SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 101
Descargar para leer sin conexión
KATA PENGANTAR



       Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) 2010 Provinsi Sulawesi Selatan
memiliki makna penting dalam penyelenggaraan pembangunan di Indonesia. Pertama, EKPD
ini memuat hasil evaluasi pencapaian dari penyelenggaraan RPJMN 2004-2009 di Provinsi
Sulawesi Selatan, sehingga kinerja dari satu periode RPJMN terpresentasikan secara utuh.
Kedua, EKPD ini memuat analisis relevansi RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD Provinsi
Sulawesi Selatan, sehingga bisa memberi arahan bagi EKPD 2011 dan seterusnya.
       Laporan EKPD 2010 Provinsi Sulawesi Selatan telah diselesaikan dengan baik.
Substansi isi dan metode evaluasi sepenuhnya mengacu kepada Panduan EKPD 2010 yang
disusun Bappenas, sementara analisis dan eksplanasi atas sejumlah fakta dilakukan sesuai
kompetensi akademis dari masing-masing evaluator.
       Terima kasih disampaikan kepada Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan atas
dukungannya selama EKPD ini berlangsung, terutama dalam penyelenggaraan focus group
discussion yang melibatkan seluruh Kepala Bidang di Bappeda, khususnya Kepala Bidang
Monitoring dan Evaluasi Pembangunan, serta dukungan data dan informasi yang diberikan.
Terima kasih juga disampaikan kepada pihak Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah
Sulawesi Selatan-Sulawesi Barat serta seluruh SKPD Provinsi Sulawesi Selatan yang telah
memberikan data yang diperlukan bagi EKPD ini serta terlibat dalam diskusi-diskusi dengan
evaluator.
       Akhirnya, terima kasih disampaikan kepada pihak Bappenas atas kepercayaannya
kepada Universitas Hasanuddin dalam penyelenggaraan EKPD 2010 ini. Semoga kerjasama
ini memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa dan negara.


                                              Makassar, 9 Desember 2010
                                              Rektor Universitas Hasanuddin,
                                              u.b. Pembantu Rektor
                                              Bidang Kerjasama dan Perencanaan



                                              Prof. Dr. Dwia Aries Tina NK., MSc.
                                              NIP:
1



                                              BAB I

                                       PENDAHULUAN

1.   Latar Belakang

       Menurut Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah satu dari empat
tahapan perencanaan pembangunan, yang meliputi penyusunan, penetapan, pengendalian
perencanaan    serta    evaluasi    pelaksanaan       perencanaan.    Sebagai    suatu     tahapan
perencanaan    pembangunan,        evaluasi   harus     dilakukan    secara   sistematis   dengan
mengumpulkan dan menganalisis data serta informasi untuk menilai sejauh mana
pencapaian sasaran dan tujuan atau kinerja pembangunan secara keseluruhan.
       Peraturan Presiden No 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 telah selesai dilaksanakan. Sesuai dengan
Peraturan Pemerintah (PP) No 39          Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, pemerintah (BAPPENAS) berkewajiban
untuk melihat sejauh mana pelaksanaan RPJMN tersebut.
       Saat ini Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014
telah ditetapkan. Siklus pembangunan jangka menengah ilma tahun secara nasional tidak
selalu sama dengan siklus pembangunan jangka menengah lima tahun di daerah, sehingga
penetapan RPJMN 2010-2014 tidak bersamaan waktunya dengan RPJMD Provinsi. Hal ini
menyebabkan prioritas-prioritas dalam RPJMD Provinsi tidak selalu mengacu pada prioritas-
prioritas RPJMN 2010-2014. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi relevansi prioritas/program
antara RPJMN dengan RPJMD provinsi.
       Di dalam pelaksanaan evaluasi ini, dilakukan dua bentuk evaluasi yang berkaitan
dengan RPJMN. Pertama, evaluasi atas pelaksanaan RPJMN 2004-2009; kedua, penilaian
keterkaitan antara RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2012 dengan RPJMN 2010-2014.
Metode yang digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah evaluasi ex-
post untuk melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran) dengan mengacu pada
tiga agenda RPJMN 2004-2009 yaitu agenda Aman dan Damai, Adil dan Demokratis, serta
Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Untuk mengukur kinerja yang telah dicapai
pemerintahan atas pelaksanaan ketiga agenda tersebut, diperlukan identifikasi dan analisis
indikator pencapaian.
2



       Metode yang digunakan dalam evaluasi relevansi RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD
Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2012 adalah dengan membandingkan keterkaitan 11
prioritas nasional dan tiga prioritas lainnya dengan prioritas daerah Provinsi Sulawesi
Selatan. Selain itu, juga dengan mengindentifikasi potensi lokal dan prioritas daerah yang
tidak ada dalam RPJMN 2010-2014. Adapun prioritas nasional dalam RPJMN 2010-1014
adalah: 1. Refomasi Birokrasi dan Tata Kelola, 2. Pendidikan, 3. Kesehatan, 4.
Penanggulangan Kemiskinan, 5. Ketahanan Pangan, 6. Infrastruktur, 7. Iklim Investasi dan
Iklim Usaha, 8. Energi, 9. Lingkungan Hidup dan Pengelolahan Bencana, 10. Kebudayaan,
Kreativitas dan Inovasi Teknologi, dan tiga prioritas lainnya yaitu 1. Kesejahteraan Rakyat
Lainnya, 2. Politik, Hukum dan Keamanan lainnya, 3. Perekonomian Lainnya.
       Hasil dari EKPD 2010 diharapkan dapat memberikan umpan balik pada perencanaan
di daerah. Selain itu, hasil evaluasi dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah dalam
mengambil kebijakan pembangunan daerah.
       Pelaksanaan EKPD ini dilakukan melalui kerjasama antara Bappenas cq. Deputi
Evaluasi Kinerja Pembangunan dengan Universitas Hasanuddin selaku evaluator eksternal
dan dibantu oleh stakeholders daerah. Pelaksanaan EKPD 2010 mengacu pada Panduan
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah 2010 yang disusun oleh Deputi Bidang Evaluasi
Kinerja Pembangunan, Bappenas.

2. Tujuan dan Sasaran

       Tujuan dari EKPD Provinsi Sulawesi Selatan adalah:

          1. Untuk    melihat   sejauhmana    pelaksanaan     RPJMN     2004-2009    dapat
              memberikan kontribusi pada pembangunan daerah Sulawesi Selatan;
          2. Untuk mengetahui sejauhmana keterkaitan prioritas/program dalam RPJMN
              2010-2014 dengan prioritas/program yang ada dalam RPJMD Provinsi
              Sulawesi Selatan 2008-2013.


       Sasaran dari EKPD Provinsi Sulawesi Selatan adalah:

           1. Tersedianya data/informasi dan penilaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di
              Provinsi Sulawesi Selatan;
           2. Tersedianya data/informasi dan penilaian keterkaitan RPJMN 2010-2014
              dengan RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013.
3



3.   Keluaran

       Luaran dari kegiatan ini adalah:

           1. Tersedianya dokumen evaluasi pencapaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009
                di daerah Provinsi Sulawesi Selatan;
           2. Tersedianya dokumen evaluasi keterkaitan RPJMN 2010-2014 dengan
                RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013.
4



                                                      BAB II

                                           HASIL EVALUASI
                                     PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009

     A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI

     1. Indikator

              Agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai pada RPJMN 2004-2009
     mencakup beberapa program yang pencapaiannya dapat diukur pada tiga indikator utama
     yakni indeks kriminalitas, persentase penyelesaian kasus kejahatan konvensional, dan
     persentase penyelesaian kasus kejahatan transnasional. Dalam EKPD Sulawesi Selatan
     2004-2009, data indeks kriminalitas tidak dapat ditemukan sehingga data yang digunakan
     adalah tingkat kriminalitas, berupa perbandingan antara kasus kriminalitas yang terjadi
     dengan total penduduk Sulawesi Selatan, dinyatakan dalam satuan jumlah tindakan kriminal
     perseribu penduduk dalam setahun. Data tentang persentase penyelesaian kasus kejahatan
     transnasional juga tidak ditemukan sehingga hanya diberikan evaluasi kualitatif-deskriptif.
              Adapun nilai pencapaian indikator untuk agenda Pembangunan Indonesia Yang
     Aman dan Damai dapat digambarkan pada Tabel-1.
             Tabel-1: Nilai Pencapaian Indikator Agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman
                      dan Damai RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan.

                                                               Nilai Indikator
No.
                    Indikator                                                                      Sumber Data
                                             2004     2005     2006     2007     2008     2009

       Indeks      Kriminalitas   (Tingkat
1.                                           1,5027   1,5492   1,7530   2,0263   1,7240   1,6636   Polda Sulselbar,
       Kriminalitas)
                                                                                                   2005-2010
       Persentase Penyelesaian     Kasus                                                           Polda Sulselbar,
2.                                           59,81    54,96    54,38    55,97    48,92    44,16
       Kejahatan Konvensional                                                                      2005-2010

       Persentase Penyelesaian     Kasus
3.
       Kejahatan Transnasional                 -        -         -       -        -        -               -


     2. Analisis Pencapaian Indikator

            (1)     Keamanan dan Kedamaian

             1. Tingkat Kriminalitas

             Tingkat kriminalitas di Sulawesi Selatan, yakni jumlah kejadian kriminal perseribu
     penduduk dalam satu tahun, menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat pada
5



periode 2004-2007, puncak peningkatan pada tahun 2007, lalu menurun pada periode 2008-
2009 (Grafik-1), sementara gambaran kuantitatif jenis dan tingkat kriminalitas tersebut dapat
dilihat pada Tabel-2. Pada tahun 2007, angka kriminalitas di Sulawesi Selatan mencapai 2,02
kejadian perseribu penduduk, bertambah 0,27 poin dari tahun 2006, dimana angka ini
menurun 0,30 menjadi 1,72 pada tahun 2008. Pada tahun 2007, jumlah tindak pidana di
Sulawesi Selatan mencapai 15.554 kasus dengan selang waktu kejadian antar tindak pidana
selama 33 menit delapan detik. Pada tahun 2006 jumlah tindak pidana mencapai 13.374
kasus dengan selang waktu kejadian antar tindak pidana selama 39 menit, pada tahun 2008
sebanyak 13.456 kasus dengan selang waktu kejadian antar tindak pidana selama 39 menit
enam detik. Pada tahun 2007 tersebut, persentase penyelesaian kasus pidana sebanyak
60,34%, pada tahun 2006 lebih rendah yakni 60,25% dan pada tahun 2008 lebih tinggi yakni
64,71%.




           Grafik-1: Tingka Kriminalitas di Sulawesi Selatan 2004-2009.

          Tingginya angka kriminalitas pada tahun 2007, sebagaimana terlihat pada Grafik-1,
diduga banyak dipengaruhi oleh panasnya suhu politik di Sulawesi Selatan menjelang dan
pasca pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan pada tahun tersebut. Konflik antar pendukung
calon gubernur yang terjadi di sejumlah kabupaten/kota selain punya andil langsung terhadap
tingginya tingkat kriminalitas, juga situasi dan kondisi yang relatif tidak stabil ketika itu
banyak    dimanfaatkan    oleh   para   pelaku   kejahatan   untuk   melaksanakan   aksi-aksi
6



kejahatannya. Sementara itu, perhatian aparat keamanan, baik menjelang pemilihan maupun
sesudah pemilihan, juga lebih banyak tercurah pada pengamanan pemilihan, dimana situasi
ini diduga dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan tindakan kriminal.

        Tabel-2: Keadaan Umum Tindak Pidana serta Tingkat Kriminalitas di Sulawesi
                Selatan Tahun 2004-2009.


                                                             T a h u n
        Uraian
                            2004         2005         2006         2007        2008          2009

Jumlah Tindak Pidana        11.089      11.611       13.374       15.554      13.456         13.730


Penyelesaian                6.042        6.341       8.058        9.385        8.707         8.729

% Penyelesaian             54,49%       54,61%      60,25%        60,34%       64,71         63,58

Selang Waktu terjadinya     47’39”        45’          39’         33’8”       39,06         38,28
Tindak Pidana

Jumlah Penduduk           7.379.370    7.494.701   7.629.138     7.675.893   7.805.024     8.253.387

Tingkat kriminalitas       1,5027       1,5492       1,7530       2,0263      1,7240         1,6636


Sumber: Kepolisian Negara RI Daerah Sulawesi Selatan , 2004-2009 dan BPS 2006-2009 (Diolah kembali)


       Pada tahun 2007, kondisi perekonomian Sulawesi Selatan juga kurang baik
kinerjanya. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 sangat rendah, ini mempunyai akibat
sangat besar bagi sebagian besar rumah tangga miskin dimana salah satu akibatnya adalah
tingginya angka pencurian. Pada tahun 2004 hingga 2007 angka pengangguran juga tinggi,
pada tahun 2006 sebanyak 18,64% dan meskipun pada tahun 2007 sudah menurun menjadi
12,78 % tetapi efeknya pada tekanan ekonomi penduduk masih signifikan dalam mendorong
terjadinya kriminalitas. Jumlah rumah tangga miskin juga tinggi pada periode 2004-2007,
yakni diatas 14%. Kesemua ini memberi indikasi adanya korelasi antara kondisi
perekonomian yang kurang baik dengan tingginya angka kriminalitas.
       Pada tahun 2008-2009, terjadi perbaikan ketertiban dan keamanan yang signfikan,
ditandai dengan angka kriminalitas yang terus menurun. Ini terkait dengan kondisi politik
yang kembali normal pasca pemilihan gubernur, meskipun dalam pemilihan kepala daerah
tahun 2010 terjadi ekses cukup tajam, tetapi efeknya pada kriminalitas akan terlihat pada
data tahun tersebut dan tahun berikutnya. Perbaikan kondisi ketertiban dan keamanan juga
7



didukung oleh kondisi perekonomian yang membaik pada tahun 2008-2009 yakni angka
kemiskinan dan pengangguran yang terus berkurang dan pertumbuhan ekonomi yang relatif
terpelihara.
       2.      Penyelesaian Kejahatan Konvensional

       Ditinjau dari seluruh kejahatan konvensional yang terjadi di Sulawesi Selatan, telah
terjadi peningkatan persentase penyelesaian kasus selama periode 2004-2009. Pada tahun
2005 penyelesaian kasus hanya 54,49%, meningkat hingga 64,71% pada tahun 2008, dan
sedikit menurun pada tahun 2009 yakni 63,58% (Grafik-2). Ini menujukkan peningkatan
kinerja aparat keamanan, khususnya jajaran kepolisian, dalam penyelesaian tindak pidana
kejahatan konvensional. Namun demikian, ditinjau dari segi penyelesaian jenis kejahatan
yang menonjol di Sulawesi Selatan, sebagaimana juga terlihat pada Grafik-2, terdapat
penurunan tingkat penyelesaian kejahatan. Persentase penyelesaian tertinggi adalah pada
tahun 2004 (59,81%), kemudian pada tahun 2005 dan tahun 2006 menurun menjadi sekitar
54%, dan sedikit meningkat pada tahun 2007. Selanjutnya pada tahun 2008 dan 2009
persentase penyelesaiannya menurun menjadi 48,92 % dan 44,16%. Secara keseluruhan
persentase penyelesaian kasus tindak pidana mengalami peningkatan, tetapi untuk kasus
kejahatan yang menonjol persentase penyelesaiannya justru menurun.




                  Grafik-2: Penyelesaian keseluruhan tindak pidana kejahatan konvensional dan
                           Tindak pidana kejahatan menonjol di Sulawesi Selatan 2004-2009.
8



         Hasil wawancara dengan pihak kepolisian menunjukkan bahwa tidak tertutup
kemungkinan perbedaan persentase penyelesaian ini disebabkan oleh keterbatasan jumlah
dan kualitas aparat kepolisian yang menangani jenis kejahatan yang menonjol, keterbatasan
sarana prasarana penunjang pelaksanaan tugas aparat, serta modus operandi penjahat yang
semakin beragam dengan jumlah dan kualitas yang juga semakin meningkat.                                            Dengan
kondisi demikian, maka peluang menumpuknya penyelesaian kasus tertentu yang menonjol
di kepolisian menjadi sangat besar, yang pada gilirannya bisa mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga penegak hukum, khususnya kepolisian.
         Pada kejahatan konvensional, hal yang juga perlu dicermati adalah kecenderungan
meningkatnya jumlah absolut jenis kejahatan tertentu yang menonjol pada periode 2004-
2009 (Lihat data penunjang pada Tabel-3). Kalau pada tahun 2004 jumlahnya hanya 3.926
kasus, pada tahun 2007 bertambah menjadi 5.346 kasus, pada tahun 2009 jumlahnya terus
meningkat dan mencapai angka 5.562 kasus.

       Tabel-3: Kasus Kejahatan Konvensional Menurut Jenis Kejahatan Yang Menonjol di
                Sulawesi Selatan Tahun 2004-2009

                                                                 T a h u n
    Jenis
                    2004                2005                2006                2007                 2008               2009
  Kejahatan
Yang Menonjol
                L          S        L          S        L          S        L          S        L           S     L            S

Perkelahian      17            13       3          4        3          1        9           -    -           -     -           -
Kelompok

Pengeroyokan    168        111      239        157      232        180      463        374      513         400   660      469


Pemerasan &      67            36       75         31       96         66       84         59   295         164   504      229
Ancaman

Penghancuran/
Perusakan       421        202      399        208      516        317      585        332      469         336   201      121
Barang

Pembakaran       29            20       10          9       32         14       31         17   14          10    17       13



CD Porno            1           -        2          3       15          9       10          2   60          40     2           -



Perzinahan+     166        112      203        119      249        201      233        192      180         97    332      236
Cabul

Perkosaan       105            76       97         70   112            70   142        115      135         105   109      112
9



Miras             68       60        86      85        82      73        84      99   390     224    131     113



Narkotika/       275      309    269        370    261        260    274        244   392     371    409     356
Psikotropika

Pembunuhan
                 143      125    121        117    127        133    109         99   139     106    89       68


Aniya Berat
                 814      268   1.047       603   1.000       736    970        673   531     403    412     312

Empat Jenis
                 1.65   1.016   1.852       644   2.255       648   2.352       786   2.209   350    2.69    427
Pencurian           2                                                                                 6

Jumlah           3.92   2.348   4.403     2.420   4.980     2.708   5.346     2.992   5.327   2.60   5.56    2.456
                    6                                                                          6      2
% Penyelesaian
                  -     59,81    -        54,96    -        54,38    -        55,97     -     48,9    -      44,16
                                                                                               2


     Sumber: Kepolisian Negara RI Daerah Sulawesi Selatan, 2004-2009 (diolah kembali)
             Keterangan : L = Lapor; S = Selesai

          Dari sejumlah jenis kejahatan konvensional tersebut, yang sangat menonjol dan
mengalami peningkatan selama periode 2004-2009 adalah pencurian yakni pencurian berat,
pencurian dengan kekerasan, pencurian hewan dan pencurian kendaraan bermotor.
Perkelahian kelompok yang pada tahun 2005 dan 2006 menunjukkan penurunan,                                   pada
tahun 2007 kembali mengalami peningkatan. Data tentang perkelahian kelompok ini belum
mencakup perkelahian antara anggota POLRI dengan anggota TNI                                    yang cukup
menghebohkan di Bantaeng pada tanggal 22 September 2007. Meskipun jumlah kasus
perkelahian antar kelompok pada tahun 2007 lebih rendah dibanding perkelahian antar
kelompok pada tahun 2004, yang memprihatinkan dari perkelahian tahun 2007 adalah
banyaknya generasi muda dari kalangan mahasiswa yang terlibat, padahal faktor pemicunya
hanyalah masalah-masalah sepele yang seyogyanya tidak berkembang dalam skala besar.
Hal lain yang mungkin ikut berpengaruh antara lain adalah karakteristik masyarakat Sulawesi
Selatan yang “agak keras”, euforia reformasi dan kekurangtegasan aparat dalam
penanganan berbagai kasus tersebut. Selanjutnya, menyangkut kasus pengeroyokan,
pemerasan dan ancaman, penghancuran/perusakan barang, serta pembakaran, trennya juga
agak mengkuatirkan. Hal ini merupakan sinyal berkurangnya                         rasa saling percaya dan
keharmonisan hubungan antar kelompok masyarakat yang justeru merupakan salah satu
prioritas RPJMN 2004-2009.
10



       Pada wilayah-wilayah perkotaan di Sulawesi Selatan nilai-nilai materialisme telah
semakin menguat, berbarengan dengan cenderung memudarnya solidaritas sosial, nilai-nilai
kekeluargaan, dan keramahtamahan sosial. Identitas nasional kemudian terlemahkan oleh
cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, serta keterbatasan dalam mengadopsi
budaya global yang lebih relevan bagi upaya pembangunan karakter bangsa. Gambaran
cepatnya penyerapan budaya global yang negatif di Sulawesi Selatan, antara lain dapat
dilihat dari peningkatan jumlah kasus narkotika/psikotropika, CD porno, perzinahan,
perkosaan     dan   pencabulan     (Lihat     Tabel-3).   Tingginya     pertambahan   kasus
narkotika/psikotropika juga semakin mengkuatirkan. Pada tahun 2004 hanya 275 kasus dan
pada tahun 2009 sudah mencapai 409 kasus. Beberapa kalangan mengemukakan bahwa
peningkatan jumlah penyalahgunaan narkotika/psikotropika sekaligus berpotensi semakin
meningkatnya pula jumlah penderita HIV/AIDS. Data yang diperoleh melalui media terungkap
bahwa kasus penyalahgunaan narkotika/psikotropika nampaknya berkorelasi positif dengan
peningkatan penderita HIV/AIDS. Data pada Harian Fajar (Senin, 10 Nopember 2008)
mengungkapkan bahwa berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Makassar jumlah
penderita HIV/AIDS yang ditemukan dan terdeteksi khusus di Kota Makassar terhitung
Januari hingga April 2008 adalah 1.782 orang, padahal di penghujung 2007 baru 1.599
orang. Artinya hanya dalam waktu empat bulan, penderita penyakit mematikan ini bertambah
183 orang. Dari sumber yang sama juga dikemukakan bahwa untuk Sulawesi Selatan, jika
tahun 2007 hanya 1.844 orang, maka pada April 2008 sudah mencapai angka 2.059 orang
atau mengalami peningkatan 215 orang. Walaupun Pemerintah dan pemerhati HIV/AIDS
tidak tinggal diam (di Makassar sudah disiapkan tujuh lokasi Voluntary Counseling Testing
(VCT) untuk membantu pendeteksian virus HIV. Hanya saja, data dari Dinas Kesehatan Kota
Makassar ini akurasinya diragukan oleh sejumlah LSM, karena berdasarkan pemantauan
mereka, disinyalir yang belum ditemukan dan terdeteksi jumlahnya bisa mencapai angka 10
kali lipat dari pada yang terdeteksi. Dalam konteks ini, dari berbagai sumber termasuk dari
kepolisian, dikemukakan bahwa maraknya kasus HIV/AIDS di Sulawesi Selatan dan
Makassar tidak terlepas dari sindikat peredaran narkoba di wilayah ini. Data hasil tangkapan
Polwiltabel Makassar menunjukkan bahwa dari Januari hingga 9 Nopember 2008 kasus
narkoba yang tertangkap adalah 66 kasus dengan tersangka 82 orang.
       Demikian pula kasus perkosaan, dari 105 kasus pada tahun 2004, meningkat menjadi
142 kasus pada tahun 2007. Kecenderungan peningkatan                    kasus-kasus tersebut
menunjukkan    tanda   yang    semakin      mengkuatirkan.   Meskipun    kasus   CD   porno,
11



perzinahan/perbuatan cabul dan kasus miras sedikit menurun, penyerapan nilai-nilai budaya
global yang negatif, yang berimbas terhadap etika pergaulan sosial, merupakan peringatan
yang harus ditangani secara sungguh-sungguh oleh semua pihak. Bahkan beberapa aksi
erotis versi lokal yang populer dengan nama “candoleng-doleng” (pertunjukan musik elekton
pada acara pesta yang disertai tarian erotis) hingga saat ini masih menjadi agenda
mendesak pemerintah di beberapa kabupaten untuk menghentikannya. Demikian pula kasus
rekaman adegan porno/mesum yang melibatkan warga setempat                  sudah ditemukan di
beberapa daerah seperti di Kabupaten Bone, Soppeng dan Kota Pare-Pare. Fenomena ini
memberikan gambaran betapa cepatnya penyerapan nilai-nilai budaya global yang negatif,
yang berimbas terhadap etika pergaulan masyarakat.
       Pada sisi lain toleransi antar etnis dan antar umat beragama meskipun datanya
secara pasti tidak diperoleh oleh tim evaluasi, namun dilihat dari keterlibatan berbagai etnis di
Sulawesi Selatan (empat etnis besar yakni Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar), termasuk
etnis Tionghoa, dalam kesuksesan berbagai event keagamaan yang dilaksanakan di
Sulawesi Selatan, dapat dikatakan bahwa pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi
Selatan dari aspek toleransi dan kerukunan antar etnis dan umat beragama, walaupun masih
perlu lebih ditingkatkan, namun sudah berada pada jalur yang benar.
      Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai instansi terkait, secara umum agenda
mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai di Sulawesi Selatan pada periode 2004-2009
walaupun dapat dikatakan cukup berhasil, namun beberapa faktor seperti kenaikan harga
BBM, cukup panasnya suhu politik dalam proses dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah
baik pada level Provinisi maupun Kabupaten/Kota, memiliki pengaruh (timbal baik) yang
cukup besar terhadap upaya mewujudkan agenda tersebut. Selain itu, persaingan para calon
anggota legislatif [DPR, DPRD dan DPD), juga merupakan faktor yang mempengaruhi
kondisi aman dan damai.
     Selain itu, terdapat faktor lain yang berpengaruh yakni perubahan peran TNI dalam
pemeliharaan ketertiban dan keamanan, serta belum sempurnanya kesiapan Polri untuk
sepenuhnya berperan sebagai ujung tombak pemelihara keamanan dan ketertiban,
menyebabkan aktivitas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat belum mampu
dilaksanakan secara efektif. Demikian pula, apabila ditinjau dari jumlah dan kualitas personil
aparat keamanan dalam memelihara keamanan di sebagian besar wilayah yang belum
memadai ditengah keragaman masyarakat (etnis, budaya dan agama), serta perubahan spirit
12



zaman yang antara lain ditandai oleh semakin menguatnya tuntutan arus bawah, tuntutan
penegakan HAM, demokratisasi serta kemajuan teknologi dan informasi.
      3.    Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional

            Secara umum, kasus kejahatan transnasional belum signifikan terjadi di Sulawesi
Selatan. Pada kasus perdagangan manusia misalnya, meskipun pengiriman TKI cukup besar
jumlahnya di Sulawesi Selatan, tetapi dibaliknya kejahatan demikian tidak teridentifikasi.
Begitu pula dalam kasus narkoba, meskipun intensitasnya cukup tinggi, tetapi indikasi
keterlibatan jaringan transnasional belum signifikan.


