1. Dokumen ini membahas hak atas pangan dan ketahanan pangan di Indonesia, terutama di komunitas pulau-pulau kecil.
2. Hasil studi menunjukkan bahwa komunitas pulau kecil bergantung pada pasar dan sumber lain untuk pangan, dengan akuntabilitas negara yang lemah.
3. Rekomendasinya adalah meningkatkan partisipasi komunitas dalam perencanaan anggaran melalui pendekatan hak asasi manusia untuk memastikan h
Hak atas pangan pulau kecil position paper-biotani ind-fina_ldraft
1. PAN Indonesia
Bio tani
Final Draft
Kertas Posisi
Mempromosikan
Hak atas Pangan
Sebagai upaya Kecil Untuk Penegasan
Realisasi Progresif Ketahanan Pangan Dalam konteks Nasional
(Position paper: Ensure Rirght to Food for All Now!
Make Food a Fundamental Right!
and position for Moving Towards realisation Right to Food)
BioTani Indonesia
Seruan
1. Arusutamakan Hak atas Pangan lokal, dan realisasikan potensi aliansi,
2. Tingkatkan kerjasama internasional dalam upaya menyusun pantauan terhadap
pelaksanaan progresif hak atas kecukupan pangan,
3. Konsolidasikan upaya pemantauan dan lobby untuk intervensi sebagai pendukung
upaya realisasi progresif (harmonisasi legislasi, memantau, dan intervensi) terhadap
kemungkinan adanya perubahan/amandeman UUD 1945, maupun legislasi.
I. Ancangan Posisi
Hak atas kecukupan Pangan telah berhasil disusun oleh FAO pada bulan
November 2004 dan diadopsi 187 anggota FAO dalam wujud satu panduan sukarela.
Panduan sukarela ini dimaksudkan sebagai pendukung bagi Negara anggota FAO guna
merealisasikan secara progresif hak atas kecukupan pangan dalam konteks ketahanan
pangan nasionalnya. Meskipun jauh dari sempurna dari apa yang diidealkan oleh
masyarakat madani, baik isi (soal sumberdaya genetik: Tjahjadi, 2004), maupun juga
isi keseluruhannya dan format statusnya (dari elaborasi Draft Code of Conduct to
Voluntary Guideline: Fian 2004; Special Rapporteur, 2004), namun panduan sukarela
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 1
2. ini dalam pandangan masyarakat madani dewasa ini merupakan instrumen terbaru
yang paling komprehensif, dan menurut Sofia Monsalve Suárez and Sandra Ratjen (
2006) yang disepakati negara-negara di dunia dalam mendefinisikan hak atas pangan
dan kewajiban-kewajiban terkait oleh negara. Panduan ini maksudnya merupakan
penjabaran hak atas pangan dalam Pasal 11 (the right to adequate food and the
fundamental right to be free from hunger) dalam Kovenan Ekosob yang membutuhkan
penafsiran lebih lanjut untuk melaksanakan hak atas pangan, khususnya dalam rangka
memberikan definisi isi dari hak dan kewajiban Negara. Panduan Sukarela inilah
jawabannya – yang beranjak dari General Comment Nomor 12 tahun 1999, Pasal 15:
kewajiban untuk menghargai, melindungi, dan memenuhi (fasilitasi, promosi, dan
membantu) dari para pakar Kovenan Ekosob, dan termasuk juga menjabarkan
substansi dari apa yang disebut oleh Asbjørn Eide (1999) Clarifying the Right to Food
and Nutrition and the Corresponding State Obligations kepada Komisi HAM PBB.
Dewasa ini Panduan Sukarela ini pun dipandang masyarakat madani (FIAN)
sebagai langkah penting untuk menetapkan standar bagi hak atas pangan, dan
panduan praktis bagi Negara untuk memakai HAM untuk mencapai ketahanan
pangan. Dalam waktu kurang dari dua tahun FAO berhasil mengadopsi Panduan
Sukarela hak atas kecukupan pangan ke dalam sistem PBB yang lebih luas, atas
dukungan komunitas HAM, guna memerangi kelaparan dan malnutrisi
(www.fao.org/docrep/meeting/009/y9825e/y9 825e00.htm, June 2005).
Apakah yang dimaksud dengan mencapai ketahanan pangan dengan memakai
HAM?
Panduan Sukarela tidak berisi atau menciptakan ikatan baru mengenai kewajiban-
kewajiban hukum; nilainya terletak dalam kemampuannya untuk membantu
menterjemahkan hak menjadi rekomendasi untuk suatu tindakan yang konkrit, dan
dalam kegunaannya sebagai rujukan yang penting untuk orientasi kebijakan dan
program nasional (Mischler et all, FAO 2006). Namun, manfaat terbesar dari Panduan
Sukarela ini adalah bahwa panduan ini memberikan prioritas untuk memampukan
orang untuk memberi makan dirinya sendiri, dan mengulang kembali kewajiban untuk
memberikan pangan bagi mereka yang secara temporer/ sementara waktu, atau
permanen tidak dapat memanfaatkan sumberdaya, seperti lahan atau kredit sebagai
upaya memberi pangan bagi dirinya sendiri. Cara dari dua tujuan tersebut dapat
dicapai dengan kemestian berkorespondensi pada prinsip-prinsip yang dikandung
dalam HAM. Yaitu penguatan (empowerment), partisipasi, dan transparansi, serta tidak
pandang bulu (non-discrimination) – dalam proses politik pada semua aras –
mengenai desain, perencanaan, pelaksanaan atau pemantauan. Salah satu contoh,
Penguatan dalam kerangka HAM adalah memampukan individu untuk mengecek
akuntabiltas Negara sebagai pemegang tanggungjawab dan kewajiban (duty holders)
terhadap kemiskinan, dan karenanya, kelaparan yang membelenggunya.
2 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
3. Terkait dengan upaya-upaya implementasi Hak atas Kecukupan Pangan tidaklah
cukup dengan tangan kosong, ataupun menyiarkan hasil-hasil observasi BioTani
Indonesia selama berlangsungnya negosiasi penyusunan Hak atas Kecukupan Pangan
di FAO Roma Italia, maka BioTani Indonesia menjajaki dengan satu studi tentang
ketahanan pangan pada komunitas di 9 pulau kecil di 6 provinsi di Indonesia.
Rinciannya P. Bukuh Batam di Kep. Riau, P. Tunda di Serang Banten, P. Tidung di
Kep. Seribu DKI Jaya, P. Sapudi di Madura Jatim, P. Balang Lompo, dan P. Karanrang
di Pangkep Sulsel, P. Talaga, P. Makassar, dan P. Kabaena di Sekitar P. Buton Sultra.
pemilihan pulau-pulau kecil dilakukan berdasarkan persyaratan kedekatannya dengan
kota besar yang umumnya merupakan ibukota provinsi
Hasil studi Biotani Indonesia
Mengetahui, dan menganalisis pemahaman komunitas yang tinggal di pulau
kecil atas konsep ketahanan (hak atas) pangan
Menjelaskan variabel-variabel yang mempunyai pengaruh terhadap ketahanan
pangan penduduk di pulau kecil.
Sebagai catatan studi ini lingkupnya terbatas, berfokus hanya kepada pangan –
tidak termasuk air dan sumberdayanya - dengan metode survei lapang, bukan
memakai kuesioner yang mendalam (Oxfam GB, 2006). Kesimpulan studi
Komunitas responden yang tinggal di pulau-pulau yang diteliti sebagian
terbesar adalah kelompok usia produktif, dengan tingkat pendidikan rendah
dan mayoritas, memang bermata pencaharian sebagai nelayan.
Mereka yang berusia lebih muda, cenderung memiliki jumlah anggota keluarga
kecil (dua orang anak), sementara yang berusia lebih tua cenderung
mempunyai anggota keluarga menengah (hingga delapan orang dalam satu
keluarga).
Hasil perolehan tangkapan rata-rata nelayan dalam sekali melaut adalah sebesar
11.5 kilogram setara ikan – jenis ikan tidak disebut responden.
Bagian terbesar nelayan menggunakan perahu bermesin dan jaring serta mata
pancing dalam proses produksinya. Kenaikan harga BBM tentunya mempunyai
dampak serius terhadap proses produksi tersebut.
Dilihat dari frekwensi kebiasaan makan, bagian terbesar responden( 98 persen)
mengaku terbiasa makan paling tidak dua kali dalam sehari dengan menu
utamanya nasi disertai lauk. Separuh lebih (55 persen) menyatakan pernah
mengalami makan kurang dari biasanya.
Hampir separuh (46 persen) dari responden yang menyatakan pernah
mengalami kurang pangan tersebut, hal ini dialami 2-3 kali dalam sebulan.
Sekitar 20 persen darinya mengakui pernah tidak makan sama sekali dalam
sehari. Kekurangan pangan ini diakui juga menimpa anak-anak mereka.
Dari mereka yang pernah mengalami masalah kurang pangan tersebut,
penyebab utamanya adalah kekurangan yang berkaitan dengan uang dan akses
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 3
4. serta sumber dana yang tersedia. Umumnya komunitas (nelayan) yang
mengalami masalah kekurangan uang ini menghubungi sanak keluarga dan
pedagang/pemilik toko untuk mendapatkan bantuan
Rendahnya daya-beli dan kesulitan dalam mengakses sumber dana dan pasar
sebagai penyebab kondisi rawan pangan, diperburuk lagi dengan fakta bahwa
lebih dari 60 persen pengeluaran mereka digunakan untuk pangan. Pada sisi
lain hasil produksi sendiri komunitas pulau kecil hanya menduduki peringkat
ketiga setelah “sumber lainnya”.
Bagian terbesar responden mengaku tidak mengetahui tentang adanya regulasi
yang mengatur tentang pangan baik nasional maupun daerah dan lokal. Mereka
cenderung lebih peduli dengan regulasi yang berkaitan langsung dengan
profesi mereka sebagai nelayan.
Lebih dari separuh responden menyatakan mereka tidak mengetahui upaya-
upaya pelestarian lingkungan di sekitar mereka, terutama tentang hutan bakau.
Namun menurut mereka hutan bakau sangat sesuai di Indonesia
Hasil uji empirik memperlihatkan daya-tahan terhadap masalah pangan
keluarga berkaitan erat dengan tingkat pendidikan ibu dan pendapatan
keluarga, meskipun pengaruh tersebut relatif kecil untuk variabel yang terakhir.
Hasil produksi keluarga nelayan ternyata tidak mendukung hipotesis akan
pengaruhnya terhadap ketahanan pangan.
Rekomendasi studi
Rekomendasi
A
P
c Akuntabilitas dan Partisipasi
a
c Duty bearer r
o
t
u
Human Rights
i
n
Fulfils are: Claims c
t Universal
responsibility right i
a towards
Inalienable
Indivisible
from p
b
a
i
t
l Right holder i
i
o
t
n
y
4 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
5. 1. Ketergantungan pada pasar cukup tinggi meskipun ketersediaan komoditas
pangan – volume dan keteraturan pasokan dari pulau besar – di pasar pulau
kecil belum memadai identifikasinya dalam studi ini. Dalam pengamatan
selama studi terlihat PDS, public distrubution system berkecenderungan kuat
adalah prakarsa dan swakelola oleh anggota komunitas. Negara – sebagai Duty
bearer – amat lemah accountability-nya dalam melaksanakan kewajibannya
terhadap right holder, yaitu komunitas maupun individu di pulau kecil –
terbilang tinggi partisipasinya dalam pemenuhan “kecukupan” pangannya.
Sementara itu, pada sisi lain hasil produksi sendiri komunitas pulau kecil hanya
menduduki peringkat ketiga setelah “sumber lainnya”.
