adopsi kebijakan, tindakan dan undang- undang yang memperburuk situasi hak azasi ESC yang telah dinikmati oleh penduduk ... satu dari kewajiban yang jelas adalah pemberlakuan keadilan. vii. Hak untuk perlindungan keadilan dan jaminan dari proses untuk melindungi hak asasi ESC (p 427). Hak untuk perlindungan keadilan adalah BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 33
  • 34. satu dari hak-hak yang penting yang dijamin dalam hak asasi manusia yang dapat memberikan keuntungan efektif untuk justiciability dari hak-hak ESC. Terdapat 3 komponen penting dari jaminan oleh proses dalam perangkat Eropa, Amerika dan Afrika: a. Tinjauan keadilan yang memadai dari keputusan administratif b. Waktu yang beralasan c. Kesetaraan tentara (jaminan prosedur yang setara) viii. Menterjemahkan konstitusi negara dan jaminan hukum menggunakan norma internasional ix. Menggunakan hak yang lebih tinggi dari pengadilan di negara lain --- PANDUAN 15: BANTUAN PANGAN INTERNASIONAL 15.1 Negara-negara donor harus menjamin bahwa kebijakan bantuan pangan mereka membantu upaya upaya nasional oleh Negara penerima untuk mencapai keamanan pangan dan berdasarkan ketentuan bantuan pangan mereka yang mendasarkan pada penjajakan kebutuhan yang mentargetkan khususnya ketidaktahanan pangan dan kelompok-kelompok rentan. Dalam konteks ini, negara donor harus memberikan bantuan dengan memperhitungkan keamanan pangan, yang penting tidak merusak produksi pangan lokal dan kebutuhan nutrisi dan makanan harian serta budaya masyarakat negara penerima. Bantuan pangan harus diberikan dengan strategi keluar (clear exit strategy) yang jelas dan menghindari terbentuknya ketergantungan. Donor harus mempromosikan peningkatan penggunaan pasar-pasar komersial domestik dan regional untuk memenuhi kebutuhan pangan di negara negara yang cenderung kelaparan dan menurunkan ketergantungan pada bantuan pangan. 15.2 Transaksi bantuan pangan internasional, seperti bantuan pangan bilateral yang dimonetisasi, harus dilaksanakan sesuai dengan FAO Principles of Surplus Disposal and Consultative Obligation, Food Aid Convention dan WTO Agreement on Agriculture, dan harus memenuhi standar-standar keamanan pangan yang telah disetujui secara internasional, menurut keadaan lokal, tradisi dan budaya makan. 15.3 Negara dan pelaku bukan pemerintah yang relevan, sesuai dengan hukum internasional, aman dan tidak dirintangi aksesnya kepada penduduk yang membutuhkan, seperti untuk penjajakan kebutuhan internasional dan agensi agensi kemanusiaan yang terlibat dalam distribusi bantuan pangan internasional. 15.4 Ketentuan bantuan pangan internasional dalam keadaan darurat harus khusus memperhitungkan tujuan-tujuan rehabilitasi dan pembangunan jangka panjang di 34 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 35. negara penerima dan harus menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan yang diakui secara internasional. 15.5 Penjajakan kebutuhan dan perencanaan, pemantauan dan evaluasi ketentuan bantuan pangan harus, sebisa mungkin, dibuat dengan cara partisipatif, dan bila mungkin, dalam kolaborasi yang dekat dengan pemerintah penerima pada tingkat nasional dan lokal. 10 Februari 2006 18:09:49 Laporan Advokasi Hak Atas Pangan PBHI: RAKYAT BUTUH PANGAN BUKAN PENGGUSURAN 1. Mengapa Hak Atas Pangan Banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau, sesungguhnya menunjukan masih kacaunya pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Pun demikian dengan persoalan air bersih terutama di kota besar seperti Jakarta. Dengan maksud membenahi manajemen di perusahaan daerah air minum, PAM JAYA diprivatisasi, tapi apa yang menjadi hasil, kualitas air masih buruk dan harganya kian mahal. Maka pengelolaan sumber daya air berpengaruh kepada hak atas pangan masyarakat. Namun ditengah situasi tersebut Mahkamah Konstitusi (MK) justru menolak permohonan judicial review dari organisasi-organisasi masyarakat sipil (Civil Soceity Organizations – CSOs) atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, sebuah undang-undang yang dinilai melanggar UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tentang Hak Asasi Manusia serta lebih mengedepankan kepentingan modal internasional terutama World Bank (Bank Dunia) dan Asian Development Bank (Bank Pembangunan Asia) dan membatasi hak akses masyarakat kepada air. Meski demikian Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ternyata tidak menunjukan sikap yang tegas dalam perlindungan hak asasi manusia sebagai amanatnya sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tentang HAM. Dalam situasi tersebut di atas, juga muncul wabah gizi buruk dan busung lapar di beberapa tempat di Indonesia. Pemerintahan SBY-JK menjawab permasalahan tersebut dengan revitalisasi pertanian. Akan tetapi tanpa reforma agraria, maka revitalisasi pertanian dikhawatirkan hanya akan menciptakan “Revolusi Hijau Jilid Kedua. Kekhawatiran akan hancurnya pertanian dengan ketiadaan reforma agraria, seakan menjadi kenyataan ketika pemerintahan SBY-JK, sebagai tindaklanjut dari Konfenrensi Infrastruktur 2005 (Infrastruktur Summit 2005) mengeluarkan BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 35
