Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
KETIDAKABSAHAN
1. KETIDAKABSAHAN SUATU PRODUK HUKUM KARENA MENGALAMI
KEKURANGAN YURIDIS
( Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Hukum )
Oleh :
FREINGKY A. NDAUMANU, S.H.
NIM : 11/322217/PHK/06731
PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH
MADA YOGYAKARTA
MAGISTER HUKUM
2011
1
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Aparat pemerintah dalam kekuasaannya membentuk suatu produk hukum dapat berupa
suatu peraturan (regeling) maupun keputusan (beschikking). Peraturan (regeling) bersifat
mengatur ketentuan-ketentuan umum dalam menjalankan suatu kebijakan atau pemerintahan,
sedangkan keputusan (beschikking) lebih bersifat individual, konkret dan final.
Kewenangan aparat pemerintah dalam membuat produk hukum merupakan
kewenangan delegasi undang-undang (Delegatie van wetgeving). Hal dikarenakan pada
hakekatnya produk hukum berupa peraturan perundang-undangan merupakan wewenang
badan legislatif yang dianut oleh konsep Triaspolitica yaitu pemisahan kekuasaan.
Keputusan (beschikking) lebih lanjut dalam pembuatannya oleh aparat pemerintah harus
memenuhi syarat-syarat materiil dan formil agar dapat dikatakan absah.
Syarat- syarat materiil antara lain:
1) Harus dibuat oleh aparat yang berwenang;
2) Dalam proses pembuatannya tidak mengalami kekurangan yuridis; dan
3) Tujuannya harus sama dengan tujuan yang ada pada peraturan yang
mendasarinya.
Sedangkan syarat formil antara lain:
1) Bentuk keputusan sama dengan bentuk peraturan yang mendasarinya;
2) Prosedur pembuatannya sama dengan prosedur yang diminta peraturan yang
mendasarinya; dan
3) Semua peraturan khusus yang ada di dalam peraturan dasar harus terwujud.
2
3. Sebagai salah satu syarat materiil absahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara,
kekurangan yuridis dalam suatu keputusan tata usaha negara memiliki pengaruh atau dampak
mengenai kekuatan hukum berlaku produk hukum oleh Badan Administrasi Negara. Hal
tersebut disebabkan karena mengalami kekurangan yuridis, yang berupa : dwaling
(kekhilafan), bedrog (penipuan), dwang (paksaan).
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah
sebagai berikut : “Bagaimanakah Ketidakabsahan Suatu Produk Hukum Karena Mengalami
Kekurangan Yuridis ?”
3
4. BAB II
PEMBAHASAN
A. KEABSAHAN PRODUK HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Keputusan yang sah dan dinyatakan sudah berlaku, disamping mempunyai kekuatan
hukum formal dan materiil
Dalam membuat keputusan harus diperhatikan beberapa ketentuan baik yang tercantum
dalam Hukum Tata Negara tentang kewenangan Badan – Badan kewenangan tertinggi dan
Badan – Badan Administrasi Negara serta tujuan dibentuknya suatu undang – undang
maupun yang tercantum dalam hukum Administrasi Negara tentang prosedur pembuatan
keputusan. Hal ini dikarenakan apabila ketentuan – ketentuan hukum ini tidak diperhatikan
maka ada kemungkinan keputusan yang dibuat yaitu mengandung kekurangan dalam
membuat suatu keputusan, dapat menjadi sebab keputusan itu tidak sah. Maksudnya dapat
menjadi sebab itu berarti tidak selalu atau tidak secara otomatis keputusan tersebut dianggap
keputusan yang sah.
Stellinga, berpendapat bahwa keputusan yang mengandung kekurangan masih juga
dapat diterima sah, oleh karena sahnya tidak suatu keputusan yang mengandung kekurangan
tergantung kepada beratnya kekurangan itu.
Vander pot mengemukakan agar suatu keputusan dapat berlaku sebagai keputusan yang
sah harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut :
1) Keputusan harus dibuat oleh Badan (organ) yang berwenang membuatnya.