2. Ketergantungan pada pasar cukup tinggi meskipun ketersediaan komoditas
pangan – volume dan keteraturan pasokan dari pulau besar – di pasar pulau
kecil belum memadai identifikasinya dalam studi ini. Dalam pengamatan
selama studi terlihat PDS, public distrubution system berkecenderungan kuat
adalah prakarsa dan swakelola oleh anggota komunitas. Negara – sebagai Duty
bearer – amat lemah accountability-nya dalam melaksanakan kewajibannya
terhadap right holder, yaitu komunitas maupun individu di pulau kecil –
terbilang tinggi partisipasinya dalam pemenuhan “kecukupan” pangannya.
Sementara itu, pada sisi lain hasil produksi sendiri komunitas pulau kecil hanya
menduduki peringkat ketiga setelah “sumber lainnya”.
3. Pendekatan solusi dari sisi komunitas pulau kecil kepada negara, dengan skema
lunak pula, berupa pertanyaan: Is There a Right Not to be Hunger or Poor?
Dengan dasar pertanyaan ini, maka musti dimulai (positive freedom
approaches; Sen 1987) melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang). Musrenbang sebagai awal Proses penyusunan APBD - dari
tingkat desa, kabupaten hingga provinsi - dapat ditingkatkan fungsi
instrumentalnya untuk lebih mempedulikan komunitas pulau kecil, termasuk
aspek-aspek ketahanan pangan “berbasiskan hak atas pangan”
ditumbuhkembangkan ke dalam penyusunan anggaran belanja secara
partisipatif (right-based approach). Dengan demikian kewajiban negara untuk
memastikan adanya kecukupan pangan, pada gilirannya, dapat dipantau oleh
publik secara luas, maupun digugat oleh komunitas yang bersangkutan.
Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, dapat disusun satu catatan penting kepada
pemerintah RI, sebagai berikut.
- Pemerintah mesti merancang dan mengadopsi peraturan yang mengutamakan
hak asasi manusia dalam mendesain kebijakan terkait dengan ketahanan pangan dan
gizi,
- Pemerintah musti melaksanakan mekanisme yang efektif dan menetapkan
prosedur pengaduan (effective monitoring mechanisms and complaints procedures)
pada semua aras, tetapi khususnya pada tingkat kebupaten dan tingkat desa,
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 5
6. - Pemerintah dan para donor musti mengadopsi dan mendukung program
berjangka panjang yang tujuannya secara khusus bagi pelaksanaan kebijakan
swasembada pangan.
II. Persoalan yang dihadapi
Konstitusi Republik Indonesia
Tidak dicantumkannya secara eksplisit jaminan terpenuhinya hak atas pangan
dalam perumusan Pasal 28 H ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945, bahwa “Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”
Hak atas pangan dicantumkan secara implisit, tetapi berkaitan dengan beberapa hak
dasar manusia lainnya. Sebagai perbandingan Hak atas pangan dalam Konstitusi Afrika
Selatan memperoleh pengakuan secara tegas mengacu kepada hak memiliki akses
kepada kecukupan pangan.
The right of everyone to have access to sufficient food (section 27(1)(b))
The right of children to basic nutrition (section 28(1)(c))
The right of prisoners and detainees to adequate nutrition (section 35(2)(e)).
Mochamad Isnaeni Ramdhan (2004) menyatakan (...) dalam Perubahan Undang-
Undang Dasar 1945 telah diatur jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia dan
Warganegara secara lebih rinci daripada sebelumnya. Namun demikian, konstitusi
merupakan hukum dasar sehingga pengaturan terhadap substansi konstitusi memang
diformulasikan secara abstrak, umum sedangkan penyelenggaraan lebih lanjut diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut ia menyarankan
1. jika hak atas pangan perlu diatur dalam konstitusi maka beberapa langkah yang
dapat dilakukan antara lain mengajukan nalaran akademik perlunya hak atas
pangan diatur dalam pasal tersendiri dalam konstitusi. Nalaran akademik tersebut
perlu dipresentasikan rapat yang diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
2. jika dikaitkan dengan praktek penyelenggaraan jaminan hak atas pangan yang
kurang optimal, maka tuntutan terhadap perumusan peraturan pelaksana dalam
bentuk undang-undang yang wajib diprioritaskan, sehingga lembaga negara yang
harus diajak berunding adalan Dewan Perwakilan Rakyat serta Pemerintah.
Pasal 28 I ayat (5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang undangan.
6 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
7. Perundangan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan tidak mencantumkan Hak
atas Pangan, namun secara eksplisit menyatakan kewajiban mewujudkan ketahanan
pangan. UU tersebut dalam kenyatannya memang, mengamanatkan bahwa
pemerintah bersama masyarakat mewujudkan ketahanan pangan. Namun tampak,
bahwa pemerintah berbagi kewajiban Negara secara berjenjang, yaitu dari Negara
kepada keluarga secara individual - hal ini seirama dengan alam pikiran Kelirumologi
- contohnya, sistem demokrasi Pancasila yang diasaskan kepada kekeluargaan yang
ditumbuhkembangkan oleh Soeharto. Berbagi kewajiban Negara dapat dilihat pada
pernyataan Kaman Nainggolan (2006) tentang RUANG LINGKUP KETAHANAN
PANGAN. Khususnya Lintas Wilayah: Nasional, Daerah, dan RT. RT, dalam hal ini,
tidak diuraikan kepanjangannya, namun secara akal sehat dapat diartikan sebagai
rumah tangga, bukan rukun tetangga.
Adapun rujukannya, ialah
BAB VII KETAHANAN PANGAN, Pasal 45,
Ayat 1
Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan
ketahanan pangan.
Ayat 2
Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan
pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli
masyarakat.
Sebagai tambahan mengenai tanggungjawab Negara dalam hal ketersediaan
pangan guna memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus berkembang
dari waktu ke waktu terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002
Tentang Ketahanan Pangan. (Pasal 2).
Lebih jauh dalam perspektif legal tertulis, penjenjangan kewajiban Negara secara
tegas terlihat dalam hal cadangan pangan pemerintah sebagai bagian dari Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan.
Bab III
CADANGAN PANGAN NASIONAL
Pasal 5
(1) Cadangan pangan nasional terdiri dari cadangan pangan pemerintah, dan
cadangan pangan masyarakat.
(2) Cadangan pangan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri
atas:
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 7
8. a. Cadangan pangan Pemerintah Desa;
b. Cadangan pangan pemerinah Kabupaten/kota;
c. Cadangan pangan Pemerintah Propinsi;
d. Cadangan pangan Pemerintah Pusat.
Pemerintah (Pusat hingga Desa) dapat menugaskan badan pemerintah atau badan
usaha yang bergerak di bidang pangan untuk mengadakan dan mengelola cadangan
pangan tertentu yang bersifat pokok sesuai UU (Pasal 7). Namun PP tersebut
menyatakan, bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang seluas-luasnya
dalam upaya mewujudkan cadangan pangan masyarakat. Cadangan pangan yang
dimaksud tersebut dilakukan secara mandiri serta sesuai dengan kemampuan masing-
masing (Pasal 8)
Dengan pola tanggungjawab berjenjang dengan, tetapi berujung dengan sistem
pengontrakkan pengadaan dan pengelolaan cadangan pangan nasional kepada suatu
badan usaha, dengan contoh PP tersebut, dapat dikatakan tidak mudah dipahami
gambarannya oleh kalangan masyarakat desa, dan elitnya. Dan hak yang tercantum
dalam Pasal 8 cenderung berada dalam posisi atau konteks kewajiban bagi
masyarakat.
Dapat dikatakan dengan adanya penjenjangan tanggungjawab ketahanan pangan
adalah kepanjangan sistem lama (Soeharto) yang mengembangkan sistem
kekeluargaan. Tegasnya UU No. 7 tentang Pangan Tahun 1996 adalah bagian dari
Kelirumologi nasional: ekonomi berasaskan kekeluargaan, dan sistem politik
Indonesia, SPI adalah bersandar kepada keluarga besar. Konflik tidak harus
diselesaikan melalui voting, pemungutan suara terbanyak, melainkan musyawarah
kekeluargaan, demikian.jargon populis pada masanya.
Pada sisi lain, dan waktu yang lebih mutakhir unsur Negara (pemerintah dan
parlemen) telah meratifikasi International Covenant on Economic, Social, and Cultural
Rights menjadi Undang-undang No. 11 tentang Pengesahan International Covenant
on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya, kovenen Ekosob) tertanggal 28 Oktober 2005. Pasal 11
dalam UU No. 11 tahun 2005 mencantumkan hak atas pangan.
Dalam konteks hak atas pangan dan keterkaitan ICESCR dengan konvensi
lainnya Johannes Brandstäter (2002) mengutip modul pelatihan HAM, khususnya
Kovenan Ekosob:
• ICESCR Pasal 11(1) menyatakan bahwa “hak azasi atas standar kehidupan yang
layak seperti cukupnya pangan, perumahan, pakaian.”
• Pasal 11(2) mengakui “hak mendasar dari setiap orang untuk bebas dari
kelaparan”.
8 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
9. • Konvensi hak azasi manusia pada anak-anak, Pasal 24(2)(c) mewajibkan pihak
pemerintah untuk memerangi penyakit, dan kekurangan gizi …
• Protokol Tambahan untuk Geneva Conventions, dan Relating to the Protection
of Victims of International and Non-International Armed Conflicts.
Beranjak dari pendekatan ini , maka terdapat the instrument of Public Interest
Litigation/class action bagi masyarakat madani mengusung satu kasus ke pengadilan.
Kebijakan
Hak atas pangan sudah termaktub dalam kebijakan pemerintah – melalui Dewan
Ketahanan Pangan - tentang Kebijakan Umum Ketahanan Pangan Tahun 2006-2009,
namun hal ini, agaknya, diupayakan bukan hanya sekadar pemanis atau lips service.
Sebagai contoh dalam Ringkasan Ekskutif dari kebijakan tersebut tidak tecantum hak
atas pangan, melainkan pernyataan yang terang-benderang pada angka 14., yaitu
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1006 tentang Pangan menyatakan bahwa
perwujudan ketahanan pangan merupakan tanggung jawab pemerintah bersama-
sama masyarakat.
Meskipun demikian dalam uraian Konsep Umum Tahun 2006-2009 tersebut
disebutkan Hak atas pangan dicantumkan pada Landasan Hukum (Bab II versi cetak),
dan pada bagan Kerangka Sistem Ketahanan Pangan (Bab. II versi online), meskipun
tidak memadai paparannya. Demikian juga, jika lebih seksama diperiksa pada bagian
selanjutnya pada dokumen itu.
