SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 91
TUGAS HUKUM PIDNA
-RESUME MATERI HUKUM PIDANA-
Dosen Pengajar : Davit Rahmadhan, S.H., M.H.
oleh :
DIENNISSA PUTRIYANDA
Nim : 1209114065
Fakultas Hukum Universitas Riau
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Hukum Pidana
Pengertian Hukum Pidana menurut beberapa ahli :
MenurutMoeljatno(sarjana Hukum Pidana Indonesia)
Hukum Pidana » Bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
(1) Menentukan perbuatan-perbuatan masa yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana
tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
(2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
(3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut.
Menurut Pompe
Hukum Pidana » Semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-
perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macamnya
pidana itu.
Menurut Simons
Hukum Pidana » Semua perintah dan larangan yang diadakan oleh negara dan yang
diancam dengan suatu pidana/nestapa bagi barangsiapa yang tidak
menaatinya. Dan juga merupakan semua aturan yang ditentukan oleh
negara yang berisi syarat-syarat untuk menjalankan pidana tersebut.
Menurut Van Hattum
Hukum Pidana » Suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti
dan ditetapkan oleh suatu negara atau oleh suatu masyarakat hukum
umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban
hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang
bersifat melanggar hukum dan telah mengkaitkan pelanggaran terhadap
peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus
berupa pidana.
Menurut Wirjono Prodjodikoro
Hukum Pidana » Peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang
“dipidanakan” yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada
seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal
yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
“Hukum pidana adalah seperangkat norma/aturan yang berlaku yang berisikan perintah,
larangan, kebolehan serta mengandung sanksi yang nyata tentang perbuatan apa yang dilarang,
siapa yang dapat dipertanggungjawabkan dan sanksi apa yang dapat dijatuhkan.”
B. Tempat dan Sifat Hukum Pidana
Tempat atau Ruang Lingkup Hukum Pidana
Perbuatan Pidana
» Perbuatan itu melanggar hukum.
Pertanggungjawaban Pidana
» Orang yang melanggar hukum.
Sanksi Pidana
» Ancaman pidana harus tetap merupakan ultimum remedium (upaya terakhir dalam
hal penegakan hukum).
Sifat Hukum Pidana
Perbuatan
Pidana
Pertanggungjawaban
Pidana
Sanksi
Pidana
Hukum Pidana termasuk hukum publik. Sifat hukum pidana sebagai hukum publik
antara lain dapat diketahui berdasarkan :
1. Suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya telah mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari korbannya;
2. Penuntutan menurut hukum pidana, tidak digantungkan kepada keinginan dari orang yan
telah dirugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain.
3. Biaya penjatuhan pidana dipikul oleh negara sedangkan pidana denda dan perampasan
barang menjadi penghasilan negara.
C. Perbedaan Antara Hukum Pidana dan Hukum Perdata
1) Perbedaan antara Hakim yang mengadili.
Di Indonesia (dan juga di negara Belanda) untuk sebagian besar diadili oleh Hakim dan
pengadilan yang sama, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah
Agung, di MA ada Ketua Muda Pidana dan Ketua Muda Perdata.
Di Inggris, Pengadilan perkara perdata, yaitu High Court(untuk gugatan dengan jumlah
besar), sedangkan Country Court (mengadili selebihnya). Untuk perkara pidana,
Pengadilan tingkat pertama ialah Crown Court dan Magistrate Court, umumnya jika
terdakwa mengaku (plea guilty). Ada pengadilan appeal, yaitu Divisional Court atau
Court of Appeal. Pengadilan tingkat terakhir the final appeal court House of Lords.
2) Istilah berbeda.
Yaitu dalam perkara pidana tuntutan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum atas nama
negara dengan surat dakwaan yang mengandung uraian delik yang didakwakan.
Sedangkan dalam perkara perdata gugatan diajukan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan (yang dirugikan) sendiri.
3) Hasil berbeda.
Jika dalam perkara pidana tuntutan jaksa penuntut umum yang tercantum dalam dakwaan
terbukti dan meyakinkan hakim, maka terdakwa akan dijatuhi pidana (nestapa).
Sedangkan dalam perkara perdata, jika gugatan diterima maka tergugat akan dihukum
untuk mengganti kerugian atau melakukan suatu perbuatan.
4) Perbedaan pembuktian.
Dalam perkara pidana yang dicari ialah kebenaran materiel, yaitu kebenaran yang
sungguh-sungguh.
Sedangkan dalam perkara perdata, cukup dengan kebenaran formiel, misalnya jika
seorang tergugat mengaku berutang walaupun tidak, dia akan diperintahkan untuk
membayar utang yang diakuiya itu.
D. Pembagian Hukum Pidana Umum dan Khusus
Pembagian Hukum Pidana Umum
» yang tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pembagian Hukum Pidana Khusus
» yang tercantum di dalam perundang-undangan di luar KUHP.
BAB II
SEJARAH SINGKAT HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Zaman VOC
Menurut Utrecht, hukum yang berlaku didaerah yang dikuasai oleh VOC ialah :
1) Hukum statute yang termuat didalam: Statuten van Batavia
2) Hukum Belanda kuno
3) Asas-asas hukum Romawi
Hubungan hukum Belanda yang kuno dengan statute itu ialah sebagai pelengkap, jika
statuta tidak dapat menyelesaikan masalah, maka hukum Belanda kuno yang diterapkan,
sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak (Slaven recht).
B. Zaman Hindia Belanda
KUHP yang berlaku bagi golongan Bumiputera juga saduran dari KUHP yang
berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada KUHP 1918
pun, pidananya lebih berat daripada KUHP 1886. Oleh karena itu, perlu pula ditinjau secara
sekilas lintas perkembangan kodifikasi di Negeri Belanda.
Kitab Undang-Undang 1809 memuat ciri-ciri modern didalamnya menurut Vos, yaitu :
1) Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim didalam pemberian pidana
2) Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja
3) Penghapusan perampasan umum
Berlakunya KUHP baru di Negeri Belanda pada tahun 1886, dipikirkanlah oleh
pemerintah Belanda bahwa KUHP di Hindia Belanda yaitu tahun 1866 dan 1872 yang
banyak persamaannya dengan code penal Perancis, perlu diganti dan disesuaikan dengan
KUHP baru Belanda tersebut.
C. Zaman Pendudukan Jepang
WvS tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang. Hal ini didasarkan pada Undang-
Undang (Osamu Serei) Nomor 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942
sebagai peraturan peralihan Jawa dan Madura.
D. Zaman Kemerdekaan
Keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi
kemerdekaan. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945
mengatakan : “Segala badan Negara dan peraturan yang masih ada masih berlangsung
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
E. Rancangan KUHP Baru
Tahun 1981-1982 konsep Rancangan Buku I telah diselesaikan dalam arti masih
kasar. Pada tahun 1982, diadakanlah Lokakarya di BABINKUMNAS membahas rancangan
tersebut. Sesudah itu, terus menerus Tim berkumpul untuk memperhalus rumusan Rancangan
Buku I sampai tersebut, dan menyusun Rancangan Buku II sampai tahun 1985. Pada tahun
1985 itu, diadakanlah Lokakarya lagi ditempat yang sama untuk membahas Buku II.
BAB III
TEORI-TEORI TENTANG HUKUM PIDANA
A. Pengertian
Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan hukum
perdata. Dalam gugatanperdata pada umumnya, pertanyaan timbul mengenai berapa besar
jika ada, tergugat telah merugikan penggugat dan kemudian pemulihan apa jika ada yang
sepadan untuk mengganti kerugian penggugat. Dalam perkara pidana sebaliknya, seberapa
jauh terdakwa merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada terdakwa
karena telah melanggar hokum (pidana).
Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu memperbaiki pembuat.
Jika seorang anak dimasukkan ke pendidikan paksa maksudnya ialah untuk memperbaiki
tingkah lakunya yang buruk.
B. Tujuan Pidana
Dalam literatur berbahasa Inggris, tujuan pidana biasa disingkat dengan tiga R dan
satu D. tiga R itu ialah Reformation, Restraint, dan Retribution, sedangkan satu D ialah
Deterrence, yang terdiri atas individual deterrence dan general deterrence (pencegahan
khusus dan pencegahan umum).
Reformation berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan
berguna bagi masyarakat.
Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Dengan tersingkirnya
pelanggar hokum dari masyarakat, berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman.
Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan.
Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual
maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan
kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18, dianut antara lain oleh Immanuel
kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak, dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya
pada filsafat katolik dan sudah tentu juga sarjana Hukum Islam yang mendasarkan teorinya
pada ajaran kisas dalam Al-Qur‟an.
Teori kedua ialah Herbart yang mengikuti Aristoteles dan Thomas Aquino yang
mengatakan bahwa, apabila kejahatan tidak dibalas dengan pidana, maka timbullah perasaan
tidak puas. Memidana penjahat adalah suatu keharusan menurut estetika.
Teori ketiga adalah Hegel yang mengatakan bahwa etika tidak dapat mengizinkan
berlakunya suatu kehendak subjektif yang bertentangan dengan hukum.
Teori keempat, pertama kali dikemukan oleh Heymans yang diikuti oleh Kant,
Rumelin, Nelson, dan Kranenburg. Asas persamaan hokum yang berlaku bagi semua
anggota masyarakat menuntut suatu perlakuan menurut hokum yang sama terhadap setiap
anggota masyarakat.
Teori kelima dikemukakan oleh Heymans yang mengatakan bahwa keperluan untuk
membalas tidak ditujukan kepada persoalan: apakah orang lain mendapat bahagia atau
penderitaan, tetapi keperluan untuk membahas itu ditujukan kepada niat masing-masing
orang.
Teori yang keenam diperkenalkan oleh Leo Polak sendiri, berpangkal pada etika.
Menurut etika Spinoza, tiada seorangpun boleh mendapatkan keuntungan, karena suatu
perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya (nemalis expeidiat esse malos).
BAB IV
RUANG LINGKUP KEKUATAN BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
A. Asas Legalitas
Asas legalitas tercantum didalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Kalau kata-katanya yang asli
didalam bahasa Belanda disalin kedalam bahasa Indonesia kata demi kata, maka akan
berbunyi: “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana, selain berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya (Nullum Delictum Nulla Poena
Sine Praevia Legi Poenali).
Asas ini tercantum juga didalam Hukum Acara Pidana (Pasal 3 KUHP/Pasal 1
RKUHP) yang mirip dengan pasal 1 Strafvordering (KUHAP) Belanda, yang berbunyi:
“Strafvordering heft allen plaats op de wijze, bij de wet voorzien” (Hukum Acara Pidana
dijalankan hanya menurut cara yang ditentukan Undang-Undang).
Dasar pemikiran asas legalitas menurut Klaas Rozemond ialah :
1. Adanya kepastian hukum (rechtszekerheid)
2. Legitimasi demokratis (democratische legitimatie)
B. Penerapan Analogi
KUHP RRC mengenal juga analogi yang tercantum didalam pasal 79 KUHP RRC
yang berbunyi: “jika suatu kejahatan tidak diatur secara tegas didalam ketentuan Khusus
Undang-Undang ini, tetapi harus diajukan kepada Mahkamah Agung Rakyat untuk
disetujui”. Jadi, analogi diperkenankan, tetapi harus diperkuat oleh Mahkamah Agung.
Penerapan analogi menurut Hermann Mannheim, tidak menunjukkan suatu Negara
demokratis atau totaliter, karena KUHP Italia Fascist 1930 tegas melarang analogi,
sedangkan Negara demokrasi seperti Denmark menerima analogi. Jerman Timur (dulu) juga
menganut asas legalitas dan melarang analogi.
Penerapan analogi hanya diizinkan kata Pompe, jika ditemukan adanya kesenjangan
didalam Undang-Undang yang tidak dipikirkan (hal-hal yang dilupakan) atau tidak dapat
dipikirkan (hal-hal baru) oleh pembuat Undang-Undang dan karena itu Undang-Undang tidak
merumuskan lebih luas, sehingga meliputi hal-hal itu didalam teksnya.
Sebagai suatu kesimpulan, dapat dikatakan bahwa memang ada kekhawatiran dengan
memakai analogi asas legalitas dibahayakan. Hal ini dapat dilihat pada zaman Hitler. Tetapi
jika yang dimaksud adalah penerapan analogi secara terbatas dalam arti sama dengan
penafsiran ekstensif, sebagai contoh arrest aliran listrik, dan sekarang ini delik-delik
dibidang computer, maka sebenarnya masalah yang diperdebatkan hanya secara teoritis yang
hasilnya sama saja.
C. Hukum Transitoir (Peralihan)
Asas dasar bahwa hukum pidana tidak berlaku surut sebagaimana tercantum didalam
Pasal 1 ayat 1 KUHP, dibatasi dengan kekecualian yang tercantum didalam ayat 2 pasal itu.
Ayat 2 itu berbunyi: “Apabila perundang-undangan diubah setelah waktu perbuatan
dilakukan, maka terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan
baginya”.
Perubahan, berarti perubahan rumusan delik dan atau kualifikasi seperti perubahan
ancaman pidana. Termasuk juga perubahan rumusan ketentuan umum dalam concreto,
misalnya perubahan ketentuan percobaan, penyertaan dan gabungan delik. Semua ini untuk
keuntungan terdakwa. Tentang perubahan perundang-undangan mengenai dapatnya dituntut
(pengaduan, lewat waktu, kekuasaan kehakiman ada dua putusan yang sangat baru, yaitu
H.R. 16 Maret 1993 rolnr 93.619 dan H.R. 23 Maret 1993, N.J. 1993,722).
Ketentuan ini logis, karena pasal 1 ayat 1 pun yang memuat asas Undang-Undang
tidak berlaku surut itu bermaksud untuk melindungi kepentingan orang-orang dari perbuatan
sewenang-wenang penguasa. Dengan sendirinya, ketentuan seperti tersebut dimuka,
bermaksud senada dengan itu. Jangan sampai peraturan yang kemudian keluar yang lebih
berat dapat dikenakan kepada terdakwa. Tetapi kalau menguntungkan justru diberlakukan.
Kemungkinan berlakunya Undang-Undang yang baru (yang diundangkan kemudian
dari perbuatan) merupakan kekecualian juga dari asas yang berlaku umum, bahwa Undang-
Undang yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan (lex temporis delicti) yang diterapkan.
Ada Negara yang tidak menentukan secara tegas hal semacam ini, seperti Perancis, tetapi
yurisprudensi menganutnya. Beberapa KUHP asing seperti: Thailand, Korea, dan Jepang
menentukan bahwa ketentuan tentang perubahan perundang-undangan yang menguntungkan
terdakwa berlaku pula kepada terpidana (pidana penjara dapat dikurangi).
D. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Ruang, Tempat, dan Orang
Pasal 2 KUHP
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap
orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.
Ketentuan pasal diatas menunjukkan bahwa, tindak pidana yang terjadi di wilayah
Indonesia (baik di daratan, lautan maupun udara) maka akan dikenakan aturan hukum pidana
Indonesia baik itu dilakukan oleh warga Negara atau warga asing.
Asas
Hukum
Pidana
Asas Teritorialitas
Asas Perlindungan
atau
Asas Nasional Pasif
Asas Personalitas
atau
Asas Nasional Aktif
Asas Universalitas
1. Asas Teritorialitas
Pasal 3 KUHP
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang
yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau
pesawat udara Indonesia.
Ketentuan pasal diatas merupakan perluasan dari Asas Teritorialitas Pasal 2 KUHP.
Dan menunjukkan bahwa :
a) Jika kendaraan/pesawat tersebut berada dilaut lepas yang berlaku adalah ketentuan
pidana Indonesia.
b) Jika seorang yang berada diatas kendaraan/pesawat tersebut sedang berlabuh di
tempat asing melakukan suatu tindak pidana, oleh penguasa asing belum dituntut,
maka sekembalinya ke Indonesia petindak tersebut dapat dituntut, tetapi jika sudah
selesai secara juridis maka berlaku asas “nebis in idem”.
c) Sebaliknya jika ada seseorang asing yang berlabuh/mendarat kendaraan/pesawat di
Indonesia melakukan tindak pidana dapat dituntut sesuai ketentuan pidana Indonesia.
Pasal 4 KUHP
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap
orang yang melakukan di luar Indonesia :
(1) Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131;
(2) Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara
atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan
oleh Pemerintah Indonesia;
(3) Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas
tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia termasuk pula pemalsuan
talon, tanda deviden atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan
tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat-
surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak pals.
2. Asas Perlindungan atau Nasional
Pasif
(4) Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446
tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada
kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara
secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n dan o tentang kejahatan yang
mengancam keselamatan penerbangan sipil.
Ketentuan pasal diatas mengutamakan pada hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan suatu negara, atau dengan kata lain yang diutamakan adalah keselamatan
kepentingan suatu negara. Sehingga asas ini dinamakan „asas perlindungan‟
(beschermingsbeginsel). Inti dari pasal di ats mengenai :
- Ketentuan Hukum Pidana Indonesia dapat diberlakukan terhadap WNI maupun WNA
baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia untuk melindungi kepentingan hukum
Indonesia, seperti yang disebut Pasal 4 KUHP.
- Pasal 4 KUHP adalah jenis kejahatan yang mengancam kepentingan hukum Indonesia
yang mendasar, berupa keamanan, dan keselamatan negara, perekonomian Indonesia,
serta sarana dan prasarana angkutan Indonesia.
Pasal 5 KUHP
(1) Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga
Negara yang di luar Indonesia melakukan :
Ke-1 : Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan
Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451.
Ke-2 : Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut
perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan
pidana.
(2) Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika
terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan.
Ketentuan pasal diatas menunjukkan bahwa, bagi warga negara yang melakukan
tindak pidana di luar wilayah Indonesia menyangkut pasal-pasal yang tertera pada ayat (1)
Pasal 5 KUHP, maka pelakunya akan dituntut menurut aturan hukum pidana Indonesia oleh
3. Asas Personalitas atau Nasional
Aktif
pengadilan Indonesia. Kepentingan nasionalnya disini terlihat agar pelaku tindak pidana yang
warga negara Indonesia itu, walaupun peristiwanya terjadi di luar negara Indonesia, tidak
diadili dan dikenakan hukuman dari negara tempat terjadinya peristiwa hukum atau
perbuatan pidana itu dilakukan. Inti dari asas ini, yaitu :
- Bergantung atau mengikuti subyek hukum atau orangnya yakni warga negara di manapun
keberadaannya (Nasional Aktif).
- Asas ini tidak dapat diterapkan pada semua tindak pidana.
- Diatur dalam Pasal 5 KUHP dan diperluas Pasal 5 ayat (2), diperlunak Pasal 6, diatur
lebih lanjut dalam Pasal 7 dan Pasal 8 KUHP.
Pasal 6 KUHP
Berlakunya pasal 5 ayat 1 butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan
pidana mati, jika menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan,
terhadapnya tidak diancamkan pidana mati.
Tertonjolkannya asas personalitas dalam pasal 5 dan 6 KUHP, jelas ditentukan secara
tegas bahwa subyeknya adalah warga negara Indonesia. Perbedaan antara pasal 5 ayat 1 ke-1
dengan sub ke-2 ialah bahwa tersebut dalam sub ke-1 tidak dipersoalkan apakah tindakan itu
merupakan tindak pidana atau tidak diluar negeri yang bersangkutan.
Pasal 7 KUHP
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat
yang di luar Indonesia melakukan salah-satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan
dalam Bab XXVIII Buku Kedua.
Ketentuan pasal diatas memperluas asas personalitas yaitu walaupun pegawai negeri
Indonesia (seseorang yang diangkat oleh penguasa umum dan ditetapkan untuk melakukan
suatu tugas umum yang merupakan sebagian dari tugas negara atau badan-badan negara)
itu pada umumnya berkewarganegaraan Indonesia, tapi tidak kurang banyaknya yang
berkewarganegaraan asing terutama dikedutaan-kedutaan RI, konsulat RI. Dalam hal ini yang
berkewarganegaraan asing itu lebih diutamakan kepegawaiannya dari pada
kewarganegaraannya.
Pasal 8 KUHP
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakoda dan
penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu melakukan
salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab
IX Buku Ketiga; begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas
kapal Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan.
Ketentuan pasal diatas berlaku jika :
- Tindak pidana diatas perahu
- Petindaknya yang telah ditentukan, yitu nakhoda dan penumpang
- Kepentingan “perahu Indonesia” atau “pelayaran Indonesia” yang harus mendapat
perlindungan
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam
hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal)
adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata
hukum sedunia (hukum internasional).
Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi :
1. Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak
eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka.
2. Duta besar Negara asing beserta keluarganya mereka juga mempunyai hak eksteritorial.
3. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar
kapal. Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang
mempunyainya.
4. Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu.
E. Hukum Pidana Supranasional
4. Asas Universalitas
Bentuk yang paling sempurna berfungsinya hukum pidana supranasional ialah
diterimanya sejumlah peraturan-peraturan supranasional oleh Negara-negara berupa delik-
delik yang mempunyai sifat internasional ditetapkan sebagai dapat dipidana yang
berdasarkan ketentuan umum yang seragam, dipidana oleh Hakim yang supranasional.
1. Pengadilan penjahat perang dunia II
2. Mahkamah criminal internasional untuk Yugoslavia dan Rwanda
BAB V
INTERPRETASI UNDANG-UNDANG PIDANA
A. Pentingnya Interpretasi
Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil yang diapit oleh dua benua
[Asia dan Australia] dan dua samudra [Samudra Hindia dan Samudra Pasifik] dengan
puluhan suku bangsa yang berada adat istiadat, bahasa dan budaya, menyebabkan pentingnya
interpretasi Undang-Undang Pidana, sehingga rumusan delik yang abstrak dapat
diterjemahkan ke dalam keadaan yang konkret.
Penafsir yang paling sesuai dengan ini ialah penafsiran sosiologis atau sesuai dengan
kehidupan masyarakat setempat.
Dalam KUHP sendiri, khususnya Bab IX Buku I, tercantum penafsiran istilah secara
otentik. Ada pakar yang berpendapat, bahwa dengan penafsiran otentik atas suatu kata itu,
sebenarnya Undang-Undang sendiri telah secara tersamar menganut analogi.
Pelaksanaan peradilan pidana ditentukan oleh beberapa factor kata Herman
Mannheim. Faktor-faktor itu, ialah pertama teknik legislative yang dipergunakan untuk
merancang suatu Undang-Undang pidana, yang pada gilirannya akhirnya tergantung kepada
sifat masalah yang akan dipecahkan dengan Undang-Undang tertentu, yang kedua ialah
metode interpretasi yang akan dipergunakan oleh mereka yang dipercayakan melaksanakan
peradilan pidana, ketiga ialah sifat dan latihan pelaksana ini, yang keempat ialah sifat
pemulihan hokum yang menentukan terjaminnya kesatuan pelaksanaan peradilan
pidana.Butir kesatu dan kedua menyangkut hokum substantive, sedangkan yang ketiga dan
keempat menyangkut acara atau prosedur. Di sini, ternyata betapa pentingnya metode
interpretasi yang dipergunakan, sehingga peradilan pidana terlaksana dengan baik.
B. Penemuan Hukum oleh Hakim Pidana
Khusus Indonesia, Pasal 2 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman
mengatakan, bahwa “Hakim sebagai penegak Hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hokum yang hidup dalam masyarakat‟‟. Ini berarti
Hakim harus menemukan hukum.
Menurut pendapat Penulis, bahwa “Hakim menggali hokum yang hidup di dalam
masyarakat‟‟, khususnya bagi hokum pidana tidak dapat dipakai untuk menciptakan hokum
melalui analogi, tetapi melalui interpretasi, hakim Indonesia dapat menerapkan hokum
pidana, sesuai dengan hokum yang hidup di dalam masyarakat.
Dalam hokum perdata, dikenal beberapa jenis interpretasi, yaitu:
a. interpretasi menurut tata bahasa [taalkundige atau grammatical interpretative],
b. penafsiran historis,
c. penafsiran sistematis,
d. penafsiran sosiologis atau teleologis.
Hakim perdata lebih bebas dalam menafsirkan Undang-Undang perdata daripada
Hakim Pidana. Bahkan dalam hokum perdata dikenal analogi dan penafsiran penghalusan
hokum [rechtsverfijning], serta juga penafsiran a contrario.
Mengenai pemakaian penafsiran hokum perdata ke dalam hokum pidana, dapat kit
abaca Jonkers yang menunjuk penafsiran yang tercantum dalam Pasal 1342 dan seterusnya
BW, yang menyatakan bahwa jika kata-kata jelas, maka diapakai kata-katanya yang ada di
situ, jadi bukan maksudnya, jika di nilai kata-katanya tidak jelas dan dapat ditafsirkan
bermacam-macam maka dipakai maksudnya [debedoeling]. Jika dipilih dua macam
pengertian, maka yang dipakai ialah yang dapat dilaksanakan.
Ketentuan Hukum Perdata ini dapat dipakai juga untuk Hukum Pidana kata Jonkers,
dengan alas an kesatuan hokum, karena perjanjian itu berlaku sebagai Undang-Undang, dan
ditunjukkan arrest Hoge Raad yang menerapkan interpretasi ini.
Sebagaimana telah diutarkan di dalam Bab III, dalam Hukum Pidana [Indonesia dan
Belanda] analogi dilarang. Maksudnya ialah analogi dalam arti luas, bukan analogi yang
orang identikkan dengan penafsiran ekstensif atau analogi terbatas.
C. Jenis-jenis Interpretasi Undang-Undang Pidana
Jenis-jenis interpretasi Undang-Undang Pidana yakni terdiri dari :
1
• penafsiran gramatika artinya penafsiran ini berdasarkan kepada kata-kata Undang-Undang. Jika kata-kata
Undang-Undang sudah jelas, maka harus diterapkan sesuai dengan kata-kata itu walaupun seandainya maksud
pembuat Undang-Undang lain.
2
•penafsiran sistematis atau dogmatis, interpretasi ini didasarkan kepada hubungan secara umum
suatu aturan pidana.
3
•penafsiran historis [historia legis]. Penafsiran ini didasarkan kepada maksud pembuat Undang-
Undang ketika diciptakan.
4
•penafsiran teleologis. Penafsiran ini mengenai tujuan Undang-Undang. Ada kritikan terhadap metode
interpretasi berdasarkan tujuan Undang-Undang ini, yaitu jika melampaui kata-kata Undang-Undang.
5
•penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran luas. Hal ini telah dibicarakan di Bab III, dengan hubungannya dengan
analogi.
6
•penafsiran rasional [rationeele interpretatie]. Interpretasi ini didasarkan kepada ratio atau akal. Ini sering muncul
dalam Hukum Perdata.
7
•penafsiran antisipasi [Anticeperende interpretatie]. Interpretasi ini didasarkan kepada Undang-Undang baru yang
bahkan belum berlaku.
8
•penafsiran perbandingan hukum. Interpretasi ini didasarkan kepada perbandingan hokum yang berlaku di
berbagai Negara.
9
•penafsiran kreatif [creatieve interpretatie]. Interpretasi ini berlawanan dengan interpretasi ekstensif, di sini
rumusan delik dipersempit ruang lingkupnya.
10
•penafsiran tradisionalistik [traditionalistiche interpretatie]. Dalam hokum pun ada tradisi yang kadang-kadang
tersembunyi dan kadang-kadang jelas.
11
•penafsiran harmonisasi [harmoniserende interpretatie]. Interpretasi ini didasarkan kepada harmoni suatu
peraturan dengan peraturan yang lebih tinggi.
12
•penafsiran doktriner [doctrinaire interpretatie]. Interpretasi ini didasarkan kepada doktrin.
13
•Interpretasi sosiologis, yang berdasarkan dampak waktu [zaman]. Interpretasi inilah yang mestinya sering
dipergunakan di Indonesia, agar unifikasi hokum pidana dapat menjangkau semua golongan etnik yang beraneka
ragam. Juga perkembangan kemajuan zaman.
BAB VI
PERBUATAN DAN RUMUSAN DELIK
A. Pengertian Delik
Hukum pidana Belanda memakai istilah Stratbaarfeit,kadang-kadang juga delict yang
berasal dari bahasa latin delictum.Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada WVS
Belanda,maka istilah aslinyapun sama yaitu Strafbaarfeit.Timbulah masalah dalam
menerjemahkan istilah strafbaarfeit itu kedalam bahasa Indonesia.
Moeljatno menolak istilah peristiwa pidana,karena katanya peristiwa itu adalah
pengertian yang komplit yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu
saja,misalnya matinya orang.Hukum pidana tidak melarang orang mati,tetapi melarang
adanya orang mati karena perbuatan orang lain.
Di negeri belanda dipakai diistilah feit dengan alasan bahwa istilah itu tidak meliputi
hanya perbuatan atau handelen,tetapi juga pengabaian atau nalaten.Pemakaian istilah feit itu
disana dikritik oleh Van Der Hoeven,karena katanya yang dapat dipidana ialah
pembuat,bukan feit itu.Senada dengan itu,Van Hamel mengusulkan istilah Strafwaardigfeit
(Strafwaardige artinya patut dipidana).Oleh karena itu Hazewinkle Suringa mengatakan
istilah delict kurang dipersengketakan,hanya karena istilah “Strafbaarfeit” itu telah biasa
dipakai.
B. Rumusan Delik
Simons yang merumuskan bahwa Strafbaarfeit ialah kelakuan yang diancam dengan
pidana yang bersifat melawan hokum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan
oleh orang ang ampu bertanggung jawab.Jonkers dan Utrech memandang rumusan simons
merupakan rumusan yang lengkap,yang meliputi:
a) Diancam dengan pidana oleh hukum
b) Bertentangan dengan hukum
c) Dilakukan oleh orang yang bersalah
d) Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
Van Hamel merumuskan delik atau Strafbaarfeit itu sebagai berikut.”Kelakan
manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang,melawan hukum,yang patut dipidana dan
dilakukan dengan kesalahan.
Simons,Van Hamel dan Vos semuanya merumuskan delik atau strafbaarfeit itu secara
bulat,tidak memisahkan antara perbuatan dan akbatnya disatu pihak dan pertanggung
jawaban dilain pihak. A.Z.Abidin menyebut cara perumusan delik seperti ini sebagai aliran
monistis tentang delik.Yang lain,yaitu yang memisahkan antara perbuatan dan akibatnya
disatu pihak dan pertanggung jawaban dilain pihak sebagai aliran dualistis.Memang di
Inggris dipisahkan antara perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam pidana
(actusreus) disatu pihak dan pertanggungjawaban (mensrea) dilain pihak. A.Z.Abidin
member contoh rumusan demikian seperti dibuat oleh Clark Marshall yang member batasan
delik atau crime.
Yang dilarang ialah perbuatan (termasuk pengabaian) dan yang diancam dengan
pidana ialah orang yang melakukan perbutan atau pengabaian itu. Hazewinkle-Suringa
menulis bahwa sesuai berfungsinya system undang-undang pidana belanda,lebih baik
dikatakan suatu kelakuan manusia (yang meliputi perbuatan dan pengabaian).Yang
memenuhi rumusan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana.
Jadi meskipun yang memisahkan antara Actus reus pada kalimat pertama dan
Mensrea pada kalimat kedua,ia tidak memisahkan secara tajam antar keduanya.Yang pertama
bersifat konkrit,dan yang kedua bersifat umum.Ia menunjuk putusan Hooge Raad 1946,N.J.
1946 No.548,mengenai “Melawan Hukum” sebagai dapatnya dipidana (Strafbaarfeit) suatu
perbuatan.
C. Perbuatan dan Rumusan Delik dalam Undang-Undang
Telah dikemukakan dimuka,bahwa hokum pidana belanda selalu memakai istilah
feit.Seperti dikemukakan Hazewinkle Suringa dimuka,sebabnya karena dimaksudkan bukan
saja karena perbuatannya yang positif atau dengan melakukan sesuatu,tetapi juga pengabaian
atau dengan tidak melakukan sesuatu.
Van Bemmelen member contoh bahwa WVS Belanda pada umumnya memakai
istilah feit seperti dasar peniadaan pidana (Strafuitsluitings grond), pasal 44-52 KUHP,semua
dimulai dengan “tidak diancam dengan pidana barang siapa yang melakukan perbuatan (feit).
Juga tentang gabungan delik (Samenloop),dilakukan suatu perbuatan (feit) yang jatuh dalam
lebih dari satu ketentuan pidana (pasal 63 KUHP) dan tentang lebih banyak “Perbuatan”
(Feiten) pasal 65-71 KUHP.Sekali-kali dipakai juga istilah handelen.Pasal 65-75 KUHP.
Code Penal memakai infraction yang terbagi atas crimes (kejahatan),delict (kejahatan
ringan).Hukum pidana inggris memakai istilah act dan lawannya omission.Menurut pendapat
penulis,act itu dapat dibaca “tindakan” dan omission dibaca “pengabaian”.
Oleh karena itulah,menurut pendapat penulis inilah tidak tepatnya istilah “tindak
pidana” itu,karena “tindak” pasti hanya meliputi perbuatan positif dan tidak meliputi
“pengabaian” (naleten).Seorang penjaga pintu jalan kereta api yang tidak menutup pintu jalan
tersebut tidak dapat dikatan “bertindak” karena ia hanya pasif saja tidak berbuat apa-apa.
D. Cara Merumuskan Delik
Pada umumnya rumusan suatu delik berisi “Bagian Inti” (Bestand delen) suatu
delik.Artinya, bagian-bagian inti tersebut harus sesuai dengan perbutan yang dilakukan,
barulah seseorang diancam dengan pidana.banyak penulis menyebut ini sebagai unsur
delik.tetapi di sini,tidak dipakai istilah “Unsur Delik‟‟, misalnya delik pencurian terdiri dari