3. Rekomendasi Kebijakan

(1)        Menyangkut menurunnya persentase penyelesaian jenis kejahatan tertentu yang
           menonjol, direkomendasikan agar pemerintah menunjukkan perhatian yang lebih serius
           terhadap peningkatan jumlah dan kualitas aparat kepolisian, serta sarana prasarana
           penunjang dalam pelaksanaan tugas mereka. Dalam konteks ini tentu saja ketegasan
           pimpinan dalam penegakan peraturan perundang-undangan tidak boleh lagi ditunda-
           tunda, termasuk dalam pemberian sangsi dan reward terhadap aparat kepolisian yang
           aktif sesuai capaian pelaksanaan tugas masing-masing.

(2)        Dalam upaya menumbuhkembangkan rasa saling percaya dan harmoni antarkelompok
           dan golongan masyarakat yang merupakan faktor penting untuk menciptakan rasa
           aman dan damai, dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik dan
           penyelesaian persoalan sosial kemasyarakatan, partisipasi masyarakat seyogyanya
           lebih ditingkatkan. Bahkan diharapkan rasa saling percaya tersebut juga terwujudkan
           antar seluruh pemangku kepentingan, antar lembaga pemerintah (dalam arti luas),
           serta antara pemerintah, swasta dan masyarakat sipil, termasuk pemantapan forum
           dialog lintas agama.

(3)        Lunturnya nilai-nilai budaya luhur dan menurunnya nilai-nilai moral serta krisis jati diri,
           identitas dan kepribadian daerah, seharusnya dapat menyadarkan para pihak akan
           pentingnya menjadikan sistem dan nilai budaya lokal sebagai identitas dan jatidiri
           masyarakat. Dalam konteks ini, keteladanan dari para pemimpin di Sulawesi Selatan,
           termasuk eksekutif dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, serta aparat hukum harus
           lebih ditingkatkan. Demikian pula perlunya meningkatkan frekuensi dialog antarbudaya
13



       yang lebih terbuka dan demokratis, peningkatan penegakan hukum, serta aktualisasi
       nilai moral dan agama dalam keseharian, utamanya dari para pemimpin.

(4)    Masalah penyalahgunaan narkotika/psikotropika dan penanggulangan HIV/AIDS di
       Sulawesi Selatan yang semakin meningkat dan mengkuatirkan, membutuhkan
       kesungguhan serta dukungan multipihak, oleh sebab itu semua pihak utamanya
       pemerintah harus mengambil langkah nyata dan progressif, tanpa pandang bulu
       menindaki secara tegas siapapun yang terlibat. Tentu saja dalam penanganannya tidak
       semata mengharapkan dari pemerintah, tetapi harus dilakukan secara bersama seluruh
       pemangku kepentingan, tanpa dukungan tersebut apa yang dilakukan oleh pemerintah
       sulit mencapai hasil yang optimal.

(5)    Hal lain yang juga penting dicermati adalah bagaimana meminimalisir terjadinya
       perkelahian (baca: tawuran) antar mahasiswa di Sulawesi Selatan, khususnya di Kota
       Makassar, termasuk demonstrasi yang banyak berujung pada aksi anarkis. Pentingnya
       perhatian khusus dan betul-betul serius terhadap masalah ini agar pandangan negatif
       (suka tawuran dan anarkis) yang dilekatkan terhadap warga dan mahasiswa yang
       cenderung merugikan masyarakat di kota Makassar bisa terkikis habis. Dalam konteks
       ini diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh semua pemangku kepentingan,
       utamanya pemerintah, aparat hukum, kalangan kampus, pers dan tokoh masyarakat
       untuk duduk bersama dengan pikiran yang jernih membicarakan langkah-langkah
       pencegahan, serta ketegasan dalam penindakan mereka yang tertangkap tangan dan
       terbukti bersalah. Dalam konteks ini diharapkan media massa (baik tulis maupun
       elektronik) dengan segenap jajaran wartawannya berperan secara aktif ikut mencegah
       terjadinya tawuran, paling tidak memberi informasi kepada aparat keamanan dan tidak
       justeru    memberitakannya    berulang-ulang     dan    menjadikannya   sebagai   berita
       sensasional. Pemerintah sendiri diharapkan dapat memainkan perannya sebagai
       fasilitator dan atau mediator yang kredibel dan adil.

B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS

1.    Indikator

        Pencapaian pembangunan menyangkut Agenda Indonesia yang Adil dan Demokratis
mencakup dua kelompok indikator yakni kebijakan publik dan demokrasi. Pencapaian bidang
kebijakan publik diukur dengan indikator persentase kasus korupsi yang tertangani
dibandingkan dengan yang dilaporkan, persentase Kabupaten/Kota yang memiliki Perda
14



     Pelayanan Satu Atap, dan Persentase instansi/SKPD Provinsi (dalam laporan ini data yang
     bisa diperoleh adalah pemerintah Kabupaten dan pemerintah Provinsi) yang memiliki
     pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian. Sedangkan pencapaian bidang demokrasi diukur
     dengan indikator Gender-related Development Index (GDI) dan Gender Empowerment
     Measure (GEM). Nilai pencapaian dari setiap indikator tersebut ditampilkan pada Tabel-4.

            Tabel-4: Nilai Pencapaian Indikator Agenda Pembangunan Indonesia Yang Adil dan
                     Demokratis pada RPJMN 2004-2009.



                                             Nilai Indikator
                                                                                                      Sumber Data
No     Indikator
                                             2004       2005       2006    2007    2008    2009
                                                                                                   Kejaksaan      Tinggi
                                                                                                   Sulselbar, 2010 dan
                                                                                                   dan Polda Sulselbar,
       Persentase kasus korupsi yang          Data       Data                                      2010; Data 2004 dan
1.     tertangani dibandingkan dengan yang   tdk ter-   tdk ter-   67,65   87,18   74,60   75,00   2005    hanya   yang
       dilaporkan                             sedia      sedia                                     bersumber dari Polda,
                                                                                                   data 2006-2009 dari
                                                                                                   Polda dan Kejaksaan
                                                                                                   Tinggi.
       Persentase Kabupaten/Kota yang
2.                                            8,70      13,04      17,39   21,74   52,17   52,17   Pemprov       Sulawesi
       memiliki Perda Pelayanan Satu Atap
                                                                                                   Selatan, 2010
       Persentase   entitas  (Pemerintah
       Provinsi dan Kabupaten/Kota) yang                                                           BPK Sulawesi Sela-tan,
3.                                              -         15        0       0        0       -
       memiliki pelaporan Wajar Tanpa                                                              2005-2010.
       Pengecualian
                                                                                                   Pembangunan Manu-
                                                                                                   sia Berbasis Gender
                                                                                                   2005-2006,    BPS-Ke-
                                                                                                   menteri-an PP dan PA;
                                                                                                   Pembangunan
4.     Gender Development Index               56,90     57,40      59,00   60,40   61,04   62,07
                                                                                                   Berbasis       Gen-der
                                                                                                   2006-2008,    BPS-Ke-
                                                                                                   menterian PP dan PA;
                                                                                                   Tahun     2009    data
                                                                                                   proyeksi.
                                                                                                   Pembangunan Manu-
                                                                                                   sia Berbasis Gender
                                                                                                   2005-2006,    BPS-Ke-
                                                                                                   menteri-an PP dan PA;
                                                                                                   Pembangunan
5.     Gender Empowermen Index                49,20     50,00      51,80   52,60   52,90   53,82
                                                                                                   Berbasis Gender 2006-
                                                                                                   2008,         BPS-Ke-
                                                                                                   menterian PP dan PA;
                                                                                                   Tahun     2009    data
                                                                                                   proyeksi.
15




2. Analisis Pencapaian Indikator

       (1) Pelayanan Publik

       1. Penyelesaian Kasus Korupsi

       Definisi yang digunakan dari konsep kasus korupsi yang “tertangani” dalam EKPD di
Sulawesi Selatan adalah kasus korupsi yang buktinya sudah dianggap cukup oleh kejaksaan
dan sedang diproses ditambah dengan kasus korupsi yang diterima pelimpahannya oleh
kejaksaan dari kepolisian. Dengan kata lain konsep tertangani disini adalah kasus korupsi
yang telah masuk ke tahap penuntutan, sedangkan definisi yang digunakan dari konsep
kasus korupsi yang “dilaporkan” adalah seluruh kasus korupsi yang laporannya diterima
secara langsung oleh Kejaksaan dari masyarakat atau sumber lain ditambah kasus korupsi
yang pelimpahannya diterima oleh Kejaksaan dari Kepolisian. Data yang dianalisis pada
EKPD 2010 mencakup tahun 2006 hingga 2009, sementara data tahun 2004-2005 tidak
dapat ditampilkan secara valid.
       Berdasarkan pengertian tersebut, gambaran persentase kasus korupsi yang ditangani
dibandingkan dengan yang dilaporkan dapat dilihat pada Grafik-3. Pada Grafik-3 ditunjukkan
perkembangan kinerja penyelesaian kasus korupsi secara total yang ditangani Kejaksaan
Tinggi (Tingkat Provinsi) dan yang ditangani Kejaksaan Negeri (Tingkat Kabupaten dan
Kota). Selain itu juga ditunjukkan perkembangan penyelesaian kasus korupsi pada masing-
masing Tingkat Kejaksaan Tinggi dan Tingkat Kejaksaan Negeri.
       Pada Grafik-3 terlihat bahwa fenomena menonjol terjadi pada tahun 2007, ketika
persentase kasus korupsi yang tertangani meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya,
dan tahun 2008 ketika persentase kasus korupsi yang tertangani tersebut menurun secara
signifikan pula. Ada beberapa faktor dapat dijelaskan terkait fenomena tersebut.
       Pertama, bahwa tingginya kinerja penyelesaian kasus korupsi pada tahun itu
dikontribusi dominan oleh Kejaksaan Negeri (Kabupaten/Kota), yakni sebanyak 37 kasus
terlaporkan dan yang ditangani sebanyak 33 kasus (89,10%); sementara Kejaksaan Tinggi
pada tahun itu hanya menerima laporan dua kasus dan yang tertangani satu kasus (50%). Ini
berbeda signifikan dengan kinerja tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2006 kinerja lebih
tinggi dikontribusi oleh Kejaksaan Tinggi yakni terlaporkan delapan kasus dan ditangani tujuh
diantaranya (87,5%), sementara Kejaksaan Negeri hanya menerima 27 laporan dan
tertangani 16. Salah satu faktor yang mempengaruhi fenomena ini adalah semakin besarnya
perhatian masyarakat di Kabupaten dan Kota dalam melaporkan kasus-kasus              korupsi
16




       Grafik-3: Persentase Kasus Korupsi yang Tertangani dibanding yang Terlaporkan di
                 Kejaksaan Negeri dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan

dengan kelengkapan data dan informasi yang memungkinkan pihak kejaksaan melakukan
tindak lanjut, selain itu kasus yang dilimpahkan polisi ke kejaksaan juga meningkat. Peranan
media massa juga besar dalam peningkatan ini, selain Surat Kabar yang terbit di Makassar,
pada beberapa daerah juga telah terbit koran lokal yakni di Kota Pare-pare dengan sumber
berita pada Kota Pare-pare dan Kabupaten sekitarnya, di Kota Palopo dengan sumber berita
pada Kota Palopo dan Kabupaten sekitarnya. Peranan LSM, baik LSM yang berkiprah di
Kota Makassar maupun LSM yang berkiprah di Kabupaten, juga signifikan. LSM di
Kabupaten Bulukumba sangat gencar mempersoalkan dugaan penyelewengan dan
bekerjasama dengan media massa memberitakannya, begitu pula LSM di Kota Pare-pare,
Kota Palopo dan Kabupaten Bone.
       Kedua, pada tahun 2008, persentase antara yang ditangani dengan yang dilaporkan
terlihat adanya penurunan dibanding tahun 2007, tetapi secara kuantitatif sebenarnya terjadi
peningkatan signifikan. Pada tingkat Kejaksaan Tinggi, tahun itu terlaporkan 21 kasus dan
yang tertangani 13 kasus (Lihat Tabel-5). Sementara itu, pada tingkat Kejaksaan Negeri,
terlaporkan 42 kasus dan tertangani 34 kasus. Bahkan pada tahun berikutnya, secara
kuantitatif kinerja ini lebih meningkat lagi, meskipun secara persentase agak stagnan. Pada
17



tahun 2009, pada tingkat Kejaksaan Tinggi (Provinsi), terlaporkan 31 kasus dan tertangani 19
kasus; pada tingkat Kejaksaan Negeri terlaporkan 41 kasus dan tertangani 35 diantaranya.
Artinya, yang terlihat sebagai penurunan persentase penanganan kasus harus dipahami
bahwa dibaliknya terjadi peningkatan kuantitas dari kasus yang terlaporkan, dan sebenarnya
terjadi pula peningkatan kuantitas atas kasus yang tertangani. Keterbatasan jumlah aparat
kejaksaan dan kompleksitas dari kasus yang terlaporkan menjadikan persentase yang
tertangani terlihat sedikit menurun. Secara umum dapat dikatakan bahwa kinerja
penanganan kasus korupsi di Sulawesi Selatan, baik pada tingkat Kejaksaan Tinggi maupun
tingkat Kejaksaan Negeri, telah meningkat signifikan selama periode 2005-2009.

            Tabel-5: Persentase Jumlah Kasus Korupsi yang Tertangani (Tahap Penuntutan)
                     Dibandingkan Dengan yang Dilaporkan Tahun 2004-2009



      Wilayah          2004          2005      2006        2007        2008         2009
 Kab/Kota se-SulSel
     Dilaporkan
     Tertangani       Data tdk     Data tdk    26           37          42           41
         %            tersedia     tersedia    16           33          34           35
                                              61,54        89,19       80,95        85,37
   Kejati SulSel
    Dilaporkan                                  8            2          21           31
    Tertangani        Data tdk     Data tdk     7            1          13           19
         %            tersedia     tersedia   87,50        50,00       61,90        61,29
  Total Dilaporkan
    Tertangani        Data tdk     Data tdk   34         39             63           72
         %            tersedia     tersedia   23         34             47           54
                                            67,65       87,18          74,60        75,00
       Sumber: Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, 2010.
         Untuk pengembangan analisis lebih jauh, pada Grafik-4 ditunjukkan kinerja
penanganan kasus korupsi oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat, dan
ditampilkan bersama kinerja Kejaksaan (Kejaksaan Tinggi ditambah Kejaksaan Negeri)
Sulawesi Selatan. Terlihat bahwa kinerja Kepolisian tinggi pada tahun 2008, dimana saat itu
kinerja Kejaksaan sedikit menurun; sementara pada tahun 2007 ketika kinerja Kejaksaan
tinggi, kinerja kepolisian justeru menurun dibanding tahun sebelumnya. Jumlah kasus yang
terlaporkan di kepolisian pada tahun 2008 sebanyak 28 dan 26 diantaranya tertangani
(92,86%). Pada tahun 2007, terlaporkan 29 kasus dan yang tertangani 19 kasus. Pencapaian
ini agak menurun pada tahun 2009, dimana kasus terlaporkan di kepolisian hanya 17 dan
tertangani 11 kasus diantaranya.
18




       Grafik-4: Persentase kasus korupsi tertangani dan terlaporkan pada Kepolisian
                 Dibandingkan dengan Kejaksaan di Sulawesi Selatan, 2006-2009.

       (2) Pelayanan Satu Atap

       Salah satu indikator pelayanan publik adalah persentase kabupaten/kota yang
memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap. Namun demikian, karena indikator yang
digunakan adalah peraturan daerah, maka meskipun terdapat beberapa kabupaten yang
telah melaksanakan pelayanan satu atap tetapi payung hukum yang digunakan baru sebatas
SK Bupati, maka dalam evaluasi ini tidak dimasukkan sebagai kabupaten/kota yang telah
memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap.
       Upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik adalah
dengan perwujudan pelayanan satu atap yang kemudian dikembangkan menjadi pelayanan
satu pintu. Sepintas kedua konsep ini sama, namun apabila dicermati ternyata dalam
implementasinya berbeda. Dalam implementasi konsep pelayanan satu atap, kecenderungan
yang terlihat adalah sejumlah unit kerja ditempatkan dalam satu atap di lokasi tertentu, tetapi
dalam memberikan pelayanan setiap unit kerja tersebut bekerja sendiri-sendiri atau
menerbitkan izin sendiri. Sedangkan dalam konsep pelayanan satu pintu, keterpaduan
pemberian pelayanan lebih ditonjolkan, jadi berbagai jenis perizinan yang diurus oleh
masyarakat, pintu masuk dan keluarnya sama dan dikerjakan oleh aparat yang ditempatkan
pada kantor pelayanan (perizinan) terpadu tersebut.
       Pada Grafik-5 terlihat bahwa peningkatan jumlah kabupaten/kota yang telah memiliki
peraturan daerah pelayanan satu atap/pintu sangat menonjol pada tahun 2008. Ini juga
19



banyak dipengaruhi oleh terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.41 tahun
2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dimana sejumlah daerah memberikan respons
yang positif dan melakukan penyesuaian-penyesuaian berdasarkan PP tersebut.
      Pada Grafik-5 terlihat bahwa pada tahun 2008 persentase Kabupaten/Kota yang
memiliki Perda Perizinan Satu Atap meningkat sebanyak 30,47% dari tahun 2007, dimana
saat itu sebanyak 12 (52,17%) Kabupaten/Kota telah memiliki Perda Perizinan Satu Atap.
Peningkatan pada tahun 2007 tersebut erat kaitannya dengan kesadaran yang makin tinggi




          Grafik-5: Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki Perda Satu Atap
                   Di Sulawesi Selatan.


pada pemerintah daerah tentang pentingnya investasi sehingga pelayanan satu atap
dilengkapi dengan standar prosedur pelayanan yang jelas menjadi upaya untuk mendorong
daya saing daerah bagi investasi. Khusus untuk pelayanan umum bagi masyarakat,
pemerintah daerah juga makin menyadari pentingnya pelayanan prima kepada masyarakat,
sehingga ketepatan waktu, keramahan layanan dan biaya murah dianggap penting untuk
diberikan dan wadah yang tepat adalah Kantor Pelayanan Satu Atap yang memiliki kekuatan
hukum dalam bentuk Perda. Ini yang menjadikan peningkatan Perda Pelayanan Satu Atap
dari hanya dua Kabupaten/Kota pada tahun 2004, menjadi tiga pada tahun 2005, empat
pada tahun 2006 dan lima pada tahun 2007 lalu meningkatan drastis menjadi 12 tahun 2008
dan bertahan hingga 2009.
20



       Peranan bantuan teknis yang diberikan sejumlah lembaga internasional juga cukup
besar dalam pelayanan satu atap yang dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota. Di Kota Pare-
pare misalnya, inisiatif menyelenggarakan pelayanan satu atap dan upaya peningkatan
kualitasnya secara berkelanjutan, amat dikontribusi oleh bantuan teknis dan pendampingan
sebuah lembaga internasional dan bersamaan dengan itu unit pelayanan ini dipimpin oleh
seorang pejabat yang memiliki visi jelas tentang pelayanan dan kapasitas SDM yang terus
ditingkatkan. Pencapaian Kota Pare-pare dalam pelayanan satu atap, dengan jumlah urusan
yang tertangani yang terus meningkat, telah menjadi inspirasi sejumlah daerah lainnya untuk
mengakselerasi pelayanan satu atap.