Jika dilihat dalam konteks yang lebih luas, betapa pun juga, pencantuman hak atas
pangan pada Kebijakan Umum Ketahanan Pangan tersebut sudah jelas merupakan
langkah maju dari dokumen sebelumnya, yaitu kebijakan tentang Rencana Aksi
Nasional HAM (RANHAM) kedua melalui Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004
(Agustus 2004; Sept. 2006). Sebagai catatan, dalam pengamatan BioTani Indonesia,
wakil Indonesia baru hadir dalam IGWG FAO tentang negosiasi penyusunan Hak atas
Kecukupan Pangan pada putaran III di kantor pusat FAO di Roma Italia bulan Juli 2004
– itupun hanya utusan/staf dari KBRI di Roma – sehingga mustahil hak atas kecukupan
pangan dapat dimasukkan ke dalam RAN HAM..(Lihat juga: FAO Right-to-Food
masukkan ke RAN HAM RI - Press_Relea... yang disirkulasikan kepada Mass Media
group Sep 26, 2004). Yang tercantum dalam (RANHAM) kedua adalah hak atas
pangan yang didekati dengan pembangunan: kebijakan ketahanan pangan,
peningkatan kelembagaan daerah, peningkatan produksi pangan, diversifikasi pangan,
dsb. (RAN HAM 2004-2009, halaman 125, dan 131; Jakarta Sept. 2006)
Pemerintah menjabarkan RAN HAM kedua secara ringkas padat ke dalam (tabel)
Rencana Kegiatan RANHAM Indonesia Tahun 2004-2009. Pada butir E. Penerapan
Norma dan Standar Instrumen HAM, yang diterbitkan oleh Presiden RI Megawati
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 9
10. Soekarnoputri (tanpa tanggal), dicantumkan hak atas pangan, yaitu pada halaman 38;
dalam tabel berkolom 4 dituliskan:
Peningkatan pemenuhan atas hak pangan (kolom Program/Kegiatan); 2004-2009
(Jadwal); Departemen Pertanian dan instansi terkait (Pelaksana); Terpenuhinya
hak atas pangan (Indikator keberhasilan (out put)).
Catatan kecil, UU Pangan tidak termasuk revisi dalam angka C. Persiapan
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Yang mendjadi prioritas adalah UU
tentang HAM, UU Pengadilan HAM, dan KUHP. Kemudian, Pelaksana hanya
departemen Pertanian dan instansi terkait, sementara pada hak lainnya, contohnya
pada halaman 36-37, Hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, dan hak untuk
berpartisipasi dan berekspresi dalam kegiatan kebudayaan, pelaksananya ádalah
departemen yang bersangkutan dan instansi terkait di Pusat dan Daerah. Dapat
dibayangkan, bahwa hak atas pangan akan dirumuskan di “pusat” alias departemen
pertanian saja.
Beranjak dari analog di atas, maka secara logika akal sehat linier, arena partisipasi
(baca: advokasi) masyarakat madani adalah di pusat (baca: departemen pertanian), jika
hak atas kecukupan pangan hendak ditagihkan pengakuan realisasinya secara penuh
kepada Negara.
Tetapi hak atas pangan yang ringkas Rencana Kegiatan RANHAM Indonesia
Tahun 2004-2009 tersebut, dapat disimak penjabarannya pada Komitmen Indonesia
dan Komitmen Para Gubernur dan Bupati/Walikota Selaku Ketua Dewan Ketahanan
Pangan – sebagai upaya menyiasati pola komando (atas-ke-bawah) ke dalam sistem
otonomi daerah. Yang menonjol adalah:
Menurunkan tingkat KELAPARAN dan KEMISKINAN sekurang-kurangnya 1
persen per tahun (KesepakatanGubernur, 20 November 2006)
Pada sisi lain Departemen Kelautan dan Perikanan, DKP (Rumusan Rakernas DKP
2005) mengakui pengarusutamaan HAM, di antaranya hak atas pangan dalam satu
tarikan nafas dengan hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan dan
pemukiman, tanah, air bersih dan aman, sumber daya alam dan lingkungan hidup,
mencakup 10 unsur standar dasar kemanusiaan disertai dengan pelestarian
sumberdaya alam dan lingkungan hidup) dalam rencana aksi nasionalnya.
(...) program (rencana aksi) nasional yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu
2005-2009, meliputi : (1) pengelolaan ekonomi makro, (2) pemenuhan hak-hak
dasar (pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan dan pemukiman,
tanah, air bersih dan aman, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman,
dan partisipasi), (3) perwujudan kesetaraan dan keadilan gender, (4) percepatan
pengembangan kawasan/wilayah.
10 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
11. Rencana aksi nasional tersebut disusun dari (...) 5 (lima) strategi, yaitu: (1) perluasan
kesempatan kerja, (2) pemberdayaan kelembagaan masyarakat, (3) peningkatan
kapasitas kelembagaan dan. SDM, (4) perlindungan sosial, dan (5) penataan kemitraan
global.
Rencana aksi nasional tersebut dijabarkan ke dalam program-program DKP,
antara lain :
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)
Budidaya pedesaan
Pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil
Intensifkasi
peningkatan mutu
Pengembangan Konsultan Keuangan/Pendamping UMKM
Mitra Bank (KKMB)
Program/Proyek Pinjaman dan Hibah Luar Negeri
(MCRMP, COREMAP, COFISH, MFCDP, JFPR, OSRO, dll)
Rasanya tidak mengherankan dengan pernyataan Departemen Kelautan dan
Perikanan tersebut, karena secara formal telah dua (2) kali BioTani Indonesia
mendesakkan pentingnya pengakuan hak atas pangan, khususnya bagi komunitas
pulau kecil. Pertama, dalam Roundtable Kedua tentang presentasi Temuan Fakta
Rawan Pangan di Pulau Tunda Banten di Jakarta, 4-5 Juni 2003 DKP diwakili oleh
Ferrianto Jais, Tata Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan Dr. Toni Pulau-pulau
Kecil, dan Ir. Sugiono, Perencana Pulau-pulau kecil, dan kedua dalam Dialog
Kebijakan di Pulau Tunda 20 Januari 2004, diwakili oleh Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Serang Provinsi Banten.
Beranjak dari pernyataan DKP di atas, maka secara logika akal sehat linier, arena
partisipasi (baca: advokasi) masyarakat madani adalah tersebar di dalam beberapa
program, jika hak atas kecukupan pangan hendak ditagihkan pengakuan realisasinya
secara penuh kepada Negara.
Pangan, dan hak atas pangan, pada sisi lain yang tak kalah pentingnya dalam
situasi yang sering terjadinya nyaris tiga tahun belakangan ini berupa bencana alam:
Tsunami dan gempa bumi, dan bencana buatan manusia: banjir lumpur di Sidoarjo,
banjir bandang melanda 12 provinsi (kompas, 1 Feb. 2007), dan banjir yang terjadi 2-
4 Februari 2007 yang melumpuhkan 70% kegiatan Jakarta (Kompas, 5 Feb. 2007)
tanah longsor di banyak tempat di Indonesia, disertai juga anomali iklim dan
perubahan cuaca yang – di antara nya menghentikan nelayan Pulau Tunda melaut,
pada gilirannya, semuanya itu diikuti jeritan perlunya bantuan pangan (food aid).
Namun demikian tidak ditemukan secara eksplisit suatu aturan perundangan yang
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 11
12. mengatur bantuan pangan – yang ada UU No.7 tentang Pangan tahun 1996, dan
upaya pemerintah mengatur bantuan pangan dalam konteks kemiskinan dalam
menyusun Rancangan Undang-Undang Kemiskinan (Depsos, 2004). Sementara itu
pada aras internasional sudah terdapat Food Aid Convention, 1999 yang
ditandatangani di London 13 April 1999 – kendatipun tidak ada mekanisme untuk
pemantauan yang efektif maupun untuk pemberlakuan kewajiban penandatangan
konvensi ini, juga soal sengketa, dan sebagainya - berakhir tahun 2002, tetapi akan
direnegosiasi dalam tahaun-tahun mendatang. Yang sudah ada Panduan Sukarela
tentang Hak atas Kecukupan Pangan (FAO, 2004).
Kutipan RUU Kemiskinan:
BAB IX
PELAYANAN SOSIAL DASAR
Bagian kesatu
Bantuan pangan
Pasal 10
Bantuan pangan bertujuan untuk meningkatkan kecukupan pangan dan status gizi
serta diversifikasi pangan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat miskin.
Usulan pasal tersebut dalam RUU Kemiskinan secara eksplisit mencantumkan
kecukupan pangan sebagai pelayanan sosial dasar dalam urutan pasal pertama. Usulan
tersebut esensinya berkesesuaian dengan Panduan Sukarela Hak atas Kecukupan
Pangan meskipun terdapat beberapa hal kekurangan. Misalnya, cara keluar yang jelas
(exit startegy), dan adanya pencegahan terjadinya gangguan produksi dan pasar
pangan lokal, dan sebagainya – semuanya teramasuk dalam strategi pengentasan
kelompok miskin, serta memenuhi dan melindungi HAM.
Panduan 15 Bantuan pangan internasional dipandang menekankan bahwa
bantuan pangan haruslah aman dan memperhitungkan makanan dan budaya pola
konsumsi pangan. Program bantuan pangan hendaknya tidak mengganggu
produksi dan pasar pangan lokal, dan harus menghindari penciptaan
ketergantungan dengan mempunyai cara keluar yang jelas. Badan-badan
kemanusiaan harus dijamin keamanannya dan akses kepada penduduk yang
membutuhkan. Selain itu, bantuan pangan untuk keadaan darurat harus juga
memperhitungkan pemberian jangka panjang dan tujuan rehabilitasi (BioTani
Indonesia, 2006).
Politis
Politis terhadap implementasi hak atas pangan di Indonesia dapat disimak, bahwa
pemerintah mengulang kembali komitmennya untuk mendukung pelaksanaan hak atas
pangan pada aras nasional - sebagaimana observasi masyarakat madani di FAO Roma
Italia pada minggu pertama November 2006.
12 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
13. Several Government representatives from Mozambique, Indonesia, Brazil,
Germany and Switzerland reiterated their political commitment towards
supporting the implementation of the Right to Food at the national level (FIAN,
online, 2006).
Kelanjutan komitmen tersebut tertuang dalam makalah kepala Badan Ketahanan
Pangan nasional (BKPN) dalam Acara Presentasi Hasil Studi Biotani Indonesia tentang
ketahanan pangan pada komunitas 9 pulau kecil di enam provinsi dan dilanjutkan
dengan Rountable Discussion di Hotel Le Meredien Jakarta, pada 12 Desember 2006.
"Peran strategis Ketahanan Pangan:
Menjamin hak atas pangan" (Halaman 3)
meskipun, dalam kenyataan lebih lanjut, dalam pernyataan oral tidak ada uraian lebih
lanjut, namun terlihat lebih khusus bilamana disandingkan dengan naskah sambutan
kunci Menteri Pertanian yang lebih mengungkapkan kebijakan umum ketahanan
pangan.
Pada sisi lain, realitas menunjukkan hingga saat ini terbaca belum cukup jelas
dan tegas mengenai perlu dan mendesaknya dilakukannya revisi UU Pangan tahun
1996 oleh pemerintah yang disuarakan oleh BKPN, terkecuali secara lisan-informal
oleh Narasumber yang mewakili Kepala BKPN dalam Acara Presentasi Hasil Studi dan
Rountable Discussion di Hotel Le Meredien Jakarta, 12 Desember 2006. Posisi
pemerintah, khususnya BKPN sudah berubah jauh, bukan seperti ketika BioTani
Indonesia secara nyaring mengingatkan pemerintah soal perlunya mulai menjajaki
pengakuan Hak atas Pangan yang tengah dinegosiasikan oleh IGWG FAO, dan
ketahanan pangan hendaknya tidak dipandang sebagai business as usual, ketika BKPN
– namanya masih Bimas Dewan Ketahanan Pangan - menyelenggarakan seminar
nasional itu pada akhir Januari 2003. Lebih dari itu, dua tahun berikutnya, April 2005
ketika FAO mendanai seminar nasional tentang Hak atas Pangan, dan kini gaung
kelanjutannya terpapar dalam kalimat singkat dalam makalah kepala BKPN tersebut.
Singkatnya dapat dikatakan pemerintah sudah bergeser dari posisi entitlements by
policy now moving to rights.