2) Oleh karena keputusan itu adalah suatu pernyataan kehendak, maka pembentukan
kehendak itu tidak boleh mengandung kekurangan yuridis, yaitu tidak boleh
mengandung paksaan, kekeliruan dan penipuan.
4
5. 3) Keputusan itu harus diberi bentuk yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi
dasarnya, dan pembuatannya harus juga memperhatikan tata cara membuat
keputusan bilamana tata cara ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar
tersebut.
4) Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.
5) Keputusan harus dibuat oleh Badan yang berkuasa membuatnya.
Keputusan adalah merupakan suatu perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang harus
memenuhi syarat – syarat tertentu. Dapat dikatakan pula perbuatan hukum adalah perbuatan
hukum penguasa yang harus mempunyai wewenang yang sah untuk membuat keputusan itu.
Apabila penguasa itu tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan, maka keputusan
yang dibuatnya itu batal.
Ketidakwenangannya alat perlengkapan untuk membuat keputusan itu dapat ditinjau
dari beberapa hal :
1. Obyek atau materi maksudnya, apakah materi keputusan itu menurut sifatnya
termasuk wewenang alat perlengkapan itu atau tidak.
2. Daerah wewenang, maksudnya bahwa suatu alat perlengkapannya yang tertentu
oleh peraturan hukum positif yang bersangkutan telah ditentukan daerah
wewenangnya.
3. Tenggang waktu yang diberikan kepada suatu alat perlengkapannya untuk dapat
melakukan wewenang yang diberikan kepadanya.
4. Alat perlengkapan itu sendiri yaitu terdiri dari hanya satu orang atau dewan ata
Badan yang merupakan satu kesatuan.
5. Sifat kedudukan hukum atau status alat perlengkapan
5
6. a. Keputusan sebagai suatu pernyataan maka, pembentukan kehendak tidak
boleh memuat kekurangan yuridis karena dapat membuat tidak sahnya
keputusan itu.
b. Keputusan harus diberi bentuk yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya
dan harus memperhatikan cara pembuatannya.
1) Lisan, bila tidak berakibat kekal dan tidak begitu penting bagi
Administrasi
2) Tertulis, bila menghendaki suatu akibat yang timbul dengan segera,
dan karena penting dalam penyusunan alasan.
c. Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan
dasarnya. Hal tersebut dimaksud peraturan dasar itu merupakan wewenang
dari alat perlengkapan Administrasi untuk memberikan keputusan tersebut.
Amrah Muslimin, menyatakan ada dua (2) persyaratan untuk sahnya suatu keputusan,
syarat tersebut adalah : (1) syarat materiil, (2) syarat formil.1
1. Syarat Materiil
Adapun yang dimaksud dengan keputusan yang mempuyai kekuatan hukum materiil
adalah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena isi atau materi dari keputusan itu.
E. Utrecht, menyebutkan bahwa suatu keputusan mempunyai kekuatan hukum
materiil bilamana keputusan itu tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat Negara yang
membuatnya, kecuali peraturan perundang – undangan memberikan kemungkinan
kepada pemerintah atau administrasi Negara untuk meniadakan keputusan tersebut.2
Yang termasuk syarat materiil bagi sahnya suatu keputusan adalah sebagai berikut :
1
Suryono Hassan, Hukum Tata Usaha Negara, Cetakan 1, LPP UNS dan UNS Press, Surakarta, 2005, hal.35-37
2
HR Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, 2006, hal.174
6
7. a) Instansi yang membuat keputusan itu harus berwenang menurut jabatannya, baik
kewenangan dalam lingkup wilayah hukumnya maupun kewenangan
berdasarkan persoalannya.
b) Keputusan harus dibuat tanpa adanya kekurangan – kekurangan yuridis dari si
pembuat (pejabat yang berwenang) dalam menentukan kemauan pada waktu
membuat keputusan tersebut, yakni :
1. Dwaling (kekhilafan)
2. Bedrog (penipuan)
3. Dwang (paksaan)
4. Omkoping (penyogokan)3
Keputusan harus menuju sasaran yang tepat. Apabila suatu keputusan dibuat tanpa
sasaran yang tepat berarti telah terjadi penyelewengan. Menurut Franen Burg Vegting, ada
empat (4) hal dimana suatu keputusan memberikan isi, yaitu sebagai berikut :
1) Tidak ada alasan atau keputusan dibuat tanpa obyek.