  • 36. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dan kembali organisasi-organisasi masyrakat sipil melakukan aksi penolakan salah satunya dengan legal reform dengan mengajukan judicial review Perpres 36 Tahun 2005 ke Mahkamah Agung (MA) dengan pengalaman kekalahan judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang pengelolaan Sumber Daya Air dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomer 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang- Undang di MK. PBHI, dalam rangka pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak masyarakat kepada sumber-sumber agraria (tanah, air, dan pangan), selain melakukan aksi penggalangan opini (opinion building) lewat kampanye publik serta aksi massa juga melakukan legal work bersama dalam koalisi, juga membuat terobosan atau inisiatif dengan mengadakan audiensi ke Komnas HAM menuntut agar Komnas HAM bersikap kepada KTT Infrastruktur 2005. Komnas HAM memang telah mengeluarkan rekomendasinya atas Perpres 36/2005, namun sikap terhadap hasil-hasil KTT Infrastruktur 2005 tetap signifikan dan mendasar, dikarenakan ada secarama modus operandi yang sama antara hasil-hasil KTT Infrastruktur 2005 dengan progam developmentalism dan Marshal Plan, yaitu internasionalisasi modal tanpa batas. Dalam konteks mekanisme HAM nasional dan internasional, Special Rapporteur on Rights to Food yang dibentuk Komisi HAM PBB, telah menawarkan kerangka acuan bagi perlindungan hak atas pangan dan mengeluarkan rekomendasi bahwa tanpa reforma agraria, maka kelaparan dan kemiskinan tidak bisa diatasi. Komnas HAM yang kala itu diwakili oleh bapak Saffroedin Bahar, kurang lebih mengatakan bahwa Komnas HAM dalam tema agraria masih berkonsentrasi dengan penyelesaian konflik agraria di masa lalu dengan mendorong terbentuknya KNUPKA (Komisi Nasional untuk Poenyelesaian Konflik Agraria) dan invetarisasi hukum adat. Sedang PBHI sendiri memilih jalan dalam rangka pemajuan dan pembelaan hak asasi manusia akan melakukan pendampingan hukum kepada masyarakat dalam rangka menyelesaikan konflik agraria dan mendorong tema reforma agraria dalam rangka pemajuan HAM dari membanguan wacana atau discourse (social justice initiative) hingga ke legal reform serta akan mengikuti mekanisme advokasi hak atas pangan yang ditawarkan Pelapor Khusus Hak Atas Pangan. Sebagai tindaklanjut dari itu, PBHI kembali mendatangi Komnas HAM untuk memberikan tawaran tematik tentang perlunya Komnas HAM melakukan 36 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 37. assessment hak atas pangan dengan realita busung lapar, gizi buruk, flu burung dan anthrax sebagai pintu masuk. Bapak Ansyari Thayib dari Komnas HAM yang kala itu menerima delegasi PBHI, kemudian menawarkan kerjasama penyelengggaran Focus Group Discussion (FGD) tentang hak atas pangan. Bapak H Amidhan selaku ketua subkomisi Ekosob Komnas HAM, kemudian meminta PBHI agar membikin rincian yang lebih detil mengingat Komnas HAM pernah menyelenggaran seminar hak atas Pangan. Dari studi PBHI atas dokumen-dokumen seminar hak atas pangan Komnas HAM, PBHI menyimpulkan ada beberapa hal yang semestinya segera ditindaklanjuti. 2. Mendisain Pemenuhan dan Perlindungan Hak Atas Pangan Untuk mendukung basis pengetahuan PBHI sebagai bekal FGD, maka PBHI menyusun working paper (kertas kerja) berfungsi sebagai bagian dari pemantauan, analisis, dan sebagai bahan kampanye. Yang mana paper tersebut mencakup peta rawan pangan, evaluasi kebijakan publik negara dan studi instrumen-instrumen HAM yang mengatur perlindungan hak atas pangan. FGD Hak Atas Pangan diselenggarakan tanggal 24 November 2005, dihadiri oleh multi stake holder yang terkait dengan hak atas pangan, mulai dari instansi negara, human rights defender, ormas tani, gerakan mahasiswa, kelompok perempuan, ormas keagamaan, dan lain-lain. Daftar Peserta Focus Group Discussion TentangPenganturan dan Realitas Pemenuhan Hak Atas Pangan Kerjasama: Komnas HAM dan PBHI, 24 November 2005 No Institusi PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Komisi Nasional Hak Asasi Manusia FSPI (Federasi Serikat Petani Indonesia) FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia) Departemen Perikanan dan Kelautan Komisi Nasional Perempuan YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Departemen Sosial ISAC (Institute of Studi and Advocacy) Migrant Care INFID (Internasional NGO for Indonesia Development) BKP-Deptan (Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian) BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 37
