2. ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI PERKEBUNAN
(UU No.18 Tahun 2004 Pasal 2, 3, dan 4 tentang Perkebunan)
ASAS
Perkebunan diselenggarakan
berdasarkan atas asas :
Manfaat dan berkelanjutan,
Keterpaduan,
Kebersamaan,
Keterbukaan, serta
Berkeadilan
FUNGSI
EKONOMI, yaitu peningkatan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
serta penguatan struktur ekonomi
wilayah dan nasional.
EKOLOGI, yaitu peningkatan
konservasi tanah dan air, penyerap
karbon, penyediaan oksigen, dan
penyangga kawasan lindung.
SOSIAL BUDAYA, yaitu sebagai
perekat dan pemersatu bangsa.
TUJUAN
Meningkatkan pendapatan
masyarakat
Meningkatkan penerimaan negara
Meningkatkan penerimaan devisa
negara
Menyediakan lapangan kerja
Meningkatkan produktivitas, nilai
tambah, dan daya saing
Memenuhi kebutuhan dan bahan
baku industri dalam negeri
Mengoptimalkan pengelolaan
sumber daya alam secara
berkelanjutan
3. Masalah yang berkaitan dengan kepentingan
rakyat dan nasional
Orientasi kebijakan perkebunan sejauh ini membedakan secara tajam antara
perkebunan besar (BUMN dan swasta) dengan perkebunan rakyat. Implikasi
kebijakan dualistik ini telah memberi kemudahan bagi yang “besar” dan tekanan
bagi yang “kecil”, dengan gambaran sebagai berikut :
1) Perkebunan Indonesia masih diliputi oleh dualisme ekonomi, yaitu antara
perkebunan besar yang menggunakan modal dan teknologi secara intensif dan
menggunakan lahan secara ekstensif serta manajemen eksploitatif terhadap SDA
dan SDM, dan perkebunan rakyat yang susbsisten dan tradisional serta luas lahan
terbatas. Kedua sistem ini menguasai bagian tertentu dari masyarakat dan keduanya
hidup berdampingan. Perbedaan keduanya tidak jarang menimbulkan konflik
ekonomi yang berkembang menjadi konflik sosial.
2) Perkebunan Rakyat (PR) yang luasnya sekitar 80% dari perkebunan nasional
masih belum mendapatkan fasilitas dan perlindungan yang memadai dari
pemerintah. Masalah ini menjadi penting antara lain karena jumlah KK yang
tergantung pada perkebunan rakyat sekitar 15 juta.
4. 3) Hak menguasai oleh negara atas tanah yang kemudian diberikan kepada badan hukum
sebagai Hak Guna Usaha untuk usaha perkebunan sangat dominan, sementara itu ketidak-
pastian hak masyarakat (lokal dan adat) atas sumberdaya lahan untuk perkebunan belum
kunjung diselesaikan.
4) Masuknya pemodal besar ke usaha perkebunan masih belum memberikan kontribusi
pada kesejahteraan rakyat setempat. Hingga saat ini masih belum ada re-distribusi aset dan
manfaat yang adil (proporsional) kepada masyarakat dari usaha perkebunan.
5) Kebijakan pengembangan perkebunan lebih berpihak pada perkebunan besar yang
ditunjukkan oleh alokasi pemanfaatan kredit, dukungan penelitian dan pengembangan,
serta pelatihan sumberdaya manusia.
6) Pengembangan perkebunan besar lebih dilandasi pada pembukaan lahan hutan dalam
skala besar yang dilakukan dengan mengabaikan hak-hak masyarakat di dalamnya. Pada
beberapa daerah kondisi demikian ini telah menimbulkan konflik sosial serta dampak
negatif terhadap lingkungan.
7) Organisasi-organisasi usaha perkebunan yang menghimpun diri dalam asosiasi
pengusaha perkebunan bersifat eksklusif dan powerful dengan tingkat kepedulian terhadap
pemberdayaan organisasi-organisasi petani/pekebun rendah.
