2. 01 :Realisme
Jelaskanlah maksud atau pandangan inti dari teori-teori realis (mimetis) tentang seni, dengan juga memberikan contoh-
contoh!
a. Di manakah letak keindahan (juga kejelekan), ‘kebenaran’ (juga ‘kesalahan’), dan kebaikan (juga keburukan) suatu
karya seni dari sudut pandang teori ini?
b. Apakah kekuatan utama teori-teori realis tentang seni?
c. Di manakah batas-batas / kelemahannya dalam menjelaskan keindahan, ‘kebenaran’ dan kebaikan seni (termasuk
lawannya: kejelekan, ‘kesalahan’ dan keburukan seni) ?
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Pandangan inti dari teori-toeri realisme merupakan pemikiran dari filsuf Yunani, yakni Plato dan
Aristoteles, dengan teori mimemis.
Pemikiran Plato mengenai keindahan berkaitan dengan pemikirannya tentang dunia idea. Menurut Plato,
dunia terdiri atas dua, yakni dunia idea (dunia atas) dan dunia bawah (doxa). Plato, guru dari Aristoteles,
menyatakan bahwa realitas adalah yang berada di dalam dunia idea, sementara apa yang kita lihat dalam
kehidupan nyata sehari-hari di sekeliling kita (dunia inderawi) semata adalah tiruan dari dunia idea (yang
merupakan realitas sebenarnya.) “Idea itu bersifat rohani, kekal, dan tidak berubah”1 Dan Plato melihat
karya seni sebagai tiruan dari kenyataan yang ada di dunia, yang merupakan tiruan dari dunia idea, dan
inilah yang dikenal sebagai teori mimesis.
Dan seni, yang merupakan tiruan dari tiruan tersebut bagi Plato menjauhkan audiens dari realita
(kebenaran sejati). Bagi Plato, seni memiliki kecenderungan untuk menghasilkan suatu emotional appeal
yang dikhawatirkan mengarahkan audiens ke tingkah laku yang irasional dan imoral, terutama jika dilihat
pada masa itu warga Negara memiliki tugas besar untuk membangun Negara, yang bisa terdistraksi
dengan karya seni, terutama sastra dan drama yang akan mempengaruhi audiens untuk lebih berpihak
pada emosi dibanding pemikiran rasional.
Kita bisa melihat contoh hasil karya dari Jeff Koons, yang secara gamblang mengakui bahwa karya seninya
memang berorientasi pada keberhasilan yang bersifat komersial2. Salah satunya: Puppy. Puppy memberikan
suatu emotional appeal terhadap audiensnya, dimana audiens memiliki suatu hubungan emosional yang
dalam terhadap si karya seni yang merupakan tiruan dari anjing di dunia nyata, dibandingkan terhadap
anjing di dunia nyata itu sendiri. Contoh lain yang serupa adalah pada robot-robot anjing yang diciptakan
di Jepang, yang bisa kita sebut sebagai contoh seni kinetik. Robot-robot anjing tersebut adalah tiruan dari
anjing di dunia nyata, namun bisa memunculkan emotional appeal yang begitu persuasif bagi audiensnya,
sehingga memunculkan kecenderungan bagi audiens untuk ‘memelihara’ si anjing artifisial tersebut,
dibanding untuk memelihara (sebagai bentuk afeksi) terhadap anjing di kehidupan nyata; yang
membuktikan kekhawatiran Plato mengenai dampak seni realisme terhadap tingkah laku manusia yang
mengaburkan realita. Baginya, hanya filsafat yang bisa dijadikan sumber pengetahuan. Plato memiliki
kekhawatiran bahwa dampak dari seni yang begitu enjoyable bisa berbahaya terhadap efek psikologikal
tingkah laku.3
Jika Plato berkeberatan dengan seni karena dikhawatirkan berpotensi memberi pengaruh buruk bagi
tingkah laku masyarakat, Aristoteles melihat seni sebagai sesuatu yang bermakna, yang mampu
memberikan nilai tambah bagi manusia.