  • 38. Bina Swadaya Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia) Departemen Perindustrian Dirjen pertanian dan Pangan (Bappenas) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Biro Hukum Departemen Perdagangan UPC (Urban Poor Consortium) Komisi IV DPR RI Yayasan Sosial Bina Desa Agra (Aliansi Gerakan Reforma Agraria) PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) FMN (Front Mahasiswa Nasional) Beberapa Hal yang Mengemuka dalam FGD hak atas pengan tersebut adalah sebagi berikut: A. Guidelines atau Code of Conduct Pemenuan Hak Atas Pangan Prinsip umum dari hak atas pangan, adalah, pertama, pemenuhan hak atas pangan rakyat adalah tanggungjawab negara. Kedua, ketahanan pangan hanya bisa dicapai jika ada kecukupan lahan bagi produksi pangan, distribusi yang baik produksi pangan, dan ketersedian pangan pangan yang dkonsumsi. Sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, khususnya hak ekonomi, sosial dan budaya, sudah cukup banyak instrumen dan mekanisme hak asasi manusia internasional dan nasional yang bisa dijadikan guidelines. Diluar instrumen utama hak asasi manusia internasional, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), dan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), ada World Food Summit, CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), UN Millenium Developments Goals (MDGs) dan lain. Di Indonesia instrumen dan mekanisme HAM juga bisa dibilang lebih dari mencukupi. Beberapa diantaranya adalah UUD 1945 BAB XA Hak Asasi Manusia Pasal 28 A- 28 J, Tap MPR Nomer 17 Tahun 1998 tentang HAM, Tap MPR Nomer 7 Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, Undang- Undang Nomer 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomer 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM, dan Undang-Undang Nomer 27 Tahun 2005 38 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 39. tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvenan internasional HAM. Namun di luar instrumen HAM, banyak juga instrumen yang justru mengganggu hak atas pangan, misalnya kesepakatan-kesepakatan di WTO (World Trade Organization/Organisasi Perdagangan Dunia), termasuk juga perjanjian bilateral dengan negara dengan IMF (International Monetary Fund/Lembaga Keuangan Internasional), World Bank (Bank Dunia), ADB (Asian Development Bank/ Bank Pembangunan Dunia), hal ini terkait dengan kebijakan negara tentang privatisasi, pencabutan subsidi, dan liberalisasi perdagangan dan permodalan yang disponsori lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut. Negara (pemerintah RI) memang telah membikin instrumen (badan dan produk hukum) dalam rangka pemenuhan hak atas pangan, yaitu Badan Ketahanan Pangan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Namun dalam kenyataan negara gagal memenuhi hak atas pangan dan bahkan mengeluarkan kebijakan ekonomi yang memiskinkan rakyat yang berdampak pada situasi rawan pangan Untuk itu, dalam konteks legal, diperlukan Judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan produk hukum yang kontraproduktif dengan pemenuhan hak atas pangan. Salah satu kendala adalah pertanyaan bagaimana produk hukum yang kontraproduktif dengan ketahanan pangan akan tetapi Mahkamah Konstitus (MK) menolak judicial review, contohnya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, C. Social Policy Pemenuhan hak atas pangan memerlukan langkah yang komprehensif dan lintas sektoral, yang mana hal tersebut tercermin dari kebijakan publik negara, yang hal tersebut meliputi: Pelaksanaan Reforma agraria dalam rangka melindungi hak akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria: kecukupan lahan, irigasi, air minum, dan kebijakan pertanian Perubahan sistem ekonomi dan perlindungan ekonomi rakyat Kebijakan perburuhan yang melindungi sektor informal, buruh migran, dan buruh industri Pemberdayaan dan perlindungan sektor usaha mikro (informal dan pertanian) Perlindungan hak akses masyarakat terhadap lapangan kerja BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 39