2) Salah alasan, yakni dasar alasan itu tidak sesuai dengan keputusan yang
dibuatnya tersebut.
3) Alasan atau dasar yang disebutkan sebetulnya tidak dapat dipakai karena adanya
alasan tertentu yang seharusnya dapat dipakai sebagai alasan keputusan itu.
4) Alasan perlengkapan Negara dalam membuat suatu keputusan tidak
mempergunakan alasan secara resmi sesuatu dengan tujuan dari peraturan yang
bersangkutan.
2. Syarat Formil
Yang termasuk kedalam syarat formil bagi sahnya suatu keputusan, adalah :
3
Suryono Hassan, Op.cit.hal.38
7
8. a) Prosedur / cara membuat keputusan tersebut.
Dalam membuat suatu keputusan tertentu ditetapkan prosedur atau cara
tertentu, yang biasanya disebarluaskan, misalnya melalui surat kabar, adalah
keputusan untuk menunjuk pelaksana pembangunan jalan. Apabila prosedur itu
tidak dituruti, maka keputusan itu dapat dibatalkan.
b) Bentuk keputusan
Bentuk keputusan yang dimaksud adalah bahwa keputusan harus diberi
bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan yang menjadi dasar
dikeluarkannya keputusan tersebut.
c) Pemberitahuan keputusan kepada yang bersangkutan.
Untuk dapat berlakunya suatu keputusan, maka keputusan itu harus
diberitahukan kepada yang berwenang atau yang berwenang atas keputusan
tersebut. Pemberitahuan itu dapat dilakukan secara terbuka, misalnya melalui
media massa atau secara tertutup, misalnya melalui surat.4
Meskipun suatu keputusan itu dianggap sah dan akan menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata, keputusan yang sah itu tidak akan dengan sendirinya
berlaku, karena untuk berlakunya suatu keputusan harus memperhatikan tiga (3) hal berikut
ini :
a) Jika berdasarkan peraturan dasarnya, terhadap keputusan itu tidak memberi
kemungkinan mengajukan permohonan banding bagi yang dikenai keputusan,
keputusan itu mulai berlaku sejak saat diterbitkan (ex nunc).
4
Ibid.hal.37-38
8
9. b) Jika berdasarkan peraturan dasarnya terdapat kemungkinan utnuk mengajukan
banding terhadap keputusan yang bersangkutan, keberlakuan keputusan itu
tergantung dari proses banding itu.
Krenenburg dan Vegting menyebutkan empat (4) cara permohonan banding
terhadap keputusan, yaitu sebagai berikut :
1. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pembatalan
keputusan pada tingkat banding, dimana kemungkinan itu ada.
2. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada
pemerintah supaya keputusan itu dibatalkan.
3. Pihak yang dikenai keputusan itu dapat mengajukan masalahnya
kepada hakim biasa agar keputusan itu dinyatakan batal karena
bertentangan dengan hukum.
4. Pihak yang dikenai keputusan itu dapat berusaha apabila karena tidak
dapat memenuhi/menjalankan keputusan itu, untuk memperoleh
keputusan dari hakim seperti yang dimaksud dalam bagian 3.
Pada umumnya batas waktu mengajukan banding itu ditentukan dalam
peraturan dasar yang terkait dengan keputusan itu. Jika batas waktu banding
telah berakhir dan tidak digunakan oleh mereka yang dikenai keputusan itu,
maka keputusan itu mulai berlaku sejak saat berakhirnya batas waktu banding
itu.
c) Jika keputusan itu memerlukan pengesahan dari organ atau instansi pemerintah
yang lebih tinggi, keputusan itu mulai berlaku setelah mendapatkan pengesahan.
