Pendidikan masa penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia dicirikan oleh sistem dualisme, kontrol sentral yang kuat, dan tujuan untuk mendidik pekerja pribumi agar patuh pada penjajah. Sistem ini tidak sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia dan berdampak buruk bagi perkembangan pendidikan nasional.
1. ANALISIS FILSAFAT DAN TEORI PENDIDIKAN
SEJARAH SINGKAT PENDIDIKAN TAMAN SISWA
(TUGAS TAMBAHAN)
Disusun oleh : Elsina Sihombing, M.Pd
NIM : 14169008
Dosen Pengampu : Prof. Dr.Jamaris Jamna, M.Pd
Prof. Dr. Nurhijrah, M.Pd
2. SEJARAH SINGKAT PENDIDIKAN
TAMAN SISWA
• Pada tanggal 3 Juli 1922 berdirilah Taman
Siswa oleh Ki Hajar Dewantara (Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat) . "National
Onderwijs Institut Taman Siswa".
Namun mengalai banyak kririkan, masukan,
bahkan hujatan, baik dari pribumi maupun
kolonial
3. Tujuan Pendidikan
# Membangun anak didik menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Merdeka lahir batin, luhur
akal budinya, cerdas dan berketerampilan
serta sehat jasmani dan rohaninya untuk
menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan
bertanggung jawab atas kesejahteraan
bangsa, tanah air serta manusia pada
umumnya.
4. Tokoh Pendidikan Taman Siswa :Ki Hajar Dewantara, R.M.
Sutomo Suryokusumo, R.M.H. Suryoputro, dan Ki Pronowidigdo
Mengadakan kongres 20-22 Oktober 1923
dengan hasil sebagai berikut:
1. Mengumumkan bahwa Taman Siswa
merupakan “Badan Wakaf” (Institut Pendidikan
yang berdiri sendiri, bebas dari pemerintah).
2. Menyatakan prinsip-prinsip Taman Siswa
3. Menyusun kembali institutraat menjadi
hoofdraat (Majelis Tinggi), yang kemudian
diubah lagi menjadi Majelis Luhur.
5. Kongres ke-2 di Jogjakarta 6-13 Agustus 1930
* Paradigma Pendirian Pendidikan Taman Siswa adalah :
1. Taman Siswa bertujuan mendukung perkembangan nasional.
2. Nasional Onderwijs Institut diganti menjadi perguruan Nasional Taman
Siswa yang berpusat di Jogyakarta.
3. Taman Siswa merupakan suatu yayasan yang berdiri sendiri
4. Taman Siswa membentuk suatu konsolidasi, dimana tiap cabang
diintegrasikan kedalamnya di bawah bimbingan perguruan pusat.
5. Taman Siswa merupakan suatu keluarga, dimana Ki Hajar Dewantara adalah
bapak dan Taman Siswa di Jogyakarta adalah ibu.
6. Tiap-tiap cabang Taman Siswa mesti membantu cabang lainnya atau
berprisip saling bahu membahu.
7. Taman Siswa mesti diurus sesuai demokrasi, akan tetapi demokrasi
haruslah tidak mengganggu ketertiban dan perdamaian Taman Siswa
sebagai keseluruhan.
6. MASA PENJAJAHAN JEPANG
* Pada permulaan masa pendudukan Jepang,
perguruan Taman Siswa mengalami
perkembangan yang amat pesat, namum pada
akhirnya tidak dapat dipertahankan. Oleh
karena itu dengan mengelabui pemerintah
Jepang, nama Taman Siswa diganti dengan
nama lain. Mata pelajaran yang diberikan
sama bobotnya dengan pendidikan umum.
7. KONGRES KE-3 TAHUN 1946
* merumuskan kembali pernyataan asas tahun 1922, lahirlah
Panca Dharma sebagai dasar Taman Siswa, yang berisi
kemerdekaan, kodrat alam, kebangsaan, kebudayaan, dan
kemanusiaan.
*Prinsip dasar dalam sekolah Taman Siswa yang menjadi
pedoman bagi seorang guru adalah:
- Ing ngarsa sung tulada (yang di depan memberi
teladan/contoh)
- Ing madya mangun karsa (di tengah membangun
prakarsa/semangat.
