SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 99
Honor Killing
Kejadiannya tanggal 27 Mei 2014 di depan Gedung Pengadilan Tinggi Lahore, Pakistan.
Fauzana Iqbal, 24, sedang menunggu sidang di pengadilan itu ketika tiba-tiba dia ditarik oleh
sejumlah anggota keluarga sendiri (ayah, kakak, dan kerabat-kerabat laki-lakinya), dibawa ke
tepi jalan dan dilempari batu sampai mati.
Tidak ada seorang pun di tempat ramai itu yang berusaha mencegahnya. Termasuk polisi.
Ternyata Fauzana telah menolak menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya dan memilih
menikah dengan pria pilihan sendiri, yaitu Mohamad Iqbal. Keputusannya ini dinyatakan
telah menodai kehormatan keluarga dan untuk itu dia harus dihukum rajam, sesuai dengan
hukum syariah versi sebagian tertentu dari masyarakat Islam di Pakistan. Hukuman ini
dinamakan honor killing, yang artinya dibunuh demi kehormatan.
Akibat perilaku brutal keluarga Fauzana, langsung terjadi demo di Pakistan untuk menentang
perbuatan kejam yang sewenang-wenang itu, yang bukan untuk pertama kalinya terjadi di
negara itu. Suami Fauzana, Muhamad Iqbal, pun mengancam untuk bunuh diri kalau
pemerintah tidak bertindak menghukum pelaku-pelaku pembunuhan istrinya itu. Anehnya,
pemerintah tidak juga bertindak, masyarakat membiarkan, malah menonton adegan sadis itu
(lebih sadis dari di film karena yang ini sungguhan) dan polisi mendiamkan.
***
Adapun di Indonesia, saya mengutip sebuah berita dari sebuah media on line sebagai berikut.
”YOGYAKARTA- Rumah Direktur Penerbitan Galang Press Julius Felicianus diserang dan
dirusak oleh sekelompok orang yang diduga Front Pembela Islam (FPI), Kamis (29/5/ 2014)
malam. Penyerangan terjadi ketika rumah tersebut dipakai untuk ibadat doa rosario. Kejadian
bermula saat jemaat menggelar acara ibadat rutin sekaligus peringatan Hari Kenaikan Isa
Almasih.
Sekitar pukul 20.30, segerombolan orang bergamis dengan mengendarai motor mendatangi
rumah Julius Felicianus, 54, yang menjadi tempat acara. Sesampainya di lokasi, massa
langsung melempari rumah dengan batu. Massa juga merusak motor milik jemaat yang
terparkir di depan rumah. Tak hanya itu, massa kemudian memaksa untuk masuk ke dalam
rumah dan bermaksud untuk membubarkan kegiatan doa tersebut. Akibat dari serangan itu,
Julius Felicianus dan beberapa temannya terluka parah karena dipukuli.”
***
Semua orang tahu bahwa Islam bukan agama sadis. Islam adalah agama rahmatan lil alamin,
agama yang membawa kedamaian dan rahmat dari Allah SWT, pencipta semesta alam.
Memang Rasulullah sendiri pernah berperang untuk membela Islam. Perang yang amat
terkenal adalah Perang Badar (tentara Islam menang) dan Perang Uhud (tentara Islam kalah).
Karena itu Profesor Amin Rais mengibaratkan ”perang” pilpres harus bersemangat Perang
Badar, bukan Perang Uhud.
Tapi seorang ustaz teman saya (bukan Ustaz Guntur Bumi atau Ustaz Taufan Langit, yang ini
mah ustaz biasa, Ustaz Fulan) pernah menghitung-hitung berapa sering sih Nabi Besar kita
itu berperang, menggunakan kekerasan untuk membela agama? Ternyata hitung punya
hitung, perangnya Rasulullah hanya makan waktu kurang dari 2% dari masa beliau
berdakwah yang 20 tahun itu. Itu pun untuk membela diri karena umatnya benar-benar
terancam. Tapi dalam praktiknya Islam jadi agama yang sangar seperti itu, ya?
Bukan hanya terhadap agama lain, seperti yang terjadi di Sleman, tetapi terhadap sesama
muslim sendiri, bahkan kerabat dan anak kandung sendiri juga dihajar sampai mati seperti
nasib yang menimpa Fauzana. Demikian pula kejadian di Sampang, Madura. Di tahun 2011
pengikut-pengikut Syiah diserang, banyak orang tewas dan terluka sehingga mereka akhirnya
bermigrasi ke Sidoarjo (dan diberi tempat oleh Pemda Sidoarjo, Jatim).
Padahal gara-garanya cuma konflik antaranak-anak dari Ustaz Tajul Muluk al-Ali Murtadha,
yaitu pimpinan dari Pondok Pesantren Syiah di Sampang. Gara-gara konflik, membela
kepentingan pribadi, pecahlah konflik sosial yang berdarah-darah. Kepentingan-kepentingan
pribadi atau kepentingan kelompok-kelompok, itulah yang menjadi sumber kekerasan dan
eksklusivisme di antara sebagian umat Islam (termasuk bom-bom teroris yang sudah
membunuh ratusan orang).
Cobalah telusuri semua konflik yang bernuansa agama (termasuk yang non-Islam). Yang di
Irak, yang di Suriah, di Mesir, dll. Carilah akar penyebabnya, pasti akan ditemui perdebatan
atau konflik yang membawa-bawa akidah, tetapi pelaku-pelakunya di balik itu semua pasti
punya kepentingan. Boleh juga kepentingan negara-negara adikuasa yang berebut sumber
daya alam seperti minyak mentah dll. Namun, walaupun awalnya hanya konflik antarindividu
atau antarkelompok, lambat laun sikap-sikap eksklusif, memusuhi kelompok lain, main
hakim sendiri, tindak kekerasan dan sebagainya sudah meresap ke dalam diri masyarakat,
termasuk aparat-aparat pemerintahnya (polisi membiarkan tindak kriminal di depan
hidungnya).
Seorang ibu yang kebetulan nonmuslim tidak mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah
negeri karena nuansanya sudah mengarah ke agama tertentu, tidak netral lagi. Bahkan dia
sendiri (sekarang jadi dosen) mengaku bahwa di SMP (waktu itu ia bersekolah di negeri) ia
pernah diludahi kawan sendiri hanya karena dia bukan muslim. Jadi, sudah tiba saatnya
bahwa agama dikembalikan ke ranah kehidupan pribadi masing-masing. Kalau mau
pendidikan agama, masukkan ke sekolah agama yang sesuai dengan keyakinan orang tua
sendiri.
Tidak perlu menuntut sekolah negeri untuk mengajari agama yang isinya justru menjauhkan
siswa dari umat yang tidak sekepercayaan. Di KTP juga tidak perlu lagi dicantumkan agama
karena tidak ada gunanya, bahkan bisa menjadi ajang diskriminasi kalau misalnya orang yang
bersangkutan melamar kerja. Yang jelas, ketika agama itu diurus oleh institusi negara yang
namanya Kementerian Agama justru dijadikan sumber korupsi. Sangat merendahkan citra
agama itu sendiri.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru BesarFakultas Psikologi Universitas Indonesia
Kelapa Sawit, Deforestasi, dan Orang Utan
Koran SINDO
Senin, 9 Juni 2014
HINGGA kini masih hangat dibahas isu mengenai kerusakan hutan Indonesia (deforestasi)
dan orang utan. Kedua isu tersebut dikaitkan dengan perkebunan sawit, di mana ada semacam
tuduhan bahwa sawitlah penyebab deforestasi dan terbunuhnya (berkurangnya) orang utan di
Indonesia.
Pertanyaannya, apakah benar bahwa perkebunan kelapa sawit adalah penyebab (utama)
kerusakan hutan di Indonesia dan matinya orang utan? Deforestasi sendiri masih ditafsirkan
beragam. Ini disebabkan perbedaan pengertian hutan dengan kawasan hutan. Publik sering
kurang memahami perbedaan hutan dengan kawasan hutan sehingga sering meng-gebyah-
uyah (menggeneralisasi) bahwa kebun sawit menyebabkan berkurangnya hutan Indonesia.
Menurut UU 41/1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Menurut Forest Resources Assessment (FRA, 2000), hutan adalah lahan dengan luasan
minimal 0,5 ha dengan tutupan vegetasi pohon (tree crown cover) minimal 10%, ketinggian
pepohonan minimal 5 m. Kawasan hutan, menurut UU 41/ 1999, adalah wilayah tertentu
yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap. Secara gampang bisa dijelaskan bahwa hutan adalah pohon-pohonnya,
sedangkan kawasan hutan adalah status legal wilayahnya.
Sebagai kawasan hutan, kita mengenal antara lain hutan lindung, hutan konservasi, hutan
produksi, dan hutan produksi terbatas. Hutan produksi konversi (HPK) adalah kawasan hutan
eks HPH (log over forest) yang sebenarnya sudah direlakan untuk diubah fungsinya menjadi
kegunaan nonkehutanan guna menopang kegiatan pembangunan.
Deforestasi selama ini didefinisikan sebagai penebangan pepohonan (hutan) yang diubah
peruntukannya menjadi bukan hutan. Padahal sebenarnya esensi dari deforestasi adalah
perubahan (konversi) kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan.
Data hutan Indonesia yang katanya 133 juta ha adalah kawasan hutan bukan hutan dalam arti
luasan vegetasinya walaupun data Kementerian Kehutanan (2011) mencatat bahwa dari 133
juta ha kawasan hutan, sekitar 40 juta ha di antaranya sudah tidak berhutan (degraded).
Sudah menjadi keniscayaan bahwa sebagai negara berkembang, di mana pemerintah harus
menyediakan ruang untuk pertambahan penduduk serta aktivitas pemenuhan kebutuhan
hidupnya, kawasan hutan produksi konversi adalah cadangan untuk menjawab kebutuhan
tersebut. Perubahan fungsi kawasan hutan produksi konversi hanyalah masalah waktu dan
lokasi di mana prioritas pembangunan dilakukan sesuai prosedur pelepasan kawasan hutan
yang diatur undang-undang.
Dalam kaitan dengan perkebunan kelapa sawit, konsesi lahan yang diberikan pemerintah
(daerah) adalah berstatus area penggunaan lain (APL) atau ada yang menyebut kawasan budi
daya nonkehutanan (KBNK) atau kadang-kadang hutan produksi konversi (HPK). Baik APL
ataupun KBNK adalah bukan kawasan hutan.
Perusahaan yang mendapat izin konsesi di kawasan HPK harus memproses izin pelepasan
kawasan hutan kepada menteri kehutanan. Tanpa izin pelepasan kawasan hutan, status hak
lahan tidak akan bisa menjadi HGU (hak guna usaha).
Sesuai UU, tidak mungkin pemerintah memberikan izin konsesi di hutan produksi, apalagi
hutan lindung dan hutan konservasi. Karena itu, sangatlah tidak relevan jika ekspansi kebun
kelapa sawit dikaitkan dengan deforestasi.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit berkaitan dengan kawasan hutan, bukan dengan hutannya.
Masalahnya, di beberapa kasus ada bukan kawasan hutan yang masih berhutan (berpohon).
Karena ketidaksamaan definisi sebagaimana disebutkan di atas, ekspansi penanaman sawit di
lahan seperti ini dikategorikan sebagai deforestasi.
Memang demikianlah menurut peraturan perundangan di Indonesia bahwa penebangan
vegetasi di areal bukan kawasan hutan adalah bukan suatu pelanggaran. Namun, penebangan
hutan (pohon) di areal bukan kawasan hutan tetap dianggap deforestasi oleh kalangan LSM
lingkungan karena mereka hanya melihatnya dari aspek fisik (citra satelit), di mana yang
tadinya tutupan vegetasi (berwarna hijau) berubah menjadi tidak hijau atau menjadi (hijau)
kebun sawit.
Demikian juga dengan masalah orang utan, sangat tidak relevan bahwa perkebunan kelapa
sawit dituduh menjadi penyebab matinya orang utan. Orang utan tidak ada hubungannya
dengan perkebunan kelapa sawit.
Sekali lagi, mengacu pada UU Kehutanan, habitat orang utan adalah kawasan hutan yang
sudah ditetapkan oleh pemerintah yakni kawasan hutan konservasi di mana di dalamnya
termasuk taman nasional dan suaka marga satwa untuk melindungi keanekaragaman hayati
tertentu termasuk orang utan. Adanya kasus orang utan ”lari” atau ”ditemukan” di
perkebunan sawit boleh jadi karena hutan konservasi yang menjadi habitatnya sudah rusak.
Dengan demikian, persoalan deforestasi maupun orang utan adalah persoalan tata ruang.
Pokok persoalan yang kita hadapi adalah ketidakjelasan dan atau kebelumtuntasan masalah
tata ruang ini.
Tuntutan pembangunan akibat pertambahan penduduk mendorong percepatan pemekaran
wilayah, tetapi penyesuaian tata ruangnya tidak sinkron. Dengan begitu, suatu areal yang
menurut tata ruang provinsi/pemerintah daerah bukan kawasan hutan, menurut pemerintah
pusat adalah kawasan hutan.
Ketika industri mendapatkan izin konsesi lahan dari pemerintah daerah untuk melakukan
aktivitas pembangunan, tiba-tiba dituduh oleh pemerintah pusat bahwa industri tersebut
melanggar peraturan. Industri menjadi bingung karena pemerintah sendiri tidak satu bahasa,
padahal bagi industri yang dibutuhkan adalah kepastian hukum dari satu pemerintah, bukan
pemerintah yang berbeda-beda.
Kerusakan hutan memang telah menjadi rahasia umum. Persoalannya ada pada masalah
pengelolaan kawasan hutan. Batas kawasan hutan tidak jelas atau masyarakat sulit
membedakan mana kawasan hutan dan mana bukan kawasan hutan.
Perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan bukan monopoli perkebunan kelapa
sawit. Menurut studi World Growth (2010), perambahan kawasan hutan terbesar justru
dilakukan oleh masyarakat miskin yang ingin membuka ladang guna memenuhi kebutuhan
pangan dan mata pencaharian mereka. Ini sangat mungkin karena kawasan hutan tidak jelas
batasnya dan tidak dijaga, apalagi lokasinya nun jauh di sana.
JOKO SUPRIYONO
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)
Politik Konservasi Laut
Koran SINDO
Senin, 9 Juni 2014
PADA Mei 2014 Indonesia menjadi tuan rumah World Coral Reef Conference (WCRC).
Salah satu hasil penting WCRC tersebut adalah ada komunike bersama tentang pengelolaan
terumbu karang secara global yang menekankan pendekatan baru yakni terintegrasi melalui
tata kelola yang efektif, ramah gender, sensitif risiko bencana, serta orientasi bisnis yang
ramah lingkungan. Bagaimana implikasinya terhadap kelautan Indonesia?
Perspektif Global
Kini pembicaraan isu lingkungan laut hampir selalu menyentuh isu terumbu karang. Ini
karena ekosistem terumbu karang memiliki peran ekologis yang sangat penting bagi
tumbuhnya populasi ikan serta keseimbangan ekosistem laut.
Karena itu, inisiatif global pengelolaan terumbu karang terus didorong seperti Coral Triangle
Initiative on Coral Reefs, Fisheries, Food Security (CTI-CFF ), The Eastern Tropical Pacific
Seascape Project and The Indian Ocean Challenge, West African Conservation Challenge,
serta Coral Reefs for the Americas Region.
Hal yang menarik dari berbagai kesepakatan internasional itu adalah pengelolaan terumbu
karang secara berkelanjutan harus memberikan kontribusi pada ketahanan pangan,
penanggulangan kemiskinan, serta antisipasi dampak perubahan iklim. Dengan ditambahkan
aspek gender, bencana, serta bisnis ramah lingkungan, tentu makin menarik dan
menunjukkan kemajuan.
Pertama, selama ini isu pengelolaan terumbu karang hanya fokus pada aspek ekologi
sehingga seolah yang terpenting adalah bagaimana terumbu karang lestari tanpa memikirkan
bagaimana kelangsungan hidup manusia di sekitarnya. Inilah yang sering memicu
ketidakadilan. Ini sesuai tulisan Forsyth (2002) yang mengatakan bahwa bila pengelolaan
lingkungan hanya bertumpu pada prinsip-prinsip ekologis semata, yang terjadi adalah
ketidakadilan.
Fakta konflik antara konservasi terumbu karang dan perikanan terjadi di mana-mana di dunia,
tak hanya di Indonesia. Karena itu, perlu sinergi antardisiplin ilmu sebagai dasar untuk
menciptakan tata kelola yang efektif dan adil. Kedua, kerusakan terumbu karang selama ini
dipahami sebagai akibat ulah nelayan yang melakukan pengeboman ikan. Padahal kerusakan
oleh bisnis besar juga terjadi.
Pencemaran industri, sedimentasi akibat penebangan hutan secara masif oleh usaha besar,
dan perdagangan karang oleh eksportir adalah contoh betapa bisnis besar juga berkontribusi
terhadap kerusakan. Jadi, poin bisnis ramah lingkungan sangat penting ditekankan dan perlu
dirumuskan instrumen operasionalnya.
Ketiga, konservasi laut selama ini dipahami hanya domain laki-laki. Padahal naluri
perempuan terhadap alam mestinya dipertimbangkan sehingga perannya harus didorong.
Dengan prinsip baru sensitif gender dalam komunike WCRC, akan makin mengukuhkan
peran perempuan dalam konservasi baik pada pengambilan kebijakan maupun
implementasinya.
Agenda
Tentu sejumlah poin di atas merupakan kemajuan penting dalam pengelolaan konservasi laut
yang adil. Namun, persoalannya adalah bagaimana implementasinya di Indonesia. Ada
sejumlah langkah yang perlu didorong.
Pertama, meski kerja sama regional dan global terus didorong, sebaiknya Indonesia harus
percaya diri untuk menemukan model khas yang efektif dan tidak silau dengan model-model
Barat yang positivistik dan seolah universal serta memiliki sofistifikasi akademik yang
menakjubkan, namun kurang pas untuk konteks sosial politik dunia ketiga seperti Indonesia.
Di sinilah ilmuwan-ilmuwan Indonesia harus didorong untuk lebih percaya diri melakukan
riset-riset unggulan yang hasilnya bisa mentransformasi model konservasi laut. Kedua,
organisasi nelayan harus didorong untuk mengambil peran penting dalam konservasi laut. Ini
karena merekalah yang pada akhirnya merasakan hasil pengelolaan terumbu karang.
Mulainya bisa dengan penguatan jejaring komunitas prokonservasi lintas wilayah.
Dengan jejaring ini akan tercipta mekanisme saling belajar antarkomunitas dalam konservasi
laut. Ketiga, model kawasan konservasi laut (KKL) yang diinisiasi pemerintah mestinya bisa
diukur tingkat keberhasilannya.
Selama ini ukuran keberhasilan KKL masih sebatas pada penetapan luasan dan belum sampai
pada efektivitas pengelolaan dan hasil konservasi. Target-target perluasan KKL sebaiknya
dibatasi dan sekarang mulai fokus pada efektivitas pengelolaan dan instrumen monitoring
yang lebih akurat.
Keempat, instrumen perdagangan mestinya mulai diterapkan untuk membangun bisnis ramah
lingkungan dan prokonservasi laut. Hal yang paling efektif untuk membendung peran bisnis
dalam kerusakan terumbu karang adalah penegakan hukum dan instrumen perdagangan
seperti ecolabeling. Namun, persoalannya, hukum lingkungan kita belum kuat. Begitu pula
kepedulian konsumen terhadap produk-produk alam masih rendah.
Tentu apa yang selama ini telah dirintis oleh pemerintah, LSM, maupun masyarakat dalam
konservasi laut perlu diapresiasi. Namun, empat agenda di atas perlu dilakukan untuk
mempertajam peran masing-masing pihak sehingga apa yang dilakukan bisa lebih
dipertanggungjawabkan.
ARIF SATRIA
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
Fanatisme Membakar Jiwa
Ketika di dalam sajak ”Diponegoro”, yang penuh kekaguman, dan pujian-pujian, Chairil
Anwar berkata: ”dan bara kagum menjadi api”, penyair itu tak otomatis ”terbakar”.
Jiwanya pun tak terbelah. Kekagumannya pada pahlawan kita, Pangeran Diponegoro, tak
menimbulkan suatu keretakan. Sebaliknya, ”bara kagum” yang ”menjadi api” itu menggugah
semangat kita untuk menyatu, menjadi kekuatan yang utuh, tunggal, melawan penjajah, dan
meneguhkan diri kita sebagai bangsa. Kita disatukan oleh sepenggal puisi. Setidaknya,
semangat kita untuk ”menjadi satu”, diperkuat oleh puisi yang penuh kekaguman itu.
Saat Pangeran dari keraton Mataram, Yogyakarta, melabrak kompeni, tak otomatis kalangan
elite Jawa mendukungnya. Tidak juga rakyat. Dalam situasi parah, ketika kejahatan kompeni
sudah tak tertahankan, orang yang ragu akan gunanya melawan penjajah itu masih tak
terbilang banyaknya.
Pada mulanya banyak yang menentang Sang Pangeran. Dan pada akhir banyak kalangan atas
yang berkhianat pada beliau. Menjelang peperangan berakhir, ketika pada kemudian beliau
ditangkap secara licik, dengan menggunakan dalih pura-pura berunding, penjilat kompeni
luar biasa banyaknya. Tapi puisi ini lahir kurang lebih seabad kemudian, di saat perlunya kita
bersatu demikian besarnya.
Kita rindu akan persatuan. Kita rindu untuk menjadi sebuah bangsa yang kuat. Sekarang,
kurang lebih kita sudah menjadi bangsa yang dibayangkan Khairil dulu. Kita sudah bersatu.
Kita sudah punya kiblat politik yang jelas. Mengapa hanya karena kita ingin memilih
presiden dan wakilnya, kita desak-desakan, saling menjelekkan dan fitnah-memfitnah, seolah
kita menghadapi musuh yang bakal menghancurkan kehidupan kita?
Dua pasang calon presiden dan wakilnya, masing-masing berhadapan sebagai saingan,
sekadar saingan–dan bukan lawan, bukan musuh–mengapa turut terbakar habis-habisan,
seolah kita juga bermusuhan? Mengapa fenomena politik itu membuat kita menjadi begitu
militan, seolah siap tempur, melawan orang lain, yang sebetulnya juga tak tahu apa-apa?
Kalau tim sukses bekerja mati-matian, dengan fanatisme yang menjulang ke langit, silakan
saja. Begitu juga kalau jurkam dan para penasihat siap bertempur dengan orang-orang di
pihak ”sana” yang dianggap musuh.
Tapi benarkah mereka musuh? Dan kita, kalangan bawah, yang punya aspirasi, tapi tak akan
cukup jelas bahwa aspirasi kita bakal dipenuhi, apa yang kita perjuangkan? Kalau jago kita
menang, pilihan kita unggul, apa hasil buah yang bakal kita petik? Nasib kita sebagai rakyat
kalangan bawah bakal terangkat, dan kita menjadi warga terhormat? Kita makmur? Kita
diberi keadilan? Dan kita bahagia? Siapa bisa menjawab pertanyaan ini? Jago pidato tahu
jawabnya?
Orang pendiam, yang tak menomorsatukan kemampuan pidato, juga punya jawabnya?
Apakah semua akan berkata seperti lagu Joan Baez: ”the answer, my friends, is blowing in
the wind ”? Atau seperti bait lagu Mas Ebied G Ade: ”tanyakan pada rumput yang
bergoyang”? Kalau semuanya hanya akan begitu sikapnya pada kita, setelah mereka menang,
maka apakah gunanya kita menjadi begitu fanatik, dan siap bermusuhan dengan siapa saja
yang tak sejalan dengan pikiran kita? Edankah kita, rela memusuhi saudara-saudara kita
sendiri, semata karena bius politik omong kosong?
Kita kagumi jago kita, dengan kekaguman buta. Yang kita kagumi sama sekali tak
mencukupi. Apalagi kalau kelak dia menipu kita, seperti politik pada umumnya. Kita hanya
akan terinjak-injak tiap saat, tapi tiap lima tahun kita lupa, lupa, lupa, dan mendukung terus
menerus orang yang menipu itu. Mengapa kita ikut-ikutan membuat iklim politik kita
menjadi begitu muram, dan penuh aroma permusuhan? Tim sukses, yang belum tentu sukses,
jurkam-jurkam, yang lebih banyak bicara setinggi langit, dan para penasihat, yang impiannya
semata untuk memperoleh jabatan, memang sudah layak kalau mereka bermusuhan dengan
pihak lain.
Mereka tidak berjuang dengan cinta pada bangsa, dan negara. Mereka berjuang untuk
jabatan. Demi jabatan, mereka membela jago pilihannya, dengan menggelapkan sejarah, yang
buruk dibilang baik. Mereka menggelapkan fakta, yang kurang dibilang mencukupi. Itu
watak politisi. Mungkin pula watak kaum oportunis. Rakyat mengerti ruh politik, tapi mereka
tak menyukai tipu menipu seperti itu.
Tapi mengapa semua seperti lupa diri, dan seolah siap mati di jalan, demi membela jago
masing-masing? Bagi kita, orang biasa, warga masyarakat di kalangan bawah, boleh saja
menjagokan salah satu calon. Menjagokan sepasang calon. Itu wujud partisipasi politik.
Boleh juga disebut kewajiban warga negara. Ini persoalan penting. Tapi mengapa kita, orang
biasa, di kalangan bawah, ikut-ikut ”tidak waras”? Mengapa ibaratnya bahkan ”jiwa” kita
ikut ”terbakar” iklim fanatik seperti itu dan kita membiarkannya? Apa yang bakal kita
peroleh sebagai imbalannya?
Kalau jago pilihan kita menang, mungkin kita puas. Tapi kepuasan itu segera hilang dalam
tiga hari, atau seminggu. Akankah kepuasan kita bertahan terus menerus, kelak, setelah kita
tahu bahwa kita dikhianati, lagi dan lagi, seperti dulu, dalam pemilu demi pemilu, yang tak
punya perhatian pada kita? Bagaimana kalau jago kita kalah? Di mana wajah kita mau kita
taruh? Kita sudah fanatik, sudah siap berperang dengan tetangga, tapi jago kita kalah.
Mungkin kita malu. Mungkin sakit hati. Tapi siapa yang bisa kita salahkan?
Kalau kita fanatik bagi kepentingan besar; untuk negara, atau bangsa, mungkin sikap kita bisa
dipahami. Pertaruhan kita jelas tak bakal tampak terlalu besar. Jika kalah pun, kita tak akan
malu. Kita masih terhormat, karena kita membela negara, atau bangsa, yang memang wajib
dibela. Tapi kalau fanatisme kita itu tertuju pada orang, pribadi, yang disebut tokoh, yang tak
jelas sikap politiknya, maka apa gunanya fanatisme, apa gunanya pengorbanan? Kita akan
menjadi pahlawan? Jelas tidak. Kita, yang miskin, akan dibikin menjadi kaya? Juga tidak.
Adakah jaminan pada kita, bahwa tokoh-tokoh yang kita jagokan, dan kita bela mati-matian
dengan fanatisme berlebihan itu, bahwa mereka akan memenuhi janji yang telah mereka
ucapkan? Kalau jawabnya juga tidak, dan kelihatannya pasti tidak, maka apa gunanya, kita
biarkan fanatisme kosong tanpa makna itu membakar ”jiwa” kita? Apa gunanya?
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com
Brasil Siap Menyambut Piala Dunia 2014
Pembukaan Piala Dunia 2014 akan bergulir beberapa jam lagi. Mayoritas penduduk Brasil
telah menyiapkan segala sesuatunya untuk memeriahkan pesta terakbar sejagat itu.
Kota Sao Paulo, tempat berlangsungnya upacara pembukaan, kini benar-benar beraroma Piala
Dunia. Pernak-pernik berbau sepak bola menghiasi berbagai lokasi. Warga setempat terlihat
begitu antusias dan tidak sabar lagi untuk berpesta. Intinya mereka siap memuaskan para
pengunjung. “Pembukaan Piala Dunia merupakan penghargaan dan penghormatan terhadap
sejarah Brasil. Ini sangat berharga bagi kami. Atmosfer kegembiraan yang terasa di sini
begitu luar biasa. Selelah apa pun, kami tetap merasa termotivasi. Suasana ini membuat kami
ingin terus tersenyum,” ucap Daphne Cornez, Direktur Artistik Piala Dunia 2014.
Kemeriahan bukan hanya milik Sao Paulo.Sejumlah kota yang ikut menjadi tuan rumah
pertandingan ikut mempercantik diri. Brasilia misalnya. Kawasan yang akan menggelar
sejumlah laga ini, termasuk duel Brasil kontra Kamerun, bermetamorfosis menjadi kota
penuh warna. Sejumlah bangunan memasang lampu atau pencahayaan warna-warni. Gedung
Kongres Nasional sekarang bermandikan cahaya hijau dan kuning kala malam hari. Dua
warna yang merepresentasikan Brasil. Cara serupa dilakukan Gedung Metropolitan Cathedral
dan Planalto Palace.
Sejumlah fasilitas ikut dipermak. Kereta dicat menggunakan warna kuning dengan variasi
hijau, warna khas negara tersebut. Gerai-gerai yang menjajakan cendera mata melakukan hal