Berkenaan dengan pengesahan atau persetujuan ini, terdapat tiga (3) pendapat,
yaitu sebagai berikut :
9
10. 1) Karena berhak untuk memberikan persetujuan, Mahkota (pemerintah)
menjadi pembuat serta undang – undang, jadi merupakan hak
pengukuhan.
2) Hak memberikan persetujuan merupakan hak placet, artinya melepaskan
tanggungjawab (jadi, pernyataan dapat dilaksanakan).
3) Persetujuan merupakan tindakan terus – menerus, artinya tidak berakhir
pada saat diberikan, tetapi dapat ditarik kembali selama yang
disetujuinya masih berlaku.5
B. KETIDAKABSAHAN PRODUK HUKUM ADMINISTRASI NEGARA KARENA
KEKURANGAN YURIDIS
Disamping terdapat keputusan yang sah, terdapat juga keputusan yang tidak sah.
Keputusan yang tidak sah itu dapat merupakan :
1. Keputusan batal demi hukum bila tidak dipandang perlu dari segi hukum.
2. Keputusan batal bila ada keputusan dari hakim / dan Administrasi yang
mengeluarkan keputusan tersebut, sifat pembatalan itu mutlak atau nisbi.
3. Keputusan yang dapat dibatalkan yakni dinyatakan batal oleh hakim/Badan
Administrasi Negara yang berwenang, maka perbuatan itu dianggap tidak ada
dan akibat terjadinya ditiadakan.
Keputusan tidak sah itu tidak mempunyai kekuatan hukum, hal ini ada dua (2)
kemungkinan yaitu :
1. Keputusan tidak sah berlaku surut sampai saat dikeluarkannya keputusan itu.
5
HR Ridwan,Op.cit.hal.171-173
10
11. 2. Keputusan tidak sah mulai saat pembatalan itu.
Menurut Utrecht kekuatan hukum suatu keputusan ada dua (2), yaitu :
a) Kekuatan hukum formil, yakni bila tidak dibantah oleh suatu alat hukum,
misalnya naik banding.
b) Kekuatan hukum materiil, bilamana kekuatan itu tidak lagi dapat ditiadakan oleh
alat Negara yang membuatnya.6
Selanjutnya, Utrecht mengatakan bahwa, dalam hal pembentukan suatu produk hukum
(sebagai bentuk kehendak dari alat Negara) dalam suatu keputusan yang mengandung
kekurangan yuridis dapat disebabkan oleh karena :
1) Kekhilafan / salah kira (dwaling)
Salah kira terjadi bilamana sesorang (subyek hukum) menghendaki sesuatu dan
mengadakan suatu pernyataan yang sesuai dengan kehendak itu, tetapi kehendak tersebut
didasarkan atas suatu bayangan (vorselling) (tentang sesuatu hal ) yang salah. Bayangan
yang salah itu mengenai pokok maksud pembuat (zelfstandigheid der zaak) – salah kita
mengenai pokok maksud pembuat, atau mengenai kedudukan / kecakapan (keahlian)
seseorang (subyek hukum) – salah kira mengenai orang (subyek hukum), atau mengenai
hak orang lain (dwaling in een subjectief recht), atau mengenai suatu (peraturan) hukum –
salah kira mengenai hukum (dwaling in het objectieve recht), atau mengenai kekuasaan
sendiri – salah kira mengenai kekuasaan sendiri (dwaling in eigen bevoegdheid).
Contoh : A seorang wakil suatu perhimpunan yang bermaksud memajukan seni – nyanyi,
mengadakan suatu perjanjian dengan B dengan maksud supaya B mengadakan beberapa
pertunjukan seni – nyanyi di muka anggota perhimpunan. A mengira bahwa B seorang
6
Suryono Hassan, Op.cit.hal. 38-39
11
12. penyanyi yang sangat pandai dan termasyur. Tetapi yang menjadi termasyur diseluruh
wilayah Negara bukan B ini, tetapi seseorang lain yang kebetulan bernama B pula.
