SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 11
Descargar para leer sin conexión
1 
JALAN REALISASI PEMBARUAN DESA1 
Dadang Juliantara Pendahuluan. Ketika pertama kali gagasan pembaruan desa dilontarkan di depan “forum akademik”, kira- kira tiga tahun yang lalu, banyak pihak menanggapi dengan dingin. Pernah dalam sebuah pertemuan di S2 Polok (Konsentrasi Politik Lokal) Fisipol UGM, salah seorang staf pengajar program S2 tersebut, bertanya pada saya, “Apa itu pembaruan desa? Apakah ini merupakan kebutuhan masyarakat desa? Jangan-jangan gagasan ini hanyalah pikiran LSM yang ingin diterapkan di desa.” Pertanyaan tersebut tentu saja sangat menggugah saya dan kawan-kawan yang mempromosikan pembaruan desa. Namun demikian, pertanyaan tersebut tidak saya lihat sebagai segi negatif, melainkan sebagai segi positif – pemicu, karena memang demikian lah hakekat dari pengetahuan: ia lahir dari penggalian, perdebatan, kritik dan refleksi yang tiada henti. Tradisi yang demikian sangat perlu ditumbuhkan, agar kita dapat melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang lebih kritis dan strategis. Bangsa ini membutuhkan suatu fondasi baru, oleh sebab fondasi yang lama telah rapuh dan tidak memberikan kenyamanan pada massa rakyat yang hidup diatasnya. Apakah Pembaruan Desa. Pembaruan desa memang bukan rumusan dari masyarakat desa – melainkan rumusan dari orang-orang yang terlibat dalam upaya-upaya “mentransformasikan” kehidupan masyarakat, agar menjadi lebih baik dan lebih bermakna. Apakah pembaruan desa dibutuhkan? Pertanyaan ini terasa menjebak, dan cenderung menempatkan “gagasan” sebagai barang yang akan disajikan. Padahal gagasan pembaruan desa disini memiliki tiga maksud dasar, yakni: 
Pertama, pembaruan desa, dimaksudkan sebagai konsepsi tentang upaya transformasi masyarakat pedesaan2 
1 Gagasan-gagasan yang dikemukakan disini sebagian diambil dan dikembangkan dari Bab 5, buku: Pembaruan Desa – Bertumpu Pada Yang Terbawah (Dadang Juliantara) – terbitan Lappera Pustaka Utama. Buku yang dimaksud merupakan buku awal untuk melihat urgensi pembaruan desa, dengan menggunakan kerangka makro. Naskah ini sendiri merupakan pengembangan lebih lanjut dari versi awal yang ditulis pada 12 Nopember 2003. Penulis menyadari bahwa belum terdapat ide baru yang dimuat. Uraian lebih menekankan dimensi strategi dan operasional. Lebih jauh tulisan ini hendak dijadikan Dasar bagi pengembangan lebih jauh “Sekolah Pembaruan Desa”. 2 Kalau kita menyebut pedesaan, maka tidak perlu pengertian ini membelenggu kita, dengan pengertian yang berbasis (melulu) agraris. Kita perlu juga memasukan perspektif kelautan untuk dapat memahami makna pedesaan. . Sebagai sebuah konsepsi, pembaruan desa, tentu saja bukan konsepsi yang final, melainkan masih menjadi bagian dari pencarian dan pergulatan. Buku yang saya tulis, dengan judul Pembaruan Desa – Bertumpu Pada Yang Terbawah adalah
2 
sebuah upaya “nekad”, setelah tiga tahun lebih bergulat dengan berbagai macam persoalan, terutama kesalahan-kesalahan. Buku tersebut, merupakan upaya untuk mensistematisasikan gagasan pembaruan desa, khususnya agar dapat menjadi lebih operasional. Kedua, pembaruan desa, saya (dkk) memahaminya tidak lebih sebagai “kentongan”. Kami memukul “kentongan” ini keras-keras, agar semua telinga yang terjaga dapat mendengar. Pasti ada yang tidak suka. Mungkin mereka yang sedang santai, harus terganggu karena suara bising, atau suara fals dari pembaruan desa – apalagi bahan baku kentongan bukan dari barang yang bermutu. Mengapa “kentongan” perlu dipukul keras-keras! Agar mereka semua berpaling, bertanya-tanya dan akhirnya ikut memikirkan. Kalau ada yang tidak setuju atau jengkel, maka itu pertanda bahwa gagasan ini telah mulai dicerna. Ketika semua mencerna dan tidak menemukan apa-apa, maka pada saat itulah kita akan mengatakan “silahkan anda semua memikirkan” apa isi dari pembaruan desa – sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Saya tidak berambisi membuat rumusa, karena saya yakin pembaruan desa, pada nantinya akan bersifat unik, khas, mengingat setiap desa memiliki keunikan tersendiri. Desa lah yang sebetulnya diharapkan dapat membuat rumusan tersendiri “makna pembaruan desa”, namun tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang di luar desa, untuk ikut memberikan kontribusi pemikiran mengenai pembaruan desa. Ketiga, pembaruan desa, saya (dkk) memahaminya sebagai tempat atau arena, yang memungkinkan berlangsungnya pergulatan pemikiran dan tindakan, yang mengarah pada langkah memperbaiki kehidupan di pedesaan. Pada arena ini, semua pihak dapat secara bersama-sama melakukan kritik dan sekaligus mengembangkan skenario masa depan. Arena seperti ini dibutuhkan, terutama juga untuk membangun komitmen, menggalang pandangan, dan sekaligus menggalang solidaritas, dalam suatu kerangka perbaikan. Pembaruan desa tidak sekedar istilah lain dari Pembangunan Pedesaan, melainkan suatu strategi baru untuk membangun gerakan pembaruan – mengubah paradigma lama, mendorong transformasi. Sebagai arena, pembaruan desa, diharapkan akan memperkaya gagasan-gagasan mengubah wajah desa, baik dari segi teori, substansi, sampai kepada program-program kongkrit. Arena ini juga diharapkan dapat memecahkan kebekuan kajian pedesaan, karena terlihat naskah-naskah mengenai pedesaan sangat minim (dalam jumlah). Karya Soetarjo Kartohadikoesoemo (Desa), sebagai contoh, sampai kini masih belum memiliki “tandingan” dalam kajian pedesaan. Naskah-naskah terbitan Lappera, seperti Negara Dalam Desa, karya Hans Antlov, karya Husken, Yando Zakaria, Sutoro Eko (dkk, melalui IRE), Purwo Santoso (dkk, melalui S2 Politik Lokal), Kutut Suwondo (dkk, melalui Perrcik), dan lain-lain, kiranya masih belum dapat memberikan gambar yang lengkap mengenai pedesaan, seperti yang ditulis Soetarjo. Jaman yang berubah, dinamika desa yang baru, sudah tentu membutuhkan pendekatan baru dan pemikiran baru, agar dapat lebih menjelaskan apa yang terjadi. 
Ketiga maksud ini sesungguhnya hendak menggambarkan bahwa konsep pembaruan desa, masih belum menjadi suatu konsepsi yang siap pakai. Sejak awal, ketika gagasan ini dimunculkan, memang dihindari dari kemungkinan menjadi semacam “ajaran” dan lebih
3 
diarahkan agar dapat menjadi spirit atau inspirasi bagi berbagai kelompok yang dapat memberikan dukungan bagi usaha-usaha mengubah wajah pedesaan. Oleh sebab itu, saya kerap merasa meninggalkan rasa kecewa, karena mereka yang bertanya tentang pembaruan desa, umumnya berharap agar saya (dkk), dapat menyajikan konsep lengkap, semacam “cetak biru”. Pendangkalan partisipasi yang dilakukan oleh Orde Baru, telah membawa implikasi yang sangat luas, salah satunya, sikap enggan dari masyarakat untuk “menggunakan semua kemampuannya untuk menggali pemikiran baru”. Masyarakat umumnya lebih senang menerima barang jadi, dan enggan jika diminta untuk membuat kreasi sendiri. Pembaruan desa, dalam konteks ini, juga memiliki maksud untuk mengubah tradisi lama ini, dan menggantikannya dengan tradisi baru, dimana masyarakat dapat ambil bagian dalam proses penggalian pemikiran mengenai “bagaimana mengubah wajah pedesaan”. 
Berbagai pertanyaan tersebut meluncur dengan sangat deras. Dalam proses interaksi, diskusi, perdebatan dan “sosialisasi”, telah muncul berbagai masalah yang pada intinya hendak mempersoalkan segi-segi di balik gagasan pembaruan desa. Kesan kuat yang tidak bisa dibantah adalah adanya anggapan dan tuntutan, agar konsep pembaruan desa dirumuskan secara lebih rinci, detail dan menyeluruh. Pembaruan desa dianggap atau hendak ditempatkan sebagai konsep umum yang akan dipakai disemua desa secara sama. Ada tuntutan tersembunyi agar mereka yang melemparkan gagasan pembaruan desa membawa konsep sampai ke level juknis (petunjuk teknis). Dalam hal ini pembaruan desa dipandang sebagai suatu “cetak biru” pemerintah, yang harus dijalankan oleh masyarakat3 
Pembaruan desa, sebagai suatu usaha perubahan, pada dasarnya adalah langkah gerakan sosial. Dalam kerangka ini, maka rumus dasar dalam gerakan sosial dapat digunakan, bahwa keberhasilan gerakan (pembaruan desa), akan sangat ditentukan oleh sejauhmana usaha-usaha yang dilakukan mampu mentransformasikan kelemahan menjadi kekuatan, . Lantas bagaimana gerakan pembaruan desa membuka jalan bagi realisasi? Dalam konteks ini, gerakan pembaruan desa, mau tidak mau, harus membuat rumusan-rumusan “jangka pendek”, yang tidak lain merupakan “pancingan” bagi pembahasan yang lebih jauh. Oleh sebab itu, ijinkan saya untuk menulis kembali, konsep pembaruan desa yang mengarah pada strategi dan operasionalisasi. Kira-kira begini tata urutannya: Empat Kebutuhan Pembaruan. 
3 Ketika berinteraksi dengan masyarakat pedesaan, gagasan pembaruan desa segera mendapat respon, dengan sejumlah pertanyaan, antara lain: Pertama, adalah dasar hukum bagi proses pembaruan desa. Apakah gagasan pembaruan desa tidak melawan atau bertentangan dengan hukum yang berlaku? Kedua, mengapa harus pembaruan? Apakah program pemerintah yang ada tidak cukup? Ketiga, apakah pembaruan desa merupakan proyek baru pemerintah? Jika benar proyek ini dijalankan oleh departemen apa? Keempat, pembaruan desa sudah dijalankan dimana? Apakah ada desa yang sudah berhasil melakukan pembaruan? Kelima, mana konsep lengkap dari pembaruan desa? Apakah sudah ada petunjuk teknis pembaruan desa? Dan seterusnya.
4 
dan bagaimana mentransformasikan segala potensi menjadi kekuatan pendorong perubahan. Beberapa syarat perlu dilengkapi agar langkah di sebuah desa, dapat menjadi nyata, dan tidak terjebak dalam retorika atau hanya pada level wacana belaka. 
 Pertama, diperlukan adanya visi yang jelas dari desa, mengenai apa yang hendak diraih dimasa depan. Visi yang dimaksud tidak lain dari suatu visi kemasyarakatan, suatu bayangan mengenai desa di masa depan. Ambil contoh desa yang hendak menjalankan pembaruan adalah desa “serba makmur”. Maka segenap elemen desa “serba makmur”, perlu membuat rumusan yang jelas mengenai visi ke depan – bagaimana bentuk ideal dari desa “serba makmur” (misalnya – 20 tahun ke depan!). Masa depan desa, tidak boleh hanya menjadi mimpi satu dua orang, melainkan harus menjadi impian banyak orang. Semakin banyak yang bermimpi, dan menyatukan mimpi tersebut menjadi suatu visi, maka niscaya potensi desa akan dapat berkembang lebih luas, energi perubahan akan bertambah, dan jalan ke arah realisasi, tentu akan semakin terbuka lebar. 
