kafa bil mar'i kadziban.. an yuhadditsa.. bi kulli ma sami'a..
(Cukuplah seorang dianggap pendusta... Jika ia Selalu Menyampaikan apa saja yang ia dengar (tanpa tabayyun).
Http://saibah.com
1. Adab, Tabayyun,
Tatsabbut & Al
Anah
Sebuah Bentuk kebaikan dan
kehati-hatian dengan Tehnologi
Internet terutama Social Media
(FB, Twitter dll) dan Messenger
(BBM, WA dll)
2. Alhamdulillaahi nasta’iinuhu wa nastaghfiruhu wa na’uudzubillaah
i min syuruuri anfusinaa wa min sayyiaati a’maalinaa may yahdilla
ahu falaa mudhillalahu wa may yudh-lil falaa haa diyalah ,
Asyhadu allaa ilaaha illaloohu wahdahu laa syariikalah, wa asyhad
u anna muhammadan ‘abduhu wa rosuuluhu laa nabiyya ba’dah.
Allahumma sholli wasallim wa baarik ‘ala muhammadin wa ‘ala aa
alihi wa ash-haabihi ajma’iin,
Segala puji milik Allah. Kami memohon pertolonganNya dan mohon ampun kepada
Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diriku dan keburukan amalku.
Barang siapa yang diberi petunjuk Allah maka tidak ada siapapun yang dapat men
yesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan Allah maka tidak ada siapapun ya
ng dapat menunjukinya.
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, aku mengesakanNya dan tidak mem
persekutukanNya.
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hambaNya dan rosulNya, tidak ada n
abi setelah dia.
Ya Allah, berikan sholawat, salam dan kebaikan atas nabi Muhammad, keluargany
a dan sahabatnya.”
3. ‘Robbisrohlii shodrii, wa
yassirlii amrii, wahlul ‘uqdatam
mil lisaani yafqohu qoulii’
[Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan
mudahkanlah untukku urusanku, dan
lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya
mereka mengerti perkataanku].” (QS. Thoha:
25-28)
10. Abad 21 didominasi internet
Mengubah dunia informasi,
pemasaran dan bisnis secara
permanen
11.
12.
13. Dua Belas Adab Penuntut Ilmu
Pertama :
Mengikhlaskan Niat Hanya Karena Allah Ta’ala. (( Hendaklah dalam menuntut ilmu
niatnya adalah wajah Allah Ta’ala dan kampung akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah
–Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam :
“Barangsiapa menuntut ilmu –yang mestinya untuk mencari wajah Allah Ta’ala-,
tiadalah ia mempelajarinya melainkan hanya untuk mendapatkan bagian dari dunia,
pasti ia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat.”(HR. Ahmad dll). Ini
adalah ancaman yang keras.)) –Kitab al-‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hlm: 25 (( Apabila ilmu
telah kehilangan niat yang ikhlas; Berpindahlah ia dari ketaatan yang paling afdhal
menjadi penyimpangan yang paling rendah.
Diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri –Rahimahullah berkata: “Tiadalah aku mengobati
sesuatu yang lebih berat dari niatku” Dari Umar bin Dzarr bahwasanya ia berkata
kepada ayahnya: Wahai ayahku ! Mengapa orang-orang menangis apabila ayah
menasehati mereka, sedang mereka tidak menangis apabila orang lain yang
menasehati mereka? Ayahnya menjawab: “Wahai puteraku ! Tidak sama ratapan
seorang ibu yang ditinggal mati anaknya dengan ratapan wanita yang dibayar (untuk
meratap).)) –Hilyah Tholibil ‘Ilmi, Bakr Abu Zaid hlm: 9-10 . Maksudnya, semua yang
keluar dari hati itu akan masuk ke dalam hati orang lain dan membekas, akan tetapi jika
tidak keluar dari hati maka tidak akan masuk ke dalam hati orang lain dan tidak
membekas.
14. Kedua:
Memberantas Kobodohan Dirinya dan Orang Lain.
Hendaklah dalam menuntut ilmu berniat untuk memberantas
kebodohan dari dirinya dan dari orang lain, karena pada
dasarnya manusia itu jahil (bodoh), sebagaimana firman
Allah Ta’ala:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalan
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78)
Al-Imam Ahmad -rahimahullah berkata: “Ilmu itu tiada
bandingannya bagi orang yang niatnya benar.” Mereka
bertanya: Bagaimakah hal itu?. Beliau menjawab: “Berniat
memberantas kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.”))
–Kitab al-‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hlm: 26-27.
15. Ketiga:
Membela Syariat. (( Hendaklah dalam menuntut ilmu berniat
membela syariat, karena kitab-kitab tidak mungkin bisa
membela syariat. Tiadalah yang membela syariat melainkan
para pengemban syariat. Disamping itu, bid’ah juga selalu
muncul silih berganti yang ada kalanya belum pernah terjadi
pada jaman dahulu dan tidak ada dalam kitab-kitab sehingga
tidak mungkin membela syariat kecuali para penuntut ilmu.)) –
Kitab al-‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hlm: 27-28 (( Alangkah
banyaknya kitab dan alangkah banyak pula perbedaan
didalamnya !
Seorang muslim tidak lagi tahu apa yang harus ia ambil dan
apa yang harus ia tinggalkan? Dari mana memulai dan
dimana berakhir ! )) –Wasiyyatu Muwaddi’, Husain al-
‘Awayisyah hlm: 29-30.
16. Keempat:
Berlapang Dada Dalam Masalah Khilafiyah (Perbedaan
Pendapat). (( Hendaklah selalu berlapang dada dalam
menyikapi perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad.
Yaitu permasalahan yang memungkinkan seseorang
berpendapat dan terbuka kemungkinan untuk berbeda.
Adapun siapa saja yang menyelisihi jalan salafus sholeh –
Rahimahumullah dalam masalah aqidah maka hal ini tidak
bisa diterima dan ditolelir.)) –Kitab al-‘Ilmi, Syaikh Utsaimin
hlm: 28-29. Baca pula untuk masalah ini kitab Perpecahan
Umat, karya: Dr Nasir al-‘Aql, penerbit Darul Haq Jakarta.
