1. Komisi Informasi menyelesaikan lima register sengketa informasi publik yang diajukan oleh individu terhadap lima lembaga pengumpul zakat
2. Semua lembaga pengumpul zakat wajib tunduk pada UU KIP
3. Publik berhak mengakses informasi pengelolaan zakat yang dilakukan lembaga pengumpul zakat sesuai UU Zakat dan UU KIP
hukum Anti korupsi & Pencucian uang studi kasus AKIL MOCHTAR_Kelompok 3.pptx
ZAKAT-KIP
1. Lembaga Pengumpul Zakat Wajib Tunduk Pada UU KIP
Januari 2015, Komisi Informasi menyelesaikan lima register sengketa informasi
publik yang dimohonkan oleh seorang individu terhadaplima termohon – organisasi
yang melakukan kegiatan pengumpulan dan pengelolaan zakat, yaitu BAZNAS,
Aksi Cepat Tanggap, PPPA Darul Qur’an Nusantara, Portal Infaq dan Yayasan Al
Azhar Peduli Umat. Ini adalah pertama kalinya Komisi Informasi menyidangkan hal-
hal yang berbau “keagamaan” Kelima register sengketa ini telah mewarnai proses
persidangan sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIPusat).
Meskipun terhadap register sengketa a quo diselesaikan melalui kesepakatan
mediasi yang dikuatkan dengan putusan, sehingga tak ada pertimbangan Majelis
Komisioner yang dapat dibaca sebagai bahan kajian ataupun pengetahuan terkait
dengan sengketa a quo, namun cukup layak dan patut untuk dinyatakan bahwa
semua Lembaga Pengumpul Zakat wajib tunduk pada UU KIP.
Pengundangan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UU Zakat)
dimaksudkan untuk memperbaiki pengelolaan zakat yang dilakukan oleh lembaga
pengumpul zakat dan – yang selama ini dinilai kurang optimal dan jauh dari aspek
efektivitas dan efisiensi pelayanan. Padahal zakat merupakan pranata keagamaan
yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan
penanggulangan kemiskinan masyarakat. Berdasarkan analisis BAZNAS potensi
zakat di Indonesia mencapai Rp 217 triliun per tahun, atau sekitar 3,4% terhadap
produk domestik bruto (PDB). Namun potensi zakat yang besar itu baru terserap
dan dikelola oleh lembaga pengumpul zakat sebesar Rp 2,73 triliun atau hanya
sekitar satu persen.1 Masih kecilnya penyerapan dan pengelolaan zakat karena
berbagai faktor, diantaranya belum tumbuhnya kesadaran akan penting dan
manfaat zakat, serta kurangnya kepercayaan masyarakat terhadaplembaga zakat.
Atas dasar itu tak salah jika pengelolaan zakat menurut UU Zakat harus meliputi
kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan.
Selain harus memenuhi syariat Islam, pengelolaan zakat harus dilaksanakan
berdasarkan azas amanah, kemanfaatan,keadilan, kepastian hukum, terintegrasi,
dan akuntabilitas sebagaimana disebut dalam Pasal 2 UU Zakat. Meskipun telah
disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 yang dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah
pengelolaan zakat dapat dipertanggungjawabkan dan diakses oleh masyarakat.
Frasa “diakses oleh masyarakat” harus dimaknai tidak hanya bahwa seluruh aspek
pelayanan pengelolaan zakat terjangkau oleh publik tetapi juga terpublikasikan dan
terinformasikan kepada publik. Publikasi dan penginformasian kepada publik atas
seluruh kerja-kerja lembaga pengumpul zakat dalam pengelolaan zakat adalah
bagian dari layanan pengelolaan zakat itu sendiri yakni layanan informasi
pengelolaan zakat. Pemaknaan ini sebagaimana yang di-amini olehPasal 35 ayat (3)
UU Zakat. Publik berhak untuk mengakses informasi pengelolaan zakat yang
dilakukan oleh lembaga pengumpul zakat.
Dalam konteks keterbukaan informasi, diyakini informasi yang dikelola oleh
lembaga pengumpul zakat adalah informasi publik -- sehingga terbuka untuk
1http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/13/04/29/mm039y-potensi-zakat-rp-217-
triliun-terserap-satu-persen
2. diakses oleh publik. Lembaga pengumpul zakat adalah Badan Publik. Pernyataan
ini lagi-lagi diamini oleh UU Zakat. Berdasarkan cara pembentukannya, UU Zakat
membedakan lembaga pengumpul zakat menjadi dua, yang dibentuk oleh negara
yakni BAZNAS yang ada di tingkat kabupaten/kota hingga pusat dan Lembaga Amil
Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat.
Memasukan LAZ sebagai Badan Publik (baca: badan publik selain negara) bukan
tanpa alasan tetapi karena terpenuhinya syarat-syarat Badan Publik selain negara
sebagaimana disebut Pasal 1 angka 3 UU KIP. Pertama, jika dilihat dari cara
pembentukannya, maka sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 8 UU Zakat, LAZ
dibentuk oleh masyarakat bukan oleh negara – yang dapat berbentuk perkumpulan
atau yayasan. Kedua, meskipun definisi zakat menurut syari’at agama Islam akan
jauh berbeda dengan “sumbangan” atau “menyumbang” yang dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia diartikan sebagai “pemberian”, atau “bantuan” atau “sokongan”,
akan tetapi secara faktual dan berdasarkan konsepsi perzakatan, LAZ sebagai
lembaga pengumpul zakat berhak untuk mendapatkan apa yang disebut sebagai
“hak amil” dengan cara mengambil sebagian dari dana zakat untuk dipergunakan
sebagai operasional LAZ. Hal ini sebagaimana disebut dalam Pasal 32 UU Zakat.
Atas dasar ini, maka LAZ dapat dinyatakan menerima pendanaan yang bersumber
dari sumbangan masyarakat.
Dari seluruh analisistersebut di atas, tak ada alasanuntuk mengingkari kewajiban
LAZ tunduk pada UU KIP. Sebab sangat terang dan nyata UU Zakat memerintahkan
pengelolaan zakat dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas yang membuka
partisipasi publik untuk mengakses informasi seputar pengelolaan zakat.