 Kedua, setiap perubahan tidak mungkin tanpa mengandalkan “kesatuan langkah”. Kita boleh menghargai pluralitas, namun dalam kerja kongkrit, keberagaman, harus dapat ditransformasikan menjadi kekuatan satu – seperti layaknya warna-warni yang berubah dapat memantulkan satu warna, yakni warna putih, ketika berbagai macam tersebut dicampur. “Kesatuan langkah” bukan sejenis per”sate”an, melainkan persatuan, yang didalamnya memuat unsur-unsur pembagian kerja dan pendelegasian kerja. Secara singkat, hendak dikatakan bahwa usaha pembaruan desa, membutuhkan organisasi penyokong yang kuat, yang merupakan gabungan dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan usaha pembaruan. Organisasi kerja inilah yang akan memikul beban yang sudah dirumuskan sebagai visi desa. Secara ideal diharapkan pemerintahan desa merupakan organisasi yang diharapkan dapat menjadi “punggung” yang memikul beban tersebut, sepanjang pemerintahan desa tidak condong menjadi corong bagi kekuasaan diatasnya, dan lebih dekat dengan aspirasi rakyat desa. 
 Ketiga, setiap usaha pembaruan, sudah tentu bukan merupakan proses yang cepat, sederhana, dan mudah. Pembaruan merupakan kerja panjang, yang memerlukan komitmen dan dedikasi yang tinggi. Oleh sebab itulah, setiap usaha pembaruan membutuhkan orang-orang “pilihan”4 
4 Gagasan orang “pilihan” tidak dimaksudkan menjadikan pembaruan desa sebagai proses yang eksklusif, tertutup dan hanya dapat digerakkan oleh orang-orang tertentu. Orang- orang “pilihan” yang dimaksudkan di sini adalah para kader penggerak – mereka yang memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk menggerakkan pembaruan. . Ungkapan ini tidak hendak menjadikan gerakan pembaruan menjadi eksklusif, melainkan hendak menyatakan bahwa pembaruan tidak mungkin berjalan tanpa adanya pendukung yang “militan” – yakni individu, person, pribadi, yang benar-benar menjadikan usaha pembaruan sebagai jalan yang paling mungkin untuk mengadakan perbaikan kehidupan sosial. Mereka inilah orang yang tidak mengenal lelah, tidak mengenal panas, dan tidak mengandalkan keuntungan untuk melakukan langkah-langkah. Mereka ini layaknya
5 
“seorang nabi”, yang bekerja dengan dedikasi penuh, memiliki kecintaan yang kuat, dan rela berkorban untuk usaha yang sedang dilakukan. 
 Keempat, setiap usaha pembaruan pada dasarnya adalah “gerakan pembongkaran” dan sekaligus “gerakan pemasangan” – dua ilmu sekaligus akan digunakan, yakni ilmu pasang dan ilmu bongkar. Untuk menjalankan usaha ini, tidak mungkin perubahan dapat dijalankan, tanpa adanya suatu dukungan luas dari masyarakat. Apa yang dilukiskan sebagai suatu dukungan yang luas dari masyarakat tidak lain dari kesediaan masyarakat untuk berubah, yang bukan dilandasi oleh ketakukan atau paksaan, melainkan oleh kesadaran penuh, bahwa pembaruan akan mengubah kehidupan mereka. Basis massa menjadi penting dalam masalah ini, sebab usaha perubahan yang diboikot oleh masyarakat, sama artinya sebuah proyek yang tidak melibatkan rakyat. Dukungan kuat dari masyarakat, merupakan bukti kongkrit bahwa proses yang dijalankan melibatkan rakyat sepenuhnya. 
Keempat kebutuhan ini, merupakan hal yang mutlak dipenuhi, kalau pembaruan desa hendak berjalan sesuai dengan diharapkan – menjadi jalan bagi perbaikan (substansial) kehidupan masyarakat desa. Elemen gerakan pembaruan desa, sangat perlu membuat rumusan yang lebih jelas dan kongkrit menyangkut empat hal tersebut. Elemen gerakan pembaruan desa, tidak bisa hanya mengandalkan semangat, melainkan dituntut untuk dapat membuat terjemahan yang lebih jelas dan dapat diopersionalkan. Syarat Dasar Pembaruan Desa: Otonomi Desa. Pembaruan desa adalah sebuah proses transformasi (pembaruan yang menyeluruh), untuk mencapai desa baru yang lebih baik dan lebih bermakna. Perubahan jenis ini adalah perubahan yang hanya mungkin berjalan sesuai dengan relnya jika bertumpu pada kekuatan dari dalam, yakni prakarsa dari masyarakat desa. Pengalaman di masa lalu menunjukan bahwa setiap prakarsa untuk memperbaiki kehidupan masyarakat senantiasa gagal mencapai hasil yang diharapkan sebagai akibat alpanya keterlibatan masyarakat. Suatu prakarsa partisipasi hanya akan mungkin berkembang, manakala desa (masyarakat desa), memiliki suatu kapasitas, daya dukung, legitimitas dan legalitas, untuk melakukan sesuatu atau untuk melahirkan prakarsa-prakarsa. Pada intinya dibutuhkan perlindungan (hukum) bagi setiap langkah yang (hendak) dilakukan oleh masyarakat desa. Perlindungan di sini mengandung tiga dimensi utama, yakni pemulihan, perlindungan dan peningkatan – adapun maksudnya adalah: 
 Memungkinkan masyarakat desa untuk memulihkan kondisi mereka sesuai dengan martabat kemanusiaan. Dengan kata lain membebankan suatu kewajiban pada negara untuk memfasilitasi proses pemulihan kehidupan desa, terlebih destruksi terhadap desa merupakan akibat dari politik pedesaan di masa lalu. 
 Memungkinkan masyarakat desa untuk melindungi dirinya sendiri dari peluang terjadi proses yang memerosotkan kualitas hidupnya. Dengan lain perkataan –
6 
masyarakat desa harus dilindungi agar hidupnya tidak mengalami kemerosotan atau penurunan kualitas; 
 Memungkinkan masyarakat desa untuk meningkatkan kualitas kehidupannya, terutama melalui suatu proses peningkatan kualitas kehidupan desa, dari lapangan politik, ekonomi sampai sosial-budaya. Dengan kata lain, negara dibebani kewajiban untuk mendorong peningkatan kualitas kehidupan desa. 
Hal ini bermakna bahwa dibutuhkan adanya otonomi desa yang dilindungi, agar prakarsa rakyat desa bisa berkembang, tumbuh dan menjadi dasar bagi proses pembaruan desa. Apa yang dimaksudkan dengan otonomi? Dalam rumusan yang termuat dalam UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, dan juga dalam pasal 18B UUD 1945 (versi amandemen), telah dengan sangat jelas menunjukan bahwa otonomi diakui, kita bisa melihat dengan jelas rumusan kebijakan tersebut: 
1. Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten (rumusan dalam UU No.22 th. 1999). 
2. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (UUD 1945 pasal 18B – ayat 1). Dan - Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. (UUD 1945 ps 18B – ayat 2) 
Apa yang dapat ditangkap dari rumusan tersebut, bahwa otonomi tidak lain dari “adanya kewenangan dari desa (komunitas) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat”. Apakah ini bermakna bahwa otonomi adalah sebuah kedaulatan? Tentu saja tidak. Otonomi bukanlah sebuah kedaulatan, melainkan pengakuan adanya hak untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, dengan dasar prakarsa dari masyarakat. Otonomi, dengan sendirinya tidak dapat menutup pintu intervensi institusi diatasnya, sebaliknya, tidak membenarkan proses intervensi yang serba paksa, mendadak, dan tidak melihat realitas komunitas. 
Selama ini, konsepsi otonomi memang kerapkali menimbulkan ketegangan. Konsep otonomi sendiri, masih dapat diperdebatkan, sejalan dengan teori politik hukum, yakni apakah otonomi yang dimaksud berbasis pada pengakuan ataukah pemberian. Yang pertama mengacu pada konsep bahwa otonomi didasarkan pada hak yang memang melekat pada tubuh komunitas. Kita dapat membaca bagaimana sikap dari masyarakat adat terhadap masalah ini – mereka mengatakan bahwa “kami sudah ada sebelum republik ini berdiri”. Apa maknanya – bahwa dari pihak masyarakat menghendaki konsep yang digunakan adalah konsep pengakuan. Atau otonomi sebagai hak bawaan dan bukan hak
7 
pemberian. Sebaliknya, dari kalangan negara, sangat jelas bahwa otonomi adalah hak pemberian. Asal usul otonomi memang tidak akan terlihat dalam praktek langsung di lapangan. Kejelasan mengenai asal usul ini, pada dasarnya akan mempengaruhi kualitas dari realisasinya. Konsep pengakuan dengan sendirinya akan menempatkan masyarakat pada posisi yang tinggi. Posisi yang demikian ini, tentu saja akan membantu masyarakat untuk meningkatkan prakarsa, sebab sejak awal, konsep yang digunakan adalah konsepsi aktif, dan bukan konsepsi yang bersifat pasif (pemberian). Dalam proses realisasi di depan, kita tentu saja tidak dapat mengandalkan sikap yang pasif, melainkan membutuhkan sikap yang aktif. Sikap yang kedua ini penting, karena, hanya dengan keaktifan, proses pembaruan berbasis rakyat dapat dijalankan. Mengapa demikian? Mengapa kita perlu pengertian yang mengandkan keaktifan (prakarsa) dari masyarakat? Dimana letak pentingnya? Bagaimana jika keaktifan tidak ada, dan sebaliknya intervensi yang kuat? Kita hendak menekankan bahwa asal-usul konsepsi otonomi yang digunakan menjadi penting untuk masa depan. Konsepsi otonomi pemberian, pada dasarnya adalah suatu konsep yang mendasarkan diri pada adanya “kesadaran” dan “political will” di kalangan elite kekuasaan. Ketika kesadaran muncul, dan kemauan politik berkembang, maka otonomi diberikan dengan seluas mungkin. Model ini memang dapat berjalan, dan dapat memfasilitasi tumbuh kembang proses otonomisasi (desa). Yang menjadi masalah adalah manakala konfigurasi politik elite kekuasaan berubah. Naiknya penguasa baru, sudah tentu akan membawa ketidakpastian baru – perubahan kebijakan mungkin saja terbit. Apa yang diberikan bisa ditarik kembali. Disinilah kita memandang pentingnya otonomi bawaan sebagai dasar konsep. Paradigma ini, yang kemudian dituangkan dalam suatu kebijakan, akan memateri posisi tawar rakyat yang kuat. Di pihak masyarakat sendiri, diharapkan akan semakin memiliki tanggungjawab yang besar untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas dari otonomi (desa). Model yang demikian, sudah tentu tidak bergantung pada angin politik. Merumuskan Otonomi. Resiko dari penerimaan otonomi yang berbasis rakyat, atau otonomi yang bersifat bawaan, maka dengan sendirinya, rakyat desa, harus mampu membuat rumusan sendiri mengenai kapasitas dari otonomi yang dimaui, atau kapasitas otonomi yang mampu dijalankan. Apa maksudnya? Kita hendak mengatakan bahwa sebuah desa perlu memiliki kejelasan terhadap kewenangan yang dimiliki, serta memiliki kejelasan mengenai kapasitas yang dimiliki oleh desa tersebut. Kewenangan akan berkait dengan apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak bisa dilakukan. Kapasitas menyangkut kejelasan mengenai apa kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman (K3A). 
Kejelasan mengenai K3A, akan menjadi modal desa untuk berbicara, dan melakukan perundingan dengan pihak kabupaten, sehingga pihak kabupaten menjadi jelas mengenai apa yang bisa diberikan pada desa, dan apa saja yang tidak perlu lagi dilakukan oleh
8 