17. Kelima:
Mengamalkan Ilmu atau Zakat Ilmu. (( Hendaklah para penuntut
ilmu mengamalkan ilmunya, baik berupa aqidah, ibadah, akhlak,
adab dan muamalah, karena hal ini adalah merupakan hasil dan
buah dari ilmu itu. Pengemban ilmu itu seperti pembawa senjata;
Bisa berguna dan bisa pula mencelakakan sebagaimana sabda
Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam:
“Al-Qur’an itu membelamu atau mencelakakanmu” (HR. Muslim).
Membelamu apabila kamu amalkan dan mencelakakanmu
apabila tidak kamu amalkan.)) –Kitab al-Ilmi, Syaikh Utsaimin hlm:
32 (( Karena keutamaan ilmu itulah ia semakin bertambah dengan
banyaknya nafkah (diamalkan dan diajarkan) dan berkurang
apabila kita sayang (tidak diamalkan dan diajarkan) serta yang
merusaknya adalah al-kitman (menyembunyikan ilmu).)) –Hilyah
Tholibil Ilmi, Bakr Abu Zaid hlm: 72.
18. Keenam:
Berdakwah Mengajak Kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala
berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang makruf dan mencegah dari yang mungkar;
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali
‘Imran: 104)
(( Hendaklah mendakwahkan ilmunya kepada Allah
Ta’ala dalam berbagai kesempatan, baik di masjid, di
majlis-majlis, di pasar dan diberbagai kesempatan.)) –
Kitab al-Ilmi, Syaikh Utsaimin hlm: 37-38.
19. Ketujuh:
Hikmah. (( Hendaklah menghiasi dirinya dengan hikmah. Apabila
kita menempuh cara ini pastilah kita mendapatkan kebaikan yang
sangat banyak, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Dan barangsiapa yang dianugrahi al-hikmah itu, ia benar-benar
telah dianugrahi karunia yang banyak.” (QS. Al-Baqarah: 269)
Al-Hakim (orang yang bijaksana) adalah orang yang menempatkan
sesuatu pada tempatnya. Allah Ta’ala telah menyebutkan tingkatan-
tingkatan dakwah dalam firmanNya:
“Serulah (manusia) kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-
Nahl: 125)
Dan Allah Ta’ala menyebutkan pula tingkatan keempat tentang
berdebat dengan ahli kitab dalam firmanNya:
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan
cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang dzalim diantara
mereka.” (Al-‘Ankabut: 46).)) –Kitab al-Ilmi, Syaikh Utsaimin hlm: 37-
38.
20. Kedelapan:
Sabar Dalam Menuntut Ilmu. (( Hendaklah sabar dalam menuntut ilmu, tidak terputus
(ditengah jalan) dan tidak pula bosan, bahkan terus-menerus menuntut ilmu
semampunya.
Kisah tentang kesabaran salafus shalih –Rahimahullah dalam menuntut ilmu sangatlah
banyak, sebagaimana diriwayatkan dari Ibn Abbas –Radhiallahu ‘Anhuma bahwa beliau
ditanya oleh seseorang: Dengan apa anda bisa mendapatkan ilmu? Beliau menjawab:
“Dengan lisan yang selalu bertanya dan hati yang selalu memahami serta badan yang
tidak pernah bosan.)) –Kitab al-Ilmi, Syaikh Utsaimin hlm: 40 dan 61 (( Bahkan sebagian
dari mereka (salafus shalih) merasakan sakit yang menyebabkannya tidak bisa bangun
dikarenakan tertinggal satu hadis saja. Sebagaimana terjadi kepada Syu’bah bin al-
Hajjaj –Rahimahullah, ia berkata: “ketika aku belajar hadis dan tertinggal (satu hadis)
maka akupun menjadi sakit.
” Barangsiapa mengetahui keutamaan ilmu dan merasakan kelezatannya pastilah ia
selalu ingin menambah dan mengupayakannya, ia selalu lapar (ilmu) dan tidak pernah
kenyang sebagaimana sabda Rasulullah–Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam:
“Ada dua kelompok manusia yang selalu lapar dan tidak pernah kenyang: Orang yang
lapar ilmu tidak pernah kenyang dan orang yang lapar dunia tidak pernah kenyang
pula.” (HR. Al-Hakim dll dengan sanad tsabit).)) –Hilyah al-‘Alim al-Mu’allim, Syaikh
Salim al-Hilaliy hlm: 22-23 (( Abu al-‘Aliyah -Rahimahullah menuturkan: Kami
mendengar riwayat (hadis) dari Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam
sedang kami berada di Basrah (Iraq), lalu kamipun tidak puas sehingga kami berangkat
ke kota Madinah agar mendengar dari lisan mereka (para perawinya) secara
langsung.)) –‘Audah ila as-Sunnah, Syaikh Ali Hasan al-Atsariy hlm: 44.
21. Kesembilan:
Menghormati dan Menghargai Ulama. (( Hendaklah para penuntut ilmu
menghormati dan menghargai para ulama dan berlapang dada dalam
menyikapi perbedaan pendapat diantara mereka serta memberi udzur
(alasan) kepada para ulama yang menurut keyakinan mereka telah
berbuat kesalahan. Ini adalah masalah yang sangat penting, karena
sebagian orang sengaja mencari-cari kesalahan orang lain untuk
menjatuhkan mereka dimata masyarakat. Ini adalah kesalahan
terbesar.)) –Kitab al-Ilmi, Syaikh Utsaimin hlm: 41 ((
Hendaklah menghormati majlis (ilmu) dan menampakkan kesenangan
terhadap pelajaran serta mengambil faedahnya. Apabila seorang syaikh
(guru) melakukan suatu kesalahan atau kekeliruan maka janganlah hal
itu membuatnya jatuh dihadapanmu, karena hal ini menjadikanmu tidak
lagi mendapatkan ilmunya. Siapasih orang yang tidak pernah berbuat
kesalahan?. Jangan sekali-kali memancing kemarahannya dengan
“Perang urat syaraf”, yaitu menguji kemampuan ilmu dan kesabarannya.
Apabila anda hendak berguru ke orang lain maka mintalah ijin
kepadanya, karena hal ini menjadikannya selalu menghormatimu,
semakin cinta dan sayang kepadamu.)) –Hilyah Tholibil Ilmi, Bakr Abu
Zaid hlm: 36.