-Tut wuri handayani (dari belakang mendukung).
9. • Taman Siswa memiliki nama yang unik, seperti
- Taman Indria atau Taman Kanak-kanak (TK)
- Taman Muda atau Sekolah Dasar (SD)
- Taman Dewasa atau Sekolah Menengah
pertama (SMP)
- Taman Madya atau Sekolah Menengah Atas
(SMA)
- Taman Guru atau Sarjana Wiyata atau
Universitas (Perguruan Tinggi)
10. KESIMPULAN
* Melihat hasil pendidikan tidak sesuai dengan
karakteristik bangsa Indonesia, maka dipikirkan
sistem pendidikan nasional yang berdasarkan
budaya bangsa Indonesia dengan mengutamakan
kepentingan masyarakat. Akhirnya pada tanggal 3
Juli 1922 berdirilah Taman Siswa oleh Ki Hajar
Dewantara. Taman berarti tempat bermain atau
tempat belajar, dan Siswa berarti murid. Ketika
pertama kali didirikan, sekolah Taman Siswa ini
diberi nama "National Onderwijs Institut Taman
Siswa".
11. • Ki Hajar Dewantara, R.M. Sutomo Suryokusumo,
R.M.H. Suryoputro, dan Ki Pronowidigdo, 20-22
Oktober 1923 merumuskan hasil kongres sebagai
berikut:
a. Mengumumkan bahwa Taman Siswa merupakan
“Badan Wakaf” (Institut Pendidikan yang berdiri
sendiri, bebas dari pemerintah).
b. Menyatakan prinsip-prinsip Taman Siswa
c. Menyusun kembali institutraat menjadi hoofdraat
(Majelis Tinggi), yang kemudian diubah lagi menjadi
Majelis Luhur
12. • Pada permulaan masa pendudukan Jepang, perguruan
Taman Siswa mengalami perkembangan yang amat
pesat, namum pada akhirnya tidak dapat
dipertahankan. Oleh karena itu dengan mengelabui
pemerintah Jepang, nama Taman Siswa diganti dengan
nama lain. Mata pelajaran yang diberikan sama
bobotnya dengan pendidikan umum.
• Setelah kemerdekaan, Taman Siswa lebih meningkatkan
peranannya di Indonesia. Kongres Taman Siswa di
tahun 1946 merumuskan kembali pernyataan asas
tahun 1922. Dikemukakan Panca Dharma sebagai dasar
Taman Siswa, yang berisi kemerdekaan, kodrat alam,
kebangsaan, kebudayaan, dan kemanusiaan
13. • Perguruan Taman Siswa memiliki peranan yang cukup
besar terhadap perkembangan pendidikan nasional di
Indonesia, yakni menanamkan semangat kebangsaan
serta sikap anti penjajahan. Persoalannya sekarang
adalah bagaimana menyesuaikan asas-asas yang
dicetuskan dalam zaman penjajahan itu dengan kondisi
sekarang.
• Prinsip dasar dalam sekolah Taman Siswa yang menjadi
pedoman bagi seorang guru adalah:
• Ing ngarsa sung tulada (yang di depan memberi
teladan/contoh)
• Ing madya mangun karsa (di tengah membangun
prakarsa/semangat)
• Tut wuri handayani (dari belakang mendukung).
14. * Perlawan Taman Siswa terhadap ordonansi sekolah
liar merupakan masa gemilang bagi sejarahnya,
yang juga berarti mempertahankan hak
menentukan diri sendiri bagi bangsa Indonesia.
Sesudah itu Taman Siswa akan mengadakan lagi
perlawanan terhadap peraturan pemerintah
kolonial yang dapat dianggap merugikan rakyat.
Pada tahun 1935 Taman Siswa mempunyai 175
cabang yang tersebar di sekolahnnya ada 200 buah,
dari mulai sekolah rendah hingga sekolah
menengah.
15.