serupa, yakni menambah embel-embel kuning dan hijau. Warganya juga punya cara
tersendiri untuk menyambut Piala Dunia 2014. Cukup banyak warga Brasilia yang
membentangkan bendera dan seragam pemain Brasil di pinggir jalan. Ada pula yang
menyalurkan aspirasinya dengan membuat grafiti bertemakan timnas Brasil atau Piala Dunia
2014.
Menjajakan budaya lokal dilakukan oleh Rio de Janeiro. Tempat Spanyol menjalani salah
satu partainya itu akan mempertontonkan capoeira, ilmu bela diri yang berbalut tarian.
Atraksi itu konon akan digelar secara rutin selama Piala Dunia 2014. Bahkan, pengunjung
dipersilakan memperagakan gerakannya, seperti yang dilakukan timnas Inggris. Rio de
Janeiro baru akan menggelar laga perdananya, Argentina vs Bosnia-Herzegovina di Grup F,
pada Minggu (15/6).
Kemarin, baru ada segelintir suporter yang mengunjungi Maracana. Sementara itu,
pemandangan tim utama Belanda yang akan menghadapi Spanyol pada persaingan Grup D di
Arena Fonte Nova, besok, terlihat saat mereka berlatih terakhir sebelum berangkat ke
Salvador. Sebanyak 13 pemain menjalani pelatihan terpisah dari rekan-rekannya di Estadio
Jose Bastos Padilha Gavea, Selasa (10/6). Uniknya, Pelatih Louis van Gaal tidak memantau
mereka.
Sosok yang akan menangani Manchester United selepas Piala Dunia ini justru memimpin
training match melibatkan 10 pemain cadangan, termasuk di antaranya Klaas-Jan Huntelaar,
Memphis Depay, Leroy Fer, dan Jeremain Lens. Pemain yang berpotensi masuk tim utama
De Oranje mencakup nama-nama tenar seperti Robin van Persie, Arjen Robben, dan Wesley
Sneijder. Mereka ditemani Jasper Cillessen, Bruno Martins Indi, Stefan de Vrij, Daryl
Janmaat, Ron Vlaar, Daley Blind, Nigel de Jong, Jordy Clasie, Jonathan da Guzman, dan
Dirk Kuyt.
Dipimpin Asisten Pelatih Patrick Kluivert, ke-13 pemain dibagi menjadi dua tim. Cillessen,
Indi, De Vrij, Vlaar, dan Kuyt bertugas menahan gempuran rekan-rekannya. Namun, mereka
tidak turun bersamaan. Setiap dua pemain nonkiper bergantian turun membantu Cillessen
mengawal gawang. Komposisi dua versus delapan ini jelas memudahkan tim menyerang.
Beberapa kali Cillessen harus memungut bola di dalam gawangnya. Indi sempat beberapa
kali merebut bola dari Van Persie, sedangkan Robben menusuk lewat dribel. Yang paling
bersinar adalah Sneijder.
Dia menciptakan empat gol melalui tendangan keras di luar kotak penalti dan mendapat
pujian staf. Selepas itu pemain berlatih tendangan bebas. Vlaar dan De Jong bergantian
menendang bersama Sneijder, Robben, Van Persie, dan De Guzman.
Basis Data Pelaku dan Korban
Koran SINDO
Kamis, 12 Juni 2014
PREDATOR seksual adalah setan yang bergentayangan meneror anak-anak kita. Jumlah
mereka, sebagaimana yang terungkap di media massa, sebenarnya ”belum” begitu banyak.
Demikian pula dengan korban, hanya sedikit yang berproses hukum. Apabila logika dengan
hitung-hitungan macam itu yang dipakai, akan mudah bagi siapa pun–termasuk penegak
hukum–untuk berpikir bahwa kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak belum mencapai
derajat yang mengkhawatirkan. Bandingkan dengan predator asal Australia, Osborne, yang di
dalam catatannya mengaku telah memerkosa sekitar 2.500 anak.
Torehan kebiadaban sedahsyat itu barangkali hanya bisa disaingi oleh Schwartzmiller. Ia,
selama tiga puluh tahun, mengekspresikan watak durjananya di tiga negara. Hasilnya adalah
timbunan nama bocah-bocah malang dalam sebuah daftar sepanjang 1.300 halaman.
Jika hasil penelitian dirujuk, bahwa terdapat potensi kuat para korban suatu saat akan beralih
paras menjadi pelaku kejahatan yang sama, maka bisa dibayangkan kelipatan angka yang
sebegitu besar menyangkut jumlah bibit-bibit predator seksual berikutnya. Itu dengan catatan
mereka, korban kanak-kanak itu, tidak memperoleh pertolongan komprehensif sepanjang
hayat guna mendukung pemulihan cedera fisik dan luka psikis mereka.
Tingginya angka ”kloning” pelaku kekerasan seksual terhadap anak, baru satu hal. Hal lain,
yang kian menakutkan, adalah fakta bahwa hingga saat ini belum ditemukan formula jitu
guna memodifikasi tabiat dan perilaku mereka. Penghukuman, termasuk kebiri sekali pun,
tidak akan menurunkan kecenderungan para pelaku kejahatan yang satu ini untuk mengulangi
perbuatan keji mereka (baca ”Kebiri Membuat Predator Lebih Keji ”, KORAN SINDO, 19
Mei 2014).
Pada saat yang sama, riset memperlihatkan bahwa para pelaku membangun dua bentuk
jejaring sosial sebagai cara mereka beradaptasi terhadap lingkungan. Pertama, sebagai
konsekuensi hidup dikucilkan publik, sesama predator berinteraksi satu sama lain untuk
tujuan katarsis.
Terlebih difasilitasi oleh teknologi komunikasi semacam surel dan grup-grup maya, orang-
orang itu saling merintih dan menyemangati satu sama lain agar bisa membawa diri secara
lebih patut di tengah-tengah masyarakat. Para predator itu juga tukar menukar pengetahuan
mengenai cara-cara yang bisa dilakukan guna mengendalikan syahwat tak senonoh mereka.
Berbeda dengan bentuk jejaring pertama yang dibentuk dengan maksud positif, jejaring jenis
lain dibikin dengan tujuan nista. Antarpredator saling bertukar informasi tentang pengalaman
”menyenangkan” dan wilayah-wilayah yang strategis untuk mengincar mangsa kanak-kanak
berikutnya.
Adanya pola interaksi semacam inilah yang perlu disikapi otoritas hukum dengan
membongkar–antara lain–riwayat akses internet orang-orang yang selama ini dicurigai
sebagai monster di sekolah sekaligus zone pemangsaan para predator seksual tersebut.
Bertitik tolak dari kompleksitas psikologis para pelaku serta dinamika pelaku-korban seperti
di atas, sesungguhnya amat penting bagi kepolisian, keimigrasian, kependidikan,
kepariwisataan, ketenagakerjaan, dan lembaga-lembaga lainnya untuk membangun basis data
(database) tunggal dan terintegrasi tentang para pelaku kejahatan seksual, baik yang bertipe
pedofil maupun yang melancarkan aksinya akibat dorongan situasional. Bahkan, khusus bagi
pelaku yang tengah dan telah menjalani sanksi pidana, data-data mereka dibuka bagi publik.
Jadi, ketika mengubah pelaku bisa dikatakan mustahil dilakukan, paling tidak negara
menyediakan satu fasilitas bagi masyarakat dalam rangka meningkatkan daya tangkal mereka
terhadap penyusupan para predator seksual.
Basis data ini secara tidak langsung merupakan bentuk sanksi sosial, yakni mempersempit
ruang gerak para pelaku kejahatan seksual di masyarakat. Di samping basis data yang berisi
biodata tentang para predator, otoritas terkait juga perlu membangun basis data khusus
tentang korban.
Basis data ini harus bersifat tertutup alias tidak dapat diakses oleh sembarang pihak. Basis
data khusus ini didesain sebagai sistem pemantauan terhadap proses rehabilitasi korban. Di
mana korban berobat, siapa profesional yang menanganinya, keluhan-keluhan yang dialami
korban, dan informasi-informasi lainnya tersedia dalam kondisi senantiasa terbarui.
Basis data khusus korban merupakan bentuk ”pertanggungjawaban” atas kegagalan para
pihak yang sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak disebut eksplisit bertanggung jawab
melakukan perlindungan terhadap anak-anak.
Kondisi korban yang selalu terpantau diharapkan menjadi stimulan bagi siapa pun yang telah
menjadi korban keganasan para predator seksual. Ini merupakan jawaban atas keraguan para
korban dan keluarga mereka bahwa, alih-alih menderita ulang akibat viktimisasi publik,
melapor ke bala bantuan (polisi, rumah sakit, sentra perlindungan anak, dan lainnya)
merupakan titik awal proses penyembuhan.
Dengan kondisi terpantau seperti itu pula, peluang korban menjadi pelaku dapat ditekan
semaksimal mungkin, sehingga putuslah mata rantai kekerasan seksual itu. Hemat saya,
terlepas bahwa hingga kini belum ada definisi dan parameter tentang ”Indonesia darurat
kejahatan terhadap anak”, pola penanganan terhadap fenomena kejahatan seksual terhadap
anak sudah saatnya diperkuat.
Rangkaian tindakan yang terkesan sporadis dan tidak terkoordinasi, seperti yang diperagakan
menyusul kegemparan kasus TK Jakarta International School, sungguh tidak akan mampu
mengimbangi kecanggihan operasi kejahatan seksual terhadap anak yang telah mengambil
bentuk berupa jaringan internasional.
Siapa kiranya yang paling patut tergerak membangun sistem perlindungan anak berbasis data
tersebut? Siapa lagi kalau bukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, yang baru saja
menyelesaikan rapat kerjanya. Semangat, langkah serempak!
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Anggota World Society of Victimology, Alumnus Psikologi Forensik The University of
Melbourne
Perang Bandar dalam Pilpres
Berdasarkan pengalaman banyak penyelenggaraan pilkada di berbagai daerah, dua pemilu
legislatif dan pilpres terakhir, dan sesungguhnya juga pemilihan kepala desa yang sudah
terjadi sejak lama, peran kapital dalam pemenangan terbilang sangat besar.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap penyelenggaraan pilkada kabupaten/kota, jumlah
uang yang ditebarkan mencapai belasan bahkan puluhan miliar. Dan untuk pilkada provinsi,
bisa puluhan bahkan ratusan miliar. Besaran finansial yang dibutuhkan untuk pemenangan,
bisa dikatakan linear dengan jumlah pemilih, sebab mayoritas pemilih mau menggunakan hak
pilih jika mendapatkan imbalan uang. Karena itu, di antara faktor yang sangat diperhitungkan
dalam pemenangan calon presiden dan wakil presiden adalah kekuatan finansial.
Dalam masyarakat yang menganggap bahwa uang dalam setiap hajatan demokrasi lima
tahunan sebagai sebuah keniscayaan, kekuatan finansial menjadi salah satu faktor pendukung
kemenangan yang tidak bisa disepelekan. Dan karena itu, setiap calon yang maju dalam
perebutan kekuasaan tertinggi di republik ini haruslah memiliki kemampuan finansial yang
kuat, baik dalam konteks kemampuan finansial pribadi, atau kemampuan untuk
mengonsolidasi dukungan finansial.
Karena kebutuhan dukungan finansial yang sangat besar, tidak mungkin pribadi-pribadi calon
presiden atau wakil presiden sendiri yang memenuhi kebutuhan finansial tersebut.
Keterlibatan masyarakat yang masih sangat lemah secara ekonomi, ditambah dengan
kecenderungan materialistik, dan juga sikap apatis dalam politik, sangat tidak bisa diharapkan
untuk membantu pembiayaan yang diperlukan oleh para kandidat. Bahkan, merekalah yang
justru menjadi salah satu faktor penyebab kebutuhan finansial menjadi lebih tinggi.
Inilah yang menjadi jalan masuk bagi pihak-pihak yang memiliki kekuatan finansial besar
untuk terlibat dalam pemenangan. Tentu saja mereka memiliki tujuan agar memiliki pengaruh
terhadap penyelenggara negara yang ujungnya menguntungkan mereka secara finansial dan
bahkan bisa ditambah yang lain-lain. Mereka lebih tepat disebut sebagai para bandar yang
tidak secara langsung berada dalam lingkaran politik, tetapi suatu saat nanti bisa sangat
berpengaruh kepada pengambilan keputusan politik.
***
Terdapat beberapa jenis bandar yang terlibat dalam proses pemilu secara langsung: Pertama,
bandar yang bertujuan sekedar untuk bermain judi atau taruhan. Mereka adalah para bandar
judi yang melakukan perjudian dengan memasang taruhan tentang siapa yang akan menjadi
pemenang. Dan jika masing-masing bandar sudah memiliki prediksi yang sama tentang pihak
yang akan menjadi pemenang, model taruhan mereka bukan berdasarkan siapa yang akan
menjadi pemenang, tetapi berdasarkan selisih angka kemenangan yang akan terjadi.
Rentang angka itulah yang akan digunakan sebagai media taruhan. Peran mereka dalam skala
tertentu tidak bisa diabaikan. Pasalnya, mereka akan mengeluarkan sejumlah uang untuk
mempengaruhi pilihan pemilih sehingga angka dukungan bisa sesuai dengan prediksi mereka.
Tujuan jelas, yakni mereka mendapatkan keuntungan finansial dari lawan bermain judi.
Namun, di samping hanya murni bermain judi, bandar ini juga bisa menyinergikannya
dengan kepentingan yang ingin dimainkan dengan menjadi bandar model kedua, yakni
bandar yang bertujuan untuk berada pada lingkaran yang dekat dengan kekuasaan.
Tujuan mereka adalah mendapatkan akses kepada kekuasaan, agar bisa melakukan kolusi
ketika nanti calon yang mereka dukung menang dalam pemilu. Karena tujuan ini, tidak
sedikit bandar yang bermain di lebih dari satu kaki. Dengan cara itu, siapa pun yang menjadi
pemenang, maka bandar model kedua ini akan mendapatkan akses kepada kekuasaan untuk
mengamankan bisnis atau kepentingan lain yang sedang dan akan mereka jalani. Bandar ini
biasanya adalah mereka yang ingin mendapatkan tender-tender dari proyek-proyek
pemerintah. Dengan telah menanam budi untuk memenangkan calon tertentu, akses untuk
mendapatkan proyek-proyek tersebut akan menjadi lebih lempeng. Ini sudah menjadi rahasia
umum.
Ketiga, bandar yang memiliki tujuan lebih besar ingin mempengaruhi kebijakan-kebijakan
politik agar Indonesia mengarah kepada ideologi politik yang diinginkan. Ini melibatkan
bandar yang berskala internasional. Dan tujuan akhir para bandar ini sesungguhnya juga
adalah ekonomi, yakni untuk bisa menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang
menguntungkan kekuatan asing dalam rangka mengeruk kekayaan Indonesia.
Karena tujuan besar ini, mereka tidak akan sayang untuk mengeluarkan dana dalam jumlah
yang sangat besar. Pasalnya, dana yang sangat besar itu masih tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan keuntungan besar yang akan dihasilkan dalam jangka panjang.
***
Peran tiga macam bandar tersebut dalam Pilpres 2014 sangat terasa indikasinya. Dan, semua
macam bandar ini sangat berbahaya bagi kedaulatan Indonesia di masa depan. Karena itu,
pendidikan politik menjadi sangat penting, agar masyarakat menyadari bahwa mereka
seharusnya berhati-hati dalam memilih pemimpin.
Jangan sampai memilih pemimpin hanya karena mendapatkan sejumlah uang. Rakyat harus
segera disadarkan dan diberdayakan, agar mereka tidak sekadar dimobilisasi dengan
menggunakan energi finansial. Mobilisasi masyarakat pemilih karena uang sangat berbahaya,
karena berpotensi menyebabkan Indonesia mendapatkan pemimpin yang tidak memiliki
kualitas kepemimpinan ideal.
Perlu ada gerakan untuk membuat masyarakat menyadari bahwa partisipasi mereka sangat
diperlukan untuk mendapatkan penyelenggara negara yang baik dan juga kompeten serta
memiliki kemandirian dalam membuat kebijakan-kebijakan politik yang benar-benar
menguntungkan dan menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Mereka harus disadarkan
bahwa untuk itu mereka dituntut untuk melakukan pengorbanan, bukan hanya dengan tidak
menjadikan pemberian yang berbentuk materi sebagai alasan memilih, bahkan harus mau
memberikan sumbangan finansial kepada para calon yang dianggap memiliki kapasitas,
kapabilitas, kompetensi, dan integritas, agar memiliki kemampuan untuk melakukan usaha-
usaha merebut kekuasaan guna memperbaiki negara dan menolong warganya.
Mungkin yang bisa disumbangkan oleh masyarakat kebanyakan berjumlah tidak besar.
Namun jika mereka melakukan gerakan yang masif, tidak menutup kemungkinan juga akan
bisa menghasilkan jumlah besar yang tidak kalah jika dibandingkan dengan kekuatan
finansial yang diberikan para bandar. Dan dengan cara inilah, jalan para bandar yang akan
mengganggu kebijakan negara bisa ditutup. Hanya bandar perjudian biasa yang akan masih
terus bertahan, sebab perjudian ini tampaknya akan terus bertahan sepanjang sejarah umat
manusia di dunia ini. Wallahu alam bi al-shawab.
DR MOHAMMAD NASIH MSI
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pengasuh Rumah
Perkaderan ”Monash Institute” Semarang
Spirit Multikulturalisme Piala Dunia
Gebyar Piala Dunia edisi ke-20 resmi dimulai. Hajatan akbar empat tahunan ini berlangsung
di Brasil mulai 12 Juni hingga 13 Juli 2014. Sebanyak 32 kontestan mewakili negara masing-
masing akan unjuk kekuatan untuk menjadi yang terbaik. Karena mewakili negara maka
sepak bola sekaligus menjadi media untuk menumbuhkan spirit nasionalisme.
Pada konteks inilah nilai-nilai persatuan, perjuangan, pengorbanan, kehormatan, dan harga
diri, sebagai satu bangsa dipertaruhkan. Nilai-nilai nasionalisme itu menjadi penyemangat
setiap pemain sehingga berlaga dengan sepenuh hati guna meraih kemenangan demi menjaga
martabat bangsanya. Selain menumbuhkan spirit nasionalisme, sepak bola juga memberikan
pelajaran berharga mengenai pentingnya multikulturalisme. Melalui permainan sepak bola,
setiap pemain dengan berbagai latar belakang etnis, budaya, dan agama, dipertemukan
menjadi satu kekuatan. Bahkan, di era modern ini berkembang budaya naturalisasi pemain-
pemain berkualitas dari mancanegara.
Seakan tidak mau ketinggalan, PSSI juga menaturalisasi sejumlah pemain demi meraih
mimpi menjadi peserta Piala Dunia pada suatu waktu nanti. Perbedaan agama antarpemain
tidak menjadi halangan untuk membangun tim yang tangguh. Tengoklah tim nasional Prancis
yang dihuni beberapa pemain muslim, seperti Karim Benzema dan Franck Ribery. Pemain
berkulit hitam yang sering menjadi sasaran rasisme juga dapat bermain dalam satu tim seperti
Mario Balotelli (Italia) dan Jerome Boateng (Jerman).
Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sepak bola dapat menjadi media yang
efektif untuk menciptakan pembauran antarwarga (melting pot). Slogan resmi Piala Dunia
2014, All in One Rhythm , terasa sangat relevan untuk dijadikan spirit menumbuhkan
multikulturalisme. Slogan tersebut seakan mengajarkan bahwa perbedaan bukanlah halangan
untuk mewujudkan harmoni dalam kehidupan yang plural. Demikian juga dengan lagu resmi
Piala Dunia, We Are One, yang dinyanyikan duet penyanyi Pitbull dan Claudia Leitte.
Spirit We Are One mengiringi pembukaan Piala Dunia sekaligus laga perdana yang
mempertemukan Brasil melawan Kroasia. Lagu resmi Piala Dunia menegaskan pentingnya
semangat mewujudkan kehidupan berbangsa yang ramah dengan keragaman.
Multikulturalisme dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap pluralitas budaya yang
menumbuhkan kepedulian untuk mengupayakan agar kelompok minoritas terintegrasi dalam
masyarakat dan kelompok mayoritas mau mengakomodasi perbedaan kelompok minoritas
agar kekhasan identitas mereka tetap diakui (Kymlika, 1989). Dengan demikian, tujuan
utama multikulturalisme adalah untuk menciptakan, menjamin, dan mendorong ruang publik
(public sphere) sehingga memungkinkan beragam komunitas dapat tumbuh dan berkembang
sesuai dengan kekhasan masing-masing.
Menurut Haryatmoko (2007), setidaknya ada tiga alasan yang menjadikan multikulturalisme
mutlak diperlukan dalam konteks kekinian. Pertama, adanya fenomena penindasan atau
penafian atas dasar agama, etnis, dan budaya. Dikotomi antara ”kita” (kelompok dominan)
dan ”mereka” (di luar kelompok dominan) sering kali dilembagakan dalam rangka
menjauhkan kelompok minoritas dari kekuasaan. Pelembagaan diskriminasi ini banyak
terjadi di wilayah publik seperti pekerjaan, pendidikan, jabatan publik, dan hubungan sosial
lainnya. Agar diskriminasi ini memperoleh legitimasi, kelompok minoritas terus ditekan
sehingga kehilangan eksistensi.
Kedua, istilah minoritas secara sistematis telah digunakan untuk memarjinalkan kelompok
tertentu dengan memberi label ”tidak terlalu penting” dalam berhubungan dengan kelompok
dominan. Akibatnya, perasaan rendah diri semakin terpatri dalam struktur kesadaran
kelompok minoritas. Pada konteks inilah, multikulturalisme hendak menjawab kebutuhan
yang mendasar kelompok minoritas untuk mengembangkan identitas budaya dan
memberikan penghargaan terhadap eksistensinya.
Ketiga, kaum urban dan migran sering kali menjadi pihak yang dipinggirkan oleh kelompok
dominan. Situasi ini semakin terasa sejak undang-undang otonomi daerah dilaksanakan.
Apalagi dalam banyak kasus, otonomi daerah sering kali disalahartikan dengan pemihakan
terhadap kepentingan warga asli atau pribumi. Akibatnya, terjadi diskriminasi terhadap warga
pendatang. Lebih ironis lagi, rekrutmen pejabat publik sering kali tidak didasarkan pada
kompetensi dan rekam jejak, tetapi asal daerah dan pertimbangan politik lokal dan faktor
primordialisme lainnya.
Berdasarkan tiga argumen tersebut, kesadaran multikulturalisme perlu terus digelorakan agar
tumbuh sikap saling memahami kekhasan masing-masing. Dalam hal ini, kekhasan tidak
boleh disamakan dengan keunggulan. Cara berpikir ini penting dikedepankan dalam
memahami keragaman latar belakang sosial budaya. Dalam memahami kekhasan etnis,
budaya, dan agama, kita layak belajar pada teori filsuf Prancis, Emmanuel Levinas (1971)
tentang penampakan wajah. Dikatakan oleh Levinas bahwa penampakan wajah bukan bagian
dari aku, bukan pula diukur dari tolok ukurku. Yang lain itu sama sekali berbeda dari aku.
Namun demikian, hubungan aku dengan yang lain tidak akan melahirkan kekerasan.
Bahkan, kehadiran yang lain justru akan membuahkan kedamaian dan menumbuhkan kultur
positif dalam kehidupan. Melalui teori penampakan wajah akan tergambar yang lain (the
other ). Penampakan wajah yang lain akan memungkinkan orang saling bertegur sapa serta
mengundang simpati, empati, dan kekaguman. Penampakan wajah tidak pernah membiarkan
orang lepas dari tanggung jawab. Setiap orang akan dihadapkan pada penampakan wajah
yang mengusik sehingga harus bersikap.
Wajah yang menampak dalam gambar mencair dalam afeksi sehingga tidak hanya berhenti
pada persepsi, tetapi juga mengkristal dalam kesadaran seseorang. Teori Levinas
mengajarkan bahwa perjumpaan dengan wajah yang lain merupakan bentuk hubungan yang
ditandai kepedulian dan nir kepentingan. Hubungan ini menyebabkan seseorang bertanggung
jawab terhadap yang lain tanpa menuntut imbalan. Itu berarti tidak ada tuntutan timbal balik
dan tiada pula dominasi.
Pelajaran multikulturalisme terasa sekali dalam permainan sepak bola. Semua pemain bahu-
membahu dan saling membantu sehingga tidak tampak budaya yang mendominasi. Penonton
juga dapat menikmati pertandingan dan memberikan dukungan penuh pada pemain; meski
sejujurnya harus diakui bahwa antara pemain dan penonton sejatinya memiliki perbedaan
sosial budaya. Hal itu menunjukkan betapa penting permainan sepak bola sebagai media
untuk menumbuhkan kesadaran multikulturalisme. Semoga semarak Piala Dunia dapat
dijadikan pelajaran untuk membangun Indonesia yang lebih ramah terhadap keragaman.
BIYANTO
DosenUIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
Pesan untuk Calon Presiden
Pemilu presiden (pilpres) 9 Juli sudah semakin dekat. Sabtu, 31 Mei, Komisi Pemilihan
Umum (KPU) telah menetapkan dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
Mereka adalah Prabowo Subianto-Hatta Radjasa, yang diusung Koalisi Merah Putih (Poros
Partai Gerakan Indonesia Raya, Gerindra) dan Joko Widodo-M Jusuf Kalla yang diusung
Poros Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun, jauh sebelum penetapan,
pendukung capres dan cawapres sudah mulai saling serang.
Media massa pun menjadi sarana paling ampuh menghimpun kekuatan dan “serangan udara”.
Demikian pula dengan jaringan media sosial (Twitter dan Facebook). Kampanye negatif dan
hitam pun menjadi menu wajib yang semakin membuat riuh. Di tengah hiruk-pikuk politik
ini, tampaknya para capres dan pendukungnya perlu menoleh salah satu piwulang Jawa.
Mengenal Diri
Dalam “paribasan” Jawa, tersurat, sing bisa rumangsa, aja rumangsa bisa (jangan merasa
bisa, tetapi bisa merasa). Paribasan ini mengajarkan kepada kita agar mau meneliti diri
sendiri. Mengenal diri sendiri menjadi hal mutlak bagi seorang pemimpin. Saat pemimpin
tidak sanggup mengenal potensi, kelemahan, peluangan, dan tantangan diri, maka ia akan
sulit untuk memimpin. Dalam kajian filsafat misalnya, mengenal diri menjadi hal utama.
Mengenal diri akan mampu mengantarkan seseorang mengenal Tuhannya.
Dengan demikian, apa yang diujarkan dalam paribasan Jawa tersebut sinkron dengan kajian
ilmu pengetahuan modern. Hal ini pun menjadi bukti, bahwa kebudayaan Jawa, tidak akan
pernah lekang zaman. Ia akan senantiasa hidup di tengah peradaban.
Bisa rumangsa juga menjadi watak manusia berbudi. Pasalnya, perilaku ini menjadi penanda
bahwa ia merupakan manusia pembelajar—meminjam istilah Andreas Harefa. Manusia yang
senantiasa haus akan ilmu dan pengalaman. Proses perjalanan waktu menjadikannya semakin
berisi. Seperti falsafah padi, semakin berisi semakin merunduk. Semakin berilmu semakin
mawas diri.
Mawas Diri
Mawas diri inilah yang mampu membentengi manusia jatuh dalam lubang kesombongan
(kenistaan). Kesombongan menjadi awal dari murka Tuhan kepada makhluknya. Dalam
literatur Islam misalnya, diusirnya setan dari surga karena ia sombong dan membanggakan
diri (aba was takbar). Melalui laku bisa rumangsa, seseorang diarahkan (baca: dididik)
menjadi sebuah pribadi yang mempribadi.
Pribadi yang menyadari kekurangan dan menghargai kelebihan orang lain. Ia pun tidak
merasa direndahkan (diasarke) maupun ditinggikan. Hal tersebut tentu berbeda dengan orang
yang mempunyai watak rumangsa bisa. Manusia seperti itu hanya akan menimbulkan
kegaduhan. Pasalnya, semua pekerjaan ia ambil. Padahal tak satu pun kemampuan ia miliki.
Itulah awal kehancuran. Saat semua pekerjaan diambil dan tiada kemampuan untuk
menyelesaikan hal tersebut.
Cikal Bakal Kesewenangan
Lebih lanjut, rumangsa bisa pun menjadi cikal bakal kesewenangan. Artinya, rumangsa bisa