       (3) Pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian

      Berhubung data tentang opini laporan keuangan berdasarkan SKPD Provinsi tidak
tersedia, maka pada bagian ini evaluasi dilakukan terhadap data opini laporan keuangan unit
daerah yang menjadi sasaran evaluasi BPK-Sulawesi Selatan yakni Provinsi Sulawesi
Selatan sebagai satu unit dan masing-masing Kabupaten/Kota sebagai satu unit pula.
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang diperiksa oleh BPK Sulawesi Selatan
selama 2004-2009 jumlahnya bervariasi tiap tahun, karena itu perhitungan persentase LPKD
dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian dihitung berdasarkan jumlah unit LKPD yang
diperiksa BPK-Sulawesi Selatan pada tahun tersebut. Data yang bisa dianalisis mencakup
LKPD 2005-2008, hasil pemeriksaan 2004 dan 2009 tidak dapat ditampilkan datanya dalam
evaluasi ini. Gambaran tentang persentase LKPD yang mendapatkan opini Wajar Tanpa
Pengecualian, Wajar Dengan Pengecualian dan Disclaimer dapat dilihat pada Grafik-6.
       Pada Grafik-6 terlihat bahwa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hanya tercapai
pada tahun 2005 oleh tiga dari 20 (15%) pemerintah Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa
pada tahun tersebut, setelah itu tidak ada lagi LKPD yang mendapatkan opini WTP hingga
2008.Opini yang terbanyak dicapai adalah Wajar dengan Pengecualian, paling banyak pada
tahun 2007 yakni 11 dari 14 Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa (87,5%) dan pada tahun
2008 yakni 100% dari sembilan Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa. Opini disclaimer
juga ditemukan, paling banyak pada tahun 2008 yakni empat diantara 13 (30,77%)
Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa tahun tersebut.
21




       Grafik-6: Persentase Hasil Pemeriksaan BPK dan Tingkatan Opini


       Pada Grafik-6 terlihat bahwa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hanya tercapai
pada tahun 2005 oleh tiga dari 20 (15%) pemerintah Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa
pada tahun tersebut. Setelah itu tidak ada lagi LKPD yang mendapatkan opini WTP hingga
2008.Opini yang terbanyak dicapai adalah Wajar dengan Pengecualian, paling banyak pada
tahun 2007 yakni 11 dari 14 Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa (87,5%) dan pada tahun
2008 yakni 100% dari sembilan Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa. Opini disclaimer
juga ditemukan, paling banyak pada tahun 2008 yakni empat diantara 13 (30,77%)
Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa tahun tersebut.
       Rendahnya persentase LKPD yang mendapatkan penilaian WTP terkait dengan
sejumlah faktor tetapi yang utama adalah soal SDM. SDM pemerintah daerah yang terkait
dengan perencanaan program/kegiatan, perencanaan keuangan, pelaksanaan kegiatan
hingga pelaporan keuangan; kompetensi dan kapasitasnya belum sepenuhnya sesuai
dengan kebutuhan pengetahuan, perilaku dan keterampilan yang dibutuhkan dalam
terciptanya   konsistensi   antara   perencanaan   program/kegiatan   dengan   perencanaan
keuangan; pencapaian efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program/kegiatan; pengelolaan
administrasi program/kegiatan yang sinergis dengan administrasi keuangan; ketepatan serta
ketajaman analisis laporan keuangan; dan kordinasi pelaporan diantara berbagai pelaksana
kegiatan dalam berbagai SKPD pada tiap daerah. Keterbatasan kapasitas dan kemampuan
SDM ini erat kaitannya dengan pelatihan dan pengembangan serta proses learning-
22



organization yang belum optimal berlangsung dalam konteks dan substansi pelaporan
keuangan pada berbagai unit pemerintahan daerah. Selain itu, kesesuaian latar pengetahuan
ilmiah atas pegawai yang terkait dengan siklus perencanaan program kegiatan, perencanaan
keuangan, evaluasi program/kegiatan, serta pelaporan keuangan ikut berkontribusi
mengingat mekanisme perekrutan dan siklus mutasi yang pada beberapa kasus belum
sepenuhnya mempertimbangkan ketajaman kapasitas dan kompetensi tertentu termasuk
analisis dan pelaporan keuangan. Fenomena terkait keterbatasan jumlah dan kualitas SDM
ini mewarnai rendahnya penilaian WTP pada LKPD di Sulawesi Selatan selama 2005-2008.

       (2) Demokrasi

       1.    Gender-related Development Indeks

      Gender-related Development Indeks (GDI) sebagai indikator yang menunjukkan
kesetaraan dalam relasi gender pada berbagai aspek kehidupan, menunjukkan bahwa
pencapaian Sulawesi Selatan terus mengalami peningkatan pada periode 2004-2009.
Peningkatan tertinggi dicapai pada tahun 2006 (1,6 poin) dan 2007 (1,4 poin), sementara
pada tahun 2005 peningkatan hanya 0,5 poin, tahun 2008 sebesar 1,00 poin dan tahun 2009
sebesar 1,03 poin (Lihat Grafik-7). Periode ini juga ditandai dengan angka GID yang berhasil
menembus level nilai 60 sejak tahun 2007, berbeda dengan nilai GEM Sulawesi Selatan
yang pada 2004-2009 nilainya tertahan dibawah level 60 (Lihat Uraian tentang GEM). Dari
segi peringkat, pada tahun 2004 GDI Sulawesi Selatan berada pada peringkat 24, tahun
2005 peringkat 25, tahun 2006 peringkat 26, tahun 2007 dan 2008 peringkat 29, dan tahun
2009 kemungkinan bertahan pada peringkat 29. Dari segi peringkat nasional, pencapaian
GDI Sulawesi Selatan lebih rendah dari pencapaian GEMnya, meskipun dari segi nilai
pencapaian GDI lebih tinggi dari pencapaian GEM.
      Pada periode 2004-2009, pencapaian tahun 2006-2009 menunjukkan fenomena
krusial, selain karena pada tahun itu tercapai peningkatan GDI tertinggi, juga pada tahun itu
nilai GDI menembus dan bertahan diatas nilai 60. Ada beberapa faktor terkait hal tersebut.
Pertama, secara sosial-budaya, pola pikir dan acuan nilai masyarakat Sulawesi Selatan
tentang relasi perempuan dan laki-laki memang telah semakin bergeser dari orientasi
patriarkat kearah yang semakin membuka ruang bagi keterlibatan perempuan pada berbagai
aktivitas di sektor publik. Ini ditandai dengan terbukanya peluang yang sama antara
perempuan dan laki-laki dalam mengakses pendidikan, yang dalam dekade terakhir porsi
murid perempuan relatif berimbang dengan murid laki-laki pada tingkat SD, SLTP hingga
23




         Grafik-7: Gender-related Development Index Provinsi Sulawesi Selatan 2004-2009

SLTA. Bahkan pada Perguruan Tinggi, terdapat kecenderungan mahasiswi lebih besar
porsinya dari mahasiswa. Ini seiring pula dengan tidak adanya lagi nilai dan norma yang
mengikat secara ketat untuk menempatkan perempuan hanya beraktivitas di sektor
domestik-dalam rumah tangga sementara hanya laki-laki yang memasuki sektor publik-luar
rumah tangga. Perubahan konstruksi sosial-budaya ini merupakan        buah dari kemajuan
pendidikan, perkembangan interaksi sosial dan dinamika keterbukaan informasi yang
berlangsung secara gradual seiring proses pembangunan dan perkembangan.
          Kedua, peningkatan nilai GDI juga merupakan dampak dari implementasi kebijakan
pemerintah. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan setiap tahun mengimplementasikan
Program Peningkatan Peran Serta Perempuan dan Kesetaraan Gender dengan kegiatan
utama pembinaan organisasi perempuan untuk kesetaraan gender dan peningkatan
keterampilan dan manajemen usaha bagi perempuan; Program Peningkatan Peran
Perempuan di Perdesaan dalam bentuk pembinaan dan penilaian lomba P2WKSS, BKB dan
GSI; selain itu juga melakukan penguatan bagi Pemenuhaan Hak-Hak Perempuan dan Anak,
Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan serta Peningkatan Peran
Perempuan dalam Pengambilan Keputusan. Intervensi sejenis juga diperankan sejumlah
Donor, LSM dan Perguruan Tinggi dalam berbagai kegiatan yang manfaat dan dampaknya
diharapkan berkontribusi pada pemberdayaan perempuan dan kesataraan gender (LAKIP,
2009).
24



       Ketiga, sebagaimana terlihat pada Grafik-8,      peningkatan GDI Sulawesi Selatan
berjalan seiring dengan peningkatan IPM. Di sini tertunjukkan bahwa perbaikan kualitas
manusia dalam hal pengetahuan, kesehatan dan daya beli ternyata ada korelasinya dengan
semakin membaiknya kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan dalam proses interaksi
sosial, struktur kemasyarakatan dan pola-pola kekuasaan. Tentu saja ini dengan asumsi
bahwa pendidikan telah mengubah tata nilai dan norma masyarakat yang sebelumnya
patriarkat menjadi menerima prinsip kesetaraan perempuan dan laki-laki serta membuka
ruang bagi realisasi prinsip tersebut.

       2. Gender Empowerment Measure

      Pencapaian Gender Empowerment Measure (GEM) Provinsi Sulawesi Selatan selama
2004-2009 menunjukkan kecenderungan terus meningkat dengan pertambahan angka GEM
yang tidak terlalu berbeda dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005, GEM Sulawesi Selatan
meningkat 0,8 poin dari tahun 2004, dari tahun 2005 ke tahun 2006 meningkat 1,8 poin, dari
tahun 2006 ke tahun 2007 meningkat 0,8 poin, dari tahun 2007 ke tahun 2008 meningkat 0,3
poin dan dari tahun 2008 ke tahun 2009 meningkat 0,92 poin. Ini berarti bahwa peningkatan
terbesar tercapai pada tahun 2006 (1,8 poin) dan tahun 2009, sementara peningkatan
terendah pada tahun 2008 (0,3 poin) (Lihat Grafik-8). Dari segi peringkat nasional, peringkat
GEM Sulawesi Selatan cenderung menurun pada periode 2004-2009. Pada tahun 2005
peringkat GEM Sulawesi Selatan adalah 23, tahun 2006 dan 2007 turun ke posisi 25, tahun
2008 turun lagi ke posisi 26, dan tahun 2009 kemungkinan tetap pada peringkat 26. Artinya,
meskipun nilai GEM Sulawesi Selatan meningkat terus pada periode 2004-2009, tetapi
peningkatan nilai GEM Provinsi lain lebih tinggi, sehingga peringkat GEM Sulawesi Selatan
cenderung turun.
       Sebagaimana diketahui, GEM ditentukan oleh tiga indikator utama yakni (1)
persentase perempuan di parlemen, (2) persentase perempuan yang bekerja sebagai
administrator dibanding perempuan yang bekerja sebagai manajer, (3) persentase
perempuan yang bekerja sebagai profesional dibanding yang bekerja sebagai pekerja teknis.
Mengacu pada tiga indikator ini, beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan GEM
Sulawesi Selatan dapat diuraikan sebagai berikut.
       Faktor paling pokok dibalik peningkatan GEM pada 2006 dan 2009 dapat dilihat pada
persentase perempuan di DPRD Sulawesi Selatan. Indikator ini sangat penting, karena
DPRD adalah tempat dimana kebijakan/regulasi disusun, karena itu upaya mendorong
25



keberdayaan gender amat strategis pada lembaga ini. Pada tahun 2006, persentase
perempuan di DPRD Provinsi mencapai 8% (enam orang dari total 75 anggota) sebagai hasil




        Grafik-8: Pencapaian GEM Provinsi Sulawesi Selatan, 2004-2009

pemilu 2004, suatu peningkatan dari periode sebelumnya yang hanya dua orang dari total 50
anggota (4%). Pada tahun 2009, persentase perempuan di DPRD Sulawesi Selatan
meningkat menjadi 16% (12 orang dari total 75 anggota). Dengan demikian, peningkatan
GEM di Sulawesi Selatan sebagian besar dikontribusi oleh hasil pilihan rakyat atas legislator
perempuan yang porsinya makin besar. Namun demikian, kuota 30% perempuan di DRPD
tampaknya masih jauh.
       Selain itu, organisasi birokrasi maupun dunia usaha juga semakin terbuka untuk
memberi ruang kepada perempuan dalam mengakses posisi tinggi. Pada tahun 2009,
pejabat perempuan untuk eselon II-a (Kepala Dinas dan Kepala Badan) pada Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 6,2% (dua diantara 32 orang), eselon II-b (Kepala Kantor
dan Kepala Biro) sebesar 3,4% (satu dari 29 orang), eselon III-a (Kasubdin/Kabid/Kabag)
sebesar 18% (47 dari 225 orang), eselon III-b (Kabag pada Kantor) sebesar 32% (delapan
dari 25 orang), eselon IV-a sebesar 34% (87 dari 294 orang) dan eselon IV-b sebesar 96%
(49 dari 51 orang).
       Dengan demikian, pemilu yang semakin banyak menghasilkan anggota legislatif
perempuan, serta peningkatan kemampuan perempuan untuk bisa menempati level atas
pada organisasi dimana ia bekerja, merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi
perbaikan nilai GEM Sulawesi Selatan.
26



        Berbagai program pembangunan terkait upaya pemberdayaan gender juga telah
berjalan signifikan di Sulawesi Selatan, baik yang dijalankan oleh Pemerintah, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten; maupun yang dijalankan oleh Lembaga Donor,
Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Kemasyarakatan dan Perguruan Tinggi. Pada
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten selama 2004-2009 telah
difokuskan upaya-upaya untuk memperkuat organisasi dan kelembagaan perempuan dalam
bentuk peningkatan kemampuan SDM dan pemberian bantuan teknis dan manajerial seiring
dengan    upaya-upaya untuk mengarusutamakan berbagai aspek terkait gender dalam
perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan. Pendampingan dan advokasi untuk
mendorong kebijakan yang pro-gender juga telah didorong oleh sejumlah donor, LSM dan
perguruan tinggi selama periode tersebut.
        Faktor terakhir yang patut diperhatikan adalah kaitan GEM dengan IPM.
Bagaimanapun, secara teroretis-filosofis, GEM adalah bagian dari upaya meningkatkan
kualitas manusia, dalam arti bagaimana manusia semakin terbuka pilihan-pilihan dalam
kehidupannya (choices) dan semakin mampu menyuarakan pilihan-pilihannya (voioces).
Pada Grafik-9 terlihat bahwa peningkatan GEM di Sulawesi Selatan cenderung seiring
dengan peningkatan IPM. Ketika nilai GEM mengalami peningkatan yang tinggi pada tahun
2006, saat itu IPM juga mengalami peningkatan yang tinggi, sementara terpeliharanya
peningkatan GEM dari 2006 hingga 2009 juga terkait dengan peningkatan IPM tertinggi pada
tahun 2007 yang terpelihara hingga 2009. Artinya, upaya pemberdayaan atau pencapaian
kesetaraan gender pada organisasi/kelembagaan pemerintah maupun non pemerintah
memiliki korelasi dengan tingkat pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat secara
umum.
      Pada akhirnya harus tersadari bahwa meskipun berbagai faktor yang telah diuraikan ini
telah mempengaruhi atau berkorelasi dengan peningkatan nilai GEM Sulawesi Selatan pada
2004-2009, dilihat dari posisi relatif peningkatan tersebut dibanding peningkatan yang dicapai
Provinsi lain akselerasi peningkatan Sulawesi Selatan masih lebih rendah, sehingga
peringkat GEM nasional cenderung menurun. Faktor-faktor yang telah mendorong
peningkatan GEM selama ini perlu lebih signifikan lagi pengaruhnya atau diperlukan
bekerjanya faktor pendorong lain yang bisa lebih mendorong akselerasi.
27



3. Rekomendasi Kebijakan

(1)   Agar persentase kasus korupsi yang tertangani dibanding yang terlaporkan dapat lebih
      besar, diperlukan peningkatan kapasitas pada lembaga kejaksaan terkait kecukupan
      staf yang melayani kebutuhan data dan administratif seorang jaksa, kecukupan jumlah
      jaksa dalam menangani kasus terlaporkan yang semakin besar jumlahnya, kecukupan
      biaya    operasional   penanganan kasus, dan kecukupan          sarana/fasilitas    dalam
      penanganan perkara. Dalam perspektif jangka panjang, masalah korupsi idealnya
      didekati dengan upaya-upaya pencegahan terkait perbaikan sistem pelaporan dan
      pengawasan, serta perbaikan remunerasi.
(2)   Agar penyelenggaraan pembangunan berjalan lebih memenuhi norma transparansi dan
      akuntabilitas,   sehingga   pelaporan    keuangan   SKPD   atau   pemerintah       daerah
      memperoleh penilaian wajar      tanpa pengecualian, upaya perbaikan dapat didorong
      dalam bentuk: (1) peningkatan kemampuan dan kapasitas aparat pemerintah daerah
      dalam formulasi rencana dan implementasi rencana yang memenuhi kriteria efektivitas
      dan efisiensi yang baik; (2) peningkatan kemampuan dan kapasitas aparat pemerintah
      daerah dalam pelaporan pelaksanaan kegiatan yang menunjukkan konsistensi antara
      perencanaan      (RPJPD,    RPJMD,      Renstra-SKPD,   RKPD,   Renja-SKPD)        dengan
      pelaksanaan kegiatan (APBD dan LAKIP); (3) dorongan keterbukaan data dan
      informasi pembangunan sehingga terbuka akses bagi masyarakat, LSM dan media
      dalam mengakses informasi pembangunan; (4) kordinasi intensif antar lembaga yang
      terlibat dalam pengawasan pembangunan.
3.    Pengarusutamaan gender dalam penyelenggaraan pembangunan perlu semakin
      didorong bukan hanya dalam perspektif untuk mewujudkan kesetaraan laki-laki dan
      perempuan dari segi jumlah/proporsi pada berbagai aspek dan tahapan pembangunan;
      tetapi lebih substantif dari itu adalah bagaimana menyeimbangkan sifat-sifat
      maskulinitas dan feminitas dalam pengelolaan pembangunan sehingga dengan itu
      humanisasi dan keberlanjutan pembangunan lebih substantif dihubungkan dengan
      perspektif gender.
C. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT

1. Indikator
        Indikator yang menjadi basis evaluasi agenda peningkatan kesejahteraan rakyat
adalah: (1) Indeks Pembangunan Manusia, (2) Pendidikan mencakup Angka Partisipasi
Murni (SD/MI), Angka Partisipasi Kasar (SD/MI), Rata-rata nilai akhir SMP/MTs., Rata-rata
28



     nilai akhir SMA/SMK/MA., Angka Putus Sekolah SD., Angka Putus Sekolah SMP/MTs.,
     Angka Putus Sekolah Sekolah Menengah., Angka melek aksara 15 tahun keatas.,
     Persentase jumlah guru yang layak mengajar SMP/MTs., Persentase jumlah guru yang layak
     mengajar Sekolah Menengah, (3) Kesehatan mencakup Umur Harapan Hidup (UHH), Angka
     Kematian Bayi (AKB), Prevalensi Gizi buruk (%), Prevalensi Gizi kurang (%), Persentase
     tenaga kesehatan per penduduk, Keluarga Berencana, Persentase penduduk ber-KB
     (contraceptive prevalence rate), Laju pertumbuhan penduduk, Total Fertility Rate (TFR), (4)
     Ekonomi Makro mencakup Laju pertumbuhan ekonomi, Persentase ekspor terhadap PDRB,
     Persentase output manufaktur terhadap PDRB, Pendapatan per kapita (dalam juta rupiah),
     Laju inflasi, (5) Investasi mencakup Nilai Rencana PMA yang disetujui, Nilai Realisasi
     Investasi PMA (US$ Juta), Nilai Rencana PMDN yang disetujui, Nilai Realisasi Investasi
     PMDN (Rp Milyar), Realisasi penyerapan tenaga kerja PMA, (6) Infrastruktur mencakup %
     panjang jalan nasional dalam kondisi baik, sedang, dan buruk, % panjang jalan provinsi
     dalam kondisi baik, sedang, dan buruk, (7) Pertanian mencakup Rata-rata nilai tukar petani
     per tahun, PDRB sektor pertanian, (8) Kehutanan mencakup Persentase luas lahan
     rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis, (9) Kelautan mencakup Jumlah tindak pidana
     perikanan dan Luas kawasan konservasi laut (juta Ha), 10. Kesejahteraan Sosial mencakup
     Persentase penduduk miskin dan Tingkat pengangguran terbuka.
            Pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan atas indikator-indikator tersebut
     dapat dilihat pada Tabel-6 berikut.
            Tabel-6: Pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan atas indikator-indikator
                      Meningkatkan Kesejahteraan Sosial.

                                                      Nilai Indikator                         Sumber Data
No    Indikator
                              2004     2005        2006     2007        2008      2009
      Indeks                                                                                   BPS, 2009; *Angka
                                                                                   70,82*)
1.    Pembangunan              67,80       68,06    68,81     69,62      70,22                     proyeksi
      Manusia
                                                                                              BPS, 2009; Ke-
      Angka     Partisipasi                                                                   mendiknas, 2010;
2.                             90,64       88,13    91,08     92,06      92,15     92,55*)    Disdiknas Sulsel,
      Murni SD/MI
                                                                                              2010;*Angka
                                                                                              proyeksi
                                                                                              BPS, 2009; Ke-
      Angka    Partisipasi                                                               *)   mendiknas, 2010;
3.                            103,28   101,43      107,70     108,56     109,25   110,83      Disdiknas Sulsel,
      Kasar SD/MI
                                                                                              2010;*Angka
                                                                                              Proyeksi
29



      Rata-rata Nilai Akhir                                                                    BPS, 2009; Ke-
4.    SMP/MTs                  4,83     5,95    5,95    5,95     6,44         7,21             mendiknas, 2010;
                                                                                               Disdiknas Sulsel,
                                                                                               2010
                                                                                               BPS, 2009; Ke-
      Rata-rata Nilai Akhir                                                                    mendiknas, 2010;
5.    SMA/SMK/MA               5,56     6,05    6,25    6,24     6,28         7,19             Disdiknas Sulsel,
                                                                                               2010


                                                                                               BPS, 2009; Ke-
      Angka Putus Seko-                                                                        mendiknas, 2010;
                                                                                     *)
6.    lah SD                   4,17     1,54    3,83    1,61     3,01         3,87             Disdiknas Sulsel,
                                                                                               2010;*Angka Pro-
                                                                                               yeksi
                                                                                               BPS, 2009; Ke-
      Angka Putus Seko-                                                                        mendiknas, 2010;
                                                                                      *)
7.    lah SMP/MTs             12,15     4,49    3,44    4,87    12,86        16,69             Disdiknas Sulsel,
                                                                                               2010;*Angka
                                                                                               Proyeksi
                                                                                               BPS, 2009; Ke-
      Angka Putus Seko-                                                                        mendiknas, 2010;
      lah Sekolah Mene-
8.                             4,41     3,63    3,13    4,35    24,64        53,84*)           Disdiknas Sulsel,
      ngah                                                                                     2010;*Angka
                                                                                               Proyeksi


                                                                                               BPS, 2009; Ke-
      Angka Melek Aksara                                                                       mendiknas, 2010;
9.                            84,50     84,60   85,70   86,24   85,58         94,47            Disdiknas Sulsel,
      15 tahun keatas
                                                                                               2010


      Persentase    jumlah                                                                     BPS, 2009; Ke-
      guru yang layak me-                                               *)            *)       mendiknas, 2010;
10.                           79,01     79,14   76,80   87,38   90,58        93,90             Disdiknas Sulsel,
      ngajar di SMP/MTs
                                                                                               2010

      Persentase   jumlah                                                                      BPS, 2009; Ke-
      guru yang layak me-                                                                      mendiknas, 2010;
                                                                        *)                *)
11.   ngajar di Sekolah       75,88     80,58   90,61   91,03   96,83        102,99            Disdiknas Sulsel,
      Menengah                                                                                 2010

                                                                                               BPS, 2005; Bap-
                                                                                               penas, 2007;Ris-
                                                                                               kesdas,     2007;
12.   Umur Harapan Hidup      68,70     68,70   69,20   69,40   70,40        70,98*)           Diskes     Sulsel,
                                                                                               2010;     *Angka
                                                                                               Proyeksi.
                                                                                               BPS, 2005; Bap-
      Angka        Kematian                                                                    penas, 2007;Ris-
                                                                                               kesdas,     2007;
13.   Bayi                    37,37*)   36,00   29,10   41,00   27,40        26,35*)           Diskes     Sulsel,
                                                                                               2010.*Angka Pro-
                                                                                               yeksi
      Prevalensi       Gizi                                                                    BPS, 2005; Bap-
                                                                                               penas, 2007;Ris-
14.   Buruk                    8,53     8,60    1,32    1,89     1,80         1,80             kesdas,     2007;
                                                                                               Diskes     Sulsel,
30


                                                                                                               2010.