22. Kesepuluh:
Memegang Teguh Al-Kitab dan As –Sunnah. (( Wajib bagi
para penuntut ilmu untuk mengambil ilmu dari sumbernya
yang tidak mungkin seseorang sukses bila tidak memulai
darinya, yaitu: 1- Al-Qur’anul Karim; Wajib bagi para
penuntut ilmu untuk berupaya membaca, menghafal,
memahami dan mengamalkannya. 2- As-Sunnah As-
Shahihah; Ini adalah sumber kedua syariat Islam (setelah
al-Qur’an) dan penjelas al-Qur’anul Karim. 3- Suber ketiga
adalah ucapan para ulama, janganlah anda menyepelekan
ucapan para ulama karena mereka lebih mantap ilmunya
dari anda )) –Kitab al-Ilmi, Syaikh Utsaimin hlm: 43,44 dan
45.
23. Kesebelas:
At-Tatsabbut dan Ats-Tsabat. (( Termasuk adab
terpenting yang wajib dimiliki oleh penuntut ilmu
adalah;
At-tatsabbut. Yang dimaksud dengan at-tatsabbut
adalah berhati-hati dalam menukil berita dan ketika
berbicara.
Adapun ats-tsabat adalah sabar dan tabah untuk
tidak bosan dan marah, dan agar tidak mengambil
ilmu hanya secuil-secuil saja lalu ia tinggalkan,
karena hal ini berdampak negatif dan menyia-
nyiakan waktu tanpa faedah.)) –Kitab al-Ilmi, Syaikh
Utsaimin hlm: 50.
24. Keduabelas:
Berupaya Untuk Memahami Maksud Allah Ta’ala dan RasulNya –
Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam (( Termasuk adab
terpenting pula adalah masalah pemahaman tentang maksud Allah
Ta’ala dan juga maksud Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi
Wa Sallam; Karena banyak orang yang diberi ilmu namun tidak
diberi pemahaman.
Tidak cukup hanya menghapal al-Qur’an dan al-Hadis saja tanpa
memahaminya, jadi harus dipahami maksud Allah Ta'ala dan
RasulNya –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam. Alangkah
banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh kaum yang berdalil
dengan nas-nas yang tidak sesuai dengan maksud Allah Ta’ala dan
RasulNya –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam sehingga
timbullah kesesatan karenanya.
Kesalahan dalam pemahaman lebih berbahaya dari pada kesalahan
dikarenakan kebodohan. Seorang yang jahil (bodoh) apabila
melakukan kesalahan dikarenakan kebodohannya ia akan segera
menyadarinya dan belajar, adapun seorang yang salah dalam
memahami sesuatu ia tidak akan pernah merasa salah dan bahkan
selalu merasa benar)) –Kitab al-Ilmi, Syaikh Utsaimin hlm: 52.
25. Mulianya Para Pencari Ilmu
Pentingnya kita memperkaya hasanah ilmu
dalam diri kita bukan sekedar untuk
mengembangkan kita untuk menjadi tahun saja
apalagi so tahu (sombong) tetapi alangkah
baiknya jika kita mau mengamalkan ilmu
tersebut agar kita terhindar dari sifat sifat ujib,
ria, takabur dan sombong.
26. Share/berbagi Ilmu/Pengetahuan
Tatsabbut sangat dibutuhkan di zaman yang penuh fitnah ini,
Allah telah memerintahkan kita untuk tatsabbut, Allah Ta’ala
berfirman, ِب ٌقِساَف ْمَُكءَاج ْنِإ اْوُنَمَاء َنْيِذَّال َاهُّيََاأيْيِصُت ْنَأ اْوُنَّيَبَتَف ٍإَبَناْوُب
ْيِمِداَن ْمُتْلَعَف َام َلىَع اْوُحِبْصُتَف ٍةََالهَجِب اًمْوَقَن
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian
orang fasiq dengan membawa berita, maka periksalah dahulu
dengan teliti, agar kalian tidak menuduh suatu kaum dengan
kebodohan, lalu kalian menyesal akibat perbuatan yang telah
kalian lakukan.” (QS. Al Hujurat : 6).
Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Yang dimaksud
dengan tabayyun adalah memeriksa dengan teliti dan yang
dimaksud dengan tatsabbut adalah berhati-hati dan tidak
tergesa-gesa, melihat dengan keilmuan yang dalam terhadap
sebuah peristiwa dan kabar yang datang, sampai menjadi jelas
dan terang baginya.” (Fathul Qadir, 5:65).
27. Tabayyun
Dari aspek bahasa, kata tabayyun memiliki 3 pengertian
yang berdekatan seperti berikut :
1) Mencari kejelasan suatu masalah hingga tersingkap
dengan jelas kondisi yang sebenarnya.
2) Mempertegas hakikat sesuatu.
3) Berhati-hati terhadap sesuatu dan tidak tergesa-gesa.
{َف ٍإَبَنِب ٌقِساَف ْمَُكءَاج ْنِإ واُنَمآ َينِذَّال َاهُّيَأ َاياًمْوَق واُبيِصُت ْنَأ واُنَّيَبَت
َينِمِداَن ْمُتْلَعَف َام ىَلَع واُحِبْصُتَف ٍةََالهَجِب(الحجرات: 6)
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti,
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Al Hujurat 6)
28. Menurut Istilah Syara’
Tabayyun adalah Ketidakhati-hatian terhadap informasi yang beredar
terkait dengan kaum muslimin tanpa didasari dengan pemahaman yang
mendalam. Hal ini sesuai dengan firman Allah berikut :
{َل َام ْمُكِهَاوْفَأِب َونُولُقَتَو ْمُكِتَنِسْلَأِب ُهَنْوَّقَلَت ْذِإًنِيَه ُهَنوُب َسْحَتَو ٌمْلِع ِهِب ْمُكَل َسْيَوَُهو ا
ٌميِظَع ِ َّاَّلل َدْنِع(النور: 15)}
(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke
mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui
sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.
Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (An Nur 15)
Firman Allah dalam surat An Nur 15 itu sendiri merupakan penjelasan
terhadap peristiwa hadistul ifki (berita bohong) berupa fitnah keji yang
dihembuskan oleh Abdullah bin Ubay seorang dedengkot munafik
kepada Aisyah Radhiallahu ‘Anha. Dan kemudian Allah memberikan
petunjuk bahwa Aisyah suci dari segala fitnah, dan juga petunjuk
bagaimana sikap yang harus diambil untuk menghadapi fitnah.
29. Makna TABAYYUN
Tabayyun secara bahasa memiliki arti mencari kejelasan tentang sesuatu
hingga jelas benar keadaannya. Sedangkan secara istilah adalah meneliti dan
meyeleksi berita, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah baik dalam
hal hukum, kebijakan dan sebagainya hingga jelas benar permasalahannya.
Tabayyun adalah akhlaq mulia yang merupakan prinsip penting dalam menjaga
kemurnian ajaran Islam dan keharmonisan dalam pergaulan. Hadits-hadits
Rasulullaah saw dapat diteliti keshahihannya antara lain karena para ulama
menerapkan prinsip tabayyun ini. Begitu pula dalam kehidupan sosial
masyarakat, seseorang akan selamat dari salah faham atau permusuhan
bahkan pertumpahan darah antar sesamanya karena ia melakukan tabayyun
dengan baik.
Oleh karena itu, pantaslah Allah swt memerintahkan kepada orang yang
beriman agar selalu tabayyun dalam menghadapi berita yang disampaikan
kepadanya agar tidak meyesal di kemudian hari,” Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti (tabayyun), agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu”.
30. Konsekwensinya adalah sikap Al Anah yang
disebutkan dalam hadis:
ْلِحْال ُ َّاَّلل َامُهُّبِحُي ِنْيَتَلْصَخ َكيِف َّنِإُُاَنَ َْْاو ُم
“Sesungguhnya pada dirimu ada dua perangai yang
dicintai oleh Allah yaitu Al Hilmu dan Al Anah.”
(HR Muslim).
Al Anah adalah tenang dalam menghadapi gejolak
dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil sikap, dan
tatsabbut kita lakukan dalam berbagai macam kabar
yang sampai kepada kita
31. Tabayyun terhadap Apa ?
a. Isu dan Kabar Burung
Sesungguhnya kehidupan masyarakat tidak lepas dari isu
dan kabar burung, ini disebabkan oleh adanya tiga jenis
manusia: Pertama adalah orang yang menggunakan isu
untuk merusak kehidupan masyarakat Islam, yaitu dari
kalangan orang-orang munafik dan non muslim. Kedua
adalah orang yang mudah menerima kabar dan segera
menyampaikannya kepada orang lain tanpa memeriksa
kebenarannya. Dan yang ketiga adalah orang yang mudah
berburuk sangka atau cepat menyimpulkan lalu ia segera
mengabarkan kepada orang lain berdasarkan sangkaan
yang salah tersebut.
32. Jenis yang pertama dan kedua ditunjukkan dalam kisah
dimana Aisyah dituduh berzina dengan seorang sahabat
sehingga kota Madinah pun berguncang dan sebagian
shahabat terpengaruh oleh kabar burung yang disebarkan oleh
orang-orang Munafik, lalu Allah menurunkan ayat-ayat Alquran
[QS. An Nuur: 11-20] yang membersihkan nama Aisyah dan
mengancam orang yang membuat isu dengan adzab yang
pedih.
Adapun jenis yang ketiga ditunjukkan oleh kisah Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam mengisolir istri-istrinya selama dua
puluh sembilan hari, lalu dipahami oleh sebagian shahabat
bahwa Nabishalallahu ‘alaihi wa sallam menalak istri-istrinya,
sehingga tersebarlah isu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam menalak istri-istrinya, namun ketika ditanyakan
langsung oleh Umar apakah engkau menalak istri-istrimu?
Beliau menjawab, “Tidak”.
33. Isu dan kabar burung adalah penyakit yang berat yang dapat
merusak nama baik seseorang. Oleh karena itu, Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam melarang kita menyampaikan semua kabar yang
kita dengar tanpa diperiksa terlebih dahulu. Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
َعِم َس َام ِلُكِب َثَِدحُي ْنَأ اًبِذَك ِءْرَمْالِب ىَفَك.
“Cukuplah bagi seseorang kedustaan; ia menyampaikan semua
kabar yang ia dengar.”
(HR. Muslim dalam muqadimah shahihnya).
Dan menyebarkan isu adalah perangai yang dibenci oleh Allah
dan tidak layak bagi seorang mukmin, Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َِالمْال َةَاعَضَِإو َلاََقو َليِق اًث ََلَث ْمُكَل َهِرَك َ َّاَّلل َّنِإِالََ ُّالس ََُرََْْكو.
“Sesungguhnya Allah membenci untukmu tiga perkara: kata anu
kata anu (isu), menyia-nyiakan harta dan banyak bertanya (yang
tidak-tidak).”
(HR. Bukhari dan Muslim).
34. Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu berkata,
ْنََأو اًّر َش ٍمِل ْسُم ْنِم َْتجَرَخ ٍةَمِلَكِب َّنَّنُظَت َالًََلمَْحم ِرْيَخْال ْيِف َاهَل ُدِجَت َت.
“Janganlah engkau berprasangka buruk terhadap kalimat
yang keluar dari mulut seorang muslim sementara engkau
masih menemukan untuknya makna dalam kebaikan.”[3]
Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata, “Kabar apapun apabila
engkau ingin menukilnya, wajib memeriksanya terlebih
dahulu, apakah benar kabar tersebut dari orang yang engkau
nukil atau tidak. Kemudian jika benar, maka jangan langsung
menghukumi sampai engkau periksa dalam vonis tersebut,
barangkali kabar yang engkau dengar berdasarkan pada
pokok yang engkau tidak mengetahuinya sehingga engkau
memvonis bahwa ia di atas kesalahan, namun kenyataannya
tidak salah…”[Syarah Hilyah Tholibil ‘Ilmi, Hal 53]
35. b. Menukil Ilmu
Seorang muslim terlebih penuntut ilmu wajib berhati-
hati dalam menerima segala kutipan dari kitab-kitab
atau penceramah yang tidak sejalan dengan sunah.