menyeret orang untuk ngasarake orang lain. Ia merasa mampu sedangkan yang lain tidak.
Kondisi ini menimbulkan permusuhan yang akan berujung pada balas dendam. Oleh karena
itu, bagi capres dan cawapres, selayaknya memegang teguh (ngugemi) piwulang Jawa
tersebut. Saat mereka terpilih nanti, tentu berkat bantuan orang lain.
Keterpilihan mereka adalah hasil kerja mitra koalisi dan jaringan yang telah terbangun lama.
Bukan karena popularitas yang disulap oleh media. Apalagi dengan laku penuh tipu-tipu.
Kepemimpinan nasional harus dimandatkan kepada manusia terpilih (the choosen people). Ia
adalah manusia yang senantiasa gundah melihat ketidakadilan, ketidakberdayaan, dan
kebodohan melanda negeri. Ia senantiasa mau mendengar, belajar, dan bertindak guna
mewujudkan, keadilan, keberdayaan, dan kemakmuran (psikis dan fisik) yang mewujud
dalam keseharian.
Dengan demikian, ia selayaknya tidak rumangsa bisa untuk mengemban tugas dan amanat
rakyat. Capres terpilih selayaknya bisa rumangsa terhadap tanggung jawab kebangsaan ini.
Menjadi presiden dan wakil presiden bukanlah untuk membanggakan diri apalagi kroni dan
golongan. Presiden dan wakil presiden merupakan penyambung lidah rakyat— meminjam
istilah Bung Karno.
Penyambung lidah rakyat selayaknya mau belajar, mendengarkan, mendampingi, dan
menggairahkan kehidupan masyarakat. Hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh presiden dan
wakil presiden yang mempunyai watak bisa rumangsa, bukan rumangsa bisa.
BENNI SETIAWAN
Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, Analis Sosial Budaya IndoStrategi
Lika-liku Kejujuran
Kamis, 11 Juni 2014 yang baru lalu, saya semimbar dengan Busyro Muqoddas, Wakil Ketua
KPK (aslinya beliau adalah dosen UII, Yogyakarta) dalam acara “Seminar Intervensi Perilaku
Korupsi Sejak Dini”, yang diselenggarakan oleh mahasiswa-mahasiswa Program
Pascasarjana Psikologi Intervensi Sosial, Fakultas Psikologi UI, di Kampus UI, Depok.
Dalam ceramahnya yang sangat memikat, ada tiga hal yang menarik perhatian saya yang
ingin saya jadikan masukan untuk tulisan kali ini. Yang pertama adalah rekaman percakapan
antara seorang saksi dan terdakwa sebagai berikut: “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam
warahmatullahi wabarakatuh.” “Mau menyampaikan, Pak.” “Ya, silakan.” “Kami belum bisa
menyiapkan yang 10%, kalau 5% sudah siap.” “Astagfirullahalazhim... kenapa?” Dan
seterusnya.
Yang menarik di sini adalah digunakannya jargon-jargon agama (yang semuanya bermakna
doa dan kebaikan), dalam percakapan tentang suatu hal yang sudah jelas dan sudah dipahami
oleh yang bersangkutan sebagai hal yang diharamkan oleh agama itu sendiri.
Yang kedua. Dari penelitian terhadap para tersangka, ditemukan bahwa semua tersangka
(termasuk yang sudah terpidana) tanpa terkecuali melibatkan keluarga dalam perilaku
korupsi. Yang pasti anak, dan istri. Ada kalanya juga termasuk menantu, dan ponakan
(keponakan). Jadi kalau disingkat AMPI (anak, menantu, ponakan, dan istri). Sekarang
ditambah lagi dengan office boy (OB), jadi AMPIO. Bahkan, ada yang kawin lagi dua atau
tiga istri untuk pencucian uangnya. Nilai-nilai dan gaya hidup keluarga langsung berubah
ketika seseorang terlibat korupsi. Nilai-nilai moral digeser oleh nilai-nilai yang
mengutamakan uang.
Dan yang ketiga (bukan yang terakhir, karena masih banyak yang menarik, tetapi tidak saya
muat di sini karena keterbatasan halaman) adalah bahwa korupsi di Indonesia sudah sistemik.
Bahkan, ada undang-undang yang dibuat untuk melegalkan korupsi. Pantaslah jika begitu
banyak anggota DPR yang mampu memiliki properti dan juga sejumlah istri (resmi dan siri)
yang melebihi batas-batas akal dan budi.
***
Dalam Ilmu Filsafat Etika, ada teori yang mengatakan bahwa hukum seharusnya
mencerminkan moral. Moral yang tidak dilandasi hukum seperti macan ompong yang tidak
punya gigi. Karena itu, hukum pidana dibuat untuk melindungi masyarakat dari perbuatan
kejahatan yang bertentangan dengan moral.
Undang-Undang Antiteror dan Undang-Undang Antinarkoba adalah untuk menangkal
kejahatan yang terkait dengan terorisme dan penyalahgunaan obat yang juga amoral. Tetapi
yang lebih mengerikan adalah hukum yang dibuat tanpa landasan moral, karena bisa
digunakan secara sewenang-wenang oleh penguasa. Hukum apartheid di Afrika Selatan
(sebelum Nelson Mandela), atau Undang-Undang Perbudakan di Amerika sebelum Perang
Saudara, atau Hukum Tanam Paksa yang dibuat ketika pemerintah Hindia Belanda masih
menguasai Indonesia, adalah contoh dari hukum-hukum yang dibuat penguasa semata-mata
untuk melindungi kepentingannya sendiri.
Masalahnya, mengapa pejabat-pejabat pemerintah dan anggota-anggota DPR/D di negara
Indonesia yang ber-Pancasila sampai melegalkan berbagai hal yang sebetulnya kejahatan?
Misalnya berbagai peraturan dan perundangan yang mengatur pertambangan, perikanan,
kehutanan, pelayanan masyarakat. Ternyata agama sudah bukan alat pencegahan, apalagi
penanggulangan yang manjur. Terbukti, pelaku-pelaku korupsi saling menyapa dan berdialog
dengan menggunakan ungkapan-ungkapan agama. Padahal, pelaku-pelaku korupsi di
Kementerian Agama juga pastinya orang-orang yang menguasai ilmu agama tingkat tinggi.
***
Dulu, seorang kriminolog bernama Cesarre Lombrosso sangat terkenal dengan teorinya
Delinquento Nato, artinya: kejahatan adalah watak yang dibawa sejak lahir. Karena itu, wajah
penjahat bisa dibedakan dengan mudah dari wajah orang baik-baik. Misalnya tampang yang
seram, berjenggot, berkumis dan beralis tebal, tulang pipi menonjol. Tetapi melihat
penghuni-penghuni rumah tahanan atau penjara KPK sekarang, kita tidak bisa lagi
menemukan wajah-wajah tipikal Lombrosso itu.
Pencuri-pencuri uang rakyat yang mencapai nilai ratusan miliar itu berwajah tampan,
terpelajar, dengan jemari yang halus karena tidak pernah dipakai untuk bekerja keras, bahkan
ada yang mantan Putri Indonesia. Karena itu, hari ini teori Lombrosso tersebut sudah tidak
valid lagi. Namun, Dr Busyro justru menemukan hal yang baru dalam pengamatannya di
KPK, yaitu tetap sumber kejahatan korupsi itu berawal dari keluarga dan bermuara di
keluarga juga. Bukan dalam arti biologik atau genetik, melainkan dalam konteks budaya,
sosial, dan psikologi.
Misalnya, seorang ayah melarang anaknya memberi tahu bahwa dia sedang ada di rumah,
kepada pak RW yang datang untuk menagih iuran bulanan kebersihan kampung. Ayah sudah
mengajarkan kebohongan, dan sebuah kebohongan akan diteruskan dengan kebohongan
kedua, ketiga, dan seterusnya, sehingga akhirnya yang bersangkutan bingung sendiri dengan
kebohongan-kebohongan yang telah diciptakannya sendiri (apalagi pada suami-suami yang
hobi selingkuh). Pada gilirannya, anak yang disuruh berbohong itu akan menjadi pembohong
juga di masa depannya.
Jangan heran kalau kemudian kebohongan (lawan kata dari kejujuran), makin lama makin
membudaya dan sistemik di Indonesia. Apalagi, budaya bohong itu sudah menular pula ke
sekolah-sekolah. Pada tahun 2011, di SD Negeri 2, Gadel, Surabaya, siswa terpandai kelas
VI, bernama Alif, dipaksa oleh kepala sekolah untuk memberi contekan jawaban soal-soal
UN kepada teman-temannya sesekolah (disiapkan guru tertentu untuk bertugas sebagai kurir
untuk mendistribusikan jawaban soal dari Alif ke peserta-peserta ujian yang lain).
Targetnya memang: seluruh siswa di SD itu harus lulus dengan nilai baik. Pokoknya PGPS
(pandai goblok penilaian sama). Ketika Alif mengadu kepada ibunya dan ibu melapor kepada
kepala sekolah, malah ibu itu diadili oleh Persatuan Orang Tua Murid dan Guru, dan akhirnya
keluarga Alif diusir dari kampung itu, karena dianggap telah memalukan warga.
Tidak heran kalau korupsi di Indonesia sekarang menjadi sistemik, dan salah satu cara untuk
mengatasinya bisa dimulai dari pendidikan kejujuran di lingkungan keluarga. Korupsi harus
ditangkal dari hulunya (keluarga), tidak cukup hanya dikenai sanksi di hilirnya (KPK).
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru BesarFakultas Psikologi Universitas Indonesia
Kita Tidak Sedang Berperang
Bahkan dalam suatu perang besar: perang saudara yang disebut Bharatayudha yang
menentukan itu pun ada etikanya. Barang siapa ingin keluar sebagai pemenang, dia tak boleh
curang, tak boleh melanggar etika, dan tak boleh memulai memancing-mancing kemarahan
pihak “sana”. Barang siapa lupa akan patokan-patokan etis itu, dia dan pihaknya akan
menjadi yang kalah.
Dalam hidup ini, menurut para empu kehidupan di negeri kita sendiri, sebetulnya ada
pantangan agar kita tak terlibat di dalam suatu peperangan. Di mata para arif bijaksana itu,
dalam perang kita “menang jadi arang” dan bila kita kalah, kita menderita lebih parah, lebih
hancur-hancuran, “kalah menjadi abu”. “Menang jadi arang, kalah jadi abu” merupakan
ajaran keluhuran hidup yang digemakan nenek moyang kita ribuan tahun lalu.
Di sini ajaran menyayangi kehidupan digarisbawahi secara tersirat, implisit, dan peperangan
dikutuk. Kalah-menang dianggap merusak kehidupan. Dalam moralitas Buddha, sayang pada
binatang, yang kelihatannya tak berguna pun, dijadikan keluhuran tingkah laku yang
membawa kemuliaan derajat manusia. Dalam film The Next Karate Kid, Mr Miyagi
merombak drastis sikap dan pandangan hidup Julie, yang menganggap menyayangi kecoa
sebagai cara hidup yang “stupid”.
Dia bilang, kurang lebih: “It is stupid when nations fight in a war. It is not stupid if we
respect toward life.” Ungkapan-ungkapan etis ini enak didengar, membawa rasa damai dan
kenyamanan, serta bila kita mengamalkannya, buahnya akan luar biasa bagi hidup kita. Bila
dalam perang pun kita diminta untuk tetap berperilaku luhur, apalagi sekadar dalam suasana
kampanye dan persaingan politik untuk memenangkan pemilu. Kita sekadar sedang bersaing
untuk menjadi presiden dan wakil presiden.
Persaingan itu hanya cara menunjukkan pada orang banyak bahwa kita yang layak menang,
kita yang unggul dalam kompetensi maupun sikap dan wawasan politik. Untuk memperoleh
penilaian bahwa kita yang unggul, apa yang harus ditempuh? Bila bahkan dalam perang pun
kita dilarang curang, culas, bohong, dan melanggar kepantasan etis, kita boleh curang?
Dalam persaingan ini kita boleh bohong, mencemooh, dan memfitnah pihak “sana”, yang kita
sebut mitra tanding, “mitra” bukan musuh? Kita meyakinkan orang banyak, yang kita
harapkan menjadi pemilih, dan penentu kemenangan kita, dengan keluhuran sikap dan
tindakan politik. Kalau kita menang dengan curang, kemenangan tak akan punya makna.
Selama kita menjabat, kecurangan menghantui.
Selama kita memimpin bangsa, apa yang kita sajikan sebagai kebaikan kepemimpinan bila
kita memenangkan kekuasaan dengan cara-cara yang tak direstui adat, tak dibenarkan etika,
bahkan dikutuk kearifan hidup kita sendiri. Adat, etika, dan kearifan seolah tak ada lagi di
tengah kita, tapi semua masih menjadi bagian dari kehidupan dan darah daging kita sendiri.
Orang Jawa punya panduan etis: “becik ketitik, ala ketara”, artinya baik-buruk tindakan kita
semua tampak jejaknya.
Budi baik berbuah baik, keburukan bakal menuai segala yang jahanam. Hukum-hukum
kehidupan ini tak lenyap oleh perubahan sosial dan tak bakal rusak oleh apa pun yang terjadi.
Mereka berada di atas segala kekuatan kemanusiaan. Mereka jaya di atas segala rekayasa
yang meniadakan keluhuran hidup.
***
Selama masa kampanye rakyat dengan mata dan hati terbuka menilai. Mereka tahu siapa
luhur, siapa durjana. Hidup memang tidak hitam-putih. Penilaian mereka pun tak hitam-putih.
Dalam mengamati jalannya kampanye, dan memandang cara-cara para calon pemimpin itu
tampil ada kelegaan karena mereka menawarkan keteduhan dan harapan yang didambakan.
Tapi, ada pula rasa cemas dan khawatir tentang masa depan, bagaimana nasib mereka kalau
para pemimpin sudah begitu curang dan saling “membunuh”, sambil berteriak tentang
“kebangsaan” serta “persatuan dan kesatuan” . Kebangsaan apa yang bakal dicapai dengan
sikap saling mencemooh, saling memfitnah, dan saling “membunuh” seperti itu? Kita lupa,
ini hanya kampanye, hanya tahap perjuangan untuk memenangkan kursi presiden dan
wakilnya. Kita lupa ini bukan perang.
Ini bukan permusuhan. Dapatkah elite-elite di kedua sayap yang berhadapan sebagai “mitra”
persaingan itu mengingatkan kembali dan menata dengan lebih baik para tim suksesnya, para
jurkamnya, dan para pendukungnya untuk tak mengejek pihak “mitra” sebelah sana agar kita,
bila menang, kita menang dalam keanggunan, kita menang secara bersih, dan terhormat?
Lalu kita sendiri, capres dan cawapresnya, tampil dengan kesadaran bahwa kita pemimpin,
kita orang besar, kita punya wawasan lebih baik dari banyak pihak, kita bertindak lebih
terhormat. Dapatkah ini kita wujudkan dalam masa kampanye yang singkat ini? Calon
pemimpin, mengapa tak mulai dari sekarang bersikap sebagai pemimpin, yang memberi arah,
yang memberi kemungkinan dan pilihan-pilihan yang kaya, penuh perspektif, dan bukan
sikap permusuhan? Kita ingin mewujudkan makna “persatuan” dan “kesatuan” bangsa.
Dengan apa itu diwujudkan bila sikap kita sudah tampak seperti berada di dalam suatu perang
yang begitu kejam? Kompetensi teknis apa yang kita miliki? Kita nyatakan itu secara jelas
dan terbuka. Kita bikin rakyat yakin bahwa kita memiliki sesuatu yang layak kita andalkan.
Kita yakinkan rakyat bahwa kita memiliki suatu wawasan kebangsaan yang hendak kita
semaikan di dunia pendidikan dan kemudian kita tanam dalam relasi-relasi di antara sesama
bangsa kita dan dengan bangsa lain untuk menjadi penanda bahwa kita bangsa yang suka
damai yang menghormati pluralitas budaya dan meluhurkan ajaran agama?
Para penonton, para pengamat, para juri, KPU, Bawaslu, media massa, semua mengamati kita
dengan jernih. Tiap ucapan kita dicatat dan dinilai. Tiap sepak terjang kita direkam dan
diabadikan. Kita tidak pernah berada di dalam gelap, di mana hanya kita yang ada. Tiap saat,
tiap menit, tiap detik, kita dipantau. Mereka itu yang bakal menentukan kemenangan kita.
Apa yang hendak kita tawarkan kepada dunia?
Di zaman serbaglobal ini kita tak pernah bisa memisahkan diri dari percaturan dua yang
selalu menempel di lengan baju, di leher jas, di dasi, dan di sepatu kita. Dunia melekat di
dalam diri kita. Jadi kita pun dipantau dunia. Kedamaian apa yang kita tawarkan pada dunia
internasional? Keamanan, ketenteraman, dan jaminan bebas dari kaum teroris dan kaum
radikal apa yang bisa kita tunjukkan pada dunia?
Bagaimana meyakinkan dunia bahwa kita bukan bagian dari kekerasan dan kerusuhan
berbasis agama dan ideologi keagamaan? Bisakah kita menunjukkan pada dunia bahwa kita
memang bangsa yang suka damai? Kita ingin memang.
Tapi, menang yang terhormat. Kita tak ingin kalah. Maka itu, kita harus tidak kalah dengan
cara yang tak membuat pihak lain terinjak-injak. Kita tahu, kita tak sedang bermusuhan
dengan siapa pun. Kita tahu, kita tidak sedang berperang.
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com
Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam
Politik 2014
Koran SINDO
Selasa, 17 Juni 2014
PEMILIHAN umum (pemilu) merupakan hajat besar sebagai perwujudan demokrasi di
Indonesia. Ini merupakan momen penting di mana bangsa Indonesia paling tidak untuk lima
tahun ke depan akan ditentukan.
Untuk itu, dalam pemilu partisipasi publik menjadi sangat dibutuhkan karena dengan begitu
suara publik mampu menentukan wakil-wakilnya yang akan menentukan nasib masyarakat
untuk masa depan. Agar pemilu benar-benar tempat publik dan semua berpartisipasi proses
berjalannya pesta demokrasi ini haruslah dapat diakses oleh siapa pun, dari golongan apa pun
itu, termasuk mereka yang selama ini terpinggirkan dalam kehidupan masyarakat seperti
penyandang disabilitas.
Usaha memenuhi hak suara penyandang disabilitas pun sudah diperjuangkan dalam pemilu-
pemilu sebelumnya. Berbagai masukan perihal aksesibilitas bagi penyandang disabilitas
dalam pemilu sudah dilayangkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasilnya, aksesibilitas
bagi penyandang disabilitas dalam Pemilu 2014 menjadi isu yang cukup diperhatikan.
Banyak lembaga masyarakat di Indonesia maupun lembaga internasional mendorong agar
pemilu tahun ini lebih ramah terhadap penyandang disabilitas dengan memberikan fasilitas
yang bisa diakses seperti tempat pemungutan suara yang ramah kursi roda, lembar suara
berhuruf Braille dan seterusnya. Terlebih lagi populasi penyandang disabilitas di Indonesia
cukuplah tinggi, yakni sekitar 35 juta lebih (WHO 2011).
Suara Penyandang Disabilitas
Alasan melibatkan penyandang disabilitas sangatlah berarti. Berdasarkan temuan The Asia
Foundation, mereka 35% lebih tidak mempunyai akses ke pemilu atau tidak paham akan
pemilu. Artinya 35% dari penyandang disabilitas yang memiliki hak suara tidak mampu
menggunakan hak suaranya dalam Pemilu 2014.
Meskipun begitu, ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar aksesibilitas dalam pemilu
bagi penyandang disabilitas, yakni seberapa jauh pemilu ini dapat memberikan manfaat bagi
penyandang disabilitas. Dapat dirunut pula seberapa kuatkah isu disabilitas akan disuarakan
oleh para calon wakil rakyat maupun pemimpin negeri ini menyuarakan isu disabilitas. Isu
disabilitas dalam pemilu terkait bagaimana para wakil rakyat nantinya menyuarakan isu
disabilitas dan seberapa kuatkah disabilitas akan menjadi isu penting dalam kebijakan
pemerintah di negeri ini.
Hal demikian jauh lebih berarti bagi penyandang disabilitas dari sekadar fasilitas yang mudah
diakses dalam pemilihan umum, terlebih lagi temuan The Asia Foundation menyebut
masyarakat enggan memilih pemimpin yang mempunyai disabilitas 76,9% dari masyarakat
tidak akan memilih pemimpin dengan disabilitas. Itu artinya kepentingan mereka agar lebih
tersuarakan dalam pemerintahan akan sulit diperjuangkan. Bisa disimpulkan bahwa stigma
masyarakat dalam Pemilu tahun ini ialah kurang percaya akan kemampuan penyandang
disabilitas.
Stigma buruk dan ketidakberdayaan penyandang disabilitas masihlah melekat dalam
masyarakat sehingga enggan untuk memilih penyandang disabilitas sebagai pemimpin
mereka. Jika dikaitkan dengan terjadinya perubahan dalam masyarakat dengan
keikutsertaannya dalam dunia politik, maka pandangan masyarakat yang tidak akan memilih
difabel sebagai pemimpin mereka ini akan berseberangan dengan usaha mewujudkan
implementasi penegakan hak-hak penyandang disabilitas.
Hal yang demikian ternyata diresapi oleh penyandang disabilitas, reproduksi ketidakbisaan
penyandang disabilitas dalam kepemimpinan pun menjadi ”kebenaran” bagi penyandang
disabilitas itu sendiri sehingga penyandang disabilitas sendiri pun mempercayainya. Hal ini
dapat dilihat pada hasil survei yang menunjukkan bahwa 42% penyandang disabilitas tidak
akan memilih pemimpin yang memiliki disabilitas, 36,7% bersedia memilih dan 21,3%
menolak menjawab.
Di sisi lain, sekalipun ketidakpercayaan yang diberikan pada mereka atas kepemimpinan,
penyandang disabilitas sendiri menilai bahwa demokrasi merupakan jalan yang terbaik
sebagai jalan untuk pemerintahan. Masih berpijak pada data yang dikeluarkan oleh The Asia
Foundation, 68,1% penyandang disabilitas setuju bahwa demokrasi adalah sistem yang baik,
22,22% sangat setuju, sisanya, 9,7%, tidak tahu.
Perihal pentingnya pemilu pada tahun ini, beranjak pada survei yang dilakukan oleh Pusat
Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, 38,24% mengatakan sangat
penting, dan 41,10% penting, 5,88% tidak penting, 2, 94% sangat tidak penting, dan 11,78%
tidak tahu. Artinya, 91,18% penyandang disabilitas menyatakan mencoblos dalam Pemilu
2014 dan 8,8% yang tidak menyatakan tidak berpartisipasi.
Lantas apakah motivasi penyandang disabilitas tersebut terlibat dalam pemilu? 8,82%
menjawab tidak tahu, 82,35% agar kebijakan untuk mereka lebih baik, 5,88% dikarenakan
mendapat imbalan uang, dan 2,94% dikarenakan ikut-ikutan. Dengan demikian, harapan
penyandang disabilitas pada pemilu kali ini sangatlah tinggi bagi perubahan nasib mereka.
Akan tetapi, data menunjukkan bahwa penyandang disabilitas sangat pesimistis atas apa yang
dihasilkan oleh pemilu kali ini.
Sejumlah 32,35% merasa bahwa tidak akan terwakili pada pilihan-pilihan mereka, 17,65%
sangat tidak terwakili, 11,76% merasa sangat terwakili, 26,47% merasa terwakili, 2,94%
tidak tahu, dan 8,82% enggan menjawab. Dengan demikian, pada prinsipnya harapan tinggi
yang diberikan bagi penyandang disabilitas pada pemilu kali ini tetap saja dianggap sebagai
pesta yang menghasilkan orang-orang yang tidak cukup mewakili mereka.
Isu Disabilitas
Pemilu merupakan pintu harapan bagi penyandang disabilitas sebagai momen perubahan atas
kebijakan yang lebih berpihak kepada mereka. Tampaknya, pesimisme penyandang
disabilitas dapat dibenarkan, setidaknya dapat dibaca dari semua platform partai politik.
Tidak ditemui, dari sekian partai, yang menjadikan disabilitas sebagai program utama dalam
kampanye.
Lagipula, absennya penyandang disabilitas sebagai calon legeslatif serta tidak adanya
ketentuan dari Komisi Pemilihan Umum untuk mendudukan penyandang disabilitas sebagai
anggota legislatif, sebagaimana yang diberikan pada perempuan, semakin meneguhkan
bahwa suara kaum minoritas terbesar di negeri ini tak jauh berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya.
Bahkan pada pemilihan presiden dan wakil presiden juga demikian. Di tangan dua pasang
calon yang telah mendaftarkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden, Prabowo-Hatta
dan Jokowi-JK, isu disabilitas juga tak begitu tampak dalam visi-dan misi mereka yang
diserahkan ke KPU. Minimnya isu disabilitas dalam pemilu kali semakin meneguhkan
kondisi penyandang disabilitas yang selama ini terus termarginalisasi dalam kehidupan
masyarakat.
Mereka harus menanggung beban stereotipe buruk, banyaknya fasilitas publik yang tidak
terakses, banyaknya tindakan diskriminatif seperti akses pendidikan, akses pekerjaan, dan
yang paling dekat adalah ditolaknya mereka sebagai peserta ujian masuk perguruan tinggi
negeri.
Jika mayoritas masyarakat Indonesia tidak menghendaki pemimpinya adalah dari kelompok
penyandang disabilitas dan minim sekali isu disabilitas dalam berbagai program mereka yang
terlibat pemilu, dan tidak adanya ketentuan kuota bagi penyandang disabilitas dalam pemilu
2014, lantas bagaimana suara disabilitas akan sampai di parlemen dan eksekutif? Di manakah
fungsi demokrasi sebagai instrumen paling rasional untuk suara rakyat?
SLAMET THOHARI
Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, Sekretaris Pusat Studi dan Layanan Disabilitas
Universitas Brawijaya, Alumni Disability Studies, University of Hawaii at Manoa
Politik Perempuan Menyambut Pilpres
Koran SINDO
Selasa, 17 Juni 2014
PADA 9 April 2014 bangsa Indonesia telah menggelar perhelatan demokrasi, yaitu pemilu
legislatif. Sebagai pemilu keempat di era Reformasi, Pemilu 2014 merupakan perhelatan
demokrasi yang penting bagi proses konsolidasi demokrasi kita yang sampai saat ini masih
terus berlangsung.
Salah satu isu penting dalam konsolidasi demokrasi itu adalah peningkatan partisipasi dan
penguatan representasi perempuan dalam kancah politik, khususnya di parlemen. Di era
Reformasi ini representasi perempuan di parlemen memang mengalami fluktuasi dan pasang
surut. Pada periode 1999-2004, anggota DPR perempuan sebanyak 44 orang atau 8,80%.
Representasi perempuan meningkat pada pemilu kedua di masa reformasi.
Pada periode 2004-2009, wakil rakyat perempuan meningkat menjadi 62 orang (11%), meski
dengan persentase lebih kecil ketimbang periode 1992-1997, yaitu 12,15% dengan 60 wakil
perempuan. Hasil Pemilu 2009 menunjukkan kenaikan perempuan terpilih secara signifikan
menjadi 101 orang perempuan atau 18,04% dari 560 anggota DPR periode 2009-2014.
Tidak hanya di level DPR RI, hasil Pemilu 2009 juga membawa peningkatan jumlah
perempuan terpilih di legislatif tingkat DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota.
Kenaikan itu adalah: 18% di DPR, 16% kursi perempuan di seluruh DPRD provinsi, dan 12
% perempuan di seluruh DPRD kabupaten/kota. Sayang, Pemilu 2014 yang diharapkan
menjadi momentum untuk meningkatkan representasi perempuan tidak tercapai.
Pada pemilu keempat di era ini representasi perempuan di parlemen justru turun. Jumlah
perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR pada Pemilu 2014 hanya 17,32%, yaitu 97
kursi dari 560 anggota DPR. Persentase keterwakilan perempuan tersebut masih jauh dari
angka kritis (critical number) sebesar 30% dari jumlah anggota parlemen.
Penurunan Representasi Politik Perempuan
Penurunan ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, faktor kultural. Faktor ini berupa
paradigma patriarki yang masih berkembang di masyarakat. Dunia politik masih dianggap
sebagai dunia kaum lelaki. Masih kuat persepsi yang memandang bahwa perempuan tidak
pantas masuk kancah politik.
Situasi ini berdampak pada dua hal, yaitu masih sedikitnya kader perempuan yang serius
masuk politik, dan rendahnya kesadaran dan partisipasi pemilih perempuan untuk memilih
caleg perempuan.
Kedua, secara struktural, affirmative action yang dilakukan untuk mendorong keterpilihan
perempuan ternyata belum efektif. Langkah afirmasi yang tertuang dalam Undang-Undang
Parpol dan Undang-Undang Pemilu itu salah satunya berupa kewajiban bagi partai politik