bagian inti (Bestand delen):
1. Mengambil
2. Barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
3. Dengan maksud memiliki
4. Melawan hukum
Didalam rumusan ini terdapat bagian inti “sengaja‟‟, karena ada delik menghilangkan
nyawa orang lain yang dilakukan dengan kealpaan (Culpa), yaitu pasal 359 dan 361 KUHP.
E. Pembagian Delik
Delik ini dapat dibedakan atas berbagai pembagian tertentu, seperti berikut ini :
a. Delik kejahatan dan delik pelanggaran (misdrijven en overtredingen)
b. Delik Materiel dan delik formel (materiel en formele delicten)
c. Delik komisi dan delik omisi (commissiedelicten en omissiediedelicten)
d. Delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan (zelfstandige en voort gezette
delicten)
e. Delik selesai dan delik berlanjut (aflopende en voortdurende delicten)
f. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samengestelde delicten)
g. Delik bersahaja dan delik berkualifikasi (eenvoudige en gequalificeerde delicten)
h. Delik sengaja dan delik kelalaian atau culpa (doleuse en culpose delicten)
i. Delik politik dan delik komun atau umum (politieke en commune delicten)
j. Delik propria dan delik komun atau umum (delicta propria en commune delicten)
k. Delik – delik dapat dibagi juga atas kepentinganhukum yang dilindungi, seperti delik
terhadap keamanan negara, delik terhadap orang, delik kesusilaan, delk terhadap benda
dan lain-lain.
l. Untuk Indonesia, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 284,
dikenal pula delik umum dan delik khusus, seperti delik ekonomi, korupsi, teroroisme,
dan lain-lain.
Pembagian delik tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
1. Delik kejahatan dan pelanggaran : Delik ini muncul di dalam WvS (KUHP) Nederland
tahun 1986, yang kemudian turun ke WvS (KUHP) Indonesia tahun 1918. Pembagian
delik atas kejahatan dan pelanggaran di dalam Ned WvS 1886 dan WvS (KUHP)
Indonesia 1918 itu menimbulkan perbedaan secara teoritis. Sering disebut kejahatan
sebagai delik hukum, artinya sebelum hal itu diatur di dalam undang-undang, sudah
dipandang sebagai seharusnya dipidana (strafwaardig), sedangkan pelanggaran sering
disebut sebagai delik undang-undang, artinya barulah karena tercantum di dalam undang-
undang menyatakan sebagai dapat dipidana. Pasal itu misalnya Pasl 489 (Artikel 424
Ned.WvS, kenakalan terhadap orang atau barang sehingga dapat mendatangkan bahaya
atau kerugian atau kerusakkan), Pasal 490 (Artikel 425 Ned WvS), yaitu perbuatan
menggalakan hewan terhadap orang, Pasal 506 (Artikel 432 ayat 3 Ned WvS), yaitu
muncikari. Secara Kuantitatif pembuat undang-undang membedakan delik kejahatan dan
pelanggaran itu :
1. Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan – perbuatan yang merupakan
kejahatan di Indonesia
2. Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tidak dipidana
3. Pada pemidanaan atau pemidanaan terhadap anak di bawah umur tergantung pada
apakah itu kejahatan atau pelanggaran
1. Pada delik materiel, disebutkan adanya akibat tertentu, dengan atau tanpa menyebut
perbuatan tertentu. Pada delik formel, disebut hanya satu perbuatan tertentu sebagai dapat
dipidana misalnya Pasal 160, 209, 242, 263, 362 KUHP. Van Hamel keberatan adanya
perbedaan hakiki antara keduanya. Pada delik formel pun ada akiibat pada dunia luar,
yaitu mengenai waktu dan tempat perbuatan sering dapat dibedakan. Misalnya
penghinaan dengan telepon. Oleh karena itu ia hanya mau berbicara tentang delik dengan
perumuan formel atau materiel.
2. Delik komisi (delicta commissionis) ialah delik yang dilakukan dengan perbuatan. Ini
dapat berupa delik yang dirumuskan secara materiel maupun formel. Di sini orang
melakukan perbuatan aktif dengan melanggar larangan. Delik omisi dilakukan dengan
membiarkan atau mengabaikan . Dibedakan antara delik omisi yang murni dan yang tidak
murni. Delik omisi yang murni ialah membiarkan sesuatu yang diperintahkan. Ini selalu
mengenai delik yang dirumuskan secara formel. Misalnya pasal-pasal 164, 224, 522, 511,
KUHP. Yang kedua ialah delik omisi yang tidak murni yang disebut delicto
commisionisper omissionem. Delik ini terjadi jika oleh undang-undang tidak dikehendaki
suatu akibat (yang akibat itu dapat ditimbulkan dengan suatu pengabaian). Misalnya
Pasal 338 KUHP yang dilakukan dengan jalan tidak memberi makan.
3. Mengenai delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan, dapat dibaca pada uraian
gabungan delik atau perbarengan (samenloop)
4. Delik yang selesai ialah delik terjadi dengan melakukan sesuatu atau beberapa perbuatan
tertentu. Delik yang berlangsung terus ialah delik yang terjadi karena meneruskan suatu
keadaan yang dilarang. Misalnya Pasal 169, 250 KUHP, Pasal 333 KUHP berisi baik
delik selesai (merampas kemerdekaan) dan delik yang berlangsung terus (karena tetap
merampas kemerdekaan).
5. Delik berangkai berarti suatu delik yang dilakukan dengan lebih dari satu perbuatan
untuk terjadinya delik itu. Van Hamel menyebut ini sebagai delik kolektif. Contoh yang
paling utama, ialah delik yang dilakukan sebagai kebiasaan. Seperti Pasal 269 KUHP.
Kata Van Hamel, pada delik yang dilakukan sebagai kebiasaan, tiap-tiap perbuatan pada
dirinya sendiri tidak dipidana. Kata Vos, tidak sepenuhnya tepat. Pasal 481 KUHP
merupakan delik yang dilakukan sebgaia kebiasaan, tetapi tiap-tiapperbuatan merupakan
delik lain yaitu Pasal 480 KUHP. Dari delik kolektif, dibedakan delik sebagai pekerjaan
(beroeps delict). Di sini dengan satu perbuatan sudah cukup. Meskipun di sini dimaksud
sebagai pekerjaan.
6. Delik berkualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai semua unsur bentuk dasar, tetapi
satu atau lebih keadaan yang memperberat pidana (tidak menjadi soal apakah itu
merupakan unsur atau tidak), misalnya pencurian dengan membongkar, penganiayaan
yang mengakibatkan kematian. Sebaliknya ialah delik ber-privilege, bentuk khusus yang
mengakibatkan keadaan-keadaan pengurangan pidana (tidak menjadi soal apakah itu
unsur ataukah tidak), dipidana lebih ringan dari bentuk dasar, misalnya pembunuhan anak
sendiri karena takut ketahuan melahirkan, dipidana lebih ringan dari pembunuhan biasa.
7. Delik yang dilakukan dengan sengaja dan delik kelalaian (culpa) penting dalam hal
percobaan, penyertaan, pidana kurungan, pidana perampasan. Unsur-Unsur delik yang
diliputi culpa: Seseorang dapat dikatakan mempunyai culpa di dalam melakukan
perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan perbuatannya tanpa disertai ”de
nogide en mogelijke voorzichtigheid en oplettendheid” atau tanpa disertai kehati-hatian
dan perhatian seperlunya yang mungkin ia dapat berikan. Oleh karena itu maka menurut
Profesor SIMONS, culpa itu pada dasrnya mempunyai dua unsurmasing-masing ”het
gemis aan voorzichtigheid” dan ”het gemis van de voorzienbaarheid van het gevoig” atau
masing-masing ”tidak adanya kehati-hatian” dan ”kurangnya perhatian terhadap akibat
yang dapat timbul.
8. Delik politik dibagi atas : yang murni, yaitu tujuan politikyang hendak dicapai yang
tercantum dalam Bab 1 Buku II, seperti Pasal 107 KUHP. Di dalam konperensi hukum
pidana di Kopenhagen 1935 diberikan definisi tentang delik politik sebagai berikut :
”Suatu kejahatan yang menyerang baik organisasi, maupun fungsi-fungsi negara dan juga
hak-hak warga negra yang bersumber dari situ”. Delik politik campuran, setengah delik
poliotik setengah delik komun (umum) seperti pembunuhan seorang tiran. Di sini
pembunuhan politik.
9. Dengan Delicta propria diartikan delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
yang mempunyai kualitas tertentu, seperti delik jabatan, delik militer, dan sebagainya.
10. Lihat judul-judul bab pada Buku II KUHP
F. Waktu dan Tempat Terjadinya Delik (Tempus et Locus Delicti)
Delik dilakkan di saat tertentu dan di tempat tertentu. Saat itu dapat berupa jangka
waktu tertentu, seperti pelanggaran terhadap larangan parkir, penyanderaan (perempasan
kemerdekaan). Dalam surat dakwan harus dicantumkan waktu dan tempat terjadinya delik
(temous et locus delict). Dalam rangka pembelaan diri terdakwa perlu mengetahui kapan dan
di mana perbuatan yang didakwakan itu terjadi. Suatu delik ada masa lewat waktunya untuk
menuntut (verjaard)
Sering pula rumusan delik sendiri menunjukkan kapan delik itu dilakukan, seperti
pencurian pada waktu malam di sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya
(Pasal 363 ayat (1) ke 3 KUHP.
Ada lima hal yang waktu menentukan terjadinya delik :
1. Menyangkut berlakunya hukum pidana (Pasal 1 ayat 1 KUHP)
2. Berlakunya peradilan anak, apakah anak itu sudah dewasa pada saat melakukan delik
ataukah belum
3. Menyangkut ketentuan residive (apakah pengulangan delik atau gabungan/concursus)
delik
4. menyangkut lewat waktu (verjaring)
5. Rumusan delik sendiri menetukan, pencurian pada waktu malam, pencurian pada waktu
banjir, gempa dan seterusnya.
Tidak disebut mengenai tempat terjadinya delik atau locus delicti. Hal ini diserahkan
kepada ilmu pengetahuan dan yurisprudensi untuk menjawabnya.
Penting tempat terjadinya delik ditentukan karena :
1. Menyangkut kompetensi relatif hakim
2. Berlakunya KUHP Indonesia (Pasal 2-8 KUHP)
3. Ada delik yang menetukan di tempat tertentu, misalnya di muka umum.
4. Tempat0tempat yang terbatas berlakunya suatu ketentuan pidana. Misalnya peraturan
daerah yang hanya berlaku di wilayahnya sendiri.
5. Tempat menjadi bagian rumusan delik misalnya seperti tersebut di muka pencurian di
sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya. Kejahatan yang
dilakukan di atas kapal laut atau udara dan lain-lain.
Menurut Cleiren & Nijboer, et al., ada 4 (empat)teori mengenai locus delicti, yaitu:
1. Ajaran perbuatan badan (de leer van lichamelijke gedraging). Ajaran ini cocokuntu delik
dengan rumusan formel, yang terjadinya akibat bukan bagian inti (bestanddeel) delik.
Misalnya pada delik pencurian (HR 8 Februari 1926 NJ. 1926, 285)
2. Ajaran yang kedua disebut ajaran instrumen atau alat (de leer vanhet instrument). Ajaran
ini berkaitan dengan delik yang dilakukan dengan sebuah alat seperti senapan, racun,
bom, dll. Ajaran ini mengatakan bahwa locus delicti ialah tempat bekerjanya alat itu. Jika
A mengirim pesan melalui internet dari Singapura ke Jakarta untuk menipu, maka Jakarta
adalah locus delictinya
3. Ajaran ketiga disebut ajaran terciptanya akibat (de leer van constitutieve gevolg). Locus
delicti berdasarkan ajaran ini ialah tempat delik menjadi sempurna dengan terjadinya
akibat. Ajaran ini hanya berlaku jika akibat tertentu menjadi bagian inti (bestanddeel)
seperti pembunuhan (moord;murder;mord). Ajaran ini sering jatuh bertepatan dengan
ajaran instrumen, misalnya pembunuhan dengan bom surat. Akan tetapi sering juga tidak
demikian, misalnya seseorang mengirim bom surat dari Keulen ( Jerman) ke Breda
(Nederland) dan meledak di situ, tetapi korbandilarikan ke rumah sakit Antwerpen
(Belgia) dan dia mati di sana. Dengan demikian, Antwerpen (Belgia) menjadi locus
delicti. Oleh karena faktor kebetulan memainkan peran dalam teori ini maka kurang
diperhatikan oleh literartur.
4. Ajaran yang keempat disebut ajaran ”terjadi di mana-mana” (ubiquiteitsleer) kata-kata
”atau”. Diganti dengan ”dan”, ”dan” (HR 4 Februari 1958, NJ. 1958, 294). Hoge Road
mengakui secara eksplisit pada 6 April 1954, NJ. 1954, 368, dimungkinkannya lebih dari
satu locus delicti yang berarti berlebihan untuk mencari locus delicti yang sebenarnya
yang mnyampingkan semua yang lain. Tempat berita dan dokumen dari penipu diterima
oleh korban harus dipandang sebagai tempat bersama locus delicti. Selanjutnya HR
tanggal 4 Februari 1958, 294; memutuskan tempat surat penghinaan dikirim dan tempat
orang yang dihina menerimanya sebagai locus delicti. Lebih lanjut, HR 27 April 1993,
NJ. 1993, 744; memutuskan bahwa delik dilakukan di tempat-tempat secara bersama di
mana bilyet pemberitahuan diserahkan. Di Jerman ajaran ini sudah masuk ke dalam
KUHP (STGB) Part 9.
Dalam hal delik omisi locus delicti ialah tempat perbuatan yang diabaikan itu
seharusnya dilakukan (HR 19 April 1940, NJ. 1940, 805). Tempat- tempat itu sering
merupakan kebetulan.
Penyertaan seperti pemancingan (uitlokking), membuat orang lain melakukan (doen
plegen) dan pembantuan mengenal locus delictinya sendiri. Misalnya dalam kasus
penyerbuan kantor PDI pada tanggal 27 Juli 1996, tempat pemancingan untuk melakukan
penyerbuan di tempat lain, tetapi locus delicti penyerbuan ialah di Jl. Diponegoro.
BAB VII
KESALAHAN DALAM ARTI LUAS DAN MELAWAN HUKUM
A. Sengaja
“Sengaja” (opzet) berarti De (Bewuste) richting van den wil open bepaald misdrijven,
(Kehendak yang disadari yang ditunjukan untuk melakukan kejahatan tertentu). Kemudian perlu
dikemukakan tentang adanya teori-teori tentang sengaja itu. Pertama-tama ialah yang disebut teori
kehendak. Menurut teori ini, maka “kehendak” merupakan akikat sengaja itu. Bantahan dari teori
kehendak adalah teori membayangkan teori dikemukakan oleh frank dalam tulisan Ueber den
Aufbau des Schulbegriffs, ia mengatakan secara Piskologis, tidak mungkin suatu akibat dapat
dikehendaki
B. Kelalaian ( Culpa)
Van Hamel membagi Culpa atas dua jenis: Kurang melihat ke depan yang perlu, kurang
pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.
Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib hati-
hati.
Tetapi Memori mengatakan, bahwa kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan.
Bagaimana pun juga culpa itu dipandang lebih ringan disbanding sengaja. Dikenal juga di
Negara Anglo-Sexson. Disebut dalam pembunuhan pada pasal 359 KUHP.
C. Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana
Dalam pengertian hokum pidana dapat disebut cirri atau unsure kesalahan dalam arti
yang, yaitu: Dapatnya dipertanggung jawabkan pembuat. Tidak adanya dasar peniadan pidana
yang menghapus dapatnya dipertanggung jawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
Adanya kaitan piskis antara pembuat dan perbuatan yang adanya sengaja atau kesalahan
dalam arti sempit (Culpa).
D. Melawan Hukum
Melawan hukum Formil diartikan bertentangan dengan Undang-undang apabila suatu
perbutan telah mencocoki rumusan delik, maka biasanya dikatakan telah melawan hukum
secaraFormil.
E. Subsosialitas (subsocialiteit)
Subsosialitas adalah tingkah laku akan penting bagi hukum pidana jika perbuatan itu
mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, walaupun bahaya itu kecil sekali jika tidak ada bahaya
demikian, maka unsur subsosialitas tidak ada.
F. Taatbestandmassikeit dan Wesenchau
Didalam hukum pidana jerman yang diikiuti Zevenbergen di Negeri belanda, diterima
adanya delik dengan syarat Taat bestandmassikeit, yang berarti bahwa semua rumusan delik
tidak perlu semua bagian inti ada. Unsar-unsur seperti melawan hukum dan patutnya sesuatu
perbuatan pidana walaupun semua itu dimasukkan sebagai unsur delik. Sebaliknya, di Jerman
ajaran ini diganti oleh Wesenchau pada tahun 1930. ajaran Wesenchau mirip sekali dengan
ajaran melawan hukum yang materiel. Ini adalah bahwa ajaran sekali pun seuatu perbuatan telah
selesai dengan rumusan delik didalam Undang-undang pidana belumlah otomatis merupakan
suatu delik. Perbuatan pada dasarnya “Pada hakikatnya” merupakan delik sesuai dengan rumusan
delik yang dipandang sebagai delik.
BAB VIII
DASAR PENIADANAAN PIDANA
A. Pengertian
Dasar peniadaan pidana haruslah dibedakan dengan dasar penghapusan penuntutan,
yang pertama ditetapkan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya
perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang
dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat. Dalam hal ini hak
menuntut jaksa tetap ada, namun terdakwa tidak dijatuhkan pidana. Ia harus dibedakan
dengan dipisahkan dari dasar peniadaan penuntutan pidana menghapuskan hak menuntut
jaksa, karena adanya ketentuan undang-undang.
B. Pembagian Dasar Peniadaan Pidana
Dasar peniadaan pidana lazim dibagi dua, yaitu dasar pembenar dan dasar pemaaf :
1. Dasar Pemaaf, unsur-unsur delik sudah terbukti, namun unsur kesalahan tak ada pada
pembuat. Maka terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Dalam hal ini misalnya:
a. adanya ketidakmampuan bertanggungjawab si pembuat (Pasal 44 ayat 1)
b. adanya daya paksa mutlak dan perlampuan keadaan darurat (noodtoestandexces,
Pasal 48)
c. adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodwerexes, Pasal 49 ayat 2)
d. karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (Pasal 51
ayat 2)
2. Dasar Pembenar, sifat melawan hukum perbuatan hapus atau tidak terbukti, maka
perbuatan terdakwa dianggap patut dan benar sehingga terdakwa harus dibebaskan oleh
hakim. Dalam hal ini misalnya :
adanya daya paksa relative dan keadaan darurat (overmacht, Pasal 48)
adanya pembelaan terpaksa (noodweer, Pasal 49 ayat 1)
karena sebab menjalankan undang-undang (Pasal 50)
karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat 1)
C. Tidak Dapat Dipertanggungjawabkan
Pasal 44 KUHP menyatakan orang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam 2 hal,
yaitu : jiwanya cacad dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit jiwa.
Ketidakmapuan bertanggungjawab meniadakan kesalahan dalam arti luas dan oleh karena itu
termasuk dasar pemaaf.
Namun demikian apabila kita mencoba mencari ketentuan yang menyatakan
bagaimana/kapan seseorang itu dianggap tidak mempunyai jiwa yang sehat hal tersebut tidak
akan ditemukan, jadi untuk menentukannya kita harus kembali melihat Memorie van
Toelichting (M.v.T) atau penjelasan daripada KUHP itu. Dalam M.t.V ditentukan bahwa
seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya bila :
a. Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat mengerti akan harga dan
nilai dari perbuatannya.
b. Ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.
c. Ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya adalah terlarang.
Alasan undang-undang merumuskan mengenai pertanggungjawaban itu secara
negatif, artinya merumuskan tentang keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggungjawab dan
bukan mengenai mampu bertanggungjawab, tidak lepas dari sikap pembentuk undang-
undang yang menganggap bahwa setiap orang itu mampu bertanggung jawab. Dengan
berpijak pada prinsip itu, dalam rangka mencapai keadilan dari vonis hakim, maka dalam hal
kemampuan bertanggung jawab ini dirumuskan secara negatif, ditentukan keadaan tertentu
mengenai jiwa seorang yang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana karena
melakukan perbuatan.
Ada tiga cara yang dapat digunakan dalam rangka menyelidiki keadaan jiwa si
pembuat untuk menentukan apakah si pembuat berada dalam keadaan tidak mampu
bertanggungjawab, yaitu :
metode biologis, artinya dengan menyelidiki gejala-gejala atau keadaan yang abnormal
yang kemudian dihubungkan dengan ketidakmapuan bertanggungjawab;
metode psikologis, dengan menyelidiki ciri-ciri psikologis yang ada kemudian dari ciri-
ciri itu dinilai untuk menarik kesimpulan apakah orang itu mampu bertanggungjawab
atau tidak;
metode gabungan.
Dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan bertanggungjawab memerlukan selain
perkembangan jiwa yang tidak normal dan penyakiy yang disebabkan gangguan kejiwaan,
juga syarat adanya hubungan kausal antara penyakit jiwa dan perbuatan.
Misalnya, hanya orang yang disebut gila saja yang dianggap tidak mampu
bertanggungjawab terhaap semua delik, tetapi semua penyakit jiwa tertentu yang hanya ada
hubungan kausalnya dengan pencurian misalnya seperti cleptomanie, tidak membebaskan
pembuat dari tanggungjawab pidana terhadap delik-delik lain, misalnya penganiayaan,
pembunuhan, dan sebagainya. Oleh karena itu kerjasma hakim dan psikiater menjasi syarat
mutlak tentang penentuan bertanggungjawab atau ketidakmampuan bertanggungjawab.
D. Daya Paksa (Overmacht)
Hal ini diatur dalam Pasal 48 KUHP menyatakan barangsiapa yang melakukan
perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dapat dipidana. Menurut MvT (penjelasan
KUHP) bahwa daya paksa adalah suatu kekuatan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan.
Menurut Jonkers, Daya Paksa terbagi dalam 3 macam, yaitu :
1. Daya paksa mutlak;
2. Daya paksa relatif;
3. Keadaan darurat.
a. Daya Paksa Mutlak (absulte overmacht)
Pembuat tidak dapat berbuat lain. Pembuat dalam keadaan demikian tidak dapat
melawan, dengan kata lain ia tidak dapat mengadakan pilihan lain selain daripada berbuat
demikian. Pengaruh yang bekerja terhadapnya dapat bersifat jasmaniah dan rohaniah. Absulte
Overmacht termasuk alasan pemaaf dalam dasar peniadaan pidana.
Misalnya : seseorang yang ditangkap oleh orang yang kuat, lalu dilemparkan keluar
jendela, sehingga terjadi pengrusakan barang. Maka orang yang dilemparkan keluar jendela,
sehingga kaca jendela pecah tak dapat dipidana menurut pasal 406 KUHP. Contoh lain daya
paksa rohaniah, seorang dihipnotis, lalu dalam keadaan tak sadar berlari telanjang bulat.
Orang tersebut tak dapat dipidana menurut Pasal 281 KUHP. Dalam keadaan demikian orang
yang melemparkannya keluar dan orang yang menghipnotislah yang sebagai pembuat
menurut pasal 55.
b. Daya Paksa Relatif (relatieve overmacht)
Kekuasaan, kekuataan, dorongan atau paksaan fisik atau psikis terhadap orang yang
bersangkutan bersifat relatif atau nisbi.
Misalnya pada perampokan bank, bankir diancam dengan pistol supaya menyerahkan
uang. Bilamana ia tidak melakukannya maka ia akan ditembak. Bankir tersebut tidak dapat
melawan dengan risiko mati ditembak, bilamana ia tidak melawan dan menuruti kehendak
perampok, maka ia tidak dapat dipidana, sekalipun ia telah mewujudkan delik.
Perbedaan daya paksa absolut dan relatif ialah, pada absolut orang yang memaksa dan
mendoronglah yang berbuat, sedangkan relatif orang yang diancam, dipaksa, atau
didoronglah yang berbuat, sekalipun ia berbuat karena ancaman atau dorongan. Dalam hal ini
relatieve overmach termasuk alasan pembenar.
c. Keadaan darurat (noodtoestand)
Suatu keadaan dimana suatu kepentingan hukum terancam bahaya, yang untuk
menghindari ancaman bahaya itu terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyatannya
melanggar kepentingan hukum yang lain. Noodtoestand dalam dasar peniadaan pidana
termasuk alas an pembenar.
Dalam doktrin hukum bentuk noodtoestand ada 3 macam ialah:
dalam hal terjadi dua kepentingan hukum (rechtsbelang);
dalam hal terjadi pertentangan antara kewajiban hukum (rechtsplicht) dengan
kepentingan hukum;
dalam hal terjadinya dua kewajiban hukum.
· Pertentangan antara dua kepentingan hukum (rechtsbelang)
apabila terjadi suatu keadaan dimana terjadi konflik antara dua kepentingan hukum yang
saling berhadapan, dimana tidak dapat memenuhi semua kepentingan hukum yang saling
bertentangan itu sekaligus, melainkan dengan terpaksa harus mengorbankan atau melanggar
kepentingan hukum yang lain tersebut tidak dapat dipidana.
Contoh : Ketika terjadi kecelakaan laut, ada dua orang penumpang yang usahanya hendak
menyelamtakan nayawanya berpegang pada sebuah papan, yang papan mana hanya dapat
menahan satu orang. Apabila keduanya tetap berpegang pada papan, maka kedua orang itu akan
tenggelam dan mati. Maka dalam usaha menyelamatkan diri dari ancaman kematian
(mempertahankan kepentingan hukumnya agar tetap hidup), maka seorang diantaranya
mendorong orang lain yang juga sedang berpegang pada papan itu (melanggar kepentingan
hukum atau kesalamatan orang lain), dan karena dorongan yang kuat itu maka terlepaslah
pegangannya dari papan tersebut dan matilah dia.
· Pertentangan antara kewajiban hukum dan kepentingan hukum
Apabila terdapat suatu keadaan dimana seseorang hendak melaksanakan kewajiban
hukumnya namun pada saat yang bersamaan dia harus menegakkan kepentingan hukumnya
sendiri, maka bilmana ia memilih perbuatan untuk menegkkan kepentingan hukumnya sendiri
dengan melanggar kewajiban hukumnya yang pada kenyatannya melanggar undang-undang,
maka dia tidak dapat dipidana.
Contoh: Seorang dokter ahli forensik yang diminta oleh Pengadilan Negeri untuk
memberikan keterangan ahli tentang sebab kematian seorang korban dalam sidang perkara
pidana, pada saat yang sama dia menderita luka-luka karena kecelakaan lalu lintas, yaitu dalam
keadaan ini ia memilih melanggar kewajiban hukumnya dengan tidak memenuhi panggilan
Pengadilan Negeri, karena dia lebih mementingkan meneggakkan kepentingan hukumnya
dengan berisitirahat di rumah demi segera menyembuhkan luka-lukanya. Dalam hal ini si dokter
melanggar pasal 224 KUHP.
·
Pertentangan antara dua kewajiban hukum (rechtsplicht)
Apabila suatu keadaan dimana seseorang diwajibkan untuk menjalankan dua kewajiban
hukum sekaligus dalam waktu yang bersamaan, yang keduanya tidak dapat dilakukannya, dan
kemudian dia melaksanakan salah satu saja dari kewajiban hukumnya itu.
Contoh : seorang dokter pada saat yang sama dia harus menjalankan operasi seseorang
karena karena kecelakaan yang tidak ada dokter lain yang dapat melakukannya, yang ketika itu
ia juga dipanggil pengadilan untuk memberikan keterangan ahli. Si dokter hendak melaksanakan
kewajiban hukumnya namun pada saat yang bersamaan dia harus menegakkan kewajiban
hukumnya sendiri, maka bilmana ia memilih perbuatan untuk menegakkan kewajiban hukumnya
sendiri dengan melanggar kewajiban hukumnya yang pada kenyatannya melanggar undang-
undang, maka dia tidak dapat dipidana.
E. Pembelaan Terpaksa
Dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) tidak dapat dipidana barangsiapa melakukan
perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan
atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman
serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga.
Dalam hal ini, asas yang harus diperhatikan adalah asas subsdiariteit dan asas
propositionaliteit. Asas ini mensyaratkan bahwa bilamana terdapat cara pembelaan yang
sifatnya lebih ringan, maka yang diserang tidak boleh meggunakan cara yang memberikan
kerugian yang lebih besar pada penyerang. Dengan kata lain pembelaan yang diberikan itu
haruslah tidak boleh melampaui batas keperluan dan keharusan, yang diserang harus memilih
cara yang tidak mendatangkan kerugian yang lebih besar pada penyerang daripada yang
perlu. Kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai harus maksimal dan seimbang dengan
kepentingan yang dikorbankan.
Menurut Zainal Abidin Farid, Noodweer ialah pembelaan yang diberikan karena
sangat mendesak dan tiba-tiba serta mengancam dan melawan hukum. Yang mana serangan
itu dilakukan terhadap dirinya sendiri atau diri orang lain terhadap serangan yang bersifat
fisik; dalam hal membela kehormataan kesusilaan diri sendiri atau orang lain; dalam hal
pembelaan harta benda sendiri atau orang lain. Dalam noodweer ada alas an pembenar dalam
dasar peniadaan pidana.
Syarat pembelaan terpaksa :
karena terpaksa sifatnya;
yang dilakukan ketika timbulnya ancam serangan dan berlangsungnya serangan;
untuk mengatasi adanya ancaman serangan atau serangan yang bersifat mewalan hukum;
yang harus seimbang dengan serangan yang mengancam;
pembelaan terpaksa itu terbatas dalam hal mempertahankan 3 macam kepentingan
hukum.
Perbedaan Overmacht dan dan Noodweer Pada Overmacht:
overmacht terjadi apabila perbuatan yang menjadi pilihan oleh yang diserang (korban)
adalah perbuatan yang memang dimaksudkan dan dinginkan oleh penyerang;
orang yang diserang terpaksa melakukan perbuatan yang in casu dikehendaki oleh si
penyerang, karena dia tidak berdaya melwan serangan yang memaksa itu;
tidaklah ditentukan bidang kepentigan hukum apa dan dalam hal apa penyerangan yang
dapat dilakukan perbuatan dalam keadaan daya paksa;
pada daya paksa dapat terjadi dalam hal keadaan darurat, yaitu terjadi dalam hal konflik
antara dua kepentingan hukum, konflik antara kewajiban hukum dan konflik antara
kewajiban dan kepentingan hukum.
Pada Noodweer:
Perbuatan yang menjadi pilihan orang yang diserang adalah berupa perbuatan yang tidak
menjadi atau maksud si penyerang;
Pada pembelaan terpaksa, orang yang melakukan pembelaan terpaksa ada kemampuan
untuk berbuat untuk melawan serangan;
Pada pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan terhadap serangan-serangan yang
bersifat mewalan hukum dalam 3 bidang;
Pembelaan terpaksa tidak dapat terjadi dalam keadaan darurat.
F. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas
Dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas,
yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau
ancaman serangan itu tidak dapat dipidana.
Apa yang dimaksudkan dengan noodweer exces ialah perlampuan batas pembelaan
terpaksa, yang disebabkan oleh suatu tekanan jiwa yang hebat karena adanya serangan orang
lain yang mengancam dan dapat terjadi walaupun serangan telah tiada. noodweer exces
termasuk alas an pemaaf dalam dasar peniadaan pidana
Perbedaannya dengan pembelaan terpaksa (noodwer):
a. perbuatan apa yang dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa haruslah perbuatan
yang seimbang dengan bahaya dari serangan atau ancaman serangan, perbuatannya
haruslah sepanjang perlu dalam hal pembelaan terpaksa, tidak diperkenankan melampaui
dari apa yang diperlukan dalam pembelaan itu. Tetapi dalam noodweer exces perbuatan
apa yang menjadi pilihannya sudah melebihi diri apa yang diperlukan dalam hal
pembelaan atas kepentingan hukumnya yang terancam, yang artinya pilihan perbuatan itu
sudah tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan. Misalnya seorang menyerang
lawannya dengan pecahan botol, yang sebenarnya dapat dilawan dengan sepotong kayu
(noodweer) tetapi karena kegoncangan jiwa yang hebat ia melawan dengan
menembaknya (noodweer exces).
b. dalam hal pembelaan terpakasa, perbuataan pembelaan hanya dapat dilakukan pada
ketika adanya ancaman serangan atau serangan sedang berlangsung, dan tidak boleh
dilakukan setelah serangan terhenti atau tidak ada lagi. Tetapi dalam noodweer exces
perbuataan pembelaan itu masih boleh dilakukan sesudah serangan terhenti.
Tidak dapat dipidananya si pembuat noodweer karena sifat melawan hukum pada
perbuatannya jadi merupakan alasan pembenar. Sedangkan pada noodweer exces adanya
alasan penghapusan kesalahan pada diri si pembuat, jadi merupakan alasan pemaaf. Dasar
tidak dipidananya si pembuat noodweer exces terletak pada diri orangnya bkan pada
perbuatannya.
G. Menjalankan Ketentuan Undang-Undang
Dirumuskan dalam Pasal 50 barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
ketentuan unang-undang, tidak dipidana. Dari rumusan yang singkat ini, ada beberapa yang
perlu diterangkan yaitu :
Tentang ketentuan undang-undang
Perbuatan
Melaksanakan ketentyuan undang-undang
Peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan-peraturan yang dibuat oleh
kekuasaan yang berwenang untuk maksud tersebut menurut undang-undang.
Tentang perbuatan yang dimaksudkan itu ialah perbuatan mana pada dasarnya jika tidak ada
undang-undang yang memberi kewenangan untuk melakukannya adalah berupa suatu tindak
pidana.
Melaksanakan perintah undang-undang, tidak hanya terbatas pada melakukan
perbuatan yang diperintahakan oleh undang-undang akan tetapi lebih luas lagi ialah meliputi
pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-
undang.
Contoh : Algojo yang menjalankan tugas menembak mati terpidana yang divonis
hukuman mati
H. Menjalankan Perintah Jabatan
Dirumuskan dalam Pasal 51 ayat 1 barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak
dipidana.”
Perbedaannya dengan menjalankan perintah undang-undang, dalam perintah jabatan
ada hubungan publik antara orang yang memberi perintah dan orang yang diberi perintah
yang in casu melakukan suatu perbuatan tertentu. Kewenangan pada menjalankan perintah
jabatan adalah pada perintah yang diberikan berdasarkan undang-undang. Sedangkan pada
menjalakan perintah undang-undang keabsahan pada menjalankan perintah itu ada pada
undang-undangnya. Keduanya termasuk dalam alasan pembenar.
Contoh menjalankan perintah jabatan yang dimaksud, ialah seorang penyelidik
mendapat perintah dari penyidik untuk menangkap seorang tersangka. Antara penyelidik dan
penyidik ada hubungan publik yang berdasarkan undang-undang, hubungan inilah yang
memberi dasar bagi penyelidik boleh melakukan perbuatan sepanjang perlu dan layak dalam
upaya menjalankan perintah jabatan.
I. Dasar Peniadaan Pidana di Luar Undang-Undang
Dirumuskan dalam Pasal 51 ayat 2 perintah jabatan tanpa wewenang, tidak
menyebabkan hapusnya pidana kecuali apabila orang yang menerima perintah dengan itikad
baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksannya termasuk dalam
lingkungan pekerjannya.
Hal ini dapat dilihat dari syarat subjektif dan syarat objektif:
a. Syarat subjektif; syarat ini terletak pada sikap batin si penerima perintah ialah dia
mengira bahwa perintah itu sah adanya. Alasan sikap batin yang demikian haruslah
didasarkan pada hal-hal yang masuk akal, dan oleh karena itu faktor-faktor rasional dan
masuk akal yang menyebabkan baginya, dapat mengira bahwa perintah itu adalah sah.
Dapat mengira bahwa perintah itu adalah sah memerlukan syarat yaitu : orang yang