Disini terjadi suatu salah kira mengenai (kecakapan, kepandaian) seseorang. Salah kira
seseorang hanya dapat menjadi alasan untuk menuntut pembatalan suatu perjanjian,
bilamana salah kira itu mengenai kedudukan atau kecakapan (keahlian) orang tersebut.
Jadi, dwaling terjadi apabila kehendak dan kenyataan berbeda, tetapi tanpa adanya unsur
kesengajaan.
Dwaling (kekhilafan / salah kira) dibagi menjadi dua (2), yaitu :
a) Eigenlijke Dwaling (kekhilafan / salah kira yang sungguh – sungguh)
Prof. van der Pot, mengemukakan bahwa apabila administrasi Negara, dalam
melaksanakan suatu peraturan perundang – undangan, hendak mengangkat
(benoemen) seseorang oleh karena orang itu mempunyai suatu kecakapan
(keahlian) tertentu, yang oleh administrasi Negara di kira orang tersebut
mempunyai kecakapan yang dikehendaki, sedangkan orang yang telah diangkat
sama sekali tidak mempunyai kecakapan (keahlian) yang dikehendaki, yang
mana kecakapan tersebut seharusnya menurut peraturan perundang – undangan
adalah merupakan syarat suatu pengangkatan, maka keputusan pengangkatan
terhadap orang itu adalah batal (nietig) atau keputusan itu tidak sah berdasarkan
peraturan perundang - undangan. Sebaliknya, jika kecakapan tertentu itu menurut
peraturan perundang – undangan tidak menjadi syarat pengangkatan, maka
keputusan yang bersangkutan tidak batal.
b) Non Eigenlijke Dwaling (kekhilafan / salah kira yang tidak sungguh – sungguh)
Artinya : Produk hukum itu absah, tetapi yang tidak absah hanya sebagian
kekhilafan saja.
12
13. Misalnya : A mengajukan kepada pemerintah supaya diperkenankan
memasukkan (invoeren) kedalam wilayah Indonesia 20 mobil Chevrolet.
Kemudian A diberi ijin oleh pemerintah, namun dalam surat ijin tersebut terjadi
salah pengetikan angka yang seharusnya 20 mobil Chevrolet menjadi 200 mobil
Chevrolet. Disini terjadi ada suatu salah kira karena peminta dahulu mengajukan
permintaan supaya memasukkan 20 mobil Chevrolet saja dan bukan 200 mobil
Chevrolet).
Akibat ketetapan yang dibuat berdasarkan salah kira yang tidak sugguh –
sungguh itu sah untuk sebagian saja, yaitu sah mengenai 20 mobil Chevrolet
yang boleh dimasukkan, tetapi batal untuk mengenai 180 mobil Chevrolet yang
sudah tentu tidak dapat dimasukkan. Akibatnya ketetapan itu batal untuk
sebagian (gedeeltelijk nietig).
2) Paksaan (dwang)
Paksaan dapat menjadi sebab untuk dapat dibatalkannya suatu keputusan dan
paksaan keras dapat menjadi sebab untuk dapat dibatalkannya suatu keputusan yaitu batal
karena hukum. Apabila perbuatan yang diadakan dengan paksaan keras (vis absoluta)
adalah batal mutlak, oleh karena pada pihak yang dipaksa tidak ada suatu kehendak.
Akibat perbuatan yang diadakan dengan paksaan (biasa) adalah dapat dibatalkan
(yaitu batal untuk sebagiannya), oleh karena pada pihak yang dipaksa ada suatu
kehendak, walaupun pembentukan suatu kehendak itu ada suatu ancaman. Misalnya, A
diancam oleh B dengan sebuah pistol, A masih dapat memilih antara dibunuh atau
membuat suatu keterangan yang dikehendaki oleh pengancam, kemudian A memilih
untuk membuat keterangan, jadi pada A ada suatu kehendak.