untuk mencalonkan minimal 30% caleg perempuan dari total jumlah caleg di setiap daerah
pemilihan.
Bahkan, KPU berwenang mencoret dari kepesertaan pemilu di dapil yang bersangkutan bagi
partai politik yang jumlah caleg perempuannya tidak mencapai 30%. Namun, langkah itu
ternyata belum berbanding lurus dengan keterpilihan perempuan karena terbentur sistem
pemilu yang sedemikian liberal. Pemilu dengan sistem terbuka dan suara terbanyak ternyata
telah melahirkan kompetisi yang liberal dan menyuburkan politik uang.
Dalam situasi demikian, caleg yang tidak memiliki ”modal” banyak akan tersingkir dari
pertarungan. Tradisi politik ini telah mendorong pemilih untuk menentukan pilihan tidak lagi
secara rasional, melainkan memilih berdasarkan pertimbangan pragmatis. Dalam konteks
inilah caleg perempuan kerap menjadi korban dari kompetisi yang pragmatis tersebut.
Berbagai faktor penyebab penurunan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen itu perlu
mendapatkan perhatian untuk dicegah dan diubah. Kabar kurang baik ini tentu menyadarkan
kita bahwa kemajuan proses demokratisasi di Indonesia belum paralel dengan kemajuan
politik kaum perempuan. Kondisi itu menunjukkan bahwa perjuangan politik perempuan
masih jauh dari garis finis.
Masih panjang perjuangan yang harus dilakukan. Di samping secara kuantitatif terus
mengejar pemenuhan angka representasi minimal, upaya yang harus dilakukan adalah
meningkatkan kualitas dan peran para anggota parlemen perempuan dalam memperjuangkan
nasib kaum perempuan, menciptakan keadilan gender, dan pemenuhan hak-hak kaum
perempuan di semua ranah kehidupan.
Dalam negara demokrasi, parlemen menjadi alat negara yang berfungsi merumuskan dan
mengesahkan regulasi, salah satunya undang-undang. Untuk itu, para legislator perempuan
mempunyai tugas besar untuk memperjuangkan hak-hak perempuan melalui berbagai
kebijakan dan regulasi. Lebih dari sekadar perjuangan hak-hak dan nasib perempuan,
parlemen menjadi arena strategis bagi perempuan untuk berkontribusi bagi kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan.
Tidak hanya memberi ruang bagi sumber daya besar perempuan untuk turut serta mengambil
kebijakan negara, perempuan juga membuat keputusan berdasarkan ethics of care atau peduli
pada kepentingan banyak orang.
Menyambut Pilpres 2014
Setelah pemilu legislatif digelar, bangsa Indonesia masih mempunyai agenda politik yang tak
kalah penting, yaitu pemilu presiden dan wakil presiden. Perhelatan pemilihan pemimpin
nasional yang akan digelar pada 9 Juli 2014 tersebut merupakan momentum strategis untuk
menentukan nasib dan masa depan bangsa Indonesia.
Tidak hanya untuk lima tahun mendatang, sebagai arena untuk memilih presiden dan wakil
presiden secara langsung, Pilpres 2014 menjadi pertaruhan demokrasi Indonesia karena
hingga 16 tahun reformasi, konsolidasi demokrasi kita belum juga selesai. Lebih dari sekadar
peralihan kepemimpinan nasional, pilpres kali ini juga merupakan momentum bagi regenerasi
kepemimpinan nasional.
Pada tahun politik 2014 inilah tongkat kepemimpinan nasional akan beralih dari generasi tua
kepada generasi muda. Fenomena ini dapat dibaca dari munculnya tokoh-tokoh politik baru
yang tampil menjadi capres. Situasi ini merupakan kemajuan bagi demokrasi Indonesia.
Dengan tampilnya generasi muda dalam kancah kepemimpinan nasional, kita berharap
berbagai agenda reformasi yang belum tuntas akan dapat diselesaikan dengan lebih cepat.
Mengingat begitu pentingnya proses politik itu, kaum perempuan tidak boleh tinggal diam.
Setelah berhasil terlibat dalam mengusahakan peningkatan keterwakilan perempuan pada
pemilu legislatif, lalu, kaum perempuan juga harus kembali turut ambil bagian secara aktif
dalam momentum pilpres ini. Sebagai salah satu komponen terpenting bangsa, setidaknya ada
tiga hal yang harus didorong dan diupayakan kaum perempuan dalam proses suksesi
kepemimpinan nasional itu.
Pertama, meningkatkan partisipasi politik perempuan dalam Pilpres 2014. Menurut data BPS,
perempuan merupakan separuh dari populasi penduduk, yaitu 49,83% dari total populasi
penduduk Indonesia. Pada DPT Pemilu 2014 lalu jumlah pemilih perempuan adalah
93.151.087 orang, sedangkan pemilih laki-laki berjumlah 93.418.119.
Kenyataan ini harus dibaca dengan perspektif bahwa perempuan sesungguhnya sangat
menentukan masa depan bangsa melalui pemilihan legislator dan penentuan kepemimpinan
nasional. Karena itu, kita bertanggung jawab untuk meningkatkan partisipasi politik kaum
perempuan dalam Pilpres 2014.
Kedua, memilih capres dan cawapres yang properempuan. Memilih pemimpin yang
berkomitmen pada kesetaraan dan keadilan gender merupakan suatu keniscayaan karena
keberpihakan pemerintah terhadap perempuan sangat tergantung oleh political will
pemimpinnya. Komitmen ini dapat dibaca dari visi dan misi capres-cawapres, di samping
komitmen memberikan ruang dan kesempatan kepada perempuan untuk menduduki posisi
strategis.
Pilihlah calon pemimpin yang memberikan perhatian khusus kepada perempuan dengan
berbagai program aksi untuk memberdayakan dan melindungi kaum perempuan, serta
memosisikan perempuan sebagai subjek yang setara, berdaulat secara politik, merdeka, dan
bermartabat. Di samping itu, representasi perempuan dalam pemerintahan juga perlu
ditingkatkan untuk mendorong pengarusutamaan gender di tingkat eksekutif.
Selama ini jumlah menteri perempuan di kabinet maksimal hanya 5 orang, atau 1,7% dari 34
kursi menteri. Dibandingkan dengan representasi perempuan di ranah legislatif, angka itu
sangat timpang.
Ketiga, memastikan keberpihakan pemerintahan yang baru terhadap kaum perempuan. Di
samping berpartisipasi dalam demokrasi prosedural berupa pemilu, hal yang jauh lebih
penting adalah memastikan berjalannya demokrasi substansial dengan mendorong
pelaksanaan komitmen pengarusutamaan gender dan mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang berkeadilan dan berpihak pada kaum perempuan.
Untuk itu, kita harus terus mendorong, mengawal, dan mengadvokasi kebijakan pemerintah
yang baru melalui perumusan berbagai kebijakan dan aksi konkret dalam upaya
pengembangan, pemenuhan hak, dan perlindungan terhadap perempuan. Pilpres 2014 ini
merupakan momentum penting bagi kaum perempuan untuk memperbaiki nasibnya melalui
perjuangan politik.
Keterlibatan politik perempuan memiliki makna penting untuk meningkatkan keberpihakan
negara terhadap kaum perempuan dan meneruskan agenda pengarusutamaan gender di
Indonesia. Dalam proses konsolidasi demokrasi yang kini sedang berlangsung kaum
perempuan tidak boleh absen, karena tidak ada demokrasi sejati tanpa keterlibatan
perempuan.
DRA IDA FAUZIYAH, MSI
Ketua Umum PP Fatayat NU dan Ketua Komisi VIII DPR RI
Idealitas Beasiswa Miskin
Belakangan ini ramai berita mengenai Raeni, wisudawati terbaik Universitas Negeri
Semarang (Unnes) dengan IPK 3,96 yang datang ke tempat wisuda diantar naik becak oleh
bapaknya yang bekerja sebagai pengayuh becak.
Simpati mengalir deras ditujukan pada salah satu putri terbaik bangsa itu. Bahkan, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung memberikan Raeni beasiswa ke luar negeri.
Salah satu program perlindungan sosial yang dikembangkan di Indonesia adalah
menyediakan beasiswa untuk anak usia sekolah dan diharapkan mampu menjangkau untuk
seluruh jenjang pendidikan.
Jika pada jenjang pendidikan dasar beasiswa dapat disediakan melalui pembebasan dari
segala beban sekolah, pada jenjang pendidik tinggi beasiswa untuk anak-anak keluarga
miskin disediakan melalui program afirmasi. Anak keluarga miskin setelah diterima di PT
dinyatakan memperoleh beasiswa akan menerima tunjangan hidup dan bebas uang kuliah.
Program afirmasi pendidikan yang diperkenalkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
telah berjalan.
Setidaknya, upaya ini dilakukan dengan maksud agar anak-anak keluarga miskin dapat
melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Mengirim anak-anak tamat SMU dan
SMK keluarga miskin untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi memang
sebuah harapan namun cukup kompleks. Mengingat, beban biaya hidup dan biaya pendidikan
tinggi merupakan sesuatu yang tidak mungkin bisa dipenuhi dengan mudah.
Selain dari itu, melalui program ini, tanggung jawab perguruan tinggi negeri khususnya juga
diperbesar. Perlakuan khusus anak-anak tamatan pendidikan SLTA, di Papua misalnya, dapat
melanjutkan pendidikan pada universitas-universitas negeri di Jawa. Dengan cara ini,
diperkirakan angka partisipasi murni pendidikan tinggi dapat dinaikkan menjadi 30%.
Capaian ini masih tetap jauh dibandingkan dengan kondisi yang telah dicapai oleh negara
seperti Korea Selatan, di mana angka partisipasi murni pendidikan tingginya sudah melebihi
65%.
Penyediaan beasiswa untuk anak-anak yang berasal dari keluarga miskin tentunya
merupakan sebuah keyakinan yang tinggi. Melalui pendidikan sampai menamatkan jenjang
pendidikan tinggi, akan memutus mata rantai kemiskinan. Dengan asumsi, setelah selesai
melalui masa pendidikan di perguruan tinggi, mereka akan sanggup mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik, kemudian menghasilkan eksternalitas setidaknya dalam keluarga miskin.
Dalam kaitan ini, Luisa Fernandez dari Bank Dunia mencoba memperkenalkan life cycle
program (LCP) dalam menetapkan program sosial. Dalam pandangan life cycle, diperlihatkan
bahwa menargetkan program sosial sebaiknya dengan melihat bagaimana kondisi penduduk
yang masuk ke dalam penghasilan 10% terendah. Pada kelompok ini kemudian dihitung
bagaimana kondisi dan jumlah dari anak-anak yang masuk ke dalam kategori termiskin.
Misalnya, akses pendidikan prasekolah, tingkat daftaran pada seluruh jenjang pendidikan,
tingkat capaian mata pelajaran, akses pada jenjang pendidikan tinggi, penyediaan
keterampilan untuk usia kerja, dan kondisi masyarakat kelompok usia tua. Dengan
menggunakan data Susenas tahun 2012, salah satu hasil yang menarik adalah hanya sekitar
2% anak-anak keluarga miskin (pengeluaran 10% terendah) yang sempat mengecap jenjang
pendidikan tinggi.
Rendahnya akses pendidikan tinggi anak dari keluarga miskin disebabkan mereka sudah lebih
dulu putus sekolah pada jenjang pendidikan sebelumnya. Apa yang membuat hasil
perhitungan ini menjadi menarik? Jawabannya ketika Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
menyediakan beasiswa melalui program afirmasi untuk kelompok miskin, ternyata jumlah
beasiswa melebihi jumlah anak yang berpotensi memasuki jenjang pendidikan tinggi.
Lantas, beasiswa yang terserap untuk jenjang pendidikan tinggi selama ini bagi siapa? Ada
kemungkinan program pendidikan untuk pendidikan tinggi tidak akan banyak membantu
keluarga sangat miskin, namun justru lebih masuk ke dalam kelompok keluarga pada decile
terendah kedua, ketiga atau keempat. Katakanlah masuk ke kelompok pengeluaran antara 20–
40%.
Mempertajam Arah Sasaran
Program proteksi sosial yang bertujuan agar anak yang berasal dari keluarga miskin dapat
sekolah harus diperluas jangkauannya. Harus ada data soal mereka yang difabel, anak yang
bersal dari keluarga yang secara geografis sulit dijangkau, serta anak dari keluarga yang
memiliki masalah sosial ekonomi, agar beasiswa dapat diarahkan untuk jenis dan jenjang
pendidikan yang prospek untuk masa depan mereka.
Pertama jenis pendidikan, alangkah lebih terarah jika beasiswa diarahkan untuk
meningkatkan kesempatan bagi anak keluarga miskin memasuki jenjang pendidikan
menengah. Dalam kaitan ini, selain mereka bisa mendapatkan kesempatan untuk
berpendidikan, sebaiknya diarahkan kepada jenis pendidikan vokasi. Pendidikan vokasi akan
memudahkan mereka untuk lebih cepat memasuki pasar kerja.
Kedua,anak-anak dari keluarga miskin, kalaupun diberi kesempatan sampai jenjang
pendidikan tinggi, diharapkan terpilih pada jenis jurusan yang memang diperlukan oleh pasar
kerja. Jurusan-jurusan yang sulit memperoleh pekerjaan tentunya akan tetap tidak
memudahkan mereka masuk ke pasar kerja.
Michael P Todaro pernah mengungkap pada pertengahan tahun 1980-an bahwa sekalipun
pendidikan tinggi dapat diakses oleh anak-anak keluarga miskin, ketika mereka memasuki
pasar kerja, akan banyak kendala yang berarti. Hal ini disebabkan, ketika pendidikan yang
diikuti adalah jenis-jenis jurusan yang memang tidak banyak diperlukan di pasar kerja.
Oleh karenanya, sangat tepat jika afirmasi pendidikan untuk jenjang pendidikan tinggi
diarahkan kepada jenis pendidikan keterampilan. Agenda akses pada pendidikan tinggi
bermutu perlu kita tunggu dari kandidat presiden sekarang.
ELFINDRI
Profesor Ekonomi SDM & Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi, Universitas Andalas
(Unand), Padang
Piala Dunia: Antara Ritual Konsumsi dan
Politik
Piala Dunia 2014 sudah dimulai di Brasil. Perhatian masyarakat di seluruh dunia tertuju ke
ajang empat tahunan tersebut. Piala Dunia adalah ajang olah raga dunia yang paling banyak
ditonton.
Bagi penggila bola dunia, perhelatan ini selalu ditunggu-tunggu karena bersamaan dengan
liburan musim panas. Pesta olahraga paling populer di muka bumi ini selalu menarik disimak,
seolah menjadi pesta sepak bola empat tahunan yang sayang ditinggalkan begitu saja.
Sepak bola, sebagaimana sudah menjadi fenomena kesejagadan, tak hanya menyuguhkan
atraksi dan penampilan pemain-pemainnya yang ciamik di lapangan. Ia tak sekadar
menampilkan strategi permainan ala cattenacio ataupun total football-nya Belanda. Ia pun tak
hanya menyodorkan berbagai selebrasi setelah gol diciptakan. Tetapi, sepak bola sudah
melampaui hal-hal yang bersifat makro. Ia sudah menjadi multifenomena, dari ekonomi,
kultural hingga politik.
Pada aras ini sepak bola betul-betul sebuah ruang yang memungkinkan terjadinya akselerasi
global dari berbagai ranah. Lapangan hijau dengan 22 pemain dan puluhan ribu penonton
hanyalah bagian kasatmata yang kita saksikan. Lebih dari itu, sepak bola menghadirkan
pengaruh yang sangat luar biasa di tingkat global.
Industri Global
Faktanya, saat ini sepak bola sudah menjadi industri global yang sarat dengan perputaran
kapital. Sepak bola sudah menghasilkan ribuan pemain yang memiliki kontrak triliunan
rupiah. Piala Dunia juga telah menghasilkan keuntungan bagi tuan rumah dan perusahaan-
perusahaan global yang berkompetisi menjadi sponsor resminya.
Perusahaan-perusahaan yang logonya mejeng di seluruh stadion berlangsungnya Piala Dunia
adalah salah satunya. Bagi perusahaan multinasional ajang ini merupakan ladang uang yang
semakin mengukuhkan posisi bisnisnya. Tak kalah pentingnya adalah citra perusahaan dalam
industri global. Salah satunya yang sangat kompetitif adalah persaingan berbagai produk
jersey ternama.
Beberapa produk jersey yang merupakan perusahaan global itu adu seru menguasai dunia
sepak bola global, terutama Piala Dunia. Produk-produk jersey tersebut selalu ditunggu-
tunggu oleh jutaan penonton yang menyaksikan bagaimana kesebelasan favoritnya berlaga di
ajang tersebut. Kontrak ini saja sudah memiliki harga yang sangat besar. Belum lagi harga
hak siar dari seluruh pertandingan Piala Dunia ini yang disiarkan oleh seluruh negara di
dunia.
Belum lagi penjualan tiket, merchandise, hingga acara nonton bareng yang digelar di setiap
negara. Bagi pemain, inilah saatnya mereka menunjukkan performa terbaiknya. Jika mereka
berhasil memikat pemantau dari berbagai klub raksasa, yakinlah kontrak mereka bakal
meningkat selepas Piala Dunia. Mereka siap digadang-gadang dengan kontrak termahal di
liga dunia.
Arena Konsumsi
Tak kalah pentingnya adalah, Piala Dunia menjadi arena konsumsi bagi jutaan manusia di
muka bumi ini. Siaran televisi menjadi media strategis untuk menanamkan nilai-nilai baru
yang disajikan dalam ajang tersebut. Sejarah mencatat, misalnya, ajang banyak pemain dunia
yang menjadi trend setter gaya rambut, maupun fashion.
Di sinilah Piala Dunia menjadi arena berkembangnya tren dari mulai gaya rambut, kostum
kesebelasan hingga aksesori lain yang kerap dipakai pemain-pemain. Setiap menjelang
perhelatan Piala Dunia, bisnis kostum timnas peserta Piala Dunia selalu laris manis. Mulai
dari yang harga pasar pinggiran hingga produk asli. Orang dewasa hingga anak-anak tak
kalah memiliki kostum dari negara favoritnya.
Belum lagi berbagai pernak-pernik mulai dari cangkir, boneka, jam dinding, gantungan kunci
laris diproduksi secara massal. Lagu resmi Piala Dunia juga banyak dicari oleh penonton di
seluruh dunia. Meminjam istilah sosiolog Manuel Castell, inilah saatnya apa yang disebut
dengan “collective consumption”. Sebuah era saat individu di muka bumi memiliki
kepentingan dan preferensi yang sama untuk mengonsumsi secara massal ajang Piala Dunia.
Dalam pandangan Castell, penduduk di muka bumi ini adalah kumpulan konsumen.
Begitulah Piala Dunia sudah menjadi ritual empat tahunan dan apa yang dijelaskan di atas
menggambarkan bahwa kita sedang berada di era Post Footbalism.
Relaksasi Politik
Perhelatan Piala Dunia 2014 dalam konteks Indonesia menjadi istimewa karena terkait
dengan dua momen penting yaitu pilpres dan Ramadan. Di tengah kontestasi politik yang
semakin memanas setiap harinya dengan berbagai suguhan kampanye hitam kepada para
kandidat capres-cawapres, Piala Dunia bisa menjadi alat pemersatu sekaligus meredakan
berbagai ketegangan politik di kalangan pendukung, tim sukses hingga para kandidatnya.
Ibaratnya, Piala Dunia menjadi ruang relaksasi politik sesaat dengan menyaksikan laga-laga
terbaik yang dipentaskan oleh tim-tim unggulan. Masyarakat bisa saja beda pilihan politik,
tetapi dengan bola yang ditontonnya bisa mempersatukan sekaligus merekatkan tensi-tensi
politik yang sudah provokatif dan di luar ambang batas rasional. Piala Dunia menjadi
jembatan memecahkan stres politik yang sudah semakin tak sehat.
Politik selalu melahirkan atraksi-atraksi yang provokatif tanpa basis rasional. Politik sering
dilakukan tanpa kendali moral. Semua atas nama kepentingan abadi. Tak ada rumus
membangun budaya politik dengan suguhan seni politik yang ciamik. Nah, atraksi-atraksi
para pemain terbaik di lapangan apalagi dengan gol-gol yang cantik mampu mengobati
kegundahan politik yang sedang melanda panggung politik Indonesia.
Sepak bola melahirkan budaya dan nilai-nilai seni yang menjadi kekuatan emosi serta
psikologis masyarakat. Kebersamaan dan guyub justru didapatkan dengan berbagai
kesempatan nonton bareng untuk mendukung tim favoritnya. Mereka bisa teriak kencang
sepuas-puasnya tanpa perlu mengumpat teman yang membela lawannya.
Mereka bisa berjingkrak-jingkrak merayakan selebrasi gol tim favoritnya tanpa melakukan
serangan-serangan politik yang menjatuhkan lawannya. Inilah kekuatan dan ideologi sepak
bola yang dirasakan oleh masyarakat dunia. Tanpa pretensi politik, tanpa kepentingan
religius. Sepak bola adalah ruang publik yang mencairkan kebuntuan-kebuntuan pemikiran
sekaligus menata kembali nilai-nilai seni yang hilang dalam panggung politik Indonesia.
Karenanya, para tim sukses dan kandidat belajarlah dari para pemain sepak bola. Belajar
membangun serangan kepada tim lawannya secara elegan, ciamik dan kekompakan dengan
berbagai strategi yang dimilikinya. Apapun strateginya. Entah cattenacio, atau total football.
Belajarlah bermain secara fair tanpa melakukan serangan fisik kepada lawan. Belajarlah
sportif yang disuguhkan para pemain di lapangan.
Jika sepak bola yang sudah menjadi “agama dunia” bisa digemari jutaan umat manusia, maka
kita sebenarnya tak lagi mendengar maraknya kampanye hitam yang murahan. Kita tak lagi
menyaksikan sentimen SARA yang terus dihembuskan kepada kandidat tertentu.
Dengan sepak bolalah cermin peradaban bisa dilihat. Dan, politik Indonesia harusnya belajar
betul kepada ajang Piala Dunia 2014. Selamat menikmati Piala Dunia 2014!
RAKHMAT HIDAYAT
Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
Ayo Memilih Presiden
Dibandingkan pemilihan calon anggota legislatif, pemilihan calon presiden (pilpres) jauh
lebih simpel karena yang dipilih hanya dua pasangan: nomor 1 atau nomor 2.
Terlepas dari diskusi dan perdebatan terhadap kualitas capres-cawapres, semuanya adalah
putra-putra bangsa yang sudah berkorban moril-materiil dan memiliki tekad untuk memimpin
pemerintahan Indonesia lima tahun ke depan. Tekad dan pengorbanan itu mesti kita hargai.
Belum tentu para pengamat dan komentator politik yang meramaikan wacana publik
memiliki nyali dan modal untuk maju ikut bertanding.
Meski pilpres belum terlaksana, sesungguhnya secara moril kedua pasangan sudah menjadi
pemenang. Mereka adalah orang-orang terpilih yang dengan gigih memperjuangkan hak-
haknya untuk tampil menjadi pemimpin bangsa dengan penduduk sekitar 240 juta jiwa.
Betapa besar tanggung jawab yang mesti dipikul andai mereka nantinya terpilih. Karena itu,
dari segi niat dan tekad, empat orang itu sudah menjadi pemenang.
Bayangkan saja, apa yang akan terjadi dengan sistem pemerintahan kita kalau tak ada yang
mau maju bertanding memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden? Tidak mungkin
jarum sejarah diputar kembali ke zaman primitif. Pemilu ini sangat strategis maknanya bagi
perjalanan bangsa Indonesia. Sebuah tahapan dan proses pendewasaan berdemokrasi
sehingga diharapkan ke depan nanti kita beranjak dari demokrasi prosedural naik menjadi
demokrasi yang lebih substansial dan fungsional.
Di antara cirinya adalah masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran untuk memilih
wakil rakyat dan pemimpin yang terbaik, karena jika salah memilih, yang akan celaka dan
dirugikan adalah bangsa dan rakyat sendiri. Diperkirakan, rakyat kita yang sadar dan melek
demokrasi tak mencapai angka 20%. Artinya, menjadi wajar kalau seseorang ketika memilih
calon bupati, gubernur, wakil rakyat atau capres nanti tanpa disertai pengetahuan dan
pertimbangan rasional.
Bisa jadi karena semata hubungan kekerabatan, merasa satu kelompok keagamaan, kesamaan
etnis, atau karena menerima uang ”serangan fajar” di hari pencoblosan. Semua itu merupakan
realitas bangsa dan masyarakat kita yang mesti kita terima meski harus ada upaya pendidikan
dan perbaikan dari waktu ke waktu. Dalam hal ini parpol mesti tampil ke depan sebagai
pelopor pendidikan politik bagi warga negara dan menganjurkan serta mengajak agar pilpres
ini berjalan fair dan damai.
Kalau para pendukung di bawah ada yang fanatik dan brutal, itu pun bisa dimaklumi.
Bukankah para suporter Persib dan Persija juga fanatik dan kadang brutal? Padahal mereka
tidak mendapatkan upah dan janji apa-apa. Hanya saja, agenda pilpres sangat berbeda nilai
dan implikasi strategisnya bagi bangsa dan pemerintahan ke depan. Jangan sampai dicederai
dengan konflik berdarah-darah karena akan fatal akibatnya, antara lain rakyat akan semakin
tidak percaya pada demokrasi dan parpol.
Akan menyulitkan pemerintah untuk melakukan estafet panggung politik nasional dengan
elegan dan indah. Dunia luar pun akan memandang bangsa ini masih barbar. Pendeknya, jika
rakyat dan dunia tidak percaya kepada Pemerintah Indonesia, agenda pembangunan ekonomi
dan aspek lain akan terhambat. Pasti inflasi dan pengangguran akan tinggi. Konsumsi tidak
bisa distop, sementara pertumbuhan ekonomi mandek. Sejauh ini suasana menjelang pilpres
masih terkendali.
Rakyat juga tidak senang dengan berbagai kampanye hitam yang membuat gerah dan lelah.
Sesungguhnya antarparpol yang bersaing tak lagi memiliki perbedaan ideologi tajam yang
akan membangkitkan militansi tinggi antarpendukungnya. Namun ketika emosi dan simbol
agama dibawa-bawa dan dilibatkan, biasanya orang mudah terpancing. Karena itu, sebaiknya
kita berkompetisi secara rasional saja. Lebih menekankan keunggulan visi, misi, program,
dan bayang-bayang kabinetnya.
Kalau isu agama dibawa-bawa, kebetulan semua yang bertanding adalah sosok muslim. Tak
lagi relevan menilai keimanan seseorang. Kalaupun toh suatu saat ada calon yang bukan
muslim, itu pun dilindungi oleh undang-undang dan hukum tidak membedakan etnik serta
agama bagi siapa pun yang akan maju menjadi pemimpin di negara Pancasila yang majemuk
ini. Bangsa dan negara mana pun di dunia berkembang mengarah pada masyarakat yang
plural, baik etnik maupun agama.
Jika di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim bermunculan bangunan gereja dan
wihara, di Barat yang mayoritas Kristen bermunculan bangunan masjid. Ini juga
menunjukkan tumbuhnya komunitas muslim di Barat. Bahkan belum lama ini berkumandang
azan di wilayah Vatikan, pusat agama Katolik. Di situ diadakan doa bersama lintas agama
untuk perdamaian dunia.
Pemikiran yang tidak siap menerima dan menghargai perbedaan adalah sikap tiran dan fasis.
Demokrasi adalah bagian integral dari budaya Nusantara untuk menerima perbedaan, sejalan
dengan moto Bhinneka Tunggal Ika . Dengan ungkapan lain, lets celebrate the difference;
accept the difference, respect the difference, share the difference.
Sadar akan pluralitas bangsa, mestinya kita menjadikan pemilu sebagai sebuah pesta dan
ujian naik tingkat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar lebih matang dan dewasa.
Pilihlah pasangan capres-cawapres sesuai dengan selera dan pilihan masing-masing. Kita
semua adalah saudara sebangsa dan setanah air.
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN
KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN

Más contenido relacionado

Destacado

(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 Mei 2014-3 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 Mei 2014-3 Juni 2014(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 Mei 2014-3 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 Mei 2014-3 Juni 2014ekho109
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 oktober 2015-4 desember 2015
(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 oktober 2015-4 desember 2015(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 oktober 2015-4 desember 2015
(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 oktober 2015-4 desember 2015ekho109
 
SMDP A Financial Refresher MODULE 4
SMDP A Financial Refresher MODULE 4SMDP A Financial Refresher MODULE 4
SMDP A Financial Refresher MODULE 4SMDP-UNH
 
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (sumber: peradilan.co)
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (sumber: peradilan.co)Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (sumber: peradilan.co)
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (sumber: peradilan.co)ekho109
 
SMDP Microfinance Refresher MODULE 2
SMDP Microfinance Refresher MODULE 2SMDP Microfinance Refresher MODULE 2
SMDP Microfinance Refresher MODULE 2SMDP-UNH
 
SMDP A Financial Refresher MODULE 3
SMDP A Financial Refresher MODULE 3SMDP A Financial Refresher MODULE 3
SMDP A Financial Refresher MODULE 3SMDP-UNH
 
SMDP A Financial Refresher MODULE 1
SMDP A Financial Refresher MODULE 1SMDP A Financial Refresher MODULE 1
SMDP A Financial Refresher MODULE 1SMDP-UNH
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016ekho109
 
SMDP Microfinance Refresher MODULE 3
SMDP Microfinance Refresher MODULE 3SMDP Microfinance Refresher MODULE 3
SMDP Microfinance Refresher MODULE 3SMDP-UNH
 
Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015ekho109
 

Destacado (10)

(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 Mei 2014-3 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 Mei 2014-3 Juni 2014(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 Mei 2014-3 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 Mei 2014-3 Juni 2014
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 oktober 2015-4 desember 2015
(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 oktober 2015-4 desember 2015(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 oktober 2015-4 desember 2015
(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 oktober 2015-4 desember 2015
 
SMDP A Financial Refresher MODULE 4
SMDP A Financial Refresher MODULE 4SMDP A Financial Refresher MODULE 4
SMDP A Financial Refresher MODULE 4
 
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (sumber: peradilan.co)
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (sumber: peradilan.co)Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (sumber: peradilan.co)
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (sumber: peradilan.co)
 
SMDP Microfinance Refresher MODULE 2
SMDP Microfinance Refresher MODULE 2SMDP Microfinance Refresher MODULE 2
SMDP Microfinance Refresher MODULE 2
 
SMDP A Financial Refresher MODULE 3
SMDP A Financial Refresher MODULE 3SMDP A Financial Refresher MODULE 3
SMDP A Financial Refresher MODULE 3
 
SMDP A Financial Refresher MODULE 1
SMDP A Financial Refresher MODULE 1SMDP A Financial Refresher MODULE 1
SMDP A Financial Refresher MODULE 1
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
 
SMDP Microfinance Refresher MODULE 3
SMDP Microfinance Refresher MODULE 3SMDP Microfinance Refresher MODULE 3
SMDP Microfinance Refresher MODULE 3
 
Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015
 

Último

Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTIndraAdm
 
aksi nyata sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
aksi nyata sosialisasi  Profil Pelajar Pancasila.pdfaksi nyata sosialisasi  Profil Pelajar Pancasila.pdf
aksi nyata sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfsdn3jatiblora
 
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNSLatsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNSdheaprs
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxssuser35630b
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BAbdiera
 
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfMODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfNurulHikmah50658
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdfsdn3jatiblora
 
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITASMATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITASbilqisizzati
 
UT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk Hidup
UT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk HidupUT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk Hidup
UT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk Hidupfamela161
 
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING...
PELAKSANAAN  + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY &  WAREHOUSING...PELAKSANAAN  + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY &  WAREHOUSING...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING...Kanaidi ken
 
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsxvIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsxsyahrulutama16
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatanssuser963292
 
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdfMAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdfChananMfd
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxdpp11tya
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDNurainiNuraini25
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxIrfanAudah1
 
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdfModul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdfanitanurhidayah51
 
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxMembuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxNurindahSetyawati1
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxadimulianta1
 
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptxPendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptxdeskaputriani1
 

Último (20)

Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
 
aksi nyata sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
aksi nyata sosialisasi  Profil Pelajar Pancasila.pdfaksi nyata sosialisasi  Profil Pelajar Pancasila.pdf
aksi nyata sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
 
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNSLatsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
 
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfMODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
 
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITASMATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
 
UT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk Hidup
UT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk HidupUT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk Hidup
UT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk Hidup
 
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING...
PELAKSANAAN  + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY &  WAREHOUSING...PELAKSANAAN  + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY &  WAREHOUSING...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING...
 