memberikan perintah itu disdadarinya adalah benar yang berhak. Dan mengenai apa yang
menjadi isi perintah itu disadarinya memang masuk dalam ruang lingkup kewenangan
yang memberi perintah.
Contoh: seorang penyidik menurut Pasal 16 (1) KUHAP berwenang memberi perintah
pada penyidik pembantu utnuk melakukan penangkapan. Andaikata perintah itu ditujukan
pada orang yang telah diketahui penyidik bukan orang yang boleh ditangkap, tetapi adalah
orang yang dibenci, apabila 2 syarat telah dipenuhi maka penyidik pembantu menjadi masuk
akal apabila dia membela dirinya dengan beritikad baik dalam menjalakan perintah iitu dan
dia tidak dapat dipidana. Sikap batin “mengira perintah yang sah” adalah harus ditujukan
pada kedua faktor diatas.
Tidak sahnya perintah ada 2 kemungkinan (1) orang yang memberi perintah secara objektif
bukanlah orang yang berwenang (2) apa yang menjadi isi perintah itu adalah tidak benar.
b. Syarat Objektif; syarat kedua berupa isinya perintah harus menjadi bidang pelaksaannan
tugasnya, adalah berupa hubungan antara jkabatannya dan tugas pekerjan suatu jabatan.
Pada jabatan publik terdapat tugas jabatan tertentu baik merupakan pelaksanaan hak
jabatan dan atau pelaksanaan kewajiban jabatan.
Misalnya : pejabat penyidik pembantu atas dasar perintah penyidik dia berwenang
melakukan penangkapan yang sekaligus berupa kewajiban untuk melaksanakan perintah itu,
ini adalah masuk ruang lingkup pekerjaan dalam jabatannya. Andaikata si penyidik
memerintahkan pada penyidik pembantu untuk memukuli tersangka yang tidak memberikan
keterangan berisi pengakuan, lalu perintah itu dilaksankan. Maka perbuatan penyidik
pembantu ini sudah berada diluar ruang lingkup pekerjaan jabatannya, dan dia bertanggung
jawab sepenuhnya taas penyiksaan.
Peniadaan Pidana Di Luar KUHP
Dasar peniadaan pidana di luar KUHP dan merupakan hukum tertulis menurut van
Bemmelen ialah :
Hak mendidik orang tua dan wali terhadap anaknya, hak mendidik guru, dosen, (dan guru
mengaji) terhadap murid/siswanya.
Hak jabatan atau pekerjaan dokter, apoteker, bidan, dan peneliti ilmu-ilmu alam.
izin mereka yang kepentingannya dilanggar, kepada orang yang melanggar kepentingan
itu, yang perbuatannya merupakan delik seandainya tak ada izin tersebut.
Zaakwarnerming menurut pasal 1354-1358 KUHPerdata.
Tak ada sifat melawan hukumnya yang materiel.
Tak ada kesalahan
Selaian yang disebut oleh Bemmelen, tentu masih ada peraturan hukum lain yang
mengandung dasar pembenar dan dasar pemaaf, misalnya :
1. Hak dukun kampong mengobati atau menyunat orang, atau melakukan pekerjaan bidan;
2. Hak KONI untuk mengadakan adu orang;
3. Ketentuan hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan pancasila.
BAB IX
TEORI-TEORI TENTANG SEBAB AKIBAT
A. Pengertian
Setiap kejadian baik kejadian alam maupun kejadian social tidak lah terlepas dari
rangkaian sebab akibat, peristiwa alam maupun social yang terjadi adalah merupakan rangkaian
akibat dari peristiwa alam atau social yang sudah ada sebelumnya. Setiap peristiwa social
menimbulkan satu atau beberapa peristiwa social yang lain, demikian seterusnya yang satu
mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu lingkaran sebab akibat.
Hal ini disebut hubungan kausal yang artinya adalah sebab akibat atau kausalitas.
Penentuan sebab suatu akibat dalam hokum pidana adalah merupakan suatu hal yang sulit
dipecahkan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP], pada dasarnya tidak
tercantum petunjuk tentang cara untuk menentukan sebab suatu akibat yang dapat menciptakan
suatu delik. KUHP hanya menentukan dalam beberapa pasalnya, bahwa untuk delik-delik
tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu untuk menjatuhkan pidana terhadap pembuat.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa terjadinya delik atau
actus reus hanya ada pada delik yang mensyaratkan adanya akibat tertentu, yaitu „‟ a. delik
materiel, misalnya pembunuhan [Pasal 33 KUHP]. Penipuan [Pasal 38 KUHP]. b. delik culpa,
misalnya karena kelalainnya mengakibatkan kematian orang lain [Pasal 359 KUHP], karena
lalainya menyebabkan lukanya orang lain [Pasal 360 KUHP], dan sebagainya.
Ada pula yang berupa syarat yang memperberat pidana dengan terjadinya akibat
tertentu pada suatu delik atau delik-delik yang dikualifikasikan karena akibatnya misalnya
penganiayaan yang berunsurkan luka berat [Pasal 351 ayat-ayat KUHP] dan matinya orang lain
[Pasal 351 ayat 3 KUHP], Pasal 18tujuh ayat 3 KUHP yang mengandung unsure timbulnya
bahaya terhadap nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang. Sedangkan apabila
perbuatan itu dilakukan dengan suatu kesengajaan [Pasal 354 KUHP] untuk membuat luka berat
orang lain, kemudian apabila kesengajaan itu dilakukan untuk atau demi kematian orang lain.
Di luar ketiga macam delik tersebut di atas, ada delik formel yang tidak mensyaratkan
adanya akibat tertentu, yaitu misalnya sumpah palsu [Pasal 242 KUHP], pemalsuan surat-surat
[Pasal 263 KUHP], pencurian [Pasal 362 KUHP], penghasutan [Pasal 160 KUHP], pemalsuan
materai dan merek [Pasal 253 KUHP], dan sebagainya. Dalam hal ini delik formel ini, ajaran
kausalitas tidak diperlukan, karena tidak disyaratkan adanya akibat tertentu.
B. Teori-teori Kausalitas
Keanekaragaman hubungan sebab akibat tersebut kadangkala menimbulkan berbagai
permasalahan yang tidak pasti, oleh karena tidaklah mudah untuk menentukan mana yang
menjadi sebab dan mana yang menjadi akibat, terutama apabila banyak ditemukan factor
berangkai yang menimbulkan akibat.
Yang pertama kali mencetuskan adanya teori kausalitas tersebut adalah Von Buri dengan
teori condition sine qua non yang pertama kali dicetuskan pada tahun 18tujuh3. Menurut Von
Buri bahwa semua factor, yaitu semua syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan
yang tidak dapat weggedacht [dihilangkan] dari rangkain factor-faktor yang bersangkutan harus
dianggap causa [sebab] akibat itu. Tiap factor yang dapat dihilangkan [weggedacht] dari
rangkaian factor-factor yang adanya tidak perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, tidak
diberi nilai. Demikian sebaliknya tiap factor yang tidak dapat dihilangkan [niet weggedacht] dari
rangkaian factor-factor tersebut, yaitu yang adanya perlu untuk terjadinya akibat yang
bersangkutan, harus diberi nilai yang sama. Semua factor tersebut adalah sama dan sederajat.
Penganut teori Von Buri adalah Van Hamel yang berpendapat bahwa pada prinsipnya
teori Von Buri dapat diterima walaupun harus diimabangi dengan restriksi [pembatasan].
Menurut Van Hamel restriksi tersebut dapat ditemukan dalam pelajaran tentang kesengajaan dan
kealpaan [opzet en schuldleer].
Dalam perkembangannya banyak bermunculan teori-teori baru yang berusaha untuk
memperbaiki serta menyempurnakan kekurangan di dalam teori Van Buri, di antaranya adalah
teori mengindividualisasikan [individualiserende theorien] yang dipelopori oleh Birkmeyer.
Pendapat Birkmeyer berpangkal pada dalil Ursache ist die wirksamste Bedingung, yang menjadi
causa adalah factor [Bedingung, kejadian] yang paling berpengaruh [atas terjadinya delik yang
bersangkutan]. Teori ini ternyata juga tidak dapat menyelesaikan masalah terutama apabila di
antara semua factor itu sama berpengaruh atau apabila sifat dan coraknya dalam rangkaian
factor-faktor itu tidak sama.
Dari ketidakpuasan terhadap teori yang mengindividualisasi, menimbulkan teori baru
yang menggeneralisasi [generaliserende theory]. Pada prinsipnya teori tersebut menjelaskan
bahwa teori Vin Buri terlalu luas sehingga harus dipilih satu factor saja yaitu yang menurut
pengalaman manusia pada umumnya dipandang sebagai causa [sebab].
Teori yang menggeneralisasi dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Teori adaequaat dari Von Kries > Adaequaat artinya adalah sebanding, seimbang,
sepadan. Jadi dikaitkan dengan delik, maka perbuatan harus sepadan, seimbang atau
sebading dengan akibat yang sebelumnya dapat diketahui.
2. Teori obyektif – nachttraglicher Prognose dari Rumelling. Teori Rumelling
mengajarkan bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah factor obyektif yang
diramalkan dari rangkaian factor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik
setelah delik itu terjadi. Tolak ukur teori tersebut adalah bukan ramalan tetapi
menetapkan harus timbul suatu akibat.
3. Teori adaequaat dari Traeger > Menurut Traeger bahwa akibat delik haruslah in het
algemeen voorzienbaar yang artinya adalah pada umumnya dapat disadari sebagai
suatu yang mungkin sekali dapat terjadi. Teori tersebut diberi komentar oleh Van
Bemmelen bahwa yang disebut dengan in het algemeen voorzienbaar ialah een hoge
mate van waarschijnlijkheid yang artinya adalah disadari sebagai sesuatu yang sangat
mungkin dapat terjadi.
Sebagaimana diketahui delik omisi atau pengabaian ada dua macam, yaitu delik omisi yang
sebenarnya dan yang tidak sebenarnya. Menurut Vos pada delik omisi yang sebenarnya tidak ada
masalah kausalitas, dapat dipidana karena tidak berbuat, tidak ada akibat karena tidak berbuat.
Pada delik omisi yang tidak sebenarnya, muncul masalah kausalitas.
Pompe menerima kausalitas pada pengabaian, tetapi sejauh pengabaian itu menimbulkan
akibat. Jadi, dia juga menerapkan formula sebab adekuat dalam pengabaian.
Van Hamel menerapakan ajaran kausalitas condition sine qua non secara konsekuen, karena
ia mengatakan bahwa jika pengabaian itu ditiadakan dari pikiran [wegdenkt], maka tidak ada
akibat juga.
BAB X
HUKUM PENITENSIER
A. Pendahuluan
Hukum Penitensier atau hukum pelaksanaan pidana adalah keseluruhan ketentuan-
ketentuan atau peraturan-peraturan ang berisi tentang cara bagaimana melaksanakan putusan
hakim terhadap seseorang yang memiliki status sebagai terhukum
B. Jenis-jenis Pidana
Jenis-jenis Pidana
a. Pidana Pokok
i. Pidana Mati
ii. Pidana Penjara
iii. Pidana Kurungan
iv. Pidana Tutupan (KUHP terjemahan BPHN, berdasarkan UU No. 20 tahun 1946)
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
a. Pidana Pokok
Rincian pidananya adalah sebagai berikut :
1. Pidana Mati
Delik yang diancam dengan pidana mati di dalam KUHP sudah menjadi 9 buah, yaitu
:
1.1 Pasal 104 KUHP
1.2 Pasal 111 ayat (2) KUHP
1.3 Pasal 124 ayat (1) KUHP
1.4 Pasal 124 bis KUHP
1.5 Pasal 140 ayat (30) KUHP
1.6 Pasal 340 KUHP
1.7 Pasal 365 ayat (4) KUHP
1.8 Pasal 444 k ayat (2) dan pasal 479 o ayat (2) KUHP.
2. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Tetapi juga
berupa pengasingan, misalnya di Rusia pengasingan Siberia dan juga berupa pembuangan ke
sebrang lautan, misalnya dahulu pembuangan penjahat-penjahat Inggris ke Australia.
3. Pidana Kurungan
Menurut Vos, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai 2 tujuan. Pertama ialah
sebagai custodia honesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan yaitu delik-
delik culpa dan beberapa delik dolus, seperti perkelahian satu lawan satu dan pailit sederhana.
Yang kedua sebagai custodia simpleks, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik
pelanggaran
4. Pidana Denda
Pada zaman modern ini pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa
pelanggaran atau kejahatan ringan oleh karena itu pula, pidana denda merupakan satu-satunya
pidan ayang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana.
5. Pidana Tutupan
Pidana tutupan disediakan bagi para politis yang melakukan kejahatan yang disebabkan
oleh ideologi yang dianutnya tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini tidak pernah ketentuan
tersebut diterapkan.
b. Pidana Tambahan
Pidana tambahan disebut dalam pasal 10 KUHP pada bagian b, yang terdiri dari :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
Sumber hukum penitensier( pasal 10 KUHP ) yang berbunyi pidana terdiri atas :
Pidana pokok (pidana mati, penjara, kurungan, denda, tutupan)
Pidana tambahan (pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu,
pengumuman putusan hakim
Kriminalisasi adalah salah satu proses yang terjadi didalam masyarakat dimana suatu
perbuatan yang asalnya bukan merupakan perbuatan pidana dikarenakan pengaruh kondisi social
yang berkembang yang berkaitan dengan rasa keadilan dalam masyarakat maka perbuatan itu
akhirnya dijadikan merupakan perbuatan pidana. Contoh lahirnya UU penyalahgunaan narkotika
( UU No. 9 / 1976), dimana berdasarkan UU ini penyalahgunaan narkotika merupakan perbuatan
yang dapat dipidana.
De kriminalisasi adalah suatu perbuatan yang secara konkrit diancam pidana dalam
hukum positif dikaernakan pengaruh perubahan perkembangan masyarakat berubah menjadi
perbuatan yang tidak dapat dipidana. Contoh pasal 534 KUHP, dalam pasal ini disebutkan
barang siapa yang memperagakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan di muka umum diancam
dengan hukuman penjara, dikarenakan khususnya di Indonesia dalam kerangka pelaksanaan
program KB dimana alat kontrasepsi itu dianjurkan untuk digunakan oleh BKKBN, dengan
kondisi demikian maka pasal 534 KUHP itu sampai saat ini tidak memilik daya paksa.
Masalah pokok didalam Hukum Penitensier
1. Pemidanaan ( fungsi Hakim Besar )
2. Proses pemidanaan (tugas atau fungsi LP)
3. Terpidana ( siapa yang diproses )
Alasan perubahan KUHP
Pertimbangan politis
Bahwa RI sudah merdeka 60 tahun dan sudah sepantasnya dan sewajarnya memilik
KUHP Nasional hasil karya bangsa sendiri karena KUHP yang ada sekarang ini adalah hasil
karya pemerintahan kolonial Belanda dan dibuat diBelanda, bila bangsa Indonesia memiliki
KUHP Nasional dapat menumbuhkan kebanggaan nasional yang dapat mengangkat harkat dan
martabat bangsa Indonesia yang sejajar dengan bangsa lain di dunia.
Pertimbangan sosiologis
Karena KUHP yang kita miliki sekarang dibuat oleh pemerintahan Belanda sudah barang
tentu hanya menjamin kepentingan-kepentingan sosial masyarakat Belanda khususnya
masyarakat Belanda yang ada di Indonesia, maka dari itu bila KUHP Nasional lahir, sudah
barang tentu dirujuk dan mengacu pada nilai-nilai social dan kepentingan masyarakat Indonesia
yang sangat prularistik (beragam).
Pertimbangan praktis
KUHP yang ada sekarang di Republik Indonesia adalah merupakan hasil terjemahan
tidak resmi, keberadaanya itu hanyalah merupakan hasil terjemahan dari para ahli hukum kita
yang kebetulan menguasai bahasa Belanda, dengan demikian dengan adanya hasil terjemahan
beberapa para ahli menurut Prof. Muladi tidak mustahil adanya hasil terjemahan yang tidak
konsisten satu sama lainnya sehingga dapat menimbulkan kerancuan bagi para penegak hukum.
Tujuan pemidanaan
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hokum demi
pengayoman masyarakat.
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang
baik dan berguna dalam masyarakayt.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana dengan memulihkan
keseimbangan dan medatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada diri terpidana.
Kewajiban Hakim sebelum menjatuhkan pidana
a. Kesalahan sipelaku
b. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana
c. Cara melakukan tindak pidana
d. Sikap batin sipelaku
e. Riwayat hidup dan keadaan sosial sipelaku
f. Sikap sipelaku sesudah melakukan tindak pidana
g. Pengaruh pidana terhadap masa depan sipelaku
h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban & keluarga
j. Tindak pidana yang dilakukan terencana atau tidak
Hak Narapidana
Hak mendapat pemeliharaan kesehatan
Hak mendapat kunjungan keluarga, saudara, atau kerabat
Hak mendapat kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
Hak remisi
Hak asimilasi
Hak mendapat cuti
Hak pembebasan bersyarat
Hak cuti sebelum bebas
Kewajiban Narapidana
Mantaati semua peraturan tata tertib yang diterapkan dilingkungan LP tersebut,meliputi :
Kewajiban bekerja
Kewajiban berperilaku baik
Proses pelaksanaan pembinaan terhukum atau narapidana di Indonesia dihadapkan pada kendala
yang pokok yaitu :
SDM pembinaan belum memiliki profesionalisme
Dari segi struktur bangujnan LP seratus persen masih menggunakan struktur kepenjaraan,
padahal pedoman-pedoman kepenjaraan sudah dihapus sejak program pemasyarakatan
dicanangkan pada tahun 1970.
Objek hukum penitensier adalah putusan Hakim yang berkaitan dengan perkara pidana, putusan
Hakim dalm kasus pidana, dalam kitab undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia,ada 3
(tiga) jenis yaitu
¤ Putusan bebas
¤ Putusan ini dijatuhkan apabila apa yang dituduhkan atau didakwakan oleh jaksa penuntut
umum sama sekali tidak terbukti dipersidangan.
¤ Dilepaskan semua dari tuntutan hukum
¤ Putusan ini dijatuhkan oleh Hakim apabila Hakim berkesimpulan bahwa yang dituduhkan oleh
jaksa penuntut umum itu terbukti tetapi perbuatan itu bukan merupak perbuatan yang dapat
dipidana.
¤ Contohnya kasus utang piutang yang oleh jaksa penuntut umum di dakwakan sebagai
perbuatan pidana.
¤ Penghukuman
¤ Putusan ini dijatuhkan apabila apa yang dituduhkan oleh jaksa penuntut umum seluruhnya
atau sebagian terbukti.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hukum penitensier ini hanyalah berkaitan dengan
putusan hakim yang berisi “pemidanaan” atau “penghukuman” saja.
Sering kali putusan hakim yang mengadili tindak pidana ringan putusannya itu adalah
pidana bersyarat atau disebut juga pidana percobaan.
Pidana bersyarat adalah suatu pidana dimana si terpidana tidak usah menjalani pidana
tersebut melainkan tetap berada ditengah-tengah masyarakat terkecuali bilamana si terpidana
dalam waktu masa percobaan tersebut melakukan pelanggaran tindak pidana apapun maka
hukuman penjara harus segera dilaksanakan.
Ex : Terpidana dijatuhi hukuman pidana bersyarat 1 Tahun, “artinya” bahwa si terpidana
tersebut tidak perlu menjalani pidananya didalam Lembaga Pemasyarakatan ( LP ) melainkan
tetap berada didalam masyarakatnya , tetapi dalam kurun waktu 1 tahun itu si terpidana tidak
boleh melakukan pelanggaran tindak pidana apapun dan apabila sebelum masa 1 tahun itu habis
si terpidana melakukan pelanggaran tindak pidana lagi maka putusan I yang berisi hukuman 1
tahun penjara harus segera dilaksanakan.
Fungsi dari penegakan hukum adalah menempatkan hukum pada posisi yang tepat
sebagai bagian usaha manusia untuk menjadikan dunia ini lebih nyaman untuk di tinggal. ( The
function of law enforcement is to put in law prover prespective as a part man effort to make this
world better place in which to life )
Hak perogatif Presiden berkaitan dengan masalah pemidanaan
1. Pemberian Grasi
Masalah grasi telah diatur tersendiri oleh undang-undang pengajuan grasi hanya dapat diajukan
oleh terhukum atau ahli warisnya, putusan grasi yang dikeluarkan oleh presiden dapat berupa :
a. Penolakan atau ditolak grasinya
b. Diterima grasinya dalam bentuk :
Pemidanaannya dirubah, contoh : Dari pidana mati dirubah menjadi pidana seumur hidup
Lama pemidanaannya, contoh : Dari pidana 20 tahun penjara dirubah menjadi pidana 10
tahun penjara
2. Pemberian Amnesti
Amnesti adalah putusan presiden yang berisi pembebasan terhadap semua terhukum khususnya
terhadap terhukum yang berkaitan dengan kejahatan politik dan maker. Masalah amnesti ini
diatur berdasrkan kepres yang bersifat situasional.Contoh : Presiden mengeluarkan Kepres No 22
Tahun 2005 tentang membebaskan semua terhukum GAM.
3. Pemberian abolisi
Abolisi adalah putusan presiden yang berisi pembebasan penuntutan hukum terhadap
kejahatan politik dan maker. Masalah abolisi ini diatur berdasarkan kepres yang bersifat
situasionalContoh : Semua anggota GAM yang menyerah setelah 15 september 2005 dibebaskan
dari penuntutan hukum.
Perjanjian ekstradisi adalah suatu perjanjian antara 2 negara yang berisi pengembalian
seorang tersangka atau terdakwa yang melarikan diri kenegara yang bersangkutan maka negara
yang kedatangan pelarian tersebut wajib menangkap dan mengembalikan ke Negara asal
sebaagaimana dalam perjanjian.
Masalah pemidnaan anak diatur oleh UU No.3 Tahun 1997
Tentang anak ini bila melihat pasal 44 KUHP disebutkan apa yang disebut anak itu
adalah manusia yang belum berumur 16 tahun, dan pasal ini dapat disimpulkan bahwa anak yang
baru lahir pun mengandung arti dapat di pidana sekalipun hal yang demikian mustahil.
Di dalam UU No.3 tahun 1997 telah digunakan model batasan usia tentang usia yang
disebut seorang anak yaitu 10 tahun sampai 18 tahun. Lahirnya UU No. 3 tahun 1997 langsung
mencbut pasal 44 tentang batasan usia.
Tentang hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap anak apabila seorang anak melakukan
tindakan pidana tidak diancam pidana mati, maka :
Hakim harus menjatuhkan pidananya dikurung 1/3 apabila tindakan pidan tersebut
dilakukan oleh orang dewasa.
Hakim dapat memutuskan apabila anak yang melakukan tindak pidana dikembalikan
kepada orang tuanya.
Dipidana sebagai anak negara untuk di didik di Lembaga Pemasyarakatan anak.
Proses pemidanaan bagi seorang anak yang melakukan tindak pidan berdasarkan UU
No.3 Tahun 1997 antara lain dikatakan sejak tingkat penyidikan sampai proses sidang di
pengadilan harus bersifat tertutup untuk umum dan aparat penegak hukumnya tidak
menggunakan pakaian uniform (seragam dinas).
Pelaksanaan pemidanaannya berdasarkan UU peradilan anak bahwa di LP anak, anak
pidana ini harus mendapatkan pendidikan lanjutannya. Di dalam UU peradilan anak telah
ditentukan bahwa anak hanya boleh dipidana maximal 10 tahun, dengan kata lain terhadap
seorang anak tidak boleh dijatuhi hukuman seumur hidup dan pidana mati. Masalah pidana mati
diatur dalam UU No. 2 Tahun 1964.
Ketentuan-ketentuan pokok tentang pidana mati itu disebutkan
1. pidana mati hanya dapat dilaksanakan setelah segala upaya hukum termasuk grasi telah
ditolak oleh Presiden, dan kasasi ditolakn oleh MA
2. Apabila grasi telah ditolak oleh Presiden, penolakan itu ahrus disampaikan kepada
pengadilan dimana keputusan pidana mati dijatuhkan.
3. Oleh pengadilan penolakan upaya hukum pidana mati disampaikan kepada Kejaksaan
Tinggi sesuai dengan wilayah hukum pengadilan yang bersangkutan.
4. 3 X 24 jam setelah Kejaksaan Tinggi menerima perihal penolakan dari pengadilan,
Kejaksaan Tinggi memberitahukan kepada terpidana bahwa upaya hukum telah ditolak.
5. Kejaksaan Tinggi memohon kepada Kapolda untuk menyiapkan regu tembak eksekusi
(12 orang) yang dipimpin oleh seorang perwira polisi.
6. Si terpidana mati berhak tuntunan rohaniawan sesuai dengan agama dan kepercayaanya.
7. Pidana mati tidak boleh dilaksanakan apabila si terpidan dalam keadaan sakit atau hamil.
8. Permohonan terakhir siterpidana mati harus dicatat oleh petugas LP
9. Pidana mati tidak boleh dilaksanakan dimuka umum dalam arti harus jauh dari keramaian
dan tempatnya sesuai dengan wilayah hukum dimanapidana mati dijatuhkan
10. Yang menghadiri eksekusi pidana mati :Jaksa atau Hakim yang menjatuhkan pidan
mati,Dokter yang ditunjuk oleh pihak kejaksaan, rohaniawan
11. Jenazah terpidana mati harus dikembalikan kepada pihak keluarganya dan jika pihak
keluarga tidak mau menenrima jenazah tersebut segala urusn jenazah ditanggung negara
Tentang pidana penjara
Pidana penjara lamanya berdasarkan KUHP minimal 1 (satu) hari dan maximal 15 tahun
atau diperberat menjadi 20 tauhn.
Pidana penjara pelaksaannya belum tentu sesuai sepenuhnya dengan putusan Hakim,
karena setiap narapidana memiliki hak-hak remisi dan hak-hak asimilasi atau apabila
narapidana mengajukan grasi dan diterima grasinya oleh presiden bias berubah baik jenis
pidananya maupun lama pidananya.
Pidana penjara ini dalam masa reformasi sekarang masih belum sesuai dengan apa yang
diharapkan dalam system pemasyarakatan, sebagaimana yang diatur dalam UU No.12
Tahun 1995.
C. Tindakan (Maatregel)
Sering dikatakan berbeda dengan piidana, maka tindakan bertujuan melindungi
masyarakat, sedangkan pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu
perbuatan. Tetapi secara teori, sukar dibedakan dengan cara demikian, karena pidana pun
sering disebut bertujuan untuk mengamankan masyarakat dan mamperbaiki terpidana.
D. Pidana Bersyarat
Pidana abersyarat yang tercatum pada pasal 14 a sampai dengan 14 f KUHP diwarisi
dari Belanda tetapi dengan perkembangan zaman telah terdapat perbedaan atara keduanya.
Dalam pidana bersyarat dikenal syarat umum ialah terpidana bersyarat tidak akan
melaksanakan delik apapun dalam waktu yang ditentukan sedangkan syart khusus akan
ditentukan oleh hakim dan ada juga yang disebut syarat khusus.
E. Pelepasan Bersyarat
Pada pelepasan bersyarat terpidana harus telah menjalani pidananya paling kurang 2/3
nya. Pelepasan bersyarat ini tidak inferatif atau otomatis. Dikatakan “dapat” dierikan
pelepasan bersyarat yang dikeluarkan oleh mentri kehakiman.
BAB XI
DASAR PENIADAAN PENUNTUTAN
Harus dibedakan antara dasar peniadaan pidana, seperti penulis telah uraikan dengan
dasar peniadaan penuntutan. Dasar peniadaan pidana ditujukan kepada hakim, sedangkan dasar
peniadaan penuntutan ditujukan kepada Penuntut Umum. Seperti telah diuraikan sebelumnya
bahwa dasar peniadaan pidana terbagi dua, yaitu dasar pembenar dan dasar pemaaf. Ditinjau dari
segi pandangan dualistis maka dasar pembenar meniadakan sifat melawan hukumnya perbuatan,
dan terdakwa seharusnya dibebaskan. Sedangkan bilamana terdapat dasar pemaaf berarti
perbuatan criminal terdakwa terbukti, tetapi pembuat delik dimaafkan.
Dasar Peniadaan Penuntutan yang ada di dialam KUHP adalah :
1. Ne Bis In Idem (Pasal 76)
2. Lampau Waktu/Verjaring (Pasal 79)
3. Kematian Terdakwa atau Terpidana (Pasal 77)
4. Penyelesaian di Luar Proses Pengadilan (Pasal 82)
5. Tidak adanya aduan pada Delik Aduan
Dasar Peniadaan Penuntutan di Luar KUHP :
1. Abolisi
2. Amnesti
Dasar peniadaan penuntutan di dalam Bab VIII KUHP adalah sebagai berikut :
1. Asas Ne Bis In Idem
Asas Ne Bis In Idem terdapat dalam Pasal 76 KUHP yang menyatakan bahwa orang tidak
boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili
dengan keputusan yang menjadi tetap (putusan inkra).
Asas ne bis in idem mempunyai dua segi yaitu yang bersifat pribadi (persoonlijk) dan
yang bersifat peristiwa (zakelijk).
Ne bis idem berarti tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai
tindakan (feit) yang sama. Ketentuan ini disahkan pada pertimbangan, bahwapada suatu saat
(nantinya) harus ada akhir dari pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari baliknya ketetuan pidana
terhadap suatu delik tertentu. Azas ini merupakan pegangan agar tidak lagi mengadakan
pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang sama dari suatu tindakan pidana yang sudah
mendapat putusan hukum yang tetap.
Dengan maksud untuk menghindari dua putusan terhadap pelaku dan tindakan yang sama
juga untuk menghindari usaha penyidikan/penuntutan terhadap perlakuan delik yang sama, yang
sebelumnya telah pernah ada putusan yang mempunyai kekuatan yang tetap.
Tujuan dari azas ini ialah agar kewibawaan negara tetap dijunjung tinggi yang berarti
juga menjamin kewibawaan hakim serta agar terpelihara perasaan kepastian hukum dalam
masyarkat. Kuota putusan dikatakan sudah mempunyai kekuatan hukumyang tetap apabila upaya
hukum yang biasa yaitu perlawanan, banding, kasasi tidak dapatlagi digunakan baik karena lewat
waktu, atau pun karena tidak dimanfaatkan atau putusanditerima oleh pihak-pihak. Agar supaya
suatu perkara tidak dapat diperiksa untuk kedua kalinya apabila :
Perbuatan yang didakwakan (untuk kedua kalinya) adalah sama dengan yangdidakwakan
terdahulu.
Pelaku yang didakwa (untuk kedua kalinya) adalah sama.
Untuk putusan yang pertama terhadap tindakan yang sama itu telah mempunyaikekuatan
hukum yang tetap.
Belakangan dasar Ne bis in idem Itu digantungkan kepada hal, bahwa terhadapseseorang
itu juga mengenai peristiwa yang tertentu telah diambil keputusan oleh hakimdengan vonis yang
tidak diubah lagi. Putusan ini berisi:
1. Penjatuhan hukuman (veroordeling). Dalam hal ini oleh hakim diputuskan, bahwa
terdakwa terang salah telah melakukan peristiwa pidana yang dijatuhkankepadanya; atau
2. Pembebasan dari penuntutan hukum (outslag van rechisvervolging). Dalam hal ini hakim
memutuskan, bahwa peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa itudibuktikan dengan
cukup terang, akan tetapi peristiwa itu ternyata bukan peristiwa pidana, atau terdakwanya
kedapatan tidak dapat dihukum, karena tidak dapat dipertanggung jawabkan atas
perbuatannya itu, atau
3. Putusan bebas (vrijspraak). Putusan ini berarti, bahwa kesalahan terdakwa atas peristiwa
yang dituduhkan kepadanya tidak cukup buktinya.
2. Lampau Waktu/Verjaring
Daluwarsa adalah pengaruh lampau waktu yang diberikan oleh Undang-undanguntuk
menuntut seseorang tertuduh dalam perbuatan pidana. Yang menjadi dasar ataualasan pembuat
KUHP menerima lembaga lewat waktu (verjaring) adalah :
1. Sesudah lewatnya beberapa waktu, apalagi waktu yang lewat itu cukup panjang,maka
ingatan orang tentang peristiwa telah berkurang bahkan tidak jarang hampir hilang.
2. Kepada individu harus diberi kepastian hukum (rechtsverligheid) terutama
apabilaindividu terpaksa tinggal di luar negeri dan dengan demikian untuk
sementarawaktu merasa kehilangan atau dikurangi kemerdekaannya.
3. Untuk berhasilnya tuntutan pidana maka sukarlah mendapatkan bukti sesudahlewatnya
waktu yang agak lama. Dalam Pasal 79 KUHP ditentukan bahwa sebagai saat mulai
berjalannya jangkawaktu daluwarsa dalam tuntutan pidana adalah “keesokan harinya
sesudah perbuatan dilakukan”.
Dalam Pasal 79 KUHP ditentukan bahwa sebagai saat mulai berjalannya jangkawaktu
daluwarsa dalam tuntutan pidana adalah “keesokan harinya sesudah perbuatan dilakukan”.
Pembuat KUHP juga menentukan saat istimewa mulai berjalannya lewat waktunya
tuntutan pidana dalam tiga hal yaitu :
1. Dalam hal memalsu atau meniru uang logam atau kertas atau uang kertas bank, maka
jangka lewat waktunya tuntutan pidana mulai berjalan pada harisesudah hari uang palsu
itu dipakai
2. Dalam hal salah satu kejahatan yang tercantum dalam Pasal-pasal 328KUHP
(Penculikan), 329 KUHP, Pasal 330 KUHP, dan Pasal 333 KUHP, maka jangka lewat
waktunya tuntutan pidana mulai berjalan sesudah hari dibebaskannya atau meninggal
dunianya korban.
3. Dalam hal pelannggaran peraturan-peraturan Pencatatan Sipil (Pasal 556-558 a KUHP)
maka jangka lewat waktunya tuntutan pidana muali berjalan padahari sesudah hari daftar-
daftar yang bersangkutan telah diserahkan kepada Panitia Pengadilan tersebut.
Verjaring dapat dicegah (gestuit) atau dipertangguhkan (geschorst). Beda antara
pencegahan dengan penangguhan adalah sebagai berikut :
Dalam hal pencegahan, maka jangka lewat waktu yang telah dilalui hilang samasekali,
sedangkan dalam hal penangguhan jangka lewat waktu yang telah dilalui sebelum diadakannya
pertangguhan itu dapat diperhitungkan terus.
Pasal 80 KUHP mengatur pencegahan jangka lewat waktunya tuntutan pidana :“tiap-tiap
perbuatan penuntutan mencegah daluwarsa (lewat waktu) asal saja perbuatan itu diketahui oleh
orang yang dituntut atau diberitahukan kepadanya menurut cara yangditentukan oleh undnag-
undang”.
Pasal 81 KUHP mengatur mengenai penangguhan lewat waktunya tuntutan pidana itu
disebabakan oleh apa yang disebut “question prefudictelleau judgement” atau perselisihan pra
yudiciil. Ini merupakan perselisihan menurut hukum perdata yang terlebih dahulu harus
diselesaikan sebelum perkara pidananya dilanjutkan.
3. Kematian Terdakwa/Terpidana
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 77 KUHP : “Kewenangan menuntut pidana hapus jika
terdakwa meninggal dunia”
Apabila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir dari pengadilan
maka hak menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam taraf pengusutan, maka pengusutan itu
dihentikan. Jika penuntut telah dimajukan, maka penuntut umum harusoleh pengadilan
dinyatkaan tidak dapat diterima dengan tentunya (niet-outvanhelijk verklaard). Umumnya
demikian apabila pengadilan banding atau pengadilan kasasi masihharus memutuskan
perkaranya.
Dalam pasal 77 KUHP terletak suatu prinsip, bahwa penuntutan hukum itu harus
ditujukan kepada diri pribadi orang. Jika orang yang dimaksud telah melakukan peristiwa pidana
itu meninggal dunia, maka tuntutan atas peristiwa itu habis sampai demikian saja artinya tidak
dapat tuntutan itu lalu diarahkan kepada ahli warisnya.
Pengecualiannya diatur dalam pasal 361 dan 363 H.I. R yang menerangkan bahwa dalam
hal menuntut denda, ongkos perkara atau merampas barang-barang yang tertentu mengenai
pelanggaran tentang penghasilan negara dan cukai, tuntutan itu dapat dilakukan kepada ahli
waris orang yang bersalah. Oleh karena sifat individual hukum acara pidana, maka baik
wewenang penuntut umum untuk menuntut pidana seseorang yang disangkamelakukan delik,
maupun wewenang untuk mengeksekusi pidana hapus karena kematian terdakwa atau terpidana.
4. Penyelesaian di Luar Proses Pengadilan
Hal ini diatur dalam Pasal 82 KUHP. Yang bunyinya sebagai berikut :
Pasal 82 ayat (1)
Hak menuntut hukum karena pelanggaran yang terancam hukuman utama tak lain dari
pada denda, tidak berlaku lagi jika maksimum denda dibayar dengan kemauan sendiridan
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana

Más contenido relacionado

La actualidad más candente

PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANAPPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANADian Oktavia
 
Percobaan, penyertaan, pembantuan, dan perbarengan
Percobaan, penyertaan, pembantuan, dan perbarenganPercobaan, penyertaan, pembantuan, dan perbarengan
Percobaan, penyertaan, pembantuan, dan perbarenganNathan Dippos Fajar
 
Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2villa kuta indah
 
Pembahasan soal hukum pidana fh unpas tahun 2014
Pembahasan soal hukum pidana fh unpas tahun 2014Pembahasan soal hukum pidana fh unpas tahun 2014
Pembahasan soal hukum pidana fh unpas tahun 2014Rudi Sudirdja
 
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...Idik Saeful Bahri
 
Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...
Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...
Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...Idik Saeful Bahri
 
Sistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanaSistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanayudikrismen1
 
Hukum perdata internasional - Pelaaksanaan putusan pengadilan dan arbitrase a...
Hukum perdata internasional - Pelaaksanaan putusan pengadilan dan arbitrase a...Hukum perdata internasional - Pelaaksanaan putusan pengadilan dan arbitrase a...
Hukum perdata internasional - Pelaaksanaan putusan pengadilan dan arbitrase a...Idik Saeful Bahri
 
Istilah definisi-dan-karakteristik-hukum-internasional
Istilah definisi-dan-karakteristik-hukum-internasionalIstilah definisi-dan-karakteristik-hukum-internasional
Istilah definisi-dan-karakteristik-hukum-internasionalAnastasia Sevenfold
 
Hukum Perizinan - ASPEK HUKUM EKONOMI DAN BISNIS
Hukum Perizinan - ASPEK HUKUM EKONOMI DAN BISNISHukum Perizinan - ASPEK HUKUM EKONOMI DAN BISNIS
Hukum Perizinan - ASPEK HUKUM EKONOMI DAN BISNISFalanni Firyal Fawwaz
 

La actualidad más candente (20)

PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANAPPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
 
Hukum Pidana
Hukum PidanaHukum Pidana
Hukum Pidana
 
Percobaan, penyertaan, pembantuan, dan perbarengan
Percobaan, penyertaan, pembantuan, dan perbarenganPercobaan, penyertaan, pembantuan, dan perbarengan
Percobaan, penyertaan, pembantuan, dan perbarengan
 
Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2
 
Pembahasan soal hukum pidana fh unpas tahun 2014
Pembahasan soal hukum pidana fh unpas tahun 2014Pembahasan soal hukum pidana fh unpas tahun 2014
Pembahasan soal hukum pidana fh unpas tahun 2014
 
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
 
Soal lomba gabungan
Soal lomba gabunganSoal lomba gabungan
Soal lomba gabungan
 
Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...
Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...
Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...
 