                                                                                                               BPS, 2005; Bap-
                                                                                                               penas, 2007; Ris-
      Prevalensi          Gizi
15.                               19,62       18,35      13,37         14,74         14,50         14.50       kesdas,    2007;
      Kurang                                                                                                   Diskes    Sulsel,
                                                                                                               2010.
                                                                                                               BPS, 2005; Bap-
      Persentase tenaga                                                                                        penas, 2007; Ris-
16.   kesehatan                  0,0012      0,0015      0,0016       0,0011        0,0015        0,0016*      kesdas,    2007;
      perpenduduk                                                                                              Diskes    Sulsel,
                                                                                                               2010.
                                                                                                               BPS, 2004-2009;
      Persentase                                                                                               BPS, SDKI, 2007.
17.                               56,49       56,54       57,30        65,57         62,00         64,29
      penduduk berKB

      Laju   pertumbuhan                                                                                       BPS, 2004-2009;
18.   penduduk                     1,36        1,64        1,41         0,92          1,36          1,33       BPS, SDKI, 2007.

      Total Fertility Rate
19.                                                                     2,29                        2,30
      Laju  Pertumbuhan
20.   Ekonomi                      5,32        5,20        6,72         6,34          7,72           6,2       BPS Sulsel, 2010

      Persentase Ekspor
21.   terhadap PDRB               13,50       13,57       13,51        14,58         22,28         12,11       BPS Sulsel, 2008

      Persentase Output
      Manufaktur terhadap
22.                               13,44       13,78       13,54        13,22         12,99         12,53       BPS Sulsel, 2008
      PDRB

      Pendapatan perkapi-
      ta (Berdasarkan Har-                                                                                     BPS Sulsel. 2010
23.                              6.150.051   7.016.919   8.126.117    9.079.914    11.092.285    11.541.232
      ga Konstan dalam
      juta rupiah)

24.        Laju Inflasi            6,47        7,45        7,21         5,71         11,79          2,22       BPS Sulsel, 2010

      Nilai rencana PMA
                                             53,317,00                             611,550,000   109,172,533   BKPMD      Sulsel,
25.   yang disetujui (Juta                       0
                                                          22,803,    141,430,870
                                                                                                               2010
      US$)
      Nilai       Realisasi
26.   Investasi PMA (US$)           1,7        66,9        13,2         55,0          27,6          76,9       BKPMD      Sulsel,
                                                                                                               2010

      Nilai Rencana PMDN
27.                               912,40     996,617     923,027      3.945,147    1.213,999     4.461,424     BKPMD     Sulsel,
      yang disetujui (M)
                                                                                                               2010, BPS Sulsel,
                                                                                                               2010
      Nilai       Realisasi
      Investasi PMDN (M)                                                                                       BKPMD     Sulsel,
28.                               109,00      147,58      68,60         1,06        1.110,524     1.113,790
                                                                                                               2010; BPS Sulsel,
                                                                                                               2010
      Realisasi
      Penyerapan Tenaga
29.                                116         122         280         3.058         1.992          505        BPS Sulsel, 2010
      Kerja PMA
31



       Persentase panjang                                                            
       jalan nasional dalam                                                          
       kondisi:                                                                                          LAKIP Pemprov
30.                              57,92       72,21       71,60        11,25       64,94      46,91%
                                                                                                         Sulsel, 2010.
       Baik
       Sedang                    30,83       25,38       21,15        84,37       28,29       35,30
       Buruk                     11,24       2,41        7,25         4,38        6,77        17,79

       Persentase      jalan
       provinsi       dalam
       kondisi:
31.
       Baik                     54,00       37,76       20,19       42,61         56,24       56,50      LAKIP      Provinsi
       Sedang                   22,93       35,80       22,75       39,85         23,78       24,00      Sulsel, 2009.
       Buruk                    23,07       26,44       57,06       17,54         20,00       19,50

       Nilai Tukar Petani
32.    (rata-rata/tahun)         106,1        94,9        97,4        115,1       100,2      100,55      BPS Sulsel

       PDRB Sektor Per-
                                                                                                         BPS       Provinsi
       tanian (nilai M. dan                                          20.900,36   25.071,81   27.080,00
33.                             14.124,24   16.188.36   18.513.26
                                                                      (30,12)     (29,40)     (27,90)
                                                                                                         Sulsel,     2007-
       %)                        (31,90)     (31,26)     (30,40)                                         2009.

       Persentase        luas
       lahan     rehabilitasi                                                                            Dishut     Sullsel,
34.                              2,36         2,76       2,54         2,54         2,54        5,16      2006, 2010
       dalam hutan ter-
       hadap lahan kritis
       Jumlah tindak pidana
35.    perikanan                   9           10          11           2           20          10       Dinas Perikanan
                                                                                                         Sulsel, 2010
       Luas kawasan kon-                                                                                 Dinas Perikanan
36.                             580.765     580.765     580.765      580.765     762.022     762.022
                                                                                                         Sulsel, 2010
       servasi laut (Ha)

       Persentase       pen-
37.                              14,90       14,98       14,57        14,11       13,34       12,31      BPS, 2010.
       duduk miskin



       Tingkat penganggur-
38.                              15,93       18,64       12,76        11,25        9,04        8,74      BPS, 2010.
       an terbuka




      2. Analisis Pencapaian Indikator
              (1) Indeks Pembangunan Manusia
              Pencapaian IPM Sulawesi Selatan mengalami peningkatan berarti dalam periode
      2004-2009. Pada tahun 2009 IPM Provinsi ini sudah berada pada nilai diatas 70, artinya
      kategori menengah-atas, sementara pada tahun 2004 masih berada pada kategori
      menengah bawah yakni 67,8. Dari segi peringkat nasional, pada tahun 2004 Provinsi ini
32



berada pada peringkat 21 tetapi pada tahun 2005 dan 2006 turun menjadi peringkat 23, dan
pada tahun 2007-2008 pada peringkat 21 dan pada 2009 peringkat 20. Artinya, baik dari segi
nilai maupun dari peringkat Sulawesi Selatan mencapai peningkatan signifikan dalam tiga
tahun terakhir.
       Pada Grafik-9 terlihat bahwa peningkatan signifikan tercapai pada tahun 2007,
dimana IPM Sulawesi Selatan naik 0,81 poin dari tahun 2007, nilainya menembus angka 70
atau level IPM menengah-atas, peringkat nasional menduduki posisi 21 (Grafik-10). Setelah
itu, pada tahun 2008 IPM Sulawesi Selatan naik 0,6 poin, begitu pula pada tahun 2009 naik
0,6 poin, dan peringkat nasionalnya bertahan pada posisi 20.




             Grafik-9:    Perkembangan IPM dan Tingkat Kemiskinan di
                         Sulawesi Selatan, 2004-2009.

       Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada peningkatan di tahun 2007 dan berhasil
bertahan hingga tahun 2009. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi meskipun
berfluktuasi dalam lima tahun terakhir, sementara inflasi cukup terkendali, sehingga daya beli
masyarakat meningkat. Pertumbuhan ekonomi ini terutama didorong oleh perkembangan
infrastruktur dan fasilitas yakni berfungsinya jalan tol yang menghubungkan pelabuhan
dengan bandara, berfungsinya bandara baru Sultan Hasanuddin, berkembangnya pusat
belanja dan hiburan, serta pelebaran jalan antara Kota Makassar dan Pare-pare yang
keseluruhannya mendorong aktivitas perekonomian. Sementara itu, pada sektor pertanian
khususnya tanaman pangan, yang penyerapan tenaga kerjanya cukup besar, peningkatan
33



produksi dan produktivitas terus berjalan seiring dengan program Revitalisasi Pertanian
secara nasional dan Gerbang Emas (Gerakan Pengembangan Ekonomi Masyarakat) pada
periode 2004-2008, dilanjutkan dengan program pencapaian surplus beras dua juta ton dan
surplus jagung 1,5 juta ton. Pada produk unggulan lain, kakao yang produksinya menurun
hingga tahun 2008, setelah itu mengalami pembenahan dalam bentuk penanaman kembali
dan perlakuan sambung samping. Produk unggulan rumput laut yang menyerap tenaga kerja
cukup banyak pada hampir seluruh daerah pesisir di Sulawesi Selatan, juga cukup
berkembang dalam lima tahun terakhir. Keseluruhan unsur perekonomian rakyat ini telah
berkontribusi pada terpeliharanya daya beli sebagaian besar masyarakat Sulawesi Selatan.
       Fenomena ini juga seiring dengan persentase penduduk miskin yang terus menurun
dari tahun 2004 hingga 2009. Sebagaimana diperlihatkan pada Grafik-11, mulai tahun 2006-
2007 persentase penduduk miskin Sulawesi Selatan mengalami penurunan secara moderat,
dan pada tahun 2008-2009 menurun lebih signifikan. Penurunan jumlah penduduk miskin
menunjukkan perbaikan pada daya beli masyarakat, dimana daya beli adalah salah satu
indikator pokok IPM.
       Kedua, perbaikan pencapaian pada kondisi pendidikan. Pada periode 2007-2009,
angka melek huruf dan angka rata-rata lama sekolah penduduk Sulawesi Selatan cukup
meningkat. Selain merupakan dampak dari program wajib belajar sembilan tahun yang telah
berjalan sebelumnya, pencapaian ini juga dikontribusi oleh perhatian pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan bersama seluruh pemerintah Kabupaten pada pembangunan pendidikan,
dimana pada tahun 2008 hingga 2010 pendidikan gratis hingga SLTA menjadi prioritas
utama pemerintah. Selain itu, pemerintah Provinsi juga memberi beasiswa pendidikan S3 ke
luar negeri bagi pegawai negeri sipil dalam jumlah yang cukup besar, yang kalau mereka
sudah tamat menjadi faktor yang memperbesar angka rata-rata lama sekolah di Sulawesi
Selatan.
           Ketiga, dalam hal angka harapan hidup, kinerja pembangunan kesehatan Sulawesi
Selatan memang telah menunjukkan pencapaian cukup baik selama ini. Pada periode 2008-
2010, dengan dicanangkannya Program Kesehatan Gratis oleh Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan disertai pembangunan rumah sakit untuk pasien kelas III yang digratiskan,
sementara pelayanan Jamkesmas oleh pemerintah pusat juga semakin baik, maka
diekspektasi bahwa pencapaian indikator angka kematian bayi, angka kematian ibu
melahirkan, serta angka harapan hidup sendiri, mengalami peningkatan.
34



       Dihubungkan dengan visi RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan yang mencanangkan
Sulawesi Selatan sebagai Provinsi 10 Terbaik dalam Pelayanan Hak Dasar di Indonesia,
pencapaian IPM di peringkat 20 pada tahun 2009 masih memerlukan akselerasi tinggi untuk
bisa mendekati posisi 10 besar. Peningkatan memang telah dicapai signifikan, tetapi
akselerasinya belum cukup untuk memenuhi target. Waktu tiga tahun yang tersisa, yakni
2010-2013, merupakan kesempatan bagi Provinsi ini untuk mengejar pencapaian visinya.
       (2) Pendidikan.
       Terdapat sepuluh indikator yang akan dikemukakan dalam menganalisis kinerja
pendidikan di Sulawesi Selatan, yang di dalamnya tercakup pendidikan dasar dan
menengah. Secara umum dari kesepuluh indikator tersebut, tujuh di antaranya menunjukkan
kecenderungan membaik, yaitu Angka Partisipasi Murni Tingkat SD, Angka Partisipasi Kasar
Tingkat SD, rata-rata nilai akhir tingkat SMP, rata-rata nilai akhir tingkat sekolah menengah,
Angka Melek Huruf (%), persentase guru layak mengajar terhadap guru seluruhnya tingkat
SMP, dan persentase guru layak mengajar terhadap guru seluruhnya tingkat sekolah
menengah. Kecenderungan memburuk yang diperlihatkan oleh angka-angkanya yang
meningkat adalah Angka Putus Sekolah Tingkat SMP (%) dan Angka Putus Sekolah Tingkat
Sekolah Menengah (%). Sementara Angka Putus Sekolah Tingkat SD (%) menunjukkan
ketidakstabilan yang ditunjukkan oleh nilainya yang fluktuatif dari tahun ke tahun.
       1. Angka Partisipasi Murni (SD/MI)
       Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat SD/MI, pada tahun 2005 mengalami
penurunan yang cukup besar dari 90,64 pada tahun 2004 menjadi 88,13 (Grafik-12). Setahun
kemudian, angka tersebut bisa dinaikkan kembali melampaui angka tertinggi yang dicapai
setahun sebelumnya menjadi 91,08, sebelum naik secara perlahan rata-rata di bawah satu
digit sampai tahun 2009.
       Menurunnya APM tingkat SD/MI pada tahun 2005 tidak terlepas dari kenyataan
kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarga miskin untuk bisa menyekolahkan anaknya
(Grafik-13). Pada saat itu Sulawesi Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi rendah,
sementara laju inflasi mencapai tingkat tertingginya. Di Makassar misalnya, laju inflasi saat
itu mencapai 15,20, jauh melambung dari tahun sebelumnya yang sebesar 6,47. Keadaan ini
jelas mengurangi daya beli masyarakat sehingga banyak diantara mereka yang hanya
berada sedikit di atas garis kemiskinan kembali terjatuh miskin.
       Berdasarkan Grafik-10 tampaknya pendidikan anak-anak adalah salah satu aspek
yang terpaksa dikorbankan oleh kelompok keluarga miskin untuk bisa bertahan dalam
35



kesulitan ekonomi seperti itu. Meskipun pada saat itu mulai diperkenalkan kebijakan inklusif
di bidang pendidikan, seperti adanya dana BOS, tetapi sosialisasi dan pelaksanaannya
belum sepenuhnya efektif dan menyentuh secara tepat semua kelompok miskin yang sangat
berkepentingan.



                   Angka Partisipasi Murni Tingkat SD/MI dan Persentase
                                     Penduduk Miskin


        90,00

        80,00

        70,00

        60,00

        50,00

        40,00

        30,00

        20,00

        10,00
                  2004
                    1        2005
                               2            2006
                                              3                2007
                                                                4            2008
                                                                               5          2009
                                                                                            6

                             Partisipasi murni tingkat SD/MI          % penduduk miskin


                Grafik-10: Perkembangan APM dan Kemiskinan di Sulawesi                           Selatan
                          (Sumber: BPS, 2010; Kementerian Diknas, 2010)

       Untungnya penurunan APM tingkat SD/MI ini tidak berlangsung lama. Sejak tahun
2006 keadaan itu secara cepat bisa tertanggulangi dan terus mengalami pertumbuhan pada
tahun-tahun sesudahnya. Grafik juga menunjukkan bahwa sejak tahun 2006 kondisi
kemiskinan di Sulawesi Selatan juga perlahan bisa dikurangi, sehingga jumlah keluarga yang
tidak bisa membiayai pendidikan anggotanya juga bisa diperbesar.
       2. Angka Partisipasi Kasar
       Menurunnya angka partisipasi sekolah pada tahun 2005, juga terlihat pada Angka
Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD/MI (Grafik-11). Pada tahun 2004, APK tingkat SD/MI
sebesar 103,28 dan turun menjadi 101,43 pada tahun 2005. Penyebab penurunan ini diduga
juga sama dengan yang mempengaruhi APM, yaitu faktor yang terkait dengan ekonomi
khususnya kemiskinan keluarga peserta didik.
36



       Hal yang membuat lonjakan APK pada tahun 2006 menarik adalah karena
peningkatannya yang jauh melebihi APM. Pada tahun 2006, APK telah menjadi 107,70, jauh
meninggalkan APM yang baru mencapai 91,08. Diduga kuat penyebabnya adalah
meningkatnya peserta didik baru pada jenjang SD/MI yang berasal dari mereka yang setahun
lalu terpaksa menunda niat mengikuti pendidikan dasar. Besaran APK yang semakin timpang
dengan APM, serta semakin tingginya APK di atas angka 100 menunjukkan membengkaknya
jumlah peserta didik pada jenjang sekolah dasar yang berusia tidak sesuai dengan jenjang
pendidikannya. Jika benar dugaan bahwa kesulitan ekonomilah yang menyebabkan keluarga
menunda memasukkan anggota keluarganya ke lembaga pendidikan, maka hal itu
mengindikasikan masih adanya kecenderungan keterlambatan mengikuti pendidikan dasar
pada sebagian anak-anak.

                           Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD/MI


       112,00

       110,00
       108,00

       106,00
       104,00
       102,00
       100,00

        98,00

        96,00
                 2004
                   1         2005
                               2         2006
                                           3            2007
                                                          4            2008
                                                                         5    2009
                                                                               6

                                         Partisipasi kasar tkt SD/MI


       Grafik-11: Perkembangan APK SD/MI (Sumber: Kementerian Diknas, 2010).


       Berdasarkan data tahun 2008 dan data proyeksi tahun 2009, baik APM maupun APK
mulai menunjukkan peningkatan yang stabil. Jika APM berubah menjadi 92,55 pada tahun
2009 dari 92,15 tahun sebelumnya, maka APK naik perlahan dari 109,25 pada tahun 2008
menjadi 110,83 pada tahun 2009. Kondisi stabil ini terutama dipicu stabilitas ekonomi
masyarakat, serta dukungan kebijakan inklusif di bidang pendidikan dasar yang semakin
terjangkau dan merata.
37



       3. Rata-rata Nilai Akhir SMP/MTs
       Rata-rata nilai akhir siswa SMP/MTs yang diukur melalui nilai ujian nasional pada
berbagai mata pelajaran, menunjukkan bahwa pencapaian siswa di Sulawesi Selatan terus
menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2004, rata-rata nilai akhir ujian nasional siswa
SMP/MTs adalah 4,83, lalu meningkat menjadi 5,95 dan bertahan selama tahun 2005 hingga
2007. Pada tahun 2008, nilai ujian akhir tersebut meningkat menjadi 6,44 dan pada tahun
2009 meningkat lagi menjadi 7,21. Dibalik peningkatan nilai tersebut, jumlah dan proporsi
siswa yang lulus ujian nasional juga terus meningkat dari tahun ketahun. Prestasi rendah
umumnya ditunjukkan oleh sekolah-sekolah swasta yang manajemen pembelajarannya
kurang baik, sementara pada sekolahh negeri prestasi rendah hanya ditunjukkan pada
kabupaten tertentu.
       Ini menunjukkan adanya peningkatan kualitas proses belajar-mengajar serta kualitas
dari berbagai unsur lainnya seperti guru dan sarana dan prasarana sehingga prestasi belajar
siswa terus meningkat. Salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan ini adalah adanya
peningkatan upaya yang nyata pada tingkat sekolah, terutama dalam memberikan tambahan
jam belajar kepada siswa pada tahun penyelenggaraan ujian nasional. Upaya-upaya ini
diduga terkait pula dengan adanya persaingan positif antar sekolah dan daerah karena hasil
ujian nasional selalu diberitakan luas setiap tahun; sekolah yang bagus prestasinya
mendapatkan    pujian   sementara    sekolah    yang   prestasi   ujian    nasionalnya     rendah
mendapatkan kritikan dari masyarakat.
       Selain itu, pencanangan Gubernur Sulawesi Selatan atas Pendidikan Gratis, diikuti
dengan komitmen Bupati dan Walikota untuk mendukungnya, memang kemudian menuntut
konsekuensi bahwa dibalik penggratisan tersebut jangan sampai kualitas terkorbankan. Hal
ini direspons dengan perhatian yang tinggi pada kalangan Dinas Pendidikan Provinsi dan
Kabupaten/Kota    dalam   bentuk    mendorong    persiapan    siswa       sebaik-baiknya   dalam
menghadapi ujian nasional.
       4. Rata-rata Nilai Akhir SLTA/MA
       Rata-rata nilai akhir siswa SLTP/MA juga mengalami peningkatan pada periode 2004-
2009. Pada tahun 2004, rata-rata nilai akhir siswa SLTA/MA adalah 5,58, angka ini terus
meningkat menjadi 6,05 tahun 2005, 6,25 tahun tahun 2006, turun menjadi 6,24 tahun 2007,
naik lagi menjadi 6,28 tahun 2008 dan pada tahun 2009 mencapai nilai 7,19. Beberapa
daerah seperti Kota Makassar, Kota Palopo, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara dan
Kabupaten Luwu Timur menunjukkan prestasi yang cukup konsisten.
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010
EKPD Sulsel 2010

Más contenido relacionado

La actualidad más candente

Permenpan2009 012 pedoman penilaian penyelenggaraan pelayanan pubilik
Permenpan2009 012 pedoman penilaian penyelenggaraan pelayanan pubilikPermenpan2009 012 pedoman penilaian penyelenggaraan pelayanan pubilik
Permenpan2009 012 pedoman penilaian penyelenggaraan pelayanan pubilikNandang Sukmara
 
Wbk dan wbbm kppn malang
Wbk dan wbbm kppn malangWbk dan wbbm kppn malang
Wbk dan wbbm kppn malangAhmad Abdul Haq
 
3. iku 2015 2019 revisi
3. iku 2015 2019 revisi3. iku 2015 2019 revisi
3. iku 2015 2019 revisiImam Pirdaus
 
3 form perjanjian_18
3  form perjanjian_183  form perjanjian_18
3 form perjanjian_18Imam Pirdaus
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jawa Timur
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jawa TimurLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jawa Timur
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jawa TimurEKPD
 
Pengukuran kinerja januari 2018
Pengukuran kinerja januari 2018Pengukuran kinerja januari 2018
Pengukuran kinerja januari 2018Imam Pirdaus
 
Jawaban 2.a renja zona integritas 2018 1
Jawaban 2.a renja  zona integritas 2018 1Jawaban 2.a renja  zona integritas 2018 1
Jawaban 2.a renja zona integritas 2018 1Imam Pirdaus
 
Pedoman survei Kepuasan Masyarakat
Pedoman survei Kepuasan MasyarakatPedoman survei Kepuasan Masyarakat
Pedoman survei Kepuasan MasyarakatMuh Saleh
 
3 rkt tahun 2018 revisi
3  rkt tahun 2018 revisi3  rkt tahun 2018 revisi
3 rkt tahun 2018 revisiImam Pirdaus
 
Jawaban 3.b monitoring dan evaluasi pembangunan zi 2018
Jawaban 3.b monitoring dan evaluasi pembangunan zi 2018Jawaban 3.b monitoring dan evaluasi pembangunan zi 2018
Jawaban 3.b monitoring dan evaluasi pembangunan zi 2018Imam Pirdaus
 
Kinerja pelayanan publik
Kinerja pelayanan publikKinerja pelayanan publik
Kinerja pelayanan publikAria Suyudi
 
Perpres nomor 95 tahun 2018 sistem pemerintahan berbasis eletronik
Perpres nomor 95 tahun 2018 sistem pemerintahan berbasis eletronikPerpres nomor 95 tahun 2018 sistem pemerintahan berbasis eletronik
Perpres nomor 95 tahun 2018 sistem pemerintahan berbasis eletroniktemanna #LABEDDU
 
Laporan anev capaian kinerja tw 1
Laporan anev capaian kinerja tw 1Laporan anev capaian kinerja tw 1
Laporan anev capaian kinerja tw 1Imam Pirdaus
 
Instruksi presiden no_3_th_2003 kebijakan dan strategi nasional
Instruksi presiden no_3_th_2003 kebijakan dan strategi nasionalInstruksi presiden no_3_th_2003 kebijakan dan strategi nasional
Instruksi presiden no_3_th_2003 kebijakan dan strategi nasionaltemanna #LABEDDU
 