16. THANKS A LOT,
WISHING INDONESIA EDUCATION BE THE BEST
November, 2014,
By : ELSINA SIHOMBING, M.Pd
18. ANALISIS PARADIGMA DAN PELAKSANAN PENDIDIKAN
INDONESIA MASA PENJAJAHAN
I. RASIONAL
Masa penjajahan Belanda dan Jepang di
Indonesia memberikan dampak yang tidak
menguntungkan bagi sistem pendidikan.
Perkembangan pendidikan cenderung tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini
masih dirasakan hingga sekarang. Sebagai
muaranya adalah rendahnya sumber daya
manusia untuk bersaing dalam era global.
19. Alasan orang Belanda mendirikan sekolah bagi
anak-anak Indonesia yaitu untuk mendidik anak
Belanda dan Jawa agar menjadi pekerja yang
kompeten pada VOC. Dan pada saat itu belum
terdapat pengajaran klasik. Mengajar berdasarkan
pengajaran individual. Murid-murid datang
seorang demi seorang ke meja guru dan menerima
bantuan individual. Bahasa yang dipergunakan
adalah bahasa melayu dan portugis, karena bahasa
belanda masih dirasakan sulit.
20. Faktor-faktor yang menyebabkan berlangsungnya politik etika
Terbit sebuah artikel oleh Van Devender berjudul “Hutang
Kehormatan” dalam majalah De Gids. Disitu ia
mengemukakan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh
Indonesia selama ini hendaknya dibayar kembali dari
perbendaharaan Negara.
Factor lain yang menyebabkan berlangsungnya politik etika ini
ialah kebangkitan Nasional dengan berdirinya Budi Utomo
pada tahun 1908,
serikat islam partai politik pertama di Indonesia yang
didasarkan atas organisai Barat didirikan tahun 1919,
adanya volksraad tahun 1918 yang merupakan saluran bagi
orang Indonesia untuk menyatakan pendapatnya
21. Sistem persekolahan pada zaman pemerintahan
Hindia Belanda, secara umum sistem pendidikan
khususnya system persekolahan didasarkan kepada
golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan
(kelas) social yang ada dan menurut golongan
kebangsaan yang berlaku waktu itu, diantaranya:
*Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)
*Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah
*Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )
*Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)
22. Ciri umum politik pendidikan Belanda
Menurut Tilaar (1995) dalam pandangannya
menyebutkan ada 5 ciri yang dapat ditemukan
pendidikan kita dimasa colonial belanda yaitu:
*System Dualisme
*System Korkondasi
*Sentralisasi
*Menghmbat gerakan Nasional
*Perguruan swasta yang militer
*Tidak adanya perencanaan pendidikan yang
sistematis
23. Menurut Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan
enam ciri umum politik pendidikan Belanda, yaitu:
*Dualisme
*Gradualisme
*Prinsip Konkordansi
*Control sentral yang kuat
*Tidak adanya perencanaan pendidikan yang
sistematis
*Pendidikan pegawai sebagai tujuan utama
sekolah.
24. II. PEMBAHASAN
A. MASA KOLONIAL BELANDA
1. Zaman VOC (Kompeni)
Pada permulaan abad ke 16 hampir se abad sebelum kedatangan
belanda, pedagang portugis menetap di bagian timur Indonesia
tempat rempah-rempah itu di hasilkan. Biasanya mereka didampingi
oleh misionaris yang memasukkan penduduk kedalam agama katolik
yang paling berhasil tiantara mereka adalah Ordo Jesuit di bawah
pimpinan Feranciscus Xaverius. Xaverius memandang pendidikan
sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran agama. Seminari dibuka
di ternate, kemudian di solor dan pendidikan agama yang lebih
tinggi dapat diperoleh di Goa, India, pusat kekuasaan portugis saat
itu. Bahasa portugis hampir sama populernya dengan bahasa
melayu, kedudukan yang tak kunjung di capai oleh bahasa Belanda
dalam waktu 350 tahun penjajahan kekuasaan portugis melemah
akibat peperangan denngan raja-raja Indonesia dan akhirnya
dilenyapkan oleh belanda pada tahun 1605.
25. Metode kolonialisasi belanda sangat sederhana,
menjalankan pemerintahan melalui raja-raja.