kabupetan. Selanjutnya, proses penyerahan kewenangan ini, akan menjadi proses penting, yang kemudian dilanjutkan dengan upaya merundingkan mengenai dana alokasi untuk desa, yang akan menjadi faktor pendukung kewenangan yang dimiliki desa. Masalahnya, bagaimana agar proses pengenalan K3A bisa berjalan dengan baik, dan bisa menghasilkan informasi yang akurat. Disinilah pentingnya kerjasama semua pihak, terutama BPD dan pamong, serta Forkom (BPD maupun Pamong), untuk secara bersama- sama, mengupayakan suatu rembug desa, yang nantinya diharapkan bisa menjadi ajang pengungkapan berbagai persoalan dan kekuatan yang dimiliki oleh desa. Kerjasama menjadi kata kunci untuk mensukseskan proses ini. Proses K3A, tentu saja bukan merupakan proses akhir. Kita tidak akan mungkin bisa menemukan keseluruhan masalah yang berkembang di desa. Apa yang bisa dilakukan adalah mengenali secara lebih arif, dan kemudian membuka kesempatan seluas mungkin bagi perbaikan, masukan baru, atau mungkin ada data yang tidak terrangkum dalam proses penyelidikan. Dengan kejelasan K3A, yang disertai adanya data mengenai potensi desa, maka langkah selanjutnya adalah mengupayakan langkah hukum, yakni mendorong agar parlemen daerah bersedia bekerja melahirkan peraturan-peraturan daerah yang dibutuhkan. Kita melihat ada tiga hal yang dibutuhkan, yakni: 
(1) mengenai pembagian kewenangan; 
(2) mengenai dana alokasi untuk desa atau dana perimbangan; dan 
(3) mengenai partisipasi – atau kewajiban pihak kabupaten untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. 
Kunci dari kesemuanya ini sesungguhnya adalah perlunya suatu tingkat partisipasi tertentu dari masyarakat desa, dan partisipasi dari desa, dalam ikut ambil bagian dalam proses pengambilan kebijakan di tingkat kabupaten. Bagaimana partisipasi ini dimungkinkan? Kita melihat setidaknya dua hal utama: 
(1) perlunya kerjasama antar desa, baik dalam bentuk kerjasama antar BPD melalui Forkom BPD atau yang lain; 
(2) perlunya prakarsa-prakarsa, khususnya dari masyarakat. Dalam konteks yang terakhir inilah kita melihat perlunya suatu badan khusus di tingkat desa, yang kelak bisa menjadi wadah bersama untuk mendorong proses pembaruan desa. 
Badan yang dimaksudkan disini adalah Komite Pembaruan Desa. Apakah maksud dari Komite Pembaruan Desa? Yakni suatu badan yang akan bekerja memfasilitasi dan mengorganisir proses dan prakarsa pembaruan desa di masing-masing desa. KPD ini akan menjadi motor, atau lokomotif dari proses mengubah wajah desa. Apa yang harus dilakukan oleh KPD?
9 
(1) mengorganisir atau mengusahakan kejelasan mengenai kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman desa – suatu proses analisa potensi desa; 
(2) mengorganisir atau mengusahakan kejelasan mengenai jenis-jenis kewenangan yang bisa dilakukan oleh desa setempat; 
(3) mengusahakan kerjasama semua elemen desa untuk mengubah wajah desa; 
(4) membangun akses atau mengembangkan jaringan kerjasama dengan luar desa – untuk meningkatkan kapasitas desa. 
KPD adalah suatu motor yang hendak diletakkan di depan proses pembaruan desa. Konsep di depan, tentu bukan dalam kerangka kekuasaan, melainkan dalam kerangka kerja. KPD adalah relawan-relawan desa yang bersedia menyumbangkan tenaga dan pikirannya, untuk keperluan merealisasi proses pembaruan desa. Dalam masalah ini, KPD hendaknya dijadikan fasilitator bagi desa untuk pertama-tama membuat rumusan mengenai otonomi desa, sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat desa. 
Langkah-langkah. Apa yang harus dilakukan untuk proses realisasi pembaruan desa? Untuk dapat menjawab masalah ini kita perlu memperjelas lebih dahulu bahwa proses pembaruan desa sesungguhnya adalah proses yang kompleks, bukan sebuah proses satu dimensi, dan bukan proses yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Perubahan yang harus dilakukan bertahap, dari sederhana menjadi kompleks. Yang terlibat dalam proses ini bukan hanya satu pihak, melainkan banyak pihak dan bersifat saling bergantung, saling berhubungan dan saling memberikan pengaruh. Kita mengidentifikasi, setidaknya ada tiga pihak yang berkepentingan dengan masalah ini, yakni: Pertama, masyarakat desa (dengan segenap elemennya); Kedua, pemerintahan di atas desa (khususnya pemerintahan kabupaten); dan Ketiga, elemen di luar desa, yang memiliki suatu kepedulian terhadap proses pembaruan desa. Masyarakat Desa – Konsolidasi Desa. Pembaruan desa yang hendak dikembangkan di sini adalah proses yang sepenuhnya mengandalkan prakarsa dari masyarakat desa, oleh sebab itu, proses konsolidasi di desa menjadi pokok masalah yang harus dikembangkan. Apa yang perlu dilakukan dalam masalah ini? Kita mencatat beberapa hal yang penting: 
(1) Perlunya pembentukan organisasi atau badan kerja yang khusus menangani masalah gerakan pembaruan desa. Badan kerja ini bersifat ad hoc, sementara, yang dibentuk melalui musyawarah desa, yang merupakan badan milik masyarakat, dan memiliki mandat langsung dari masyarakat. Inilah badan yang hendak disebut sebagai KPD (komite pembaruan desa). 
(2) Perlunya proses tranformasi pemerintahan desa – dalam hal ini pemerintahan desa harus berubah wataknya, yang semula sebagai penguasa, kini harus dapat berubah menjadi pelayan masyarakat. Bukan lagi tukang perintah, melainkan pihak yang diberi kewenangan dan mandat untuk mengurus keperluan masyarakat.
10 
(3) Perlunya usaha bersama, untuk bersama-sama membuat rumusan yang jelas mengenai arah pembaruan desa masing-masing. Masalah ini perlu dikembangkan dalam bentuk musyawarah desa. Proses ini merupakan bentuk perencanaan desa partisipatif, dimana seluruh masyarakat dilibatkan untuk proses perumusan mengenai apa yang harus dikembangkan di desa. Hasil rumusan inilah yang hendaknya menjadi pegangan bagi pemerintahan desa, dan bagi berbagai elemen lain di desa, termasuk bagi KPD. 
(4) Perlunya mengembangkan jaringan kerjasama antar desa, dan dengan berbagai pihak yang memiliki kepedulian dengan proses pembaruan desa. Kerjasama ini sangat penting artinya, sebab dalam konteks ini, pembaruan sebuah desa, tidak mungkin dilepaskan dari desa-desa disekitarnya. Kita harus mengakui bahwa tidak semua desa memiliki kapasitas yang dibutuhkan. Tidak semua desa didukung oleh sumberdaya yang memungkinkan untuk mengubah wajah desa. Ada pula desa-desa yang miskin sumberdaya, yang karena itu, membutuhkan dukungan dari pihak-pihak lain. Atau bahkan dibutuhkan “penggabungan” desa, sebagai salah satu jalan keluar mengatasi krisis sumberdaya. Dalam konteks inilah suatu jaringan kerja antar desa, dan dengan berbagai elemen lain dibutuhkan, untuk menopang masalah-masalah yang berkembang dalam realisasi pembaruan desa. 
(5) Perlunya proses negosiasi dengan pihak kabupaten. Dalam hal ini, dibutuhkan usaha dari desa untuk melakukan pembicaraan dan proses tawar-menawar dengan pihak kabupaten, setidak-tidaknya menyangkut beberapa issue dasar, yakni: (a) mengenai pembagian kewenangan kabupaten dan desa; (b) mengenai perimbangan keuangan (adanya dana alokasi yang diberikan pada desa); dan (c) adanya ketentuan yang mewajibabkan pihak kabupaten untuk berbicara dengan desa, manakala mengambil kebijakan-kebijakan penting berbagai dengan desa. Pada bagian lain, desa juga perlu mengadakan pembicaraan dengan pihak kabupaten, yang berkait dengan proses kerja kabupaten. Kinerja kabupaten dan arah pembangunan yang dijalankan oleh pihak kabupaten, haruslah sejalan dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat desa. 
Lima segi ini adalah sebagian langkah yang patut dikembangkan oleh desa, untuk melakukan konsolidasi guna menopang proses realisasi pembaruan desa. Dalam proses ini, kerjasama antar elemen di desa sangat dibutuhkan, sebab tanpa sebuah kerjasama, maka tidak mungkin ditemukan langkah-langkah cerdas dan bijak, yang melebarkan jalan realisasi pembaruan desa. Pemerintah(an) – Khususnya Pemerintah(an) Kabupaten. Desa merupakan basis dari kabupaten. Oleh sebab itu, pembaruan desa yang dijalankan secara sistematis dan konsisten, tentu saja akan membuahkan hasil berupa proses pembaruan kabupaten. Dapat dikatakan bahwa pembaruan kabupaten membutuhkan syarat pembaruan desa, dan demikian sebaliknya. Proses pembaruan kabupaten menjadi mutlak dilakukan, agar proses pembaruan desa memperoleh fasilitasi yang bermakna dari kabupaten. Apa yang patut dilakukan oleh kabupaten? Kita mencatat beberapa hal utama:
11 
1. Perlunya perubahan watak dari pihak kabupaten. Perubahan watak ini berupa perubahan dalam memandang dan bersikap terhadap prakarsa dari masyarakat. Pengalaman di masa lalu, memperlihatkan bahwa pemerintah tidak cukup ramah terhadap dinamika di pedesaan. Malahan dinamika di pedesaan dipandang sebelah mata, dicurigai dan tidak dilihat sebagai sesuatu yang penting. Kita membutuhkan pemerintah yang positif terhadap desa, sehingga apa yang dikembangkan di desa tidak dihalang-halangi, sebaliknya didukung dan difasilitasi secara baik. 
2. Perlunya dukungan kebijakan. Pembaruan desa tidak mungkin tanpa dukungan kebijakan dari pihak kabupaten. Dalam masalah ini, kita melihat setidaknya ada tiga kebijakan dasar yang perlu dikembangkan oleh pihak kabupaten, yakni kebijakan yang bersifat darurat, kebijakan yang bersifat menata ulang dan kebijakan strategis. Untuk mewujudkan kebijakan ini, maka dengan sendirinya pihak kabupaten harus berbicara dengan desa. Jalur komunikasi desa dengan kabupaten harus terbuka, agar berbagai masalah-masalah dapat dibicarakan dan dapat dirumuskan sebagai kebijakan yang menyokong langkah pembaruan desa. 
Pihak Luar Desa – Perguruan Tinggi dan Ornop. Pembaruan desa, tidak mungkin berjalan tanpa dukungan dari berbagai pihak. Prinsip bahwa pembaruan desa hendak mengandalkan prakarsa dari dalam, tidak dengan sendirinya mengabaikan kerjasama dan dukungan dari pihak luar. Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa proses pembaruan desa, pada dasarnya berhadapan dengan kenyataan warisan masa lalu. Keinginan untuk mengandalkan prakarsa dari masyarakat harus berhadapan dengan kenyataan dimana masyarakat desa sudah terlalu lama berada dalam sikap apatis, sikap menunggu dan sikap “acuh”. Oleh sebab itulah, dalam situasi yang demikian, dibutuhkan suatu bentuk dukungan, untuk memecahkan kebekuan tersebut, dan mengubah atau mentransformasikan masyarakat desa agar lebih aktif dan berani mengambil prakarsa. Pendampingan, pengorganisasian dan segala upaya untuk membangkitkan kesadaran baru sangat dibutuhkan. Kegiatan-kegiatan pendidikan, dalam arti yang luas, sangat penting untuk diselenggarakan. Pembentukan atau pengembangan sekolah pembaruan desa, menjadi salah satu agenda yang perlu dipikirkan. Kolaborasi ornop dan perguruan tinggi perlu dipikirkan menjadi suatu badan yang berupaya mengembangkan pendidikan yang lebih sistematis, reguler dan berkelanjutan. Demikian. Yogyakarta, 12 Nopember 2003.