La actualidad más candente (19)

KAK Roadmap SPM Pendidikan
KAK Roadmap SPM PendidikanKAK Roadmap SPM Pendidikan
KAK Roadmap SPM Pendidikan
 
Permenpan2009 012 pedoman penilaian penyelenggaraan pelayanan pubilik
Permenpan2009 012 pedoman penilaian penyelenggaraan pelayanan pubilikPermenpan2009 012 pedoman penilaian penyelenggaraan pelayanan pubilik
Permenpan2009 012 pedoman penilaian penyelenggaraan pelayanan pubilik
 
Wbk dan wbbm kppn malang
Wbk dan wbbm kppn malangWbk dan wbbm kppn malang
Wbk dan wbbm kppn malang
 
3. iku 2015 2019 revisi
3. iku 2015 2019 revisi3. iku 2015 2019 revisi
3. iku 2015 2019 revisi
 
3 form perjanjian_18
3  form perjanjian_183  form perjanjian_18
3 form perjanjian_18
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jawa Timur
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jawa TimurLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jawa Timur
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jawa Timur
 
Pengukuran kinerja januari 2018
Pengukuran kinerja januari 2018Pengukuran kinerja januari 2018
Pengukuran kinerja januari 2018
 
Jawaban 2.a renja zona integritas 2018 1
Jawaban 2.a renja  zona integritas 2018 1Jawaban 2.a renja  zona integritas 2018 1
Jawaban 2.a renja zona integritas 2018 1
 
Road map
Road mapRoad map
Road map
 
Sop bagren
Sop bagrenSop bagren
Sop bagren
 
Pedoman survei Kepuasan Masyarakat
Pedoman survei Kepuasan MasyarakatPedoman survei Kepuasan Masyarakat
Pedoman survei Kepuasan Masyarakat
 
3 rkt tahun 2018 revisi
3  rkt tahun 2018 revisi3  rkt tahun 2018 revisi
3 rkt tahun 2018 revisi
 
01. slide-sp
01. slide-sp01. slide-sp
01. slide-sp
 
Jawaban 3.b monitoring dan evaluasi pembangunan zi 2018
Jawaban 3.b monitoring dan evaluasi pembangunan zi 2018Jawaban 3.b monitoring dan evaluasi pembangunan zi 2018
Jawaban 3.b monitoring dan evaluasi pembangunan zi 2018
 
Kinerja pelayanan publik
Kinerja pelayanan publikKinerja pelayanan publik
Kinerja pelayanan publik
 
6715 457-13685-1-10-20180122
6715 457-13685-1-10-201801226715 457-13685-1-10-20180122
6715 457-13685-1-10-20180122
 
Perpres nomor 95 tahun 2018 sistem pemerintahan berbasis eletronik
Perpres nomor 95 tahun 2018 sistem pemerintahan berbasis eletronikPerpres nomor 95 tahun 2018 sistem pemerintahan berbasis eletronik
Perpres nomor 95 tahun 2018 sistem pemerintahan berbasis eletronik
 
Laporan anev capaian kinerja tw 1
Laporan anev capaian kinerja tw 1Laporan anev capaian kinerja tw 1
Laporan anev capaian kinerja tw 1
 
Instruksi presiden no_3_th_2003 kebijakan dan strategi nasional
Instruksi presiden no_3_th_2003 kebijakan dan strategi nasionalInstruksi presiden no_3_th_2003 kebijakan dan strategi nasional
Instruksi presiden no_3_th_2003 kebijakan dan strategi nasional
 

Similar a EKPD Sulsel 2010

Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Papua
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi PapuaLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Papua
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi PapuaEKPD
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Papua - Uncen
Laporan Akhir EKPD 2010 - Papua - UncenLaporan Akhir EKPD 2010 - Papua - Uncen
Laporan Akhir EKPD 2010 - Papua - UncenEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sulawesi Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sulawesi BaratLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sulawesi Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sulawesi BaratEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jawa Tengah
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jawa TengahLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jawa Tengah
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jawa TengahEKPD
 
Kebijakan dan Kerangka Kerja EKPD 2010
Kebijakan dan Kerangka Kerja EKPD 2010Kebijakan dan Kerangka Kerja EKPD 2010
Kebijakan dan Kerangka Kerja EKPD 2010Dadang Solihin
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Papua Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Papua BaratLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Papua Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Papua BaratEKPD
 
Kebijakan dan Kerangka Kerja Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah
Kebijakan dan Kerangka Kerja Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Kebijakan dan Kerangka Kerja Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah
Kebijakan dan Kerangka Kerja Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Dadang Solihin
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kepulauan Riau
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kepulauan RiauLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kepulauan Riau
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kepulauan RiauEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Nusa Tenggara Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Nusa Tenggara BaratLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Nusa Tenggara Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Nusa Tenggara BaratEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kepulauan Bangka BelitungLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kepulauan Bangka BelitungEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Utara
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera UtaraLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Utara
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera UtaraEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi D.I. Yogyakarta
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi D.I. YogyakartaLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi D.I. Yogyakarta
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi D.I. YogyakartaEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Riau
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi RiauLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Riau
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi RiauEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Nusa Tenggara Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Nusa Tenggara BaratLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Nusa Tenggara Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Nusa Tenggara BaratEKPD
 
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi aceh
 - Laporan awal ekpd 2011 provinsi aceh - Laporan awal ekpd 2011 provinsi aceh
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi acehEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Aceh
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi AcehLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Aceh
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi AcehEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Selatan
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera SelatanLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Selatan
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera SelatanEKPD
 
SISTEM PENDUKUNG MANAJEMEN PEMBANGUNAN NASIONAL
SISTEM PENDUKUNG MANAJEMEN PEMBANGUNAN NASIONALSISTEM PENDUKUNG MANAJEMEN PEMBANGUNAN NASIONAL
SISTEM PENDUKUNG MANAJEMEN PEMBANGUNAN NASIONALIrvan Doang
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Maluku Utara - UNKHAIR
Laporan Akhir EKPD 2009 Maluku Utara - UNKHAIRLaporan Akhir EKPD 2009 Maluku Utara - UNKHAIR
Laporan Akhir EKPD 2009 Maluku Utara - UNKHAIREKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan BaratLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan BaratEKPD
 

Similar a EKPD Sulsel 2010 (20)

Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Papua
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi PapuaLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Papua
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Papua
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Papua - Uncen
Laporan Akhir EKPD 2010 - Papua - UncenLaporan Akhir EKPD 2010 - Papua - Uncen
Laporan Akhir EKPD 2010 - Papua - Uncen
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sulawesi Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sulawesi BaratLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sulawesi Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sulawesi Barat
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jawa Tengah
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jawa TengahLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jawa Tengah
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jawa Tengah
 
Kebijakan dan Kerangka Kerja EKPD 2010
Kebijakan dan Kerangka Kerja EKPD 2010Kebijakan dan Kerangka Kerja EKPD 2010
Kebijakan dan Kerangka Kerja EKPD 2010
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Papua Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Papua BaratLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Papua Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Papua Barat
 
Kebijakan dan Kerangka Kerja Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah
Kebijakan dan Kerangka Kerja Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Kebijakan dan Kerangka Kerja Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah
Kebijakan dan Kerangka Kerja Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kepulauan Riau
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kepulauan RiauLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kepulauan Riau
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kepulauan Riau
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Nusa Tenggara Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Nusa Tenggara BaratLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Nusa Tenggara Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Nusa Tenggara Barat
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kepulauan Bangka BelitungLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Utara
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera UtaraLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Utara
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Utara
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi D.I. Yogyakarta
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi D.I. YogyakartaLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi D.I. Yogyakarta
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi D.I. Yogyakarta
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Riau
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi RiauLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Riau
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Riau
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Nusa Tenggara Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Nusa Tenggara BaratLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Nusa Tenggara Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Nusa Tenggara Barat
 
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi aceh
 - Laporan awal ekpd 2011 provinsi aceh - Laporan awal ekpd 2011 provinsi aceh
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi aceh
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Aceh
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi AcehLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Aceh
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Aceh
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Selatan
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera SelatanLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Selatan
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Selatan
 
SISTEM PENDUKUNG MANAJEMEN PEMBANGUNAN NASIONAL
SISTEM PENDUKUNG MANAJEMEN PEMBANGUNAN NASIONALSISTEM PENDUKUNG MANAJEMEN PEMBANGUNAN NASIONAL
SISTEM PENDUKUNG MANAJEMEN PEMBANGUNAN NASIONAL
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Maluku Utara - UNKHAIR
Laporan Akhir EKPD 2009 Maluku Utara - UNKHAIRLaporan Akhir EKPD 2009 Maluku Utara - UNKHAIR
Laporan Akhir EKPD 2009 Maluku Utara - UNKHAIR
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan BaratLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan Barat
 

Más de EKPD

Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sulawesi Selatan
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sulawesi SelatanLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sulawesi Selatan
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sulawesi SelatanEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Maluku Utara
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Maluku UtaraLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Maluku Utara
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Maluku UtaraEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Lampung
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi LampungLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Lampung
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi LampungEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan Tengan
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan TenganLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan Tengan
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan TenganEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan Selatan
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan SelatanLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan Selatan
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan SelatanEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jambi
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi JambiLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jambi
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi JambiEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Gorontalo
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi GorontaloLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Gorontalo
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi GorontaloEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Banten
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi BantenLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Banten
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi BantenEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Bali
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi BaliLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Bali
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi BaliEKPD
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera BaratLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera BaratEKPD
 
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi bali
 - Laporan awal ekpd 2011 provinsi bali - Laporan awal ekpd 2011 provinsi bali
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi baliEKPD
 
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat
 - Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat - Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera baratEKPD
 

Más de EKPD (12)

Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sulawesi Selatan
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sulawesi SelatanLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sulawesi Selatan
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sulawesi Selatan
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Maluku Utara
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Maluku UtaraLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Maluku Utara
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Maluku Utara
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Lampung
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi LampungLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Lampung
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Lampung
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan Tengan
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan TenganLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan Tengan
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan Tengan
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan Selatan
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan SelatanLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan Selatan
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Kalimantan Selatan
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jambi
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi JambiLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jambi
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Jambi
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Gorontalo
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi GorontaloLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Gorontalo
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Gorontalo
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Banten
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi BantenLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Banten
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Banten
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Bali
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi BaliLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Bali
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Bali
 
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera BaratLaporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Barat
Laporan Awal EKPD 2011 Provinsi Sumatera Barat
 
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi bali
 - Laporan awal ekpd 2011 provinsi bali - Laporan awal ekpd 2011 provinsi bali
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi bali
 
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat
 - Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat - Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat
- Laporan awal ekpd 2011 provinsi sumatera barat
 