5. Masalah Manajemen Pengelolaan
Perkebunan
Kebijakan pengembangan perkebunan yang ekstentif, sejauh ini
telah mengesampingkan produktivitas, efisiensi, dan product
development . Dengan berbagai upaya pembangunan, secara umum
beberapa komoditas mengalami kenaikan produktivitas, namun secara
umum produktivitas komoditas perkebunan masih rendah dan masih dapat
ditingkatkan. Masih rendahnya produktivitas komoditas perkebunan
tersebut merupakan tantangan bagi pengembangan perkebunan kedepan.
Produktivitas perkebunan nasional masih tertinggal dari
perkebunan negara tetangga, khususnya Malaysia dan Thailand .
Produktivitas kelapa sawit misalnya di Malaysia rata-rata berkisar antara
18 – 21 ton Tandan Buah Segar (TBS)/ha/tahun. Sementara produktivitas
kelapa sawit di Indonesia baru berkisar 14 – 16 ton/ha/tahun. Produktivitas
rata-rata karet di Thailand mencapai 1 – 2 ton/ha, sementara di Indonesia
berkisar antara 0,6 – 1 ton/ha.
6. Masalah Pemasaran dan EkonomiMasalah Pemasaran dan Ekonomi
Produk perkebunan merupakan produk yang diperdagangkan secara
internasional sehingga mekanisme pasar terjadi di pasar internasional. Dengan
keterbatasan aksesnya, pekebun pada Perkebunan Rakyat tidak mendapatkan
informasi pasar secara efektif. Informasi pasar (harga, mutu, jumlah yang
dibutuhkan, dan lain-lain) yang diperoleh secara efektif berasal dari pedagang
atau industri pengolahan. Akibatnya, pekebun memperoleh informasi pasar
yang bersifat tidak simetris.
Secara nasional perkembangan pangsa pasar beberapa produk
perkebunan utama menunjukkan adanya kecenderungan penurunan dari waktu
ke waktu, tergeser oleh beberapa negara pesaing, seperti Malaysia, Thailand,
Vietnam, India dan Sri Lanka. Hal ini mengindikasikan daya saing industri dan
produk perkebunan Indonesia masih sangat lemah. Perekonomian perkebunan
juga masih didominasi oleh produk primer perkebunan. Padahal, potensi untuk
mengembangkan industri hilir perkebunan masih terbuka dan pasar produk
hilir perkebunan lebih prospektif. Malaysia merupakan salah satu contoh
negara produsen produk perkebunan, baik primer maupun hilir.
7. Masalah Lingkungan
Metode paling efisien dalam kegiatan pembukaan lahan perkebunan
adalah pembakaran. Namun dampak lingkungan yang
ditimbulkannya sangat merugikan. Pembakaran dalam kegiatan
pembukaan lahan masih dijalankan, baik di perkebunan rakyat
maupun perkebunan besar. UU tentang pengelolaan lingkungan
hidup masih memberi toleransi adanya pembakaran terkendali untuk
perkebunan rakyat dan pelarangan untuk perkebunan besar dan
limbah padat, cair dan gas masih menjadi masalah penting di
perkebunan
Masalah Iptek
Apresiasi dan perhatian terhadap hasil Iptek masih rendah. Manajemen
feodalistik perkebunan besar menganggap penggunaan dana untuk kebutuhan
Iptek sebagai pemborosan. Iptek dianggap belum menjadi bagian integral dari
pengembangan usaha perkebunan. Penyediaan dana penelitian dan
pengembangan perkebunan masih mengandalkan pemerintah dan sebagian
kecil dari BUMN.
8. Masalah SDM (Sumber Daya Manusia)
Permasalahan perkebunan lainnya terkait dengan masalah kualitas sumber
daya manusia perkebunan, baik dari kalangan petani, pengusaha maupun
aparat pemerintah. Sampai saat ini masih dijumpai berbagai permasalahan
sebagai berikut:
1. Mentalitas yang hidup dan berkembang di masyarakat belum
mendukung berkembangnya nilai-nilai yang dibutuhkan untuk kemajuan,
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai contoh, pada sebagian
masyarakat masih sangat tergantung kepada proyek-proyek pemerintah.