Más contenido relacionado

Similar a Jalan realisasi-pembaruan-desa

Analisis pelaksanaan kewenangan pemerintahan desa dalam bidang kemasyarakatan...
Analisis pelaksanaan kewenangan pemerintahan desa dalam bidang kemasyarakatan...Analisis pelaksanaan kewenangan pemerintahan desa dalam bidang kemasyarakatan...
Analisis pelaksanaan kewenangan pemerintahan desa dalam bidang kemasyarakatan...Operator Warnet Vast Raha
 
Karakteristik Tujuan dan Manfaat PAR
Karakteristik Tujuan dan Manfaat PARKarakteristik Tujuan dan Manfaat PAR
Karakteristik Tujuan dan Manfaat PARIslamic Studies
 
Buku 3 panduan-fasilitasi-rk
Buku 3 panduan-fasilitasi-rkBuku 3 panduan-fasilitasi-rk
Buku 3 panduan-fasilitasi-rkHamri Amri
 
Slide 1 Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan.ppt
Slide 1 Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan.pptSlide 1 Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan.ppt
Slide 1 Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan.pptPangeranSilalahi
 
Seri 6 Buku Implementasi UU No 6 Tahun 2014 - Perencanaan pembangunan desa
Seri 6 Buku Implementasi UU No 6 Tahun 2014 - Perencanaan pembangunan desaSeri 6 Buku Implementasi UU No 6 Tahun 2014 - Perencanaan pembangunan desa
Seri 6 Buku Implementasi UU No 6 Tahun 2014 - Perencanaan pembangunan desaAgus hariyanto
 
Buletin Sindangkasih Mandiri RBM Majalengka Edisi 004
Buletin Sindangkasih Mandiri RBM Majalengka Edisi 004Buletin Sindangkasih Mandiri RBM Majalengka Edisi 004
Buletin Sindangkasih Mandiri RBM Majalengka Edisi 004Rbm Majalengka
 
Tugas praktikum 2013 stpmd yogyakarta (ilmu pemerintahan)
Tugas praktikum 2013 stpmd yogyakarta (ilmu pemerintahan)Tugas praktikum 2013 stpmd yogyakarta (ilmu pemerintahan)
Tugas praktikum 2013 stpmd yogyakarta (ilmu pemerintahan)ricky04
 
Tugas praktikum 2013 stpmd yogyakarta (ilmu pemerintahan)
Tugas praktikum 2013 stpmd yogyakarta (ilmu pemerintahan)Tugas praktikum 2013 stpmd yogyakarta (ilmu pemerintahan)
Tugas praktikum 2013 stpmd yogyakarta (ilmu pemerintahan)ricky04
 
Seri 10 Buku Implementasi UU No 6 Tahun 2014 - Regulasi baru desa baru
Seri 10 Buku Implementasi UU No 6 Tahun 2014 - Regulasi baru desa baruSeri 10 Buku Implementasi UU No 6 Tahun 2014 - Regulasi baru desa baru
Seri 10 Buku Implementasi UU No 6 Tahun 2014 - Regulasi baru desa baruAgus hariyanto
 
Buku 10-regulasi-baru-desa-baru
Buku 10-regulasi-baru-desa-baruBuku 10-regulasi-baru-desa-baru
Buku 10-regulasi-baru-desa-baruWardi Ashli
 
Makalah sosio perubahan masyarakat dalam kemajuan atau modernisasi
Makalah sosio perubahan masyarakat dalam kemajuan atau modernisasiMakalah sosio perubahan masyarakat dalam kemajuan atau modernisasi
Makalah sosio perubahan masyarakat dalam kemajuan atau modernisasiRini de Lopez
 
Kelompok5isbd 131216144333-phpapp02
Kelompok5isbd 131216144333-phpapp02Kelompok5isbd 131216144333-phpapp02
Kelompok5isbd 131216144333-phpapp02Febri Yatmiko
 
Perubahan sosial dalam masyarakat pedesaan
Perubahan sosial dalam masyarakat pedesaanPerubahan sosial dalam masyarakat pedesaan
Perubahan sosial dalam masyarakat pedesaanVeronica Silalahi II
 
Konsep Masyarakat dan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia
Konsep Masyarakat dan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia Konsep Masyarakat dan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia
Konsep Masyarakat dan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia sahraintan
 
SPB 2.2 Revolusi Mental.pptx
SPB 2.2 Revolusi Mental.pptxSPB 2.2 Revolusi Mental.pptx
SPB 2.2 Revolusi Mental.pptxadkusn1
 
Peran Kader Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Masyarakat
Peran Kader Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan MasyarakatPeran Kader Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Masyarakat
Peran Kader Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Masyarakatnugisptrainig
 
Model Pembangunan Masyarakat
Model Pembangunan MasyarakatModel Pembangunan Masyarakat
Model Pembangunan MasyarakatSiti Sahati
 

Similar a Jalan realisasi-pembaruan-desa (20)

Analisis pelaksanaan kewenangan pemerintahan desa dalam bidang kemasyarakatan...
Analisis pelaksanaan kewenangan pemerintahan desa dalam bidang kemasyarakatan...Analisis pelaksanaan kewenangan pemerintahan desa dalam bidang kemasyarakatan...
Analisis pelaksanaan kewenangan pemerintahan desa dalam bidang kemasyarakatan...
 
