Ribuan kasus ketenagakerjaan TKI di Malaysia yang melibatkan 2,208 pekerja belum terselesaikan. Atase Ketenagakerjaan KBRI Malaysia mengatakan kasus-kasus tersebut membutuhkan waktu lama untuk penyelesaiannya karena melalui jalur hukum atau proses perburuhan. TKI yang mengadukan masalah ditampung sementara di shelter KBRI sambil menunggu proses hukum berjalan.
1. KETENAGAKERJAAN
(Studi Terhadap Analisis Kasus Ribuan Kasus TKI di
Malaysia Belum Terselesaikan)
{Tugas Kelompok Ekonomi Publik}
Oleh :
Anugrah Putra Sanjaya 0616041021
Indah Sri Wahyuni 0616041008
Resa Margareta 0616041048
Barita P.M Siahaan 0616041024
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2. 2008
Pengantar
Saat ini Indonesia telah menjadi bagian dari negara-negara pengirim buruh migran dalam
jumlah yang cukup besar. Mereka memenuhi lapangan pekerjaan baik di negara-negara
Timur Tengah, Asia Timur, Asia Tenggara, Amerika, maupun Eropa. Depnaker
memproyeksikan peningkatan pengiriman buruh migran ke luar negeri pada Pelita VI
(1993/4-1998/9) hingga 1,25 juta. Dalam era globalisasi proyeksi ini dimungkinkan
terjadi bahkan besar kemungkinan jauh terlampaui. Migrasi buruh menjadi sebuah
keniscayaan yang tak mungkin dibendung; yang menjadi persoalan adalah --seperti juga
nasib buruh migran dari negara-negara lainnya-- kondisi buruh migran Indonesia banyak
diwarnai dengan berbagai peristiwa kelabu, dan posisi mereka begitu rentan terhadap
proses eksploitasi.
Kasus kekerasan terhadap buruh migran Indonesia (terutama TKW) hampir terjadi setiap
waktu. Sebenarnya permasalahan ketenagakerjaan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
perekonomian suatu nigara. Percaya atau tidak, pada mulanya muncul akibat dari
pengangguran yang luas terutama di Indonesia. Pengganguran ini memberikan efek yang
besar bagi menurunya pertumbuhan ekonomi negara Indonesia. Banyaknya
pengangguran akibat dari minimnya lapangan pekerjaan di Indonesia merupakan
permaslahan yang sangat kompleks dan perlu dipikirkan jalan keluarnya oleh pemerintah.
Masalah pengangguran merupakan masalah yang dapat menggangu laju pertumbuhan
ekonomi negara terhambat.
Secara kasat mata, sebenarnya masih ada aspek positif yang dapat dijadikan sebagai
modal sosial untuk perumusan kebijakan ketenagakerjaan di masa mendatang. Aspek itu
adalah perhatian positif terhadap hak-hak dasar pekerjaKami yakin jika permasalahan
tersebut dapat dikelola secara optimal oleh pemerintah, bukan tidak mungkin suatu saat
nanti permasalahan tersebut dapat berubah menjadi aset yang paling utama dalam
peningkatan perekonomian negara ini.
3. PEMBAHASAN
A. Istilah-istilah di Ketenagakerjaan
Tenaga Kerja adalah setiap orang laki-laki atau wanita yang sedang dalam dan/atau akan
melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan
barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja merupakan nilai tambah Produk Domestik Bruto
(PDB) dibagi dengan jumlah penduduk yang bekerja untuk menghasilkan nilai tambah
tersebut.
Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk
santuan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau
berkurang, dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga
kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.
B. Perkembangan Ketenagakerjaan di Indonesia
Menurut Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, ditentukan bahwa
yang dimaksud dengan ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan
tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.
Ketenagakerjaan adalah merupakan bagian penting bagi suatu perusahaan karena
menyangkut eksistensi suatu perusahaan dalam dunia industri. Lingkup ketenagakerjaan
meliputi fungsi pekerja dalam menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya,
menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara
demokratis, mengembangkan keterampilan dan keahliannya serta ikut memajukan
4. perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluargannya. Di sisi
lain pengusaha memiliki fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha,
memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka,
demokratis dan berkeadilan. Memperhatikan fungsi para pihak maka hubungan yang
tercipta antara pekerja dan pengusaha atau yang biasa disebut dengan hubungan
industrial, harus dijalankan secara selaras dan seimbang guna mencapai tujuan
perusahaan.