Karena seringkali kita dapati mereka mengutip suatu
dalil dengan tidak lengkap atau menisbatkan hadis
kepada shahih Bukhari dan Muslim misalnya, namun
setelah diperiksa ternyata hadis tersebut tidak ada
pada kedua kitab tersebut.
Terkadang juga membawakan pendapat ulama
dengan cara memenggalnya sebatas yang
mendukung ra’yu mereka dan menghilangkan
sebagian kata yang tidak sesuai dengan hawa nafsu
mereka dan lain sebagainya.
36. Contoh mengutip dalil dengan tidak lengkap adalah yang dilakukan sebuah jamaah yang
mengingkari hadis ahad dalam masalah aqidah dan berusaha mencari dalil yang
mendukung pendapat mereka, di antaranya mereka berdalil dengan ayat:
اًنيِقَي ُهوَُلتََاقمَو ِنَّالظ َعَابِات َّالِإ ٍمْلِع ْنِم ِهِب مُهََالم
“Mereka tidak mempunyai ilmu kecuali mengikuti sangkaan belaka, dan mereka tidak
membunuhnya dengan yakin.”
(QS. An Nisaa: 157).
Mereka berkata, “Orang-orang Yahudi membunuh orang yang diserupakan dengan Nabi Isa
dengan dugaan kuat bahwa ia adalah Nabi Isa, namun Allah mencela mereka karena
mengikuti dugaan tersebut. Ini menunjukkan dugaan kuat tidak dapat dijadikan hujjah dalam
aqidah sedangkan hadis ahad hanya menghasilkan dugaan kuat.”
Demikian klaim mereka, padahal jika kita baca ayat tersebut secara lengkap akan gugurlah
pemahaman tersebut, lengkapnya Allah Ta’ala berfirman,
ُهوَُلتَق َامَو ِهللا َلو َُسر َمَيْرَم َنْبىا َيسِع َحيِسَمْال َانَْلتَق اَّنِإ ْمِهِلْوََقوُهَل َهِب ُش نِكََلو ُهوُبََلص َامَوَينِذَّال َّنَِإو ْم
َمَو ِنَّالظ َعَابِات َّالِإ ٍمْلِع ْنِم ِهِب مُهََالم ُهْنِم ٍك َش يِفَل ِهيِف واُفََلتْاخاًنيِقَي ُهوَُلتَاق
“Dan perkataan mereka: “Sesungguhnya kami membunuh Al Masih Isa bin Maryam utusan
Allah, padahal mereka tidaklah membunuhnya tidak pula menyalibnya. Dan sesungguhnya
orang-orang yang berselisih padanya benar-benar dalam keraguan darinya, mereka tidak
mempunyai ilmu kecuali mengikuti sangkaan belaka, dan mereka tidak membunuhnya
dengan yakin.”
(QS. An Nisaa: 157).
37. Awal ayat ini menunjukkan bahwa mereka dalam keadaan
syak (ragu) dan keraguan itu di bawah dugaan yang kuat, ini
menunjukkan bahwa zhan yang disebutkan setelahnya
adalah keraguan bukan dugaan yang kuat. Imam Asy
Syaukani rahimahullah berkata, “Tidak boleh dikatakan
bahwa mengikuti zhan (sangkaan) di sini meniadakan
keraguan (syak) yang Allah kabarkan bahwa mereka berada
di dalamnya, karena yang dimaksud dengan syak di sini
adalah keraguan, danzhan (sangkaan) adalah salah satu
macamnya, dan zhan di sini bukan bermakna yang unggul
salah satu sisinya (dugaan kuat).”[Fathul Qadir 1:581]
Ini adalah salah satu contoh dari contoh-contoh yang amat
banyak, maka seorang muslim wajib segera waspada dan
memeriksa dengan teliti setiap dalil atau perkataan ulama
yang dibawakan oleh orang-orang yang tidak sejalan dengan
sunah, agar ia tidak terseret kepada syubhat dan pemikiran
yang menyimpang.
38. c. Berita dan Peristiwa
Banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia ini merupakan hasil
rekayasa orang-orang yang dengki terhadap Islam dan kaum muslimin.
Mereka berusaha menyulut api fitnah dan membakar semangat orang-
orang yang mempunyai ghirah yang tinggi terhadap Islam, sehingga
banyak orang-orang tidak tahu termakan dan dipermainkan oleh berita.
Seperti berita perang Hizbullah melawan Yahudi di Libanon yang
mendapat dukungan yang hangat dari kaum muslimin, padahal ia adalah
konspirasi besar agar orang-orang Syi’ah mendapatkan kedudukan yang
istimewa di hati-hati kaum muslimin, sehingga menjadi peluang yang
mudah untuk memasukkan aqidah mereka. Sementara orang-orang
yang tidak tahu itu tertipu oleh permainan kaum Syi’ah dan Yahudi yang
pura-pura berperang, padahal yang menjadi korban adalah kaum Sunni.
Allahul musta’an.[Lihat buku yang berjudul madza ta’rifu ‘an “hizbullah”,
juga rujuk buku the story of Hizbullah.]
Seorang muslim yang berpegang kepada sunah bukanlah orang yang
mudah terpengaruh dan terpicu oleh api fitnah sebagaimana telah kita
jelaskan. Mereka memeriksa dengan teliti segala berita yang ia dengar
atau saksikan dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil sikap. Mereka
memandang jauh dengan keilmuan yang dalam dan tajam tentang
hakikat di balik sebuah peristiwa, sebelum mereka menyebarkan kabar
tersebut, sehingga ia mengetahui sikap apa yang harus ia lakukan.
39. Dan selayaknya kabar-kabar dan peristiwa yang ada hendaknya
diserahkan kepada para ulama dan orang-orang yang mempunyai
pengalaman, agar mereka memahaminya dan meletakkannya pada
tempatnya.
Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Abbas ia
berkata, “Aku mempelajari Alquran dari beberapa orang kaum
Muhajirin di antara mereka adalah Abdurrahman bin ‘Auf. Ketika aku
berada di rumahnya di Mina dan ia bersama Umar bin Khathab pada
akhir haji yang beliau laksanakan, tiba-tiba ada orang kembali
kepada Abdurrahman dan berkata,
“Andaikan engkau melihat seseorang yang mendatangi amirul
mukminin pada hari ini, lalu ia berkata, ‘Wahai Amirul mukminin
apakah engkau mengetahui si fulan yang berkata, ‘Jika Umar telah
mati, maka aku akan membai’at si fulan, demi Allah bai’at Abu Bakar
terjadi karena kebetulan lalu menjadi sempurna’. Umar pun marah
kemudian berkata, ‘Sesungguhnya insya Allah besok sore aku akan
berdiri di hadapan orang-orang untuk memberikan peringatan
tentang bahaya mereka yang ingin merampas urusan ini’.”
40. Abdurrahman berkata, “Aku katakan, ‘Wahai Amirul
mukminin, jangan lakukan itu. Karena musim haji
berkumpul padanya orang-orang yang bodoh dan
merekalah yang paling banyak berada di sisi engkau ketika
engkau berdiri di hadapan khalayak, dan sesungguhnya
aku khawatir engkau mengucapkan kata-kata yang tersebar
kemana-mana sementara mereka tidak memahaminya dan
tidak dapat meletakkannya pada tempatnya. Tunggulah
sampai datang ke kota Madinah karena ia adalah negeri
hijrah dan sunah, lalu bermusyawarahlah dengan para ahli
ilmu dan orang-orang yang mulia. Engkau boleh
mengatakan perkataan itu dan para ahli ilmu akan
memahaminya dan meletakkannya pada tempatnya.’
Umar berkata, ‘Demi Allah insya Allah aku akan lakukan
pertama kali aku masuk kota Madinah…dan seterusnya’.”
41. Demikianlah seharusnya sikap kaum muslimin
mengamalkan firman Allah,
ِب واُاعَذَأ ِفْوَخْال ْوَأ ِنْمَْْا َنِم ٌرْمَأ ْمَُهءَآج اَذَِإوِلو ُسَّرال ىَلِإ ُهوُّدَر ْوََلو ِه
َْسي َينِذَّال َُهمِلَعَل ْمُهْنِم ِرْمَْْا ىِلْو
ُ
أ ىَلَِإوُلْضَف َالْوََلو ْمُهْنِم ُهَنوُطِبَنت
َانَطْي َّالش ُمُتْعَبَّتَال ُهُتَمْحَرَو ْمُكْيَلَع ِهللاًيَلِلَق َّالِإ
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. Dan kalaulah mereka menyerahkan
kepada Rasul dan ulil amri (para ulama) diantara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka.
Kalaulah bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada
kamu, tentulah kamu mengikuti setan kecuali sebagian
kecil saja di antaramu ز”
(QS. An Nisaa : 83).
42. Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata, “Ini adalah
pemberian adab dari Allah kepada hamba-hamba-Nya bahwa
perbuatan (menebarkan setiap berita) itu tidak layak. Hendaknya
apabila datang kepada mereka berita tentang urusan-urusan yang
penting dan kemashlahatan umum yang berhubungan dengan
keamanan dan kegembiraan kaum muslimin atau berhubungan
dengan ketakutan yang menjadi musibah bagi mereka agar
diperiksa dahulu secara seksama (tatsabbut) dan janganlah
mereka tergesa-gesa menyebarkan berita tersebut, akan tetapi
mengembalikannya kepada Rasul dan ulil amri yaitu ahli ilmu dan
akal yang mengetahui hakikat perkara itu dan mengetahui
kemashlahatan dan kebalikannya.
Jika mereka memandang bahwa menyebarkannya dapat
memberikan mashlahat dan kegembiraan kepada kaum muslimin
dan keselamatan dari musuh mereka, tidak mengapa dilakukan.
Dan jika mereka memandang bahwa menyebarkannya tidak
memberikan mashlahat, atau ada padanya mashlahat namun
madharatnya lebih banyak dari mashlahatnya maka tidak boleh
disebarkan.”[Taisir Al Karimirrahman, Hal. 154]
43. Syaikh Muhamad Al ‘Aqil hafizhahullah berkata, “Di antara
keanehan keadaan umat di zaman ini, yaitu bahwa orang-
orang yang menukil berita dan segera menyebarkannya
tidak dapat membedakan siapa yang membawa berita itu.
Engkau lihat ia meriwayatkan berita dari majalah atau media
milik orang-orang kafir dan menjadikannya sebagai kabar
yang menghasilkan keyakinan.
Dengan itu ia membangun di atasnya masalah-masalah
yang berbahaya yang berhubungan dengan mashlahat
umat. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa orang kafir
tidak layak dijadikan sebagai rujukan dalam menerima
berita.
Tidakkah mereka tahu bahwa orang-orang kafir itu
menyebarkan kabar-kabar tersebut untuk memporak-
porandakan barisan kaum muslimin dan menebarkan
ketakutan, kelemahan, dan keraguan kepada umat?!”[Al
Fitnah, Hal. 75]
44. Penyebab
Lahirnya Sikap Tidak Tabbayun
1) Lupa
وسلم عليه هللا صلى هللا رسول يقول(خطاء آدم ابن كل
التوابون الخطائين وخير.)
Rasulullah bersabda, “Setiap anak adam rentan
terhadap kesalahan. Orang terbaik ketika bersalah
adalah mereka-mereka yang bertaubat secepatnya”.
45. 2) Terpesona/Kagum dengan kefasihan seseorang
وسلم عليه هللا صلى النبي قال( :ولعلل إلى تختصمون إنكم
شيئا أخيه بحق له قضيت فمن بعض من بحجته ألحن بعضكم
يأخذها فَل النار من قطعة له أقطع فإنما بقوله.)
Sabda Rasulullah saw, “Kalian mengadukan
permasalahan yang kalian perselisihkan kepadaku. Di
antara kalian ada yang pintar bersilat lidah dibanding
dengan lainnya. Barang siapa yang aku putuskan
berhak terhadap sebuah barang, padahal itu milik
sesamanya, maka itu seperti aku memberikannya
setumpuk bara api. Karenanya, janganlah
mengambilnya.”