__________________________________________________________________________________________________________________________
1
Matius Ali, Estetika – Sebuah Pengantar Filsafat Keindahan. (Tangerang: Sanggar Luxor). h.16
2
Terry Barett, Why Is That Art?.(Oxford: Oxford University). h.27
3
Ibid. h.20
3. Yang utama mengenai keindahan bagi Aristoteles adalah pengetahuan yang dibawa di dalam seni. Bagi
Aristoteles, realita/hakikat suatu benda bukannya berada di dunia idea, melainkan di dalam benda itu
sendiri. “Seni tidak hanya tiruan dari suatu benda yang ada di alam, tetapi lebih sebagai “tiruan dari
sesuatu yang universal” (imitation of something that is universal).4 Kita bisa mengambil contoh karya seni
dari Andreas Serrano, yang melalui karya fotografinya, bukan sekedar mencari cermin dari apa yang terjadi
di dunia nyata, melainkan mampu memberikan suatu pemaham / pengetahuan yang particular namun
tetap universal.
Bagi Aristoteles, seni pertama-tama harus berbasis pada pengetahuan, baru pada tampilan dan fungsinya,
karena pengetahuan mampu mempengaruhi tingkah laku seseorang yang akan berdampak pada hidupnya
dalam bermasyarakat. Dalam karya seni Rockmann, Manifest Destiny, yang menggambarkan kondisi akibat
ketidakseimbangan alam akibat ulah manusia, mewakili teori katarsis Aristoteles, dimana seni dapat
menjadi media ‘pemurnian’. Yang dimaksud dengan pemurnian di sini adalah, seni yang mencerminkan
kehidupan nyata dan berbasis pada pengetahuan mampu memberikan suatu pemahaman bagi audiensnya
untuk bisa mengubah tingkah lakunya agar bisa memberikan sesuatu yang baik dalam hidup
bermasyarakat, atau singkatnya, seni yang bersifat normatif.
Dari paparan landasan pemikiran di atas, baik Plato maupun Aristoteles memiliki pandangan yang sejalan
mengenai keindahan / kebaikan dalam seni dari sudut pandang teori ini, yakni: pengetahuan dan dampak
yang diberikan karya seni terhadap manusia untuk bertingkah laku lebih baik (konstribusinya terhadap
pengetahuan yang sesungguhnya), yang dapat berpengaruh pada perilaku manusia dalam hidup
bermasyarakat; yang dilakukan dalam seni yang menjadi cerminan kehidupan nyata. Hanya saja,
representasi realistik dalam karya seni dapat dipahami secara keliru sebagai kondisi dunia yang terjadi
sesungguhnya, bukan sebagai apa yang seniman gambarkan atas apa yang mereka lihat (interpretasinya
terhadap dunia yang mereka hadapi), karena masing-masing seniman berperan secara unik dalam
pengalaman dan pengetahuan melalui karya seni.5 Dan bagaimana seni mampu berkontribusi terhadap
pengetahuan menjadi kelebihan sudut pandang teori realisme ini terhadap seni.
Kelemahannya adalah seniman dibebani oleh ekspektasi publik untuk bisa menggambar secara realistik,
yang dijadikan sebagai parameter untuk mengukur kredibilitas si seniman hanya dengan berdasar pada
keahliannya untuk menirukan, sehingga keahlian mimetisme (meniru) menjadi kriteria untuk segala jenis
karya seni yang dibuat oleh seniman manapun, tanpa mempertimbangkan apakah karya seni tersebut
merepresentasikan estetika Realisme atau tidak, dan mengabaikan kriteria apresiasi berupa kontribusi
karya seni realism tersebut terhadap pengetahuan.6 Di sisi lain, seniman yang memang menghasilkan karya
seni dengan estetika Realisme sebagai dasar filosofis karyanya, cenderung dianggap berangkat dari teori
yang sudah kuno dan ketinggalan jaman. Dan masyarakat awam yang mengekspektasikan seni dengan
teknik mimetis yang ahli membatasi apresiasi mereka sebatas pada kenikmatan yang ditimbulkan dari seni
yang realistik saja, dan Plato mengkhawatirkan kesenangan/kenikmatan seperti itu akan mengarahkan
audiens pada kesesatan dan kepalsuan, yang bisa berdampak pada tingkah laku yang immoral.7
__________________________________________________________________________________________________________________________
4
Matius Ali, Op.cit,. h.22
5
Terry Barrett, Op.cit., h. 52
6
Ibid. h.51
7
Terry Barret, loc.cit.