Dalam perjalanannya permasalahan utama yang muncul dalam hubungan industrial ini,
adalah menyangkut perselisihan mengenai hak-hak dan kepentingan dari pekerja dalam
suatu perusahaan, polemik mengenai pilihan hukum dalam penyelesaian juga sering
muncul. Kontroversi ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain dikarenakan sering
berubahnya peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan, ketidaksesuaian
pemahaman antara pengusaha dengan pekerja, dll.
Ketidaksesuaian paham antara pekerja dan pengusaha, dikarenakan pengusaha
memandang bagaimana mengeluarkan output biaya produksi dan konsumsi seminimal
mungkin untuk mendapatkan income yang maksimal, sedangkan disisi lain para pekerja
menginginkan terjaminnya hak-hak dan kepentingan mereka selaku pekerja yang telah
memberikan sumbangsih kepada perusahaan dalam mendapatkan keuntungan. Akibat
yang timbul dari perselisihan ini adalah aksi mogok yang dilakukan oleh pekerja,
pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon dan uang penghargaan masa kerja bagi
pekerja yang telah memenuhi masa kerja tertentu. ikuti perkembangan keteyang
Secara teoritis, ada tiga cara pokok untuk menciptakan kesempatan kerja atau berusaha
dalam jangka panjang, yakni :
1.Memperlambat laju pertumbuhan penduduk, yang diharapkan dapat menekan laju
pertumbuhan sisi penawarantenaga kerja.. Tetapi seperti dikemukakan di atas, cara ini
tidak memadai bagi Indonesia karena angka kelahiran memang tidak relatif rendah
dan dampaknya terhadap pertumbuhan kerja kurang signifikan dalam jangka pendek.
5. 2.Meningkatkan intensitas pekerja dalam menghasilkan output (labour intensity of
output). Tetapi dalam jangka panjang, cara ini tidak selalu berhasil karena tidak selalu
kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
3.melalui pertumbuhan ekonomi. Cara ini bukan tanpa kualifikasi karena secara empiris
terbukti bahwa pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja tidak terdapat hubungan
otomatis atau niscaya, tetapi justru tantangannya menjadi riil, karena hubungan yang
tidak otomatis itu, maka peranan pemerintah menjadi strategis dan crucial untuk
merancang strategi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan tetapi juga lebih kepada
"ramah" terhadap ketenagakerjaan (employment - friendly - growth)..
C.Rencana Tenaga Kerja Indonesia 2004-2009 (Upaya Untuk Memulihkan
Perekonomian)
Salah satu prioritas pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan oleh program
pembangunan nasional (Propenas 2000-2004 dan sejalan dengan CBHN 1999-2004
adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperluas landasan pembangunan
berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Untuk
mengukur keberhasilan pencapaian sasaran itu Propenas menggunakan sejumlah
indikator yang mencakup antara lain pertumbuhan ekonomi yang meningkat secara
bertahap sehingga mencapai 6-7 persen, inflasi terkendali sekitar 3-5 persen, menurunkan
tingkat pengangguran menjadi sekitar 5,1 persen, dan menurunnya jumlah penduduk
miskin menjadi sekitar 14 persen pada tahun 2004. Semua sasaran kuantitatif itu
tampaknya masih jauh dari yang diharapkan. Pertumbuhan ekonomi diukur dengan
Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2002 masih sekitar 3,7 persen, sementara
angka pengangguran menurut Survey Angkatan kerja Nasional (Sakernas) 2002 masih
sekitar 9,1 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah hampir mencapai 100 juta
jiwa.
6. D. Masalah Ketenagakerjaan Indonesia dan kebijakan
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sangat besar dan komplek, karena menyangkut
jutaan jiwa, dan kompleks, karena masalahnya mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh
banyak faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang sulit dipahami. Faktor
demografis mempengaruhi jumlah dan komposisi angkatan kerja. Indonesia cukup
berhasil dalam menurunkan angka kelahiran dan kematian secara berkesinambungan. Hal
ini justru berdampak pada pertumbuhan penduduk usia kerja yang jauh lebih cepat dari
pada pertumbuhan penduduk secara keseluruhan. Fakta ini menunjukkan tekanan kuat
dalam sisi penyediaan tenaga kerja. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi secara nasional
masih terlalu rendah, yaitu hanya 3,7 persen pada tahun 2002, suatu angka yang terlalu
rendah untuk dapat menyediakan lapangan kerja baru secara memadai. Akibatnya, angka
pengangguran terus meningkat mencapai 9,13 juta jiwa pada tahun yang sama.