EKPD Sulsel 2010

  • 1.
  • 2. KATA PENGANTAR Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) 2010 Provinsi Sulawesi Selatan memiliki makna penting dalam penyelenggaraan pembangunan di Indonesia. Pertama, EKPD ini memuat hasil evaluasi pencapaian dari penyelenggaraan RPJMN 2004-2009 di Provinsi Sulawesi Selatan, sehingga kinerja dari satu periode RPJMN terpresentasikan secara utuh. Kedua, EKPD ini memuat analisis relevansi RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan, sehingga bisa memberi arahan bagi EKPD 2011 dan seterusnya. Laporan EKPD 2010 Provinsi Sulawesi Selatan telah diselesaikan dengan baik. Substansi isi dan metode evaluasi sepenuhnya mengacu kepada Panduan EKPD 2010 yang disusun Bappenas, sementara analisis dan eksplanasi atas sejumlah fakta dilakukan sesuai kompetensi akademis dari masing-masing evaluator. Terima kasih disampaikan kepada Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan atas dukungannya selama EKPD ini berlangsung, terutama dalam penyelenggaraan focus group discussion yang melibatkan seluruh Kepala Bidang di Bappeda, khususnya Kepala Bidang Monitoring dan Evaluasi Pembangunan, serta dukungan data dan informasi yang diberikan. Terima kasih juga disampaikan kepada pihak Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan-Sulawesi Barat serta seluruh SKPD Provinsi Sulawesi Selatan yang telah memberikan data yang diperlukan bagi EKPD ini serta terlibat dalam diskusi-diskusi dengan evaluator. Akhirnya, terima kasih disampaikan kepada pihak Bappenas atas kepercayaannya kepada Universitas Hasanuddin dalam penyelenggaraan EKPD 2010 ini. Semoga kerjasama ini memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa dan negara. Makassar, 9 Desember 2010 Rektor Universitas Hasanuddin, u.b. Pembantu Rektor Bidang Kerjasama dan Perencanaan Prof. Dr. Dwia Aries Tina NK., MSc. NIP:
  • 3. 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah satu dari empat tahapan perencanaan pembangunan, yang meliputi penyusunan, penetapan, pengendalian perencanaan serta evaluasi pelaksanaan perencanaan. Sebagai suatu tahapan perencanaan pembangunan, evaluasi harus dilakukan secara sistematis dengan mengumpulkan dan menganalisis data serta informasi untuk menilai sejauh mana pencapaian sasaran dan tujuan atau kinerja pembangunan secara keseluruhan. Peraturan Presiden No 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 telah selesai dilaksanakan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, pemerintah (BAPPENAS) berkewajiban untuk melihat sejauh mana pelaksanaan RPJMN tersebut. Saat ini Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014 telah ditetapkan. Siklus pembangunan jangka menengah ilma tahun secara nasional tidak selalu sama dengan siklus pembangunan jangka menengah lima tahun di daerah, sehingga penetapan RPJMN 2010-2014 tidak bersamaan waktunya dengan RPJMD Provinsi. Hal ini menyebabkan prioritas-prioritas dalam RPJMD Provinsi tidak selalu mengacu pada prioritas- prioritas RPJMN 2010-2014. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi relevansi prioritas/program antara RPJMN dengan RPJMD provinsi. Di dalam pelaksanaan evaluasi ini, dilakukan dua bentuk evaluasi yang berkaitan dengan RPJMN. Pertama, evaluasi atas pelaksanaan RPJMN 2004-2009; kedua, penilaian keterkaitan antara RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2012 dengan RPJMN 2010-2014. Metode yang digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah evaluasi ex- post untuk melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran) dengan mengacu pada tiga agenda RPJMN 2004-2009 yaitu agenda Aman dan Damai, Adil dan Demokratis, serta Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Untuk mengukur kinerja yang telah dicapai pemerintahan atas pelaksanaan ketiga agenda tersebut, diperlukan identifikasi dan analisis indikator pencapaian.
  • 4. 2 Metode yang digunakan dalam evaluasi relevansi RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2012 adalah dengan membandingkan keterkaitan 11 prioritas nasional dan tiga prioritas lainnya dengan prioritas daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, juga dengan mengindentifikasi potensi lokal dan prioritas daerah yang tidak ada dalam RPJMN 2010-2014. Adapun prioritas nasional dalam RPJMN 2010-1014 adalah: 1. Refomasi Birokrasi dan Tata Kelola, 2. Pendidikan, 3. Kesehatan, 4. Penanggulangan Kemiskinan, 5. Ketahanan Pangan, 6. Infrastruktur, 7. Iklim Investasi dan Iklim Usaha, 8. Energi, 9. Lingkungan Hidup dan Pengelolahan Bencana, 10. Kebudayaan, Kreativitas dan Inovasi Teknologi, dan tiga prioritas lainnya yaitu 1. Kesejahteraan Rakyat Lainnya, 2. Politik, Hukum dan Keamanan lainnya, 3. Perekonomian Lainnya. Hasil dari EKPD 2010 diharapkan dapat memberikan umpan balik pada perencanaan di daerah. Selain itu, hasil evaluasi dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan pembangunan daerah. Pelaksanaan EKPD ini dilakukan melalui kerjasama antara Bappenas cq. Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan dengan Universitas Hasanuddin selaku evaluator eksternal dan dibantu oleh stakeholders daerah. Pelaksanaan EKPD 2010 mengacu pada Panduan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah 2010 yang disusun oleh Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan, Bappenas. 2. Tujuan dan Sasaran Tujuan dari EKPD Provinsi Sulawesi Selatan adalah: 1. Untuk melihat sejauhmana pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dapat memberikan kontribusi pada pembangunan daerah Sulawesi Selatan; 2. Untuk mengetahui sejauhmana keterkaitan prioritas/program dalam RPJMN 2010-2014 dengan prioritas/program yang ada dalam RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013. Sasaran dari EKPD Provinsi Sulawesi Selatan adalah: 1. Tersedianya data/informasi dan penilaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di Provinsi Sulawesi Selatan; 2. Tersedianya data/informasi dan penilaian keterkaitan RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013.
  • 5. 3 3. Keluaran Luaran dari kegiatan ini adalah: 1. Tersedianya dokumen evaluasi pencapaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di daerah Provinsi Sulawesi Selatan; 2. Tersedianya dokumen evaluasi keterkaitan RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013.
  • 6. 4 BAB II HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009 A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI 1. Indikator Agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai pada RPJMN 2004-2009 mencakup beberapa program yang pencapaiannya dapat diukur pada tiga indikator utama yakni indeks kriminalitas, persentase penyelesaian kasus kejahatan konvensional, dan persentase penyelesaian kasus kejahatan transnasional. Dalam EKPD Sulawesi Selatan 2004-2009, data indeks kriminalitas tidak dapat ditemukan sehingga data yang digunakan adalah tingkat kriminalitas, berupa perbandingan antara kasus kriminalitas yang terjadi dengan total penduduk Sulawesi Selatan, dinyatakan dalam satuan jumlah tindakan kriminal perseribu penduduk dalam setahun. Data tentang persentase penyelesaian kasus kejahatan transnasional juga tidak ditemukan sehingga hanya diberikan evaluasi kualitatif-deskriptif. Adapun nilai pencapaian indikator untuk agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai dapat digambarkan pada Tabel-1. Tabel-1: Nilai Pencapaian Indikator Agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan. Nilai Indikator No. Indikator Sumber Data 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Indeks Kriminalitas (Tingkat 1. 1,5027 1,5492 1,7530 2,0263 1,7240 1,6636 Polda Sulselbar, Kriminalitas) 2005-2010 Persentase Penyelesaian Kasus Polda Sulselbar, 2. 59,81 54,96 54,38 55,97 48,92 44,16 Kejahatan Konvensional 2005-2010 Persentase Penyelesaian Kasus 3. Kejahatan Transnasional - - - - - - - 2. Analisis Pencapaian Indikator (1) Keamanan dan Kedamaian 1. Tingkat Kriminalitas Tingkat kriminalitas di Sulawesi Selatan, yakni jumlah kejadian kriminal perseribu penduduk dalam satu tahun, menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat pada
  • 7. 5 periode 2004-2007, puncak peningkatan pada tahun 2007, lalu menurun pada periode 2008- 2009 (Grafik-1), sementara gambaran kuantitatif jenis dan tingkat kriminalitas tersebut dapat dilihat pada Tabel-2. Pada tahun 2007, angka kriminalitas di Sulawesi Selatan mencapai 2,02 kejadian perseribu penduduk, bertambah 0,27 poin dari tahun 2006, dimana angka ini menurun 0,30 menjadi 1,72 pada tahun 2008. Pada tahun 2007, jumlah tindak pidana di Sulawesi Selatan mencapai 15.554 kasus dengan selang waktu kejadian antar tindak pidana selama 33 menit delapan detik. Pada tahun 2006 jumlah tindak pidana mencapai 13.374 kasus dengan selang waktu kejadian antar tindak pidana selama 39 menit, pada tahun 2008 sebanyak 13.456 kasus dengan selang waktu kejadian antar tindak pidana selama 39 menit enam detik. Pada tahun 2007 tersebut, persentase penyelesaian kasus pidana sebanyak 60,34%, pada tahun 2006 lebih rendah yakni 60,25% dan pada tahun 2008 lebih tinggi yakni 64,71%. Grafik-1: Tingka Kriminalitas di Sulawesi Selatan 2004-2009. Tingginya angka kriminalitas pada tahun 2007, sebagaimana terlihat pada Grafik-1, diduga banyak dipengaruhi oleh panasnya suhu politik di Sulawesi Selatan menjelang dan pasca pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan pada tahun tersebut. Konflik antar pendukung calon gubernur yang terjadi di sejumlah kabupaten/kota selain punya andil langsung terhadap tingginya tingkat kriminalitas, juga situasi dan kondisi yang relatif tidak stabil ketika itu banyak dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk melaksanakan aksi-aksi
  • 8. 6 kejahatannya. Sementara itu, perhatian aparat keamanan, baik menjelang pemilihan maupun sesudah pemilihan, juga lebih banyak tercurah pada pengamanan pemilihan, dimana situasi ini diduga dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan tindakan kriminal. Tabel-2: Keadaan Umum Tindak Pidana serta Tingkat Kriminalitas di Sulawesi Selatan Tahun 2004-2009. T a h u n Uraian 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah Tindak Pidana 11.089 11.611 13.374 15.554 13.456 13.730 Penyelesaian 6.042 6.341 8.058 9.385 8.707 8.729 % Penyelesaian 54,49% 54,61% 60,25% 60,34% 64,71 63,58 Selang Waktu terjadinya 47’39” 45’ 39’ 33’8” 39,06 38,28 Tindak Pidana Jumlah Penduduk 7.379.370 7.494.701 7.629.138 7.675.893 7.805.024 8.253.387 Tingkat kriminalitas 1,5027 1,5492 1,7530 2,0263 1,7240 1,6636 Sumber: Kepolisian Negara RI Daerah Sulawesi Selatan , 2004-2009 dan BPS 2006-2009 (Diolah kembali) Pada tahun 2007, kondisi perekonomian Sulawesi Selatan juga kurang baik kinerjanya. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 sangat rendah, ini mempunyai akibat sangat besar bagi sebagian besar rumah tangga miskin dimana salah satu akibatnya adalah tingginya angka pencurian. Pada tahun 2004 hingga 2007 angka pengangguran juga tinggi, pada tahun 2006 sebanyak 18,64% dan meskipun pada tahun 2007 sudah menurun menjadi 12,78 % tetapi efeknya pada tekanan ekonomi penduduk masih signifikan dalam mendorong terjadinya kriminalitas. Jumlah rumah tangga miskin juga tinggi pada periode 2004-2007, yakni diatas 14%. Kesemua ini memberi indikasi adanya korelasi antara kondisi perekonomian yang kurang baik dengan tingginya angka kriminalitas. Pada tahun 2008-2009, terjadi perbaikan ketertiban dan keamanan yang signfikan, ditandai dengan angka kriminalitas yang terus menurun. Ini terkait dengan kondisi politik yang kembali normal pasca pemilihan gubernur, meskipun dalam pemilihan kepala daerah tahun 2010 terjadi ekses cukup tajam, tetapi efeknya pada kriminalitas akan terlihat pada data tahun tersebut dan tahun berikutnya. Perbaikan kondisi ketertiban dan keamanan juga
  • 9. 7 didukung oleh kondisi perekonomian yang membaik pada tahun 2008-2009 yakni angka kemiskinan dan pengangguran yang terus berkurang dan pertumbuhan ekonomi yang relatif terpelihara. 2. Penyelesaian Kejahatan Konvensional Ditinjau dari seluruh kejahatan konvensional yang terjadi di Sulawesi Selatan, telah terjadi peningkatan persentase penyelesaian kasus selama periode 2004-2009. Pada tahun 2005 penyelesaian kasus hanya 54,49%, meningkat hingga 64,71% pada tahun 2008, dan sedikit menurun pada tahun 2009 yakni 63,58% (Grafik-2). Ini menujukkan peningkatan kinerja aparat keamanan, khususnya jajaran kepolisian, dalam penyelesaian tindak pidana kejahatan konvensional. Namun demikian, ditinjau dari segi penyelesaian jenis kejahatan yang menonjol di Sulawesi Selatan, sebagaimana juga terlihat pada Grafik-2, terdapat penurunan tingkat penyelesaian kejahatan. Persentase penyelesaian tertinggi adalah pada tahun 2004 (59,81%), kemudian pada tahun 2005 dan tahun 2006 menurun menjadi sekitar 54%, dan sedikit meningkat pada tahun 2007. Selanjutnya pada tahun 2008 dan 2009 persentase penyelesaiannya menurun menjadi 48,92 % dan 44,16%. Secara keseluruhan persentase penyelesaian kasus tindak pidana mengalami peningkatan, tetapi untuk kasus kejahatan yang menonjol persentase penyelesaiannya justru menurun. Grafik-2: Penyelesaian keseluruhan tindak pidana kejahatan konvensional dan Tindak pidana kejahatan menonjol di Sulawesi Selatan 2004-2009.
  • 10. 8 Hasil wawancara dengan pihak kepolisian menunjukkan bahwa tidak tertutup kemungkinan perbedaan persentase penyelesaian ini disebabkan oleh keterbatasan jumlah dan kualitas aparat kepolisian yang menangani jenis kejahatan yang menonjol, keterbatasan sarana prasarana penunjang pelaksanaan tugas aparat, serta modus operandi penjahat yang semakin beragam dengan jumlah dan kualitas yang juga semakin meningkat. Dengan kondisi demikian, maka peluang menumpuknya penyelesaian kasus tertentu yang menonjol di kepolisian menjadi sangat besar, yang pada gilirannya bisa mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum, khususnya kepolisian. Pada kejahatan konvensional, hal yang juga perlu dicermati adalah kecenderungan meningkatnya jumlah absolut jenis kejahatan tertentu yang menonjol pada periode 2004- 2009 (Lihat data penunjang pada Tabel-3). Kalau pada tahun 2004 jumlahnya hanya 3.926 kasus, pada tahun 2007 bertambah menjadi 5.346 kasus, pada tahun 2009 jumlahnya terus meningkat dan mencapai angka 5.562 kasus. Tabel-3: Kasus Kejahatan Konvensional Menurut Jenis Kejahatan Yang Menonjol di Sulawesi Selatan Tahun 2004-2009 T a h u n Jenis 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Kejahatan Yang Menonjol L S L S L S L S L S L S Perkelahian 17 13 3 4 3 1 9 - - - - - Kelompok Pengeroyokan 168 111 239 157 232 180 463 374 513 400 660 469 Pemerasan & 67 36 75 31 96 66 84 59 295 164 504 229 Ancaman Penghancuran/ Perusakan 421 202 399 208 516 317 585 332 469 336 201 121 Barang Pembakaran 29 20 10 9 32 14 31 17 14 10 17 13 CD Porno 1 - 2 3 15 9 10 2 60 40 2 - Perzinahan+ 166 112 203 119 249 201 233 192 180 97 332 236 Cabul Perkosaan 105 76 97 70 112 70 142 115 135 105 109 112
  • 11. 9 Miras 68 60 86 85 82 73 84 99 390 224 131 113 Narkotika/ 275 309 269 370 261 260 274 244 392 371 409 356 Psikotropika Pembunuhan 143 125 121 117 127 133 109 99 139 106 89 68 Aniya Berat 814 268 1.047 603 1.000 736 970 673 531 403 412 312 Empat Jenis 1.65 1.016 1.852 644 2.255 648 2.352 786 2.209 350 2.69 427 Pencurian 2 6 Jumlah 3.92 2.348 4.403 2.420 4.980 2.708 5.346 2.992 5.327 2.60 5.56 2.456 6 6 2 % Penyelesaian - 59,81 - 54,96 - 54,38 - 55,97 - 48,9 - 44,16 2 Sumber: Kepolisian Negara RI Daerah Sulawesi Selatan, 2004-2009 (diolah kembali) Keterangan : L = Lapor; S = Selesai Dari sejumlah jenis kejahatan konvensional tersebut, yang sangat menonjol dan mengalami peningkatan selama periode 2004-2009 adalah pencurian yakni pencurian berat, pencurian dengan kekerasan, pencurian hewan dan pencurian kendaraan bermotor. Perkelahian kelompok yang pada tahun 2005 dan 2006 menunjukkan penurunan, pada tahun 2007 kembali mengalami peningkatan. Data tentang perkelahian kelompok ini belum mencakup perkelahian antara anggota POLRI dengan anggota TNI yang cukup menghebohkan di Bantaeng pada tanggal 22 September 2007. Meskipun jumlah kasus perkelahian antar kelompok pada tahun 2007 lebih rendah dibanding perkelahian antar kelompok pada tahun 2004, yang memprihatinkan dari perkelahian tahun 2007 adalah banyaknya generasi muda dari kalangan mahasiswa yang terlibat, padahal faktor pemicunya hanyalah masalah-masalah sepele yang seyogyanya tidak berkembang dalam skala besar. Hal lain yang mungkin ikut berpengaruh antara lain adalah karakteristik masyarakat Sulawesi Selatan yang “agak keras”, euforia reformasi dan kekurangtegasan aparat dalam penanganan berbagai kasus tersebut. Selanjutnya, menyangkut kasus pengeroyokan, pemerasan dan ancaman, penghancuran/perusakan barang, serta pembakaran, trennya juga agak mengkuatirkan. Hal ini merupakan sinyal berkurangnya rasa saling percaya dan keharmonisan hubungan antar kelompok masyarakat yang justeru merupakan salah satu prioritas RPJMN 2004-2009.
  • 12. 10 Pada wilayah-wilayah perkotaan di Sulawesi Selatan nilai-nilai materialisme telah semakin menguat, berbarengan dengan cenderung memudarnya solidaritas sosial, nilai-nilai kekeluargaan, dan keramahtamahan sosial. Identitas nasional kemudian terlemahkan oleh cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, serta keterbatasan dalam mengadopsi budaya global yang lebih relevan bagi upaya pembangunan karakter bangsa. Gambaran cepatnya penyerapan budaya global yang negatif di Sulawesi Selatan, antara lain dapat dilihat dari peningkatan jumlah kasus narkotika/psikotropika, CD porno, perzinahan, perkosaan dan pencabulan (Lihat Tabel-3). Tingginya pertambahan kasus narkotika/psikotropika juga semakin mengkuatirkan. Pada tahun 2004 hanya 275 kasus dan pada tahun 2009 sudah mencapai 409 kasus. Beberapa kalangan mengemukakan bahwa peningkatan jumlah penyalahgunaan narkotika/psikotropika sekaligus berpotensi semakin meningkatnya pula jumlah penderita HIV/AIDS. Data yang diperoleh melalui media terungkap bahwa kasus penyalahgunaan narkotika/psikotropika nampaknya berkorelasi positif dengan peningkatan penderita HIV/AIDS. Data pada Harian Fajar (Senin, 10 Nopember 2008) mengungkapkan bahwa berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Makassar jumlah penderita HIV/AIDS yang ditemukan dan terdeteksi khusus di Kota Makassar terhitung Januari hingga April 2008 adalah 1.782 orang, padahal di penghujung 2007 baru 1.599 orang. Artinya hanya dalam waktu empat bulan, penderita penyakit mematikan ini bertambah 183 orang. Dari sumber yang sama juga dikemukakan bahwa untuk Sulawesi Selatan, jika tahun 2007 hanya 1.844 orang, maka pada April 2008 sudah mencapai angka 2.059 orang atau mengalami peningkatan 215 orang. Walaupun Pemerintah dan pemerhati HIV/AIDS tidak tinggal diam (di Makassar sudah disiapkan tujuh lokasi Voluntary Counseling Testing (VCT) untuk membantu pendeteksian virus HIV. Hanya saja, data dari Dinas Kesehatan Kota Makassar ini akurasinya diragukan oleh sejumlah LSM, karena berdasarkan pemantauan mereka, disinyalir yang belum ditemukan dan terdeteksi jumlahnya bisa mencapai angka 10 kali lipat dari pada yang terdeteksi. Dalam konteks ini, dari berbagai sumber termasuk dari kepolisian, dikemukakan bahwa maraknya kasus HIV/AIDS di Sulawesi Selatan dan Makassar tidak terlepas dari sindikat peredaran narkoba di wilayah ini. Data hasil tangkapan Polwiltabel Makassar menunjukkan bahwa dari Januari hingga 9 Nopember 2008 kasus narkoba yang tertangkap adalah 66 kasus dengan tersangka 82 orang. Demikian pula kasus perkosaan, dari 105 kasus pada tahun 2004, meningkat menjadi 142 kasus pada tahun 2007. Kecenderungan peningkatan kasus-kasus tersebut menunjukkan tanda yang semakin mengkuatirkan. Meskipun kasus CD porno,
  • 13. 11 perzinahan/perbuatan cabul dan kasus miras sedikit menurun, penyerapan nilai-nilai budaya global yang negatif, yang berimbas terhadap etika pergaulan sosial, merupakan peringatan yang harus ditangani secara sungguh-sungguh oleh semua pihak. Bahkan beberapa aksi erotis versi lokal yang populer dengan nama “candoleng-doleng” (pertunjukan musik elekton pada acara pesta yang disertai tarian erotis) hingga saat ini masih menjadi agenda mendesak pemerintah di beberapa kabupaten untuk menghentikannya. Demikian pula kasus rekaman adegan porno/mesum yang melibatkan warga setempat sudah ditemukan di beberapa daerah seperti di Kabupaten Bone, Soppeng dan Kota Pare-Pare. Fenomena ini memberikan gambaran betapa cepatnya penyerapan nilai-nilai budaya global yang negatif, yang berimbas terhadap etika pergaulan masyarakat. Pada sisi lain toleransi antar etnis dan antar umat beragama meskipun datanya secara pasti tidak diperoleh oleh tim evaluasi, namun dilihat dari keterlibatan berbagai etnis di Sulawesi Selatan (empat etnis besar yakni Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar), termasuk etnis Tionghoa, dalam kesuksesan berbagai event keagamaan yang dilaksanakan di Sulawesi Selatan, dapat dikatakan bahwa pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan dari aspek toleransi dan kerukunan antar etnis dan umat beragama, walaupun masih perlu lebih ditingkatkan, namun sudah berada pada jalur yang benar. Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai instansi terkait, secara umum agenda mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai di Sulawesi Selatan pada periode 2004-2009 walaupun dapat dikatakan cukup berhasil, namun beberapa faktor seperti kenaikan harga BBM, cukup panasnya suhu politik dalam proses dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah baik pada level Provinisi maupun Kabupaten/Kota, memiliki pengaruh (timbal baik) yang cukup besar terhadap upaya mewujudkan agenda tersebut. Selain itu, persaingan para calon anggota legislatif [DPR, DPRD dan DPD), juga merupakan faktor yang mempengaruhi kondisi aman dan damai. Selain itu, terdapat faktor lain yang berpengaruh yakni perubahan peran TNI dalam pemeliharaan ketertiban dan keamanan, serta belum sempurnanya kesiapan Polri untuk sepenuhnya berperan sebagai ujung tombak pemelihara keamanan dan ketertiban, menyebabkan aktivitas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat belum mampu dilaksanakan secara efektif. Demikian pula, apabila ditinjau dari jumlah dan kualitas personil aparat keamanan dalam memelihara keamanan di sebagian besar wilayah yang belum memadai ditengah keragaman masyarakat (etnis, budaya dan agama), serta perubahan spirit
  • 14. 12 zaman yang antara lain ditandai oleh semakin menguatnya tuntutan arus bawah, tuntutan penegakan HAM, demokratisasi serta kemajuan teknologi dan informasi. 3. Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional Secara umum, kasus kejahatan transnasional belum signifikan terjadi di Sulawesi Selatan. Pada kasus perdagangan manusia misalnya, meskipun pengiriman TKI cukup besar jumlahnya di Sulawesi Selatan, tetapi dibaliknya kejahatan demikian tidak teridentifikasi. Begitu pula dalam kasus narkoba, meskipun intensitasnya cukup tinggi, tetapi indikasi keterlibatan jaringan transnasional belum signifikan. 3. Rekomendasi Kebijakan (1) Menyangkut menurunnya persentase penyelesaian jenis kejahatan tertentu yang menonjol, direkomendasikan agar pemerintah menunjukkan perhatian yang lebih serius terhadap peningkatan jumlah dan kualitas aparat kepolisian, serta sarana prasarana penunjang dalam pelaksanaan tugas mereka. Dalam konteks ini tentu saja ketegasan pimpinan dalam penegakan peraturan perundang-undangan tidak boleh lagi ditunda- tunda, termasuk dalam pemberian sangsi dan reward terhadap aparat kepolisian yang aktif sesuai capaian pelaksanaan tugas masing-masing. (2) Dalam upaya menumbuhkembangkan rasa saling percaya dan harmoni antarkelompok dan golongan masyarakat yang merupakan faktor penting untuk menciptakan rasa aman dan damai, dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik dan penyelesaian persoalan sosial kemasyarakatan, partisipasi masyarakat seyogyanya lebih ditingkatkan. Bahkan diharapkan rasa saling percaya tersebut juga terwujudkan antar seluruh pemangku kepentingan, antar lembaga pemerintah (dalam arti luas), serta antara pemerintah, swasta dan masyarakat sipil, termasuk pemantapan forum dialog lintas agama. (3) Lunturnya nilai-nilai budaya luhur dan menurunnya nilai-nilai moral serta krisis jati diri, identitas dan kepribadian daerah, seharusnya dapat menyadarkan para pihak akan pentingnya menjadikan sistem dan nilai budaya lokal sebagai identitas dan jatidiri masyarakat. Dalam konteks ini, keteladanan dari para pemimpin di Sulawesi Selatan, termasuk eksekutif dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, serta aparat hukum harus lebih ditingkatkan. Demikian pula perlunya meningkatkan frekuensi dialog antarbudaya