Karakteristik Tujuan dan Manfaat PAR
Karakteristik Tujuan dan Manfaat PARKarakteristik Tujuan dan Manfaat PAR
Karakteristik Tujuan dan Manfaat PAR
 
Buku 3 panduan-fasilitasi-rk
Buku 3 panduan-fasilitasi-rkBuku 3 panduan-fasilitasi-rk
Buku 3 panduan-fasilitasi-rk
 
Slide 1 Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan.ppt
Slide 1 Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan.pptSlide 1 Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan.ppt
Slide 1 Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan.ppt
 
Seri 6 Buku Implementasi UU No 6 Tahun 2014 - Perencanaan pembangunan desa
Seri 6 Buku Implementasi UU No 6 Tahun 2014 - Perencanaan pembangunan desaSeri 6 Buku Implementasi UU No 6 Tahun 2014 - Perencanaan pembangunan desa
Seri 6 Buku Implementasi UU No 6 Tahun 2014 - Perencanaan pembangunan desa
 
Buletin Sindangkasih Mandiri RBM Majalengka Edisi 004
Buletin Sindangkasih Mandiri RBM Majalengka Edisi 004Buletin Sindangkasih Mandiri RBM Majalengka Edisi 004
Buletin Sindangkasih Mandiri RBM Majalengka Edisi 004
 
Tugas praktikum 2013 stpmd yogyakarta (ilmu pemerintahan)
Tugas praktikum 2013 stpmd yogyakarta (ilmu pemerintahan)Tugas praktikum 2013 stpmd yogyakarta (ilmu pemerintahan)
Tugas praktikum 2013 stpmd yogyakarta (ilmu pemerintahan)
 
Tugas praktikum 2013 stpmd yogyakarta (ilmu pemerintahan)
Tugas praktikum 2013 stpmd yogyakarta (ilmu pemerintahan)Tugas praktikum 2013 stpmd yogyakarta (ilmu pemerintahan)
Tugas praktikum 2013 stpmd yogyakarta (ilmu pemerintahan)
 
Seri 10 Buku Implementasi UU No 6 Tahun 2014 - Regulasi baru desa baru
Seri 10 Buku Implementasi UU No 6 Tahun 2014 - Regulasi baru desa baruSeri 10 Buku Implementasi UU No 6 Tahun 2014 - Regulasi baru desa baru
Seri 10 Buku Implementasi UU No 6 Tahun 2014 - Regulasi baru desa baru
 
Buku 10-regulasi-baru-desa-baru
Buku 10-regulasi-baru-desa-baruBuku 10-regulasi-baru-desa-baru
Buku 10-regulasi-baru-desa-baru
 
Makalah sosio perubahan masyarakat dalam kemajuan atau modernisasi
Makalah sosio perubahan masyarakat dalam kemajuan atau modernisasiMakalah sosio perubahan masyarakat dalam kemajuan atau modernisasi
Makalah sosio perubahan masyarakat dalam kemajuan atau modernisasi
 
Kelompok5isbd 131216144333-phpapp02
Kelompok5isbd 131216144333-phpapp02Kelompok5isbd 131216144333-phpapp02
Kelompok5isbd 131216144333-phpapp02
 
Perubahan sosial dalam masyarakat pedesaan
Perubahan sosial dalam masyarakat pedesaanPerubahan sosial dalam masyarakat pedesaan
Perubahan sosial dalam masyarakat pedesaan
 
9. city changer senin 29, yayat
9. city changer senin 29, yayat9. city changer senin 29, yayat
9. city changer senin 29, yayat
 
Konsep Masyarakat dan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia
Konsep Masyarakat dan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia Konsep Masyarakat dan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia
Konsep Masyarakat dan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia
 
SPB 2.2 Revolusi Mental.pptx
SPB 2.2 Revolusi Mental.pptxSPB 2.2 Revolusi Mental.pptx
SPB 2.2 Revolusi Mental.pptx
 
Masyarakat madani
Masyarakat madaniMasyarakat madani
Masyarakat madani
 
Sistem Sosial Masyarakat Nias
Sistem Sosial Masyarakat NiasSistem Sosial Masyarakat Nias
Sistem Sosial Masyarakat Nias
 
Peran Kader Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Masyarakat
Peran Kader Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan MasyarakatPeran Kader Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Masyarakat
Peran Kader Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Masyarakat
 
Model Pembangunan Masyarakat
Model Pembangunan MasyarakatModel Pembangunan Masyarakat
Model Pembangunan Masyarakat
 