2. Daya asimilasi dan absorbsi terhadap teknologi masih lemah. Hal ini
terlihat dengan masih terbatasnya (sekitar 20%) dari masyarakat petani yang
menggunakan klon unggul dalam usaha kebunnya.
3. Kemampuan teknis, wira usaha dan manajemen masih rendah.
Dengan kondisi ini, petani ataupun kelembagaan ekonomi petani belum
mampu memanfaatkan peluang bisnis yang ada di lingkungannya.
4. Kemampuan lobby yang masih rendah. Kemampuan lobby ini
dibutuhkan untuk dapat memperluas peluang usaha, baik petani mapun
dunia usaha.
9. JENIS GANGGUAN USAHA DAN KONFLIK PERKEBUNAN
I. SENGKETA LAHAN (terdapat 18 jenis):
1. Penggunaan tanah adat/ulayat tanpa persetujuan pemuka adat/
masyarakat
2. Penetapan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) di
Provinsi/Kabupaten/Kota belum selesai
3. Okupasi/penyerobotan lahan oleh masyarakat
4. Tumpang tindih lahan antara perkebunan dengan kawasan hutan
5. Tumpang tindih lahan perkebunan dengan kawasan pertambangan
6. Tumpang tindih lahan karena izin baru
7. Proses penerbitan HGU tidak mengikuti ketentuan yang berlaku
8. Tuntutan pengembalian lahan masyarakat terhadap tanah yang
sedang dalam proses perpanjangan HGU
9. Ganti rugi lahan dan tanam tumbuh belum selesai tetapi
perusahaan sudah operasional
10.Tanah masyarakat diambil alih perusahaan
10. Lanjutan ...
SENGKETA LAHAN :
11.Kebun plasma yang menjadi agunan kredit diperjualbelikan oleh
petani tanpa sepengetahuan perusahaan/bank
12.Tuntutan masyarakat terhadap kebun plasma yang telah dijanjikan
tidak dipenuhi perusahaan
13.Masyarakat menuntut pengembalian tanah yang sudah dilakukan
ganti rugi oleh perusahaan
14.Izin Lokasi sudah berakhir dan tidak dilakukan pembaharuan/
perpanjangan
15.Masyarakat menuntut lahan perusahaan untuk dimiliki/dikuasai
16.Luas lahan plasma tidak sesuai dengan penetapan jumlah calon
petani peserta oleh Bupati
17.Tuntutan masyarakat atas pembangunan kebun plasma minimal 20
% dari areal yang diusahakan oleh perusahaan (Permentan No.98
Th.2013)
18.Lahan ditelantarkan oleh perusahaan
11. Lanjutan ...
II. SENGKETA NON LAHAN (terdapat 12 jenis) :
1. Petani tidak mampu dan atau tidak ada keinginan membayar/melunasi
kredit
2. Penetapan harga pembelian produksi kebun plasma tidak sesuai
ketentuan
3. Masyarakat menolak pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit karena
dipengaruhi oleh LSM dan pihak ketiga lainnya (oknum)
4. Penetapan plafond kredit kebun plasma tidak sesuai ketentuan
5. Penjarahan dan pencurian produksi
6. Petani ingin ikut sebagai peserta plasma
7. Keterlambatan konversi kebun plasma
8. Perusahaan tidak secara rutin menyampaikan informasi sisa hutang
kepada petani
9. Pelaku usaha perkebunan tidak memiliki perizinan usaha perkebunan
10. Wanprestasi/ingkar janji kemitraan perusahaan dengan masyarakat
11. Penerbitan Izin Usaha Perkebunan yang belum/tidak sesuai ketentuan
12. Pembangunan kebun melebihi luas areal perizinan
12. Uraian 2007 2008 2009 2010 2011 2012*)
Jumlah Kasus 475 596 508 694 822 739
Penyelesaian 123 64 196 57 49 83
PERKEMBANGAN KASUS GUKP NASIONAL
(2007 S/D 2012)
*) GUKP yang tercatat/terlaporkan di Ditjen Perkebunan
sebanyak 739 kasus, terdiri atas :
Sengketa lahan sebanyak : 539 kasus (72,25%)
Sengketa non lahan sebanyak : 185 kasus (25,05%)
Sengketa dengan Kehutanan : 15 kasus ( 2,00%)
13. Kasus Lahan Yang Banyak Terjadi Tahun 2012
1. Okupasi Lahan, 116 Kasus (15,5%);
2. Tumpang tindih Lahan, 78 Kasus (10,45%);
3. Ganti Rugi Lahan, 61 Kasus (8,17%);
4. Masyarakat Menuntut Lahan, 51 Kasus (6,84%);
5.Tanah Masyarakat Diambil Alih Perusahaan, 29
Kasus (3,88%).