  • 15. 13 yang lebih terbuka dan demokratis, peningkatan penegakan hukum, serta aktualisasi nilai moral dan agama dalam keseharian, utamanya dari para pemimpin. (4) Masalah penyalahgunaan narkotika/psikotropika dan penanggulangan HIV/AIDS di Sulawesi Selatan yang semakin meningkat dan mengkuatirkan, membutuhkan kesungguhan serta dukungan multipihak, oleh sebab itu semua pihak utamanya pemerintah harus mengambil langkah nyata dan progressif, tanpa pandang bulu menindaki secara tegas siapapun yang terlibat. Tentu saja dalam penanganannya tidak semata mengharapkan dari pemerintah, tetapi harus dilakukan secara bersama seluruh pemangku kepentingan, tanpa dukungan tersebut apa yang dilakukan oleh pemerintah sulit mencapai hasil yang optimal. (5) Hal lain yang juga penting dicermati adalah bagaimana meminimalisir terjadinya perkelahian (baca: tawuran) antar mahasiswa di Sulawesi Selatan, khususnya di Kota Makassar, termasuk demonstrasi yang banyak berujung pada aksi anarkis. Pentingnya perhatian khusus dan betul-betul serius terhadap masalah ini agar pandangan negatif (suka tawuran dan anarkis) yang dilekatkan terhadap warga dan mahasiswa yang cenderung merugikan masyarakat di kota Makassar bisa terkikis habis. Dalam konteks ini diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh semua pemangku kepentingan, utamanya pemerintah, aparat hukum, kalangan kampus, pers dan tokoh masyarakat untuk duduk bersama dengan pikiran yang jernih membicarakan langkah-langkah pencegahan, serta ketegasan dalam penindakan mereka yang tertangkap tangan dan terbukti bersalah. Dalam konteks ini diharapkan media massa (baik tulis maupun elektronik) dengan segenap jajaran wartawannya berperan secara aktif ikut mencegah terjadinya tawuran, paling tidak memberi informasi kepada aparat keamanan dan tidak justeru memberitakannya berulang-ulang dan menjadikannya sebagai berita sensasional. Pemerintah sendiri diharapkan dapat memainkan perannya sebagai fasilitator dan atau mediator yang kredibel dan adil. B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS 1. Indikator Pencapaian pembangunan menyangkut Agenda Indonesia yang Adil dan Demokratis mencakup dua kelompok indikator yakni kebijakan publik dan demokrasi. Pencapaian bidang kebijakan publik diukur dengan indikator persentase kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan, persentase Kabupaten/Kota yang memiliki Perda
  • 16. 14 Pelayanan Satu Atap, dan Persentase instansi/SKPD Provinsi (dalam laporan ini data yang bisa diperoleh adalah pemerintah Kabupaten dan pemerintah Provinsi) yang memiliki pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian. Sedangkan pencapaian bidang demokrasi diukur dengan indikator Gender-related Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM). Nilai pencapaian dari setiap indikator tersebut ditampilkan pada Tabel-4. Tabel-4: Nilai Pencapaian Indikator Agenda Pembangunan Indonesia Yang Adil dan Demokratis pada RPJMN 2004-2009. Nilai Indikator Sumber Data No Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Kejaksaan Tinggi Sulselbar, 2010 dan dan Polda Sulselbar, Persentase kasus korupsi yang Data Data 2010; Data 2004 dan 1. tertangani dibandingkan dengan yang tdk ter- tdk ter- 67,65 87,18 74,60 75,00 2005 hanya yang dilaporkan sedia sedia bersumber dari Polda, data 2006-2009 dari Polda dan Kejaksaan Tinggi. Persentase Kabupaten/Kota yang 2. 8,70 13,04 17,39 21,74 52,17 52,17 Pemprov Sulawesi memiliki Perda Pelayanan Satu Atap Selatan, 2010 Persentase entitas (Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota) yang BPK Sulawesi Sela-tan, 3. - 15 0 0 0 - memiliki pelaporan Wajar Tanpa 2005-2010. Pengecualian Pembangunan Manu- sia Berbasis Gender 2005-2006, BPS-Ke- menteri-an PP dan PA; Pembangunan 4. Gender Development Index 56,90 57,40 59,00 60,40 61,04 62,07 Berbasis Gen-der 2006-2008, BPS-Ke- menterian PP dan PA; Tahun 2009 data proyeksi. Pembangunan Manu- sia Berbasis Gender 2005-2006, BPS-Ke- menteri-an PP dan PA; Pembangunan 5. Gender Empowermen Index 49,20 50,00 51,80 52,60 52,90 53,82 Berbasis Gender 2006- 2008, BPS-Ke- menterian PP dan PA; Tahun 2009 data proyeksi.
  • 17. 15 2. Analisis Pencapaian Indikator (1) Pelayanan Publik 1. Penyelesaian Kasus Korupsi Definisi yang digunakan dari konsep kasus korupsi yang “tertangani” dalam EKPD di Sulawesi Selatan adalah kasus korupsi yang buktinya sudah dianggap cukup oleh kejaksaan dan sedang diproses ditambah dengan kasus korupsi yang diterima pelimpahannya oleh kejaksaan dari kepolisian. Dengan kata lain konsep tertangani disini adalah kasus korupsi yang telah masuk ke tahap penuntutan, sedangkan definisi yang digunakan dari konsep kasus korupsi yang “dilaporkan” adalah seluruh kasus korupsi yang laporannya diterima secara langsung oleh Kejaksaan dari masyarakat atau sumber lain ditambah kasus korupsi yang pelimpahannya diterima oleh Kejaksaan dari Kepolisian. Data yang dianalisis pada EKPD 2010 mencakup tahun 2006 hingga 2009, sementara data tahun 2004-2005 tidak dapat ditampilkan secara valid. Berdasarkan pengertian tersebut, gambaran persentase kasus korupsi yang ditangani dibandingkan dengan yang dilaporkan dapat dilihat pada Grafik-3. Pada Grafik-3 ditunjukkan perkembangan kinerja penyelesaian kasus korupsi secara total yang ditangani Kejaksaan Tinggi (Tingkat Provinsi) dan yang ditangani Kejaksaan Negeri (Tingkat Kabupaten dan Kota). Selain itu juga ditunjukkan perkembangan penyelesaian kasus korupsi pada masing- masing Tingkat Kejaksaan Tinggi dan Tingkat Kejaksaan Negeri. Pada Grafik-3 terlihat bahwa fenomena menonjol terjadi pada tahun 2007, ketika persentase kasus korupsi yang tertangani meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya, dan tahun 2008 ketika persentase kasus korupsi yang tertangani tersebut menurun secara signifikan pula. Ada beberapa faktor dapat dijelaskan terkait fenomena tersebut. Pertama, bahwa tingginya kinerja penyelesaian kasus korupsi pada tahun itu dikontribusi dominan oleh Kejaksaan Negeri (Kabupaten/Kota), yakni sebanyak 37 kasus terlaporkan dan yang ditangani sebanyak 33 kasus (89,10%); sementara Kejaksaan Tinggi pada tahun itu hanya menerima laporan dua kasus dan yang tertangani satu kasus (50%). Ini berbeda signifikan dengan kinerja tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2006 kinerja lebih tinggi dikontribusi oleh Kejaksaan Tinggi yakni terlaporkan delapan kasus dan ditangani tujuh diantaranya (87,5%), sementara Kejaksaan Negeri hanya menerima 27 laporan dan tertangani 16. Salah satu faktor yang mempengaruhi fenomena ini adalah semakin besarnya perhatian masyarakat di Kabupaten dan Kota dalam melaporkan kasus-kasus korupsi
  • 18. 16 Grafik-3: Persentase Kasus Korupsi yang Tertangani dibanding yang Terlaporkan di Kejaksaan Negeri dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dengan kelengkapan data dan informasi yang memungkinkan pihak kejaksaan melakukan tindak lanjut, selain itu kasus yang dilimpahkan polisi ke kejaksaan juga meningkat. Peranan media massa juga besar dalam peningkatan ini, selain Surat Kabar yang terbit di Makassar, pada beberapa daerah juga telah terbit koran lokal yakni di Kota Pare-pare dengan sumber berita pada Kota Pare-pare dan Kabupaten sekitarnya, di Kota Palopo dengan sumber berita pada Kota Palopo dan Kabupaten sekitarnya. Peranan LSM, baik LSM yang berkiprah di Kota Makassar maupun LSM yang berkiprah di Kabupaten, juga signifikan. LSM di Kabupaten Bulukumba sangat gencar mempersoalkan dugaan penyelewengan dan bekerjasama dengan media massa memberitakannya, begitu pula LSM di Kota Pare-pare, Kota Palopo dan Kabupaten Bone. Kedua, pada tahun 2008, persentase antara yang ditangani dengan yang dilaporkan terlihat adanya penurunan dibanding tahun 2007, tetapi secara kuantitatif sebenarnya terjadi peningkatan signifikan. Pada tingkat Kejaksaan Tinggi, tahun itu terlaporkan 21 kasus dan yang tertangani 13 kasus (Lihat Tabel-5). Sementara itu, pada tingkat Kejaksaan Negeri, terlaporkan 42 kasus dan tertangani 34 kasus. Bahkan pada tahun berikutnya, secara kuantitatif kinerja ini lebih meningkat lagi, meskipun secara persentase agak stagnan. Pada
  • 19. 17 tahun 2009, pada tingkat Kejaksaan Tinggi (Provinsi), terlaporkan 31 kasus dan tertangani 19 kasus; pada tingkat Kejaksaan Negeri terlaporkan 41 kasus dan tertangani 35 diantaranya. Artinya, yang terlihat sebagai penurunan persentase penanganan kasus harus dipahami bahwa dibaliknya terjadi peningkatan kuantitas dari kasus yang terlaporkan, dan sebenarnya terjadi pula peningkatan kuantitas atas kasus yang tertangani. Keterbatasan jumlah aparat kejaksaan dan kompleksitas dari kasus yang terlaporkan menjadikan persentase yang tertangani terlihat sedikit menurun. Secara umum dapat dikatakan bahwa kinerja penanganan kasus korupsi di Sulawesi Selatan, baik pada tingkat Kejaksaan Tinggi maupun tingkat Kejaksaan Negeri, telah meningkat signifikan selama periode 2005-2009. Tabel-5: Persentase Jumlah Kasus Korupsi yang Tertangani (Tahap Penuntutan) Dibandingkan Dengan yang Dilaporkan Tahun 2004-2009 Wilayah 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Kab/Kota se-SulSel Dilaporkan Tertangani Data tdk Data tdk 26 37 42 41 % tersedia tersedia 16 33 34 35 61,54 89,19 80,95 85,37 Kejati SulSel Dilaporkan 8 2 21 31 Tertangani Data tdk Data tdk 7 1 13 19 % tersedia tersedia 87,50 50,00 61,90 61,29 Total Dilaporkan Tertangani Data tdk Data tdk 34 39 63 72 % tersedia tersedia 23 34 47 54 67,65 87,18 74,60 75,00 Sumber: Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, 2010. Untuk pengembangan analisis lebih jauh, pada Grafik-4 ditunjukkan kinerja penanganan kasus korupsi oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat, dan ditampilkan bersama kinerja Kejaksaan (Kejaksaan Tinggi ditambah Kejaksaan Negeri) Sulawesi Selatan. Terlihat bahwa kinerja Kepolisian tinggi pada tahun 2008, dimana saat itu kinerja Kejaksaan sedikit menurun; sementara pada tahun 2007 ketika kinerja Kejaksaan tinggi, kinerja kepolisian justeru menurun dibanding tahun sebelumnya. Jumlah kasus yang terlaporkan di kepolisian pada tahun 2008 sebanyak 28 dan 26 diantaranya tertangani (92,86%). Pada tahun 2007, terlaporkan 29 kasus dan yang tertangani 19 kasus. Pencapaian ini agak menurun pada tahun 2009, dimana kasus terlaporkan di kepolisian hanya 17 dan tertangani 11 kasus diantaranya.
  • 20. 18 Grafik-4: Persentase kasus korupsi tertangani dan terlaporkan pada Kepolisian Dibandingkan dengan Kejaksaan di Sulawesi Selatan, 2006-2009. (2) Pelayanan Satu Atap Salah satu indikator pelayanan publik adalah persentase kabupaten/kota yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap. Namun demikian, karena indikator yang digunakan adalah peraturan daerah, maka meskipun terdapat beberapa kabupaten yang telah melaksanakan pelayanan satu atap tetapi payung hukum yang digunakan baru sebatas SK Bupati, maka dalam evaluasi ini tidak dimasukkan sebagai kabupaten/kota yang telah memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap. Upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik adalah dengan perwujudan pelayanan satu atap yang kemudian dikembangkan menjadi pelayanan satu pintu. Sepintas kedua konsep ini sama, namun apabila dicermati ternyata dalam implementasinya berbeda. Dalam implementasi konsep pelayanan satu atap, kecenderungan yang terlihat adalah sejumlah unit kerja ditempatkan dalam satu atap di lokasi tertentu, tetapi dalam memberikan pelayanan setiap unit kerja tersebut bekerja sendiri-sendiri atau menerbitkan izin sendiri. Sedangkan dalam konsep pelayanan satu pintu, keterpaduan pemberian pelayanan lebih ditonjolkan, jadi berbagai jenis perizinan yang diurus oleh masyarakat, pintu masuk dan keluarnya sama dan dikerjakan oleh aparat yang ditempatkan pada kantor pelayanan (perizinan) terpadu tersebut. Pada Grafik-5 terlihat bahwa peningkatan jumlah kabupaten/kota yang telah memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap/pintu sangat menonjol pada tahun 2008. Ini juga
  • 21. 19 banyak dipengaruhi oleh terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dimana sejumlah daerah memberikan respons yang positif dan melakukan penyesuaian-penyesuaian berdasarkan PP tersebut. Pada Grafik-5 terlihat bahwa pada tahun 2008 persentase Kabupaten/Kota yang memiliki Perda Perizinan Satu Atap meningkat sebanyak 30,47% dari tahun 2007, dimana saat itu sebanyak 12 (52,17%) Kabupaten/Kota telah memiliki Perda Perizinan Satu Atap. Peningkatan pada tahun 2007 tersebut erat kaitannya dengan kesadaran yang makin tinggi Grafik-5: Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki Perda Satu Atap Di Sulawesi Selatan. pada pemerintah daerah tentang pentingnya investasi sehingga pelayanan satu atap dilengkapi dengan standar prosedur pelayanan yang jelas menjadi upaya untuk mendorong daya saing daerah bagi investasi. Khusus untuk pelayanan umum bagi masyarakat, pemerintah daerah juga makin menyadari pentingnya pelayanan prima kepada masyarakat, sehingga ketepatan waktu, keramahan layanan dan biaya murah dianggap penting untuk diberikan dan wadah yang tepat adalah Kantor Pelayanan Satu Atap yang memiliki kekuatan hukum dalam bentuk Perda. Ini yang menjadikan peningkatan Perda Pelayanan Satu Atap dari hanya dua Kabupaten/Kota pada tahun 2004, menjadi tiga pada tahun 2005, empat pada tahun 2006 dan lima pada tahun 2007 lalu meningkatan drastis menjadi 12 tahun 2008 dan bertahan hingga 2009.
  • 22. 20 Peranan bantuan teknis yang diberikan sejumlah lembaga internasional juga cukup besar dalam pelayanan satu atap yang dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota. Di Kota Pare- pare misalnya, inisiatif menyelenggarakan pelayanan satu atap dan upaya peningkatan kualitasnya secara berkelanjutan, amat dikontribusi oleh bantuan teknis dan pendampingan sebuah lembaga internasional dan bersamaan dengan itu unit pelayanan ini dipimpin oleh seorang pejabat yang memiliki visi jelas tentang pelayanan dan kapasitas SDM yang terus ditingkatkan. Pencapaian Kota Pare-pare dalam pelayanan satu atap, dengan jumlah urusan yang tertangani yang terus meningkat, telah menjadi inspirasi sejumlah daerah lainnya untuk mengakselerasi pelayanan satu atap. (3) Pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian Berhubung data tentang opini laporan keuangan berdasarkan SKPD Provinsi tidak tersedia, maka pada bagian ini evaluasi dilakukan terhadap data opini laporan keuangan unit daerah yang menjadi sasaran evaluasi BPK-Sulawesi Selatan yakni Provinsi Sulawesi Selatan sebagai satu unit dan masing-masing Kabupaten/Kota sebagai satu unit pula. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang diperiksa oleh BPK Sulawesi Selatan selama 2004-2009 jumlahnya bervariasi tiap tahun, karena itu perhitungan persentase LPKD dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian dihitung berdasarkan jumlah unit LKPD yang diperiksa BPK-Sulawesi Selatan pada tahun tersebut. Data yang bisa dianalisis mencakup LKPD 2005-2008, hasil pemeriksaan 2004 dan 2009 tidak dapat ditampilkan datanya dalam evaluasi ini. Gambaran tentang persentase LKPD yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian, Wajar Dengan Pengecualian dan Disclaimer dapat dilihat pada Grafik-6. Pada Grafik-6 terlihat bahwa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hanya tercapai pada tahun 2005 oleh tiga dari 20 (15%) pemerintah Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa pada tahun tersebut, setelah itu tidak ada lagi LKPD yang mendapatkan opini WTP hingga 2008.Opini yang terbanyak dicapai adalah Wajar dengan Pengecualian, paling banyak pada tahun 2007 yakni 11 dari 14 Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa (87,5%) dan pada tahun 2008 yakni 100% dari sembilan Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa. Opini disclaimer juga ditemukan, paling banyak pada tahun 2008 yakni empat diantara 13 (30,77%) Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa tahun tersebut.
  • 23. 21 Grafik-6: Persentase Hasil Pemeriksaan BPK dan Tingkatan Opini Pada Grafik-6 terlihat bahwa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hanya tercapai pada tahun 2005 oleh tiga dari 20 (15%) pemerintah Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa pada tahun tersebut. Setelah itu tidak ada lagi LKPD yang mendapatkan opini WTP hingga 2008.Opini yang terbanyak dicapai adalah Wajar dengan Pengecualian, paling banyak pada tahun 2007 yakni 11 dari 14 Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa (87,5%) dan pada tahun 2008 yakni 100% dari sembilan Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa. Opini disclaimer juga ditemukan, paling banyak pada tahun 2008 yakni empat diantara 13 (30,77%) Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa tahun tersebut. Rendahnya persentase LKPD yang mendapatkan penilaian WTP terkait dengan sejumlah faktor tetapi yang utama adalah soal SDM. SDM pemerintah daerah yang terkait dengan perencanaan program/kegiatan, perencanaan keuangan, pelaksanaan kegiatan hingga pelaporan keuangan; kompetensi dan kapasitasnya belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan pengetahuan, perilaku dan keterampilan yang dibutuhkan dalam terciptanya konsistensi antara perencanaan program/kegiatan dengan perencanaan keuangan; pencapaian efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program/kegiatan; pengelolaan administrasi program/kegiatan yang sinergis dengan administrasi keuangan; ketepatan serta ketajaman analisis laporan keuangan; dan kordinasi pelaporan diantara berbagai pelaksana kegiatan dalam berbagai SKPD pada tiap daerah. Keterbatasan kapasitas dan kemampuan SDM ini erat kaitannya dengan pelatihan dan pengembangan serta proses learning-
  • 24. 22 organization yang belum optimal berlangsung dalam konteks dan substansi pelaporan keuangan pada berbagai unit pemerintahan daerah. Selain itu, kesesuaian latar pengetahuan ilmiah atas pegawai yang terkait dengan siklus perencanaan program kegiatan, perencanaan keuangan, evaluasi program/kegiatan, serta pelaporan keuangan ikut berkontribusi mengingat mekanisme perekrutan dan siklus mutasi yang pada beberapa kasus belum sepenuhnya mempertimbangkan ketajaman kapasitas dan kompetensi tertentu termasuk analisis dan pelaporan keuangan. Fenomena terkait keterbatasan jumlah dan kualitas SDM ini mewarnai rendahnya penilaian WTP pada LKPD di Sulawesi Selatan selama 2005-2008. (2) Demokrasi 1. Gender-related Development Indeks Gender-related Development Indeks (GDI) sebagai indikator yang menunjukkan kesetaraan dalam relasi gender pada berbagai aspek kehidupan, menunjukkan bahwa pencapaian Sulawesi Selatan terus mengalami peningkatan pada periode 2004-2009. Peningkatan tertinggi dicapai pada tahun 2006 (1,6 poin) dan 2007 (1,4 poin), sementara pada tahun 2005 peningkatan hanya 0,5 poin, tahun 2008 sebesar 1,00 poin dan tahun 2009 sebesar 1,03 poin (Lihat Grafik-7). Periode ini juga ditandai dengan angka GID yang berhasil menembus level nilai 60 sejak tahun 2007, berbeda dengan nilai GEM Sulawesi Selatan yang pada 2004-2009 nilainya tertahan dibawah level 60 (Lihat Uraian tentang GEM). Dari segi peringkat, pada tahun 2004 GDI Sulawesi Selatan berada pada peringkat 24, tahun 2005 peringkat 25, tahun 2006 peringkat 26, tahun 2007 dan 2008 peringkat 29, dan tahun 2009 kemungkinan bertahan pada peringkat 29. Dari segi peringkat nasional, pencapaian GDI Sulawesi Selatan lebih rendah dari pencapaian GEMnya, meskipun dari segi nilai pencapaian GDI lebih tinggi dari pencapaian GEM. Pada periode 2004-2009, pencapaian tahun 2006-2009 menunjukkan fenomena krusial, selain karena pada tahun itu tercapai peningkatan GDI tertinggi, juga pada tahun itu nilai GDI menembus dan bertahan diatas nilai 60. Ada beberapa faktor terkait hal tersebut. Pertama, secara sosial-budaya, pola pikir dan acuan nilai masyarakat Sulawesi Selatan tentang relasi perempuan dan laki-laki memang telah semakin bergeser dari orientasi patriarkat kearah yang semakin membuka ruang bagi keterlibatan perempuan pada berbagai aktivitas di sektor publik. Ini ditandai dengan terbukanya peluang yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam mengakses pendidikan, yang dalam dekade terakhir porsi murid perempuan relatif berimbang dengan murid laki-laki pada tingkat SD, SLTP hingga
  • 25. 23 Grafik-7: Gender-related Development Index Provinsi Sulawesi Selatan 2004-2009 SLTA. Bahkan pada Perguruan Tinggi, terdapat kecenderungan mahasiswi lebih besar porsinya dari mahasiswa. Ini seiring pula dengan tidak adanya lagi nilai dan norma yang mengikat secara ketat untuk menempatkan perempuan hanya beraktivitas di sektor domestik-dalam rumah tangga sementara hanya laki-laki yang memasuki sektor publik-luar rumah tangga. Perubahan konstruksi sosial-budaya ini merupakan buah dari kemajuan pendidikan, perkembangan interaksi sosial dan dinamika keterbukaan informasi yang berlangsung secara gradual seiring proses pembangunan dan perkembangan. Kedua, peningkatan nilai GDI juga merupakan dampak dari implementasi kebijakan pemerintah. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan setiap tahun mengimplementasikan Program Peningkatan Peran Serta Perempuan dan Kesetaraan Gender dengan kegiatan utama pembinaan organisasi perempuan untuk kesetaraan gender dan peningkatan keterampilan dan manajemen usaha bagi perempuan; Program Peningkatan Peran Perempuan di Perdesaan dalam bentuk pembinaan dan penilaian lomba P2WKSS, BKB dan GSI; selain itu juga melakukan penguatan bagi Pemenuhaan Hak-Hak Perempuan dan Anak, Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan serta Peningkatan Peran Perempuan dalam Pengambilan Keputusan. Intervensi sejenis juga diperankan sejumlah Donor, LSM dan Perguruan Tinggi dalam berbagai kegiatan yang manfaat dan dampaknya diharapkan berkontribusi pada pemberdayaan perempuan dan kesataraan gender (LAKIP, 2009).
  • 26. 24 Ketiga, sebagaimana terlihat pada Grafik-8, peningkatan GDI Sulawesi Selatan berjalan seiring dengan peningkatan IPM. Di sini tertunjukkan bahwa perbaikan kualitas manusia dalam hal pengetahuan, kesehatan dan daya beli ternyata ada korelasinya dengan semakin membaiknya kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan dalam proses interaksi sosial, struktur kemasyarakatan dan pola-pola kekuasaan. Tentu saja ini dengan asumsi bahwa pendidikan telah mengubah tata nilai dan norma masyarakat yang sebelumnya patriarkat menjadi menerima prinsip kesetaraan perempuan dan laki-laki serta membuka ruang bagi realisasi prinsip tersebut. 2. Gender Empowerment Measure Pencapaian Gender Empowerment Measure (GEM) Provinsi Sulawesi Selatan selama 2004-2009 menunjukkan kecenderungan terus meningkat dengan pertambahan angka GEM yang tidak terlalu berbeda dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005, GEM Sulawesi Selatan meningkat 0,8 poin dari tahun 2004, dari tahun 2005 ke tahun 2006 meningkat 1,8 poin, dari tahun 2006 ke tahun 2007 meningkat 0,8 poin, dari tahun 2007 ke tahun 2008 meningkat 0,3 poin dan dari tahun 2008 ke tahun 2009 meningkat 0,92 poin. Ini berarti bahwa peningkatan terbesar tercapai pada tahun 2006 (1,8 poin) dan tahun 2009, sementara peningkatan terendah pada tahun 2008 (0,3 poin) (Lihat Grafik-8). Dari segi peringkat nasional, peringkat GEM Sulawesi Selatan cenderung menurun pada periode 2004-2009. Pada tahun 2005 peringkat GEM Sulawesi Selatan adalah 23, tahun 2006 dan 2007 turun ke posisi 25, tahun 2008 turun lagi ke posisi 26, dan tahun 2009 kemungkinan tetap pada peringkat 26. Artinya, meskipun nilai GEM Sulawesi Selatan meningkat terus pada periode 2004-2009, tetapi peningkatan nilai GEM Provinsi lain lebih tinggi, sehingga peringkat GEM Sulawesi Selatan cenderung turun. Sebagaimana diketahui, GEM ditentukan oleh tiga indikator utama yakni (1) persentase perempuan di parlemen, (2) persentase perempuan yang bekerja sebagai administrator dibanding perempuan yang bekerja sebagai manajer, (3) persentase perempuan yang bekerja sebagai profesional dibanding yang bekerja sebagai pekerja teknis. Mengacu pada tiga indikator ini, beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan GEM Sulawesi Selatan dapat diuraikan sebagai berikut. Faktor paling pokok dibalik peningkatan GEM pada 2006 dan 2009 dapat dilihat pada persentase perempuan di DPRD Sulawesi Selatan. Indikator ini sangat penting, karena DPRD adalah tempat dimana kebijakan/regulasi disusun, karena itu upaya mendorong
  • 27. 25 keberdayaan gender amat strategis pada lembaga ini. Pada tahun 2006, persentase perempuan di DPRD Provinsi mencapai 8% (enam orang dari total 75 anggota) sebagai hasil Grafik-8: Pencapaian GEM Provinsi Sulawesi Selatan, 2004-2009 pemilu 2004, suatu peningkatan dari periode sebelumnya yang hanya dua orang dari total 50 anggota (4%). Pada tahun 2009, persentase perempuan di DPRD Sulawesi Selatan meningkat menjadi 16% (12 orang dari total 75 anggota). Dengan demikian, peningkatan GEM di Sulawesi Selatan sebagian besar dikontribusi oleh hasil pilihan rakyat atas legislator perempuan yang porsinya makin besar. Namun demikian, kuota 30% perempuan di DRPD tampaknya masih jauh. Selain itu, organisasi birokrasi maupun dunia usaha juga semakin terbuka untuk memberi ruang kepada perempuan dalam mengakses posisi tinggi. Pada tahun 2009, pejabat perempuan untuk eselon II-a (Kepala Dinas dan Kepala Badan) pada Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 6,2% (dua diantara 32 orang), eselon II-b (Kepala Kantor dan Kepala Biro) sebesar 3,4% (satu dari 29 orang), eselon III-a (Kasubdin/Kabid/Kabag) sebesar 18% (47 dari 225 orang), eselon III-b (Kabag pada Kantor) sebesar 32% (delapan dari 25 orang), eselon IV-a sebesar 34% (87 dari 294 orang) dan eselon IV-b sebesar 96% (49 dari 51 orang). Dengan demikian, pemilu yang semakin banyak menghasilkan anggota legislatif perempuan, serta peningkatan kemampuan perempuan untuk bisa menempati level atas pada organisasi dimana ia bekerja, merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi perbaikan nilai GEM Sulawesi Selatan.