4. 02 :Ekspresionisme & Kognitivisme
Jelaskan maksud atau pandangan pokok teori-teori ekspresionistik / kognitivistik tentang seni, lengkapi dengan contoh!
a. Di manakah letak keindahan dan makna seni menurut teori-teori ekspresionistik?
b. Apakah kelebihan teori-teori ekspresionistik, terutama dibanding teori-teori realis (mimetis)?
c. Apakah kelemahan / batas-batas pandangan ekspresionistik dalam memahami dan menilai seni?
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pandangan pokok teori ekspresionistik / kognitivistik adalah emosi yang disampaikan melalui karya seni.
Secara lebih spesifik, ekspresionisme menampilkan / berbicara mengenai pengalaman emosional si
seniman melalui karya seninya, yang menjadikan karya seni ekspresionisme bersifat subyektif karena
berfokus pada si individu senimannya. Ekspresionisme menekankan perasaan, dan bagaimana emosi
dapat dirasakan melalui karya seni. Sementara kognitivisme, sebagaimana dijelaskan oleh Terry Barrett
dalam Why Is That Art?, memang berhubungan erat dengan ekspresionisme namun terpisah darinya,
karena kognitivisme menekankan pada pengetahuan yang disampaikan oleh suatu karya seni mengenai
dunia dengan cara yang unik dan powerful. Dari sini, kita dapat memahami bahwa kognitivisme
menekankan pada pemahaman tentang dunia, dan salah satu caranya adalah melalui emosi di dalam karya
seni. Jika ekspresionisme adalah tentang feeling, kognitivisme adalah tentang thinking.
Dengan demikian, keindahan ekspresionisme terletak pada sejauh mana emosi yang disampaikan seniman
melalui karya seninya juga dapat dirasakan oleh orang yang melihat karya seni tersebut. Keindahan
kognitivisme, selain pada perasaan yang termunculkan melalui karya seni, juga terletak pada bagaimana
karya seni dalam memberikan pemahaman / pengetahuan / kognisi.
Pemikir-pemikir seperti Tolstoy, Croce, Collingwood, Langer, Dewey, Goodman, dan Danto ikut mendasari
teori ekspresionisme & kognitivisme ini berkaitan dengan seni sebagai media penyampaian pengalaman
emosi, baik yang menekankan hanya pada perasaan yang mampu ditangkap oleh audiens saja maupun
pengalaman yang tercipta dengan munculnya pemahaman audiens terhadap emosi apa yang disampaikan
seniman melalui karya seninya.
Menurut Susanne Langer, seni adalah bahasa yang memberikan alternatif bentuk sebuah makna. Hal ini
senada dengan Cynthia Freeland dan Eileen John yang menyampaikan bahwa syarat dari seni adalah
mengandung upaya interpretasi artistik yang kompleks. Di sini, lain halnya dengan mimetis yang menjadi
cermin dari dunia keseharian, metafora mengambil peran dalam seni ekspresionisme / kognitivisme (yang
juga tersampaikan dalam pemikiran Croce, Goodman, dan Danto) untuk menyampaikan suatu makna,
berdasarkan pengalaman emosional si seniman melalui karya seni yang non-obyektif. Makna yang
terwakilkan lewat metafora di dalam karya seni berkaitan dengan ekspresi emosional dari sang seniman
berhubungan dengan teori psikoanalisa Sigmund Freud. Menurut Freud, ekspresi yang disampaikan oleh
seniman melalui karya seninya merupakan gambaran dari alam bawah sadarnya (subkonsius). Subkonsius
adalah pemikiran yang ditekan oleh kesadaran (something below the surface), namun mempengaruhi
pemikiran sadar tanpa secara langsung bisa terlihat / diinterpretasikan, dan di sanalah analisa
dibutuhkan.9
Mengambil contoh lukisan ekspresionisme karya Joan Mitchell; suatu pengalaman emosional si seniman
mampu tergambarkan melalui lukisan-lukisan abstraknya, yang mampu dirasakan juga oleh audiensnya,
misalnya perasaan marah. Mitchell mengakui bahwa “I am certainly not aware of myself. Painting is a way
of forgetting oneself.”9 yang mewakili teori Freud mengenai subkonsius yang mendominasi ekspresi
emosional di dalam karya seni ekspresionisme.