14. 23,86 %
5 Provinsi Dengan Kasus GUKP TerbanyakTahun 2012
Kalimantan
Tengah
178 Kasus
Sumatera
Utara
88 kasus
Riau
43
Kasus
Kalimanta
n Barat
54 Kasus
Kalimantan
Timur
74 Kasus
9,9 %
6,9 %
5,9 %
11 %
15. Mempercepat penyelesaian permasalahan konflik melalui :
1. Musyawarah untuk mufakat (win-win solution);
2. Penyelesaian ganti rugi lahan/ganti rugi tanam tumbuh;
3. Komunikasi intensif dan persuasif antara pihak yang
bersengketa dengan instansi terkait;
4. Fasilitasi melalui pertemuan;
5. Pembinaan Kemitraan Usaha;
6. Mempercepat pembangunan kebun plasma sesuai
peraturan dan ketentuan yang berlaku;
7. Penilaian Usaha Perkebunan;
8. Penerapan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO);
9. Pemberdayaan PPNS;
10. Penerapan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
KEBIJAKAN PENANGANAN
KONFLIK LAHAN PERKEBUNAN
16. KENDALA PENANGANAN MASALAH
1. Sulitnya koordinasi dalam penyelesaian masalah
karena melibatkan banyak pihak dan instansi terkait.
2. Adanya provokator, LSM dan pihak ketiga (oknum)
yang memanfaatkan situasi konflik antara masyarakat
dengan perusahaan.
3. Lemahnya penegakan hukum.
4. Perbedaan persepsi terhadap peraturan dan
perundang-undangan yang terkait dengan
pembangunan perkebunan.
5. Terjadinya pergantian pimpinan/pejabat yang
menangani usaha perkebunan.
17. PERATURAN YANG TERKAIT DENGAN GANGGUAN USAHA DAN KONFLIKPERATURAN YANG TERKAIT DENGAN GANGGUAN USAHA DAN KONFLIK
PERKEBUNANPERKEBUNAN
1. UU No.5 Thn 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;
2. UU No.18 Thn 2004 tentang Perkebunan;
3. UU No.12 Thn 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman;
4. UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara;
5. UU No.41 Tahun 2009 tentang Kehutanan;
6. UU No.7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial;
7. PP No. 40 Thn 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan
Hak Pakai Atas Tanah;
8. PP No. 4 Thn 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran
Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau
Lahan;
9. PP No.10 Thn 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional;
10. PP No.11 Thn 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaaan Tanah
Terlantar;
11. PP No.10 Thn 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi
Kawasan Hutan;
18. Lanjutan ...Lanjutan ...
12.Peraturan Menteri Pertanian No. 07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang
Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan;
13.Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang
Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO);
14.Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang
Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit;
15.Peraturan Menteri Pertanian No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang
Pedoman Izin Usaha Perkebunan;
16.Surat Keputusan Dirjenbun No. 38 Thn. 1995 tentang Petunjuk Teknis
Pembukaan Lahan Tanpa Bakar untuk Pengembangan Perkebunan.
17.Peraturan-peraturan di daerah yang terkait di bidang usaha perkebunan.
19. Usulan Penyelesaian Masalah
Perkebunan
Penyelesaian masalah dan konflik yang terjadi di perkebunan meliputi tahap pencegahan dan penyelesaian.
Selain itu, kerangka kebijakan dan aksi untuk penyelesaian konflik perlu memperhatikan durasi kerja jangka
pendek maupun jangka panjang.