Jalan realisasi-pembaruan-desa

  • 1. 1 JALAN REALISASI PEMBARUAN DESA1 Dadang Juliantara Pendahuluan. Ketika pertama kali gagasan pembaruan desa dilontarkan di depan “forum akademik”, kira- kira tiga tahun yang lalu, banyak pihak menanggapi dengan dingin. Pernah dalam sebuah pertemuan di S2 Polok (Konsentrasi Politik Lokal) Fisipol UGM, salah seorang staf pengajar program S2 tersebut, bertanya pada saya, “Apa itu pembaruan desa? Apakah ini merupakan kebutuhan masyarakat desa? Jangan-jangan gagasan ini hanyalah pikiran LSM yang ingin diterapkan di desa.” Pertanyaan tersebut tentu saja sangat menggugah saya dan kawan-kawan yang mempromosikan pembaruan desa. Namun demikian, pertanyaan tersebut tidak saya lihat sebagai segi negatif, melainkan sebagai segi positif – pemicu, karena memang demikian lah hakekat dari pengetahuan: ia lahir dari penggalian, perdebatan, kritik dan refleksi yang tiada henti. Tradisi yang demikian sangat perlu ditumbuhkan, agar kita dapat melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang lebih kritis dan strategis. Bangsa ini membutuhkan suatu fondasi baru, oleh sebab fondasi yang lama telah rapuh dan tidak memberikan kenyamanan pada massa rakyat yang hidup diatasnya. Apakah Pembaruan Desa. Pembaruan desa memang bukan rumusan dari masyarakat desa – melainkan rumusan dari orang-orang yang terlibat dalam upaya-upaya “mentransformasikan” kehidupan masyarakat, agar menjadi lebih baik dan lebih bermakna. Apakah pembaruan desa dibutuhkan? Pertanyaan ini terasa menjebak, dan cenderung menempatkan “gagasan” sebagai barang yang akan disajikan. Padahal gagasan pembaruan desa disini memiliki tiga maksud dasar, yakni: Pertama, pembaruan desa, dimaksudkan sebagai konsepsi tentang upaya transformasi masyarakat pedesaan2 1 Gagasan-gagasan yang dikemukakan disini sebagian diambil dan dikembangkan dari Bab 5, buku: Pembaruan Desa – Bertumpu Pada Yang Terbawah (Dadang Juliantara) – terbitan Lappera Pustaka Utama. Buku yang dimaksud merupakan buku awal untuk melihat urgensi pembaruan desa, dengan menggunakan kerangka makro. Naskah ini sendiri merupakan pengembangan lebih lanjut dari versi awal yang ditulis pada 12 Nopember 2003. Penulis menyadari bahwa belum terdapat ide baru yang dimuat. Uraian lebih menekankan dimensi strategi dan operasional. Lebih jauh tulisan ini hendak dijadikan Dasar bagi pengembangan lebih jauh “Sekolah Pembaruan Desa”. 2 Kalau kita menyebut pedesaan, maka tidak perlu pengertian ini membelenggu kita, dengan pengertian yang berbasis (melulu) agraris. Kita perlu juga memasukan perspektif kelautan untuk dapat memahami makna pedesaan. . Sebagai sebuah konsepsi, pembaruan desa, tentu saja bukan konsepsi yang final, melainkan masih menjadi bagian dari pencarian dan pergulatan. Buku yang saya tulis, dengan judul Pembaruan Desa – Bertumpu Pada Yang Terbawah adalah
  • 2. 2 sebuah upaya “nekad”, setelah tiga tahun lebih bergulat dengan berbagai macam persoalan, terutama kesalahan-kesalahan. Buku tersebut, merupakan upaya untuk mensistematisasikan gagasan pembaruan desa, khususnya agar dapat menjadi lebih operasional. Kedua, pembaruan desa, saya (dkk) memahaminya tidak lebih sebagai “kentongan”. Kami memukul “kentongan” ini keras-keras, agar semua telinga yang terjaga dapat mendengar. Pasti ada yang tidak suka. Mungkin mereka yang sedang santai, harus terganggu karena suara bising, atau suara fals dari pembaruan desa – apalagi bahan baku kentongan bukan dari barang yang bermutu. Mengapa “kentongan” perlu dipukul keras-keras! Agar mereka semua berpaling, bertanya-tanya dan akhirnya ikut memikirkan. Kalau ada yang tidak setuju atau jengkel, maka itu pertanda bahwa gagasan ini telah mulai dicerna. Ketika semua mencerna dan tidak menemukan apa-apa, maka pada saat itulah kita akan mengatakan “silahkan anda semua memikirkan” apa isi dari pembaruan desa – sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Saya tidak berambisi membuat rumusa, karena saya yakin pembaruan desa, pada nantinya akan bersifat unik, khas, mengingat setiap desa memiliki keunikan tersendiri. Desa lah yang sebetulnya diharapkan dapat membuat rumusan tersendiri “makna pembaruan desa”, namun tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang di luar desa, untuk ikut memberikan kontribusi pemikiran mengenai pembaruan desa. Ketiga, pembaruan desa, saya (dkk) memahaminya sebagai tempat atau arena, yang memungkinkan berlangsungnya pergulatan pemikiran dan tindakan, yang mengarah pada langkah memperbaiki kehidupan di pedesaan. Pada arena ini, semua pihak dapat secara bersama-sama melakukan kritik dan sekaligus mengembangkan skenario masa depan. Arena seperti ini dibutuhkan, terutama juga untuk membangun komitmen, menggalang pandangan, dan sekaligus menggalang solidaritas, dalam suatu kerangka perbaikan. Pembaruan desa tidak sekedar istilah lain dari Pembangunan Pedesaan, melainkan suatu strategi baru untuk membangun gerakan pembaruan – mengubah paradigma lama, mendorong transformasi. Sebagai arena, pembaruan desa, diharapkan akan memperkaya gagasan-gagasan mengubah wajah desa, baik dari segi teori, substansi, sampai kepada program-program kongkrit. Arena ini juga diharapkan dapat memecahkan kebekuan kajian pedesaan, karena terlihat naskah-naskah mengenai pedesaan sangat minim (dalam jumlah). Karya Soetarjo Kartohadikoesoemo (Desa), sebagai contoh, sampai kini masih belum memiliki “tandingan” dalam kajian pedesaan. Naskah-naskah terbitan Lappera, seperti Negara Dalam Desa, karya Hans Antlov, karya Husken, Yando Zakaria, Sutoro Eko (dkk, melalui IRE), Purwo Santoso (dkk, melalui S2 Politik Lokal), Kutut Suwondo (dkk, melalui Perrcik), dan lain-lain, kiranya masih belum dapat memberikan gambar yang lengkap mengenai pedesaan, seperti yang ditulis Soetarjo. Jaman yang berubah, dinamika desa yang baru, sudah tentu membutuhkan pendekatan baru dan pemikiran baru, agar dapat lebih menjelaskan apa yang terjadi. Ketiga maksud ini sesungguhnya hendak menggambarkan bahwa konsep pembaruan desa, masih belum menjadi suatu konsepsi yang siap pakai. Sejak awal, ketika gagasan ini dimunculkan, memang dihindari dari kemungkinan menjadi semacam “ajaran” dan lebih
  • 3. 3 diarahkan agar dapat menjadi spirit atau inspirasi bagi berbagai kelompok yang dapat memberikan dukungan bagi usaha-usaha mengubah wajah pedesaan. Oleh sebab itu, saya kerap merasa meninggalkan rasa kecewa, karena mereka yang bertanya tentang pembaruan desa, umumnya berharap agar saya (dkk), dapat menyajikan konsep lengkap, semacam “cetak biru”. Pendangkalan partisipasi yang dilakukan oleh Orde Baru, telah membawa implikasi yang sangat luas, salah satunya, sikap enggan dari masyarakat untuk “menggunakan semua kemampuannya untuk menggali pemikiran baru”. Masyarakat umumnya lebih senang menerima barang jadi, dan enggan jika diminta untuk membuat kreasi sendiri. Pembaruan desa, dalam konteks ini, juga memiliki maksud untuk mengubah tradisi lama ini, dan menggantikannya dengan tradisi baru, dimana masyarakat dapat ambil bagian dalam proses penggalian pemikiran mengenai “bagaimana mengubah wajah pedesaan”. Berbagai pertanyaan tersebut meluncur dengan sangat deras. Dalam proses interaksi, diskusi, perdebatan dan “sosialisasi”, telah muncul berbagai masalah yang pada intinya hendak mempersoalkan segi-segi di balik gagasan pembaruan desa. Kesan kuat yang tidak bisa dibantah adalah adanya anggapan dan tuntutan, agar konsep pembaruan desa dirumuskan secara lebih rinci, detail dan menyeluruh. Pembaruan desa dianggap atau hendak ditempatkan sebagai konsep umum yang akan dipakai disemua desa secara sama. Ada tuntutan tersembunyi agar mereka yang melemparkan gagasan pembaruan desa membawa konsep sampai ke level juknis (petunjuk teknis). Dalam hal ini pembaruan desa dipandang sebagai suatu “cetak biru” pemerintah, yang harus dijalankan oleh masyarakat3 Pembaruan desa, sebagai suatu usaha perubahan, pada dasarnya adalah langkah gerakan sosial. Dalam kerangka ini, maka rumus dasar dalam gerakan sosial dapat digunakan, bahwa keberhasilan gerakan (pembaruan desa), akan sangat ditentukan oleh sejauhmana usaha-usaha yang dilakukan mampu mentransformasikan kelemahan menjadi kekuatan, . Lantas bagaimana gerakan pembaruan desa membuka jalan bagi realisasi? Dalam konteks ini, gerakan pembaruan desa, mau tidak mau, harus membuat rumusan-rumusan “jangka pendek”, yang tidak lain merupakan “pancingan” bagi pembahasan yang lebih jauh. Oleh sebab itu, ijinkan saya untuk menulis kembali, konsep pembaruan desa yang mengarah pada strategi dan operasionalisasi. Kira-kira begini tata urutannya: Empat Kebutuhan Pembaruan. 3 Ketika berinteraksi dengan masyarakat pedesaan, gagasan pembaruan desa segera mendapat respon, dengan sejumlah pertanyaan, antara lain: Pertama, adalah dasar hukum bagi proses pembaruan desa. Apakah gagasan pembaruan desa tidak melawan atau bertentangan dengan hukum yang berlaku? Kedua, mengapa harus pembaruan? Apakah program pemerintah yang ada tidak cukup? Ketiga, apakah pembaruan desa merupakan proyek baru pemerintah? Jika benar proyek ini dijalankan oleh departemen apa? Keempat, pembaruan desa sudah dijalankan dimana? Apakah ada desa yang sudah berhasil melakukan pembaruan? Kelima, mana konsep lengkap dari pembaruan desa? Apakah sudah ada petunjuk teknis pembaruan desa? Dan seterusnya.