Oleh sebab belanda tidak mencampuri kehidupan
orang Indonesia secara langsung, maka sangat sedikit
yang mereka perbuat untuk pendidikan bangsa.
Kecuali usaha menyebarkan agama mereka di
beberapa pulau di bagian timur Indonesia. Itulah
kegian pendidikan pertama yang dilakukan VOC.
26. 2. Zaman Pemerintahan Belanda
Setelah VOC
Setelah VOC dibubarkan, para Gubernur/ komisaris
jendral harus memulai system pendidikan dari
dasarnya, karena pendidikan zaman VOC berakhir
dengan kegagalan total. Pemerintahan baru yang
diresapi oleh ide-ide liberal aliran aufklarung atau
Enlightenment menaruh kepercayaan akan pendidikan
sebagai alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan
social. Pada tahun 1808 Deandels seorang Gubernur
Belanda mendapat perintah Raja Lodewijk untuk
meringankan nasib rakyat jelata dan orang-orang
pribumi poetra,serta melenyapkan perdagangan budak.
Usaha Deandels tersebut tidak berhasil, bahkan
menambah penderitaan rakyat, karena ia mengadakan
dan mewajibkan kerja paksa (rodi).
27. Di lapangan pendidikan, Deandels
memerintahkan kepada Bupati-bupati di Pulau Jawa
agar mendirikan sekolah atas uasaha biaya sendiri
untuk mendidik anak-anak mematuhi adat dan
kebiasaan sendiri. Kemidian Deandels mendirikan
sekolah Bidan di Jakarta dan sekolah ronggeng di
Cirebon. Kemudian Pada masa (interregnum inggris)
pemerintahan Inggris (1811-1816) tidak membawa
perubahan dalam masalah pendidikan walaupun Sir
Stamford Raffles seorang ahli negara yang
cemerlang. Ia lebih memperhatikan
perkembanagan ilmu pengetahuan, sedangkan
pengajaran rakyat dibiarkan sama sekali. Ia menulis
buku History of Java.
28. Gubernur Jendral Van der Capellen (1819-1823)
menganjurkan pendidikan rakyat dan pada tahun
1820 kembali regen-regen diinstruksikan untuk
menyediakan sekolah bagi penduduk untk mengajar
anak-anak membaca dan menulis serta mengenal
budi peketi yang baik. Tahun 1826 lapangan
pendidikan dan pengajaran terganganggu oleh
adanyan usaha-usaha penghematan. Sekolah-
sekolah yang ada hanya bagi anak-anak Indonesia
yang memeluk agama Nasrani. Alsannya adalah
karena adanya kesulitan financial yang berat yang
dihadapi orang Belanda sebagai akibat perang
Diponegoro (1825-1830) yang mahal dan menelan
banyak korban seerta peperangan antara Belanda
dan Belgia (1830-1839).
29. Namun demikian, setelah munculnya politik etis
yang dimotori van Deventer dan Baron van Hoevel,
maka terjadi perubahan kebijakan pendidikan di
Indonesia. Sistem persekolah dan kurikulum
mengalami banyak perubahan. Semula jenjang
pendidikan terlama di bangku sekolah dasar hanya
tiga tahun, dengan kebijakan baru berubah menjadi
5 (lima) tahun dan 6 (enam tahun). Model
persekolahan ini dinamakan schakel school dan HIS
(Holland Inlandsche School), kemudian ELS
(Eropesch Lagere School) sebagai sekolah dasar
untuk anak-anak eropa dan China Lagere School
bagi anak-anak keturunan Tionghoa. Sekolah ini
jelas bukan milik kaum pribumi yang secara sosial
berada di bawah posisi orang Eropa dan China.
30. Di tingkat lanjut, pemerintah Kolonial Belanda
mendirikan MULO yang setingkat SMP jaman
sekarang. Kurikulum yang dipergunakan semakin
lengkap. Bahasa Belanda tetap menjadi bahasa
pengantar. Selain itu diajarkan bahasa Perancis dan
Inggris. Tidak setiap anak bangsa bisa memperoleh
pendidikan tingkat ini.