Sementara itu, upaya yang sudah pernah dilakukan, pada sisi lainnya lagi, ialah
BioTani Indonesia mencoba masukkan Hak atas Pangan sebagai satu ayat tersendiri
kepada Komisi Konstitusi RI (BioTani Indonesia, 2003) – sebagai kelanjutan dari acara
tukar-gagasan - pada bulan Desember 2003 (lihat: Seminar Nasional dan Lokakarya
tentang Dapatkah Right to Food Masuk Dalam Undang Undang Dasar (UUD)? yang
diselenggarakan oleh BioTani PAN Indonesia bekerjasama dengan Oxfam-GB, Jakarta
13-14 Desember 2003.). Oleh narasumber gagasan ini disarankan agar diusulkan
secara resmi ke Komisi Konstitusi tanggal 19 Desember 2003. (lihat juga: Kalawarta
Terompet BioTani Indonesia 2003/2004).
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 13
14. III. Posisi dan Rekomendasi lanjutan dalam skala Nasional
Yang pertama, dan yang terutama, ialah BioTani Indonesia dalam posisi
menyatakan, bahwa hak atas pangan tidak cukup memadai pengakuannya oleh
Negara Republik Indonesia, namun upaya ke arah itu sedang berlangsung. Dengan
mencermati kondisi ini karena itu BioTani Indonesia menyatakan rekomendasi sebagai
berikut
1. Pengarusutamaan Hak atas Pangan Lokal
Langkah pertama adalah Knowing & claiming your right to food, tetapi sekaligus
juga early warning kepada pemda di lokasi anggota konsorsium program Building
Opportunity – yaitu Banten (Biotani Indonesia), Sulawesi Tenggara (JPKP), Maluku (Sor
Silai di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dan Sita Kena di Kabupaten Aru). Di sini
strategi kegiatan yang akan ditekankan adalah penyuluhan kepada komunitas, dengan
mengundang partisipasi pemerintah daerah.
Faktor legal pendukung dalam pengarus utamaan Hak atas pangan, ialah UU
No.11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan ICESCR. Hak atas pangan dalam undang-
undang tersebut dapat dipakai sebagai latar belakang, dan juga dasar legal hak atas
pangan.
Menjajaki potensi – test case - penegakkan keadilan (access to justice) atau
Justiciability., sebagai langkah mendukung perjuangan rakyat memperoleh hak atas
pangan (support people struggle for their right to food).
Justiciability adalah konsep kunci dalam HAM. Justiciability menurut Rolf
Kunnemann (2003) terbagi dalam tiga aras. Justiciability dari pelanggaran (of
violation), Justiciability dari kewajiban (of obligation), dan Justiciability dari hak (of
rights) (Justiciability-page3-4-from-Right-to-food-journal-no2.pdf. FIAN. December
2003a). Bagi kita dengan cara menghimpun beberapa contoh kasus yang terkait
dengan hak atas pangan, maka akan mempermudah pengenalan mengenai tiga aras
justisibialitas tersebut. Dengan memakai Justiciability, maka akan diupayakan
pergeseran cara pandang soal perlindungan terhadap Hak atas Pangan. Yaitu
perlindungan negatif dari hak atas pangan ke arah perlindungan positif dan eksplisit.
Sebagai catatan FIAN (2003b) menyatakan soal justisibialitas, ialah bahwa
perlindungan negatif serupa dengan perlindungan negatif dari hak asasi manusia
lainnya, dan sangat diperlukan bahwa negara menahan untuk campurtangan dengan
upaya-upaya yang dilakukan oleh individu untuk memberi makan diri mereka sendiri
– yaitu, menghargai hak ini. Akibatnya, kewajiban negatif tidak membutuhkan
pemanfaatan sumberdaya negara, juga mereka tidak membutuhkan analisis kompleks.
14 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
15. Dengan mengajukan satu kasus yang dipandang terkait dengan hak atas pangan
(kombinasi Panduan Sukarela Hak atas Kecukupan Pangan dan UU No[1].11 Tahun
2005 Tentang Pengesahan ICESCR) ke pengadilan, dan karenanya akan adanya suatu
keputusan pengadilan atas kasus hak atas pangan, maka diharapkan muncul adanya
pergeseran cara pandang itu. Berikut adalah contohnya yang dikemukakan oleh Rolf
Künnemann and Sandra Epal¬Ratjen (2004).
The end of the year 2001 was a milestone in the history of the right to food. For
the first time, civil society actors in two countries brought cases directly related to
the right to food before their national Supreme Courts. Both of the cases, the
petition in India and the popular recourse action in Argentina mark significant
progress toward justiciability, independent of the final outcome of the cases. They
both show how a human rights framework and mechanisms can be used within
the national legal system to halt violations of the right to food
(Künnemann, Rolf; EpalRatjen, Sandra, 2004).
Dengan strategi ini pula, maka dapat didekati dengan memanfatkan Panduan
Sukarela Hak atas Kecukupan Pangan. Panduan Sukarela ini hendaknya dipahami
sebagai instrumen penting dalam upaya memberikan masukkan kepada Negara untuk
menyusun standar hak atas pangan. Contohnya, Panduan 7 pada Hak atas Kecukupan
Pangan FAO merekomendasikan agar Negara memasukkan ketentuan dalam hukum
domestik mereka, mungkin pada tingkat konstitusional, yang memfasilitasi kemajuan
perwujudan hak atas kecukupan pangan – consensus building adalah imperatif.
Ketentuan ini harus memasukkan mekanisme hukum agar individu dan kelompok
rentan mendapatkan akses kepada pemulihan yang efektif bila hak atas kecukupan
pangan mereka dilanggar – atau dikatakan justiciability of directive principles.
Kemudian, negara harus menyebarkan informasi tentang hak dan pemulihan serta
mempertimbangkan penguatan hukum untuk memberi akses bagi kepala rumahtangga
perempuan kepada pengurangan kemiskinan dan program serta proyek keamanan
gizi.
Suatu kerangka kerja hukum yang cukup membuat individu dan kelompok dapat
menuntut hak mereka atas kecukupan pangan dan untuk meminta pemulihan atas
pelanggaran hak hak mereka menurut administratif, kuasi-yudisial dan badan-badan
peradilan. Semua orang, tetapi khususnya yang paling rentan, harus mempunyai akses
kepada keadilan bila hak mereka atas kecukupan pangan tidak dihargai, dilindungi
atau dipenuhi (FAO, 2006). Karenanya konsultasi nasional dan regional diperlukan,
dengan melibatkan masyarakat madani, dan wakil komunitas rentan ketahanan
pangan, serta badan-badan internasional terkait.
Merealisasikan potensi aliansi (human right to food networking), berdasarkan
lingkungan yang sudah kondusif di kalangan masyarakat madani dalam setahun-dua
dewasa ini. Ancangan aliansi ini sering didengungkan dengan kalimat: promoting a
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 15
16. rights based approach and the VG within the NGO/CSO community, by concentrating
efforts to get the development community and the grass¬roots organisations use this
approach.
Dengan mengupayakan suatu aliansi atau semacamnya akan lebih kuat gaungnya
dalam melakukan berbagi pengalaman berupa asupan tentang potensi kandungan
kekayaan informasi dasar bahwa hak atas pangan itu berdimensi yang justisiabel
(justiciability of right to food), bukan sekadar menyebarkan wacana, ataupun lobby.
Lingkungan masyarakat madani, ialah, sebagai contoh, dengan munculnya koalisi
Ekosob – The Institute ECOSOC Rights http://ecosocrights.blogspot.com/ - yang
diakrabi oleh harian pagi di Jakarta. Ada pula Perhimpunan Bantuan Hukum
Indonesia, PBHI. Februari tahun silam, bersama dengan Komnas HAM, PBHI
menyelenggarakan pertemuan menjajaki hak atas pangan, dengan titik berat kepada
reforma agraria dan permasalahannya: sumber-sumber agraria (tanah, air, dan pangan),
sejumlah masalah lainnya, disertai dengan kampanye membangun opini, aksi massa,
legal work, dan sebagainya (www.pbhi.co.id).
Secara umum dapat dilukiskan kondisi dewasa ini jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan tiga tahun silam, ketika BioTani Indonesia berupaya menggalang
koalisi terhadap beberapa ornop di Indonesia – yang hasilnya nyaris mandek,
mengingat bahwa Panduan Sukarela mengenai Hak atas Kecukupan Pangan masih
dalam taraf negosiasi di FAO Roma Italia.
Kenyataannya, dewasa ini hak atas pangan, secara luas masih belum dikenali baik.
Kompas, sebagai contoh, sebagai sebuah harian yang cukup memadai mewartakan
HAM lebih dari satu dekade, ternyata, tidak memberikan perhatian khusus hak atas
pangan dalam jajak pendapat mengenai HAM. Dalam berita jajak pendapat bertajuk
Paradoks Perlindungan HAM di Indonesia (2 Januari 2007) hanya mencantumkan Hak
hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidup, sebagai hak pada
urutan pertamanya dari total 35 hak asasi manusia untuk dijajaki pendapatnya
khalayak.
Potensi lainny adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat
kabupaten-kota. Dua kali pengalaman BioTani Indonesia melakukan sosialisasi
Panduan Sukarela mengenai Hak atas Kecukupan Pangan pada minggu II Januari di
Bau-Bau Pulau Buton 11 Januari 2006, dan di Serang provinsi Banten 12 Januari 2006
menunjukkan adanya komitmen anggota wakil rakyat itu untuk melanjutkan kegiatan
sosialisasi itu.
16 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
17. 2. Tingkatkan kerjasama internasional dalam upaya menyusun pantauan
Komunikasi dan tukar gagasan teknis penyusunan pertanyaan untuk pantauan
terhadap pelaksanaan progresif hak atas kecukupan pangan, dan juga mendukung
upaya rekanan berkerja/ lobby di PBB, dalam kerangka kepedulian berikut:
promoting a gender approach in the general MDG process and especially
regarding hungerand poverty reduction, especially through pressure created by
civil society activities and through advocacy, training and awareness raising with
regard to gender specific right to food violations and the situation of rural women;
3. Konsolidasikan upaya pemantauan dan lobby untuk intervensi sebagai pendukung
upaya realisasi progresif (harmonisasi legislasi, dan memantau, dan intervensi)
terhadap kemungkinan adanya perubahan/amandeman UUD 1945, maupun legislasi
3.1. Harmonisasi legislasi
Dengan cakupan usul:
The NGOs and CSOs backing the process are convinced that a rights-approach to
hunger and malnutrition is essential for changing the conditions for many of the
hungry. The development of adequate policies to reduce hunger and malnutrition
and to guarantee access to these groups to productive resources would become a
key concern over more technical issues of food production, increasing yields, etc.
While these issues are also important and should not be downplayed, the right to
adequate food constitutes a legal claim for the individual person faced by hunger
and malnutrition. The right could be invoked at national courts or at international
supervisory institutions. Therefore, with a rights-approach, the state would
become liable to provide immediate and long-term measures – a scenario which
is different from just hoping that an increased food production at the national
level will reach the poor.
The rights-approach helps to clearly define the role of the state and other actors
involved in the implementation of policies aimed to reduce hunger and
malnutrition.
Dalam Lampiran disajikan contoh atau model text sebagai rujukan atau kerangka
panduan dan berisikan gagasan dan usulan bagi upaya harmonisasi legislasi yang
mengakomodasikan secara positif mengenai hak atas pangan. Hak atas pangan sangat
berhubungan dengan hak untuk hidup – hak sipil, sangat diakui dalam hukum
internasional dan regional dan melalui sejumlah konstitusi nasional di beberapa
negara. Namun masih dibutuhkan adanya penegakkan jaminan hak (Right guarantee),
yaitu jaminan mengenai hak atas pangan ialah dengan mengupayakan kepastian
adanya kewajiban positif dari Negara dalam satu aturan pada tataran perundangan.