46. 3) Terpesona Dengan Dunia
سبحانه قوله:{ِف ْمُتْبَرَض اَذِإ واُنَمآ َينِذَّال َاهُّيَأ َايوُنَّيَبَتَف ِ َّاَّلل ِيلِب َس يا
َت ْسَل َم ََل َّالس ُمُكْيَلِإ ىَقْلَأ َْنمِل واُولُقَت ََالوَُِايَحْال َضَرَع َونَُغتْبَت اًنِمَُْم
ْنُك َكِلَذَك ٌَُريَِْك ُمِناَغَم ِ َّاَّلل َدْنِعَف َايْنُّالدُكْيَلَع ُ َّاَّلل ََّنمَف ُلْبَق ْنِم ْمُتْم
ًاريِبَخ َونَُلمْعَت َامِب َانَك َ َّاَّلل َّنِإ واُنَّيَبَتَف(النساء: 94) }
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi
(berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu
mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam”
kepadamu: “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda
kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang
banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah
menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (An Nisa 94)
47. 4. Lalai terhadap dampak buruknya.
Seseorang tidak menyadari bahaya buruk
meninggalkan tabayyun. Padahal akibatnya akan
mencemarkan nama baik orang, penyesalan diri dll.
48. 5) Tidak Mengetahui Metodologi Tabayyun
Kejahilan seseorang terhadap metodologi tabayun
seringkali menjadi penyebab utama tidak terjadinya
mekanisme tabayun di tengah umat ini.
49. Metodologi tabayyun islami
1) Mengembalikan permasalahan kepada Allah dan Rasul-Nya
serta ahli terkait.
سبحانه قال{ِب واُاعَذَأ ِفْوَخْال ِوَأ ِنْمَ ْْا َنِم ٌرْمَأ ْمَُهءَاج اَذَِإوىَلِإ ُهوُّدَر ْوََلو ِه
َْسي َينِذَّال َُهمِلَعَل ْمُهْنِم ِرْمَ ْْا يِلو
ُ
أ ىَلَِإو ِول ُسَّرالا ُلْضَف َالْوََلو ْمُهْنِم ُهَنوُطِبْنَتِ ََّّلل
ًيَلِلَق َّالِإ َانَطْي َّالش ُمُتْعَبَّت َال ُهُتَمْحَرَو ْمُكْيَلَع(النساء: 83)}
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau
tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah
kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
(An Nisa 83)
50. 2) Bertanya Langsung Kepada Pelaku Utama.
فقال ؟ هذا ما حاطب يا:امرءا كنت إني على تعجل ال هللا رسول يا
وأموالهم أهلهم بها يحمون قرابات لهم من المهاجرين من ملصقا
يحمون يدا عندهم أتخذ أن فيهم النسب من ذلك فاتني إذا فأحببت
فعذره اإلسَلم بعد بالكفر رضا وال ديني عن ارتدادا أفعله ولم قرابتي
وقال وسلم عليه هللا صلى النبي( :صدقكم قد إنه أما)
Sikap Rasulullah saw menyikapi Hatib bin Balta’ah dengan
memanggilnya lalu bertanya : kenapa engkau melakukannya ?
Wahai Rasulullah. Janganlah tergesa-gesa. Saya adalah orang
muhajirin yang memiliki sanak keluarga yang berusaha
melindungi keluarganya. Karena saya tidak bisa melakukannya,
maka saya mencoba mencari orang yang dapat melindungi
kerabatku. Saya melakukannya bukan karena murtad dari Islam
dan bukan karena saya telah kafir. Lalu Rasulullah menerima
alasannya dengan mengatakan, “ia jujur”.
51. 3) Mendengar Dengan Seksama dan Mericek Terus-Menerus
Jika Memang Dibutuhkan.
Ketika Ali ra diberikan bendera perang Khaibar maka dengan
segera ia bergegas berangkat. Tapi di tengah perjalanan ia
kebingungan tentang missi peperangan yang diembannya. Ia
pun berbalik arah ke Madinah demi menanyakan missi
peperangan tersebut Kepada Rasulullah Saw
حتى قاتلهم وسلم عليه هللا صلى النبي عليه فيرد ؟ الناس أقاتل عَلم
فقد ذلك فعلوا فإذا ، ورسوله عبده ًمحمدا وأن هللا إال إله ال أن يشهدوا
هللا على وحسابهم بحقها إال وأموالهم دماءهم منا منعوا“.
Dengan tujuan apa saya memerangi mereka ? Rasulullah
menjawab, “perangilah merka hingga mereka masuk Islam
(bersayhadat). Jika mereka telah melakukannya, maka darah
dan harta mereka haram kita sentuh kecuali dengan alasan
yang benar.
52. 4) Melakukan Pengecekan Khusus Melalui
Pengamatan dan Pertemanan.
Ketika ada seseorang memuji orang lain di
sampingnya, Umar bin Khattab lalu berkata, “Apakah
kamu pernah bepergian bersamanya ? Ia menjawab :
tidak. Umar melanjutkan : apakah kamu pernah
memberi amanah untuknya ? Katanya : tidak. Umar
melanjutkan : apakah kamu pernah bermuamalah
dengannya ? Katanya : tidak.
Kata umar : kalau begitu, kamu diam saja. Saya pikir
kamu hanya pernah melihatnya di masjid sambil
mengangkat dan menundukkan kepalanya.
53. 5) Bertemu Secara Langsung Setelah Menjaring
Informasi dari Pihak-Pihak yang Bertengkar.
Ketika Ali bin Abi Thalib hendak diutus sebagai hakim ke
Yaman, Rasulullah mengarahkannya dengan berkata,
”يديك بين جلس فإذا ، لسانك ويْبت ، قلبك سيهدى هللا إن
اْول من سمعت كما اآلخر من تسمع حتى تقضين فَل الخصمان
القضاء لك يتبين أن أحرى فإنه ،“.
“Semoga Allah senantiasa memberimu petunjuk dan
meneguhkan lisanmu. Jika fihak berperkara menghadap
kepadamu, maka jangan sekali-kali memutuskan perkara
tanpa mendengar kedua belah fihak. Karena yang
demikian akan memudahkan kamu memutuskan perkara
dengan baik”.
54. Agar Kita bisa Selalu Tabayyun
1) Memperkokoh ketakwaan kepada Allah swt.