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
yang penting adalah masih sulitnya arus masuk modal asing, perilaku proteksionis
sejumlah negara-negara maju dalam menerima ekspor negara-negara berkermbang, iklim
investasi, pasar global, berbagai regulasi dan perilaku birokrasi yang kurang kondusif
bagi pengembangan usaha, serta tekanan kenaikan upah di tengah dunia usaha yang
masih lesu. Masalah lain, yang tak kalah pentingnya adalah pelaksanaan etonomi daerah
yang dalam banyak hal seringkali tidak mendukung penciptaan lapangan kerja atau "tidak
ramah" terhadap tenaga kerja. Masalah ketenagakerjaan secara langsung maupun tidak
langsung berkaitan dengan masalah-masalah lainnya termasuk kemiskinan,
ketidakmerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan stabilitas politik.
Semua ini secara intuitif tampaknya telah dipahami oleh kebanyakan pengambil
kebijakan. Yang tampaknya kurangnya dipahami adalah bahwa masalah ketenagakerjaan
di Indonesia bersifat multidimensi, sehingga juga memerlukan cara pemecahan yang
multi-dimensi pula. Tidak ada jalan pintas dan sederhana untuk mengatasinya.
7. Masalah-masalah ketenagakerjaan bersifat multi-dimensi, mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor dengan pola hubungan yang kompleks sehingga
penyelesaiannya menuntut arah kebijakan dan pendekatan yang multi-dimensi pula.
Masalah ketenagakerjaan yang berskala besar, kompleks, serta masih didominasi oleh
tenaga kerja pertanian dan sektor informal memerlukan kebijakan pasar kerja yang lentur
(labour market flexibility). Melalui kebijakan itu, pihak pengusaha diharapkan dapat
mengatasi permasalahan ketenagakerjaan internal melalui penyelesaian tingkat upah,
bukan melalui pemutusan hubungan kerja yang berdampak sangat luas. Kebijakan
semacam itu diharapkan dapat mempersempit tingkat kesenjangan upah antara lapangan
usaha formal dan sektor informal, menekan laju kenaikan pengangguran terbuka, serta
memberikan peluang dalam menurunkan angka kemiskinan di negeri ini.
CONTOH KASIUS & ANALISIS
KASUS KETENAGAKERJAAN
Ribuan Kasus TKI di Malaysia Belum Terselesaikan
KUPANG--MIOL: Atase Ketenagakerjaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)
di Malaysia, Teguh Hendro Cahyono mengatakan, ribuan kasus ketenagakerjaan di
Malaysia yang melibatkan 2.208 orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dalam tahun 2006
belum terselesaikan.
"Secara keseluruhan terdata 54.476 orang TKI yang terlibat masalah, namun kasus yang
melibatkan 52.893 orang sudah diselesaikan sehingga kasus yang belum terselesaikan
melibatkan 2.208 orang," kata Cahyono dalam Desiminasi Perlindungan dan Advokasi
TKI di Luar Negeri, di Kupang, Jumat.
Desiminasi itu diselenggarakan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans)
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dihadiri instansi terkait.
Cahyono mengatakan, penanganan kasus ketenagakerjaan TKI itu tidak semuanya dapat
dilakukan dalam waktu singkat. Seringkali menyita waktu terutama kasus-kasus yang
penyelesaiannya melalui jalur hukum atau jabatan buruh.
Ia mencontohkan, kasus kekerasan yang dialami Nirmala Bonat yang hingga kini masih
dalam proses pengadilan (baru tahapan pemeriksaan saksi). Demikian pula kasus
kekerasan yang menimpa dua orang TKW lainnya yakni Sanih dan Yudista.
8. "Sejauh ini selama menunggu proses penanganannya, TKI yang mengadu ke KBRI
ditampung sementara di 'shelter' KBRI yang terletak di bagian belakang gedung KBRI,"
ujarnya.
Ia menyebut kasus ketenagakerjaan yang melibatkan TKI di pabrik, konstruksi, ladang
dan jasa berupa gaji tidak dibayar, hak dan fasilitas serta jenis pekerjaan tidak sesuai
dengan yang dijanjikan atau tidak sesuai dengan yang tercantum dalam perjanjian kerja.
Kasus dalam sektor informal atau pekerja rumah tangga berupa gaji tidak dibayar,
pemotongan gaji tidak sesuai ketentuan, majikan kasar, disuruh memasak masakan tidak
halal, tidak betah kerja, bekerja ganda, pelecehan seksual, dilarang berkomunikasi dengan
orang luar dan tidak diberi makanan layak.