  • 28. 26 Berbagai program pembangunan terkait upaya pemberdayaan gender juga telah berjalan signifikan di Sulawesi Selatan, baik yang dijalankan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten; maupun yang dijalankan oleh Lembaga Donor, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Kemasyarakatan dan Perguruan Tinggi. Pada Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten selama 2004-2009 telah difokuskan upaya-upaya untuk memperkuat organisasi dan kelembagaan perempuan dalam bentuk peningkatan kemampuan SDM dan pemberian bantuan teknis dan manajerial seiring dengan upaya-upaya untuk mengarusutamakan berbagai aspek terkait gender dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan. Pendampingan dan advokasi untuk mendorong kebijakan yang pro-gender juga telah didorong oleh sejumlah donor, LSM dan perguruan tinggi selama periode tersebut. Faktor terakhir yang patut diperhatikan adalah kaitan GEM dengan IPM. Bagaimanapun, secara teroretis-filosofis, GEM adalah bagian dari upaya meningkatkan kualitas manusia, dalam arti bagaimana manusia semakin terbuka pilihan-pilihan dalam kehidupannya (choices) dan semakin mampu menyuarakan pilihan-pilihannya (voioces). Pada Grafik-9 terlihat bahwa peningkatan GEM di Sulawesi Selatan cenderung seiring dengan peningkatan IPM. Ketika nilai GEM mengalami peningkatan yang tinggi pada tahun 2006, saat itu IPM juga mengalami peningkatan yang tinggi, sementara terpeliharanya peningkatan GEM dari 2006 hingga 2009 juga terkait dengan peningkatan IPM tertinggi pada tahun 2007 yang terpelihara hingga 2009. Artinya, upaya pemberdayaan atau pencapaian kesetaraan gender pada organisasi/kelembagaan pemerintah maupun non pemerintah memiliki korelasi dengan tingkat pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat secara umum. Pada akhirnya harus tersadari bahwa meskipun berbagai faktor yang telah diuraikan ini telah mempengaruhi atau berkorelasi dengan peningkatan nilai GEM Sulawesi Selatan pada 2004-2009, dilihat dari posisi relatif peningkatan tersebut dibanding peningkatan yang dicapai Provinsi lain akselerasi peningkatan Sulawesi Selatan masih lebih rendah, sehingga peringkat GEM nasional cenderung menurun. Faktor-faktor yang telah mendorong peningkatan GEM selama ini perlu lebih signifikan lagi pengaruhnya atau diperlukan bekerjanya faktor pendorong lain yang bisa lebih mendorong akselerasi.
  • 29. 27 3. Rekomendasi Kebijakan (1) Agar persentase kasus korupsi yang tertangani dibanding yang terlaporkan dapat lebih besar, diperlukan peningkatan kapasitas pada lembaga kejaksaan terkait kecukupan staf yang melayani kebutuhan data dan administratif seorang jaksa, kecukupan jumlah jaksa dalam menangani kasus terlaporkan yang semakin besar jumlahnya, kecukupan biaya operasional penanganan kasus, dan kecukupan sarana/fasilitas dalam penanganan perkara. Dalam perspektif jangka panjang, masalah korupsi idealnya didekati dengan upaya-upaya pencegahan terkait perbaikan sistem pelaporan dan pengawasan, serta perbaikan remunerasi. (2) Agar penyelenggaraan pembangunan berjalan lebih memenuhi norma transparansi dan akuntabilitas, sehingga pelaporan keuangan SKPD atau pemerintah daerah memperoleh penilaian wajar tanpa pengecualian, upaya perbaikan dapat didorong dalam bentuk: (1) peningkatan kemampuan dan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam formulasi rencana dan implementasi rencana yang memenuhi kriteria efektivitas dan efisiensi yang baik; (2) peningkatan kemampuan dan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam pelaporan pelaksanaan kegiatan yang menunjukkan konsistensi antara perencanaan (RPJPD, RPJMD, Renstra-SKPD, RKPD, Renja-SKPD) dengan pelaksanaan kegiatan (APBD dan LAKIP); (3) dorongan keterbukaan data dan informasi pembangunan sehingga terbuka akses bagi masyarakat, LSM dan media dalam mengakses informasi pembangunan; (4) kordinasi intensif antar lembaga yang terlibat dalam pengawasan pembangunan. 3. Pengarusutamaan gender dalam penyelenggaraan pembangunan perlu semakin didorong bukan hanya dalam perspektif untuk mewujudkan kesetaraan laki-laki dan perempuan dari segi jumlah/proporsi pada berbagai aspek dan tahapan pembangunan; tetapi lebih substantif dari itu adalah bagaimana menyeimbangkan sifat-sifat maskulinitas dan feminitas dalam pengelolaan pembangunan sehingga dengan itu humanisasi dan keberlanjutan pembangunan lebih substantif dihubungkan dengan perspektif gender. C. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT 1. Indikator Indikator yang menjadi basis evaluasi agenda peningkatan kesejahteraan rakyat adalah: (1) Indeks Pembangunan Manusia, (2) Pendidikan mencakup Angka Partisipasi Murni (SD/MI), Angka Partisipasi Kasar (SD/MI), Rata-rata nilai akhir SMP/MTs., Rata-rata
  • 30. 28 nilai akhir SMA/SMK/MA., Angka Putus Sekolah SD., Angka Putus Sekolah SMP/MTs., Angka Putus Sekolah Sekolah Menengah., Angka melek aksara 15 tahun keatas., Persentase jumlah guru yang layak mengajar SMP/MTs., Persentase jumlah guru yang layak mengajar Sekolah Menengah, (3) Kesehatan mencakup Umur Harapan Hidup (UHH), Angka Kematian Bayi (AKB), Prevalensi Gizi buruk (%), Prevalensi Gizi kurang (%), Persentase tenaga kesehatan per penduduk, Keluarga Berencana, Persentase penduduk ber-KB (contraceptive prevalence rate), Laju pertumbuhan penduduk, Total Fertility Rate (TFR), (4) Ekonomi Makro mencakup Laju pertumbuhan ekonomi, Persentase ekspor terhadap PDRB, Persentase output manufaktur terhadap PDRB, Pendapatan per kapita (dalam juta rupiah), Laju inflasi, (5) Investasi mencakup Nilai Rencana PMA yang disetujui, Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta), Nilai Rencana PMDN yang disetujui, Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp Milyar), Realisasi penyerapan tenaga kerja PMA, (6) Infrastruktur mencakup % panjang jalan nasional dalam kondisi baik, sedang, dan buruk, % panjang jalan provinsi dalam kondisi baik, sedang, dan buruk, (7) Pertanian mencakup Rata-rata nilai tukar petani per tahun, PDRB sektor pertanian, (8) Kehutanan mencakup Persentase luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis, (9) Kelautan mencakup Jumlah tindak pidana perikanan dan Luas kawasan konservasi laut (juta Ha), 10. Kesejahteraan Sosial mencakup Persentase penduduk miskin dan Tingkat pengangguran terbuka. Pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan atas indikator-indikator tersebut dapat dilihat pada Tabel-6 berikut. Tabel-6: Pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan atas indikator-indikator Meningkatkan Kesejahteraan Sosial. Nilai Indikator Sumber Data No Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Indeks BPS, 2009; *Angka 70,82*) 1. Pembangunan 67,80 68,06 68,81 69,62 70,22 proyeksi Manusia BPS, 2009; Ke- Angka Partisipasi mendiknas, 2010; 2. 90,64 88,13 91,08 92,06 92,15 92,55*) Disdiknas Sulsel, Murni SD/MI 2010;*Angka proyeksi BPS, 2009; Ke- Angka Partisipasi *) mendiknas, 2010; 3. 103,28 101,43 107,70 108,56 109,25 110,83 Disdiknas Sulsel, Kasar SD/MI 2010;*Angka Proyeksi
  • 31. 29 Rata-rata Nilai Akhir BPS, 2009; Ke- 4. SMP/MTs 4,83 5,95 5,95 5,95 6,44 7,21 mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010 BPS, 2009; Ke- Rata-rata Nilai Akhir mendiknas, 2010; 5. SMA/SMK/MA 5,56 6,05 6,25 6,24 6,28 7,19 Disdiknas Sulsel, 2010 BPS, 2009; Ke- Angka Putus Seko- mendiknas, 2010; *) 6. lah SD 4,17 1,54 3,83 1,61 3,01 3,87 Disdiknas Sulsel, 2010;*Angka Pro- yeksi BPS, 2009; Ke- Angka Putus Seko- mendiknas, 2010; *) 7. lah SMP/MTs 12,15 4,49 3,44 4,87 12,86 16,69 Disdiknas Sulsel, 2010;*Angka Proyeksi BPS, 2009; Ke- Angka Putus Seko- mendiknas, 2010; lah Sekolah Mene- 8. 4,41 3,63 3,13 4,35 24,64 53,84*) Disdiknas Sulsel, ngah 2010;*Angka Proyeksi BPS, 2009; Ke- Angka Melek Aksara mendiknas, 2010; 9. 84,50 84,60 85,70 86,24 85,58 94,47 Disdiknas Sulsel, 15 tahun keatas 2010 Persentase jumlah BPS, 2009; Ke- guru yang layak me- *) *) mendiknas, 2010; 10. 79,01 79,14 76,80 87,38 90,58 93,90 Disdiknas Sulsel, ngajar di SMP/MTs 2010 Persentase jumlah BPS, 2009; Ke- guru yang layak me- mendiknas, 2010; *) *) 11. ngajar di Sekolah 75,88 80,58 90,61 91,03 96,83 102,99 Disdiknas Sulsel, Menengah 2010 BPS, 2005; Bap- penas, 2007;Ris- kesdas, 2007; 12. Umur Harapan Hidup 68,70 68,70 69,20 69,40 70,40 70,98*) Diskes Sulsel, 2010; *Angka Proyeksi. BPS, 2005; Bap- Angka Kematian penas, 2007;Ris- kesdas, 2007; 13. Bayi 37,37*) 36,00 29,10 41,00 27,40 26,35*) Diskes Sulsel, 2010.*Angka Pro- yeksi Prevalensi Gizi BPS, 2005; Bap- penas, 2007;Ris- 14. Buruk 8,53 8,60 1,32 1,89 1,80 1,80 kesdas, 2007; Diskes Sulsel,
  • 32. 30 2010. BPS, 2005; Bap- penas, 2007; Ris- Prevalensi Gizi 15. 19,62 18,35 13,37 14,74 14,50 14.50 kesdas, 2007; Kurang Diskes Sulsel, 2010. BPS, 2005; Bap- Persentase tenaga penas, 2007; Ris- 16. kesehatan 0,0012 0,0015 0,0016 0,0011 0,0015 0,0016* kesdas, 2007; perpenduduk Diskes Sulsel, 2010. BPS, 2004-2009; Persentase BPS, SDKI, 2007. 17. 56,49 56,54 57,30 65,57 62,00 64,29 penduduk berKB Laju pertumbuhan BPS, 2004-2009; 18. penduduk 1,36 1,64 1,41 0,92 1,36 1,33 BPS, SDKI, 2007. Total Fertility Rate 19. 2,29 2,30 Laju Pertumbuhan 20. Ekonomi 5,32 5,20 6,72 6,34 7,72 6,2 BPS Sulsel, 2010 Persentase Ekspor 21. terhadap PDRB 13,50 13,57 13,51 14,58 22,28 12,11 BPS Sulsel, 2008 Persentase Output Manufaktur terhadap 22. 13,44 13,78 13,54 13,22 12,99 12,53 BPS Sulsel, 2008 PDRB Pendapatan perkapi- ta (Berdasarkan Har- BPS Sulsel. 2010 23. 6.150.051 7.016.919 8.126.117 9.079.914 11.092.285 11.541.232 ga Konstan dalam juta rupiah) 24. Laju Inflasi 6,47 7,45 7,21 5,71 11,79 2,22 BPS Sulsel, 2010 Nilai rencana PMA 53,317,00 611,550,000 109,172,533 BKPMD Sulsel, 25. yang disetujui (Juta 0 22,803, 141,430,870 2010 US$) Nilai Realisasi 26. Investasi PMA (US$) 1,7 66,9 13,2 55,0 27,6 76,9 BKPMD Sulsel, 2010 Nilai Rencana PMDN 27. 912,40 996,617 923,027 3.945,147 1.213,999 4.461,424 BKPMD Sulsel, yang disetujui (M) 2010, BPS Sulsel, 2010 Nilai Realisasi Investasi PMDN (M) BKPMD Sulsel, 28. 109,00 147,58 68,60 1,06 1.110,524 1.113,790 2010; BPS Sulsel, 2010 Realisasi Penyerapan Tenaga 29. 116  122  280  3.058  1.992  505 BPS Sulsel, 2010 Kerja PMA
  • 33. 31 Persentase panjang           jalan nasional dalam           kondisi:           LAKIP Pemprov 30. 57,92  72,21  71,60  11,25  64,94  46,91% Sulsel, 2010. Baik Sedang 30,83  25,38  21,15  84,37  28,29  35,30 Buruk 11,24  2,41  7,25  4,38  6,77  17,79 Persentase jalan provinsi dalam kondisi: 31. Baik 54,00 37,76 20,19 42,61 56,24 56,50 LAKIP Provinsi Sedang 22,93 35,80 22,75 39,85 23,78 24,00 Sulsel, 2009. Buruk 23,07 26,44 57,06 17,54 20,00 19,50 Nilai Tukar Petani 32. (rata-rata/tahun) 106,1 94,9 97,4 115,1 100,2 100,55 BPS Sulsel PDRB Sektor Per- BPS Provinsi tanian (nilai M. dan 20.900,36 25.071,81 27.080,00 33. 14.124,24 16.188.36 18.513.26 (30,12) (29,40) (27,90) Sulsel, 2007- %) (31,90) (31,26) (30,40) 2009. Persentase luas lahan rehabilitasi Dishut Sullsel, 34. 2,36 2,76 2,54 2,54 2,54 5,16 2006, 2010 dalam hutan ter- hadap lahan kritis Jumlah tindak pidana 35. perikanan 9 10 11 2 20 10 Dinas Perikanan Sulsel, 2010 Luas kawasan kon- Dinas Perikanan 36. 580.765 580.765 580.765 580.765 762.022 762.022 Sulsel, 2010 servasi laut (Ha) Persentase pen- 37. 14,90 14,98 14,57 14,11 13,34 12,31 BPS, 2010. duduk miskin Tingkat penganggur- 38. 15,93 18,64 12,76 11,25 9,04 8,74 BPS, 2010. an terbuka 2. Analisis Pencapaian Indikator (1) Indeks Pembangunan Manusia Pencapaian IPM Sulawesi Selatan mengalami peningkatan berarti dalam periode 2004-2009. Pada tahun 2009 IPM Provinsi ini sudah berada pada nilai diatas 70, artinya kategori menengah-atas, sementara pada tahun 2004 masih berada pada kategori menengah bawah yakni 67,8. Dari segi peringkat nasional, pada tahun 2004 Provinsi ini
  • 34. 32 berada pada peringkat 21 tetapi pada tahun 2005 dan 2006 turun menjadi peringkat 23, dan pada tahun 2007-2008 pada peringkat 21 dan pada 2009 peringkat 20. Artinya, baik dari segi nilai maupun dari peringkat Sulawesi Selatan mencapai peningkatan signifikan dalam tiga tahun terakhir. Pada Grafik-9 terlihat bahwa peningkatan signifikan tercapai pada tahun 2007, dimana IPM Sulawesi Selatan naik 0,81 poin dari tahun 2007, nilainya menembus angka 70 atau level IPM menengah-atas, peringkat nasional menduduki posisi 21 (Grafik-10). Setelah itu, pada tahun 2008 IPM Sulawesi Selatan naik 0,6 poin, begitu pula pada tahun 2009 naik 0,6 poin, dan peringkat nasionalnya bertahan pada posisi 20. Grafik-9: Perkembangan IPM dan Tingkat Kemiskinan di Sulawesi Selatan, 2004-2009. Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada peningkatan di tahun 2007 dan berhasil bertahan hingga tahun 2009. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi meskipun berfluktuasi dalam lima tahun terakhir, sementara inflasi cukup terkendali, sehingga daya beli masyarakat meningkat. Pertumbuhan ekonomi ini terutama didorong oleh perkembangan infrastruktur dan fasilitas yakni berfungsinya jalan tol yang menghubungkan pelabuhan dengan bandara, berfungsinya bandara baru Sultan Hasanuddin, berkembangnya pusat belanja dan hiburan, serta pelebaran jalan antara Kota Makassar dan Pare-pare yang keseluruhannya mendorong aktivitas perekonomian. Sementara itu, pada sektor pertanian khususnya tanaman pangan, yang penyerapan tenaga kerjanya cukup besar, peningkatan
  • 35. 33 produksi dan produktivitas terus berjalan seiring dengan program Revitalisasi Pertanian secara nasional dan Gerbang Emas (Gerakan Pengembangan Ekonomi Masyarakat) pada periode 2004-2008, dilanjutkan dengan program pencapaian surplus beras dua juta ton dan surplus jagung 1,5 juta ton. Pada produk unggulan lain, kakao yang produksinya menurun hingga tahun 2008, setelah itu mengalami pembenahan dalam bentuk penanaman kembali dan perlakuan sambung samping. Produk unggulan rumput laut yang menyerap tenaga kerja cukup banyak pada hampir seluruh daerah pesisir di Sulawesi Selatan, juga cukup berkembang dalam lima tahun terakhir. Keseluruhan unsur perekonomian rakyat ini telah berkontribusi pada terpeliharanya daya beli sebagaian besar masyarakat Sulawesi Selatan. Fenomena ini juga seiring dengan persentase penduduk miskin yang terus menurun dari tahun 2004 hingga 2009. Sebagaimana diperlihatkan pada Grafik-11, mulai tahun 2006- 2007 persentase penduduk miskin Sulawesi Selatan mengalami penurunan secara moderat, dan pada tahun 2008-2009 menurun lebih signifikan. Penurunan jumlah penduduk miskin menunjukkan perbaikan pada daya beli masyarakat, dimana daya beli adalah salah satu indikator pokok IPM. Kedua, perbaikan pencapaian pada kondisi pendidikan. Pada periode 2007-2009, angka melek huruf dan angka rata-rata lama sekolah penduduk Sulawesi Selatan cukup meningkat. Selain merupakan dampak dari program wajib belajar sembilan tahun yang telah berjalan sebelumnya, pencapaian ini juga dikontribusi oleh perhatian pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bersama seluruh pemerintah Kabupaten pada pembangunan pendidikan, dimana pada tahun 2008 hingga 2010 pendidikan gratis hingga SLTA menjadi prioritas utama pemerintah. Selain itu, pemerintah Provinsi juga memberi beasiswa pendidikan S3 ke luar negeri bagi pegawai negeri sipil dalam jumlah yang cukup besar, yang kalau mereka sudah tamat menjadi faktor yang memperbesar angka rata-rata lama sekolah di Sulawesi Selatan. Ketiga, dalam hal angka harapan hidup, kinerja pembangunan kesehatan Sulawesi Selatan memang telah menunjukkan pencapaian cukup baik selama ini. Pada periode 2008- 2010, dengan dicanangkannya Program Kesehatan Gratis oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan disertai pembangunan rumah sakit untuk pasien kelas III yang digratiskan, sementara pelayanan Jamkesmas oleh pemerintah pusat juga semakin baik, maka diekspektasi bahwa pencapaian indikator angka kematian bayi, angka kematian ibu melahirkan, serta angka harapan hidup sendiri, mengalami peningkatan.
  • 36. 34 Dihubungkan dengan visi RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan yang mencanangkan Sulawesi Selatan sebagai Provinsi 10 Terbaik dalam Pelayanan Hak Dasar di Indonesia, pencapaian IPM di peringkat 20 pada tahun 2009 masih memerlukan akselerasi tinggi untuk bisa mendekati posisi 10 besar. Peningkatan memang telah dicapai signifikan, tetapi akselerasinya belum cukup untuk memenuhi target. Waktu tiga tahun yang tersisa, yakni 2010-2013, merupakan kesempatan bagi Provinsi ini untuk mengejar pencapaian visinya. (2) Pendidikan. Terdapat sepuluh indikator yang akan dikemukakan dalam menganalisis kinerja pendidikan di Sulawesi Selatan, yang di dalamnya tercakup pendidikan dasar dan menengah. Secara umum dari kesepuluh indikator tersebut, tujuh di antaranya menunjukkan kecenderungan membaik, yaitu Angka Partisipasi Murni Tingkat SD, Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD, rata-rata nilai akhir tingkat SMP, rata-rata nilai akhir tingkat sekolah menengah, Angka Melek Huruf (%), persentase guru layak mengajar terhadap guru seluruhnya tingkat SMP, dan persentase guru layak mengajar terhadap guru seluruhnya tingkat sekolah menengah. Kecenderungan memburuk yang diperlihatkan oleh angka-angkanya yang meningkat adalah Angka Putus Sekolah Tingkat SMP (%) dan Angka Putus Sekolah Tingkat Sekolah Menengah (%). Sementara Angka Putus Sekolah Tingkat SD (%) menunjukkan ketidakstabilan yang ditunjukkan oleh nilainya yang fluktuatif dari tahun ke tahun. 1. Angka Partisipasi Murni (SD/MI) Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat SD/MI, pada tahun 2005 mengalami penurunan yang cukup besar dari 90,64 pada tahun 2004 menjadi 88,13 (Grafik-12). Setahun kemudian, angka tersebut bisa dinaikkan kembali melampaui angka tertinggi yang dicapai setahun sebelumnya menjadi 91,08, sebelum naik secara perlahan rata-rata di bawah satu digit sampai tahun 2009. Menurunnya APM tingkat SD/MI pada tahun 2005 tidak terlepas dari kenyataan kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarga miskin untuk bisa menyekolahkan anaknya (Grafik-13). Pada saat itu Sulawesi Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi rendah, sementara laju inflasi mencapai tingkat tertingginya. Di Makassar misalnya, laju inflasi saat itu mencapai 15,20, jauh melambung dari tahun sebelumnya yang sebesar 6,47. Keadaan ini jelas mengurangi daya beli masyarakat sehingga banyak diantara mereka yang hanya berada sedikit di atas garis kemiskinan kembali terjatuh miskin. Berdasarkan Grafik-10 tampaknya pendidikan anak-anak adalah salah satu aspek yang terpaksa dikorbankan oleh kelompok keluarga miskin untuk bisa bertahan dalam
  • 37. 35 kesulitan ekonomi seperti itu. Meskipun pada saat itu mulai diperkenalkan kebijakan inklusif di bidang pendidikan, seperti adanya dana BOS, tetapi sosialisasi dan pelaksanaannya belum sepenuhnya efektif dan menyentuh secara tepat semua kelompok miskin yang sangat berkepentingan. Angka Partisipasi Murni Tingkat SD/MI dan Persentase Penduduk Miskin 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 2004 1 2005 2 2006 3 2007 4 2008 5 2009 6 Partisipasi murni tingkat SD/MI % penduduk miskin Grafik-10: Perkembangan APM dan Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Sumber: BPS, 2010; Kementerian Diknas, 2010) Untungnya penurunan APM tingkat SD/MI ini tidak berlangsung lama. Sejak tahun 2006 keadaan itu secara cepat bisa tertanggulangi dan terus mengalami pertumbuhan pada tahun-tahun sesudahnya. Grafik juga menunjukkan bahwa sejak tahun 2006 kondisi kemiskinan di Sulawesi Selatan juga perlahan bisa dikurangi, sehingga jumlah keluarga yang tidak bisa membiayai pendidikan anggotanya juga bisa diperbesar. 2. Angka Partisipasi Kasar Menurunnya angka partisipasi sekolah pada tahun 2005, juga terlihat pada Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD/MI (Grafik-11). Pada tahun 2004, APK tingkat SD/MI sebesar 103,28 dan turun menjadi 101,43 pada tahun 2005. Penyebab penurunan ini diduga juga sama dengan yang mempengaruhi APM, yaitu faktor yang terkait dengan ekonomi khususnya kemiskinan keluarga peserta didik.
  • 38. 36 Hal yang membuat lonjakan APK pada tahun 2006 menarik adalah karena peningkatannya yang jauh melebihi APM. Pada tahun 2006, APK telah menjadi 107,70, jauh meninggalkan APM yang baru mencapai 91,08. Diduga kuat penyebabnya adalah meningkatnya peserta didik baru pada jenjang SD/MI yang berasal dari mereka yang setahun lalu terpaksa menunda niat mengikuti pendidikan dasar. Besaran APK yang semakin timpang dengan APM, serta semakin tingginya APK di atas angka 100 menunjukkan membengkaknya jumlah peserta didik pada jenjang sekolah dasar yang berusia tidak sesuai dengan jenjang pendidikannya. Jika benar dugaan bahwa kesulitan ekonomilah yang menyebabkan keluarga menunda memasukkan anggota keluarganya ke lembaga pendidikan, maka hal itu mengindikasikan masih adanya kecenderungan keterlambatan mengikuti pendidikan dasar pada sebagian anak-anak. Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD/MI 112,00 110,00 108,00 106,00 104,00 102,00 100,00 98,00 96,00 2004 1 2005 2 2006 3 2007 4 2008 5 2009 6 Partisipasi kasar tkt SD/MI Grafik-11: Perkembangan APK SD/MI (Sumber: Kementerian Diknas, 2010). Berdasarkan data tahun 2008 dan data proyeksi tahun 2009, baik APM maupun APK mulai menunjukkan peningkatan yang stabil. Jika APM berubah menjadi 92,55 pada tahun 2009 dari 92,15 tahun sebelumnya, maka APK naik perlahan dari 109,25 pada tahun 2008 menjadi 110,83 pada tahun 2009. Kondisi stabil ini terutama dipicu stabilitas ekonomi masyarakat, serta dukungan kebijakan inklusif di bidang pendidikan dasar yang semakin terjangkau dan merata.
  • 39. 37 3. Rata-rata Nilai Akhir SMP/MTs Rata-rata nilai akhir siswa SMP/MTs yang diukur melalui nilai ujian nasional pada berbagai mata pelajaran, menunjukkan bahwa pencapaian siswa di Sulawesi Selatan terus menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2004, rata-rata nilai akhir ujian nasional siswa SMP/MTs adalah 4,83, lalu meningkat menjadi 5,95 dan bertahan selama tahun 2005 hingga 2007. Pada tahun 2008, nilai ujian akhir tersebut meningkat menjadi 6,44 dan pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi 7,21. Dibalik peningkatan nilai tersebut, jumlah dan proporsi siswa yang lulus ujian nasional juga terus meningkat dari tahun ketahun. Prestasi rendah umumnya ditunjukkan oleh sekolah-sekolah swasta yang manajemen pembelajarannya kurang baik, sementara pada sekolahh negeri prestasi rendah hanya ditunjukkan pada kabupaten tertentu. Ini menunjukkan adanya peningkatan kualitas proses belajar-mengajar serta kualitas dari berbagai unsur lainnya seperti guru dan sarana dan prasarana sehingga prestasi belajar siswa terus meningkat. Salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan ini adalah adanya peningkatan upaya yang nyata pada tingkat sekolah, terutama dalam memberikan tambahan jam belajar kepada siswa pada tahun penyelenggaraan ujian nasional. Upaya-upaya ini diduga terkait pula dengan adanya persaingan positif antar sekolah dan daerah karena hasil ujian nasional selalu diberitakan luas setiap tahun; sekolah yang bagus prestasinya mendapatkan pujian sementara sekolah yang prestasi ujian nasionalnya rendah mendapatkan kritikan dari masyarakat. Selain itu, pencanangan Gubernur Sulawesi Selatan atas Pendidikan Gratis, diikuti dengan komitmen Bupati dan Walikota untuk mendukungnya, memang kemudian menuntut konsekuensi bahwa dibalik penggratisan tersebut jangan sampai kualitas terkorbankan. Hal ini direspons dengan perhatian yang tinggi pada kalangan Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam bentuk mendorong persiapan siswa sebaik-baiknya dalam menghadapi ujian nasional. 4. Rata-rata Nilai Akhir SLTA/MA Rata-rata nilai akhir siswa SLTP/MA juga mengalami peningkatan pada periode 2004- 2009. Pada tahun 2004, rata-rata nilai akhir siswa SLTA/MA adalah 5,58, angka ini terus meningkat menjadi 6,05 tahun 2005, 6,25 tahun tahun 2006, turun menjadi 6,24 tahun 2007, naik lagi menjadi 6,28 tahun 2008 dan pada tahun 2009 mencapai nilai 7,19. Beberapa daerah seperti Kota Makassar, Kota Palopo, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur menunjukkan prestasi yang cukup konsisten.