Dalam konteks ini Negara mengemban tugas dan kewajiban (duty and obligation),
agar kewajiban yang formal dan kewajiban substantif (menghormati, melindungi, dan
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 17
18. memenuhi – sering disebut juga sebagai norma utama, primary norms standar
kemanusiaan), keduanya dapat diembankan kepada Negara (duty bearer) secara
eksplisit ke dalam satu undang-undang, atau Perppu - contohnya terlampir. Namun
RUU Kemiskinan, khususnya Pasal 10 patut pula diintervensi dengan perspektif
Panduan Sukarela tentang Hak atas Kecukupan Pangan FAO, seraya turut serta
mengawalnya, sehingga dapat segera dibahas di DPR.
Beranjak dari semua uraian telaah di muka, maka BioTani Indonesia dengan tegas
menyatakan:
Seruan
1. Arusutamakan Hak atas Pangan lokal, dan realisasikan potensi aliansi,
2. Tingkatkan kerjasama internasional dalam upaya menyusun pantauan terhadap
pelaksanaan progresif hak atas kecukupan pangan,
3. Konsolidasikan upaya pemantauan dan lobby untuk intervensi sebagai pendukung
upaya realisasi progresif (harmonisasi legislasi, memantau, dan intervensi) terhadap
kemungkinan adanya perubahan/amandeman UUD 1945, maupun legislasi.
Jakarta, 6 Februari 2007
Biotani Indonesia
Jl. Persada Raya No. 1
Menteng Dalam
Jakarta 12870 Indonesia
Telp. +62-21-8296545
email: biotani@rad.net.id, biotani2004a@yahoo.com
http://www.biotani.org
Kontak
1. Riza V. Tjahjadi
2. M. Yusuf Shandy
3. Efendi Koto
18 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
19. Rujukan
Abbas, Halid, dan Purna, Ibnu (2006) Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional
HAM di Indonesia 2004-2009. Kerjasama Direkrotat jendral Perlindungan HAM, Staf
Ahli Menteri Sekretaris Negara, Raoul Wallenberg Institue, dan Pusat Studi HAM &
Demokrasi Universitas Nasional. Cetakan Ketiga. Jakarta. September 2006.
Biotani Indonesia (2003) Usulan Kepada Komisi Konstitusi. Hak atas Pangan Ke
dalam UUD 1945. Surat. Jakarta, 19 Desember 2003.
Biotani Indonesia (2007) RIGHT to FOOD Guidelines. FAO’ Voluntary Guidelines to
Support the Progressive Realisation of the Right to Adequate Food in the Context of
National Food Security. Putting it into Practice. Materi Sosialisasi Panduan Sukarela
Hak aatas Kecukupan Pangan. Jakarta, 15 Januari 2007.
Brandstäter, Johannes. Circle of Rights summary on Right to Food. Briefing
Information to partners. Bread for the World. Rome Italy, 7 Juni 2002.
Künnemann, Rolf,.and Epal¬Ratjen, Sandra (2004) The Right to Food: A Resource
Manual for NGOs. AAAS Science and Human Rights Program; HURIDOCS.
Washington D.C.
Menteri Pertanian RI. (2006). Keynote Speech. Naskah pada Presentasi dan
Roundtable Dalam Upaya Sosialisasi Hasil Studi Ketahanan Pangan di Pulau-Pulau
Kecil tanggal 12 Desember 2006.
Monsalve Suárez, Sofia, and Ratjen, Sandra (2006) Reporting Guidelines to Monitor
the Implementation of ICARRD Final Declaration. DRAFT version, July 2006. FIAN
International
Nainggolan, Kaman. Program dan Prioritas Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan
pada Presentasi dan Roundtable Dalam Upaya Sosialisasi Hasil Studi Ketahanan
Pangan di Pulau-Pulau Kecil tanggal 12 Desember 2006. Kepala Badan Ketahanan
Pangan. Badan Ketahanan Pangan. Jakarta, 12 Desember 2006.
Oxfam GB (2006) Quantitative Analysis of Household Food Security. Lampiran.
Program Building Opportunity.
Ramdhan, Mochammad. I. Hak atas Pangan dalam Konstitusi, Makalah disajikan
dalam Seminar Nasional dan Lokakarya tentang Dapatkah Right to Food Masuk Dalam
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 19
20. Undang Undang Dasar (UUD)? Diselenggarakan oleh Biotani PAN Indonesia
bekerjasama dengan Oxfam-GB, Jakarta 13-14 Desember 2003.
Tjahjadi, Riza V. (2006) Panduan Sukarela untuk Mendukung Realisasi Progresif Hak
Asasi atas Kecukupan Pangan Dalam Konteks Ketahanan Pangan Nasional. FAO.
Terjemahan. Biotani Indonesia. Jakarta, Juni 2006
Undang-undang Republik Indonesia, No.7, Tahun 1996, Tentang Pangan.
Undang-Undang No.11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan ICESCR.
Online
Interim report of the special rapporteur of theFile Format: Microsoft Word - View as
HTML
An update on the “voluntary guidelines” on the right to adequate food ... As NGOs
noted, the draft text is “no masterpiece of political will”.10 ...
www.ohchr.org/english/bodies/chr/docs/ga59/newfood.doc
biotani@rad.net.id Sep 28, 2004 [communitygallery] FAO Right-to-Food masukkan
ke RAN H...
Departemen Kelautan dan Perikanan (2005) 30/05/05 - Info Aktual: Kemiskinan
Nelayan
Rumusan Rakernas DKP 2005 : Penanggulangan Kemiskinan. www.dkp.go.id
Departemen Sosial (nd) Rancangan Undang-Undang Kemiskinan. www.depsos.go.id
fian-windfuhr@comlink.org Sep 22, 2004 [Guidelines] Guidelines adopted
FIAN online (2006) The challenge ahead: towards implementation of the Right to Food
at the national level.
http://www.fian.org/live/index.php?option=com_content&task=view&id=245&Itemid=93
FOOD AID CONVENTION, 1999. lihat:
r0.unctad.org/commodities/agreements/foodaidconvention.pdf, juga
www.fao.org/Legal/rtf/fac99-e.htm
ec.europa.eu/europeaid/projects/foodsec/pdf/documents-london-convention-
1999_en.pdf
Status legal Food Aid Convention
20 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
21. www.globalpolicy.org/socecon/hunger/relief/2006/06globalfoodaid.pdf
www.oxfam.org/en/files/bp71_food_aid_240305.pdf
LostWorst, Right2AdequateFood on PGR by FAO From: biotani@rad.net.id Date:
Mon, August 16, 2004 15:14 To: biotani2004a@yahoo.com Priority: High
[reformasitotal] Right-to-Adequate-Food_Indonesia-10YEARS-after ...... toward FAO’s
Voluntary Guideline on the Right to Adequate Food (VG) By BioTani ... see also:
LostWorst, Right2AdequateFood on PGR by FAO, a statement of ...
www.mail-archive.com/reformasitotal@yahoogroups.com/msg01294.html - 42k - Cached - Similar
pages
reformasitotal Right-to-Adequate-Food_Indonesia-10YEARS-after-WFS_RomeItaly A
statement by ... FAO’s Voluntary Guideline on the Right to Adequate Food (VG) By
BioTani ...
osdir.com/ml/reformasitotal@yahoogroups.com/msg01294.html - 41k - Cached - Similar pages
Rights and Democracy | What We DoNo Masterpiece of Political Will. NGO Caucus
(IGWG 3): Final Evaluation Report ... Moreover the guidelines recognize that the right
to adequate food must be ...
www.dd-rd.ca/site/what_we_do/index.php?lang=en&subsection=projects&id=1599 - 25k
Sunggul Sinaga Nov 17, 2003 Re: RI absen di FAO IGWGII, Ingin tahu alasan.
Jawaban atas pertanyaan BioTani Indonesia melalui e-mail.
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 21
22. L a m p i ra n 1
1. Contoh partial dari sebuah draft UU dengan penegakkan hak atas pangan yang
jelas:
THE RIGHT TO FOOD AND FOOD SECURITY
3. (1) Every person has the right to food and nutrition security including a
standard of living adequate for the health of himself and his family
including clothing housing and medical care.
(2) The Government shall promote and protect the peoples right to food and
nutrition security.
(3) The Government shall put in place mechanisms, budgetary allocations,
safety net programmes, credit programmes and schemes, wage policies and
legislation, land tenure policies and legislation to ensure the accelerated full
realization of the right to food and nutrition security for all without adverse
discrimination.
(4) The Government shall progressively eliminate hunger by improving
wages and incomes of people in order that by 2015 there shall be no
person earning less than $1 a day.
(5) All people in Indonesia shall be entitled to the protection of their economic
interest health and safety in the consumption of food and food products and to
fair and non discriminatory treatment by a supplier or trader of food or food
products.
(6) The government shall take steps, legislative, economic, technical or otherwise
to the maximum of its available resources with a view to achieving
progressively the full realization of peoples rights enshrined in the
international covenants related to the right to food and nutrition security to
which Indonesia is a party.
(7) The Government shall as part of achieving the progressive realization of the
right to food and nutrition security promote broad based economic
development that is conducive to the promotion and sustainability of food and
22 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
23. nutrition security at national and house hold level and mainstream food and
nutrition security in all its development programmes.
(8) Government shall in partnership with communities civil society and partners
take measures to maintain adapt and strengthen dietary diversity and healthy
eating habits and food preparation as well as feeding patterns including breast
feeding while ensuring that changes in availability and access to food supply
do not negatively affect dietary composition and intake.
(9) Government shall put in place mechanisms, legislation and other practices that
promote and ensure expanded access to agricultural inputs of improved variety
with patent-free option seeds, organic fertilisers, botanical pesticides and other
non-chemicals that are environmentally friendly and socially just.
(10) Vulnerable groups shall be given special consideration through safety net
programmes by improving the targeting mechanisms and input subsidies to
ensure expanded access to means of food production for such groups.
(11) Government shall progressively increase annual budgetary allocation for the
programmes in (10) as part of social protection for vulnerable groups.
(12) Government shall endeavour to regulate activities that restrict fair and free
competition concerning the prices of food, food products or inputs to food
production.
Progressive Realisation of Right
5. (1) No person, entity or political party shall use food aid for political purposes.
(2) No person shall with hold food aid from any vulnerable person for any
reason based on political opinion, tribe, region, marital status, disability, or
other status, nor shall food aid be used to induce change of political
affiliation.
(3) In the registration for food aid or distribution or evaluation of food aid the
human rights of the beneficiaries shall be maintained and respected.
(4) Any person who demands a bribe or other favour (sexual, financial or
otherwise) from a beneficiary of food aid shall be guilty of an offence under
this part.
(5) Contravention of the provisions of this section shall be an offence.
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 23
24. Establishment of the Authority
14. There is hereby established an Authority known as The Indonesia Food and
Nutrition Security Authority (in this Act otherwise referred to as the “Authority”)
which shall be a body corporate by that name with perpetual succession and a
Common Seal and capable of suing and being sued in its corporate name and
capable of acquiring and disposing of any moveable or immoveable property
and performing such acts and things as bodies corporate may by law do or
perform and have power to perform such functions and exercise such powers as
are conferred by this Act.
Constitution of the Authority,
Constitution of the Authority
Appointment of members of the Authority
Chairperson of the Authority
Tenure of Office of members
Removal from Office and vacancy
Minister to Gazette Policy
Remuneration of Members
Meetings of the Authority
Duties and Responsibilities of Members, etc.
is open for discussion
Commission, an independent institution
FUNCTIONS AND RESPONSIBILITIES OF THE AUTHORITY
35. All authorities (including all organs of the Government) bodies and
persons shall recognise the status of the Authority as a national
institution independent of the authority or direction of any other body or
person in matters related to the right to food and nutrition security.