"Setiap terjadi permasalahan, KBRI mengacu kepada kontrak kerja yang telah
ditandatangani oleh majikan dan PJTKI (Perusahaan Jasa TKI) sebagai wakil pekerja
serta diketahui oleh KBRI," ujarnya.
Kontrak kerja itu, tambah Cahyono, sering disebut sebagai kontrak induk yang
diperbanyak untuk dibaca dan ditandatangani oleh pekerja sebelum berangkat ke
Malaysia.
KBRI pun mengeluarkan "term of service" (TOS) sebagai acuan standar untuk semua
sektor. TOS tersebut menjelaskan hak dan kewajiban pekerja serta majikan sesuai
peraturan ketenagakerjaan yang berlaku di Malaysia.
"Khusus penyelesaian masalah ketenagakerjaan hubungan industrial atau perselisihan
kerja diupayakan melalui musyawarah mufakat antar majikan dan pekerja yang
difasilitasi KBRI. Penyelesaian seperti ini lebih banyak dilakukan hampir 95 persen,"
ujarnya.
Cahyono mengakui, secara umum pengguna tenaga kerja di Malaysia cukup puas dengan
kinerja TKI yang dinilai jujur, produktif, mudah menyesuaikan diri dan mempunyai
motivasi kerja yang tinggi.
"Banyak juga TKI yang berhasil menjalani masa kerja di Malaysia sehingga memperoleh
penghasilan yang memadai. Keluarganya di Tanah Air ikut sejahtera," ujarnya.
Analisis
Berdasarkan informasi yang didapat, saat ini permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia
memang sangat besar dan komplek. Pemberdayaan dalam sector ketenagakerjaan jika
9. dikelola dan di lindungi pemerintah secara baik dapat meningkatkan devisa Negara dan
nantinya akan membawa kemajuan perekonomian Negara kearah yang baik. Akan tetapi
jika permasalahan ini hanya ditangani setengah hati oleh pemerintah maka hal yang akan
tmenimbulkan masalah yang cukup sulit bagipemerintah, hal ini dapat dilihat dari
banyaknya difficult problem yang harus diselesaikan Negara seprti contoh kasus diatas.
Untuk itu hal yang seharusnya dilakukan pemerintah tidak hanya sebatas membuat
undang-undangsecara formal bagi ketenagakerjaan Indonesia,akan tetapi lebih mengarah
pada implementasi perlindungan dan evaluaasi (control) terhadap kebijakannya, sehingga
pada akhirnya akan membawa pengaruh positif bagi tenaga kerja dan juga perumbuhan
ekonomi Negara ditengah pengangguran yang merajalela.
Berdasarkan informasi analisa kelompok kami, permasalahan ketemngakerjaan dapat
digolongkan sebagai berikut :
1. Masalah universal yakni jaminan kesejahteraan pekerja di Indonesia
2. Masalah kesesuaian paham antar hak pekerja dan pengusaha (upah buruh rendah)
3. Kekerasan terhadap tenaga kerja
4. Keterampilan dan keahlian tenaga kerja Indonesia masih diragukan
5. Kurang konsernnya pemerintah terhadap permasalahan ini (terutama dalam
perlingungan tenaga kerja)
6. Ekonomi daerah yang kurang memperhatikan prospek lapangan pekerjaan
Terdapat beberapa cara yang harus diperhatikan pemerintah dalam mengatasi
permasalahan seperti diatas, yakni :
1. Menjamin kesejahteraan pekerja : Perusahaan mempunyai tugas etis untuk membayar
upah yang sama dan menyediakan standar buruh yang sama dimanapun mereka
berada. Namun pandangan ini ditolak oleh sebagian besar business ethicists dan
pengkritik international sweatshops. Karyawan di Indonesia banyak yang tidak
menerima gaji yang sesuai standard. Seharusnya pemerintah melakukan pengawasan
yang ketat terhadap banyak kasus remunerasi di Indonesia.
10. 2. Melakukan pengawasan (kontrol) tegas bagi perusahaan tenaga kerja : Menurut De
George perusahaan harus membayar upah minimum sebesar standar hidup, walaupun
perusahaan lokal tidak melakukannya. Namun, kenyataannya pandangan ini sulit
untuk diimplementasikan. Karyawan sudah seharusnya memperoleh upah yang sesuai
dengan standar hidup di negara mereka bekerja, walaupun perusahaan lokal tidak
mampu mewujudkannya.