1. Perbaikan peraturan, kebijakan dan perizinan
Pelaksanaan TAP MPR No. IX/MPR/2001 oleh Pemerintah dan DPR;
Revisi PP 40/1996 terkait dengan syarat perpanjangan HGU agar memasukkan prasyarat konsultasi pada
masyarakat;
Moratorium izin usaha perkebunan dan izin lokasi;
Moratorium pemberian HGU baru dan perpanjangan HGU lama;
Pembentukan peraturan/ketentuan terkait batas maksimum HGU oleh perusahaan dan kelompok
perusahaan;
Evaluasi terhadap kebijakan reforma agraria BPN; Percepatan pembentukan dasar hukum yang kuat bagi
Reforma Agraria (pengesahan RPP Reforma Agraria secepatnya); Revisi peraturan tentang hak masyarakat
hukum adat (Permen Agraria No. 5/1999 terutama terkait dengan kejelasan objek tanah ulayat); persyaratan
prioritas penyelesaian konflik melalui mekanisme ADR.
2. Kelembagaan dan mekanisme penyelesaian konflik
Evaluasi terhadap kinerja dan kemampuan Kedeputian V BPN dalam percepatan penyelesaian konflik dan
sengketa pertanahan;
Pembentukan komite independen penyelesaian konflik agraria oleh Presiden atau pembentukan Peradilan
Agraria.Pembentukan unit pengaduan dan penanganan konflik di instansi terkait.
Pembentukan Menteri Koordinator Sumber Daya Agraria/Sumber Daya Alam.
Kebijakan pemerintah daerah untuk mediasi konflik tanah.
Membentuk dewan/komite land reform.
20. 3. Penguatan dan pemberdayaan petani dan masyarakat adat
Penguatan organisasi tani dan masyarakat adat;
Perluasan jaringan organisasi tani dan masyarakat adat;
Konsolidasi gerakan tani dan masyarakat adat untuk menghadapi konflik perkebunan;
Pendampingan hukum dan ekonomi bagi petani dan masyarakat adat.
4. Penguatan jaringan kelompok masyarakat sipil (LSM, akademisi)
Pembentukan/penguatan jejaring LSM dan akademisi agraria di tingkat lokal dan nasional.
5. Upaya-upaya lain untuk pencegahan konflik:
Pengamanan fisik terhadap tanah perkebunan dengan cara menciptakan batas areal
perkebunan yang jelas.
Perlindungan bagi pemegang sertipikat yang diperoleh dengan proses yang benar.
6. Usulan Tindak Lanjut
Mengembangkan suatu konsepsi Konstitusi Agraria dan Kerangka Umum Reforma Agraria
yang siap dipromosikan oleh ahli-ahli Agraria untuk dipergunakan sebagai rujukan bagi
pembuatan kebijakan dalam rangka pemerintahan baru 2014;
pengajaran, kursus-kursus, latihan-latihan, seminar dan lokakarya;
kegiatan-kegiatan gerakan sosial;
studi-studi lanjutan; Membuat jaringan antar simpul-simpul pelaku studi agraria yang
beragam fokus tematik maupun geografis, termasuk untuk para pengajar mata kuliah
agraria di perguruan tinggi, pestudi agraria di badan-badan penbelitian pemerintah, dan
organisasi gerakan sosial; Menggunakan Mahkamah Konstitusi dan MPR sebagai tempat
berangkat sekaligus muara dari upaya pengembangan Konstitusi Agraria, dan Kerangka
Umum Reforma Agraria
21. 1. Pembentukan Tim Terpadu Penanganan Gangguan Usaha dan Konflik
Perkebunan.
2. Surat Menteri Pertanian No. 120/HK.410/M/5/2013 perihal Fasilitasi Penyelesaian
Sengketa Lahan yang ditujukan kepada Kepala BPN dan Menteri Kehutanan.
3. Penyusunan Pedoman Penanganan Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan
(GUKP).
4. Memfasilitasi penyelesaian GUKP melalui klarifikasi dan mediasi permasalahan
dengan pihak-pihak yang bersengketa.
UPAYA PENANGANAN GANGGUAN USAHA DAN
KONFLIK PERKEBUNAN