31. Pada level yang tertinggi, kebijakan Kolonial
Belanda menjelang pertengahan abad ke-20 mulai
mendirikan sekolah setingkat SLTA sekarang dengan
sebutan AMS (Algemens Middlebars School) dan
HBS (Hoogere Bourgere School). Minimal anak
bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki
jenjang sekolah ini. Untuk AMS ditempuh selama 3
(tiga) tahun, sedangkan untuk HBS ditempuh 5
(lima) tahun. Siswa yang bersekolah di HBS secara
sosial ia adalah pribumi yang sudah disamakan
derajatnya dengan bangsa Eropa/Belanda. Pada
pendidikan tingkat ini, kualitas menjadi sebuah
ukuran mutlak
32. Adapun kelebihan pendidikan masa Kolonial Belanda
adalah aspek kualitasnya yang terjamin. Hal ini
terlihat pada standar input, proses, pembiayaan,
sarana-prasarana, dan standar lulusan setiap
tahunnya.
Pada standar input jelas sekali dapat terlihat kualitas
siswa yang masuk. Mereka yang tercatat sebagai siswa
tidak hanya berlatar belakang sosial yang tinggi,
namun juga proses seleksi intelektual menjadi sebuah
ukuran yang mutlak.
33. Pada standar proses, terlihat bahwa kelas
dengan jumlah siswa yang kecil, maksimal 25 siswa.
Sedangkan pd standar biaya dan Sarpras, dengan
adanya dukungan dana dari orang tua dan statusnya
sebagai sekolah negeri sudah pasti menjadikan
sarana dan prasarana lebih lengkap. Perpustakaan
dengan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris
menjadi koleksi utama semua sekolah dari HIS
sampai dengan HBS.
34. B. MASA PENJAJAHAN JEPANG
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan,
Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya
memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak
itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa
kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi
luas terutama bagi sistem pendidikan di era
kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
(1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa
resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa
Belanda;
(2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan
dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas
sosial di era penjajahan Belanda.
35. Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu
kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
(1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah
Rakyat). Lama studi 6 tahun
(2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko
(Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3
tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah
Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
(3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan
bersifat vokasional antara lain di bidang
pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan
pertanian.
(4) Pendidikan Tinggi.
36. Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro
sebagai penasehat bidang pendidikan mereka.
Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini
dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem
pendidikan mereka di Manchuria dan China yang
menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena
itulah, di Indonesia mereka mencobakan format
pendidikan yang mengakomodasi kurikulum
berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa
pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada
indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem
Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya
Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan
ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan
ideologi Indonesia Raya.
37. Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar
memiliki keseragaman pengertian tentang maksud
dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam
latihan tersebut antara lain:
(1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu;
(2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan
semangat Jepang;
(3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang;
(4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta
(5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk
pembinaan kesiswaan.
38. Setelah menguasai Indonesia, Jepang
menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah
berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang
Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya.
Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk
mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam
Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses
pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang
bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah
yang bertipe vokasi.
39. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan
sekolahlanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka
sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk
dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya
terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi
Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman
Madya tetap tutup.
Kebijakan ini menyebabkan terjadinya
kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan
dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi
pendidikan lainnya.
40. Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang
mengambil beberapa kebijakan antara lain:
(1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada
masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis
menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri,
yakni K.H. Hasyim Asy
(2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan
bantuan pemerintah Jepang;
(3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang
mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi
pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal
Arifin;
41. (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di
Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar
Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan
pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela
Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal
TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi,
sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang
menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah
dan NU.
42. III. SIMPULAN
1.Pendidikan memang tidak bisa terlepas dari situasi
politik sebuah bangsa. Pemerintah Kolonial Belanda
menjadikan pendidikan sebagai sarana memperoleh
tenaga kerja di bidang administrasi tingkat rendahan.