Competence and powers
36. The Authority shall be competent in every respect to protect and promote
the right to food and nutrition security in Malawi in the broadest sense possible
and to investigate violations of such right on its own motion or upon
complaints received from any person, class of person or body.
Duties and function
37. (1) The duties and functions of the Authority shall be-
(a) to act as a resource for the right to food and nutrition security for the
Government and the people of Indonesia;
24 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
25. (b) to assist in educating the public on, and promoting awareness on food
security, safety, nutrition, safety nets and respect for, the right to food
and nutrition security ;
(c) to promote more particularly the right to food and nutrition security of
vulnerable groups, such as children, lactating mothers, illiterate persons,
persons with disabilities, the poor, the widowed, the orphans and the
elderly;
(d) to consider, deliberate upon, and make recommendations regarding any
issues, on its own volition or as may be referred to it by the
Government, stake holders or vulnerable groups, regarding food and
nutrition security;
(e) to study the status and effect of legislation, judicial decisions and
administrative provisions and policies for the protection and promotion
of the right to food and nutrition security and to prepare reports on such
matters and submit the reports, with such recommendations or
observations as the Authority considers appropriate, to the authorities
concerned or to any other appropriate authorities.
(f) to perform any other function which the Government, in particular the
President or Parliament, may assign to the Authority in connection with
the duties of Indonesia under those international agreements in the field
of the right to food and nutrition security to which Indonesia is a party,
without derogation from the fact that the Government shall remain
primarily responsible for performing such functions.
(2) The Authority shall keep the President and Parliament fully informed on
matters concerning the general conduct of the affairs of the Authority.
Hearing
HEARINGS, INVESTIGATIONS AND REMEDIES
40. (1) The Authority may hear and consider complaints and petitions within
its competence brought before it by individuals or groups of individuals.
(2) Complaints may be brought before the Authority on behalf of individuals or
groups of individuals by the individuals themselves, legal practitioners, their
representatives, third parties, non-governmental organisations, professional
associations or any other representative organisations having an appropriate
interest in the matter.
Procedures of hearing
41. The Authority shall have power to determine its own procedure for the
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 25
26. conduct of hearing of matters brought before it but may otherwise be guided by
such procedures as may be prescribed by regulations made under this Act.
Conduct of investigation
42. (1) for the purposes of conducting investigations necessary for the
exercise of its powers and performance of its duties and functions, the
Authority shall have powers -
(a) through a member of the Authority or any member of its staff designated
in writing by a member of the Authority or by the Authority either
generally or specially to require from any person such particulars and
information as may be reasonably necessary in connection with any
investigation;
(b) to require any person by notice in writing under the hand of a member
of the Authority to appear before it at a time and place specified in such
notice and to produce to it all articles or documents in the possession or
custody or under the control of any such person and which may be
necessary in connection with that investigation:
Provided that-
(i) such notice shall contain the reasons why the presence of such
person is required and why any such article or document should be
produced;
(ii) When appearing and being examined before the
Authority, such person may be assisted by a
legal practitioner and shall be entitled to peruse
or examine the articles and documents to refresh his memory;
(c) through a member of the Authority, to administer an oath to, or take
an affirmation from, any person referred to in paragraph (b), or any
person present at the place referred to in paragraph (b), irrespective
of whether or not such person has been required under that
paragraph to appear before it, and question him under such oath or
affirmation in connection with any matter which may be necessary in
connection with that investigation.
(2) A notice under subsection (1) shall not be effectively served unless it is
delivered by-
(a) a member of the Authority;
(b) a member of the staff of the Authority;
26 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
27. (c) a police officer or any other person, authorised in that behalf by the
Authority in relation to an investigation .
3. Any person questioned under subsection (1) shall -
(a) be competent and compelled to answer all questions put to him regarding
any fact or matter connected with the investigation;
(b) be competent and compellable to produce to the Authority any article or
document in his possession or custody or under his control which may be
necessary in connection with that investigation.
4. The law regarding privilege as applicable to a witness summoned to give
evidence in a criminal case in a court of law shall apply in relation to their
questioning of a person under subsection (1).
5. If it appears to the Authority during the course of an investigation that any
person is being implicated in the matter being investigated, the Authority shall
afford such person an opportunity to be heard in connection therewith by way
of the giving of evidence or the making of submissions and such person or his
legal representative shall be entitled, through the Authority, to question other
witnesses, determined by the Authority pursuant to this section.
6. The Authority may direct that any person or category of persons or all
persons the presence of whom, in the opinion of the Authority, is not desirable,
shall not be present at the proceedings or any part thereof during, or in the
course of, an investigation.
7. The Authority may in its sole discretion conduct open or closed hearings
during its investigation of any matter.
Remedies
Is open for discussion
DECENTRALISATION AND COLLABORATION
Local Authorities Role
46. Local Authorities shall have the responsibility to plan measures paralleling those
of the Government as well as plan and execute measures concerning the promotion
and protection of the right to food and nutrition security according to the social,
economic and cultural conditions of the area under their jurisdiction.
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 27
28. Regulations made by Local Authorities
47. Local Authorities may subject to the approval of the Authority promulgate
regulations dealing with the protection and promotion of the right to food and
nutrition security in the areas under their jurisdiction.
28 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
29. Lampiran 2
Keterangan latar belakang Kertas Posisi
Riza V. Tjahjadi (2004)
(message circulation by e-mail 16 Agustus 2004)
The report contains text proposals by Members of the IGWG for each element of
the Voluntary Guidelines, during the Third Session of IGWG 5-9 July 2004.
Voluntary Guidelines as reflection Right-based approaches to Food Security doesn't
bring stronger Farmers' Rights, in contrast, expanding the intellectual property
rights (IPR) regime into FAO… 7.3bis States should, within the framework of
relevant international agreements, including those on the intellectual property,
promote access medium and small-scale farmers to research results enhancing food
security.
----
What is the meaning, what are the implications of consolidated the last two texts
mentioned above?
I have some reasons as argument why we lost and keep text of Voluntary Guidelines
on Right to Adequate Food worst for farmers and local communities. First, Plant
Genetic Resources (PGR) in the text clearly stands to IPR regime within World Trade
organisation (WTO). We understood: No other stronger the international instrument
than TRIPs, including UPOV’ system for plant breeder rights. PGR under TRIPs will be
more awful, when we aware to meaning of “specific national policies legal
instruments” in the context of recent trend Free Trade Agreement (FTA). It can be
brought under TRIPs Plus; that is stronger (control) monopoly regime over PGR.
Second, "sharing benefit arising from the use of these resources", can be interpreted as
specific in the context of food and agriculture. Meaning, we should refer to the
International Treaty on PGR for food and agriculture, and therefore, I may say:
Nonsense to bring real share of benefit to farmers in the "Center of origin" (including
farmers in the “Centre of crop diversity”). This because, MTA or material transfer
agreement in the treaty yet begin to be negotiated. Meanwhile, if we refer into broader
scope, that is the Convention on Biological Diversity (CBD), I, then, recognise access
to benefit sharing or ABS is still not clear.
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 29
30. For me, PGR as well as seeds is the most valuable issue advocate by the most NGOs
and farmers' groups in the South. Once again the South, esp. in the Southeast Asia
region for more than TWO DECADES... although in the last couple years the strongest
voice in the WTO articulated by the African countries (the African Group) when
dealing TRIPs, esp. Article 27.3.b. (Tjahjadi, 16 Agustus 2004).
---
E/CN.4/Sub.2/1999/12
28 June 1999
COMMISSION ON HUMAN RIGHTS
Sub-Commission on Prevention of
Discrimination and Protection
of Minorities
Fifty-first session
Item 4 of the provisional agenda
THE REALIZATION OF ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS
The right to adequate food and to be free from hunger
Updated study on the right to food, submitted by Mr. Asbjørn Eide
in accordance with Sub-Commission decision 1998/106
IV. CLARIFYING THE RIGHT TO FOOD AND NUTRITION
AND THE CORRESPONDING STATE OBLIGATIONS
44. The right to food forms part of the broader right to an adequate standard of living.
(10) The right to an adequate standard of living - or to livelihood - sums up the main
concern underlying all economic and social rights, which is to integrate everyone into
a humane society. The ultimate purpose of promoting the right to adequate food is to
achieve nutritional well-being for the individual child, woman and man. Human
nutritional status is determined by at least three major clusters of conditions which
interact in a dynamic fashion, relating to food, health and care, and with education as
a cross-cutting dimension. Food alone is not sufficient to ensure good nutrition for the
individual. The right to adequate food is a necessary, but not alone sufficient
component of the right to adequate nutrition. The full realization of the latter depends
also on parallel achievements in the fields of health, care for the vulnerable, and
education. Later instruments, especially the Convention on the Rights of the Child,
30 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
31. recognize this broader right to nutrition as well as its cross-cutting nature relative to
many other rights, including civil and political rights.
45. Article 11 of the ICESCR focuses on the food dimensions of the broader concept.
The call by the World Food Summit for a better definition of the right to food as
contained in article 11 has now in broad outline been met through the process
described in chapter III and culminated with the adoption by the Committee on
Economic, Social and Cultural Rights of General Comment No. 12. This is a most
significant step in the process towards clarification of the content of the right to food
and the steps that should be taken for its realization. Given its origin as the official
interpretation by the treaty body responsible for monitoring States parties'
implementation of the right to adequate food, this general comment will in the time
ahead stand as the most authoritative document formulated to date regarding the right
to food.
---
Sejarah hak azasi atas pangan
KTT Pangan Dunia tahun 1996 meminta UNHCR untuk mendefinisikan
kandungan hukum dari hak azasi atas pangan. Konsekuensi lain dari KTT ini
adalah untuk membuat “draf tata laksana pada hak asasi atas pangan yang cukup”
(FIAN dan lainnya). Pasal 4 menyatakan bahwa definisi (2002) dari hak azasi atas
pangan:
Definisi: Hak asasi atas pangan berarti bahwa setiap laki-laki, perempuan
dan anak-anak sendiri dan dalam masyarakat dengan yang lainnya harus
memiliki akses fisik dan ekonomi setiap saat kepada pangan yang cukup
dengan menggunakan dasar sumberdaya yang layak untuk pelaksanaannya
dengan cara yang sesuai dengan martabat manusia. Hak azasi atas pangan
merupakan bagian yang jelas dari hak azasi atas standar kehidupan yang
layak.
Core content dan Standar Minimal dari definisi tersebut
General Comment 12 mengatakan dalam §8 core content berisi
• Ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan makan harian dari individu, bebas dari bahan yang berbahaya, dan
dapat diterima dalam budaya yang bersangkutan
• Ketersediaan dari pangan tersebut dalam hal ini berkelanjutan dan tidak akan
menyalahi penikmatan hak azasi manusia lainnya.
Dalam konteks ini Brandstäter (2002) menyatakan akses adalah fundamental. Ini
harus cukup dalam hal kualitas dan jumlah. Suatu ketika pernah didefinisikan
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 31
32. dengan istilah pemasukan (intake) nutrisi, kalori dan protein. Konsekuensi dari
kekurangan pangan, kelaparan dan kekurangan gizi, dapat didiagnosa dengan
pertimbangan medis.
Terdapat minimum standard yang universal dalam semua keadaan: Pasal 11(2)
ICESCR sebagai hak yang fundamental right untuk bebas dari kelaparan.