Seseorang yang bertakwa kepada Allah akan diberikan
furqan, yaitu kemampuan untuk membedakan antara yang
benar dan yang salah, hal ini sebagaimana disampaikan
dalam firman Allah berikut : “Hai orang-orang yang beriman,
jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala
kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu.
Dan Allah mempunyai karunia yang besar”. (Al Anfal 29)
وسلم عليه هللا صلى قوله:”الشيطان من العجلة و هللا من التْبت
“.
“Pelan-pelan itu dari Allah, sedangkan terburu-buru itu dari
setan.” (Musnad Abu Ya’la: 7/247,dishohihkan oleh al-
Albani: 4/404)
55. 2) Mengingat Peristiwa Ketika Manusia Dihisab di
Hadapan Allah Swt.
{َونُولُئ َْسم ْمُهَّنِإ ْمُوهُفِقَو(الصافات: 24}
Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena
sesungguhnya mereka akan ditanya. (Ash Shofat 24)
{ُك َىزْجُتِل َاهيِفْخ
ُ
أ ُداَكَأ ٌَةيِتآ َةَعا َّالس َّنِإىَع ْسَت َامِب ٍسْفَن ُّل}
(طه: 15) .
Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku
merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri
itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. (Thoha 15)
56. 3. Kembali ke Quran dan Hadits
Membaca, memahami,merenungi dan
mengamalkan ayat-ayat yang membahas
tabayyun (misalnya AlHujurat 6, Annisaa 94).
57. 4. Bergaul dengan orang-orang yang memiliki
sikap tabayyun.
Hal ini akan banyak memberi manfaat baginya
kepada sikap kritis, penuh pemikiran dan
pertimbangan hingga ia selamat dari ketergelinciran
dan salah langkah dalam mengambil langkah dan
tindakan.
58. 5. Membiasakan diri untuk selalu berprasangka
baik terhadap muslim lainnya (QS. Annuur 12).
” Ya Allaah, lapangkanlah dada kami, tenangkanlah
jiwa dan fikiran kami, karuniakanlah sifat tabayyun
pada diri kami, sehingga kami dapat menyikapi semua
berita yang sampai kepada kami dengan benar sesuai
kehendak-Mu”.
59. Bahaya meninggalkan tabayyun
1. Menuduh orang baik dan bersih dengan dusta.
Seperti kasus yang menimpa istri Rasulullah saw yaitu Aisyah ra. Ia
telah dituduh dengan tuduhan palsu oleh Abdullaah bin Ubai bin
Salul, gembong munafiqin Madinah. Isi tuduhan itu adalah bahwa
Aisyah ra telah berbuat selingkuh dengan seorang lelaki bernama
Shofwan bin Muathal. Padahal bagaimana mungkin Aisyah ra akan
melakukan perbuatan itu setelah Allaah swt memuliakannya dengan
Islam dan menjadikannya sebagai istri Rasulullah saw.
Namun karena gencarnya Abdullah bin Ubai bin Salul menyebarkan
kebohongan itu sehingga ada beberapa orang penduduk Madinah
yang tanpa tabayyun, koreksi dan teliti ikut menyebarkannya hingga
hampir semua penduduk Madinah terpengaruh dan hampir
mempercayai berita tersebut. Tuduhan ini membuat Aisyah ra
goncang dan stress, bahkan dirasakan pula oleh Rasulullah saw dan
mertuanya. Akhirnya Allah swt menurunkan ayat yang isinya
mensucikan dan membebaskan Aisyah ra dari tuduhan keji ini[baca
QS Annuur 11-12].
60. 2. Timbul kecemasan dan penyesalan.
Diantara shahabat yang terpengaruh oleh berita dusta
yang disebarkan oleh Abdullaah bin Ubai bin Salul itu
adalah antara lain Misthah bin Atsasah dan Hasan bin
Tsabit. Mereka itu mengalami kecemasan dan
penyesalan yang dalam setelah wahyu turun dari langit
yang menerangkan duduk masalahnya.
Mereka merasakan seakan-akan baru memasuki Islam
sebelum hari itu, bahkan kecemasan dan penyesalan
tersebut tetap mereka rasakan selamanya hingga
mereka menemui Rabbnya[QS AlHujurat 6].
61. 3. Terjadinya kesalahfahaman bahkan pertumpahan darah.
Usamah bin Zaid ra bertutur: Rasulullah saw telah mengutus kami untuk
suatu pertempuran, maka kami tiba di tempat yang dituju pada pagi hari.
Kami pun meyerbu musuh. Pada saat itu saya dan seorang dari kaum
Anshar mengejar salah seorang musuh. Setelah kami mengepungnya,
musuh pun tak bisa melarikan diri. Di saat itulah dia mengucapkan Laa
Ilaaha Illallah.
Temanku dari Anshar mampu menahan diri, sedangkan saya langsung
menghujamkan tombak hingga dia tewas. Setelah saya tiba di Madinah,
kabar itu sampai kepada Rasulullaah saw. Beliau bersabda:” Hai
Usamah, mengapa engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa
Ilaaha Illallah?Saya jawab:” Dia mengucapkan itu hanya untuk
melindungi diri”. Namun Rasulullaah saw terus mengulang-ulang
pertanyaan itu, hingga saya merasa belum pernah masuk Islam
sebelumnya{HR.Bukhari].(Dalam riwayat Muslim, Nabi saw bertanya
kepada Usamah dengan “Apakah kamu telah membedah hatinya?”).
Hadits ini memberi pemahaman bahwa Nabi saw marah kepada
Usamah bin Zaid ra karena ia telah membunuh musuhnya yang telah
mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, hingga Nabi saw bertanya “Apakah
engkau telah teliti dengan jelas (tabayyun) sampai ke lubuk hatinya
bahwa ia mengucapkan Laa Ilaaha Illallah itu karena ia takut senjata dan
ingin melindungi diri….dst?”
62. "Subhanakallahumma wabihamdika
Asyhadu alla ilaaha illa anta
astaghfiruka wa atuubu ilaika."
“Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji
bagiMu, aku bersaksi bahwa tiada ilah selain
Engkau aku mohon ampun dan bertaubat
kepadaMu"