SANKSI dalam HAN
SANKSI dalam HANSANKSI dalam HAN
SANKSI dalam HAN
 
Hukum perizinan
Hukum perizinanHukum perizinan
Hukum perizinan
 
Perbandingan Hukum Pidana
Perbandingan Hukum PidanaPerbandingan Hukum Pidana
Perbandingan Hukum Pidana
 
Hukum Acara Perdata.pptx
Hukum Acara Perdata.pptxHukum Acara Perdata.pptx
Hukum Acara Perdata.pptx
 
Sistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanaSistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidana
 
Hukum pidana
Hukum pidanaHukum pidana
Hukum pidana
 
sumber sumber hukum
 sumber sumber hukum sumber sumber hukum
sumber sumber hukum
 
Hukum perdata internasional - Pelaaksanaan putusan pengadilan dan arbitrase a...
Hukum perdata internasional - Pelaaksanaan putusan pengadilan dan arbitrase a...Hukum perdata internasional - Pelaaksanaan putusan pengadilan dan arbitrase a...
Hukum perdata internasional - Pelaaksanaan putusan pengadilan dan arbitrase a...
 
Istilah definisi-dan-karakteristik-hukum-internasional
Istilah definisi-dan-karakteristik-hukum-internasionalIstilah definisi-dan-karakteristik-hukum-internasional
Istilah definisi-dan-karakteristik-hukum-internasional
 
Kriminologi
KriminologiKriminologi
Kriminologi
 
Hukum agraria nasional pert ke 2
Hukum agraria nasional pert ke 2Hukum agraria nasional pert ke 2
Hukum agraria nasional pert ke 2
 
Hukum Perizinan - ASPEK HUKUM EKONOMI DAN BISNIS
Hukum Perizinan - ASPEK HUKUM EKONOMI DAN BISNISHukum Perizinan - ASPEK HUKUM EKONOMI DAN BISNIS
Hukum Perizinan - ASPEK HUKUM EKONOMI DAN BISNIS
 

Destacado

Surat permohonan keringanan kebijakan
Surat permohonan keringanan kebijakanSurat permohonan keringanan kebijakan
Surat permohonan keringanan kebijakanPriyatmoko Dwi
 
Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi DaerahUndang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerahinfosanitasi
 
10 contoh surat pernyataan terbaru
10 contoh surat pernyataan terbaru10 contoh surat pernyataan terbaru
10 contoh surat pernyataan terbaruAndika Andika
 
Pengertian & obyek kajian kriminologi
Pengertian & obyek kajian kriminologiPengertian & obyek kajian kriminologi
Pengertian & obyek kajian kriminologiRifan Adriansyah
 
Tugas Kuliah Materi Hukum Pidana (Dosen Pak Prima)
Tugas Kuliah Materi Hukum Pidana (Dosen Pak Prima)Tugas Kuliah Materi Hukum Pidana (Dosen Pak Prima)
Tugas Kuliah Materi Hukum Pidana (Dosen Pak Prima)Riskasoesilawati
 
TENTANG MANUSIA DAN KEHIDUPAN
TENTANG MANUSIA DAN KEHIDUPAN TENTANG MANUSIA DAN KEHIDUPAN
TENTANG MANUSIA DAN KEHIDUPAN Desi Rahmawati
 
Proses penegakkan hukum tindak pidana (pemeriksaan saksi dan tersangka)
Proses penegakkan hukum tindak pidana (pemeriksaan  saksi dan tersangka)Proses penegakkan hukum tindak pidana (pemeriksaan  saksi dan tersangka)
Proses penegakkan hukum tindak pidana (pemeriksaan saksi dan tersangka)Dadang DjokoKaryanto
 

Destacado (17)

Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertangg...
Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertangg...Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertangg...
Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertangg...
 
Surat permohonan keringanan kebijakan
Surat permohonan keringanan kebijakanSurat permohonan keringanan kebijakan
Surat permohonan keringanan kebijakan
 
Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi DaerahUndang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
 
10 contoh surat pernyataan terbaru
10 contoh surat pernyataan terbaru10 contoh surat pernyataan terbaru
10 contoh surat pernyataan terbaru
 
Euthanasia ditinjau dari segi etika keperawatan
Euthanasia ditinjau dari segi etika keperawatanEuthanasia ditinjau dari segi etika keperawatan
Euthanasia ditinjau dari segi etika keperawatan
 
Makalah Kausal Komparatif
Makalah Kausal KomparatifMakalah Kausal Komparatif
Makalah Kausal Komparatif
 
Pengertian & obyek kajian kriminologi
Pengertian & obyek kajian kriminologiPengertian & obyek kajian kriminologi
Pengertian & obyek kajian kriminologi
 
Kisi kisi US/M Tahun 2014
Kisi kisi US/M Tahun 2014Kisi kisi US/M Tahun 2014
Kisi kisi US/M Tahun 2014
 
teori dan madzhab kriminologi
teori dan madzhab kriminologiteori dan madzhab kriminologi
teori dan madzhab kriminologi
 
Hukum pidana khusus
Hukum pidana khususHukum pidana khusus
Hukum pidana khusus
 
Seminar pajak
Seminar pajakSeminar pajak
Seminar pajak
 
Tugas Kuliah Materi Hukum Pidana (Dosen Pak Prima)
Tugas Kuliah Materi Hukum Pidana (Dosen Pak Prima)Tugas Kuliah Materi Hukum Pidana (Dosen Pak Prima)
Tugas Kuliah Materi Hukum Pidana (Dosen Pak Prima)
 
Asas Asas Hukum Pidana
Asas Asas Hukum PidanaAsas Asas Hukum Pidana
Asas Asas Hukum Pidana
 
TENTANG MANUSIA DAN KEHIDUPAN
TENTANG MANUSIA DAN KEHIDUPAN TENTANG MANUSIA DAN KEHIDUPAN
TENTANG MANUSIA DAN KEHIDUPAN
 
Proses penegakkan hukum tindak pidana (pemeriksaan saksi dan tersangka)
Proses penegakkan hukum tindak pidana (pemeriksaan  saksi dan tersangka)Proses penegakkan hukum tindak pidana (pemeriksaan  saksi dan tersangka)
Proses penegakkan hukum tindak pidana (pemeriksaan saksi dan tersangka)
 
Bab 2
Bab 2Bab 2
Bab 2
 
25. bantuan-penguatan-lembaga-paud
25. bantuan-penguatan-lembaga-paud25. bantuan-penguatan-lembaga-paud
25. bantuan-penguatan-lembaga-paud
 

Similar a Resume Materi Hukum Pidana

Presentation12`1qa
Presentation12`1qaPresentation12`1qa
Presentation12`1qaAndiex Ae
 
Presentation12`1qa
Presentation12`1qaPresentation12`1qa
Presentation12`1qaandiex25
 
Makalah pidana
Makalah pidanaMakalah pidana
Makalah pidanaangkat re
 
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptxPPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptxPuputDachi
 
Hukum Pidana (Pengantar)
Hukum Pidana (Pengantar)Hukum Pidana (Pengantar)
Hukum Pidana (Pengantar)Andrie Irawan
 
PPT-HUKUM-PIDANA.ppt terbaru dan terlengkap
PPT-HUKUM-PIDANA.ppt terbaru dan terlengkapPPT-HUKUM-PIDANA.ppt terbaru dan terlengkap
PPT-HUKUM-PIDANA.ppt terbaru dan terlengkapAhmadMuhtadi11
 
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdfAsas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdfAchmad98
 
Sistem hukum 1
Sistem hukum 1Sistem hukum 1
Sistem hukum 1Riya Zayn
 
Pengantar Hukum Pidana dan Pembaharuan Hukum Pidana
Pengantar Hukum Pidana dan Pembaharuan Hukum PidanaPengantar Hukum Pidana dan Pembaharuan Hukum Pidana
Pengantar Hukum Pidana dan Pembaharuan Hukum PidanaNasiPadang7
 
Sistem Hukum & Peradilan Di Indonesia_SUCI WULAN SARI .pdf
Sistem Hukum & Peradilan Di Indonesia_SUCI WULAN SARI .pdfSistem Hukum & Peradilan Di Indonesia_SUCI WULAN SARI .pdf
Sistem Hukum & Peradilan Di Indonesia_SUCI WULAN SARI .pdfsuciwulan166
 
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONALSISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONALZainal Abidin
 
PENDAHULUAN HUKUM PIDANA untuk kelas pengantar hukum indonesia
PENDAHULUAN HUKUM PIDANA untuk kelas pengantar hukum indonesiaPENDAHULUAN HUKUM PIDANA untuk kelas pengantar hukum indonesia
PENDAHULUAN HUKUM PIDANA untuk kelas pengantar hukum indonesiaannisa615455
 
Mengarungi Bahtera Keadilan Bangsa Indonesia
Mengarungi Bahtera Keadilan Bangsa IndonesiaMengarungi Bahtera Keadilan Bangsa Indonesia
Mengarungi Bahtera Keadilan Bangsa IndonesiaAmmara Fathina
 
Sistem hukum
Sistem hukumSistem hukum
Sistem hukumdimahana
 
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukumpengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukumRifa Ramadhani
 
Macam-Macam Penggolongan Hukum
Macam-Macam Penggolongan HukumMacam-Macam Penggolongan Hukum
Macam-Macam Penggolongan Hukumernyoctaa
 
VII. Pembedaan Hukum.pptx
VII. Pembedaan Hukum.pptxVII. Pembedaan Hukum.pptx
VII. Pembedaan Hukum.pptxdonihasmanto
 

Similar a Resume Materi Hukum Pidana (20)

Presentation12`1qa
Presentation12`1qaPresentation12`1qa
Presentation12`1qa
 
Presentation12`1qa
Presentation12`1qaPresentation12`1qa
Presentation12`1qa
 
Makalah pidana
Makalah pidanaMakalah pidana
Makalah pidana
 
Hk.pidana
Hk.pidanaHk.pidana
Hk.pidana
 
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptxPPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
 
Hukum Pidana (Pengantar)
Hukum Pidana (Pengantar)Hukum Pidana (Pengantar)
Hukum Pidana (Pengantar)
 
PPT-HUKUM-PIDANA.ppt terbaru dan terlengkap
PPT-HUKUM-PIDANA.ppt terbaru dan terlengkapPPT-HUKUM-PIDANA.ppt terbaru dan terlengkap
PPT-HUKUM-PIDANA.ppt terbaru dan terlengkap
 
Hukum bab 5 kelas x
Hukum bab 5 kelas xHukum bab 5 kelas x
Hukum bab 5 kelas x
 
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdfAsas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
 
Sistem hukum 1
Sistem hukum 1Sistem hukum 1
Sistem hukum 1
 
Pengantar Hukum Pidana dan Pembaharuan Hukum Pidana
Pengantar Hukum Pidana dan Pembaharuan Hukum PidanaPengantar Hukum Pidana dan Pembaharuan Hukum Pidana
Pengantar Hukum Pidana dan Pembaharuan Hukum Pidana
 
Sistem Hukum & Peradilan Di Indonesia_SUCI WULAN SARI .pdf
Sistem Hukum & Peradilan Di Indonesia_SUCI WULAN SARI .pdfSistem Hukum & Peradilan Di Indonesia_SUCI WULAN SARI .pdf
Sistem Hukum & Peradilan Di Indonesia_SUCI WULAN SARI .pdf
 
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONALSISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL
 
PENDAHULUAN HUKUM PIDANA untuk kelas pengantar hukum indonesia
PENDAHULUAN HUKUM PIDANA untuk kelas pengantar hukum indonesiaPENDAHULUAN HUKUM PIDANA untuk kelas pengantar hukum indonesia
PENDAHULUAN HUKUM PIDANA untuk kelas pengantar hukum indonesia
 
Mengarungi Bahtera Keadilan Bangsa Indonesia
Mengarungi Bahtera Keadilan Bangsa IndonesiaMengarungi Bahtera Keadilan Bangsa Indonesia
Mengarungi Bahtera Keadilan Bangsa Indonesia
 
Sistem hukum
Sistem hukumSistem hukum
Sistem hukum
 
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukumpengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
 
hukum_pidana.pdf
hukum_pidana.pdfhukum_pidana.pdf
hukum_pidana.pdf
 
Macam-Macam Penggolongan Hukum
Macam-Macam Penggolongan HukumMacam-Macam Penggolongan Hukum
Macam-Macam Penggolongan Hukum
 
VII. Pembedaan Hukum.pptx
VII. Pembedaan Hukum.pptxVII. Pembedaan Hukum.pptx
VII. Pembedaan Hukum.pptx
 

Más de Ica Diennissa

POWER POINT SIDANG SKRIPSI TENTANG PELAYANAN PUBLIK
POWER POINT SIDANG SKRIPSI TENTANG PELAYANAN PUBLIKPOWER POINT SIDANG SKRIPSI TENTANG PELAYANAN PUBLIK
POWER POINT SIDANG SKRIPSI TENTANG PELAYANAN PUBLIKIca Diennissa
 
Hak Atas Kekayaan Intelektual
Hak Atas Kekayaan IntelektualHak Atas Kekayaan Intelektual
Hak Atas Kekayaan IntelektualIca Diennissa
 
Upaya hukum dalam acara pidana
Upaya hukum dalam acara pidanaUpaya hukum dalam acara pidana
Upaya hukum dalam acara pidanaIca Diennissa
 
Analisa kasus pembunuhan kapolsek dolok pardamean, sumut
Analisa kasus pembunuhan kapolsek dolok pardamean, sumutAnalisa kasus pembunuhan kapolsek dolok pardamean, sumut
Analisa kasus pembunuhan kapolsek dolok pardamean, sumutIca Diennissa
 
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para AhliAsas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para AhliIca Diennissa
 
Resume Hukum Tata Negara
Resume Hukum Tata NegaraResume Hukum Tata Negara
Resume Hukum Tata NegaraIca Diennissa
 
Resume Hukum Perdata Internasional
Resume Hukum Perdata InternasionalResume Hukum Perdata Internasional
Resume Hukum Perdata InternasionalIca Diennissa
 
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945Ica Diennissa
 

Más de Ica Diennissa (12)

POWER POINT SIDANG SKRIPSI TENTANG PELAYANAN PUBLIK
POWER POINT SIDANG SKRIPSI TENTANG PELAYANAN PUBLIKPOWER POINT SIDANG SKRIPSI TENTANG PELAYANAN PUBLIK
POWER POINT SIDANG SKRIPSI TENTANG PELAYANAN PUBLIK
 
Hak Atas Kekayaan Intelektual
Hak Atas Kekayaan IntelektualHak Atas Kekayaan Intelektual
Hak Atas Kekayaan Intelektual
 
Money Laundering
Money LaunderingMoney Laundering
Money Laundering
 
Upaya hukum dalam acara pidana
Upaya hukum dalam acara pidanaUpaya hukum dalam acara pidana
Upaya hukum dalam acara pidana
 
Ketahanan Nasional
Ketahanan NasionalKetahanan Nasional
Ketahanan Nasional
 
Konstitusi RIS
Konstitusi RISKonstitusi RIS
Konstitusi RIS
 
Analisa kasus pembunuhan kapolsek dolok pardamean, sumut
Analisa kasus pembunuhan kapolsek dolok pardamean, sumutAnalisa kasus pembunuhan kapolsek dolok pardamean, sumut
Analisa kasus pembunuhan kapolsek dolok pardamean, sumut
 
Diksi
DiksiDiksi
Diksi
 
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para AhliAsas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
 
Resume Hukum Tata Negara
Resume Hukum Tata NegaraResume Hukum Tata Negara
Resume Hukum Tata Negara
 
Resume Hukum Perdata Internasional
Resume Hukum Perdata InternasionalResume Hukum Perdata Internasional
Resume Hukum Perdata Internasional
 