Dalam perspektif ini, maka bisa saja memandang kebutuhan makan harian
minimal seperti halnya kebutuhan pendapatan minimal guna mencegah kelaparan
dan kekurangan gizi serta kekurangan dari kebutuhan dasar lainnya bagi
kelompok yang kekurangan. Ini sering disebut dengan absolute poverty line atau
basic needs line, di mana kebutuhan pendapatan untuk standar kehidupan yang
layak menurut Pasal 1191) disebut relative poverty line. Tidak adanya kemiskinan
absolut dapat dilihat sebagai minimum standard menurut hak azasi kepada standar
kehidupan yang layak. Dalam istilah pendapatan garis kemiskinan relatif biasanya
didefinisikan sebagai persentase dari rata-rata penghasilan per kapita dalam suatu
negara. Kebanyakan ilmuwan sosial setuju bahwa semua yang di bawah 40% dari
penghasilan per kapita biasanya dilihat sebagai kekurangan relatif. Oleh sebab itu
tanda 40% disebut dengan “relative poverty line” atau “adequacy line”.
Interdependensi dari hak azasi
• Hak atas pangan adalah bagian dari hak atas standar kehidupan yang layak.
• Hak ini dapat dilihat untuk dilaksanakan melalui alih kesejahteraan sosial,
melalui hak untuk memperoleh kehidupan atau melalui hak atas keamanan
sosial, di dalam suatu kondisi dimana orang orang tidak mendapatkan
kehidupan mereka (yang layak).
• Hak untuk bekerja: bagi banyak kelompok rentan, hak atas pangan berarti hal
yang utama dari semua hak keluarga atau masyarakat untuk memberi makan
mereka sendiri. Ini berarti bahwa akses kepada sumberdaya produktif dan
pekerjaan. Kebanyakan orang menyadari hak mereka atas pangan dengan
menyadari hak mereka akan pekerjaan.
• Hak untuk kesehatan: hubungannya jelas untuk pertanyaan kekurangan gizi,
yang merupakan penyebab terbesar dari besarnya jumlah kematian yang
berhubungan dengan kesehatan di belahan bumi Selatan. Dan lagi, pengaruh
teknik produksi pertanian yang dikembangkan oleh agrobisnis telah
mengancam kesehatan semua orang.
• Hak asasi perempuan atas pangan: dalam undang undang, kondisi ekonomi
dan sosial perempuan telah dirugikan. Hak azasi perempuan terdapat dalam
banyak situasi yang ditimbulkan pada hak azasi mereka atas pangan.
• Hak asasi budaya dan minoritas yang berhubungan dengan pangan telah
dihargai, dilindungi dan dipenuhi. Dalam banyak kasus ini mengharuskan
32 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
33. masyarakat untuk memberi makan sendiri. Hal ini jelas untuk masyarakat adat.
Masyarakat ini menilai pangan sebagai bagian dari budaya mereka.
• Di dalam banyak kondisi (masyarakat adat) perlu melihat kepada hak azasi atas
pangan, dan dalam hak azasi tertentu hak untuk memberi makan diri sendiri,
adalah hak masyarakat.
• Kebanyakan pengamat setuju bahwa reformasi pertanian merupakan kondisi
yang penting untuk melaksanakan hak azasi atas pangan itu sendiri.
---
Memberlakukan Hak-hak ESC Melalui Sistem Hukum Domestik
Justiciability berarti:
Kasus dapat diajukan ke pengadilan. Paling tidak itu adalah kewajiban negara untuk
menjamin perlindungan hukum dari hak-hak ESC yang dilindungi secara internasional.
Lihat General Comment 9: “… maksud pelaksanaan yang dipilih harus cukup untuk
menjamin pemenuhan dari kewajiban Convenant. Kebutuhan untuk menjamin
justiciability akan relevan bila menjelaskan cara terbaik untuk memberi pengaruh
hukum domestik kepada hak-hak Covenant.” (para7)
Disarankan strategi berikut:
i. Menggunakan pengadilan untuk menjamin pelaksanaan hak ESC secara
langsung. Identifikasi kelalaian pemerintah.
ii. Pastikan justiciability dengan meminta informasi publik tentang status
perwujudan hak-hak ESC (see General Comment 1).
iii. Dapatkan kewajiban pemerintah untuk hak hak ESC dari hak-hak asasi sipil
dan politik, contohnya, yang berhubungan dengan hak azasi untuk hidup.
iv. Bentuk kewajiban untuk hak-hak azasi ESC berdasarkan pada prinsip non-
diskriminasi, lihat tidak hanya Pasal 2.2 ICESCR, tetapi juga Pasal 26 ICCPR.
v. Bentuk kewajiban untuk hak azasi ESC berdasarkan pada hak asasi yang
tidak dapat dipisahkan
vi. Gunakan konsep jaminan non-regresi dalam menikmati hak asasi ESC –
dengan kata lain, pelarangan pada adopsi kebijakan, tindakan dan undang-
undang yang memperburuk situasi hak azasi ESC yang telah dinikmati oleh
penduduk ... satu dari kewajiban yang jelas adalah pemberlakuan keadilan.
vii. Hak untuk perlindungan keadilan dan jaminan dari proses untuk
melindungi hak asasi ESC (p 427). Hak untuk perlindungan keadilan adalah
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 33
34. satu dari hak-hak yang penting yang dijamin dalam hak asasi manusia yang
dapat memberikan keuntungan efektif untuk justiciability dari hak-hak ESC.
Terdapat 3 komponen penting dari jaminan oleh proses dalam perangkat
Eropa, Amerika dan Afrika:
a. Tinjauan keadilan yang memadai dari keputusan administratif
b. Waktu yang beralasan
c. Kesetaraan tentara (jaminan prosedur yang setara)
viii. Menterjemahkan konstitusi negara dan jaminan hukum menggunakan
norma internasional
ix. Menggunakan hak yang lebih tinggi dari pengadilan di negara lain
---
PANDUAN 15: BANTUAN PANGAN INTERNASIONAL
15.1 Negara-negara donor harus menjamin bahwa kebijakan bantuan pangan mereka
membantu upaya upaya nasional oleh Negara penerima untuk mencapai keamanan
pangan dan berdasarkan ketentuan bantuan pangan mereka yang mendasarkan pada
penjajakan kebutuhan yang mentargetkan khususnya ketidaktahanan pangan dan
kelompok-kelompok rentan. Dalam konteks ini, negara donor harus memberikan
bantuan dengan memperhitungkan keamanan pangan, yang penting tidak merusak
produksi pangan lokal dan kebutuhan nutrisi dan makanan harian serta budaya
masyarakat negara penerima. Bantuan pangan harus diberikan dengan strategi keluar
(clear exit strategy) yang jelas dan menghindari terbentuknya ketergantungan. Donor
harus mempromosikan peningkatan penggunaan pasar-pasar komersial domestik dan
regional untuk memenuhi kebutuhan pangan di negara negara yang cenderung
kelaparan dan menurunkan ketergantungan pada bantuan pangan.
15.2 Transaksi bantuan pangan internasional, seperti bantuan pangan bilateral yang
dimonetisasi, harus dilaksanakan sesuai dengan FAO Principles of Surplus Disposal
and Consultative Obligation, Food Aid Convention dan WTO Agreement on
Agriculture, dan harus memenuhi standar-standar keamanan pangan yang telah
disetujui secara internasional, menurut keadaan lokal, tradisi dan budaya makan.
15.3 Negara dan pelaku bukan pemerintah yang relevan, sesuai dengan hukum
internasional, aman dan tidak dirintangi aksesnya kepada penduduk yang
membutuhkan, seperti untuk penjajakan kebutuhan internasional dan agensi agensi
kemanusiaan yang terlibat dalam distribusi bantuan pangan internasional.
15.4 Ketentuan bantuan pangan internasional dalam keadaan darurat harus khusus
memperhitungkan tujuan-tujuan rehabilitasi dan pembangunan jangka panjang di
34 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
35. negara penerima dan harus menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan yang diakui
secara internasional.
15.5 Penjajakan kebutuhan dan perencanaan, pemantauan dan evaluasi ketentuan
bantuan pangan harus, sebisa mungkin, dibuat dengan cara partisipatif, dan bila
mungkin, dalam kolaborasi yang dekat dengan pemerintah penerima pada tingkat
nasional dan lokal.
10 Februari 2006 18:09:49
Laporan Advokasi Hak Atas Pangan PBHI: RAKYAT BUTUH PANGAN BUKAN
PENGGUSURAN
1. Mengapa Hak Atas Pangan
Banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau, sesungguhnya
menunjukan masih kacaunya pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Pun
demikian dengan persoalan air bersih terutama di kota besar seperti Jakarta.
Dengan maksud membenahi manajemen di perusahaan daerah air minum, PAM
JAYA diprivatisasi, tapi apa yang menjadi hasil, kualitas air masih buruk dan
harganya kian mahal. Maka pengelolaan sumber daya air berpengaruh kepada hak
atas pangan masyarakat. Namun ditengah situasi tersebut Mahkamah Konstitusi
(MK) justru menolak permohonan judicial review dari organisasi-organisasi
masyarakat sipil (Civil Soceity Organizations – CSOs) atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004, sebuah undang-undang yang dinilai melanggar UUD 1945
dan Undang-Undang Nomor 39 Tentang Hak Asasi Manusia serta lebih
mengedepankan kepentingan modal internasional terutama World Bank (Bank
Dunia) dan Asian Development Bank (Bank Pembangunan Asia) dan membatasi
hak akses masyarakat kepada air. Meski demikian Komnas HAM (Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia ternyata tidak menunjukan sikap yang tegas dalam
perlindungan hak asasi manusia sebagai amanatnya sebagaimana yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tentang HAM.
Dalam situasi tersebut di atas, juga muncul wabah gizi buruk dan busung lapar di
beberapa tempat di Indonesia. Pemerintahan SBY-JK menjawab permasalahan
tersebut dengan revitalisasi pertanian. Akan tetapi tanpa reforma agraria, maka
revitalisasi pertanian dikhawatirkan hanya akan menciptakan “Revolusi Hijau Jilid
Kedua. Kekhawatiran akan hancurnya pertanian dengan ketiadaan reforma agraria,
seakan menjadi kenyataan ketika pemerintahan SBY-JK, sebagai tindaklanjut dari
Konfenrensi Infrastruktur 2005 (Infrastruktur Summit 2005) mengeluarkan
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 35
36. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Dan kembali organisasi-organisasi masyrakat sipil melakukan aksi penolakan salah
satunya dengan legal reform dengan mengajukan judicial review Perpres 36
Tahun 2005 ke Mahkamah Agung (MA) dengan pengalaman kekalahan judicial
review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang pengelolaan Sumber Daya
Air dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomer 1 Tahun 2004 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-
Undang di MK.
PBHI, dalam rangka pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya
hak masyarakat kepada sumber-sumber agraria (tanah, air, dan pangan), selain
melakukan aksi penggalangan opini (opinion building) lewat kampanye publik
serta aksi massa juga melakukan legal work bersama dalam koalisi, juga membuat
terobosan atau inisiatif dengan mengadakan audiensi ke Komnas HAM menuntut
agar Komnas HAM bersikap kepada KTT Infrastruktur 2005. Komnas HAM
memang telah mengeluarkan rekomendasinya atas Perpres 36/2005, namun sikap
terhadap hasil-hasil KTT Infrastruktur 2005 tetap signifikan dan mendasar,
dikarenakan ada secarama modus operandi yang sama antara hasil-hasil KTT
Infrastruktur 2005 dengan progam developmentalism dan Marshal Plan, yaitu
internasionalisasi modal tanpa batas.
Dalam konteks mekanisme HAM nasional dan internasional, Special Rapporteur
on Rights to Food yang dibentuk Komisi HAM PBB, telah menawarkan kerangka
acuan bagi perlindungan hak atas pangan dan mengeluarkan rekomendasi bahwa
tanpa reforma agraria, maka kelaparan dan kemiskinan tidak bisa diatasi.