Pendidikan tingkat lanjut hanya diprioritaskan pada
kalangan bangsawan semata. Pada masa Jepang,
pendidikan tak lepas dari propaganda Jepang yang
disisipkan pada materi pelajaran dari tingkat SD
sampai dengan SLTA. Akibatnya, semua rakyat
mengakui kehebatan dan superioritas Jepang sebagai
bangsa maju di kawasan Asia Pasifik. Mereka
melaksanakan apa yang diharapkan Jepang yaitu
43. Praksis pendidikan Indonesia menurut paradigma lama,
sesungguhnya telah banyak mengalami kemajuan, baik
proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan
fundamental terjadi di dalam pendidikan nasional sejak 57
tahun yang lalu. Suatu sistem pendidikan nasional yang elitis
yang diwarisi dari pemerintahan Kolonial dan militerisme
Jepang diubah menjadi sistem pendidikan yang populis yang
banyak membuka kesempatan untuk seluruh anak bangsa.
Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis pada
zaman penjajahan Kolonial dan pendidikan
meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara
signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota
masyarakat yang melek huruf.
44. Ada 4 indikator PARADIGMA LAMA pendidikan:
(1) pendidikan diyakini dengan sendirinya dapat memecahkan
masalah sosial budaya,
(2) manajemen pendidikan ditangani oleh birokrasi agar
tercipta kesatuan persepsi dalam menjalankan tugas-tugas
pendidikan.
(3) sakralisasi ideologi nasional sehingga terjadi penjinakan
terhadap critical dan creative thinking masyarakat,
(4) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.
Berdasarkan empat indikator paradigma lama
pendidikan Indonesia tersebut, dapat diduga bahwa
anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara
terhadap terjadinya krisis yang dialami oleh pendidikan
Indonesia saat ini.
45. DAFTAR PUSTAKA
Brooks, J.G. & Martin G. Brooks. 1993. In search of understanding: The case for constructivist classrooms. Virginia:
Association for Supervision and Curriculum Development.
Buchori, M. 2001. Pendidikan antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.
Budhisantoso, S. 1989. Peranan perguruan tinggi dalam pengembangan kebudayaan yang didukung oleh
perkembangan ilmu dan teknologi. dalam Sasmojo, S., dkk. (eds). Menerawang masa depan ilmu
pengetahuan, Teknologi & Seni. Bandung: ITB
Dimyati. 2001. Akulturasi teknologi pendidikan dalam masyarakat Indonesia tansisional. Malang: CV. Wineka Media.
Dimyati, M. 2000. Demokratisasi belajar pada lembaga pendidikan dalam masyarakat Indonesia transisional: Suatu
analisis epistemologi ke Indonesiaan.
Freire, P. 1985. Pendidikan kaum tertindas, Jakarta: LP3S
Hanurawan, F. 2000. Filsafat pendidikan demokrasi sebagai landasan pendidikan masyarakat Indonesia Baru.
Jurnal Ilmu Pendidikan, 27(2). pp 117-127.
Kartini Kartono. 1997. Tinjauan politik mengenai sistem pendidikan nasional: beberapa kritik dan sugesti. Jakarta:
Pt. Pradnya Paramita.
Koentjaraningrat. 1993. Masalah kesukubangsaan dan integrasi nasional. Jakarta: Universitas Indonesia, Press.
Kuhn, Thomas S. 2002. The structure of scientific revolution. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Longworth, N. 1999. Making lifelong learning work: Learning cities for a learning century. London: Kogan Page.
Mulyana, D., & Rakhmat, J. 1996. Komunikasi antar budaya: Panduan komunikasi dengan orang-orang berbeda
budaya. Bandung: PT. Remaja Kosdakarya.
Oetama, J., & Widodo, J. 1990. Menuju masyarakat baru Indonesia: Antisipasi terhadap tantangan abad XXI.
Jakarta: Gramedia.
Parawansa, P. 2001. Reorientasi terhadap strategi pendidikan nasional. Makalah. Disajikan dalam simposium
pendidikan nasional dan munas I alumni PPS.UM. di Malang, 13 Oktober 2001.
46. MOTTO :EDUCATION AL IMPROVEMENT MEANS HUMANISTIC EMPOWERMENT
THANKS A LOT, KEEP
FIGHTING FOR EDUCA
BY : ELSINA SIHOMBI