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsxvIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
 
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdfMAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
 
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdfModul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
 
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxMembuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
 
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptxPendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
 

KELAPA SAWIT, DEFORESTASI, DAN ORANG UTAN

  • 1. Honor Killing Kejadiannya tanggal 27 Mei 2014 di depan Gedung Pengadilan Tinggi Lahore, Pakistan. Fauzana Iqbal, 24, sedang menunggu sidang di pengadilan itu ketika tiba-tiba dia ditarik oleh sejumlah anggota keluarga sendiri (ayah, kakak, dan kerabat-kerabat laki-lakinya), dibawa ke tepi jalan dan dilempari batu sampai mati. Tidak ada seorang pun di tempat ramai itu yang berusaha mencegahnya. Termasuk polisi. Ternyata Fauzana telah menolak menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya dan memilih menikah dengan pria pilihan sendiri, yaitu Mohamad Iqbal. Keputusannya ini dinyatakan telah menodai kehormatan keluarga dan untuk itu dia harus dihukum rajam, sesuai dengan hukum syariah versi sebagian tertentu dari masyarakat Islam di Pakistan. Hukuman ini dinamakan honor killing, yang artinya dibunuh demi kehormatan. Akibat perilaku brutal keluarga Fauzana, langsung terjadi demo di Pakistan untuk menentang perbuatan kejam yang sewenang-wenang itu, yang bukan untuk pertama kalinya terjadi di negara itu. Suami Fauzana, Muhamad Iqbal, pun mengancam untuk bunuh diri kalau pemerintah tidak bertindak menghukum pelaku-pelaku pembunuhan istrinya itu. Anehnya, pemerintah tidak juga bertindak, masyarakat membiarkan, malah menonton adegan sadis itu (lebih sadis dari di film karena yang ini sungguhan) dan polisi mendiamkan. *** Adapun di Indonesia, saya mengutip sebuah berita dari sebuah media on line sebagai berikut. ”YOGYAKARTA- Rumah Direktur Penerbitan Galang Press Julius Felicianus diserang dan dirusak oleh sekelompok orang yang diduga Front Pembela Islam (FPI), Kamis (29/5/ 2014) malam. Penyerangan terjadi ketika rumah tersebut dipakai untuk ibadat doa rosario. Kejadian bermula saat jemaat menggelar acara ibadat rutin sekaligus peringatan Hari Kenaikan Isa Almasih. Sekitar pukul 20.30, segerombolan orang bergamis dengan mengendarai motor mendatangi rumah Julius Felicianus, 54, yang menjadi tempat acara. Sesampainya di lokasi, massa langsung melempari rumah dengan batu. Massa juga merusak motor milik jemaat yang terparkir di depan rumah. Tak hanya itu, massa kemudian memaksa untuk masuk ke dalam rumah dan bermaksud untuk membubarkan kegiatan doa tersebut. Akibat dari serangan itu, Julius Felicianus dan beberapa temannya terluka parah karena dipukuli.” *** Semua orang tahu bahwa Islam bukan agama sadis. Islam adalah agama rahmatan lil alamin, agama yang membawa kedamaian dan rahmat dari Allah SWT, pencipta semesta alam.
  • 2. Memang Rasulullah sendiri pernah berperang untuk membela Islam. Perang yang amat terkenal adalah Perang Badar (tentara Islam menang) dan Perang Uhud (tentara Islam kalah). Karena itu Profesor Amin Rais mengibaratkan ”perang” pilpres harus bersemangat Perang Badar, bukan Perang Uhud. Tapi seorang ustaz teman saya (bukan Ustaz Guntur Bumi atau Ustaz Taufan Langit, yang ini mah ustaz biasa, Ustaz Fulan) pernah menghitung-hitung berapa sering sih Nabi Besar kita itu berperang, menggunakan kekerasan untuk membela agama? Ternyata hitung punya hitung, perangnya Rasulullah hanya makan waktu kurang dari 2% dari masa beliau berdakwah yang 20 tahun itu. Itu pun untuk membela diri karena umatnya benar-benar terancam. Tapi dalam praktiknya Islam jadi agama yang sangar seperti itu, ya? Bukan hanya terhadap agama lain, seperti yang terjadi di Sleman, tetapi terhadap sesama muslim sendiri, bahkan kerabat dan anak kandung sendiri juga dihajar sampai mati seperti nasib yang menimpa Fauzana. Demikian pula kejadian di Sampang, Madura. Di tahun 2011 pengikut-pengikut Syiah diserang, banyak orang tewas dan terluka sehingga mereka akhirnya bermigrasi ke Sidoarjo (dan diberi tempat oleh Pemda Sidoarjo, Jatim). Padahal gara-garanya cuma konflik antaranak-anak dari Ustaz Tajul Muluk al-Ali Murtadha, yaitu pimpinan dari Pondok Pesantren Syiah di Sampang. Gara-gara konflik, membela kepentingan pribadi, pecahlah konflik sosial yang berdarah-darah. Kepentingan-kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok-kelompok, itulah yang menjadi sumber kekerasan dan eksklusivisme di antara sebagian umat Islam (termasuk bom-bom teroris yang sudah membunuh ratusan orang). Cobalah telusuri semua konflik yang bernuansa agama (termasuk yang non-Islam). Yang di Irak, yang di Suriah, di Mesir, dll. Carilah akar penyebabnya, pasti akan ditemui perdebatan atau konflik yang membawa-bawa akidah, tetapi pelaku-pelakunya di balik itu semua pasti punya kepentingan. Boleh juga kepentingan negara-negara adikuasa yang berebut sumber daya alam seperti minyak mentah dll. Namun, walaupun awalnya hanya konflik antarindividu atau antarkelompok, lambat laun sikap-sikap eksklusif, memusuhi kelompok lain, main hakim sendiri, tindak kekerasan dan sebagainya sudah meresap ke dalam diri masyarakat, termasuk aparat-aparat pemerintahnya (polisi membiarkan tindak kriminal di depan hidungnya). Seorang ibu yang kebetulan nonmuslim tidak mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah negeri karena nuansanya sudah mengarah ke agama tertentu, tidak netral lagi. Bahkan dia sendiri (sekarang jadi dosen) mengaku bahwa di SMP (waktu itu ia bersekolah di negeri) ia pernah diludahi kawan sendiri hanya karena dia bukan muslim. Jadi, sudah tiba saatnya bahwa agama dikembalikan ke ranah kehidupan pribadi masing-masing. Kalau mau pendidikan agama, masukkan ke sekolah agama yang sesuai dengan keyakinan orang tua sendiri. Tidak perlu menuntut sekolah negeri untuk mengajari agama yang isinya justru menjauhkan
  • 3. siswa dari umat yang tidak sekepercayaan. Di KTP juga tidak perlu lagi dicantumkan agama karena tidak ada gunanya, bahkan bisa menjadi ajang diskriminasi kalau misalnya orang yang bersangkutan melamar kerja. Yang jelas, ketika agama itu diurus oleh institusi negara yang namanya Kementerian Agama justru dijadikan sumber korupsi. Sangat merendahkan citra agama itu sendiri. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru BesarFakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 4. Kelapa Sawit, Deforestasi, dan Orang Utan Koran SINDO Senin, 9 Juni 2014 HINGGA kini masih hangat dibahas isu mengenai kerusakan hutan Indonesia (deforestasi) dan orang utan. Kedua isu tersebut dikaitkan dengan perkebunan sawit, di mana ada semacam tuduhan bahwa sawitlah penyebab deforestasi dan terbunuhnya (berkurangnya) orang utan di Indonesia. Pertanyaannya, apakah benar bahwa perkebunan kelapa sawit adalah penyebab (utama) kerusakan hutan di Indonesia dan matinya orang utan? Deforestasi sendiri masih ditafsirkan beragam. Ini disebabkan perbedaan pengertian hutan dengan kawasan hutan. Publik sering kurang memahami perbedaan hutan dengan kawasan hutan sehingga sering meng-gebyah- uyah (menggeneralisasi) bahwa kebun sawit menyebabkan berkurangnya hutan Indonesia. Menurut UU 41/1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Menurut Forest Resources Assessment (FRA, 2000), hutan adalah lahan dengan luasan minimal 0,5 ha dengan tutupan vegetasi pohon (tree crown cover) minimal 10%, ketinggian pepohonan minimal 5 m. Kawasan hutan, menurut UU 41/ 1999, adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Secara gampang bisa dijelaskan bahwa hutan adalah pohon-pohonnya, sedangkan kawasan hutan adalah status legal wilayahnya. Sebagai kawasan hutan, kita mengenal antara lain hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi, dan hutan produksi terbatas. Hutan produksi konversi (HPK) adalah kawasan hutan eks HPH (log over forest) yang sebenarnya sudah direlakan untuk diubah fungsinya menjadi kegunaan nonkehutanan guna menopang kegiatan pembangunan. Deforestasi selama ini didefinisikan sebagai penebangan pepohonan (hutan) yang diubah peruntukannya menjadi bukan hutan. Padahal sebenarnya esensi dari deforestasi adalah perubahan (konversi) kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Data hutan Indonesia yang katanya 133 juta ha adalah kawasan hutan bukan hutan dalam arti luasan vegetasinya walaupun data Kementerian Kehutanan (2011) mencatat bahwa dari 133
  • 5. juta ha kawasan hutan, sekitar 40 juta ha di antaranya sudah tidak berhutan (degraded). Sudah menjadi keniscayaan bahwa sebagai negara berkembang, di mana pemerintah harus menyediakan ruang untuk pertambahan penduduk serta aktivitas pemenuhan kebutuhan hidupnya, kawasan hutan produksi konversi adalah cadangan untuk menjawab kebutuhan tersebut. Perubahan fungsi kawasan hutan produksi konversi hanyalah masalah waktu dan lokasi di mana prioritas pembangunan dilakukan sesuai prosedur pelepasan kawasan hutan yang diatur undang-undang. Dalam kaitan dengan perkebunan kelapa sawit, konsesi lahan yang diberikan pemerintah (daerah) adalah berstatus area penggunaan lain (APL) atau ada yang menyebut kawasan budi daya nonkehutanan (KBNK) atau kadang-kadang hutan produksi konversi (HPK). Baik APL ataupun KBNK adalah bukan kawasan hutan. Perusahaan yang mendapat izin konsesi di kawasan HPK harus memproses izin pelepasan kawasan hutan kepada menteri kehutanan. Tanpa izin pelepasan kawasan hutan, status hak lahan tidak akan bisa menjadi HGU (hak guna usaha). Sesuai UU, tidak mungkin pemerintah memberikan izin konsesi di hutan produksi, apalagi hutan lindung dan hutan konservasi. Karena itu, sangatlah tidak relevan jika ekspansi kebun kelapa sawit dikaitkan dengan deforestasi. Ekspansi perkebunan kelapa sawit berkaitan dengan kawasan hutan, bukan dengan hutannya. Masalahnya, di beberapa kasus ada bukan kawasan hutan yang masih berhutan (berpohon). Karena ketidaksamaan definisi sebagaimana disebutkan di atas, ekspansi penanaman sawit di lahan seperti ini dikategorikan sebagai deforestasi. Memang demikianlah menurut peraturan perundangan di Indonesia bahwa penebangan vegetasi di areal bukan kawasan hutan adalah bukan suatu pelanggaran. Namun, penebangan hutan (pohon) di areal bukan kawasan hutan tetap dianggap deforestasi oleh kalangan LSM lingkungan karena mereka hanya melihatnya dari aspek fisik (citra satelit), di mana yang tadinya tutupan vegetasi (berwarna hijau) berubah menjadi tidak hijau atau menjadi (hijau) kebun sawit. Demikian juga dengan masalah orang utan, sangat tidak relevan bahwa perkebunan kelapa sawit dituduh menjadi penyebab matinya orang utan. Orang utan tidak ada hubungannya dengan perkebunan kelapa sawit. Sekali lagi, mengacu pada UU Kehutanan, habitat orang utan adalah kawasan hutan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah yakni kawasan hutan konservasi di mana di dalamnya termasuk taman nasional dan suaka marga satwa untuk melindungi keanekaragaman hayati tertentu termasuk orang utan. Adanya kasus orang utan ”lari” atau ”ditemukan” di perkebunan sawit boleh jadi karena hutan konservasi yang menjadi habitatnya sudah rusak.
  • 6. Dengan demikian, persoalan deforestasi maupun orang utan adalah persoalan tata ruang. Pokok persoalan yang kita hadapi adalah ketidakjelasan dan atau kebelumtuntasan masalah tata ruang ini. Tuntutan pembangunan akibat pertambahan penduduk mendorong percepatan pemekaran wilayah, tetapi penyesuaian tata ruangnya tidak sinkron. Dengan begitu, suatu areal yang menurut tata ruang provinsi/pemerintah daerah bukan kawasan hutan, menurut pemerintah pusat adalah kawasan hutan. Ketika industri mendapatkan izin konsesi lahan dari pemerintah daerah untuk melakukan aktivitas pembangunan, tiba-tiba dituduh oleh pemerintah pusat bahwa industri tersebut melanggar peraturan. Industri menjadi bingung karena pemerintah sendiri tidak satu bahasa, padahal bagi industri yang dibutuhkan adalah kepastian hukum dari satu pemerintah, bukan pemerintah yang berbeda-beda. Kerusakan hutan memang telah menjadi rahasia umum. Persoalannya ada pada masalah pengelolaan kawasan hutan. Batas kawasan hutan tidak jelas atau masyarakat sulit membedakan mana kawasan hutan dan mana bukan kawasan hutan. Perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan bukan monopoli perkebunan kelapa sawit. Menurut studi World Growth (2010), perambahan kawasan hutan terbesar justru dilakukan oleh masyarakat miskin yang ingin membuka ladang guna memenuhi kebutuhan pangan dan mata pencaharian mereka. Ini sangat mungkin karena kawasan hutan tidak jelas batasnya dan tidak dijaga, apalagi lokasinya nun jauh di sana. JOKO SUPRIYONO Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)
  • 7. Politik Konservasi Laut Koran SINDO Senin, 9 Juni 2014 PADA Mei 2014 Indonesia menjadi tuan rumah World Coral Reef Conference (WCRC). Salah satu hasil penting WCRC tersebut adalah ada komunike bersama tentang pengelolaan terumbu karang secara global yang menekankan pendekatan baru yakni terintegrasi melalui tata kelola yang efektif, ramah gender, sensitif risiko bencana, serta orientasi bisnis yang ramah lingkungan. Bagaimana implikasinya terhadap kelautan Indonesia? Perspektif Global Kini pembicaraan isu lingkungan laut hampir selalu menyentuh isu terumbu karang. Ini karena ekosistem terumbu karang memiliki peran ekologis yang sangat penting bagi tumbuhnya populasi ikan serta keseimbangan ekosistem laut. Karena itu, inisiatif global pengelolaan terumbu karang terus didorong seperti Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, Food Security (CTI-CFF ), The Eastern Tropical Pacific Seascape Project and The Indian Ocean Challenge, West African Conservation Challenge, serta Coral Reefs for the Americas Region. Hal yang menarik dari berbagai kesepakatan internasional itu adalah pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan harus memberikan kontribusi pada ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan, serta antisipasi dampak perubahan iklim. Dengan ditambahkan aspek gender, bencana, serta bisnis ramah lingkungan, tentu makin menarik dan menunjukkan kemajuan. Pertama, selama ini isu pengelolaan terumbu karang hanya fokus pada aspek ekologi sehingga seolah yang terpenting adalah bagaimana terumbu karang lestari tanpa memikirkan bagaimana kelangsungan hidup manusia di sekitarnya. Inilah yang sering memicu ketidakadilan. Ini sesuai tulisan Forsyth (2002) yang mengatakan bahwa bila pengelolaan lingkungan hanya bertumpu pada prinsip-prinsip ekologis semata, yang terjadi adalah ketidakadilan. Fakta konflik antara konservasi terumbu karang dan perikanan terjadi di mana-mana di dunia, tak hanya di Indonesia. Karena itu, perlu sinergi antardisiplin ilmu sebagai dasar untuk menciptakan tata kelola yang efektif dan adil. Kedua, kerusakan terumbu karang selama ini dipahami sebagai akibat ulah nelayan yang melakukan pengeboman ikan. Padahal kerusakan
  • 8. oleh bisnis besar juga terjadi. Pencemaran industri, sedimentasi akibat penebangan hutan secara masif oleh usaha besar, dan perdagangan karang oleh eksportir adalah contoh betapa bisnis besar juga berkontribusi terhadap kerusakan. Jadi, poin bisnis ramah lingkungan sangat penting ditekankan dan perlu dirumuskan instrumen operasionalnya. Ketiga, konservasi laut selama ini dipahami hanya domain laki-laki. Padahal naluri perempuan terhadap alam mestinya dipertimbangkan sehingga perannya harus didorong. Dengan prinsip baru sensitif gender dalam komunike WCRC, akan makin mengukuhkan peran perempuan dalam konservasi baik pada pengambilan kebijakan maupun implementasinya. Agenda Tentu sejumlah poin di atas merupakan kemajuan penting dalam pengelolaan konservasi laut yang adil. Namun, persoalannya adalah bagaimana implementasinya di Indonesia. Ada sejumlah langkah yang perlu didorong. Pertama, meski kerja sama regional dan global terus didorong, sebaiknya Indonesia harus percaya diri untuk menemukan model khas yang efektif dan tidak silau dengan model-model Barat yang positivistik dan seolah universal serta memiliki sofistifikasi akademik yang menakjubkan, namun kurang pas untuk konteks sosial politik dunia ketiga seperti Indonesia. Di sinilah ilmuwan-ilmuwan Indonesia harus didorong untuk lebih percaya diri melakukan riset-riset unggulan yang hasilnya bisa mentransformasi model konservasi laut. Kedua, organisasi nelayan harus didorong untuk mengambil peran penting dalam konservasi laut. Ini karena merekalah yang pada akhirnya merasakan hasil pengelolaan terumbu karang. Mulainya bisa dengan penguatan jejaring komunitas prokonservasi lintas wilayah. Dengan jejaring ini akan tercipta mekanisme saling belajar antarkomunitas dalam konservasi laut. Ketiga, model kawasan konservasi laut (KKL) yang diinisiasi pemerintah mestinya bisa diukur tingkat keberhasilannya. Selama ini ukuran keberhasilan KKL masih sebatas pada penetapan luasan dan belum sampai pada efektivitas pengelolaan dan hasil konservasi. Target-target perluasan KKL sebaiknya dibatasi dan sekarang mulai fokus pada efektivitas pengelolaan dan instrumen monitoring yang lebih akurat. Keempat, instrumen perdagangan mestinya mulai diterapkan untuk membangun bisnis ramah lingkungan dan prokonservasi laut. Hal yang paling efektif untuk membendung peran bisnis dalam kerusakan terumbu karang adalah penegakan hukum dan instrumen perdagangan seperti ecolabeling. Namun, persoalannya, hukum lingkungan kita belum kuat. Begitu pula kepedulian konsumen terhadap produk-produk alam masih rendah.
  • 9. Tentu apa yang selama ini telah dirintis oleh pemerintah, LSM, maupun masyarakat dalam konservasi laut perlu diapresiasi. Namun, empat agenda di atas perlu dilakukan untuk mempertajam peran masing-masing pihak sehingga apa yang dilakukan bisa lebih dipertanggungjawabkan. ARIF SATRIA Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
  • 10. Fanatisme Membakar Jiwa Ketika di dalam sajak ”Diponegoro”, yang penuh kekaguman, dan pujian-pujian, Chairil Anwar berkata: ”dan bara kagum menjadi api”, penyair itu tak otomatis ”terbakar”. Jiwanya pun tak terbelah. Kekagumannya pada pahlawan kita, Pangeran Diponegoro, tak menimbulkan suatu keretakan. Sebaliknya, ”bara kagum” yang ”menjadi api” itu menggugah semangat kita untuk menyatu, menjadi kekuatan yang utuh, tunggal, melawan penjajah, dan meneguhkan diri kita sebagai bangsa. Kita disatukan oleh sepenggal puisi. Setidaknya, semangat kita untuk ”menjadi satu”, diperkuat oleh puisi yang penuh kekaguman itu. Saat Pangeran dari keraton Mataram, Yogyakarta, melabrak kompeni, tak otomatis kalangan elite Jawa mendukungnya. Tidak juga rakyat. Dalam situasi parah, ketika kejahatan kompeni sudah tak tertahankan, orang yang ragu akan gunanya melawan penjajah itu masih tak terbilang banyaknya. Pada mulanya banyak yang menentang Sang Pangeran. Dan pada akhir banyak kalangan atas yang berkhianat pada beliau. Menjelang peperangan berakhir, ketika pada kemudian beliau ditangkap secara licik, dengan menggunakan dalih pura-pura berunding, penjilat kompeni luar biasa banyaknya. Tapi puisi ini lahir kurang lebih seabad kemudian, di saat perlunya kita bersatu demikian besarnya. Kita rindu akan persatuan. Kita rindu untuk menjadi sebuah bangsa yang kuat. Sekarang, kurang lebih kita sudah menjadi bangsa yang dibayangkan Khairil dulu. Kita sudah bersatu. Kita sudah punya kiblat politik yang jelas. Mengapa hanya karena kita ingin memilih presiden dan wakilnya, kita desak-desakan, saling menjelekkan dan fitnah-memfitnah, seolah kita menghadapi musuh yang bakal menghancurkan kehidupan kita? Dua pasang calon presiden dan wakilnya, masing-masing berhadapan sebagai saingan, sekadar saingan–dan bukan lawan, bukan musuh–mengapa turut terbakar habis-habisan, seolah kita juga bermusuhan? Mengapa fenomena politik itu membuat kita menjadi begitu militan, seolah siap tempur, melawan orang lain, yang sebetulnya juga tak tahu apa-apa? Kalau tim sukses bekerja mati-matian, dengan fanatisme yang menjulang ke langit, silakan saja. Begitu juga kalau jurkam dan para penasihat siap bertempur dengan orang-orang di pihak ”sana” yang dianggap musuh. Tapi benarkah mereka musuh? Dan kita, kalangan bawah, yang punya aspirasi, tapi tak akan cukup jelas bahwa aspirasi kita bakal dipenuhi, apa yang kita perjuangkan? Kalau jago kita menang, pilihan kita unggul, apa hasil buah yang bakal kita petik? Nasib kita sebagai rakyat kalangan bawah bakal terangkat, dan kita menjadi warga terhormat? Kita makmur? Kita diberi keadilan? Dan kita bahagia? Siapa bisa menjawab pertanyaan ini? Jago pidato tahu
  • 11. jawabnya? Orang pendiam, yang tak menomorsatukan kemampuan pidato, juga punya jawabnya? Apakah semua akan berkata seperti lagu Joan Baez: ”the answer, my friends, is blowing in the wind ”? Atau seperti bait lagu Mas Ebied G Ade: ”tanyakan pada rumput yang bergoyang”? Kalau semuanya hanya akan begitu sikapnya pada kita, setelah mereka menang, maka apakah gunanya kita menjadi begitu fanatik, dan siap bermusuhan dengan siapa saja yang tak sejalan dengan pikiran kita? Edankah kita, rela memusuhi saudara-saudara kita sendiri, semata karena bius politik omong kosong? Kita kagumi jago kita, dengan kekaguman buta. Yang kita kagumi sama sekali tak mencukupi. Apalagi kalau kelak dia menipu kita, seperti politik pada umumnya. Kita hanya akan terinjak-injak tiap saat, tapi tiap lima tahun kita lupa, lupa, lupa, dan mendukung terus menerus orang yang menipu itu. Mengapa kita ikut-ikutan membuat iklim politik kita menjadi begitu muram, dan penuh aroma permusuhan? Tim sukses, yang belum tentu sukses, jurkam-jurkam, yang lebih banyak bicara setinggi langit, dan para penasihat, yang impiannya semata untuk memperoleh jabatan, memang sudah layak kalau mereka bermusuhan dengan pihak lain. Mereka tidak berjuang dengan cinta pada bangsa, dan negara. Mereka berjuang untuk jabatan. Demi jabatan, mereka membela jago pilihannya, dengan menggelapkan sejarah, yang buruk dibilang baik. Mereka menggelapkan fakta, yang kurang dibilang mencukupi. Itu watak politisi. Mungkin pula watak kaum oportunis. Rakyat mengerti ruh politik, tapi mereka tak menyukai tipu menipu seperti itu. Tapi mengapa semua seperti lupa diri, dan seolah siap mati di jalan, demi membela jago masing-masing? Bagi kita, orang biasa, warga masyarakat di kalangan bawah, boleh saja menjagokan salah satu calon. Menjagokan sepasang calon. Itu wujud partisipasi politik. Boleh juga disebut kewajiban warga negara. Ini persoalan penting. Tapi mengapa kita, orang biasa, di kalangan bawah, ikut-ikut ”tidak waras”? Mengapa ibaratnya bahkan ”jiwa” kita ikut ”terbakar” iklim fanatik seperti itu dan kita membiarkannya? Apa yang bakal kita peroleh sebagai imbalannya? Kalau jago pilihan kita menang, mungkin kita puas. Tapi kepuasan itu segera hilang dalam tiga hari, atau seminggu. Akankah kepuasan kita bertahan terus menerus, kelak, setelah kita tahu bahwa kita dikhianati, lagi dan lagi, seperti dulu, dalam pemilu demi pemilu, yang tak punya perhatian pada kita? Bagaimana kalau jago kita kalah? Di mana wajah kita mau kita taruh? Kita sudah fanatik, sudah siap berperang dengan tetangga, tapi jago kita kalah. Mungkin kita malu. Mungkin sakit hati. Tapi siapa yang bisa kita salahkan? Kalau kita fanatik bagi kepentingan besar; untuk negara, atau bangsa, mungkin sikap kita bisa dipahami. Pertaruhan kita jelas tak bakal tampak terlalu besar. Jika kalah pun, kita tak akan malu. Kita masih terhormat, karena kita membela negara, atau bangsa, yang memang wajib dibela. Tapi kalau fanatisme kita itu tertuju pada orang, pribadi, yang disebut tokoh, yang tak
  • 12. jelas sikap politiknya, maka apa gunanya fanatisme, apa gunanya pengorbanan? Kita akan menjadi pahlawan? Jelas tidak. Kita, yang miskin, akan dibikin menjadi kaya? Juga tidak. Adakah jaminan pada kita, bahwa tokoh-tokoh yang kita jagokan, dan kita bela mati-matian dengan fanatisme berlebihan itu, bahwa mereka akan memenuhi janji yang telah mereka ucapkan? Kalau jawabnya juga tidak, dan kelihatannya pasti tidak, maka apa gunanya, kita biarkan fanatisme kosong tanpa makna itu membakar ”jiwa” kita? Apa gunanya? MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com
  • 13. Brasil Siap Menyambut Piala Dunia 2014 Pembukaan Piala Dunia 2014 akan bergulir beberapa jam lagi. Mayoritas penduduk Brasil telah menyiapkan segala sesuatunya untuk memeriahkan pesta terakbar sejagat itu. Kota Sao Paulo, tempat berlangsungnya upacara pembukaan, kini benar-benar beraroma Piala Dunia. Pernak-pernik berbau sepak bola menghiasi berbagai lokasi. Warga setempat terlihat begitu antusias dan tidak sabar lagi untuk berpesta. Intinya mereka siap memuaskan para pengunjung. “Pembukaan Piala Dunia merupakan penghargaan dan penghormatan terhadap sejarah Brasil. Ini sangat berharga bagi kami. Atmosfer kegembiraan yang terasa di sini begitu luar biasa. Selelah apa pun, kami tetap merasa termotivasi. Suasana ini membuat kami ingin terus tersenyum,” ucap Daphne Cornez, Direktur Artistik Piala Dunia 2014. Kemeriahan bukan hanya milik Sao Paulo.Sejumlah kota yang ikut menjadi tuan rumah pertandingan ikut mempercantik diri. Brasilia misalnya. Kawasan yang akan menggelar sejumlah laga ini, termasuk duel Brasil kontra Kamerun, bermetamorfosis menjadi kota penuh warna. Sejumlah bangunan memasang lampu atau pencahayaan warna-warni. Gedung Kongres Nasional sekarang bermandikan cahaya hijau dan kuning kala malam hari. Dua warna yang merepresentasikan Brasil. Cara serupa dilakukan Gedung Metropolitan Cathedral dan Planalto Palace. Sejumlah fasilitas ikut dipermak. Kereta dicat menggunakan warna kuning dengan variasi hijau, warna khas negara tersebut. Gerai-gerai yang menjajakan cendera mata melakukan hal serupa, yakni menambah embel-embel kuning dan hijau. Warganya juga punya cara tersendiri untuk menyambut Piala Dunia 2014. Cukup banyak warga Brasilia yang membentangkan bendera dan seragam pemain Brasil di pinggir jalan. Ada pula yang menyalurkan aspirasinya dengan membuat grafiti bertemakan timnas Brasil atau Piala Dunia 2014. Menjajakan budaya lokal dilakukan oleh Rio de Janeiro. Tempat Spanyol menjalani salah satu partainya itu akan mempertontonkan capoeira, ilmu bela diri yang berbalut tarian. Atraksi itu konon akan digelar secara rutin selama Piala Dunia 2014. Bahkan, pengunjung dipersilakan memperagakan gerakannya, seperti yang dilakukan timnas Inggris. Rio de Janeiro baru akan menggelar laga perdananya, Argentina vs Bosnia-Herzegovina di Grup F, pada Minggu (15/6). Kemarin, baru ada segelintir suporter yang mengunjungi Maracana. Sementara itu, pemandangan tim utama Belanda yang akan menghadapi Spanyol pada persaingan Grup D di Arena Fonte Nova, besok, terlihat saat mereka berlatih terakhir sebelum berangkat ke Salvador. Sebanyak 13 pemain menjalani pelatihan terpisah dari rekan-rekannya di Estadio Jose Bastos Padilha Gavea, Selasa (10/6). Uniknya, Pelatih Louis van Gaal tidak memantau
  • 14. mereka. Sosok yang akan menangani Manchester United selepas Piala Dunia ini justru memimpin training match melibatkan 10 pemain cadangan, termasuk di antaranya Klaas-Jan Huntelaar, Memphis Depay, Leroy Fer, dan Jeremain Lens. Pemain yang berpotensi masuk tim utama De Oranje mencakup nama-nama tenar seperti Robin van Persie, Arjen Robben, dan Wesley Sneijder. Mereka ditemani Jasper Cillessen, Bruno Martins Indi, Stefan de Vrij, Daryl Janmaat, Ron Vlaar, Daley Blind, Nigel de Jong, Jordy Clasie, Jonathan da Guzman, dan Dirk Kuyt. Dipimpin Asisten Pelatih Patrick Kluivert, ke-13 pemain dibagi menjadi dua tim. Cillessen, Indi, De Vrij, Vlaar, dan Kuyt bertugas menahan gempuran rekan-rekannya. Namun, mereka tidak turun bersamaan. Setiap dua pemain nonkiper bergantian turun membantu Cillessen mengawal gawang. Komposisi dua versus delapan ini jelas memudahkan tim menyerang. Beberapa kali Cillessen harus memungut bola di dalam gawangnya. Indi sempat beberapa kali merebut bola dari Van Persie, sedangkan Robben menusuk lewat dribel. Yang paling bersinar adalah Sneijder. Dia menciptakan empat gol melalui tendangan keras di luar kotak penalti dan mendapat pujian staf. Selepas itu pemain berlatih tendangan bebas. Vlaar dan De Jong bergantian menendang bersama Sneijder, Robben, Van Persie, dan De Guzman.
  • 15. Basis Data Pelaku dan Korban Koran SINDO Kamis, 12 Juni 2014 PREDATOR seksual adalah setan yang bergentayangan meneror anak-anak kita. Jumlah mereka, sebagaimana yang terungkap di media massa, sebenarnya ”belum” begitu banyak. Demikian pula dengan korban, hanya sedikit yang berproses hukum. Apabila logika dengan hitung-hitungan macam itu yang dipakai, akan mudah bagi siapa pun–termasuk penegak hukum–untuk berpikir bahwa kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak belum mencapai derajat yang mengkhawatirkan. Bandingkan dengan predator asal Australia, Osborne, yang di dalam catatannya mengaku telah memerkosa sekitar 2.500 anak. Torehan kebiadaban sedahsyat itu barangkali hanya bisa disaingi oleh Schwartzmiller. Ia, selama tiga puluh tahun, mengekspresikan watak durjananya di tiga negara. Hasilnya adalah timbunan nama bocah-bocah malang dalam sebuah daftar sepanjang 1.300 halaman. Jika hasil penelitian dirujuk, bahwa terdapat potensi kuat para korban suatu saat akan beralih paras menjadi pelaku kejahatan yang sama, maka bisa dibayangkan kelipatan angka yang sebegitu besar menyangkut jumlah bibit-bibit predator seksual berikutnya. Itu dengan catatan mereka, korban kanak-kanak itu, tidak memperoleh pertolongan komprehensif sepanjang hayat guna mendukung pemulihan cedera fisik dan luka psikis mereka. Tingginya angka ”kloning” pelaku kekerasan seksual terhadap anak, baru satu hal. Hal lain, yang kian menakutkan, adalah fakta bahwa hingga saat ini belum ditemukan formula jitu guna memodifikasi tabiat dan perilaku mereka. Penghukuman, termasuk kebiri sekali pun, tidak akan menurunkan kecenderungan para pelaku kejahatan yang satu ini untuk mengulangi perbuatan keji mereka (baca ”Kebiri Membuat Predator Lebih Keji ”, KORAN SINDO, 19 Mei 2014). Pada saat yang sama, riset memperlihatkan bahwa para pelaku membangun dua bentuk jejaring sosial sebagai cara mereka beradaptasi terhadap lingkungan. Pertama, sebagai konsekuensi hidup dikucilkan publik, sesama predator berinteraksi satu sama lain untuk tujuan katarsis. Terlebih difasilitasi oleh teknologi komunikasi semacam surel dan grup-grup maya, orang- orang itu saling merintih dan menyemangati satu sama lain agar bisa membawa diri secara lebih patut di tengah-tengah masyarakat. Para predator itu juga tukar menukar pengetahuan
  • 16. mengenai cara-cara yang bisa dilakukan guna mengendalikan syahwat tak senonoh mereka. Berbeda dengan bentuk jejaring pertama yang dibentuk dengan maksud positif, jejaring jenis lain dibikin dengan tujuan nista. Antarpredator saling bertukar informasi tentang pengalaman ”menyenangkan” dan wilayah-wilayah yang strategis untuk mengincar mangsa kanak-kanak berikutnya. Adanya pola interaksi semacam inilah yang perlu disikapi otoritas hukum dengan membongkar–antara lain–riwayat akses internet orang-orang yang selama ini dicurigai sebagai monster di sekolah sekaligus zone pemangsaan para predator seksual tersebut. Bertitik tolak dari kompleksitas psikologis para pelaku serta dinamika pelaku-korban seperti di atas, sesungguhnya amat penting bagi kepolisian, keimigrasian, kependidikan, kepariwisataan, ketenagakerjaan, dan lembaga-lembaga lainnya untuk membangun basis data (database) tunggal dan terintegrasi tentang para pelaku kejahatan seksual, baik yang bertipe pedofil maupun yang melancarkan aksinya akibat dorongan situasional. Bahkan, khusus bagi pelaku yang tengah dan telah menjalani sanksi pidana, data-data mereka dibuka bagi publik. Jadi, ketika mengubah pelaku bisa dikatakan mustahil dilakukan, paling tidak negara menyediakan satu fasilitas bagi masyarakat dalam rangka meningkatkan daya tangkal mereka terhadap penyusupan para predator seksual. Basis data ini secara tidak langsung merupakan bentuk sanksi sosial, yakni mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan seksual di masyarakat. Di samping basis data yang berisi biodata tentang para predator, otoritas terkait juga perlu membangun basis data khusus tentang korban. Basis data ini harus bersifat tertutup alias tidak dapat diakses oleh sembarang pihak. Basis data khusus ini didesain sebagai sistem pemantauan terhadap proses rehabilitasi korban. Di mana korban berobat, siapa profesional yang menanganinya, keluhan-keluhan yang dialami korban, dan informasi-informasi lainnya tersedia dalam kondisi senantiasa terbarui. Basis data khusus korban merupakan bentuk ”pertanggungjawaban” atas kegagalan para pihak yang sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak disebut eksplisit bertanggung jawab melakukan perlindungan terhadap anak-anak. Kondisi korban yang selalu terpantau diharapkan menjadi stimulan bagi siapa pun yang telah menjadi korban keganasan para predator seksual. Ini merupakan jawaban atas keraguan para korban dan keluarga mereka bahwa, alih-alih menderita ulang akibat viktimisasi publik, melapor ke bala bantuan (polisi, rumah sakit, sentra perlindungan anak, dan lainnya) merupakan titik awal proses penyembuhan. Dengan kondisi terpantau seperti itu pula, peluang korban menjadi pelaku dapat ditekan semaksimal mungkin, sehingga putuslah mata rantai kekerasan seksual itu. Hemat saya,