13
14. Namun dalam kenyataannya dwang berbeda, karena ada paksaan dan patut diduga.
si pembuat peraturan tidak mungkin berbuat lain kecuali mengikuti kehendak si pemaksa
(overmaaght).
3) Tipuan (bedrog)
Tipuan terjadi bilamana yang mengadakan perbuatan menggunakan beberapa
muslihat (kunstgrepen) sehingga pada pihak lain ditimbulkan suatu bayangan palsu (valse
voorstelling) tentang sesuatu hal. Agar ada tipuan maka perlu ada beberapa muslihat, ada
gabungan muslihat – muslihat (complex van kuntgrepen); jadi, satu saja kebohongan
bukanlah merupakan suatu tipuan.
Misalnya, Bagian Pendidikan dari Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah
Daerah mengangkat A sebagai pegawai – pelajar kursus Dinas Bagian C di kota
Makassar. A diangkat oleh karena antara lain menurut keterangan yang diperoleh dan
yang kemudian ternyataadalah suatu tipuan, karena umurnya 20 tahun dan umur itu di
bawah umur yang oleh peraturan telah ditentukan batas, yaitu 23 tahun. Tetapi umur A
yang sesungguhnya telah berumur 25 tahun. Sudah tentu bahwa andai Bagian Pendidikan
mengetahui adanya tipuan umur itu maka A tidak akan dibuat keputusan, maka
pengangkatannya batal. Namun, umpamanya umur A yang sebenarnya adalah 22 tahun,
tetapi kepada Bagian Pendidikan diberitahukan umur 20 tahun, dan andainya Bagian
Pendidikan mengetahui umur yang sebenarnya itu meskipun itu suatu tipuan, maka A
masih tetap diangkat karena umurnya dibawah batas yang ditentukan dalam peraturan –
pengangkatannya sah.
Jadi, keputusan hanya batal (dapat dibatalkan), apabila sifat tipuan begitu rupa
sehingga dapat dikatakan bahwa dengan tidak menggunakan muslihat – muslihat itu
sudah tentu keputusan tidak dibuat. Dalam hal ini ada kekurangan “essentieel”. Seperti
14
15. hanya dengan salah kira, maka kekurangan yang disebabkan tipuan itu dapat
mempengaruhi berlakunya keputusan hanya dalam hal tipuan tersebut bertentangan
dengan undang – undang atau bertentangan dengan kejadian – kejadian yang benar –
benar ada (feiten).7
Keputusan yang timbul karena mengandung unsur – unsur penipuan,
kesesatan/kekhilafan atau salah kira, paksaan atau penyogokan tidak lagi merupakan
keputusan yang murni dikeluarkan; oleh karenanya keputusan yang demikian dapat “batal
atau dibatalkan”.8
Keputusan yang mengandung kekurangan yuridis, paksaan, kekeliruan, dan penipuan
yang menjadi sebab keputusan itu tidak dapat diterima sebagai keputusan yang sah, E.
Utrecht, berpendapat : “ Bahwa keputusan yang tidak sah dapat membawa bagi akibat bagi
hukum tidak pernah ada, jadi kepada hukum dari yang bersangkutan dibawa kembali kepada
hukum sebelum keputusan itu dibuat, dalam bahasa hukumnya disebut tidak sah ex tunct
(ongediag ex tunct), yaitu tidak sah untuk waktu sebelum pembatalan. Jadi kepada hukum
yang bersangkutan tidak dibawa kembali kedalam sebelum keputusan itu dibuat, dalam
bahasa hukumnya disebut tidak sah ex nunc (ongeldighiede ex nunc) yaitu tidak sah untuk
kemudian saja dan terhadap pembatalannya tidak berlaku surut”.