Komnas HAM yang kala itu diwakili oleh bapak Saffroedin Bahar, kurang lebih
mengatakan bahwa Komnas HAM dalam tema agraria masih berkonsentrasi
dengan penyelesaian konflik agraria di masa lalu dengan mendorong terbentuknya
KNUPKA (Komisi Nasional untuk Poenyelesaian Konflik Agraria) dan invetarisasi
hukum adat. Sedang PBHI sendiri memilih jalan dalam rangka pemajuan dan
pembelaan hak asasi manusia akan melakukan pendampingan hukum kepada
masyarakat dalam rangka menyelesaikan konflik agraria dan mendorong tema
reforma agraria dalam rangka pemajuan HAM dari membanguan wacana atau
discourse (social justice initiative) hingga ke legal reform serta akan mengikuti
mekanisme advokasi hak atas pangan yang ditawarkan Pelapor Khusus Hak Atas
Pangan.
Sebagai tindaklanjut dari itu, PBHI kembali mendatangi Komnas HAM untuk
memberikan tawaran tematik tentang perlunya Komnas HAM melakukan
36 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
37. assessment hak atas pangan dengan realita busung lapar, gizi buruk, flu burung
dan anthrax sebagai pintu masuk. Bapak Ansyari Thayib dari Komnas HAM yang
kala itu menerima delegasi PBHI, kemudian menawarkan kerjasama
penyelengggaran Focus Group Discussion (FGD) tentang hak atas pangan.
Bapak H Amidhan selaku ketua subkomisi Ekosob Komnas HAM, kemudian
meminta PBHI agar membikin rincian yang lebih detil mengingat Komnas HAM
pernah menyelenggaran seminar hak atas Pangan.
Dari studi PBHI atas dokumen-dokumen seminar hak atas pangan Komnas HAM,
PBHI menyimpulkan ada beberapa hal yang semestinya segera ditindaklanjuti.
2. Mendisain Pemenuhan dan Perlindungan Hak Atas Pangan
Untuk mendukung basis pengetahuan PBHI sebagai bekal FGD, maka PBHI
menyusun working paper (kertas kerja) berfungsi sebagai bagian dari pemantauan,
analisis, dan sebagai bahan kampanye. Yang mana paper tersebut mencakup peta
rawan pangan, evaluasi kebijakan publik negara dan studi instrumen-instrumen
HAM yang mengatur perlindungan hak atas pangan.
FGD Hak Atas Pangan diselenggarakan tanggal 24 November 2005, dihadiri oleh
multi stake holder yang terkait dengan hak atas pangan, mulai dari instansi negara,
human rights defender, ormas tani, gerakan mahasiswa, kelompok perempuan,
ormas keagamaan, dan lain-lain.
Daftar Peserta Focus Group Discussion TentangPenganturan dan Realitas
Pemenuhan Hak Atas Pangan Kerjasama: Komnas HAM dan PBHI, 24 November
2005
No Institusi
PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
FSPI (Federasi Serikat Petani Indonesia)
FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia)
Departemen Perikanan dan Kelautan
Komisi Nasional Perempuan
YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)
Departemen Sosial
ISAC (Institute of Studi and Advocacy)
Migrant Care
INFID (Internasional NGO for Indonesia Development)
BKP-Deptan (Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian)
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 37
38. Bina Swadaya
Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia)
Departemen Perindustrian
Dirjen pertanian dan Pangan (Bappenas) Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional
Biro Hukum Departemen Perdagangan
UPC (Urban Poor Consortium)
Komisi IV DPR RI
Yayasan Sosial Bina Desa
Agra (Aliansi Gerakan Reforma Agraria)
PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)
KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria)
FMN (Front Mahasiswa Nasional)
Beberapa Hal yang Mengemuka dalam FGD hak atas pengan tersebut adalah
sebagi berikut:
A. Guidelines atau Code of Conduct Pemenuan Hak Atas Pangan
Prinsip umum dari hak atas pangan, adalah, pertama, pemenuhan hak atas pangan
rakyat adalah tanggungjawab negara. Kedua, ketahanan pangan hanya bisa
dicapai jika ada kecukupan lahan bagi produksi pangan, distribusi yang baik
produksi pangan, dan ketersedian pangan pangan yang dkonsumsi.
Sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, khususnya hak ekonomi, sosial dan
budaya, sudah cukup banyak instrumen dan mekanisme hak asasi manusia
internasional dan nasional yang bisa dijadikan guidelines. Diluar instrumen utama
hak asasi manusia internasional, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights), dan Konvenan Internasional Hak
Ekonomi, Sosial, Budaya (International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights), ada World Food Summit, CEDAW (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/Konvensi tentang
Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), Konvensi Hak
Anak (Convention on the Rights of the Child), UN Millenium Developments Goals
(MDGs) dan lain.
Di Indonesia instrumen dan mekanisme HAM juga bisa dibilang lebih dari
mencukupi. Beberapa diantaranya adalah UUD 1945 BAB XA Hak Asasi Manusia
Pasal 28 A- 28 J, Tap MPR Nomer 17 Tahun 1998 tentang HAM, Tap MPR Nomer
7 Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, Undang-
Undang Nomer 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomer 26 Tahun
2000 tentang Peradilan HAM, dan Undang-Undang Nomer 27 Tahun 2005
38 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
39. tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pemerintah Indonesia juga telah
meratifikasi beberapa konvenan internasional HAM.
Namun di luar instrumen HAM, banyak juga instrumen yang justru mengganggu
hak atas pangan, misalnya kesepakatan-kesepakatan di WTO (World Trade
Organization/Organisasi Perdagangan Dunia), termasuk juga perjanjian bilateral
dengan negara dengan IMF (International Monetary Fund/Lembaga Keuangan
Internasional), World Bank (Bank Dunia), ADB (Asian Development Bank/ Bank
Pembangunan Dunia), hal ini terkait dengan kebijakan negara tentang privatisasi,
pencabutan subsidi, dan liberalisasi perdagangan dan permodalan yang disponsori
lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut.
Negara (pemerintah RI) memang telah membikin instrumen (badan dan produk
hukum) dalam rangka pemenuhan hak atas pangan, yaitu Badan Ketahanan
Pangan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Namun dalam kenyataan negara gagal memenuhi hak atas pangan dan bahkan
mengeluarkan kebijakan ekonomi yang memiskinkan rakyat yang berdampak
pada situasi rawan pangan
Untuk itu, dalam konteks legal, diperlukan Judicial review Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan produk hukum yang kontraproduktif
dengan pemenuhan hak atas pangan. Salah satu kendala adalah pertanyaan
bagaimana produk hukum yang kontraproduktif dengan ketahanan pangan akan
tetapi Mahkamah Konstitus (MK) menolak judicial review, contohnya adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air,
C. Social Policy
Pemenuhan hak atas pangan memerlukan langkah yang komprehensif dan lintas
sektoral, yang mana hal tersebut tercermin dari kebijakan publik negara, yang hal
tersebut meliputi:
Pelaksanaan Reforma agraria dalam rangka melindungi hak akses masyarakat
terhadap sumber-sumber agraria: kecukupan lahan, irigasi, air minum, dan
kebijakan pertanian
Perubahan sistem ekonomi dan perlindungan ekonomi rakyat
Kebijakan perburuhan yang melindungi sektor informal, buruh migran, dan buruh
industri
Pemberdayaan dan perlindungan sektor usaha mikro (informal dan pertanian)
Perlindungan hak akses masyarakat terhadap lapangan kerja
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 39
40. Jaminan sosial masyarakat dan Jatah Hidup (Jadup) bagi pengungsi bencana alam
maupun wilayah konflik
Tanggung jawab negara untuk memberikan pemahaman tentang gizi yang benar
terhadap dan perlindungan bahan pangan dari virus (flu burung dan anthrax dan
bahan kimia yang berbahaya termasuk kualitas air minum
D. Pemerintahan
Agar kebijakan publik negara dapat berjalan diperlukan anggaran dan solusi
pembiayaan yang tercermin di APBN. Hal ini tentu sangat terkait dengan politik
anggaran, kebijakan fiskal dan bagimana negara memanajemen hutang dan
pembayaran hutang luar negeri.
Secara teknis pula dibutuhkan penyelerasan strategis atau sinkronisasi kebijakan
dan koordinasi antar departemen dan pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah, hal ini tentu terkait dengan pengelolaan otonomi daerah.
E. Rencana Aksi
Diperlukan segera tindakan sesuai dengan mandat organisasinya masing-masing
ataupu secara bersama yang itu berupa:
Kampanye mendorong reforma agraria sebagai kata kunci penyelesaian situasi
rawan pangan dan pemnuhan hak atas pangan
Menjadikan World Food Sumit sebagai momentum
Aksi menuntut pertanggungjawaban negara hak atas pangan yang melibatkan
massa rakyat (pendidikan dan pengorganisiran)
Legal work (judicial riview Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan, gugatan class action atas kegagalan negara memenuhi hak atas pangan
masyarakat, legal drafting sebagai bagian dari legal reform produk hukum terkait
dengan pemenuhan hak atas pangan, dan penggunaan mekanisme HAM nasional
dan internasional dalam rangka pembelaan dan perlindungan hak atas pangan
Perlunya segara Komnas HAM melakukan assesment atau audit pelaksanan hak
atas pangan yang dilakukan negara.
Gunawan, PBHI 2005
http://www.pbhi.or.id/content.php?id=54&id_tit=6
---
40 BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007
41. United Nations High Commissioner for Human Rights
The right to food
Commission on Human Rights resolution 2000/10
(…)
2. Also reaffirms the right of everyone to have access to safe and nutritious food,
consistent with the right to adequate food and the fundamental right of everyone to be
free from hunger so as to be able fully to develop and maintain their physical and
mental capacities;
(…)
8. (…) Committee on Economic, Social and Cultural Rights in promoting the right to
adequate food, in particular its General Comment No. 12 (1999) on the right to
adequate food (art. 11 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights), in which the Committee affirmed, inter alia, that the right to adequate food is
indivisibly linked to the inherent dignity of the human person and is indispensable for
the fulfilment of other human rights enshrined in the International Bill of Human
Rights and is also inseparable from social justice, requiring the adoption of appropriate
economic, environmental and social policies, at both the national and international
levels, oriented to the eradication of poverty and the fulfilment of all human rights for
all;
52nd meeting
17 April 2000
[Adopted by a roll-call vote of 49 votes to 1, with 2 abstentions. ]
What is the right to food?
Since its inception, the United Nations has identified access to adequate food as both
an individual right and a collective responsibility. The 1948 Universal Declaration of
Human Rights proclaimed that "everyone has the right to a standard of living adequate
for the health and well-being of himself and his family, including food…". Nearly 20
years later, the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966)
developed these concepts more fully, stressing "the right of everyone to … adequate
food" and specifying "the fundamental right of everyone to be free from hunger".
So, what is the distinction between the right to be free from hunger and the right to
adequate food? The right to freedom from hunger is fundamental. This means that the
state has an obligation to ensure, at the very least, that people do not starve. As such,
this right is intrinsically linked to the right to life. In addition, however, states should
also do everything possible to promote full enjoyment of the right to adequate food for
everyone within their territory -- in other words, people should have physical and
economic access at all times to food that is adequate in quantity and quality for a
healthy and active life. For food to be considered adequate, it must also be culturally
acceptable and it must be produced in a manner that is environmentally and socially
sustainable. Finally, its provision should not interfere with the enjoyment of other
BioTaniInd/position paper on Right to Food/BO/1Feb2007 41