  • 4. 4 dan bagaimana mentransformasikan segala potensi menjadi kekuatan pendorong perubahan. Beberapa syarat perlu dilengkapi agar langkah di sebuah desa, dapat menjadi nyata, dan tidak terjebak dalam retorika atau hanya pada level wacana belaka.  Pertama, diperlukan adanya visi yang jelas dari desa, mengenai apa yang hendak diraih dimasa depan. Visi yang dimaksud tidak lain dari suatu visi kemasyarakatan, suatu bayangan mengenai desa di masa depan. Ambil contoh desa yang hendak menjalankan pembaruan adalah desa “serba makmur”. Maka segenap elemen desa “serba makmur”, perlu membuat rumusan yang jelas mengenai visi ke depan – bagaimana bentuk ideal dari desa “serba makmur” (misalnya – 20 tahun ke depan!). Masa depan desa, tidak boleh hanya menjadi mimpi satu dua orang, melainkan harus menjadi impian banyak orang. Semakin banyak yang bermimpi, dan menyatukan mimpi tersebut menjadi suatu visi, maka niscaya potensi desa akan dapat berkembang lebih luas, energi perubahan akan bertambah, dan jalan ke arah realisasi, tentu akan semakin terbuka lebar.  Kedua, setiap perubahan tidak mungkin tanpa mengandalkan “kesatuan langkah”. Kita boleh menghargai pluralitas, namun dalam kerja kongkrit, keberagaman, harus dapat ditransformasikan menjadi kekuatan satu – seperti layaknya warna-warni yang berubah dapat memantulkan satu warna, yakni warna putih, ketika berbagai macam tersebut dicampur. “Kesatuan langkah” bukan sejenis per”sate”an, melainkan persatuan, yang didalamnya memuat unsur-unsur pembagian kerja dan pendelegasian kerja. Secara singkat, hendak dikatakan bahwa usaha pembaruan desa, membutuhkan organisasi penyokong yang kuat, yang merupakan gabungan dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan usaha pembaruan. Organisasi kerja inilah yang akan memikul beban yang sudah dirumuskan sebagai visi desa. Secara ideal diharapkan pemerintahan desa merupakan organisasi yang diharapkan dapat menjadi “punggung” yang memikul beban tersebut, sepanjang pemerintahan desa tidak condong menjadi corong bagi kekuasaan diatasnya, dan lebih dekat dengan aspirasi rakyat desa.  Ketiga, setiap usaha pembaruan, sudah tentu bukan merupakan proses yang cepat, sederhana, dan mudah. Pembaruan merupakan kerja panjang, yang memerlukan komitmen dan dedikasi yang tinggi. Oleh sebab itulah, setiap usaha pembaruan membutuhkan orang-orang “pilihan”4 4 Gagasan orang “pilihan” tidak dimaksudkan menjadikan pembaruan desa sebagai proses yang eksklusif, tertutup dan hanya dapat digerakkan oleh orang-orang tertentu. Orang- orang “pilihan” yang dimaksudkan di sini adalah para kader penggerak – mereka yang memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk menggerakkan pembaruan. . Ungkapan ini tidak hendak menjadikan gerakan pembaruan menjadi eksklusif, melainkan hendak menyatakan bahwa pembaruan tidak mungkin berjalan tanpa adanya pendukung yang “militan” – yakni individu, person, pribadi, yang benar-benar menjadikan usaha pembaruan sebagai jalan yang paling mungkin untuk mengadakan perbaikan kehidupan sosial. Mereka inilah orang yang tidak mengenal lelah, tidak mengenal panas, dan tidak mengandalkan keuntungan untuk melakukan langkah-langkah. Mereka ini layaknya
  • 5. 5 “seorang nabi”, yang bekerja dengan dedikasi penuh, memiliki kecintaan yang kuat, dan rela berkorban untuk usaha yang sedang dilakukan.  Keempat, setiap usaha pembaruan pada dasarnya adalah “gerakan pembongkaran” dan sekaligus “gerakan pemasangan” – dua ilmu sekaligus akan digunakan, yakni ilmu pasang dan ilmu bongkar. Untuk menjalankan usaha ini, tidak mungkin perubahan dapat dijalankan, tanpa adanya suatu dukungan luas dari masyarakat. Apa yang dilukiskan sebagai suatu dukungan yang luas dari masyarakat tidak lain dari kesediaan masyarakat untuk berubah, yang bukan dilandasi oleh ketakukan atau paksaan, melainkan oleh kesadaran penuh, bahwa pembaruan akan mengubah kehidupan mereka. Basis massa menjadi penting dalam masalah ini, sebab usaha perubahan yang diboikot oleh masyarakat, sama artinya sebuah proyek yang tidak melibatkan rakyat. Dukungan kuat dari masyarakat, merupakan bukti kongkrit bahwa proses yang dijalankan melibatkan rakyat sepenuhnya. Keempat kebutuhan ini, merupakan hal yang mutlak dipenuhi, kalau pembaruan desa hendak berjalan sesuai dengan diharapkan – menjadi jalan bagi perbaikan (substansial) kehidupan masyarakat desa. Elemen gerakan pembaruan desa, sangat perlu membuat rumusan yang lebih jelas dan kongkrit menyangkut empat hal tersebut. Elemen gerakan pembaruan desa, tidak bisa hanya mengandalkan semangat, melainkan dituntut untuk dapat membuat terjemahan yang lebih jelas dan dapat diopersionalkan. Syarat Dasar Pembaruan Desa: Otonomi Desa. Pembaruan desa adalah sebuah proses transformasi (pembaruan yang menyeluruh), untuk mencapai desa baru yang lebih baik dan lebih bermakna. Perubahan jenis ini adalah perubahan yang hanya mungkin berjalan sesuai dengan relnya jika bertumpu pada kekuatan dari dalam, yakni prakarsa dari masyarakat desa. Pengalaman di masa lalu menunjukan bahwa setiap prakarsa untuk memperbaiki kehidupan masyarakat senantiasa gagal mencapai hasil yang diharapkan sebagai akibat alpanya keterlibatan masyarakat. Suatu prakarsa partisipasi hanya akan mungkin berkembang, manakala desa (masyarakat desa), memiliki suatu kapasitas, daya dukung, legitimitas dan legalitas, untuk melakukan sesuatu atau untuk melahirkan prakarsa-prakarsa. Pada intinya dibutuhkan perlindungan (hukum) bagi setiap langkah yang (hendak) dilakukan oleh masyarakat desa. Perlindungan di sini mengandung tiga dimensi utama, yakni pemulihan, perlindungan dan peningkatan – adapun maksudnya adalah:  Memungkinkan masyarakat desa untuk memulihkan kondisi mereka sesuai dengan martabat kemanusiaan. Dengan kata lain membebankan suatu kewajiban pada negara untuk memfasilitasi proses pemulihan kehidupan desa, terlebih destruksi terhadap desa merupakan akibat dari politik pedesaan di masa lalu.  Memungkinkan masyarakat desa untuk melindungi dirinya sendiri dari peluang terjadi proses yang memerosotkan kualitas hidupnya. Dengan lain perkataan –
  • 6. 6 masyarakat desa harus dilindungi agar hidupnya tidak mengalami kemerosotan atau penurunan kualitas;  Memungkinkan masyarakat desa untuk meningkatkan kualitas kehidupannya, terutama melalui suatu proses peningkatan kualitas kehidupan desa, dari lapangan politik, ekonomi sampai sosial-budaya. Dengan kata lain, negara dibebani kewajiban untuk mendorong peningkatan kualitas kehidupan desa. Hal ini bermakna bahwa dibutuhkan adanya otonomi desa yang dilindungi, agar prakarsa rakyat desa bisa berkembang, tumbuh dan menjadi dasar bagi proses pembaruan desa. Apa yang dimaksudkan dengan otonomi? Dalam rumusan yang termuat dalam UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, dan juga dalam pasal 18B UUD 1945 (versi amandemen), telah dengan sangat jelas menunjukan bahwa otonomi diakui, kita bisa melihat dengan jelas rumusan kebijakan tersebut: 1. Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten (rumusan dalam UU No.22 th. 1999). 2. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (UUD 1945 pasal 18B – ayat 1). Dan - Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. (UUD 1945 ps 18B – ayat 2) Apa yang dapat ditangkap dari rumusan tersebut, bahwa otonomi tidak lain dari “adanya kewenangan dari desa (komunitas) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat”. Apakah ini bermakna bahwa otonomi adalah sebuah kedaulatan? Tentu saja tidak. Otonomi bukanlah sebuah kedaulatan, melainkan pengakuan adanya hak untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, dengan dasar prakarsa dari masyarakat. Otonomi, dengan sendirinya tidak dapat menutup pintu intervensi institusi diatasnya, sebaliknya, tidak membenarkan proses intervensi yang serba paksa, mendadak, dan tidak melihat realitas komunitas. Selama ini, konsepsi otonomi memang kerapkali menimbulkan ketegangan. Konsep otonomi sendiri, masih dapat diperdebatkan, sejalan dengan teori politik hukum, yakni apakah otonomi yang dimaksud berbasis pada pengakuan ataukah pemberian. Yang pertama mengacu pada konsep bahwa otonomi didasarkan pada hak yang memang melekat pada tubuh komunitas. Kita dapat membaca bagaimana sikap dari masyarakat adat terhadap masalah ini – mereka mengatakan bahwa “kami sudah ada sebelum republik ini berdiri”. Apa maknanya – bahwa dari pihak masyarakat menghendaki konsep yang digunakan adalah konsep pengakuan. Atau otonomi sebagai hak bawaan dan bukan hak
  • 7. 7 pemberian. Sebaliknya, dari kalangan negara, sangat jelas bahwa otonomi adalah hak pemberian. Asal usul otonomi memang tidak akan terlihat dalam praktek langsung di lapangan. Kejelasan mengenai asal usul ini, pada dasarnya akan mempengaruhi kualitas dari realisasinya. Konsep pengakuan dengan sendirinya akan menempatkan masyarakat pada posisi yang tinggi. Posisi yang demikian ini, tentu saja akan membantu masyarakat untuk meningkatkan prakarsa, sebab sejak awal, konsep yang digunakan adalah konsepsi aktif, dan bukan konsepsi yang bersifat pasif (pemberian). Dalam proses realisasi di depan, kita tentu saja tidak dapat mengandalkan sikap yang pasif, melainkan membutuhkan sikap yang aktif. Sikap yang kedua ini penting, karena, hanya dengan keaktifan, proses pembaruan berbasis rakyat dapat dijalankan. Mengapa demikian? Mengapa kita perlu pengertian yang mengandkan keaktifan (prakarsa) dari masyarakat? Dimana letak pentingnya? Bagaimana jika keaktifan tidak ada, dan sebaliknya intervensi yang kuat? Kita hendak menekankan bahwa asal-usul konsepsi otonomi yang digunakan menjadi penting untuk masa depan. Konsepsi otonomi pemberian, pada dasarnya adalah suatu konsep yang mendasarkan diri pada adanya “kesadaran” dan “political will” di kalangan elite kekuasaan. Ketika kesadaran muncul, dan kemauan politik berkembang, maka otonomi diberikan dengan seluas mungkin. Model ini memang dapat berjalan, dan dapat memfasilitasi tumbuh kembang proses otonomisasi (desa). Yang menjadi masalah adalah manakala konfigurasi politik elite kekuasaan berubah. Naiknya penguasa baru, sudah tentu akan membawa ketidakpastian baru – perubahan kebijakan mungkin saja terbit. Apa yang diberikan bisa ditarik kembali. Disinilah kita memandang pentingnya otonomi bawaan sebagai dasar konsep. Paradigma ini, yang kemudian dituangkan dalam suatu kebijakan, akan memateri posisi tawar rakyat yang kuat. Di pihak masyarakat sendiri, diharapkan akan semakin memiliki tanggungjawab yang besar untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas dari otonomi (desa). Model yang demikian, sudah tentu tidak bergantung pada angin politik. Merumuskan Otonomi. Resiko dari penerimaan otonomi yang berbasis rakyat, atau otonomi yang bersifat bawaan, maka dengan sendirinya, rakyat desa, harus mampu membuat rumusan sendiri mengenai kapasitas dari otonomi yang dimaui, atau kapasitas otonomi yang mampu dijalankan. Apa maksudnya? Kita hendak mengatakan bahwa sebuah desa perlu memiliki kejelasan terhadap kewenangan yang dimiliki, serta memiliki kejelasan mengenai kapasitas yang dimiliki oleh desa tersebut. Kewenangan akan berkait dengan apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak bisa dilakukan. Kapasitas menyangkut kejelasan mengenai apa kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman (K3A). Kejelasan mengenai K3A, akan menjadi modal desa untuk berbicara, dan melakukan perundingan dengan pihak kabupaten, sehingga pihak kabupaten menjadi jelas mengenai apa yang bisa diberikan pada desa, dan apa saja yang tidak perlu lagi dilakukan oleh