__________________________________________________________________________________________________________________________
8
Ibid. h. 67
9
Ibid. h.75
5. Untuk bisa memahami makna metafora dalam karya seni ekspresionisme Mitchell tersebut, audiens harus
bisa memahami latar belakang Mitchell itu sendiri, misalnya dari kebiasaannya, latar belakang kehidupan
pribadi dengan keluarganya, pandangannya, dan lain sebagainya.
Berkenaan dengan hal tersebut, untuk menilai suatu karya seni ekspresionisme, hanya bisa dipahami
secara menyeluruh hanya dengan memahami latar belakang si individu senimannya. Hal inilah yang
menjadi kelemahan atau batasan dalam teori ekspresionisme: jika audiens tidak memiliki kesempatan
untuk bertanya langsung pada senimannya mengenai ekspresi yang dibawakannya atau tidak
berkesempatan untuk memahami si senimannya tersebut (misalnya, ketika seniman tersebut wafat, kita
tidak akan bisa memahami secara menyeluruh dan sepenuhnya tepat tentang ekspresi emosi yang
disampaikan seniman tersebut lewat karya seninya).
Jika teori psikoanalisa Freud menyatakan bahwa seni ekspresionisme menyampaikan ekspresi yang berada
di bawah permukaan kesadaran seniman (individu), Estetika Marxisme kurang lebih menyampaikan hal
serupa, namun yang disampaikan adalah apa yang berada di bawah kesadaran sosial masyarakat.Filsafat
Marxisme sendiri adalah kritik terhadap kapitalisme yang terjadi pasca revolusi industry yang
memunculkan kelas baru dalam masyarakat, yakni kaum borjuis yang menguasai alat produksi, sehingga
kaum proletar teralienasi (terasingkan) antara kerja dan dirinya sendiri, dan hal itulah yang dirujuk
sebagai apa yang tidak terlihat di permukaan masyarakat dalam estetika Marxisme.
Estetika Marxisme tergolong sebagai kognitivisme karena dalam pandangan teori ini, seni selain menjadi
ekspresi masyarakat, juga harus bisa menyampaikan pemahaman / pengetahuan kepada audiensnya
tentang apa yang terjadi di masyarakat. Tidak hanya itu, menurut teori estetika Marxisme, seni harus bisa
memiliki daya transformasi di masyarakat, dimana seni tidak hanya sekedar membawa pemahaman dan
kesadaran, tapi juga daya yang mendorong audiensnya untuk bertindak atas ‘ketidakberesan’ yang
akhirnya mereka sadari melalui karya seni tersebut. Dalam konteks ini, seniman memiliki tanggung jawab
atas pengetahuan, untuk bisa menyampaikan pemahaman tersebut kepada masyarakat; atau dengan kata
lain, seniman memiliki tanggung jawab sosial atas apa yang terjadi di masyarakat dan berperan untuk
melakukan perubahan atas hal tersebut, karena seni itu tidak berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi oleh
masyarakat. (Ingat bahwa yang diekspresikan di sini adalah masyarakat, sudah bukan lagi individu). Poin
ini menjadi suatu kelebihan dari teori kognitivisme, dimana seni bisa membawa pemahaman, kesadaran,
pengetahuan, dan daya perubahan dan daya juang di dalam masyarakat.