  • 17. terlepas bahwa hingga kini belum ada definisi dan parameter tentang ”Indonesia darurat kejahatan terhadap anak”, pola penanganan terhadap fenomena kejahatan seksual terhadap anak sudah saatnya diperkuat. Rangkaian tindakan yang terkesan sporadis dan tidak terkoordinasi, seperti yang diperagakan menyusul kegemparan kasus TK Jakarta International School, sungguh tidak akan mampu mengimbangi kecanggihan operasi kejahatan seksual terhadap anak yang telah mengambil bentuk berupa jaringan internasional. Siapa kiranya yang paling patut tergerak membangun sistem perlindungan anak berbasis data tersebut? Siapa lagi kalau bukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, yang baru saja menyelesaikan rapat kerjanya. Semangat, langkah serempak! REZA INDRAGIRI AMRIEL Anggota World Society of Victimology, Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
  • 18. Perang Bandar dalam Pilpres Berdasarkan pengalaman banyak penyelenggaraan pilkada di berbagai daerah, dua pemilu legislatif dan pilpres terakhir, dan sesungguhnya juga pemilihan kepala desa yang sudah terjadi sejak lama, peran kapital dalam pemenangan terbilang sangat besar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap penyelenggaraan pilkada kabupaten/kota, jumlah uang yang ditebarkan mencapai belasan bahkan puluhan miliar. Dan untuk pilkada provinsi, bisa puluhan bahkan ratusan miliar. Besaran finansial yang dibutuhkan untuk pemenangan, bisa dikatakan linear dengan jumlah pemilih, sebab mayoritas pemilih mau menggunakan hak pilih jika mendapatkan imbalan uang. Karena itu, di antara faktor yang sangat diperhitungkan dalam pemenangan calon presiden dan wakil presiden adalah kekuatan finansial. Dalam masyarakat yang menganggap bahwa uang dalam setiap hajatan demokrasi lima tahunan sebagai sebuah keniscayaan, kekuatan finansial menjadi salah satu faktor pendukung kemenangan yang tidak bisa disepelekan. Dan karena itu, setiap calon yang maju dalam perebutan kekuasaan tertinggi di republik ini haruslah memiliki kemampuan finansial yang kuat, baik dalam konteks kemampuan finansial pribadi, atau kemampuan untuk mengonsolidasi dukungan finansial. Karena kebutuhan dukungan finansial yang sangat besar, tidak mungkin pribadi-pribadi calon presiden atau wakil presiden sendiri yang memenuhi kebutuhan finansial tersebut. Keterlibatan masyarakat yang masih sangat lemah secara ekonomi, ditambah dengan kecenderungan materialistik, dan juga sikap apatis dalam politik, sangat tidak bisa diharapkan untuk membantu pembiayaan yang diperlukan oleh para kandidat. Bahkan, merekalah yang justru menjadi salah satu faktor penyebab kebutuhan finansial menjadi lebih tinggi. Inilah yang menjadi jalan masuk bagi pihak-pihak yang memiliki kekuatan finansial besar untuk terlibat dalam pemenangan. Tentu saja mereka memiliki tujuan agar memiliki pengaruh terhadap penyelenggara negara yang ujungnya menguntungkan mereka secara finansial dan bahkan bisa ditambah yang lain-lain. Mereka lebih tepat disebut sebagai para bandar yang tidak secara langsung berada dalam lingkaran politik, tetapi suatu saat nanti bisa sangat berpengaruh kepada pengambilan keputusan politik. *** Terdapat beberapa jenis bandar yang terlibat dalam proses pemilu secara langsung: Pertama, bandar yang bertujuan sekedar untuk bermain judi atau taruhan. Mereka adalah para bandar judi yang melakukan perjudian dengan memasang taruhan tentang siapa yang akan menjadi pemenang. Dan jika masing-masing bandar sudah memiliki prediksi yang sama tentang pihak yang akan menjadi pemenang, model taruhan mereka bukan berdasarkan siapa yang akan
  • 19. menjadi pemenang, tetapi berdasarkan selisih angka kemenangan yang akan terjadi. Rentang angka itulah yang akan digunakan sebagai media taruhan. Peran mereka dalam skala tertentu tidak bisa diabaikan. Pasalnya, mereka akan mengeluarkan sejumlah uang untuk mempengaruhi pilihan pemilih sehingga angka dukungan bisa sesuai dengan prediksi mereka. Tujuan jelas, yakni mereka mendapatkan keuntungan finansial dari lawan bermain judi. Namun, di samping hanya murni bermain judi, bandar ini juga bisa menyinergikannya dengan kepentingan yang ingin dimainkan dengan menjadi bandar model kedua, yakni bandar yang bertujuan untuk berada pada lingkaran yang dekat dengan kekuasaan. Tujuan mereka adalah mendapatkan akses kepada kekuasaan, agar bisa melakukan kolusi ketika nanti calon yang mereka dukung menang dalam pemilu. Karena tujuan ini, tidak sedikit bandar yang bermain di lebih dari satu kaki. Dengan cara itu, siapa pun yang menjadi pemenang, maka bandar model kedua ini akan mendapatkan akses kepada kekuasaan untuk mengamankan bisnis atau kepentingan lain yang sedang dan akan mereka jalani. Bandar ini biasanya adalah mereka yang ingin mendapatkan tender-tender dari proyek-proyek pemerintah. Dengan telah menanam budi untuk memenangkan calon tertentu, akses untuk mendapatkan proyek-proyek tersebut akan menjadi lebih lempeng. Ini sudah menjadi rahasia umum. Ketiga, bandar yang memiliki tujuan lebih besar ingin mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik agar Indonesia mengarah kepada ideologi politik yang diinginkan. Ini melibatkan bandar yang berskala internasional. Dan tujuan akhir para bandar ini sesungguhnya juga adalah ekonomi, yakni untuk bisa menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang menguntungkan kekuatan asing dalam rangka mengeruk kekayaan Indonesia. Karena tujuan besar ini, mereka tidak akan sayang untuk mengeluarkan dana dalam jumlah yang sangat besar. Pasalnya, dana yang sangat besar itu masih tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keuntungan besar yang akan dihasilkan dalam jangka panjang. *** Peran tiga macam bandar tersebut dalam Pilpres 2014 sangat terasa indikasinya. Dan, semua macam bandar ini sangat berbahaya bagi kedaulatan Indonesia di masa depan. Karena itu, pendidikan politik menjadi sangat penting, agar masyarakat menyadari bahwa mereka seharusnya berhati-hati dalam memilih pemimpin. Jangan sampai memilih pemimpin hanya karena mendapatkan sejumlah uang. Rakyat harus segera disadarkan dan diberdayakan, agar mereka tidak sekadar dimobilisasi dengan menggunakan energi finansial. Mobilisasi masyarakat pemilih karena uang sangat berbahaya, karena berpotensi menyebabkan Indonesia mendapatkan pemimpin yang tidak memiliki kualitas kepemimpinan ideal. Perlu ada gerakan untuk membuat masyarakat menyadari bahwa partisipasi mereka sangat
  • 20. diperlukan untuk mendapatkan penyelenggara negara yang baik dan juga kompeten serta memiliki kemandirian dalam membuat kebijakan-kebijakan politik yang benar-benar menguntungkan dan menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Mereka harus disadarkan bahwa untuk itu mereka dituntut untuk melakukan pengorbanan, bukan hanya dengan tidak menjadikan pemberian yang berbentuk materi sebagai alasan memilih, bahkan harus mau memberikan sumbangan finansial kepada para calon yang dianggap memiliki kapasitas, kapabilitas, kompetensi, dan integritas, agar memiliki kemampuan untuk melakukan usaha- usaha merebut kekuasaan guna memperbaiki negara dan menolong warganya. Mungkin yang bisa disumbangkan oleh masyarakat kebanyakan berjumlah tidak besar. Namun jika mereka melakukan gerakan yang masif, tidak menutup kemungkinan juga akan bisa menghasilkan jumlah besar yang tidak kalah jika dibandingkan dengan kekuatan finansial yang diberikan para bandar. Dan dengan cara inilah, jalan para bandar yang akan mengganggu kebijakan negara bisa ditutup. Hanya bandar perjudian biasa yang akan masih terus bertahan, sebab perjudian ini tampaknya akan terus bertahan sepanjang sejarah umat manusia di dunia ini. Wallahu alam bi al-shawab. DR MOHAMMAD NASIH MSI Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pengasuh Rumah Perkaderan ”Monash Institute” Semarang
  • 21. Spirit Multikulturalisme Piala Dunia Gebyar Piala Dunia edisi ke-20 resmi dimulai. Hajatan akbar empat tahunan ini berlangsung di Brasil mulai 12 Juni hingga 13 Juli 2014. Sebanyak 32 kontestan mewakili negara masing- masing akan unjuk kekuatan untuk menjadi yang terbaik. Karena mewakili negara maka sepak bola sekaligus menjadi media untuk menumbuhkan spirit nasionalisme. Pada konteks inilah nilai-nilai persatuan, perjuangan, pengorbanan, kehormatan, dan harga diri, sebagai satu bangsa dipertaruhkan. Nilai-nilai nasionalisme itu menjadi penyemangat setiap pemain sehingga berlaga dengan sepenuh hati guna meraih kemenangan demi menjaga martabat bangsanya. Selain menumbuhkan spirit nasionalisme, sepak bola juga memberikan pelajaran berharga mengenai pentingnya multikulturalisme. Melalui permainan sepak bola, setiap pemain dengan berbagai latar belakang etnis, budaya, dan agama, dipertemukan menjadi satu kekuatan. Bahkan, di era modern ini berkembang budaya naturalisasi pemain- pemain berkualitas dari mancanegara. Seakan tidak mau ketinggalan, PSSI juga menaturalisasi sejumlah pemain demi meraih mimpi menjadi peserta Piala Dunia pada suatu waktu nanti. Perbedaan agama antarpemain tidak menjadi halangan untuk membangun tim yang tangguh. Tengoklah tim nasional Prancis yang dihuni beberapa pemain muslim, seperti Karim Benzema dan Franck Ribery. Pemain berkulit hitam yang sering menjadi sasaran rasisme juga dapat bermain dalam satu tim seperti Mario Balotelli (Italia) dan Jerome Boateng (Jerman). Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sepak bola dapat menjadi media yang efektif untuk menciptakan pembauran antarwarga (melting pot). Slogan resmi Piala Dunia 2014, All in One Rhythm , terasa sangat relevan untuk dijadikan spirit menumbuhkan multikulturalisme. Slogan tersebut seakan mengajarkan bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk mewujudkan harmoni dalam kehidupan yang plural. Demikian juga dengan lagu resmi Piala Dunia, We Are One, yang dinyanyikan duet penyanyi Pitbull dan Claudia Leitte. Spirit We Are One mengiringi pembukaan Piala Dunia sekaligus laga perdana yang mempertemukan Brasil melawan Kroasia. Lagu resmi Piala Dunia menegaskan pentingnya semangat mewujudkan kehidupan berbangsa yang ramah dengan keragaman. Multikulturalisme dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap pluralitas budaya yang menumbuhkan kepedulian untuk mengupayakan agar kelompok minoritas terintegrasi dalam masyarakat dan kelompok mayoritas mau mengakomodasi perbedaan kelompok minoritas agar kekhasan identitas mereka tetap diakui (Kymlika, 1989). Dengan demikian, tujuan utama multikulturalisme adalah untuk menciptakan, menjamin, dan mendorong ruang publik (public sphere) sehingga memungkinkan beragam komunitas dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kekhasan masing-masing.
  • 22. Menurut Haryatmoko (2007), setidaknya ada tiga alasan yang menjadikan multikulturalisme mutlak diperlukan dalam konteks kekinian. Pertama, adanya fenomena penindasan atau penafian atas dasar agama, etnis, dan budaya. Dikotomi antara ”kita” (kelompok dominan) dan ”mereka” (di luar kelompok dominan) sering kali dilembagakan dalam rangka menjauhkan kelompok minoritas dari kekuasaan. Pelembagaan diskriminasi ini banyak terjadi di wilayah publik seperti pekerjaan, pendidikan, jabatan publik, dan hubungan sosial lainnya. Agar diskriminasi ini memperoleh legitimasi, kelompok minoritas terus ditekan sehingga kehilangan eksistensi. Kedua, istilah minoritas secara sistematis telah digunakan untuk memarjinalkan kelompok tertentu dengan memberi label ”tidak terlalu penting” dalam berhubungan dengan kelompok dominan. Akibatnya, perasaan rendah diri semakin terpatri dalam struktur kesadaran kelompok minoritas. Pada konteks inilah, multikulturalisme hendak menjawab kebutuhan yang mendasar kelompok minoritas untuk mengembangkan identitas budaya dan memberikan penghargaan terhadap eksistensinya. Ketiga, kaum urban dan migran sering kali menjadi pihak yang dipinggirkan oleh kelompok dominan. Situasi ini semakin terasa sejak undang-undang otonomi daerah dilaksanakan. Apalagi dalam banyak kasus, otonomi daerah sering kali disalahartikan dengan pemihakan terhadap kepentingan warga asli atau pribumi. Akibatnya, terjadi diskriminasi terhadap warga pendatang. Lebih ironis lagi, rekrutmen pejabat publik sering kali tidak didasarkan pada kompetensi dan rekam jejak, tetapi asal daerah dan pertimbangan politik lokal dan faktor primordialisme lainnya. Berdasarkan tiga argumen tersebut, kesadaran multikulturalisme perlu terus digelorakan agar tumbuh sikap saling memahami kekhasan masing-masing. Dalam hal ini, kekhasan tidak boleh disamakan dengan keunggulan. Cara berpikir ini penting dikedepankan dalam memahami keragaman latar belakang sosial budaya. Dalam memahami kekhasan etnis, budaya, dan agama, kita layak belajar pada teori filsuf Prancis, Emmanuel Levinas (1971) tentang penampakan wajah. Dikatakan oleh Levinas bahwa penampakan wajah bukan bagian dari aku, bukan pula diukur dari tolok ukurku. Yang lain itu sama sekali berbeda dari aku. Namun demikian, hubungan aku dengan yang lain tidak akan melahirkan kekerasan. Bahkan, kehadiran yang lain justru akan membuahkan kedamaian dan menumbuhkan kultur positif dalam kehidupan. Melalui teori penampakan wajah akan tergambar yang lain (the other ). Penampakan wajah yang lain akan memungkinkan orang saling bertegur sapa serta mengundang simpati, empati, dan kekaguman. Penampakan wajah tidak pernah membiarkan orang lepas dari tanggung jawab. Setiap orang akan dihadapkan pada penampakan wajah yang mengusik sehingga harus bersikap. Wajah yang menampak dalam gambar mencair dalam afeksi sehingga tidak hanya berhenti pada persepsi, tetapi juga mengkristal dalam kesadaran seseorang. Teori Levinas mengajarkan bahwa perjumpaan dengan wajah yang lain merupakan bentuk hubungan yang ditandai kepedulian dan nir kepentingan. Hubungan ini menyebabkan seseorang bertanggung
  • 23. jawab terhadap yang lain tanpa menuntut imbalan. Itu berarti tidak ada tuntutan timbal balik dan tiada pula dominasi. Pelajaran multikulturalisme terasa sekali dalam permainan sepak bola. Semua pemain bahu- membahu dan saling membantu sehingga tidak tampak budaya yang mendominasi. Penonton juga dapat menikmati pertandingan dan memberikan dukungan penuh pada pemain; meski sejujurnya harus diakui bahwa antara pemain dan penonton sejatinya memiliki perbedaan sosial budaya. Hal itu menunjukkan betapa penting permainan sepak bola sebagai media untuk menumbuhkan kesadaran multikulturalisme. Semoga semarak Piala Dunia dapat dijadikan pelajaran untuk membangun Indonesia yang lebih ramah terhadap keragaman. BIYANTO DosenUIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
  • 24. Pesan untuk Calon Presiden Pemilu presiden (pilpres) 9 Juli sudah semakin dekat. Sabtu, 31 Mei, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Mereka adalah Prabowo Subianto-Hatta Radjasa, yang diusung Koalisi Merah Putih (Poros Partai Gerakan Indonesia Raya, Gerindra) dan Joko Widodo-M Jusuf Kalla yang diusung Poros Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun, jauh sebelum penetapan, pendukung capres dan cawapres sudah mulai saling serang. Media massa pun menjadi sarana paling ampuh menghimpun kekuatan dan “serangan udara”. Demikian pula dengan jaringan media sosial (Twitter dan Facebook). Kampanye negatif dan hitam pun menjadi menu wajib yang semakin membuat riuh. Di tengah hiruk-pikuk politik ini, tampaknya para capres dan pendukungnya perlu menoleh salah satu piwulang Jawa. Mengenal Diri Dalam “paribasan” Jawa, tersurat, sing bisa rumangsa, aja rumangsa bisa (jangan merasa bisa, tetapi bisa merasa). Paribasan ini mengajarkan kepada kita agar mau meneliti diri sendiri. Mengenal diri sendiri menjadi hal mutlak bagi seorang pemimpin. Saat pemimpin tidak sanggup mengenal potensi, kelemahan, peluangan, dan tantangan diri, maka ia akan sulit untuk memimpin. Dalam kajian filsafat misalnya, mengenal diri menjadi hal utama. Mengenal diri akan mampu mengantarkan seseorang mengenal Tuhannya. Dengan demikian, apa yang diujarkan dalam paribasan Jawa tersebut sinkron dengan kajian ilmu pengetahuan modern. Hal ini pun menjadi bukti, bahwa kebudayaan Jawa, tidak akan pernah lekang zaman. Ia akan senantiasa hidup di tengah peradaban. Bisa rumangsa juga menjadi watak manusia berbudi. Pasalnya, perilaku ini menjadi penanda bahwa ia merupakan manusia pembelajar—meminjam istilah Andreas Harefa. Manusia yang senantiasa haus akan ilmu dan pengalaman. Proses perjalanan waktu menjadikannya semakin berisi. Seperti falsafah padi, semakin berisi semakin merunduk. Semakin berilmu semakin mawas diri. Mawas Diri Mawas diri inilah yang mampu membentengi manusia jatuh dalam lubang kesombongan (kenistaan). Kesombongan menjadi awal dari murka Tuhan kepada makhluknya. Dalam literatur Islam misalnya, diusirnya setan dari surga karena ia sombong dan membanggakan diri (aba was takbar). Melalui laku bisa rumangsa, seseorang diarahkan (baca: dididik) menjadi sebuah pribadi yang mempribadi.
  • 25. Pribadi yang menyadari kekurangan dan menghargai kelebihan orang lain. Ia pun tidak merasa direndahkan (diasarke) maupun ditinggikan. Hal tersebut tentu berbeda dengan orang yang mempunyai watak rumangsa bisa. Manusia seperti itu hanya akan menimbulkan kegaduhan. Pasalnya, semua pekerjaan ia ambil. Padahal tak satu pun kemampuan ia miliki. Itulah awal kehancuran. Saat semua pekerjaan diambil dan tiada kemampuan untuk menyelesaikan hal tersebut. Cikal Bakal Kesewenangan Lebih lanjut, rumangsa bisa pun menjadi cikal bakal kesewenangan. Artinya, rumangsa bisa menyeret orang untuk ngasarake orang lain. Ia merasa mampu sedangkan yang lain tidak. Kondisi ini menimbulkan permusuhan yang akan berujung pada balas dendam. Oleh karena itu, bagi capres dan cawapres, selayaknya memegang teguh (ngugemi) piwulang Jawa tersebut. Saat mereka terpilih nanti, tentu berkat bantuan orang lain. Keterpilihan mereka adalah hasil kerja mitra koalisi dan jaringan yang telah terbangun lama. Bukan karena popularitas yang disulap oleh media. Apalagi dengan laku penuh tipu-tipu. Kepemimpinan nasional harus dimandatkan kepada manusia terpilih (the choosen people). Ia adalah manusia yang senantiasa gundah melihat ketidakadilan, ketidakberdayaan, dan kebodohan melanda negeri. Ia senantiasa mau mendengar, belajar, dan bertindak guna mewujudkan, keadilan, keberdayaan, dan kemakmuran (psikis dan fisik) yang mewujud dalam keseharian. Dengan demikian, ia selayaknya tidak rumangsa bisa untuk mengemban tugas dan amanat rakyat. Capres terpilih selayaknya bisa rumangsa terhadap tanggung jawab kebangsaan ini. Menjadi presiden dan wakil presiden bukanlah untuk membanggakan diri apalagi kroni dan golongan. Presiden dan wakil presiden merupakan penyambung lidah rakyat— meminjam istilah Bung Karno. Penyambung lidah rakyat selayaknya mau belajar, mendengarkan, mendampingi, dan menggairahkan kehidupan masyarakat. Hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh presiden dan wakil presiden yang mempunyai watak bisa rumangsa, bukan rumangsa bisa. BENNI SETIAWAN Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, Analis Sosial Budaya IndoStrategi
  • 26. Lika-liku Kejujuran Kamis, 11 Juni 2014 yang baru lalu, saya semimbar dengan Busyro Muqoddas, Wakil Ketua KPK (aslinya beliau adalah dosen UII, Yogyakarta) dalam acara “Seminar Intervensi Perilaku Korupsi Sejak Dini”, yang diselenggarakan oleh mahasiswa-mahasiswa Program Pascasarjana Psikologi Intervensi Sosial, Fakultas Psikologi UI, di Kampus UI, Depok. Dalam ceramahnya yang sangat memikat, ada tiga hal yang menarik perhatian saya yang ingin saya jadikan masukan untuk tulisan kali ini. Yang pertama adalah rekaman percakapan antara seorang saksi dan terdakwa sebagai berikut: “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” “Mau menyampaikan, Pak.” “Ya, silakan.” “Kami belum bisa menyiapkan yang 10%, kalau 5% sudah siap.” “Astagfirullahalazhim... kenapa?” Dan seterusnya. Yang menarik di sini adalah digunakannya jargon-jargon agama (yang semuanya bermakna doa dan kebaikan), dalam percakapan tentang suatu hal yang sudah jelas dan sudah dipahami oleh yang bersangkutan sebagai hal yang diharamkan oleh agama itu sendiri. Yang kedua. Dari penelitian terhadap para tersangka, ditemukan bahwa semua tersangka (termasuk yang sudah terpidana) tanpa terkecuali melibatkan keluarga dalam perilaku korupsi. Yang pasti anak, dan istri. Ada kalanya juga termasuk menantu, dan ponakan (keponakan). Jadi kalau disingkat AMPI (anak, menantu, ponakan, dan istri). Sekarang ditambah lagi dengan office boy (OB), jadi AMPIO. Bahkan, ada yang kawin lagi dua atau tiga istri untuk pencucian uangnya. Nilai-nilai dan gaya hidup keluarga langsung berubah ketika seseorang terlibat korupsi. Nilai-nilai moral digeser oleh nilai-nilai yang mengutamakan uang. Dan yang ketiga (bukan yang terakhir, karena masih banyak yang menarik, tetapi tidak saya muat di sini karena keterbatasan halaman) adalah bahwa korupsi di Indonesia sudah sistemik. Bahkan, ada undang-undang yang dibuat untuk melegalkan korupsi. Pantaslah jika begitu banyak anggota DPR yang mampu memiliki properti dan juga sejumlah istri (resmi dan siri) yang melebihi batas-batas akal dan budi. *** Dalam Ilmu Filsafat Etika, ada teori yang mengatakan bahwa hukum seharusnya mencerminkan moral. Moral yang tidak dilandasi hukum seperti macan ompong yang tidak punya gigi. Karena itu, hukum pidana dibuat untuk melindungi masyarakat dari perbuatan kejahatan yang bertentangan dengan moral. Undang-Undang Antiteror dan Undang-Undang Antinarkoba adalah untuk menangkal
  • 27. kejahatan yang terkait dengan terorisme dan penyalahgunaan obat yang juga amoral. Tetapi yang lebih mengerikan adalah hukum yang dibuat tanpa landasan moral, karena bisa digunakan secara sewenang-wenang oleh penguasa. Hukum apartheid di Afrika Selatan (sebelum Nelson Mandela), atau Undang-Undang Perbudakan di Amerika sebelum Perang Saudara, atau Hukum Tanam Paksa yang dibuat ketika pemerintah Hindia Belanda masih menguasai Indonesia, adalah contoh dari hukum-hukum yang dibuat penguasa semata-mata untuk melindungi kepentingannya sendiri. Masalahnya, mengapa pejabat-pejabat pemerintah dan anggota-anggota DPR/D di negara Indonesia yang ber-Pancasila sampai melegalkan berbagai hal yang sebetulnya kejahatan? Misalnya berbagai peraturan dan perundangan yang mengatur pertambangan, perikanan, kehutanan, pelayanan masyarakat. Ternyata agama sudah bukan alat pencegahan, apalagi penanggulangan yang manjur. Terbukti, pelaku-pelaku korupsi saling menyapa dan berdialog dengan menggunakan ungkapan-ungkapan agama. Padahal, pelaku-pelaku korupsi di Kementerian Agama juga pastinya orang-orang yang menguasai ilmu agama tingkat tinggi. *** Dulu, seorang kriminolog bernama Cesarre Lombrosso sangat terkenal dengan teorinya Delinquento Nato, artinya: kejahatan adalah watak yang dibawa sejak lahir. Karena itu, wajah penjahat bisa dibedakan dengan mudah dari wajah orang baik-baik. Misalnya tampang yang seram, berjenggot, berkumis dan beralis tebal, tulang pipi menonjol. Tetapi melihat penghuni-penghuni rumah tahanan atau penjara KPK sekarang, kita tidak bisa lagi menemukan wajah-wajah tipikal Lombrosso itu. Pencuri-pencuri uang rakyat yang mencapai nilai ratusan miliar itu berwajah tampan, terpelajar, dengan jemari yang halus karena tidak pernah dipakai untuk bekerja keras, bahkan ada yang mantan Putri Indonesia. Karena itu, hari ini teori Lombrosso tersebut sudah tidak valid lagi. Namun, Dr Busyro justru menemukan hal yang baru dalam pengamatannya di KPK, yaitu tetap sumber kejahatan korupsi itu berawal dari keluarga dan bermuara di keluarga juga. Bukan dalam arti biologik atau genetik, melainkan dalam konteks budaya, sosial, dan psikologi. Misalnya, seorang ayah melarang anaknya memberi tahu bahwa dia sedang ada di rumah, kepada pak RW yang datang untuk menagih iuran bulanan kebersihan kampung. Ayah sudah mengajarkan kebohongan, dan sebuah kebohongan akan diteruskan dengan kebohongan kedua, ketiga, dan seterusnya, sehingga akhirnya yang bersangkutan bingung sendiri dengan kebohongan-kebohongan yang telah diciptakannya sendiri (apalagi pada suami-suami yang hobi selingkuh). Pada gilirannya, anak yang disuruh berbohong itu akan menjadi pembohong juga di masa depannya. Jangan heran kalau kemudian kebohongan (lawan kata dari kejujuran), makin lama makin membudaya dan sistemik di Indonesia. Apalagi, budaya bohong itu sudah menular pula ke sekolah-sekolah. Pada tahun 2011, di SD Negeri 2, Gadel, Surabaya, siswa terpandai kelas
  • 28. VI, bernama Alif, dipaksa oleh kepala sekolah untuk memberi contekan jawaban soal-soal UN kepada teman-temannya sesekolah (disiapkan guru tertentu untuk bertugas sebagai kurir untuk mendistribusikan jawaban soal dari Alif ke peserta-peserta ujian yang lain). Targetnya memang: seluruh siswa di SD itu harus lulus dengan nilai baik. Pokoknya PGPS (pandai goblok penilaian sama). Ketika Alif mengadu kepada ibunya dan ibu melapor kepada kepala sekolah, malah ibu itu diadili oleh Persatuan Orang Tua Murid dan Guru, dan akhirnya keluarga Alif diusir dari kampung itu, karena dianggap telah memalukan warga. Tidak heran kalau korupsi di Indonesia sekarang menjadi sistemik, dan salah satu cara untuk mengatasinya bisa dimulai dari pendidikan kejujuran di lingkungan keluarga. Korupsi harus ditangkal dari hulunya (keluarga), tidak cukup hanya dikenai sanksi di hilirnya (KPK). SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru BesarFakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 29. Kita Tidak Sedang Berperang Bahkan dalam suatu perang besar: perang saudara yang disebut Bharatayudha yang menentukan itu pun ada etikanya. Barang siapa ingin keluar sebagai pemenang, dia tak boleh curang, tak boleh melanggar etika, dan tak boleh memulai memancing-mancing kemarahan pihak “sana”. Barang siapa lupa akan patokan-patokan etis itu, dia dan pihaknya akan menjadi yang kalah. Dalam hidup ini, menurut para empu kehidupan di negeri kita sendiri, sebetulnya ada pantangan agar kita tak terlibat di dalam suatu peperangan. Di mata para arif bijaksana itu, dalam perang kita “menang jadi arang” dan bila kita kalah, kita menderita lebih parah, lebih hancur-hancuran, “kalah menjadi abu”. “Menang jadi arang, kalah jadi abu” merupakan ajaran keluhuran hidup yang digemakan nenek moyang kita ribuan tahun lalu. Di sini ajaran menyayangi kehidupan digarisbawahi secara tersirat, implisit, dan peperangan dikutuk. Kalah-menang dianggap merusak kehidupan. Dalam moralitas Buddha, sayang pada binatang, yang kelihatannya tak berguna pun, dijadikan keluhuran tingkah laku yang membawa kemuliaan derajat manusia. Dalam film The Next Karate Kid, Mr Miyagi merombak drastis sikap dan pandangan hidup Julie, yang menganggap menyayangi kecoa sebagai cara hidup yang “stupid”. Dia bilang, kurang lebih: “It is stupid when nations fight in a war. It is not stupid if we respect toward life.” Ungkapan-ungkapan etis ini enak didengar, membawa rasa damai dan kenyamanan, serta bila kita mengamalkannya, buahnya akan luar biasa bagi hidup kita. Bila dalam perang pun kita diminta untuk tetap berperilaku luhur, apalagi sekadar dalam suasana kampanye dan persaingan politik untuk memenangkan pemilu. Kita sekadar sedang bersaing untuk menjadi presiden dan wakil presiden. Persaingan itu hanya cara menunjukkan pada orang banyak bahwa kita yang layak menang, kita yang unggul dalam kompetensi maupun sikap dan wawasan politik. Untuk memperoleh penilaian bahwa kita yang unggul, apa yang harus ditempuh? Bila bahkan dalam perang pun kita dilarang curang, culas, bohong, dan melanggar kepantasan etis, kita boleh curang? Dalam persaingan ini kita boleh bohong, mencemooh, dan memfitnah pihak “sana”, yang kita sebut mitra tanding, “mitra” bukan musuh? Kita meyakinkan orang banyak, yang kita harapkan menjadi pemilih, dan penentu kemenangan kita, dengan keluhuran sikap dan tindakan politik. Kalau kita menang dengan curang, kemenangan tak akan punya makna. Selama kita menjabat, kecurangan menghantui. Selama kita memimpin bangsa, apa yang kita sajikan sebagai kebaikan kepemimpinan bila kita memenangkan kekuasaan dengan cara-cara yang tak direstui adat, tak dibenarkan etika,
  • 30. bahkan dikutuk kearifan hidup kita sendiri. Adat, etika, dan kearifan seolah tak ada lagi di tengah kita, tapi semua masih menjadi bagian dari kehidupan dan darah daging kita sendiri. Orang Jawa punya panduan etis: “becik ketitik, ala ketara”, artinya baik-buruk tindakan kita semua tampak jejaknya. Budi baik berbuah baik, keburukan bakal menuai segala yang jahanam. Hukum-hukum kehidupan ini tak lenyap oleh perubahan sosial dan tak bakal rusak oleh apa pun yang terjadi. Mereka berada di atas segala kekuatan kemanusiaan. Mereka jaya di atas segala rekayasa yang meniadakan keluhuran hidup. *** Selama masa kampanye rakyat dengan mata dan hati terbuka menilai. Mereka tahu siapa luhur, siapa durjana. Hidup memang tidak hitam-putih. Penilaian mereka pun tak hitam-putih. Dalam mengamati jalannya kampanye, dan memandang cara-cara para calon pemimpin itu tampil ada kelegaan karena mereka menawarkan keteduhan dan harapan yang didambakan. Tapi, ada pula rasa cemas dan khawatir tentang masa depan, bagaimana nasib mereka kalau para pemimpin sudah begitu curang dan saling “membunuh”, sambil berteriak tentang “kebangsaan” serta “persatuan dan kesatuan” . Kebangsaan apa yang bakal dicapai dengan sikap saling mencemooh, saling memfitnah, dan saling “membunuh” seperti itu? Kita lupa, ini hanya kampanye, hanya tahap perjuangan untuk memenangkan kursi presiden dan wakilnya. Kita lupa ini bukan perang. Ini bukan permusuhan. Dapatkah elite-elite di kedua sayap yang berhadapan sebagai “mitra” persaingan itu mengingatkan kembali dan menata dengan lebih baik para tim suksesnya, para jurkamnya, dan para pendukungnya untuk tak mengejek pihak “mitra” sebelah sana agar kita, bila menang, kita menang dalam keanggunan, kita menang secara bersih, dan terhormat? Lalu kita sendiri, capres dan cawapresnya, tampil dengan kesadaran bahwa kita pemimpin, kita orang besar, kita punya wawasan lebih baik dari banyak pihak, kita bertindak lebih terhormat. Dapatkah ini kita wujudkan dalam masa kampanye yang singkat ini? Calon pemimpin, mengapa tak mulai dari sekarang bersikap sebagai pemimpin, yang memberi arah, yang memberi kemungkinan dan pilihan-pilihan yang kaya, penuh perspektif, dan bukan sikap permusuhan? Kita ingin mewujudkan makna “persatuan” dan “kesatuan” bangsa. Dengan apa itu diwujudkan bila sikap kita sudah tampak seperti berada di dalam suatu perang yang begitu kejam? Kompetensi teknis apa yang kita miliki? Kita nyatakan itu secara jelas dan terbuka. Kita bikin rakyat yakin bahwa kita memiliki sesuatu yang layak kita andalkan. Kita yakinkan rakyat bahwa kita memiliki suatu wawasan kebangsaan yang hendak kita semaikan di dunia pendidikan dan kemudian kita tanam dalam relasi-relasi di antara sesama bangsa kita dan dengan bangsa lain untuk menjadi penanda bahwa kita bangsa yang suka damai yang menghormati pluralitas budaya dan meluhurkan ajaran agama?
  • 31. Para penonton, para pengamat, para juri, KPU, Bawaslu, media massa, semua mengamati kita dengan jernih. Tiap ucapan kita dicatat dan dinilai. Tiap sepak terjang kita direkam dan diabadikan. Kita tidak pernah berada di dalam gelap, di mana hanya kita yang ada. Tiap saat, tiap menit, tiap detik, kita dipantau. Mereka itu yang bakal menentukan kemenangan kita. Apa yang hendak kita tawarkan kepada dunia? Di zaman serbaglobal ini kita tak pernah bisa memisahkan diri dari percaturan dua yang selalu menempel di lengan baju, di leher jas, di dasi, dan di sepatu kita. Dunia melekat di dalam diri kita. Jadi kita pun dipantau dunia. Kedamaian apa yang kita tawarkan pada dunia internasional? Keamanan, ketenteraman, dan jaminan bebas dari kaum teroris dan kaum radikal apa yang bisa kita tunjukkan pada dunia? Bagaimana meyakinkan dunia bahwa kita bukan bagian dari kekerasan dan kerusuhan berbasis agama dan ideologi keagamaan? Bisakah kita menunjukkan pada dunia bahwa kita memang bangsa yang suka damai? Kita ingin memang. Tapi, menang yang terhormat. Kita tak ingin kalah. Maka itu, kita harus tidak kalah dengan cara yang tak membuat pihak lain terinjak-injak. Kita tahu, kita tak sedang bermusuhan dengan siapa pun. Kita tahu, kita tidak sedang berperang. MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com
  • 32. Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Politik 2014 Koran SINDO Selasa, 17 Juni 2014 PEMILIHAN umum (pemilu) merupakan hajat besar sebagai perwujudan demokrasi di Indonesia. Ini merupakan momen penting di mana bangsa Indonesia paling tidak untuk lima tahun ke depan akan ditentukan. Untuk itu, dalam pemilu partisipasi publik menjadi sangat dibutuhkan karena dengan begitu suara publik mampu menentukan wakil-wakilnya yang akan menentukan nasib masyarakat untuk masa depan. Agar pemilu benar-benar tempat publik dan semua berpartisipasi proses berjalannya pesta demokrasi ini haruslah dapat diakses oleh siapa pun, dari golongan apa pun itu, termasuk mereka yang selama ini terpinggirkan dalam kehidupan masyarakat seperti penyandang disabilitas. Usaha memenuhi hak suara penyandang disabilitas pun sudah diperjuangkan dalam pemilu- pemilu sebelumnya. Berbagai masukan perihal aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam pemilu sudah dilayangkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasilnya, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam Pemilu 2014 menjadi isu yang cukup diperhatikan. Banyak lembaga masyarakat di Indonesia maupun lembaga internasional mendorong agar pemilu tahun ini lebih ramah terhadap penyandang disabilitas dengan memberikan fasilitas yang bisa diakses seperti tempat pemungutan suara yang ramah kursi roda, lembar suara berhuruf Braille dan seterusnya. Terlebih lagi populasi penyandang disabilitas di Indonesia cukuplah tinggi, yakni sekitar 35 juta lebih (WHO 2011). Suara Penyandang Disabilitas Alasan melibatkan penyandang disabilitas sangatlah berarti. Berdasarkan temuan The Asia Foundation, mereka 35% lebih tidak mempunyai akses ke pemilu atau tidak paham akan pemilu. Artinya 35% dari penyandang disabilitas yang memiliki hak suara tidak mampu menggunakan hak suaranya dalam Pemilu 2014. Meskipun begitu, ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar aksesibilitas dalam pemilu bagi penyandang disabilitas, yakni seberapa jauh pemilu ini dapat memberikan manfaat bagi penyandang disabilitas. Dapat dirunut pula seberapa kuatkah isu disabilitas akan disuarakan