  • 8. 8 kabupetan. Selanjutnya, proses penyerahan kewenangan ini, akan menjadi proses penting, yang kemudian dilanjutkan dengan upaya merundingkan mengenai dana alokasi untuk desa, yang akan menjadi faktor pendukung kewenangan yang dimiliki desa. Masalahnya, bagaimana agar proses pengenalan K3A bisa berjalan dengan baik, dan bisa menghasilkan informasi yang akurat. Disinilah pentingnya kerjasama semua pihak, terutama BPD dan pamong, serta Forkom (BPD maupun Pamong), untuk secara bersama- sama, mengupayakan suatu rembug desa, yang nantinya diharapkan bisa menjadi ajang pengungkapan berbagai persoalan dan kekuatan yang dimiliki oleh desa. Kerjasama menjadi kata kunci untuk mensukseskan proses ini. Proses K3A, tentu saja bukan merupakan proses akhir. Kita tidak akan mungkin bisa menemukan keseluruhan masalah yang berkembang di desa. Apa yang bisa dilakukan adalah mengenali secara lebih arif, dan kemudian membuka kesempatan seluas mungkin bagi perbaikan, masukan baru, atau mungkin ada data yang tidak terrangkum dalam proses penyelidikan. Dengan kejelasan K3A, yang disertai adanya data mengenai potensi desa, maka langkah selanjutnya adalah mengupayakan langkah hukum, yakni mendorong agar parlemen daerah bersedia bekerja melahirkan peraturan-peraturan daerah yang dibutuhkan. Kita melihat ada tiga hal yang dibutuhkan, yakni: (1) mengenai pembagian kewenangan; (2) mengenai dana alokasi untuk desa atau dana perimbangan; dan (3) mengenai partisipasi – atau kewajiban pihak kabupaten untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. Kunci dari kesemuanya ini sesungguhnya adalah perlunya suatu tingkat partisipasi tertentu dari masyarakat desa, dan partisipasi dari desa, dalam ikut ambil bagian dalam proses pengambilan kebijakan di tingkat kabupaten. Bagaimana partisipasi ini dimungkinkan? Kita melihat setidaknya dua hal utama: (1) perlunya kerjasama antar desa, baik dalam bentuk kerjasama antar BPD melalui Forkom BPD atau yang lain; (2) perlunya prakarsa-prakarsa, khususnya dari masyarakat. Dalam konteks yang terakhir inilah kita melihat perlunya suatu badan khusus di tingkat desa, yang kelak bisa menjadi wadah bersama untuk mendorong proses pembaruan desa. Badan yang dimaksudkan disini adalah Komite Pembaruan Desa. Apakah maksud dari Komite Pembaruan Desa? Yakni suatu badan yang akan bekerja memfasilitasi dan mengorganisir proses dan prakarsa pembaruan desa di masing-masing desa. KPD ini akan menjadi motor, atau lokomotif dari proses mengubah wajah desa. Apa yang harus dilakukan oleh KPD?
  • 9. 9 (1) mengorganisir atau mengusahakan kejelasan mengenai kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman desa – suatu proses analisa potensi desa; (2) mengorganisir atau mengusahakan kejelasan mengenai jenis-jenis kewenangan yang bisa dilakukan oleh desa setempat; (3) mengusahakan kerjasama semua elemen desa untuk mengubah wajah desa; (4) membangun akses atau mengembangkan jaringan kerjasama dengan luar desa – untuk meningkatkan kapasitas desa. KPD adalah suatu motor yang hendak diletakkan di depan proses pembaruan desa. Konsep di depan, tentu bukan dalam kerangka kekuasaan, melainkan dalam kerangka kerja. KPD adalah relawan-relawan desa yang bersedia menyumbangkan tenaga dan pikirannya, untuk keperluan merealisasi proses pembaruan desa. Dalam masalah ini, KPD hendaknya dijadikan fasilitator bagi desa untuk pertama-tama membuat rumusan mengenai otonomi desa, sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat desa. Langkah-langkah. Apa yang harus dilakukan untuk proses realisasi pembaruan desa? Untuk dapat menjawab masalah ini kita perlu memperjelas lebih dahulu bahwa proses pembaruan desa sesungguhnya adalah proses yang kompleks, bukan sebuah proses satu dimensi, dan bukan proses yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Perubahan yang harus dilakukan bertahap, dari sederhana menjadi kompleks. Yang terlibat dalam proses ini bukan hanya satu pihak, melainkan banyak pihak dan bersifat saling bergantung, saling berhubungan dan saling memberikan pengaruh. Kita mengidentifikasi, setidaknya ada tiga pihak yang berkepentingan dengan masalah ini, yakni: Pertama, masyarakat desa (dengan segenap elemennya); Kedua, pemerintahan di atas desa (khususnya pemerintahan kabupaten); dan Ketiga, elemen di luar desa, yang memiliki suatu kepedulian terhadap proses pembaruan desa. Masyarakat Desa – Konsolidasi Desa. Pembaruan desa yang hendak dikembangkan di sini adalah proses yang sepenuhnya mengandalkan prakarsa dari masyarakat desa, oleh sebab itu, proses konsolidasi di desa menjadi pokok masalah yang harus dikembangkan. Apa yang perlu dilakukan dalam masalah ini? Kita mencatat beberapa hal yang penting: (1) Perlunya pembentukan organisasi atau badan kerja yang khusus menangani masalah gerakan pembaruan desa. Badan kerja ini bersifat ad hoc, sementara, yang dibentuk melalui musyawarah desa, yang merupakan badan milik masyarakat, dan memiliki mandat langsung dari masyarakat. Inilah badan yang hendak disebut sebagai KPD (komite pembaruan desa). (2) Perlunya proses tranformasi pemerintahan desa – dalam hal ini pemerintahan desa harus berubah wataknya, yang semula sebagai penguasa, kini harus dapat berubah menjadi pelayan masyarakat. Bukan lagi tukang perintah, melainkan pihak yang diberi kewenangan dan mandat untuk mengurus keperluan masyarakat.
  • 10. 10 (3) Perlunya usaha bersama, untuk bersama-sama membuat rumusan yang jelas mengenai arah pembaruan desa masing-masing. Masalah ini perlu dikembangkan dalam bentuk musyawarah desa. Proses ini merupakan bentuk perencanaan desa partisipatif, dimana seluruh masyarakat dilibatkan untuk proses perumusan mengenai apa yang harus dikembangkan di desa. Hasil rumusan inilah yang hendaknya menjadi pegangan bagi pemerintahan desa, dan bagi berbagai elemen lain di desa, termasuk bagi KPD. (4) Perlunya mengembangkan jaringan kerjasama antar desa, dan dengan berbagai pihak yang memiliki kepedulian dengan proses pembaruan desa. Kerjasama ini sangat penting artinya, sebab dalam konteks ini, pembaruan sebuah desa, tidak mungkin dilepaskan dari desa-desa disekitarnya. Kita harus mengakui bahwa tidak semua desa memiliki kapasitas yang dibutuhkan. Tidak semua desa didukung oleh sumberdaya yang memungkinkan untuk mengubah wajah desa. Ada pula desa-desa yang miskin sumberdaya, yang karena itu, membutuhkan dukungan dari pihak-pihak lain. Atau bahkan dibutuhkan “penggabungan” desa, sebagai salah satu jalan keluar mengatasi krisis sumberdaya. Dalam konteks inilah suatu jaringan kerja antar desa, dan dengan berbagai elemen lain dibutuhkan, untuk menopang masalah-masalah yang berkembang dalam realisasi pembaruan desa. (5) Perlunya proses negosiasi dengan pihak kabupaten. Dalam hal ini, dibutuhkan usaha dari desa untuk melakukan pembicaraan dan proses tawar-menawar dengan pihak kabupaten, setidak-tidaknya menyangkut beberapa issue dasar, yakni: (a) mengenai pembagian kewenangan kabupaten dan desa; (b) mengenai perimbangan keuangan (adanya dana alokasi yang diberikan pada desa); dan (c) adanya ketentuan yang mewajibabkan pihak kabupaten untuk berbicara dengan desa, manakala mengambil kebijakan-kebijakan penting berbagai dengan desa. Pada bagian lain, desa juga perlu mengadakan pembicaraan dengan pihak kabupaten, yang berkait dengan proses kerja kabupaten. Kinerja kabupaten dan arah pembangunan yang dijalankan oleh pihak kabupaten, haruslah sejalan dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat desa. Lima segi ini adalah sebagian langkah yang patut dikembangkan oleh desa, untuk melakukan konsolidasi guna menopang proses realisasi pembaruan desa. Dalam proses ini, kerjasama antar elemen di desa sangat dibutuhkan, sebab tanpa sebuah kerjasama, maka tidak mungkin ditemukan langkah-langkah cerdas dan bijak, yang melebarkan jalan realisasi pembaruan desa. Pemerintah(an) – Khususnya Pemerintah(an) Kabupaten. Desa merupakan basis dari kabupaten. Oleh sebab itu, pembaruan desa yang dijalankan secara sistematis dan konsisten, tentu saja akan membuahkan hasil berupa proses pembaruan kabupaten. Dapat dikatakan bahwa pembaruan kabupaten membutuhkan syarat pembaruan desa, dan demikian sebaliknya. Proses pembaruan kabupaten menjadi mutlak dilakukan, agar proses pembaruan desa memperoleh fasilitasi yang bermakna dari kabupaten. Apa yang patut dilakukan oleh kabupaten? Kita mencatat beberapa hal utama:
  • 11. 11 1. Perlunya perubahan watak dari pihak kabupaten. Perubahan watak ini berupa perubahan dalam memandang dan bersikap terhadap prakarsa dari masyarakat. Pengalaman di masa lalu, memperlihatkan bahwa pemerintah tidak cukup ramah terhadap dinamika di pedesaan. Malahan dinamika di pedesaan dipandang sebelah mata, dicurigai dan tidak dilihat sebagai sesuatu yang penting. Kita membutuhkan pemerintah yang positif terhadap desa, sehingga apa yang dikembangkan di desa tidak dihalang-halangi, sebaliknya didukung dan difasilitasi secara baik. 2. Perlunya dukungan kebijakan. Pembaruan desa tidak mungkin tanpa dukungan kebijakan dari pihak kabupaten. Dalam masalah ini, kita melihat setidaknya ada tiga kebijakan dasar yang perlu dikembangkan oleh pihak kabupaten, yakni kebijakan yang bersifat darurat, kebijakan yang bersifat menata ulang dan kebijakan strategis. Untuk mewujudkan kebijakan ini, maka dengan sendirinya pihak kabupaten harus berbicara dengan desa. Jalur komunikasi desa dengan kabupaten harus terbuka, agar berbagai masalah-masalah dapat dibicarakan dan dapat dirumuskan sebagai kebijakan yang menyokong langkah pembaruan desa. Pihak Luar Desa – Perguruan Tinggi dan Ornop. Pembaruan desa, tidak mungkin berjalan tanpa dukungan dari berbagai pihak. Prinsip bahwa pembaruan desa hendak mengandalkan prakarsa dari dalam, tidak dengan sendirinya mengabaikan kerjasama dan dukungan dari pihak luar. Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa proses pembaruan desa, pada dasarnya berhadapan dengan kenyataan warisan masa lalu. Keinginan untuk mengandalkan prakarsa dari masyarakat harus berhadapan dengan kenyataan dimana masyarakat desa sudah terlalu lama berada dalam sikap apatis, sikap menunggu dan sikap “acuh”. Oleh sebab itulah, dalam situasi yang demikian, dibutuhkan suatu bentuk dukungan, untuk memecahkan kebekuan tersebut, dan mengubah atau mentransformasikan masyarakat desa agar lebih aktif dan berani mengambil prakarsa. Pendampingan, pengorganisasian dan segala upaya untuk membangkitkan kesadaran baru sangat dibutuhkan. Kegiatan-kegiatan pendidikan, dalam arti yang luas, sangat penting untuk diselenggarakan. Pembentukan atau pengembangan sekolah pembaruan desa, menjadi salah satu agenda yang perlu dipikirkan. Kolaborasi ornop dan perguruan tinggi perlu dipikirkan menjadi suatu badan yang berupaya mengembangkan pendidikan yang lebih sistematis, reguler dan berkelanjutan. Demikian. Yogyakarta, 12 Nopember 2003.