Berbeda dengan pendapat Utrecht ini adalah pendapatnya Van der wel yang
memberikan teorinya berkenaan dengan keputusan yang mengandung kekurangan, yaitu :
“Suatu keputusan yang menetapkan sesuatu yang sungguh – sungguh tidak mungkin
dilaksanakan dapat dianggap batal sama sekali. Mengenai keputusan – keputusan lain, kita
harus melihat apakah kekurangan – kekurangan yang bersangkutan adalah kekurangan
“essentieel” atau kekurangan yang bukan “essentieel”, kekurangan yang bukan “essentieel”
tidak dapat mempengaruhi berlakunya keputusan. Mengenai kekurangan “essentieel” harus
7
Utrecht E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1994, hal.125-141
8
MD Mahfud Moh & Marbun SF, Pokok – Pokok Hukum Administrasi Negara, Cetakan Pertama,
Liberty,Yoyakarta, 1987, hal.81
15
16. dilihat beratnya kekurangan. Apabila kekurangan itu begitu berat sehingga keputusan yang
bersangkutan sebetulnya tidak berupa keputusan, maka keputusan yang bersangkutan itu
dapat dianggap batal sama sekali. Apabila kekurangan tidak begitu berat maka keputusan
yang bersangkutan dapat dianggap batal terhadap subyek hukum yang tidak mempunyai alat
untuk menggugat berlakunya keputusan itu.
Lebih lanjut Van de Wel mengungkapkan enam (6) akibat suatu keputusan mengandung
kekurangan, yaitu :
1. Batal karena hukum.
2. Kekurangan itu menjadi sebab atau menimbulkan kewajiban untuk membatalkan
keputusan yang bersangkutan untuk sebagian atau untuk seluruhnya.
3. Kekurangan yang menyebabkan alat Administrasi Negara yang lebih tinggi dan
berkompeten untuk menyetujui atau mengukuhkannya tidak sanggup memberikan
persetujuan.
4. Kekurangan itu tidak dapat mengurangi berlakunya keputusan.
5. Oleh karena kekurangan itu, maka keputusan yang bersangkutan dikonversi
kedalam suatu keputusan lain.
6. Hakim sipil menganggap keputusan yang bersangkutan tidak mengikat.9
9
Suryono Hassan, Op.cit.hal. 39-41
16
17. BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara
lain :
Bahwa Berdasarkan uraian mengenai tiga unsur dari kekurangan yuridis, yakni adanya
paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), dan tipuan (bedrog) maka ada dua akibat
ketidakabsahan keputusan tata usaha Negara, yaitu dapat batal atau dibatalkan; dan batal
mutlak. Bahwa mengenai kedua akibat pembatalan keputusan tata usaha negara tersebut
perbedaannya terletak pada ada atau tidaknya unsur essensial atau hal-hal yang dianggap
paling mendasar dari isi Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Suatu Keputusan Tata Usaha
Negara dapat dibatalkan apabila tidak mengandung unsur essensial dari Keputusan Tata
Usaha Negara yang mengalami kekurangan yuridis. Akibatnya, sebagian keputusan dapat
dinyatakan sah sedangkan hal-hal lainnya dinyatakan batal, dan suatu Keputusan Tata
Usaha Negara dinyatakan batal apabila unsur-unsur essensial yang ada di dalam keputusan
tersebut sebagai kehendak si pembuat secara nyata bertentangan dengan undang-undang dan
berbeda dengan kejadian sebenarnya.
17
18. B. SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa saran yang
dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut :
Bahwa administrasi Negara dalam membuat suatu keputusan yang merupakan suatu
bentuk produk hukum, harus memperhatikan beberapa ketentuan secara formal dan materiil,
hirarki peraturan perundangan – undangan, unsur-unsur essensial; khususnya syarat materiil
tentang unsur kekurangan yuridis untuk menghindari terjadinya ketidakbasahan suatu produk
hukum yang berakibat pada pembatalan
18
19. DAFTAR PUSTAKA
HR Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, 2006
MD Mahfud Moh & Marbun SF, Pokok – Pokok Hukum Administrasi Negara, Cetakan
Pertama, Liberty,Yoyakarta, 1987
Suryono Hassan, Hukum Tata Usaha Negara, Cetakan 1, LPP UNS dan UNS Press,
Surakarta, 2005
Utrecht E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya,
1994
19