  • 33. oleh para calon wakil rakyat maupun pemimpin negeri ini menyuarakan isu disabilitas. Isu disabilitas dalam pemilu terkait bagaimana para wakil rakyat nantinya menyuarakan isu disabilitas dan seberapa kuatkah disabilitas akan menjadi isu penting dalam kebijakan pemerintah di negeri ini. Hal demikian jauh lebih berarti bagi penyandang disabilitas dari sekadar fasilitas yang mudah diakses dalam pemilihan umum, terlebih lagi temuan The Asia Foundation menyebut masyarakat enggan memilih pemimpin yang mempunyai disabilitas 76,9% dari masyarakat tidak akan memilih pemimpin dengan disabilitas. Itu artinya kepentingan mereka agar lebih tersuarakan dalam pemerintahan akan sulit diperjuangkan. Bisa disimpulkan bahwa stigma masyarakat dalam Pemilu tahun ini ialah kurang percaya akan kemampuan penyandang disabilitas. Stigma buruk dan ketidakberdayaan penyandang disabilitas masihlah melekat dalam masyarakat sehingga enggan untuk memilih penyandang disabilitas sebagai pemimpin mereka. Jika dikaitkan dengan terjadinya perubahan dalam masyarakat dengan keikutsertaannya dalam dunia politik, maka pandangan masyarakat yang tidak akan memilih difabel sebagai pemimpin mereka ini akan berseberangan dengan usaha mewujudkan implementasi penegakan hak-hak penyandang disabilitas. Hal yang demikian ternyata diresapi oleh penyandang disabilitas, reproduksi ketidakbisaan penyandang disabilitas dalam kepemimpinan pun menjadi ”kebenaran” bagi penyandang disabilitas itu sendiri sehingga penyandang disabilitas sendiri pun mempercayainya. Hal ini dapat dilihat pada hasil survei yang menunjukkan bahwa 42% penyandang disabilitas tidak akan memilih pemimpin yang memiliki disabilitas, 36,7% bersedia memilih dan 21,3% menolak menjawab. Di sisi lain, sekalipun ketidakpercayaan yang diberikan pada mereka atas kepemimpinan, penyandang disabilitas sendiri menilai bahwa demokrasi merupakan jalan yang terbaik sebagai jalan untuk pemerintahan. Masih berpijak pada data yang dikeluarkan oleh The Asia Foundation, 68,1% penyandang disabilitas setuju bahwa demokrasi adalah sistem yang baik, 22,22% sangat setuju, sisanya, 9,7%, tidak tahu. Perihal pentingnya pemilu pada tahun ini, beranjak pada survei yang dilakukan oleh Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, 38,24% mengatakan sangat penting, dan 41,10% penting, 5,88% tidak penting, 2, 94% sangat tidak penting, dan 11,78% tidak tahu. Artinya, 91,18% penyandang disabilitas menyatakan mencoblos dalam Pemilu 2014 dan 8,8% yang tidak menyatakan tidak berpartisipasi. Lantas apakah motivasi penyandang disabilitas tersebut terlibat dalam pemilu? 8,82% menjawab tidak tahu, 82,35% agar kebijakan untuk mereka lebih baik, 5,88% dikarenakan mendapat imbalan uang, dan 2,94% dikarenakan ikut-ikutan. Dengan demikian, harapan penyandang disabilitas pada pemilu kali ini sangatlah tinggi bagi perubahan nasib mereka. Akan tetapi, data menunjukkan bahwa penyandang disabilitas sangat pesimistis atas apa yang
  • 34. dihasilkan oleh pemilu kali ini. Sejumlah 32,35% merasa bahwa tidak akan terwakili pada pilihan-pilihan mereka, 17,65% sangat tidak terwakili, 11,76% merasa sangat terwakili, 26,47% merasa terwakili, 2,94% tidak tahu, dan 8,82% enggan menjawab. Dengan demikian, pada prinsipnya harapan tinggi yang diberikan bagi penyandang disabilitas pada pemilu kali ini tetap saja dianggap sebagai pesta yang menghasilkan orang-orang yang tidak cukup mewakili mereka. Isu Disabilitas Pemilu merupakan pintu harapan bagi penyandang disabilitas sebagai momen perubahan atas kebijakan yang lebih berpihak kepada mereka. Tampaknya, pesimisme penyandang disabilitas dapat dibenarkan, setidaknya dapat dibaca dari semua platform partai politik. Tidak ditemui, dari sekian partai, yang menjadikan disabilitas sebagai program utama dalam kampanye. Lagipula, absennya penyandang disabilitas sebagai calon legeslatif serta tidak adanya ketentuan dari Komisi Pemilihan Umum untuk mendudukan penyandang disabilitas sebagai anggota legislatif, sebagaimana yang diberikan pada perempuan, semakin meneguhkan bahwa suara kaum minoritas terbesar di negeri ini tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan pada pemilihan presiden dan wakil presiden juga demikian. Di tangan dua pasang calon yang telah mendaftarkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, isu disabilitas juga tak begitu tampak dalam visi-dan misi mereka yang diserahkan ke KPU. Minimnya isu disabilitas dalam pemilu kali semakin meneguhkan kondisi penyandang disabilitas yang selama ini terus termarginalisasi dalam kehidupan masyarakat. Mereka harus menanggung beban stereotipe buruk, banyaknya fasilitas publik yang tidak terakses, banyaknya tindakan diskriminatif seperti akses pendidikan, akses pekerjaan, dan yang paling dekat adalah ditolaknya mereka sebagai peserta ujian masuk perguruan tinggi negeri. Jika mayoritas masyarakat Indonesia tidak menghendaki pemimpinya adalah dari kelompok penyandang disabilitas dan minim sekali isu disabilitas dalam berbagai program mereka yang terlibat pemilu, dan tidak adanya ketentuan kuota bagi penyandang disabilitas dalam pemilu 2014, lantas bagaimana suara disabilitas akan sampai di parlemen dan eksekutif? Di manakah fungsi demokrasi sebagai instrumen paling rasional untuk suara rakyat?
  • 35. SLAMET THOHARI Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, Sekretaris Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya, Alumni Disability Studies, University of Hawaii at Manoa
  • 36. Politik Perempuan Menyambut Pilpres Koran SINDO Selasa, 17 Juni 2014 PADA 9 April 2014 bangsa Indonesia telah menggelar perhelatan demokrasi, yaitu pemilu legislatif. Sebagai pemilu keempat di era Reformasi, Pemilu 2014 merupakan perhelatan demokrasi yang penting bagi proses konsolidasi demokrasi kita yang sampai saat ini masih terus berlangsung. Salah satu isu penting dalam konsolidasi demokrasi itu adalah peningkatan partisipasi dan penguatan representasi perempuan dalam kancah politik, khususnya di parlemen. Di era Reformasi ini representasi perempuan di parlemen memang mengalami fluktuasi dan pasang surut. Pada periode 1999-2004, anggota DPR perempuan sebanyak 44 orang atau 8,80%. Representasi perempuan meningkat pada pemilu kedua di masa reformasi. Pada periode 2004-2009, wakil rakyat perempuan meningkat menjadi 62 orang (11%), meski dengan persentase lebih kecil ketimbang periode 1992-1997, yaitu 12,15% dengan 60 wakil perempuan. Hasil Pemilu 2009 menunjukkan kenaikan perempuan terpilih secara signifikan menjadi 101 orang perempuan atau 18,04% dari 560 anggota DPR periode 2009-2014. Tidak hanya di level DPR RI, hasil Pemilu 2009 juga membawa peningkatan jumlah perempuan terpilih di legislatif tingkat DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota. Kenaikan itu adalah: 18% di DPR, 16% kursi perempuan di seluruh DPRD provinsi, dan 12 % perempuan di seluruh DPRD kabupaten/kota. Sayang, Pemilu 2014 yang diharapkan menjadi momentum untuk meningkatkan representasi perempuan tidak tercapai. Pada pemilu keempat di era ini representasi perempuan di parlemen justru turun. Jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR pada Pemilu 2014 hanya 17,32%, yaitu 97 kursi dari 560 anggota DPR. Persentase keterwakilan perempuan tersebut masih jauh dari angka kritis (critical number) sebesar 30% dari jumlah anggota parlemen. Penurunan Representasi Politik Perempuan Penurunan ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, faktor kultural. Faktor ini berupa paradigma patriarki yang masih berkembang di masyarakat. Dunia politik masih dianggap sebagai dunia kaum lelaki. Masih kuat persepsi yang memandang bahwa perempuan tidak pantas masuk kancah politik. Situasi ini berdampak pada dua hal, yaitu masih sedikitnya kader perempuan yang serius
  • 37. masuk politik, dan rendahnya kesadaran dan partisipasi pemilih perempuan untuk memilih caleg perempuan. Kedua, secara struktural, affirmative action yang dilakukan untuk mendorong keterpilihan perempuan ternyata belum efektif. Langkah afirmasi yang tertuang dalam Undang-Undang Parpol dan Undang-Undang Pemilu itu salah satunya berupa kewajiban bagi partai politik untuk mencalonkan minimal 30% caleg perempuan dari total jumlah caleg di setiap daerah pemilihan. Bahkan, KPU berwenang mencoret dari kepesertaan pemilu di dapil yang bersangkutan bagi partai politik yang jumlah caleg perempuannya tidak mencapai 30%. Namun, langkah itu ternyata belum berbanding lurus dengan keterpilihan perempuan karena terbentur sistem pemilu yang sedemikian liberal. Pemilu dengan sistem terbuka dan suara terbanyak ternyata telah melahirkan kompetisi yang liberal dan menyuburkan politik uang. Dalam situasi demikian, caleg yang tidak memiliki ”modal” banyak akan tersingkir dari pertarungan. Tradisi politik ini telah mendorong pemilih untuk menentukan pilihan tidak lagi secara rasional, melainkan memilih berdasarkan pertimbangan pragmatis. Dalam konteks inilah caleg perempuan kerap menjadi korban dari kompetisi yang pragmatis tersebut. Berbagai faktor penyebab penurunan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen itu perlu mendapatkan perhatian untuk dicegah dan diubah. Kabar kurang baik ini tentu menyadarkan kita bahwa kemajuan proses demokratisasi di Indonesia belum paralel dengan kemajuan politik kaum perempuan. Kondisi itu menunjukkan bahwa perjuangan politik perempuan masih jauh dari garis finis. Masih panjang perjuangan yang harus dilakukan. Di samping secara kuantitatif terus mengejar pemenuhan angka representasi minimal, upaya yang harus dilakukan adalah meningkatkan kualitas dan peran para anggota parlemen perempuan dalam memperjuangkan nasib kaum perempuan, menciptakan keadilan gender, dan pemenuhan hak-hak kaum perempuan di semua ranah kehidupan. Dalam negara demokrasi, parlemen menjadi alat negara yang berfungsi merumuskan dan mengesahkan regulasi, salah satunya undang-undang. Untuk itu, para legislator perempuan mempunyai tugas besar untuk memperjuangkan hak-hak perempuan melalui berbagai kebijakan dan regulasi. Lebih dari sekadar perjuangan hak-hak dan nasib perempuan, parlemen menjadi arena strategis bagi perempuan untuk berkontribusi bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Tidak hanya memberi ruang bagi sumber daya besar perempuan untuk turut serta mengambil kebijakan negara, perempuan juga membuat keputusan berdasarkan ethics of care atau peduli pada kepentingan banyak orang. Menyambut Pilpres 2014
  • 38. Setelah pemilu legislatif digelar, bangsa Indonesia masih mempunyai agenda politik yang tak kalah penting, yaitu pemilu presiden dan wakil presiden. Perhelatan pemilihan pemimpin nasional yang akan digelar pada 9 Juli 2014 tersebut merupakan momentum strategis untuk menentukan nasib dan masa depan bangsa Indonesia. Tidak hanya untuk lima tahun mendatang, sebagai arena untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, Pilpres 2014 menjadi pertaruhan demokrasi Indonesia karena hingga 16 tahun reformasi, konsolidasi demokrasi kita belum juga selesai. Lebih dari sekadar peralihan kepemimpinan nasional, pilpres kali ini juga merupakan momentum bagi regenerasi kepemimpinan nasional. Pada tahun politik 2014 inilah tongkat kepemimpinan nasional akan beralih dari generasi tua kepada generasi muda. Fenomena ini dapat dibaca dari munculnya tokoh-tokoh politik baru yang tampil menjadi capres. Situasi ini merupakan kemajuan bagi demokrasi Indonesia. Dengan tampilnya generasi muda dalam kancah kepemimpinan nasional, kita berharap berbagai agenda reformasi yang belum tuntas akan dapat diselesaikan dengan lebih cepat. Mengingat begitu pentingnya proses politik itu, kaum perempuan tidak boleh tinggal diam. Setelah berhasil terlibat dalam mengusahakan peningkatan keterwakilan perempuan pada pemilu legislatif, lalu, kaum perempuan juga harus kembali turut ambil bagian secara aktif dalam momentum pilpres ini. Sebagai salah satu komponen terpenting bangsa, setidaknya ada tiga hal yang harus didorong dan diupayakan kaum perempuan dalam proses suksesi kepemimpinan nasional itu. Pertama, meningkatkan partisipasi politik perempuan dalam Pilpres 2014. Menurut data BPS, perempuan merupakan separuh dari populasi penduduk, yaitu 49,83% dari total populasi penduduk Indonesia. Pada DPT Pemilu 2014 lalu jumlah pemilih perempuan adalah 93.151.087 orang, sedangkan pemilih laki-laki berjumlah 93.418.119. Kenyataan ini harus dibaca dengan perspektif bahwa perempuan sesungguhnya sangat menentukan masa depan bangsa melalui pemilihan legislator dan penentuan kepemimpinan nasional. Karena itu, kita bertanggung jawab untuk meningkatkan partisipasi politik kaum perempuan dalam Pilpres 2014. Kedua, memilih capres dan cawapres yang properempuan. Memilih pemimpin yang berkomitmen pada kesetaraan dan keadilan gender merupakan suatu keniscayaan karena keberpihakan pemerintah terhadap perempuan sangat tergantung oleh political will pemimpinnya. Komitmen ini dapat dibaca dari visi dan misi capres-cawapres, di samping komitmen memberikan ruang dan kesempatan kepada perempuan untuk menduduki posisi strategis. Pilihlah calon pemimpin yang memberikan perhatian khusus kepada perempuan dengan berbagai program aksi untuk memberdayakan dan melindungi kaum perempuan, serta memosisikan perempuan sebagai subjek yang setara, berdaulat secara politik, merdeka, dan
  • 39. bermartabat. Di samping itu, representasi perempuan dalam pemerintahan juga perlu ditingkatkan untuk mendorong pengarusutamaan gender di tingkat eksekutif. Selama ini jumlah menteri perempuan di kabinet maksimal hanya 5 orang, atau 1,7% dari 34 kursi menteri. Dibandingkan dengan representasi perempuan di ranah legislatif, angka itu sangat timpang. Ketiga, memastikan keberpihakan pemerintahan yang baru terhadap kaum perempuan. Di samping berpartisipasi dalam demokrasi prosedural berupa pemilu, hal yang jauh lebih penting adalah memastikan berjalannya demokrasi substansial dengan mendorong pelaksanaan komitmen pengarusutamaan gender dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang berkeadilan dan berpihak pada kaum perempuan. Untuk itu, kita harus terus mendorong, mengawal, dan mengadvokasi kebijakan pemerintah yang baru melalui perumusan berbagai kebijakan dan aksi konkret dalam upaya pengembangan, pemenuhan hak, dan perlindungan terhadap perempuan. Pilpres 2014 ini merupakan momentum penting bagi kaum perempuan untuk memperbaiki nasibnya melalui perjuangan politik. Keterlibatan politik perempuan memiliki makna penting untuk meningkatkan keberpihakan negara terhadap kaum perempuan dan meneruskan agenda pengarusutamaan gender di Indonesia. Dalam proses konsolidasi demokrasi yang kini sedang berlangsung kaum perempuan tidak boleh absen, karena tidak ada demokrasi sejati tanpa keterlibatan perempuan. DRA IDA FAUZIYAH, MSI Ketua Umum PP Fatayat NU dan Ketua Komisi VIII DPR RI
  • 40. Idealitas Beasiswa Miskin Belakangan ini ramai berita mengenai Raeni, wisudawati terbaik Universitas Negeri Semarang (Unnes) dengan IPK 3,96 yang datang ke tempat wisuda diantar naik becak oleh bapaknya yang bekerja sebagai pengayuh becak. Simpati mengalir deras ditujukan pada salah satu putri terbaik bangsa itu. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung memberikan Raeni beasiswa ke luar negeri. Salah satu program perlindungan sosial yang dikembangkan di Indonesia adalah menyediakan beasiswa untuk anak usia sekolah dan diharapkan mampu menjangkau untuk seluruh jenjang pendidikan. Jika pada jenjang pendidikan dasar beasiswa dapat disediakan melalui pembebasan dari segala beban sekolah, pada jenjang pendidik tinggi beasiswa untuk anak-anak keluarga miskin disediakan melalui program afirmasi. Anak keluarga miskin setelah diterima di PT dinyatakan memperoleh beasiswa akan menerima tunjangan hidup dan bebas uang kuliah. Program afirmasi pendidikan yang diperkenalkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah berjalan. Setidaknya, upaya ini dilakukan dengan maksud agar anak-anak keluarga miskin dapat melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Mengirim anak-anak tamat SMU dan SMK keluarga miskin untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi memang sebuah harapan namun cukup kompleks. Mengingat, beban biaya hidup dan biaya pendidikan tinggi merupakan sesuatu yang tidak mungkin bisa dipenuhi dengan mudah. Selain dari itu, melalui program ini, tanggung jawab perguruan tinggi negeri khususnya juga diperbesar. Perlakuan khusus anak-anak tamatan pendidikan SLTA, di Papua misalnya, dapat melanjutkan pendidikan pada universitas-universitas negeri di Jawa. Dengan cara ini, diperkirakan angka partisipasi murni pendidikan tinggi dapat dinaikkan menjadi 30%. Capaian ini masih tetap jauh dibandingkan dengan kondisi yang telah dicapai oleh negara seperti Korea Selatan, di mana angka partisipasi murni pendidikan tingginya sudah melebihi 65%. Penyediaan beasiswa untuk anak-anak yang berasal dari keluarga miskin tentunya merupakan sebuah keyakinan yang tinggi. Melalui pendidikan sampai menamatkan jenjang pendidikan tinggi, akan memutus mata rantai kemiskinan. Dengan asumsi, setelah selesai melalui masa pendidikan di perguruan tinggi, mereka akan sanggup mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, kemudian menghasilkan eksternalitas setidaknya dalam keluarga miskin. Dalam kaitan ini, Luisa Fernandez dari Bank Dunia mencoba memperkenalkan life cycle program (LCP) dalam menetapkan program sosial. Dalam pandangan life cycle, diperlihatkan
  • 41. bahwa menargetkan program sosial sebaiknya dengan melihat bagaimana kondisi penduduk yang masuk ke dalam penghasilan 10% terendah. Pada kelompok ini kemudian dihitung bagaimana kondisi dan jumlah dari anak-anak yang masuk ke dalam kategori termiskin. Misalnya, akses pendidikan prasekolah, tingkat daftaran pada seluruh jenjang pendidikan, tingkat capaian mata pelajaran, akses pada jenjang pendidikan tinggi, penyediaan keterampilan untuk usia kerja, dan kondisi masyarakat kelompok usia tua. Dengan menggunakan data Susenas tahun 2012, salah satu hasil yang menarik adalah hanya sekitar 2% anak-anak keluarga miskin (pengeluaran 10% terendah) yang sempat mengecap jenjang pendidikan tinggi. Rendahnya akses pendidikan tinggi anak dari keluarga miskin disebabkan mereka sudah lebih dulu putus sekolah pada jenjang pendidikan sebelumnya. Apa yang membuat hasil perhitungan ini menjadi menarik? Jawabannya ketika Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menyediakan beasiswa melalui program afirmasi untuk kelompok miskin, ternyata jumlah beasiswa melebihi jumlah anak yang berpotensi memasuki jenjang pendidikan tinggi. Lantas, beasiswa yang terserap untuk jenjang pendidikan tinggi selama ini bagi siapa? Ada kemungkinan program pendidikan untuk pendidikan tinggi tidak akan banyak membantu keluarga sangat miskin, namun justru lebih masuk ke dalam kelompok keluarga pada decile terendah kedua, ketiga atau keempat. Katakanlah masuk ke kelompok pengeluaran antara 20– 40%. Mempertajam Arah Sasaran Program proteksi sosial yang bertujuan agar anak yang berasal dari keluarga miskin dapat sekolah harus diperluas jangkauannya. Harus ada data soal mereka yang difabel, anak yang bersal dari keluarga yang secara geografis sulit dijangkau, serta anak dari keluarga yang memiliki masalah sosial ekonomi, agar beasiswa dapat diarahkan untuk jenis dan jenjang pendidikan yang prospek untuk masa depan mereka. Pertama jenis pendidikan, alangkah lebih terarah jika beasiswa diarahkan untuk meningkatkan kesempatan bagi anak keluarga miskin memasuki jenjang pendidikan menengah. Dalam kaitan ini, selain mereka bisa mendapatkan kesempatan untuk berpendidikan, sebaiknya diarahkan kepada jenis pendidikan vokasi. Pendidikan vokasi akan memudahkan mereka untuk lebih cepat memasuki pasar kerja. Kedua,anak-anak dari keluarga miskin, kalaupun diberi kesempatan sampai jenjang pendidikan tinggi, diharapkan terpilih pada jenis jurusan yang memang diperlukan oleh pasar kerja. Jurusan-jurusan yang sulit memperoleh pekerjaan tentunya akan tetap tidak memudahkan mereka masuk ke pasar kerja. Michael P Todaro pernah mengungkap pada pertengahan tahun 1980-an bahwa sekalipun pendidikan tinggi dapat diakses oleh anak-anak keluarga miskin, ketika mereka memasuki
  • 42. pasar kerja, akan banyak kendala yang berarti. Hal ini disebabkan, ketika pendidikan yang diikuti adalah jenis-jenis jurusan yang memang tidak banyak diperlukan di pasar kerja. Oleh karenanya, sangat tepat jika afirmasi pendidikan untuk jenjang pendidikan tinggi diarahkan kepada jenis pendidikan keterampilan. Agenda akses pada pendidikan tinggi bermutu perlu kita tunggu dari kandidat presiden sekarang. ELFINDRI Profesor Ekonomi SDM & Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi, Universitas Andalas (Unand), Padang
  • 43. Piala Dunia: Antara Ritual Konsumsi dan Politik Piala Dunia 2014 sudah dimulai di Brasil. Perhatian masyarakat di seluruh dunia tertuju ke ajang empat tahunan tersebut. Piala Dunia adalah ajang olah raga dunia yang paling banyak ditonton. Bagi penggila bola dunia, perhelatan ini selalu ditunggu-tunggu karena bersamaan dengan liburan musim panas. Pesta olahraga paling populer di muka bumi ini selalu menarik disimak, seolah menjadi pesta sepak bola empat tahunan yang sayang ditinggalkan begitu saja. Sepak bola, sebagaimana sudah menjadi fenomena kesejagadan, tak hanya menyuguhkan atraksi dan penampilan pemain-pemainnya yang ciamik di lapangan. Ia tak sekadar menampilkan strategi permainan ala cattenacio ataupun total football-nya Belanda. Ia pun tak hanya menyodorkan berbagai selebrasi setelah gol diciptakan. Tetapi, sepak bola sudah melampaui hal-hal yang bersifat makro. Ia sudah menjadi multifenomena, dari ekonomi, kultural hingga politik. Pada aras ini sepak bola betul-betul sebuah ruang yang memungkinkan terjadinya akselerasi global dari berbagai ranah. Lapangan hijau dengan 22 pemain dan puluhan ribu penonton hanyalah bagian kasatmata yang kita saksikan. Lebih dari itu, sepak bola menghadirkan pengaruh yang sangat luar biasa di tingkat global. Industri Global Faktanya, saat ini sepak bola sudah menjadi industri global yang sarat dengan perputaran kapital. Sepak bola sudah menghasilkan ribuan pemain yang memiliki kontrak triliunan rupiah. Piala Dunia juga telah menghasilkan keuntungan bagi tuan rumah dan perusahaan- perusahaan global yang berkompetisi menjadi sponsor resminya. Perusahaan-perusahaan yang logonya mejeng di seluruh stadion berlangsungnya Piala Dunia adalah salah satunya. Bagi perusahaan multinasional ajang ini merupakan ladang uang yang semakin mengukuhkan posisi bisnisnya. Tak kalah pentingnya adalah citra perusahaan dalam industri global. Salah satunya yang sangat kompetitif adalah persaingan berbagai produk jersey ternama. Beberapa produk jersey yang merupakan perusahaan global itu adu seru menguasai dunia sepak bola global, terutama Piala Dunia. Produk-produk jersey tersebut selalu ditunggu- tunggu oleh jutaan penonton yang menyaksikan bagaimana kesebelasan favoritnya berlaga di ajang tersebut. Kontrak ini saja sudah memiliki harga yang sangat besar. Belum lagi harga hak siar dari seluruh pertandingan Piala Dunia ini yang disiarkan oleh seluruh negara di
  • 44. dunia. Belum lagi penjualan tiket, merchandise, hingga acara nonton bareng yang digelar di setiap negara. Bagi pemain, inilah saatnya mereka menunjukkan performa terbaiknya. Jika mereka berhasil memikat pemantau dari berbagai klub raksasa, yakinlah kontrak mereka bakal meningkat selepas Piala Dunia. Mereka siap digadang-gadang dengan kontrak termahal di liga dunia. Arena Konsumsi Tak kalah pentingnya adalah, Piala Dunia menjadi arena konsumsi bagi jutaan manusia di muka bumi ini. Siaran televisi menjadi media strategis untuk menanamkan nilai-nilai baru yang disajikan dalam ajang tersebut. Sejarah mencatat, misalnya, ajang banyak pemain dunia yang menjadi trend setter gaya rambut, maupun fashion. Di sinilah Piala Dunia menjadi arena berkembangnya tren dari mulai gaya rambut, kostum kesebelasan hingga aksesori lain yang kerap dipakai pemain-pemain. Setiap menjelang perhelatan Piala Dunia, bisnis kostum timnas peserta Piala Dunia selalu laris manis. Mulai dari yang harga pasar pinggiran hingga produk asli. Orang dewasa hingga anak-anak tak kalah memiliki kostum dari negara favoritnya. Belum lagi berbagai pernak-pernik mulai dari cangkir, boneka, jam dinding, gantungan kunci laris diproduksi secara massal. Lagu resmi Piala Dunia juga banyak dicari oleh penonton di seluruh dunia. Meminjam istilah sosiolog Manuel Castell, inilah saatnya apa yang disebut dengan “collective consumption”. Sebuah era saat individu di muka bumi memiliki kepentingan dan preferensi yang sama untuk mengonsumsi secara massal ajang Piala Dunia. Dalam pandangan Castell, penduduk di muka bumi ini adalah kumpulan konsumen. Begitulah Piala Dunia sudah menjadi ritual empat tahunan dan apa yang dijelaskan di atas menggambarkan bahwa kita sedang berada di era Post Footbalism. Relaksasi Politik Perhelatan Piala Dunia 2014 dalam konteks Indonesia menjadi istimewa karena terkait dengan dua momen penting yaitu pilpres dan Ramadan. Di tengah kontestasi politik yang semakin memanas setiap harinya dengan berbagai suguhan kampanye hitam kepada para kandidat capres-cawapres, Piala Dunia bisa menjadi alat pemersatu sekaligus meredakan berbagai ketegangan politik di kalangan pendukung, tim sukses hingga para kandidatnya. Ibaratnya, Piala Dunia menjadi ruang relaksasi politik sesaat dengan menyaksikan laga-laga terbaik yang dipentaskan oleh tim-tim unggulan. Masyarakat bisa saja beda pilihan politik, tetapi dengan bola yang ditontonnya bisa mempersatukan sekaligus merekatkan tensi-tensi politik yang sudah provokatif dan di luar ambang batas rasional. Piala Dunia menjadi jembatan memecahkan stres politik yang sudah semakin tak sehat.
  • 45. Politik selalu melahirkan atraksi-atraksi yang provokatif tanpa basis rasional. Politik sering dilakukan tanpa kendali moral. Semua atas nama kepentingan abadi. Tak ada rumus membangun budaya politik dengan suguhan seni politik yang ciamik. Nah, atraksi-atraksi para pemain terbaik di lapangan apalagi dengan gol-gol yang cantik mampu mengobati kegundahan politik yang sedang melanda panggung politik Indonesia. Sepak bola melahirkan budaya dan nilai-nilai seni yang menjadi kekuatan emosi serta psikologis masyarakat. Kebersamaan dan guyub justru didapatkan dengan berbagai kesempatan nonton bareng untuk mendukung tim favoritnya. Mereka bisa teriak kencang sepuas-puasnya tanpa perlu mengumpat teman yang membela lawannya. Mereka bisa berjingkrak-jingkrak merayakan selebrasi gol tim favoritnya tanpa melakukan serangan-serangan politik yang menjatuhkan lawannya. Inilah kekuatan dan ideologi sepak bola yang dirasakan oleh masyarakat dunia. Tanpa pretensi politik, tanpa kepentingan religius. Sepak bola adalah ruang publik yang mencairkan kebuntuan-kebuntuan pemikiran sekaligus menata kembali nilai-nilai seni yang hilang dalam panggung politik Indonesia. Karenanya, para tim sukses dan kandidat belajarlah dari para pemain sepak bola. Belajar membangun serangan kepada tim lawannya secara elegan, ciamik dan kekompakan dengan berbagai strategi yang dimilikinya. Apapun strateginya. Entah cattenacio, atau total football. Belajarlah bermain secara fair tanpa melakukan serangan fisik kepada lawan. Belajarlah sportif yang disuguhkan para pemain di lapangan. Jika sepak bola yang sudah menjadi “agama dunia” bisa digemari jutaan umat manusia, maka kita sebenarnya tak lagi mendengar maraknya kampanye hitam yang murahan. Kita tak lagi menyaksikan sentimen SARA yang terus dihembuskan kepada kandidat tertentu. Dengan sepak bolalah cermin peradaban bisa dilihat. Dan, politik Indonesia harusnya belajar betul kepada ajang Piala Dunia 2014. Selamat menikmati Piala Dunia 2014! RAKHMAT HIDAYAT Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
  • 46. Ayo Memilih Presiden Dibandingkan pemilihan calon anggota legislatif, pemilihan calon presiden (pilpres) jauh lebih simpel karena yang dipilih hanya dua pasangan: nomor 1 atau nomor 2. Terlepas dari diskusi dan perdebatan terhadap kualitas capres-cawapres, semuanya adalah putra-putra bangsa yang sudah berkorban moril-materiil dan memiliki tekad untuk memimpin pemerintahan Indonesia lima tahun ke depan. Tekad dan pengorbanan itu mesti kita hargai. Belum tentu para pengamat dan komentator politik yang meramaikan wacana publik memiliki nyali dan modal untuk maju ikut bertanding. Meski pilpres belum terlaksana, sesungguhnya secara moril kedua pasangan sudah menjadi pemenang. Mereka adalah orang-orang terpilih yang dengan gigih memperjuangkan hak- haknya untuk tampil menjadi pemimpin bangsa dengan penduduk sekitar 240 juta jiwa. Betapa besar tanggung jawab yang mesti dipikul andai mereka nantinya terpilih. Karena itu, dari segi niat dan tekad, empat orang itu sudah menjadi pemenang. Bayangkan saja, apa yang akan terjadi dengan sistem pemerintahan kita kalau tak ada yang mau maju bertanding memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden? Tidak mungkin jarum sejarah diputar kembali ke zaman primitif. Pemilu ini sangat strategis maknanya bagi perjalanan bangsa Indonesia. Sebuah tahapan dan proses pendewasaan berdemokrasi sehingga diharapkan ke depan nanti kita beranjak dari demokrasi prosedural naik menjadi demokrasi yang lebih substansial dan fungsional. Di antara cirinya adalah masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin yang terbaik, karena jika salah memilih, yang akan celaka dan dirugikan adalah bangsa dan rakyat sendiri. Diperkirakan, rakyat kita yang sadar dan melek demokrasi tak mencapai angka 20%. Artinya, menjadi wajar kalau seseorang ketika memilih calon bupati, gubernur, wakil rakyat atau capres nanti tanpa disertai pengetahuan dan pertimbangan rasional. Bisa jadi karena semata hubungan kekerabatan, merasa satu kelompok keagamaan, kesamaan etnis, atau karena menerima uang ”serangan fajar” di hari pencoblosan. Semua itu merupakan realitas bangsa dan masyarakat kita yang mesti kita terima meski harus ada upaya pendidikan dan perbaikan dari waktu ke waktu. Dalam hal ini parpol mesti tampil ke depan sebagai pelopor pendidikan politik bagi warga negara dan menganjurkan serta mengajak agar pilpres ini berjalan fair dan damai. Kalau para pendukung di bawah ada yang fanatik dan brutal, itu pun bisa dimaklumi. Bukankah para suporter Persib dan Persija juga fanatik dan kadang brutal? Padahal mereka tidak mendapatkan upah dan janji apa-apa. Hanya saja, agenda pilpres sangat berbeda nilai
  • 47. dan implikasi strategisnya bagi bangsa dan pemerintahan ke depan. Jangan sampai dicederai dengan konflik berdarah-darah karena akan fatal akibatnya, antara lain rakyat akan semakin tidak percaya pada demokrasi dan parpol. Akan menyulitkan pemerintah untuk melakukan estafet panggung politik nasional dengan elegan dan indah. Dunia luar pun akan memandang bangsa ini masih barbar. Pendeknya, jika rakyat dan dunia tidak percaya kepada Pemerintah Indonesia, agenda pembangunan ekonomi dan aspek lain akan terhambat. Pasti inflasi dan pengangguran akan tinggi. Konsumsi tidak bisa distop, sementara pertumbuhan ekonomi mandek. Sejauh ini suasana menjelang pilpres masih terkendali. Rakyat juga tidak senang dengan berbagai kampanye hitam yang membuat gerah dan lelah. Sesungguhnya antarparpol yang bersaing tak lagi memiliki perbedaan ideologi tajam yang akan membangkitkan militansi tinggi antarpendukungnya. Namun ketika emosi dan simbol agama dibawa-bawa dan dilibatkan, biasanya orang mudah terpancing. Karena itu, sebaiknya kita berkompetisi secara rasional saja. Lebih menekankan keunggulan visi, misi, program, dan bayang-bayang kabinetnya. Kalau isu agama dibawa-bawa, kebetulan semua yang bertanding adalah sosok muslim. Tak lagi relevan menilai keimanan seseorang. Kalaupun toh suatu saat ada calon yang bukan muslim, itu pun dilindungi oleh undang-undang dan hukum tidak membedakan etnik serta agama bagi siapa pun yang akan maju menjadi pemimpin di negara Pancasila yang majemuk ini. Bangsa dan negara mana pun di dunia berkembang mengarah pada masyarakat yang plural, baik etnik maupun agama. Jika di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim bermunculan bangunan gereja dan wihara, di Barat yang mayoritas Kristen bermunculan bangunan masjid. Ini juga menunjukkan tumbuhnya komunitas muslim di Barat. Bahkan belum lama ini berkumandang azan di wilayah Vatikan, pusat agama Katolik. Di situ diadakan doa bersama lintas agama untuk perdamaian dunia. Pemikiran yang tidak siap menerima dan menghargai perbedaan adalah sikap tiran dan fasis. Demokrasi adalah bagian integral dari budaya Nusantara untuk menerima perbedaan, sejalan dengan moto Bhinneka Tunggal Ika . Dengan ungkapan lain, lets celebrate the difference; accept the difference, respect the difference, share the difference. Sadar akan pluralitas bangsa, mestinya kita menjadikan pemilu sebagai sebuah pesta dan ujian naik tingkat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar lebih matang dan dewasa. Pilihlah pasangan capres-cawapres sesuai dengan selera dan pilihan masing-masing. Kita semua adalah saudara sebangsa dan setanah air.