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945
 

Resume Materi Hukum Pidana

  • 1. TUGAS HUKUM PIDNA -RESUME MATERI HUKUM PIDANA- Dosen Pengajar : Davit Rahmadhan, S.H., M.H. oleh : DIENNISSA PUTRIYANDA Nim : 1209114065 Fakultas Hukum Universitas Riau 2013
  • 2. BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Hukum Pidana Pengertian Hukum Pidana menurut beberapa ahli : MenurutMoeljatno(sarjana Hukum Pidana Indonesia) Hukum Pidana » Bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk : (1) Menentukan perbuatan-perbuatan masa yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. (2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. (3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Menurut Pompe Hukum Pidana » Semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan- perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macamnya pidana itu. Menurut Simons Hukum Pidana » Semua perintah dan larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu pidana/nestapa bagi barangsiapa yang tidak menaatinya. Dan juga merupakan semua aturan yang ditentukan oleh negara yang berisi syarat-syarat untuk menjalankan pidana tersebut. Menurut Van Hattum Hukum Pidana » Suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti dan ditetapkan oleh suatu negara atau oleh suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengkaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa pidana. Menurut Wirjono Prodjodikoro
  • 3. Hukum Pidana » Peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan” yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan. “Hukum pidana adalah seperangkat norma/aturan yang berlaku yang berisikan perintah, larangan, kebolehan serta mengandung sanksi yang nyata tentang perbuatan apa yang dilarang, siapa yang dapat dipertanggungjawabkan dan sanksi apa yang dapat dijatuhkan.” B. Tempat dan Sifat Hukum Pidana Tempat atau Ruang Lingkup Hukum Pidana Perbuatan Pidana » Perbuatan itu melanggar hukum. Pertanggungjawaban Pidana » Orang yang melanggar hukum. Sanksi Pidana » Ancaman pidana harus tetap merupakan ultimum remedium (upaya terakhir dalam hal penegakan hukum). Sifat Hukum Pidana Perbuatan Pidana Pertanggungjawaban Pidana Sanksi Pidana
  • 4. Hukum Pidana termasuk hukum publik. Sifat hukum pidana sebagai hukum publik antara lain dapat diketahui berdasarkan : 1. Suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya telah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari korbannya; 2. Penuntutan menurut hukum pidana, tidak digantungkan kepada keinginan dari orang yan telah dirugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain. 3. Biaya penjatuhan pidana dipikul oleh negara sedangkan pidana denda dan perampasan barang menjadi penghasilan negara. C. Perbedaan Antara Hukum Pidana dan Hukum Perdata 1) Perbedaan antara Hakim yang mengadili. Di Indonesia (dan juga di negara Belanda) untuk sebagian besar diadili oleh Hakim dan pengadilan yang sama, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, di MA ada Ketua Muda Pidana dan Ketua Muda Perdata. Di Inggris, Pengadilan perkara perdata, yaitu High Court(untuk gugatan dengan jumlah besar), sedangkan Country Court (mengadili selebihnya). Untuk perkara pidana, Pengadilan tingkat pertama ialah Crown Court dan Magistrate Court, umumnya jika terdakwa mengaku (plea guilty). Ada pengadilan appeal, yaitu Divisional Court atau Court of Appeal. Pengadilan tingkat terakhir the final appeal court House of Lords. 2) Istilah berbeda. Yaitu dalam perkara pidana tuntutan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum atas nama negara dengan surat dakwaan yang mengandung uraian delik yang didakwakan. Sedangkan dalam perkara perdata gugatan diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan (yang dirugikan) sendiri. 3) Hasil berbeda. Jika dalam perkara pidana tuntutan jaksa penuntut umum yang tercantum dalam dakwaan terbukti dan meyakinkan hakim, maka terdakwa akan dijatuhi pidana (nestapa). Sedangkan dalam perkara perdata, jika gugatan diterima maka tergugat akan dihukum untuk mengganti kerugian atau melakukan suatu perbuatan. 4) Perbedaan pembuktian. Dalam perkara pidana yang dicari ialah kebenaran materiel, yaitu kebenaran yang sungguh-sungguh. Sedangkan dalam perkara perdata, cukup dengan kebenaran formiel, misalnya jika seorang tergugat mengaku berutang walaupun tidak, dia akan diperintahkan untuk membayar utang yang diakuiya itu. D. Pembagian Hukum Pidana Umum dan Khusus
  • 5. Pembagian Hukum Pidana Umum » yang tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pembagian Hukum Pidana Khusus » yang tercantum di dalam perundang-undangan di luar KUHP.
  • 6. BAB II SEJARAH SINGKAT HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Zaman VOC Menurut Utrecht, hukum yang berlaku didaerah yang dikuasai oleh VOC ialah : 1) Hukum statute yang termuat didalam: Statuten van Batavia 2) Hukum Belanda kuno 3) Asas-asas hukum Romawi Hubungan hukum Belanda yang kuno dengan statute itu ialah sebagai pelengkap, jika statuta tidak dapat menyelesaikan masalah, maka hukum Belanda kuno yang diterapkan, sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak (Slaven recht). B. Zaman Hindia Belanda KUHP yang berlaku bagi golongan Bumiputera juga saduran dari KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada KUHP 1918 pun, pidananya lebih berat daripada KUHP 1886. Oleh karena itu, perlu pula ditinjau secara sekilas lintas perkembangan kodifikasi di Negeri Belanda. Kitab Undang-Undang 1809 memuat ciri-ciri modern didalamnya menurut Vos, yaitu : 1) Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim didalam pemberian pidana 2) Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja 3) Penghapusan perampasan umum Berlakunya KUHP baru di Negeri Belanda pada tahun 1886, dipikirkanlah oleh pemerintah Belanda bahwa KUHP di Hindia Belanda yaitu tahun 1866 dan 1872 yang banyak persamaannya dengan code penal Perancis, perlu diganti dan disesuaikan dengan KUHP baru Belanda tersebut. C. Zaman Pendudukan Jepang
  • 7. WvS tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang. Hal ini didasarkan pada Undang- Undang (Osamu Serei) Nomor 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa dan Madura. D. Zaman Kemerdekaan Keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi kemerdekaan. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 mengatakan : “Segala badan Negara dan peraturan yang masih ada masih berlangsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. E. Rancangan KUHP Baru Tahun 1981-1982 konsep Rancangan Buku I telah diselesaikan dalam arti masih kasar. Pada tahun 1982, diadakanlah Lokakarya di BABINKUMNAS membahas rancangan tersebut. Sesudah itu, terus menerus Tim berkumpul untuk memperhalus rumusan Rancangan Buku I sampai tersebut, dan menyusun Rancangan Buku II sampai tahun 1985. Pada tahun 1985 itu, diadakanlah Lokakarya lagi ditempat yang sama untuk membahas Buku II.
  • 8. BAB III TEORI-TEORI TENTANG HUKUM PIDANA A. Pengertian Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan hukum perdata. Dalam gugatanperdata pada umumnya, pertanyaan timbul mengenai berapa besar jika ada, tergugat telah merugikan penggugat dan kemudian pemulihan apa jika ada yang sepadan untuk mengganti kerugian penggugat. Dalam perkara pidana sebaliknya, seberapa jauh terdakwa merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada terdakwa karena telah melanggar hokum (pidana). Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu memperbaiki pembuat. Jika seorang anak dimasukkan ke pendidikan paksa maksudnya ialah untuk memperbaiki tingkah lakunya yang buruk. B. Tujuan Pidana Dalam literatur berbahasa Inggris, tujuan pidana biasa disingkat dengan tiga R dan satu D. tiga R itu ialah Reformation, Restraint, dan Retribution, sedangkan satu D ialah Deterrence, yang terdiri atas individual deterrence dan general deterrence (pencegahan khusus dan pencegahan umum). Reformation berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Dengan tersingkirnya pelanggar hokum dari masyarakat, berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan. Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa. Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18, dianut antara lain oleh Immanuel kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak, dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya
  • 9. pada filsafat katolik dan sudah tentu juga sarjana Hukum Islam yang mendasarkan teorinya pada ajaran kisas dalam Al-Qur‟an. Teori kedua ialah Herbart yang mengikuti Aristoteles dan Thomas Aquino yang mengatakan bahwa, apabila kejahatan tidak dibalas dengan pidana, maka timbullah perasaan tidak puas. Memidana penjahat adalah suatu keharusan menurut estetika. Teori ketiga adalah Hegel yang mengatakan bahwa etika tidak dapat mengizinkan berlakunya suatu kehendak subjektif yang bertentangan dengan hukum. Teori keempat, pertama kali dikemukan oleh Heymans yang diikuti oleh Kant, Rumelin, Nelson, dan Kranenburg. Asas persamaan hokum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat menuntut suatu perlakuan menurut hokum yang sama terhadap setiap anggota masyarakat. Teori kelima dikemukakan oleh Heymans yang mengatakan bahwa keperluan untuk membalas tidak ditujukan kepada persoalan: apakah orang lain mendapat bahagia atau penderitaan, tetapi keperluan untuk membahas itu ditujukan kepada niat masing-masing orang. Teori yang keenam diperkenalkan oleh Leo Polak sendiri, berpangkal pada etika. Menurut etika Spinoza, tiada seorangpun boleh mendapatkan keuntungan, karena suatu perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya (nemalis expeidiat esse malos).
  • 10. BAB IV RUANG LINGKUP KEKUATAN BERLAKUNYA HUKUM PIDANA A. Asas Legalitas Asas legalitas tercantum didalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Kalau kata-katanya yang asli didalam bahasa Belanda disalin kedalam bahasa Indonesia kata demi kata, maka akan berbunyi: “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana, selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Legi Poenali). Asas ini tercantum juga didalam Hukum Acara Pidana (Pasal 3 KUHP/Pasal 1 RKUHP) yang mirip dengan pasal 1 Strafvordering (KUHAP) Belanda, yang berbunyi: “Strafvordering heft allen plaats op de wijze, bij de wet voorzien” (Hukum Acara Pidana dijalankan hanya menurut cara yang ditentukan Undang-Undang). Dasar pemikiran asas legalitas menurut Klaas Rozemond ialah : 1. Adanya kepastian hukum (rechtszekerheid) 2. Legitimasi demokratis (democratische legitimatie) B. Penerapan Analogi KUHP RRC mengenal juga analogi yang tercantum didalam pasal 79 KUHP RRC yang berbunyi: “jika suatu kejahatan tidak diatur secara tegas didalam ketentuan Khusus Undang-Undang ini, tetapi harus diajukan kepada Mahkamah Agung Rakyat untuk disetujui”. Jadi, analogi diperkenankan, tetapi harus diperkuat oleh Mahkamah Agung. Penerapan analogi menurut Hermann Mannheim, tidak menunjukkan suatu Negara demokratis atau totaliter, karena KUHP Italia Fascist 1930 tegas melarang analogi, sedangkan Negara demokrasi seperti Denmark menerima analogi. Jerman Timur (dulu) juga menganut asas legalitas dan melarang analogi. Penerapan analogi hanya diizinkan kata Pompe, jika ditemukan adanya kesenjangan didalam Undang-Undang yang tidak dipikirkan (hal-hal yang dilupakan) atau tidak dapat dipikirkan (hal-hal baru) oleh pembuat Undang-Undang dan karena itu Undang-Undang tidak merumuskan lebih luas, sehingga meliputi hal-hal itu didalam teksnya.
  • 11. Sebagai suatu kesimpulan, dapat dikatakan bahwa memang ada kekhawatiran dengan memakai analogi asas legalitas dibahayakan. Hal ini dapat dilihat pada zaman Hitler. Tetapi jika yang dimaksud adalah penerapan analogi secara terbatas dalam arti sama dengan penafsiran ekstensif, sebagai contoh arrest aliran listrik, dan sekarang ini delik-delik dibidang computer, maka sebenarnya masalah yang diperdebatkan hanya secara teoritis yang hasilnya sama saja. C. Hukum Transitoir (Peralihan) Asas dasar bahwa hukum pidana tidak berlaku surut sebagaimana tercantum didalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, dibatasi dengan kekecualian yang tercantum didalam ayat 2 pasal itu. Ayat 2 itu berbunyi: “Apabila perundang-undangan diubah setelah waktu perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya”. Perubahan, berarti perubahan rumusan delik dan atau kualifikasi seperti perubahan ancaman pidana. Termasuk juga perubahan rumusan ketentuan umum dalam concreto, misalnya perubahan ketentuan percobaan, penyertaan dan gabungan delik. Semua ini untuk keuntungan terdakwa. Tentang perubahan perundang-undangan mengenai dapatnya dituntut (pengaduan, lewat waktu, kekuasaan kehakiman ada dua putusan yang sangat baru, yaitu H.R. 16 Maret 1993 rolnr 93.619 dan H.R. 23 Maret 1993, N.J. 1993,722). Ketentuan ini logis, karena pasal 1 ayat 1 pun yang memuat asas Undang-Undang tidak berlaku surut itu bermaksud untuk melindungi kepentingan orang-orang dari perbuatan sewenang-wenang penguasa. Dengan sendirinya, ketentuan seperti tersebut dimuka, bermaksud senada dengan itu. Jangan sampai peraturan yang kemudian keluar yang lebih berat dapat dikenakan kepada terdakwa. Tetapi kalau menguntungkan justru diberlakukan. Kemungkinan berlakunya Undang-Undang yang baru (yang diundangkan kemudian dari perbuatan) merupakan kekecualian juga dari asas yang berlaku umum, bahwa Undang- Undang yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan (lex temporis delicti) yang diterapkan. Ada Negara yang tidak menentukan secara tegas hal semacam ini, seperti Perancis, tetapi yurisprudensi menganutnya. Beberapa KUHP asing seperti: Thailand, Korea, dan Jepang
  • 12. menentukan bahwa ketentuan tentang perubahan perundang-undangan yang menguntungkan terdakwa berlaku pula kepada terpidana (pidana penjara dapat dikurangi). D. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Ruang, Tempat, dan Orang Pasal 2 KUHP Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia. Ketentuan pasal diatas menunjukkan bahwa, tindak pidana yang terjadi di wilayah Indonesia (baik di daratan, lautan maupun udara) maka akan dikenakan aturan hukum pidana Indonesia baik itu dilakukan oleh warga Negara atau warga asing. Asas Hukum Pidana Asas Teritorialitas Asas Perlindungan atau Asas Nasional Pasif Asas Personalitas atau Asas Nasional Aktif Asas Universalitas 1. Asas Teritorialitas
  • 13. Pasal 3 KUHP Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia. Ketentuan pasal diatas merupakan perluasan dari Asas Teritorialitas Pasal 2 KUHP. Dan menunjukkan bahwa : a) Jika kendaraan/pesawat tersebut berada dilaut lepas yang berlaku adalah ketentuan pidana Indonesia. b) Jika seorang yang berada diatas kendaraan/pesawat tersebut sedang berlabuh di tempat asing melakukan suatu tindak pidana, oleh penguasa asing belum dituntut, maka sekembalinya ke Indonesia petindak tersebut dapat dituntut, tetapi jika sudah selesai secara juridis maka berlaku asas “nebis in idem”. c) Sebaliknya jika ada seseorang asing yang berlabuh/mendarat kendaraan/pesawat di Indonesia melakukan tindak pidana dapat dituntut sesuai ketentuan pidana Indonesia. Pasal 4 KUHP Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia : (1) Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131; (2) Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia; (3) Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia termasuk pula pemalsuan talon, tanda deviden atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat- surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak pals. 2. Asas Perlindungan atau Nasional Pasif
  • 14. (4) Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. Ketentuan pasal diatas mengutamakan pada hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan suatu negara, atau dengan kata lain yang diutamakan adalah keselamatan kepentingan suatu negara. Sehingga asas ini dinamakan „asas perlindungan‟ (beschermingsbeginsel). Inti dari pasal di ats mengenai : - Ketentuan Hukum Pidana Indonesia dapat diberlakukan terhadap WNI maupun WNA baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia untuk melindungi kepentingan hukum Indonesia, seperti yang disebut Pasal 4 KUHP. - Pasal 4 KUHP adalah jenis kejahatan yang mengancam kepentingan hukum Indonesia yang mendasar, berupa keamanan, dan keselamatan negara, perekonomian Indonesia, serta sarana dan prasarana angkutan Indonesia. Pasal 5 KUHP (1) Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar Indonesia melakukan : Ke-1 : Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Ke-2 : Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana. (2) Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan. Ketentuan pasal diatas menunjukkan bahwa, bagi warga negara yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia menyangkut pasal-pasal yang tertera pada ayat (1) Pasal 5 KUHP, maka pelakunya akan dituntut menurut aturan hukum pidana Indonesia oleh 3. Asas Personalitas atau Nasional Aktif
  • 15. pengadilan Indonesia. Kepentingan nasionalnya disini terlihat agar pelaku tindak pidana yang warga negara Indonesia itu, walaupun peristiwanya terjadi di luar negara Indonesia, tidak diadili dan dikenakan hukuman dari negara tempat terjadinya peristiwa hukum atau perbuatan pidana itu dilakukan. Inti dari asas ini, yaitu : - Bergantung atau mengikuti subyek hukum atau orangnya yakni warga negara di manapun keberadaannya (Nasional Aktif). - Asas ini tidak dapat diterapkan pada semua tindak pidana. - Diatur dalam Pasal 5 KUHP dan diperluas Pasal 5 ayat (2), diperlunak Pasal 6, diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 dan Pasal 8 KUHP. Pasal 6 KUHP Berlakunya pasal 5 ayat 1 butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak diancamkan pidana mati. Tertonjolkannya asas personalitas dalam pasal 5 dan 6 KUHP, jelas ditentukan secara tegas bahwa subyeknya adalah warga negara Indonesia. Perbedaan antara pasal 5 ayat 1 ke-1 dengan sub ke-2 ialah bahwa tersebut dalam sub ke-1 tidak dipersoalkan apakah tindakan itu merupakan tindak pidana atau tidak diluar negeri yang bersangkutan. Pasal 7 KUHP Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonesia melakukan salah-satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku Kedua. Ketentuan pasal diatas memperluas asas personalitas yaitu walaupun pegawai negeri Indonesia (seseorang yang diangkat oleh penguasa umum dan ditetapkan untuk melakukan suatu tugas umum yang merupakan sebagian dari tugas negara atau badan-badan negara) itu pada umumnya berkewarganegaraan Indonesia, tapi tidak kurang banyaknya yang berkewarganegaraan asing terutama dikedutaan-kedutaan RI, konsulat RI. Dalam hal ini yang berkewarganegaraan asing itu lebih diutamakan kepegawaiannya dari pada kewarganegaraannya.
  • 16. Pasal 8 KUHP Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab IX Buku Ketiga; begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan. Ketentuan pasal diatas berlaku jika : - Tindak pidana diatas perahu - Petindaknya yang telah ditentukan, yitu nakhoda dan penumpang - Kepentingan “perahu Indonesia” atau “pelayaran Indonesia” yang harus mendapat perlindungan Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional). Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi : 1. Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka. 2. Duta besar Negara asing beserta keluarganya mereka juga mempunyai hak eksteritorial. 3. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang mempunyainya. 4. Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu. E. Hukum Pidana Supranasional 4. Asas Universalitas
  • 17. Bentuk yang paling sempurna berfungsinya hukum pidana supranasional ialah diterimanya sejumlah peraturan-peraturan supranasional oleh Negara-negara berupa delik- delik yang mempunyai sifat internasional ditetapkan sebagai dapat dipidana yang berdasarkan ketentuan umum yang seragam, dipidana oleh Hakim yang supranasional. 1. Pengadilan penjahat perang dunia II 2. Mahkamah criminal internasional untuk Yugoslavia dan Rwanda
  • 18. BAB V INTERPRETASI UNDANG-UNDANG PIDANA A. Pentingnya Interpretasi Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil yang diapit oleh dua benua [Asia dan Australia] dan dua samudra [Samudra Hindia dan Samudra Pasifik] dengan puluhan suku bangsa yang berada adat istiadat, bahasa dan budaya, menyebabkan pentingnya interpretasi Undang-Undang Pidana, sehingga rumusan delik yang abstrak dapat diterjemahkan ke dalam keadaan yang konkret. Penafsir yang paling sesuai dengan ini ialah penafsiran sosiologis atau sesuai dengan kehidupan masyarakat setempat. Dalam KUHP sendiri, khususnya Bab IX Buku I, tercantum penafsiran istilah secara otentik. Ada pakar yang berpendapat, bahwa dengan penafsiran otentik atas suatu kata itu, sebenarnya Undang-Undang sendiri telah secara tersamar menganut analogi. Pelaksanaan peradilan pidana ditentukan oleh beberapa factor kata Herman Mannheim. Faktor-faktor itu, ialah pertama teknik legislative yang dipergunakan untuk merancang suatu Undang-Undang pidana, yang pada gilirannya akhirnya tergantung kepada sifat masalah yang akan dipecahkan dengan Undang-Undang tertentu, yang kedua ialah metode interpretasi yang akan dipergunakan oleh mereka yang dipercayakan melaksanakan peradilan pidana, ketiga ialah sifat dan latihan pelaksana ini, yang keempat ialah sifat pemulihan hokum yang menentukan terjaminnya kesatuan pelaksanaan peradilan pidana.Butir kesatu dan kedua menyangkut hokum substantive, sedangkan yang ketiga dan keempat menyangkut acara atau prosedur. Di sini, ternyata betapa pentingnya metode interpretasi yang dipergunakan, sehingga peradilan pidana terlaksana dengan baik. B. Penemuan Hukum oleh Hakim Pidana Khusus Indonesia, Pasal 2 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman mengatakan, bahwa “Hakim sebagai penegak Hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hokum yang hidup dalam masyarakat‟‟. Ini berarti Hakim harus menemukan hukum.
  • 19. Menurut pendapat Penulis, bahwa “Hakim menggali hokum yang hidup di dalam masyarakat‟‟, khususnya bagi hokum pidana tidak dapat dipakai untuk menciptakan hokum melalui analogi, tetapi melalui interpretasi, hakim Indonesia dapat menerapkan hokum pidana, sesuai dengan hokum yang hidup di dalam masyarakat. Dalam hokum perdata, dikenal beberapa jenis interpretasi, yaitu: a. interpretasi menurut tata bahasa [taalkundige atau grammatical interpretative], b. penafsiran historis, c. penafsiran sistematis, d. penafsiran sosiologis atau teleologis. Hakim perdata lebih bebas dalam menafsirkan Undang-Undang perdata daripada Hakim Pidana. Bahkan dalam hokum perdata dikenal analogi dan penafsiran penghalusan hokum [rechtsverfijning], serta juga penafsiran a contrario. Mengenai pemakaian penafsiran hokum perdata ke dalam hokum pidana, dapat kit abaca Jonkers yang menunjuk penafsiran yang tercantum dalam Pasal 1342 dan seterusnya BW, yang menyatakan bahwa jika kata-kata jelas, maka diapakai kata-katanya yang ada di situ, jadi bukan maksudnya, jika di nilai kata-katanya tidak jelas dan dapat ditafsirkan bermacam-macam maka dipakai maksudnya [debedoeling]. Jika dipilih dua macam pengertian, maka yang dipakai ialah yang dapat dilaksanakan. Ketentuan Hukum Perdata ini dapat dipakai juga untuk Hukum Pidana kata Jonkers, dengan alas an kesatuan hokum, karena perjanjian itu berlaku sebagai Undang-Undang, dan ditunjukkan arrest Hoge Raad yang menerapkan interpretasi ini. Sebagaimana telah diutarkan di dalam Bab III, dalam Hukum Pidana [Indonesia dan Belanda] analogi dilarang. Maksudnya ialah analogi dalam arti luas, bukan analogi yang orang identikkan dengan penafsiran ekstensif atau analogi terbatas. C. Jenis-jenis Interpretasi Undang-Undang Pidana Jenis-jenis interpretasi Undang-Undang Pidana yakni terdiri dari :
  • 20. 1 • penafsiran gramatika artinya penafsiran ini berdasarkan kepada kata-kata Undang-Undang. Jika kata-kata Undang-Undang sudah jelas, maka harus diterapkan sesuai dengan kata-kata itu walaupun seandainya maksud pembuat Undang-Undang lain. 2 •penafsiran sistematis atau dogmatis, interpretasi ini didasarkan kepada hubungan secara umum suatu aturan pidana. 3 •penafsiran historis [historia legis]. Penafsiran ini didasarkan kepada maksud pembuat Undang- Undang ketika diciptakan. 4 •penafsiran teleologis. Penafsiran ini mengenai tujuan Undang-Undang. Ada kritikan terhadap metode interpretasi berdasarkan tujuan Undang-Undang ini, yaitu jika melampaui kata-kata Undang-Undang. 5 •penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran luas. Hal ini telah dibicarakan di Bab III, dengan hubungannya dengan analogi. 6 •penafsiran rasional [rationeele interpretatie]. Interpretasi ini didasarkan kepada ratio atau akal. Ini sering muncul dalam Hukum Perdata. 7 •penafsiran antisipasi [Anticeperende interpretatie]. Interpretasi ini didasarkan kepada Undang-Undang baru yang bahkan belum berlaku. 8 •penafsiran perbandingan hukum. Interpretasi ini didasarkan kepada perbandingan hokum yang berlaku di berbagai Negara. 9 •penafsiran kreatif [creatieve interpretatie]. Interpretasi ini berlawanan dengan interpretasi ekstensif, di sini rumusan delik dipersempit ruang lingkupnya. 10 •penafsiran tradisionalistik [traditionalistiche interpretatie]. Dalam hokum pun ada tradisi yang kadang-kadang tersembunyi dan kadang-kadang jelas. 11 •penafsiran harmonisasi [harmoniserende interpretatie]. Interpretasi ini didasarkan kepada harmoni suatu peraturan dengan peraturan yang lebih tinggi. 12 •penafsiran doktriner [doctrinaire interpretatie]. Interpretasi ini didasarkan kepada doktrin. 13 •Interpretasi sosiologis, yang berdasarkan dampak waktu [zaman]. Interpretasi inilah yang mestinya sering dipergunakan di Indonesia, agar unifikasi hokum pidana dapat menjangkau semua golongan etnik yang beraneka ragam. Juga perkembangan kemajuan zaman.
  • 21. BAB VI PERBUATAN DAN RUMUSAN DELIK A. Pengertian Delik Hukum pidana Belanda memakai istilah Stratbaarfeit,kadang-kadang juga delict yang berasal dari bahasa latin delictum.Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada WVS Belanda,maka istilah aslinyapun sama yaitu Strafbaarfeit.Timbulah masalah dalam menerjemahkan istilah strafbaarfeit itu kedalam bahasa Indonesia. Moeljatno menolak istilah peristiwa pidana,karena katanya peristiwa itu adalah pengertian yang komplit yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu saja,misalnya matinya orang.Hukum pidana tidak melarang orang mati,tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain. Di negeri belanda dipakai diistilah feit dengan alasan bahwa istilah itu tidak meliputi hanya perbuatan atau handelen,tetapi juga pengabaian atau nalaten.Pemakaian istilah feit itu disana dikritik oleh Van Der Hoeven,karena katanya yang dapat dipidana ialah pembuat,bukan feit itu.Senada dengan itu,Van Hamel mengusulkan istilah Strafwaardigfeit (Strafwaardige artinya patut dipidana).Oleh karena itu Hazewinkle Suringa mengatakan istilah delict kurang dipersengketakan,hanya karena istilah “Strafbaarfeit” itu telah biasa dipakai. B. Rumusan Delik Simons yang merumuskan bahwa Strafbaarfeit ialah kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hokum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang ang ampu bertanggung jawab.Jonkers dan Utrech memandang rumusan simons merupakan rumusan yang lengkap,yang meliputi: a) Diancam dengan pidana oleh hukum b) Bertentangan dengan hukum c) Dilakukan oleh orang yang bersalah d) Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