  • 40. Jaminan sosial masyarakat dan Jatah Hidup (Jadup) bagi pengungsi bencana alam maupun wilayah konflik Tanggung jawab negara untuk memberikan pemahaman tentang gizi yang benar terhadap dan perlindungan bahan pangan dari virus (flu burung dan anthrax dan bahan kimia yang berbahaya termasuk kualitas air minum D. Pemerintahan Agar kebijakan publik negara dapat berjalan diperlukan anggaran dan solusi pembiayaan yang tercermin di APBN. Hal ini tentu sangat terkait dengan politik anggaran, kebijakan fiskal dan bagimana negara memanajemen hutang dan pembayaran hutang luar negeri. Secara teknis pula dibutuhkan penyelerasan strategis atau sinkronisasi kebijakan dan koordinasi antar departemen dan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, hal ini tentu terkait dengan pengelolaan otonomi daerah. E. Rencana Aksi Diperlukan segera tindakan sesuai dengan mandat organisasinya masing-masing ataupu secara bersama yang itu berupa: Kampanye mendorong reforma agraria sebagai kata kunci penyelesaian situasi rawan pangan dan pemnuhan hak atas pangan Menjadikan World Food Sumit sebagai momentum Aksi menuntut pertanggungjawaban negara hak atas pangan yang melibatkan massa rakyat (pendidikan dan pengorganisiran) Legal work (judicial riview Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, gugatan class action atas kegagalan negara memenuhi hak atas pangan masyarakat, legal drafting sebagai bagian dari legal reform produk hukum terkait dengan pemenuhan hak atas pangan, dan penggunaan mekanisme HAM nasional dan internasional dalam rangka pembelaan dan perlindungan hak atas pangan Perlunya segara Komnas HAM melakukan assesment atau audit pelaksanan hak atas pangan yang dilakukan negara. Gunawan, PBHI 2005 http://www.pbhi.or.id/content.php?id=54&id_tit=6 --- 40 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
  • 41. United Nations High Commissioner for Human Rights The right to food Commission on Human Rights resolution 2000/10 (…) 2. Also reaffirms the right of everyone to have access to safe and nutritious food, consistent with the right to adequate food and the fundamental right of everyone to be free from hunger so as to be able fully to develop and maintain their physical and mental capacities; (…) 8. (…) Committee on Economic, Social and Cultural Rights in promoting the right to adequate food, in particular its General Comment No. 12 (1999) on the right to adequate food (art. 11 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), in which the Committee affirmed, inter alia, that the right to adequate food is indivisibly linked to the inherent dignity of the human person and is indispensable for the fulfilment of other human rights enshrined in the International Bill of Human Rights and is also inseparable from social justice, requiring the adoption of appropriate economic, environmental and social policies, at both the national and international levels, oriented to the eradication of poverty and the fulfilment of all human rights for all; 52nd meeting 17 April 2000 [Adopted by a roll-call vote of 49 votes to 1, with 2 abstentions. ] What is the right to food? Since its inception, the United Nations has identified access to adequate food as both an individual right and a collective responsibility. The 1948 Universal Declaration of Human Rights proclaimed that "everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and his family, including food…". Nearly 20 years later, the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966) developed these concepts more fully, stressing "the right of everyone to … adequate food" and specifying "the fundamental right of everyone to be free from hunger". So, what is the distinction between the right to be free from hunger and the right to adequate food? The right to freedom from hunger is fundamental. This means that the state has an obligation to ensure, at the very least, that people do not starve. As such, this right is intrinsically linked to the right to life. In addition, however, states should also do everything possible to promote full enjoyment of the right to adequate food for everyone within their territory -- in other words, people should have physical and economic access at all times to food that is adequate in quantity and quality for a healthy and active life. For food to be considered adequate, it must also be culturally acceptable and it must be produced in a manner that is environmentally and socially sustainable. Finally, its provision should not interfere with the enjoyment of other BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 41