3. Peningkatan kinerja pekerja (terampil) : yang relevan adalah apakah perusahaan
mencapai tujuan minimum secara universal. Dalam pandangan ini, memang logis
apabila apa yang diberikan perusahaan kepada karyawannya sesuai dengan kinerja
mereka bagi perusahaan, namun sulit untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata
khususnya di Indonesia mengingat kinerja perusahaan sangat minim dipengaruhi
produktivitas karyawannya.
4. Penentuan standar upah pekerja : Menurut standar ini, upah atau standar buruh
secara pasti dapat diterima apabila secara bebas dipilih oleh pekerja. Kebanyakan
business ethics menolak standar ini karena terdapat kegagalan pasar atau pasar tidak
dapat bekerja secara efektif. Pandangan ini juga lebih sulit lagi diimplementasikan di
Indonesia. Perusahaan mana yang mau rugi mengingat situasi global yang tidak
menentu tentunya perusahaan dituntut menekan cost sehingga mereka sangat sulit
untuk memberikan kebebasan kepada karyawannya untuk menentukan sendiri
gajinya. Standar yang ditentukan pemerintah saja masih banyak yang tidak dipenuhi
apalagi dengan classic liberal standard tentunya sangat tidak mungkin.
5. Pemerintah lebih menjamin K3, keamanan, keselamatan dan kesehatan para pekerja
al ini dilakukan agar para pekerja merasa dilingungi oleh pemerintah.
Saat ini permasalahan ketenagakerjaan lebih banyak didominasi oleh masalah
kesejahteraan (gaji, tunjangan, dll). Namun penyiksaan terhadap TKI maupun TKW
masih banyak terjadi. Pemerintah sudah mulai menunjukkan perhatian yang serius, berita
terakhir menunjukkan bahwa pihak pemerintah Indonesia telah bekerja sama dengan
pihak pemerintah Malaysia untuk menuntut 87 majikan yang terindikasi melakukan
pelanggaran kontrak kerja maupun bentuk kekerasan baik fisik maupun mental kepada
11. TKI & TKW. Hal ini berbeda jauh dengan tahun 1997 dimana kasus-kasus tersebut
sangat kurang diperhatikan oleh pemerintah kita.
Kasus outsourcing serta maraknya tuntutan status honorer karyawan untuk diangkat
menjadi karyawan tetap yang intinya berujung pada kesejahteraan tetap menjadi
permasalahan sentral mengingat pemerintah sampai saat ini belum mengakomodir
tuntutan berbagai serikat pekerja mengenai posisi karyawan yang masih terbilang lemah
dalam UU no 13 tahun 2003.
Kesimpulan
Deretan panjang kasus-kasus yang menimpa buruh migran Indonesia menuntut
keseriusan Pemerintah Indonesia untuk menciptakan instrumen perlindungan bagi buruh
migran Indonesia dan mengupayakan agar negara-negara yang mempekerjakan buruh
migran Indonesia mempunyai komitmen untuk menyediakan instrumen perlindungan.
Ironisnya, dengan UU No. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, Pemerintah Indonesia
mengabaikan dimensi perlindungan terhadap buruh (termasuk buruh migran) dan bahkan
semakin mempersempit ruang gerak hak-hak buruh. Dalam UU tersebut, tak satu
pasalpun mengatur soal perlindungan buruh migran Indonesia. Adalah sebuah kewajiban
yang tak bisa ditunda-tunda bagi Pemerintah Indonesia untuk melakukan perubahan
secara mendasar kebijakan ketenagakerjaan agar lebih berorientasi perlindungan. Buruh
migran Indonesia yang telah disanjung-sanjung sebagai "pahlawan devisa" sudah
seharusnya dilindungi dengan instrumen hukum yang memadai.
Tidak ada kata terlambat bagi pemerintah untuk mengatasi masalah ini, dimana ada usaha
maka jalan menuju keberhasilan akan tercapai. Setidaknya hal yang perlu di lakukan
pemerintah dalam strategi kebijakannya lebih mengarah pada pengawasan/perlindungan
yang tegas terhadap para pekerjanya, membuat perjanjian/draft kontrak upah pekerja
dengan pengusaha, memberikan pelatihan atau keterampilan khusus bagi para pekerja
agar nantinya dapat menjadi pekerja yang berkualitas. Serta pembukaan lapangan kerja di
daerah-daerah yang berpotensi.
12. Tempo Interaktif, Sabtu, 12 Juni 2004. Istilah-Istilah Ketenagakerjaan
Levi Silalahi, Depnakertrans, Minggu, 13 Juni 2004. Rencana Tenaga kerja 2004-2009
By : Anugrah Putra Sanjaya
Indah Sri Wahyuni
Resa Margareta
Barita P.M Siahaan