  • 22. Van Hamel merumuskan delik atau Strafbaarfeit itu sebagai berikut.”Kelakan manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang,melawan hukum,yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Simons,Van Hamel dan Vos semuanya merumuskan delik atau strafbaarfeit itu secara bulat,tidak memisahkan antara perbuatan dan akbatnya disatu pihak dan pertanggung jawaban dilain pihak. A.Z.Abidin menyebut cara perumusan delik seperti ini sebagai aliran monistis tentang delik.Yang lain,yaitu yang memisahkan antara perbuatan dan akibatnya disatu pihak dan pertanggung jawaban dilain pihak sebagai aliran dualistis.Memang di Inggris dipisahkan antara perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam pidana (actusreus) disatu pihak dan pertanggungjawaban (mensrea) dilain pihak. A.Z.Abidin member contoh rumusan demikian seperti dibuat oleh Clark Marshall yang member batasan delik atau crime. Yang dilarang ialah perbuatan (termasuk pengabaian) dan yang diancam dengan pidana ialah orang yang melakukan perbutan atau pengabaian itu. Hazewinkle-Suringa menulis bahwa sesuai berfungsinya system undang-undang pidana belanda,lebih baik dikatakan suatu kelakuan manusia (yang meliputi perbuatan dan pengabaian).Yang memenuhi rumusan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana. Jadi meskipun yang memisahkan antara Actus reus pada kalimat pertama dan Mensrea pada kalimat kedua,ia tidak memisahkan secara tajam antar keduanya.Yang pertama bersifat konkrit,dan yang kedua bersifat umum.Ia menunjuk putusan Hooge Raad 1946,N.J. 1946 No.548,mengenai “Melawan Hukum” sebagai dapatnya dipidana (Strafbaarfeit) suatu perbuatan. C. Perbuatan dan Rumusan Delik dalam Undang-Undang Telah dikemukakan dimuka,bahwa hokum pidana belanda selalu memakai istilah feit.Seperti dikemukakan Hazewinkle Suringa dimuka,sebabnya karena dimaksudkan bukan saja karena perbuatannya yang positif atau dengan melakukan sesuatu,tetapi juga pengabaian atau dengan tidak melakukan sesuatu. Van Bemmelen member contoh bahwa WVS Belanda pada umumnya memakai istilah feit seperti dasar peniadaan pidana (Strafuitsluitings grond), pasal 44-52 KUHP,semua
  • 23. dimulai dengan “tidak diancam dengan pidana barang siapa yang melakukan perbuatan (feit). Juga tentang gabungan delik (Samenloop),dilakukan suatu perbuatan (feit) yang jatuh dalam lebih dari satu ketentuan pidana (pasal 63 KUHP) dan tentang lebih banyak “Perbuatan” (Feiten) pasal 65-71 KUHP.Sekali-kali dipakai juga istilah handelen.Pasal 65-75 KUHP. Code Penal memakai infraction yang terbagi atas crimes (kejahatan),delict (kejahatan ringan).Hukum pidana inggris memakai istilah act dan lawannya omission.Menurut pendapat penulis,act itu dapat dibaca “tindakan” dan omission dibaca “pengabaian”. Oleh karena itulah,menurut pendapat penulis inilah tidak tepatnya istilah “tindak pidana” itu,karena “tindak” pasti hanya meliputi perbuatan positif dan tidak meliputi “pengabaian” (naleten).Seorang penjaga pintu jalan kereta api yang tidak menutup pintu jalan tersebut tidak dapat dikatan “bertindak” karena ia hanya pasif saja tidak berbuat apa-apa. D. Cara Merumuskan Delik Pada umumnya rumusan suatu delik berisi “Bagian Inti” (Bestand delen) suatu delik.Artinya, bagian-bagian inti tersebut harus sesuai dengan perbutan yang dilakukan, barulah seseorang diancam dengan pidana.banyak penulis menyebut ini sebagai unsur delik.tetapi di sini,tidak dipakai istilah “Unsur Delik‟‟, misalnya delik pencurian terdiri dari bagian inti (Bestand delen): 1. Mengambil 2. Barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain 3. Dengan maksud memiliki 4. Melawan hukum Didalam rumusan ini terdapat bagian inti “sengaja‟‟, karena ada delik menghilangkan nyawa orang lain yang dilakukan dengan kealpaan (Culpa), yaitu pasal 359 dan 361 KUHP. E. Pembagian Delik Delik ini dapat dibedakan atas berbagai pembagian tertentu, seperti berikut ini :
  • 24. a. Delik kejahatan dan delik pelanggaran (misdrijven en overtredingen) b. Delik Materiel dan delik formel (materiel en formele delicten) c. Delik komisi dan delik omisi (commissiedelicten en omissiediedelicten) d. Delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan (zelfstandige en voort gezette delicten) e. Delik selesai dan delik berlanjut (aflopende en voortdurende delicten) f. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samengestelde delicten) g. Delik bersahaja dan delik berkualifikasi (eenvoudige en gequalificeerde delicten) h. Delik sengaja dan delik kelalaian atau culpa (doleuse en culpose delicten) i. Delik politik dan delik komun atau umum (politieke en commune delicten) j. Delik propria dan delik komun atau umum (delicta propria en commune delicten) k. Delik – delik dapat dibagi juga atas kepentinganhukum yang dilindungi, seperti delik terhadap keamanan negara, delik terhadap orang, delik kesusilaan, delk terhadap benda dan lain-lain. l. Untuk Indonesia, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 284, dikenal pula delik umum dan delik khusus, seperti delik ekonomi, korupsi, teroroisme, dan lain-lain. Pembagian delik tersebut dapat dirinci sebagai berikut : 1. Delik kejahatan dan pelanggaran : Delik ini muncul di dalam WvS (KUHP) Nederland tahun 1986, yang kemudian turun ke WvS (KUHP) Indonesia tahun 1918. Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran di dalam Ned WvS 1886 dan WvS (KUHP) Indonesia 1918 itu menimbulkan perbedaan secara teoritis. Sering disebut kejahatan sebagai delik hukum, artinya sebelum hal itu diatur di dalam undang-undang, sudah dipandang sebagai seharusnya dipidana (strafwaardig), sedangkan pelanggaran sering disebut sebagai delik undang-undang, artinya barulah karena tercantum di dalam undang- undang menyatakan sebagai dapat dipidana. Pasal itu misalnya Pasl 489 (Artikel 424 Ned.WvS, kenakalan terhadap orang atau barang sehingga dapat mendatangkan bahaya atau kerugian atau kerusakkan), Pasal 490 (Artikel 425 Ned WvS), yaitu perbuatan menggalakan hewan terhadap orang, Pasal 506 (Artikel 432 ayat 3 Ned WvS), yaitu
  • 25. muncikari. Secara Kuantitatif pembuat undang-undang membedakan delik kejahatan dan pelanggaran itu : 1. Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan – perbuatan yang merupakan kejahatan di Indonesia 2. Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tidak dipidana 3. Pada pemidanaan atau pemidanaan terhadap anak di bawah umur tergantung pada apakah itu kejahatan atau pelanggaran 1. Pada delik materiel, disebutkan adanya akibat tertentu, dengan atau tanpa menyebut perbuatan tertentu. Pada delik formel, disebut hanya satu perbuatan tertentu sebagai dapat dipidana misalnya Pasal 160, 209, 242, 263, 362 KUHP. Van Hamel keberatan adanya perbedaan hakiki antara keduanya. Pada delik formel pun ada akiibat pada dunia luar, yaitu mengenai waktu dan tempat perbuatan sering dapat dibedakan. Misalnya penghinaan dengan telepon. Oleh karena itu ia hanya mau berbicara tentang delik dengan perumuan formel atau materiel. 2. Delik komisi (delicta commissionis) ialah delik yang dilakukan dengan perbuatan. Ini dapat berupa delik yang dirumuskan secara materiel maupun formel. Di sini orang melakukan perbuatan aktif dengan melanggar larangan. Delik omisi dilakukan dengan membiarkan atau mengabaikan . Dibedakan antara delik omisi yang murni dan yang tidak murni. Delik omisi yang murni ialah membiarkan sesuatu yang diperintahkan. Ini selalu mengenai delik yang dirumuskan secara formel. Misalnya pasal-pasal 164, 224, 522, 511, KUHP. Yang kedua ialah delik omisi yang tidak murni yang disebut delicto commisionisper omissionem. Delik ini terjadi jika oleh undang-undang tidak dikehendaki suatu akibat (yang akibat itu dapat ditimbulkan dengan suatu pengabaian). Misalnya Pasal 338 KUHP yang dilakukan dengan jalan tidak memberi makan. 3. Mengenai delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan, dapat dibaca pada uraian gabungan delik atau perbarengan (samenloop) 4. Delik yang selesai ialah delik terjadi dengan melakukan sesuatu atau beberapa perbuatan tertentu. Delik yang berlangsung terus ialah delik yang terjadi karena meneruskan suatu keadaan yang dilarang. Misalnya Pasal 169, 250 KUHP, Pasal 333 KUHP berisi baik
  • 26. delik selesai (merampas kemerdekaan) dan delik yang berlangsung terus (karena tetap merampas kemerdekaan). 5. Delik berangkai berarti suatu delik yang dilakukan dengan lebih dari satu perbuatan untuk terjadinya delik itu. Van Hamel menyebut ini sebagai delik kolektif. Contoh yang paling utama, ialah delik yang dilakukan sebagai kebiasaan. Seperti Pasal 269 KUHP. Kata Van Hamel, pada delik yang dilakukan sebagai kebiasaan, tiap-tiap perbuatan pada dirinya sendiri tidak dipidana. Kata Vos, tidak sepenuhnya tepat. Pasal 481 KUHP merupakan delik yang dilakukan sebgaia kebiasaan, tetapi tiap-tiapperbuatan merupakan delik lain yaitu Pasal 480 KUHP. Dari delik kolektif, dibedakan delik sebagai pekerjaan (beroeps delict). Di sini dengan satu perbuatan sudah cukup. Meskipun di sini dimaksud sebagai pekerjaan. 6. Delik berkualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai semua unsur bentuk dasar, tetapi satu atau lebih keadaan yang memperberat pidana (tidak menjadi soal apakah itu merupakan unsur atau tidak), misalnya pencurian dengan membongkar, penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Sebaliknya ialah delik ber-privilege, bentuk khusus yang mengakibatkan keadaan-keadaan pengurangan pidana (tidak menjadi soal apakah itu unsur ataukah tidak), dipidana lebih ringan dari bentuk dasar, misalnya pembunuhan anak sendiri karena takut ketahuan melahirkan, dipidana lebih ringan dari pembunuhan biasa. 7. Delik yang dilakukan dengan sengaja dan delik kelalaian (culpa) penting dalam hal percobaan, penyertaan, pidana kurungan, pidana perampasan. Unsur-Unsur delik yang diliputi culpa: Seseorang dapat dikatakan mempunyai culpa di dalam melakukan perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan perbuatannya tanpa disertai ”de nogide en mogelijke voorzichtigheid en oplettendheid” atau tanpa disertai kehati-hatian dan perhatian seperlunya yang mungkin ia dapat berikan. Oleh karena itu maka menurut Profesor SIMONS, culpa itu pada dasrnya mempunyai dua unsurmasing-masing ”het gemis aan voorzichtigheid” dan ”het gemis van de voorzienbaarheid van het gevoig” atau masing-masing ”tidak adanya kehati-hatian” dan ”kurangnya perhatian terhadap akibat yang dapat timbul. 8. Delik politik dibagi atas : yang murni, yaitu tujuan politikyang hendak dicapai yang tercantum dalam Bab 1 Buku II, seperti Pasal 107 KUHP. Di dalam konperensi hukum pidana di Kopenhagen 1935 diberikan definisi tentang delik politik sebagai berikut :
  • 27. ”Suatu kejahatan yang menyerang baik organisasi, maupun fungsi-fungsi negara dan juga hak-hak warga negra yang bersumber dari situ”. Delik politik campuran, setengah delik poliotik setengah delik komun (umum) seperti pembunuhan seorang tiran. Di sini pembunuhan politik. 9. Dengan Delicta propria diartikan delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas tertentu, seperti delik jabatan, delik militer, dan sebagainya. 10. Lihat judul-judul bab pada Buku II KUHP F. Waktu dan Tempat Terjadinya Delik (Tempus et Locus Delicti) Delik dilakkan di saat tertentu dan di tempat tertentu. Saat itu dapat berupa jangka waktu tertentu, seperti pelanggaran terhadap larangan parkir, penyanderaan (perempasan kemerdekaan). Dalam surat dakwan harus dicantumkan waktu dan tempat terjadinya delik (temous et locus delict). Dalam rangka pembelaan diri terdakwa perlu mengetahui kapan dan di mana perbuatan yang didakwakan itu terjadi. Suatu delik ada masa lewat waktunya untuk menuntut (verjaard) Sering pula rumusan delik sendiri menunjukkan kapan delik itu dilakukan, seperti pencurian pada waktu malam di sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya (Pasal 363 ayat (1) ke 3 KUHP. Ada lima hal yang waktu menentukan terjadinya delik : 1. Menyangkut berlakunya hukum pidana (Pasal 1 ayat 1 KUHP) 2. Berlakunya peradilan anak, apakah anak itu sudah dewasa pada saat melakukan delik ataukah belum 3. Menyangkut ketentuan residive (apakah pengulangan delik atau gabungan/concursus) delik 4. menyangkut lewat waktu (verjaring) 5. Rumusan delik sendiri menetukan, pencurian pada waktu malam, pencurian pada waktu banjir, gempa dan seterusnya. Tidak disebut mengenai tempat terjadinya delik atau locus delicti. Hal ini diserahkan kepada ilmu pengetahuan dan yurisprudensi untuk menjawabnya.
  • 28. Penting tempat terjadinya delik ditentukan karena : 1. Menyangkut kompetensi relatif hakim 2. Berlakunya KUHP Indonesia (Pasal 2-8 KUHP) 3. Ada delik yang menetukan di tempat tertentu, misalnya di muka umum. 4. Tempat0tempat yang terbatas berlakunya suatu ketentuan pidana. Misalnya peraturan daerah yang hanya berlaku di wilayahnya sendiri. 5. Tempat menjadi bagian rumusan delik misalnya seperti tersebut di muka pencurian di sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya. Kejahatan yang dilakukan di atas kapal laut atau udara dan lain-lain. Menurut Cleiren & Nijboer, et al., ada 4 (empat)teori mengenai locus delicti, yaitu: 1. Ajaran perbuatan badan (de leer van lichamelijke gedraging). Ajaran ini cocokuntu delik dengan rumusan formel, yang terjadinya akibat bukan bagian inti (bestanddeel) delik. Misalnya pada delik pencurian (HR 8 Februari 1926 NJ. 1926, 285) 2. Ajaran yang kedua disebut ajaran instrumen atau alat (de leer vanhet instrument). Ajaran ini berkaitan dengan delik yang dilakukan dengan sebuah alat seperti senapan, racun, bom, dll. Ajaran ini mengatakan bahwa locus delicti ialah tempat bekerjanya alat itu. Jika A mengirim pesan melalui internet dari Singapura ke Jakarta untuk menipu, maka Jakarta adalah locus delictinya 3. Ajaran ketiga disebut ajaran terciptanya akibat (de leer van constitutieve gevolg). Locus delicti berdasarkan ajaran ini ialah tempat delik menjadi sempurna dengan terjadinya akibat. Ajaran ini hanya berlaku jika akibat tertentu menjadi bagian inti (bestanddeel) seperti pembunuhan (moord;murder;mord). Ajaran ini sering jatuh bertepatan dengan ajaran instrumen, misalnya pembunuhan dengan bom surat. Akan tetapi sering juga tidak demikian, misalnya seseorang mengirim bom surat dari Keulen ( Jerman) ke Breda (Nederland) dan meledak di situ, tetapi korbandilarikan ke rumah sakit Antwerpen (Belgia) dan dia mati di sana. Dengan demikian, Antwerpen (Belgia) menjadi locus delicti. Oleh karena faktor kebetulan memainkan peran dalam teori ini maka kurang diperhatikan oleh literartur.
  • 29. 4. Ajaran yang keempat disebut ajaran ”terjadi di mana-mana” (ubiquiteitsleer) kata-kata ”atau”. Diganti dengan ”dan”, ”dan” (HR 4 Februari 1958, NJ. 1958, 294). Hoge Road mengakui secara eksplisit pada 6 April 1954, NJ. 1954, 368, dimungkinkannya lebih dari satu locus delicti yang berarti berlebihan untuk mencari locus delicti yang sebenarnya yang mnyampingkan semua yang lain. Tempat berita dan dokumen dari penipu diterima oleh korban harus dipandang sebagai tempat bersama locus delicti. Selanjutnya HR tanggal 4 Februari 1958, 294; memutuskan tempat surat penghinaan dikirim dan tempat orang yang dihina menerimanya sebagai locus delicti. Lebih lanjut, HR 27 April 1993, NJ. 1993, 744; memutuskan bahwa delik dilakukan di tempat-tempat secara bersama di mana bilyet pemberitahuan diserahkan. Di Jerman ajaran ini sudah masuk ke dalam KUHP (STGB) Part 9. Dalam hal delik omisi locus delicti ialah tempat perbuatan yang diabaikan itu seharusnya dilakukan (HR 19 April 1940, NJ. 1940, 805). Tempat- tempat itu sering merupakan kebetulan. Penyertaan seperti pemancingan (uitlokking), membuat orang lain melakukan (doen plegen) dan pembantuan mengenal locus delictinya sendiri. Misalnya dalam kasus penyerbuan kantor PDI pada tanggal 27 Juli 1996, tempat pemancingan untuk melakukan penyerbuan di tempat lain, tetapi locus delicti penyerbuan ialah di Jl. Diponegoro.
  • 30. BAB VII KESALAHAN DALAM ARTI LUAS DAN MELAWAN HUKUM A. Sengaja “Sengaja” (opzet) berarti De (Bewuste) richting van den wil open bepaald misdrijven, (Kehendak yang disadari yang ditunjukan untuk melakukan kejahatan tertentu). Kemudian perlu dikemukakan tentang adanya teori-teori tentang sengaja itu. Pertama-tama ialah yang disebut teori kehendak. Menurut teori ini, maka “kehendak” merupakan akikat sengaja itu. Bantahan dari teori kehendak adalah teori membayangkan teori dikemukakan oleh frank dalam tulisan Ueber den Aufbau des Schulbegriffs, ia mengatakan secara Piskologis, tidak mungkin suatu akibat dapat dikehendaki B. Kelalaian ( Culpa) Van Hamel membagi Culpa atas dua jenis: Kurang melihat ke depan yang perlu, kurang pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib hati- hati. Tetapi Memori mengatakan, bahwa kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimana pun juga culpa itu dipandang lebih ringan disbanding sengaja. Dikenal juga di Negara Anglo-Sexson. Disebut dalam pembunuhan pada pasal 359 KUHP. C. Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana Dalam pengertian hokum pidana dapat disebut cirri atau unsure kesalahan dalam arti yang, yaitu: Dapatnya dipertanggung jawabkan pembuat. Tidak adanya dasar peniadan pidana yang menghapus dapatnya dipertanggung jawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat. Adanya kaitan piskis antara pembuat dan perbuatan yang adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (Culpa).
  • 31. D. Melawan Hukum Melawan hukum Formil diartikan bertentangan dengan Undang-undang apabila suatu perbutan telah mencocoki rumusan delik, maka biasanya dikatakan telah melawan hukum secaraFormil. E. Subsosialitas (subsocialiteit) Subsosialitas adalah tingkah laku akan penting bagi hukum pidana jika perbuatan itu mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, walaupun bahaya itu kecil sekali jika tidak ada bahaya demikian, maka unsur subsosialitas tidak ada. F. Taatbestandmassikeit dan Wesenchau Didalam hukum pidana jerman yang diikiuti Zevenbergen di Negeri belanda, diterima adanya delik dengan syarat Taat bestandmassikeit, yang berarti bahwa semua rumusan delik tidak perlu semua bagian inti ada. Unsar-unsur seperti melawan hukum dan patutnya sesuatu perbuatan pidana walaupun semua itu dimasukkan sebagai unsur delik. Sebaliknya, di Jerman ajaran ini diganti oleh Wesenchau pada tahun 1930. ajaran Wesenchau mirip sekali dengan ajaran melawan hukum yang materiel. Ini adalah bahwa ajaran sekali pun seuatu perbuatan telah selesai dengan rumusan delik didalam Undang-undang pidana belumlah otomatis merupakan suatu delik. Perbuatan pada dasarnya “Pada hakikatnya” merupakan delik sesuai dengan rumusan delik yang dipandang sebagai delik.
  • 32. BAB VIII DASAR PENIADANAAN PIDANA A. Pengertian Dasar peniadaan pidana haruslah dibedakan dengan dasar penghapusan penuntutan, yang pertama ditetapkan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat. Dalam hal ini hak menuntut jaksa tetap ada, namun terdakwa tidak dijatuhkan pidana. Ia harus dibedakan dengan dipisahkan dari dasar peniadaan penuntutan pidana menghapuskan hak menuntut jaksa, karena adanya ketentuan undang-undang. B. Pembagian Dasar Peniadaan Pidana Dasar peniadaan pidana lazim dibagi dua, yaitu dasar pembenar dan dasar pemaaf : 1. Dasar Pemaaf, unsur-unsur delik sudah terbukti, namun unsur kesalahan tak ada pada pembuat. Maka terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Dalam hal ini misalnya: a. adanya ketidakmampuan bertanggungjawab si pembuat (Pasal 44 ayat 1) b. adanya daya paksa mutlak dan perlampuan keadaan darurat (noodtoestandexces, Pasal 48) c. adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodwerexes, Pasal 49 ayat 2) d. karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (Pasal 51 ayat 2) 2. Dasar Pembenar, sifat melawan hukum perbuatan hapus atau tidak terbukti, maka perbuatan terdakwa dianggap patut dan benar sehingga terdakwa harus dibebaskan oleh hakim. Dalam hal ini misalnya : adanya daya paksa relative dan keadaan darurat (overmacht, Pasal 48) adanya pembelaan terpaksa (noodweer, Pasal 49 ayat 1) karena sebab menjalankan undang-undang (Pasal 50) karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat 1)
  • 33. C. Tidak Dapat Dipertanggungjawabkan Pasal 44 KUHP menyatakan orang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam 2 hal, yaitu : jiwanya cacad dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit jiwa. Ketidakmapuan bertanggungjawab meniadakan kesalahan dalam arti luas dan oleh karena itu termasuk dasar pemaaf. Namun demikian apabila kita mencoba mencari ketentuan yang menyatakan bagaimana/kapan seseorang itu dianggap tidak mempunyai jiwa yang sehat hal tersebut tidak akan ditemukan, jadi untuk menentukannya kita harus kembali melihat Memorie van Toelichting (M.v.T) atau penjelasan daripada KUHP itu. Dalam M.t.V ditentukan bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya bila : a. Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat mengerti akan harga dan nilai dari perbuatannya. b. Ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan. c. Ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya adalah terlarang. Alasan undang-undang merumuskan mengenai pertanggungjawaban itu secara negatif, artinya merumuskan tentang keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggungjawab dan bukan mengenai mampu bertanggungjawab, tidak lepas dari sikap pembentuk undang- undang yang menganggap bahwa setiap orang itu mampu bertanggung jawab. Dengan berpijak pada prinsip itu, dalam rangka mencapai keadilan dari vonis hakim, maka dalam hal kemampuan bertanggung jawab ini dirumuskan secara negatif, ditentukan keadaan tertentu mengenai jiwa seorang yang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana karena melakukan perbuatan. Ada tiga cara yang dapat digunakan dalam rangka menyelidiki keadaan jiwa si pembuat untuk menentukan apakah si pembuat berada dalam keadaan tidak mampu bertanggungjawab, yaitu : metode biologis, artinya dengan menyelidiki gejala-gejala atau keadaan yang abnormal yang kemudian dihubungkan dengan ketidakmapuan bertanggungjawab; metode psikologis, dengan menyelidiki ciri-ciri psikologis yang ada kemudian dari ciri- ciri itu dinilai untuk menarik kesimpulan apakah orang itu mampu bertanggungjawab atau tidak;
  • 34. metode gabungan. Dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan bertanggungjawab memerlukan selain perkembangan jiwa yang tidak normal dan penyakiy yang disebabkan gangguan kejiwaan, juga syarat adanya hubungan kausal antara penyakit jiwa dan perbuatan. Misalnya, hanya orang yang disebut gila saja yang dianggap tidak mampu bertanggungjawab terhaap semua delik, tetapi semua penyakit jiwa tertentu yang hanya ada hubungan kausalnya dengan pencurian misalnya seperti cleptomanie, tidak membebaskan pembuat dari tanggungjawab pidana terhadap delik-delik lain, misalnya penganiayaan, pembunuhan, dan sebagainya. Oleh karena itu kerjasma hakim dan psikiater menjasi syarat mutlak tentang penentuan bertanggungjawab atau ketidakmampuan bertanggungjawab. D. Daya Paksa (Overmacht) Hal ini diatur dalam Pasal 48 KUHP menyatakan barangsiapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dapat dipidana. Menurut MvT (penjelasan KUHP) bahwa daya paksa adalah suatu kekuatan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan. Menurut Jonkers, Daya Paksa terbagi dalam 3 macam, yaitu : 1. Daya paksa mutlak; 2. Daya paksa relatif; 3. Keadaan darurat. a. Daya Paksa Mutlak (absulte overmacht) Pembuat tidak dapat berbuat lain. Pembuat dalam keadaan demikian tidak dapat melawan, dengan kata lain ia tidak dapat mengadakan pilihan lain selain daripada berbuat demikian. Pengaruh yang bekerja terhadapnya dapat bersifat jasmaniah dan rohaniah. Absulte Overmacht termasuk alasan pemaaf dalam dasar peniadaan pidana. Misalnya : seseorang yang ditangkap oleh orang yang kuat, lalu dilemparkan keluar jendela, sehingga terjadi pengrusakan barang. Maka orang yang dilemparkan keluar jendela, sehingga kaca jendela pecah tak dapat dipidana menurut pasal 406 KUHP. Contoh lain daya paksa rohaniah, seorang dihipnotis, lalu dalam keadaan tak sadar berlari telanjang bulat.
  • 35. Orang tersebut tak dapat dipidana menurut Pasal 281 KUHP. Dalam keadaan demikian orang yang melemparkannya keluar dan orang yang menghipnotislah yang sebagai pembuat menurut pasal 55. b. Daya Paksa Relatif (relatieve overmacht) Kekuasaan, kekuataan, dorongan atau paksaan fisik atau psikis terhadap orang yang bersangkutan bersifat relatif atau nisbi. Misalnya pada perampokan bank, bankir diancam dengan pistol supaya menyerahkan uang. Bilamana ia tidak melakukannya maka ia akan ditembak. Bankir tersebut tidak dapat melawan dengan risiko mati ditembak, bilamana ia tidak melawan dan menuruti kehendak perampok, maka ia tidak dapat dipidana, sekalipun ia telah mewujudkan delik. Perbedaan daya paksa absolut dan relatif ialah, pada absolut orang yang memaksa dan mendoronglah yang berbuat, sedangkan relatif orang yang diancam, dipaksa, atau didoronglah yang berbuat, sekalipun ia berbuat karena ancaman atau dorongan. Dalam hal ini relatieve overmach termasuk alasan pembenar. c. Keadaan darurat (noodtoestand) Suatu keadaan dimana suatu kepentingan hukum terancam bahaya, yang untuk menghindari ancaman bahaya itu terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyatannya melanggar kepentingan hukum yang lain. Noodtoestand dalam dasar peniadaan pidana termasuk alas an pembenar. Dalam doktrin hukum bentuk noodtoestand ada 3 macam ialah: dalam hal terjadi dua kepentingan hukum (rechtsbelang); dalam hal terjadi pertentangan antara kewajiban hukum (rechtsplicht) dengan kepentingan hukum; dalam hal terjadinya dua kewajiban hukum. · Pertentangan antara dua kepentingan hukum (rechtsbelang) apabila terjadi suatu keadaan dimana terjadi konflik antara dua kepentingan hukum yang saling berhadapan, dimana tidak dapat memenuhi semua kepentingan hukum yang saling bertentangan itu sekaligus, melainkan dengan terpaksa harus mengorbankan atau melanggar kepentingan hukum yang lain tersebut tidak dapat dipidana.
  • 36. Contoh : Ketika terjadi kecelakaan laut, ada dua orang penumpang yang usahanya hendak menyelamtakan nayawanya berpegang pada sebuah papan, yang papan mana hanya dapat menahan satu orang. Apabila keduanya tetap berpegang pada papan, maka kedua orang itu akan tenggelam dan mati. Maka dalam usaha menyelamatkan diri dari ancaman kematian (mempertahankan kepentingan hukumnya agar tetap hidup), maka seorang diantaranya mendorong orang lain yang juga sedang berpegang pada papan itu (melanggar kepentingan hukum atau kesalamatan orang lain), dan karena dorongan yang kuat itu maka terlepaslah pegangannya dari papan tersebut dan matilah dia. · Pertentangan antara kewajiban hukum dan kepentingan hukum Apabila terdapat suatu keadaan dimana seseorang hendak melaksanakan kewajiban hukumnya namun pada saat yang bersamaan dia harus menegakkan kepentingan hukumnya sendiri, maka bilmana ia memilih perbuatan untuk menegkkan kepentingan hukumnya sendiri dengan melanggar kewajiban hukumnya yang pada kenyatannya melanggar undang-undang, maka dia tidak dapat dipidana. Contoh: Seorang dokter ahli forensik yang diminta oleh Pengadilan Negeri untuk memberikan keterangan ahli tentang sebab kematian seorang korban dalam sidang perkara pidana, pada saat yang sama dia menderita luka-luka karena kecelakaan lalu lintas, yaitu dalam keadaan ini ia memilih melanggar kewajiban hukumnya dengan tidak memenuhi panggilan Pengadilan Negeri, karena dia lebih mementingkan meneggakkan kepentingan hukumnya dengan berisitirahat di rumah demi segera menyembuhkan luka-lukanya. Dalam hal ini si dokter melanggar pasal 224 KUHP. · Pertentangan antara dua kewajiban hukum (rechtsplicht) Apabila suatu keadaan dimana seseorang diwajibkan untuk menjalankan dua kewajiban hukum sekaligus dalam waktu yang bersamaan, yang keduanya tidak dapat dilakukannya, dan kemudian dia melaksanakan salah satu saja dari kewajiban hukumnya itu. Contoh : seorang dokter pada saat yang sama dia harus menjalankan operasi seseorang karena karena kecelakaan yang tidak ada dokter lain yang dapat melakukannya, yang ketika itu ia juga dipanggil pengadilan untuk memberikan keterangan ahli. Si dokter hendak melaksanakan kewajiban hukumnya namun pada saat yang bersamaan dia harus menegakkan kewajiban hukumnya sendiri, maka bilmana ia memilih perbuatan untuk menegakkan kewajiban hukumnya
  • 37. sendiri dengan melanggar kewajiban hukumnya yang pada kenyatannya melanggar undang- undang, maka dia tidak dapat dipidana. E. Pembelaan Terpaksa Dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) tidak dapat dipidana barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga. Dalam hal ini, asas yang harus diperhatikan adalah asas subsdiariteit dan asas propositionaliteit. Asas ini mensyaratkan bahwa bilamana terdapat cara pembelaan yang sifatnya lebih ringan, maka yang diserang tidak boleh meggunakan cara yang memberikan kerugian yang lebih besar pada penyerang. Dengan kata lain pembelaan yang diberikan itu haruslah tidak boleh melampaui batas keperluan dan keharusan, yang diserang harus memilih cara yang tidak mendatangkan kerugian yang lebih besar pada penyerang daripada yang perlu. Kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai harus maksimal dan seimbang dengan kepentingan yang dikorbankan. Menurut Zainal Abidin Farid, Noodweer ialah pembelaan yang diberikan karena sangat mendesak dan tiba-tiba serta mengancam dan melawan hukum. Yang mana serangan itu dilakukan terhadap dirinya sendiri atau diri orang lain terhadap serangan yang bersifat fisik; dalam hal membela kehormataan kesusilaan diri sendiri atau orang lain; dalam hal pembelaan harta benda sendiri atau orang lain. Dalam noodweer ada alas an pembenar dalam dasar peniadaan pidana. Syarat pembelaan terpaksa : karena terpaksa sifatnya; yang dilakukan ketika timbulnya ancam serangan dan berlangsungnya serangan; untuk mengatasi adanya ancaman serangan atau serangan yang bersifat mewalan hukum; yang harus seimbang dengan serangan yang mengancam; pembelaan terpaksa itu terbatas dalam hal mempertahankan 3 macam kepentingan hukum. Perbedaan Overmacht dan dan Noodweer Pada Overmacht:
  • 38. overmacht terjadi apabila perbuatan yang menjadi pilihan oleh yang diserang (korban) adalah perbuatan yang memang dimaksudkan dan dinginkan oleh penyerang; orang yang diserang terpaksa melakukan perbuatan yang in casu dikehendaki oleh si penyerang, karena dia tidak berdaya melwan serangan yang memaksa itu; tidaklah ditentukan bidang kepentigan hukum apa dan dalam hal apa penyerangan yang dapat dilakukan perbuatan dalam keadaan daya paksa; pada daya paksa dapat terjadi dalam hal keadaan darurat, yaitu terjadi dalam hal konflik antara dua kepentingan hukum, konflik antara kewajiban hukum dan konflik antara kewajiban dan kepentingan hukum. Pada Noodweer: Perbuatan yang menjadi pilihan orang yang diserang adalah berupa perbuatan yang tidak menjadi atau maksud si penyerang; Pada pembelaan terpaksa, orang yang melakukan pembelaan terpaksa ada kemampuan untuk berbuat untuk melawan serangan; Pada pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan terhadap serangan-serangan yang bersifat mewalan hukum dalam 3 bidang; Pembelaan terpaksa tidak dapat terjadi dalam keadaan darurat. F. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dapat dipidana. Apa yang dimaksudkan dengan noodweer exces ialah perlampuan batas pembelaan terpaksa, yang disebabkan oleh suatu tekanan jiwa yang hebat karena adanya serangan orang lain yang mengancam dan dapat terjadi walaupun serangan telah tiada. noodweer exces termasuk alas an pemaaf dalam dasar peniadaan pidana Perbedaannya dengan pembelaan terpaksa (noodwer): a. perbuatan apa yang dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa haruslah perbuatan yang seimbang dengan bahaya dari serangan atau ancaman serangan, perbuatannya
  • 39. haruslah sepanjang perlu dalam hal pembelaan terpaksa, tidak diperkenankan melampaui dari apa yang diperlukan dalam pembelaan itu. Tetapi dalam noodweer exces perbuatan apa yang menjadi pilihannya sudah melebihi diri apa yang diperlukan dalam hal pembelaan atas kepentingan hukumnya yang terancam, yang artinya pilihan perbuatan itu sudah tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan. Misalnya seorang menyerang lawannya dengan pecahan botol, yang sebenarnya dapat dilawan dengan sepotong kayu (noodweer) tetapi karena kegoncangan jiwa yang hebat ia melawan dengan menembaknya (noodweer exces). b. dalam hal pembelaan terpakasa, perbuataan pembelaan hanya dapat dilakukan pada ketika adanya ancaman serangan atau serangan sedang berlangsung, dan tidak boleh dilakukan setelah serangan terhenti atau tidak ada lagi. Tetapi dalam noodweer exces perbuataan pembelaan itu masih boleh dilakukan sesudah serangan terhenti. Tidak dapat dipidananya si pembuat noodweer karena sifat melawan hukum pada perbuatannya jadi merupakan alasan pembenar. Sedangkan pada noodweer exces adanya alasan penghapusan kesalahan pada diri si pembuat, jadi merupakan alasan pemaaf. Dasar tidak dipidananya si pembuat noodweer exces terletak pada diri orangnya bkan pada perbuatannya. G. Menjalankan Ketentuan Undang-Undang Dirumuskan dalam Pasal 50 barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan unang-undang, tidak dipidana. Dari rumusan yang singkat ini, ada beberapa yang perlu diterangkan yaitu : Tentang ketentuan undang-undang Perbuatan Melaksanakan ketentyuan undang-undang Peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan-peraturan yang dibuat oleh kekuasaan yang berwenang untuk maksud tersebut menurut undang-undang.
  • 40. Tentang perbuatan yang dimaksudkan itu ialah perbuatan mana pada dasarnya jika tidak ada undang-undang yang memberi kewenangan untuk melakukannya adalah berupa suatu tindak pidana. Melaksanakan perintah undang-undang, tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahakan oleh undang-undang akan tetapi lebih luas lagi ialah meliputi pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang- undang. Contoh : Algojo yang menjalankan tugas menembak mati terpidana yang divonis hukuman mati H. Menjalankan Perintah Jabatan Dirumuskan dalam Pasal 51 ayat 1 barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.” Perbedaannya dengan menjalankan perintah undang-undang, dalam perintah jabatan ada hubungan publik antara orang yang memberi perintah dan orang yang diberi perintah yang in casu melakukan suatu perbuatan tertentu. Kewenangan pada menjalankan perintah jabatan adalah pada perintah yang diberikan berdasarkan undang-undang. Sedangkan pada menjalakan perintah undang-undang keabsahan pada menjalankan perintah itu ada pada undang-undangnya. Keduanya termasuk dalam alasan pembenar. Contoh menjalankan perintah jabatan yang dimaksud, ialah seorang penyelidik mendapat perintah dari penyidik untuk menangkap seorang tersangka. Antara penyelidik dan penyidik ada hubungan publik yang berdasarkan undang-undang, hubungan inilah yang memberi dasar bagi penyelidik boleh melakukan perbuatan sepanjang perlu dan layak dalam upaya menjalankan perintah jabatan. I. Dasar Peniadaan Pidana di Luar Undang-Undang
  • 41. Dirumuskan dalam Pasal 51 ayat 2 perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali apabila orang yang menerima perintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksannya termasuk dalam lingkungan pekerjannya. Hal ini dapat dilihat dari syarat subjektif dan syarat objektif: a. Syarat subjektif; syarat ini terletak pada sikap batin si penerima perintah ialah dia mengira bahwa perintah itu sah adanya. Alasan sikap batin yang demikian haruslah didasarkan pada hal-hal yang masuk akal, dan oleh karena itu faktor-faktor rasional dan masuk akal yang menyebabkan baginya, dapat mengira bahwa perintah itu adalah sah. Dapat mengira bahwa perintah itu adalah sah memerlukan syarat yaitu : orang yang memberikan perintah itu disdadarinya adalah benar yang berhak. Dan mengenai apa yang menjadi isi perintah itu disadarinya memang masuk dalam ruang lingkup kewenangan yang memberi perintah. Contoh: seorang penyidik menurut Pasal 16 (1) KUHAP berwenang memberi perintah pada penyidik pembantu utnuk melakukan penangkapan. Andaikata perintah itu ditujukan pada orang yang telah diketahui penyidik bukan orang yang boleh ditangkap, tetapi adalah orang yang dibenci, apabila 2 syarat telah dipenuhi maka penyidik pembantu menjadi masuk akal apabila dia membela dirinya dengan beritikad baik dalam menjalakan perintah iitu dan dia tidak dapat dipidana. Sikap batin “mengira perintah yang sah” adalah harus ditujukan pada kedua faktor diatas. Tidak sahnya perintah ada 2 kemungkinan (1) orang yang memberi perintah secara objektif bukanlah orang yang berwenang (2) apa yang menjadi isi perintah itu adalah tidak benar. b. Syarat Objektif; syarat kedua berupa isinya perintah harus menjadi bidang pelaksaannan tugasnya, adalah berupa hubungan antara jkabatannya dan tugas pekerjan suatu jabatan. Pada jabatan publik terdapat tugas jabatan tertentu baik merupakan pelaksanaan hak jabatan dan atau pelaksanaan kewajiban jabatan. Misalnya : pejabat penyidik pembantu atas dasar perintah penyidik dia berwenang melakukan penangkapan yang sekaligus berupa kewajiban untuk melaksanakan perintah itu, ini adalah masuk ruang lingkup pekerjaan dalam jabatannya. Andaikata si penyidik memerintahkan pada penyidik pembantu untuk memukuli tersangka yang tidak memberikan keterangan berisi pengakuan, lalu perintah itu dilaksankan. Maka perbuatan penyidik
  • 42. pembantu ini sudah berada diluar ruang lingkup pekerjaan jabatannya, dan dia bertanggung jawab sepenuhnya taas penyiksaan. Peniadaan Pidana Di Luar KUHP Dasar peniadaan pidana di luar KUHP dan merupakan hukum tertulis menurut van Bemmelen ialah : Hak mendidik orang tua dan wali terhadap anaknya, hak mendidik guru, dosen, (dan guru mengaji) terhadap murid/siswanya. Hak jabatan atau pekerjaan dokter, apoteker, bidan, dan peneliti ilmu-ilmu alam. izin mereka yang kepentingannya dilanggar, kepada orang yang melanggar kepentingan itu, yang perbuatannya merupakan delik seandainya tak ada izin tersebut. Zaakwarnerming menurut pasal 1354-1358 KUHPerdata. Tak ada sifat melawan hukumnya yang materiel. Tak ada kesalahan Selaian yang disebut oleh Bemmelen, tentu masih ada peraturan hukum lain yang mengandung dasar pembenar dan dasar pemaaf, misalnya : 1. Hak dukun kampong mengobati atau menyunat orang, atau melakukan pekerjaan bidan; 2. Hak KONI untuk mengadakan adu orang; 3. Ketentuan hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan pancasila.
  • 43. BAB IX TEORI-TEORI TENTANG SEBAB AKIBAT A. Pengertian Setiap kejadian baik kejadian alam maupun kejadian social tidak lah terlepas dari rangkaian sebab akibat, peristiwa alam maupun social yang terjadi adalah merupakan rangkaian akibat dari peristiwa alam atau social yang sudah ada sebelumnya. Setiap peristiwa social menimbulkan satu atau beberapa peristiwa social yang lain, demikian seterusnya yang satu mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu lingkaran sebab akibat. Hal ini disebut hubungan kausal yang artinya adalah sebab akibat atau kausalitas. Penentuan sebab suatu akibat dalam hokum pidana adalah merupakan suatu hal yang sulit dipecahkan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP], pada dasarnya tidak tercantum petunjuk tentang cara untuk menentukan sebab suatu akibat yang dapat menciptakan suatu delik. KUHP hanya menentukan dalam beberapa pasalnya, bahwa untuk delik-delik tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu untuk menjatuhkan pidana terhadap pembuat. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa terjadinya delik atau actus reus hanya ada pada delik yang mensyaratkan adanya akibat tertentu, yaitu „‟ a. delik materiel, misalnya pembunuhan [Pasal 33 KUHP]. Penipuan [Pasal 38 KUHP]. b. delik culpa, misalnya karena kelalainnya mengakibatkan kematian orang lain [Pasal 359 KUHP], karena lalainya menyebabkan lukanya orang lain [Pasal 360 KUHP], dan sebagainya. Ada pula yang berupa syarat yang memperberat pidana dengan terjadinya akibat tertentu pada suatu delik atau delik-delik yang dikualifikasikan karena akibatnya misalnya penganiayaan yang berunsurkan luka berat [Pasal 351 ayat-ayat KUHP] dan matinya orang lain [Pasal 351 ayat 3 KUHP], Pasal 18tujuh ayat 3 KUHP yang mengandung unsure timbulnya bahaya terhadap nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang. Sedangkan apabila perbuatan itu dilakukan dengan suatu kesengajaan [Pasal 354 KUHP] untuk membuat luka berat orang lain, kemudian apabila kesengajaan itu dilakukan untuk atau demi kematian orang lain. Di luar ketiga macam delik tersebut di atas, ada delik formel yang tidak mensyaratkan adanya akibat tertentu, yaitu misalnya sumpah palsu [Pasal 242 KUHP], pemalsuan surat-surat [Pasal 263 KUHP], pencurian [Pasal 362 KUHP], penghasutan [Pasal 160 KUHP], pemalsuan
  • 44. materai dan merek [Pasal 253 KUHP], dan sebagainya. Dalam hal ini delik formel ini, ajaran kausalitas tidak diperlukan, karena tidak disyaratkan adanya akibat tertentu. B. Teori-teori Kausalitas Keanekaragaman hubungan sebab akibat tersebut kadangkala menimbulkan berbagai permasalahan yang tidak pasti, oleh karena tidaklah mudah untuk menentukan mana yang menjadi sebab dan mana yang menjadi akibat, terutama apabila banyak ditemukan factor berangkai yang menimbulkan akibat. Yang pertama kali mencetuskan adanya teori kausalitas tersebut adalah Von Buri dengan teori condition sine qua non yang pertama kali dicetuskan pada tahun 18tujuh3. Menurut Von Buri bahwa semua factor, yaitu semua syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dapat weggedacht [dihilangkan] dari rangkain factor-faktor yang bersangkutan harus dianggap causa [sebab] akibat itu. Tiap factor yang dapat dihilangkan [weggedacht] dari rangkaian factor-factor yang adanya tidak perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, tidak diberi nilai. Demikian sebaliknya tiap factor yang tidak dapat dihilangkan [niet weggedacht] dari rangkaian factor-factor tersebut, yaitu yang adanya perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, harus diberi nilai yang sama. Semua factor tersebut adalah sama dan sederajat. Penganut teori Von Buri adalah Van Hamel yang berpendapat bahwa pada prinsipnya teori Von Buri dapat diterima walaupun harus diimabangi dengan restriksi [pembatasan]. Menurut Van Hamel restriksi tersebut dapat ditemukan dalam pelajaran tentang kesengajaan dan kealpaan [opzet en schuldleer]. Dalam perkembangannya banyak bermunculan teori-teori baru yang berusaha untuk memperbaiki serta menyempurnakan kekurangan di dalam teori Van Buri, di antaranya adalah teori mengindividualisasikan [individualiserende theorien] yang dipelopori oleh Birkmeyer. Pendapat Birkmeyer berpangkal pada dalil Ursache ist die wirksamste Bedingung, yang menjadi causa adalah factor [Bedingung, kejadian] yang paling berpengaruh [atas terjadinya delik yang bersangkutan]. Teori ini ternyata juga tidak dapat menyelesaikan masalah terutama apabila di
  • 45. antara semua factor itu sama berpengaruh atau apabila sifat dan coraknya dalam rangkaian factor-faktor itu tidak sama. Dari ketidakpuasan terhadap teori yang mengindividualisasi, menimbulkan teori baru yang menggeneralisasi [generaliserende theory]. Pada prinsipnya teori tersebut menjelaskan bahwa teori Vin Buri terlalu luas sehingga harus dipilih satu factor saja yaitu yang menurut pengalaman manusia pada umumnya dipandang sebagai causa [sebab]. Teori yang menggeneralisasi dapat dibagi menjadi 3, yaitu : 1. Teori adaequaat dari Von Kries > Adaequaat artinya adalah sebanding, seimbang, sepadan. Jadi dikaitkan dengan delik, maka perbuatan harus sepadan, seimbang atau sebading dengan akibat yang sebelumnya dapat diketahui. 2. Teori obyektif – nachttraglicher Prognose dari Rumelling. Teori Rumelling mengajarkan bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah factor obyektif yang diramalkan dari rangkaian factor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik setelah delik itu terjadi. Tolak ukur teori tersebut adalah bukan ramalan tetapi menetapkan harus timbul suatu akibat. 3. Teori adaequaat dari Traeger > Menurut Traeger bahwa akibat delik haruslah in het algemeen voorzienbaar yang artinya adalah pada umumnya dapat disadari sebagai suatu yang mungkin sekali dapat terjadi. Teori tersebut diberi komentar oleh Van Bemmelen bahwa yang disebut dengan in het algemeen voorzienbaar ialah een hoge mate van waarschijnlijkheid yang artinya adalah disadari sebagai sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi. Sebagaimana diketahui delik omisi atau pengabaian ada dua macam, yaitu delik omisi yang sebenarnya dan yang tidak sebenarnya. Menurut Vos pada delik omisi yang sebenarnya tidak ada masalah kausalitas, dapat dipidana karena tidak berbuat, tidak ada akibat karena tidak berbuat. Pada delik omisi yang tidak sebenarnya, muncul masalah kausalitas. Pompe menerima kausalitas pada pengabaian, tetapi sejauh pengabaian itu menimbulkan akibat. Jadi, dia juga menerapkan formula sebab adekuat dalam pengabaian.
  • 46. Van Hamel menerapakan ajaran kausalitas condition sine qua non secara konsekuen, karena ia mengatakan bahwa jika pengabaian itu ditiadakan dari pikiran [wegdenkt], maka tidak ada akibat juga.
  • 47. BAB X HUKUM PENITENSIER A. Pendahuluan Hukum Penitensier atau hukum pelaksanaan pidana adalah keseluruhan ketentuan- ketentuan atau peraturan-peraturan ang berisi tentang cara bagaimana melaksanakan putusan hakim terhadap seseorang yang memiliki status sebagai terhukum B. Jenis-jenis Pidana Jenis-jenis Pidana a. Pidana Pokok i. Pidana Mati ii. Pidana Penjara iii. Pidana Kurungan iv. Pidana Tutupan (KUHP terjemahan BPHN, berdasarkan UU No. 20 tahun 1946) b. Pidana Tambahan 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim a. Pidana Pokok Rincian pidananya adalah sebagai berikut : 1. Pidana Mati Delik yang diancam dengan pidana mati di dalam KUHP sudah menjadi 9 buah, yaitu : 1.1 Pasal 104 KUHP 1.2 Pasal 111 ayat (2) KUHP 1.3 Pasal 124 ayat (1) KUHP 1.4 Pasal 124 bis KUHP 1.5 Pasal 140 ayat (30) KUHP 1.6 Pasal 340 KUHP 1.7 Pasal 365 ayat (4) KUHP
  • 48. 1.8 Pasal 444 k ayat (2) dan pasal 479 o ayat (2) KUHP. 2. Pidana Penjara Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Tetapi juga berupa pengasingan, misalnya di Rusia pengasingan Siberia dan juga berupa pembuangan ke sebrang lautan, misalnya dahulu pembuangan penjahat-penjahat Inggris ke Australia. 3. Pidana Kurungan Menurut Vos, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai 2 tujuan. Pertama ialah sebagai custodia honesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan yaitu delik- delik culpa dan beberapa delik dolus, seperti perkelahian satu lawan satu dan pailit sederhana. Yang kedua sebagai custodia simpleks, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran 4. Pidana Denda Pada zaman modern ini pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan oleh karena itu pula, pidana denda merupakan satu-satunya pidan ayang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. 5. Pidana Tutupan Pidana tutupan disediakan bagi para politis yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan. b. Pidana Tambahan Pidana tambahan disebut dalam pasal 10 KUHP pada bagian b, yang terdiri dari : 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim Sumber hukum penitensier( pasal 10 KUHP ) yang berbunyi pidana terdiri atas : Pidana pokok (pidana mati, penjara, kurungan, denda, tutupan) Pidana tambahan (pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim Kriminalisasi adalah salah satu proses yang terjadi didalam masyarakat dimana suatu perbuatan yang asalnya bukan merupakan perbuatan pidana dikarenakan pengaruh kondisi social
  • 49. yang berkembang yang berkaitan dengan rasa keadilan dalam masyarakat maka perbuatan itu akhirnya dijadikan merupakan perbuatan pidana. Contoh lahirnya UU penyalahgunaan narkotika ( UU No. 9 / 1976), dimana berdasarkan UU ini penyalahgunaan narkotika merupakan perbuatan yang dapat dipidana. De kriminalisasi adalah suatu perbuatan yang secara konkrit diancam pidana dalam hukum positif dikaernakan pengaruh perubahan perkembangan masyarakat berubah menjadi perbuatan yang tidak dapat dipidana. Contoh pasal 534 KUHP, dalam pasal ini disebutkan barang siapa yang memperagakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan di muka umum diancam dengan hukuman penjara, dikarenakan khususnya di Indonesia dalam kerangka pelaksanaan program KB dimana alat kontrasepsi itu dianjurkan untuk digunakan oleh BKKBN, dengan kondisi demikian maka pasal 534 KUHP itu sampai saat ini tidak memilik daya paksa. Masalah pokok didalam Hukum Penitensier 1. Pemidanaan ( fungsi Hakim Besar ) 2. Proses pemidanaan (tugas atau fungsi LP) 3. Terpidana ( siapa yang diproses ) Alasan perubahan KUHP Pertimbangan politis Bahwa RI sudah merdeka 60 tahun dan sudah sepantasnya dan sewajarnya memilik KUHP Nasional hasil karya bangsa sendiri karena KUHP yang ada sekarang ini adalah hasil karya pemerintahan kolonial Belanda dan dibuat diBelanda, bila bangsa Indonesia memiliki KUHP Nasional dapat menumbuhkan kebanggaan nasional yang dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia yang sejajar dengan bangsa lain di dunia. Pertimbangan sosiologis Karena KUHP yang kita miliki sekarang dibuat oleh pemerintahan Belanda sudah barang tentu hanya menjamin kepentingan-kepentingan sosial masyarakat Belanda khususnya masyarakat Belanda yang ada di Indonesia, maka dari itu bila KUHP Nasional lahir, sudah barang tentu dirujuk dan mengacu pada nilai-nilai social dan kepentingan masyarakat Indonesia yang sangat prularistik (beragam). Pertimbangan praktis KUHP yang ada sekarang di Republik Indonesia adalah merupakan hasil terjemahan tidak resmi, keberadaanya itu hanyalah merupakan hasil terjemahan dari para ahli hukum kita
  • 50. yang kebetulan menguasai bahasa Belanda, dengan demikian dengan adanya hasil terjemahan beberapa para ahli menurut Prof. Muladi tidak mustahil adanya hasil terjemahan yang tidak konsisten satu sama lainnya sehingga dapat menimbulkan kerancuan bagi para penegak hukum. Tujuan pemidanaan 1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hokum demi pengayoman masyarakat. 2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna dalam masyarakayt. 3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana dengan memulihkan keseimbangan dan medatangkan rasa damai dalam masyarakat. 4. Membebaskan rasa bersalah pada diri terpidana. Kewajiban Hakim sebelum menjatuhkan pidana a. Kesalahan sipelaku b. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana c. Cara melakukan tindak pidana d. Sikap batin sipelaku e. Riwayat hidup dan keadaan sosial sipelaku f. Sikap sipelaku sesudah melakukan tindak pidana g. Pengaruh pidana terhadap masa depan sipelaku h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban & keluarga j. Tindak pidana yang dilakukan terencana atau tidak Hak Narapidana Hak mendapat pemeliharaan kesehatan Hak mendapat kunjungan keluarga, saudara, atau kerabat Hak mendapat kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya Hak remisi Hak asimilasi Hak mendapat cuti Hak pembebasan bersyarat Hak cuti sebelum bebas
  • 51. Kewajiban Narapidana Mantaati semua peraturan tata tertib yang diterapkan dilingkungan LP tersebut,meliputi : Kewajiban bekerja Kewajiban berperilaku baik Proses pelaksanaan pembinaan terhukum atau narapidana di Indonesia dihadapkan pada kendala yang pokok yaitu : SDM pembinaan belum memiliki profesionalisme Dari segi struktur bangujnan LP seratus persen masih menggunakan struktur kepenjaraan, padahal pedoman-pedoman kepenjaraan sudah dihapus sejak program pemasyarakatan dicanangkan pada tahun 1970. Objek hukum penitensier adalah putusan Hakim yang berkaitan dengan perkara pidana, putusan Hakim dalm kasus pidana, dalam kitab undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia,ada 3 (tiga) jenis yaitu ¤ Putusan bebas ¤ Putusan ini dijatuhkan apabila apa yang dituduhkan atau didakwakan oleh jaksa penuntut umum sama sekali tidak terbukti dipersidangan. ¤ Dilepaskan semua dari tuntutan hukum ¤ Putusan ini dijatuhkan oleh Hakim apabila Hakim berkesimpulan bahwa yang dituduhkan oleh jaksa penuntut umum itu terbukti tetapi perbuatan itu bukan merupak perbuatan yang dapat dipidana. ¤ Contohnya kasus utang piutang yang oleh jaksa penuntut umum di dakwakan sebagai perbuatan pidana. ¤ Penghukuman ¤ Putusan ini dijatuhkan apabila apa yang dituduhkan oleh jaksa penuntut umum seluruhnya atau sebagian terbukti. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hukum penitensier ini hanyalah berkaitan dengan putusan hakim yang berisi “pemidanaan” atau “penghukuman” saja. Sering kali putusan hakim yang mengadili tindak pidana ringan putusannya itu adalah pidana bersyarat atau disebut juga pidana percobaan. Pidana bersyarat adalah suatu pidana dimana si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut melainkan tetap berada ditengah-tengah masyarakat terkecuali bilamana si terpidana
  • 52. dalam waktu masa percobaan tersebut melakukan pelanggaran tindak pidana apapun maka hukuman penjara harus segera dilaksanakan. Ex : Terpidana dijatuhi hukuman pidana bersyarat 1 Tahun, “artinya” bahwa si terpidana tersebut tidak perlu menjalani pidananya didalam Lembaga Pemasyarakatan ( LP ) melainkan tetap berada didalam masyarakatnya , tetapi dalam kurun waktu 1 tahun itu si terpidana tidak boleh melakukan pelanggaran tindak pidana apapun dan apabila sebelum masa 1 tahun itu habis si terpidana melakukan pelanggaran tindak pidana lagi maka putusan I yang berisi hukuman 1 tahun penjara harus segera dilaksanakan. Fungsi dari penegakan hukum adalah menempatkan hukum pada posisi yang tepat sebagai bagian usaha manusia untuk menjadikan dunia ini lebih nyaman untuk di tinggal. ( The function of law enforcement is to put in law prover prespective as a part man effort to make this world better place in which to life ) Hak perogatif Presiden berkaitan dengan masalah pemidanaan 1. Pemberian Grasi Masalah grasi telah diatur tersendiri oleh undang-undang pengajuan grasi hanya dapat diajukan oleh terhukum atau ahli warisnya, putusan grasi yang dikeluarkan oleh presiden dapat berupa : a. Penolakan atau ditolak grasinya b. Diterima grasinya dalam bentuk : Pemidanaannya dirubah, contoh : Dari pidana mati dirubah menjadi pidana seumur hidup Lama pemidanaannya, contoh : Dari pidana 20 tahun penjara dirubah menjadi pidana 10 tahun penjara 2. Pemberian Amnesti Amnesti adalah putusan presiden yang berisi pembebasan terhadap semua terhukum khususnya terhadap terhukum yang berkaitan dengan kejahatan politik dan maker. Masalah amnesti ini diatur berdasrkan kepres yang bersifat situasional.Contoh : Presiden mengeluarkan Kepres No 22 Tahun 2005 tentang membebaskan semua terhukum GAM. 3. Pemberian abolisi Abolisi adalah putusan presiden yang berisi pembebasan penuntutan hukum terhadap kejahatan politik dan maker. Masalah abolisi ini diatur berdasarkan kepres yang bersifat situasionalContoh : Semua anggota GAM yang menyerah setelah 15 september 2005 dibebaskan dari penuntutan hukum.
  • 53. Perjanjian ekstradisi adalah suatu perjanjian antara 2 negara yang berisi pengembalian seorang tersangka atau terdakwa yang melarikan diri kenegara yang bersangkutan maka negara yang kedatangan pelarian tersebut wajib menangkap dan mengembalikan ke Negara asal sebaagaimana dalam perjanjian. Masalah pemidnaan anak diatur oleh UU No.3 Tahun 1997 Tentang anak ini bila melihat pasal 44 KUHP disebutkan apa yang disebut anak itu adalah manusia yang belum berumur 16 tahun, dan pasal ini dapat disimpulkan bahwa anak yang baru lahir pun mengandung arti dapat di pidana sekalipun hal yang demikian mustahil. Di dalam UU No.3 tahun 1997 telah digunakan model batasan usia tentang usia yang disebut seorang anak yaitu 10 tahun sampai 18 tahun. Lahirnya UU No. 3 tahun 1997 langsung mencbut pasal 44 tentang batasan usia. Tentang hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap anak apabila seorang anak melakukan tindakan pidana tidak diancam pidana mati, maka : Hakim harus menjatuhkan pidananya dikurung 1/3 apabila tindakan pidan tersebut dilakukan oleh orang dewasa. Hakim dapat memutuskan apabila anak yang melakukan tindak pidana dikembalikan kepada orang tuanya. Dipidana sebagai anak negara untuk di didik di Lembaga Pemasyarakatan anak. Proses pemidanaan bagi seorang anak yang melakukan tindak pidan berdasarkan UU No.3 Tahun 1997 antara lain dikatakan sejak tingkat penyidikan sampai proses sidang di pengadilan harus bersifat tertutup untuk umum dan aparat penegak hukumnya tidak menggunakan pakaian uniform (seragam dinas). Pelaksanaan pemidanaannya berdasarkan UU peradilan anak bahwa di LP anak, anak pidana ini harus mendapatkan pendidikan lanjutannya. Di dalam UU peradilan anak telah ditentukan bahwa anak hanya boleh dipidana maximal 10 tahun, dengan kata lain terhadap seorang anak tidak boleh dijatuhi hukuman seumur hidup dan pidana mati. Masalah pidana mati diatur dalam UU No. 2 Tahun 1964. Ketentuan-ketentuan pokok tentang pidana mati itu disebutkan 1. pidana mati hanya dapat dilaksanakan setelah segala upaya hukum termasuk grasi telah ditolak oleh Presiden, dan kasasi ditolakn oleh MA
  • 54. 2. Apabila grasi telah ditolak oleh Presiden, penolakan itu ahrus disampaikan kepada pengadilan dimana keputusan pidana mati dijatuhkan. 3. Oleh pengadilan penolakan upaya hukum pidana mati disampaikan kepada Kejaksaan Tinggi sesuai dengan wilayah hukum pengadilan yang bersangkutan. 4. 3 X 24 jam setelah Kejaksaan Tinggi menerima perihal penolakan dari pengadilan, Kejaksaan Tinggi memberitahukan kepada terpidana bahwa upaya hukum telah ditolak. 5. Kejaksaan Tinggi memohon kepada Kapolda untuk menyiapkan regu tembak eksekusi (12 orang) yang dipimpin oleh seorang perwira polisi. 6. Si terpidana mati berhak tuntunan rohaniawan sesuai dengan agama dan kepercayaanya. 7. Pidana mati tidak boleh dilaksanakan apabila si terpidan dalam keadaan sakit atau hamil. 8. Permohonan terakhir siterpidana mati harus dicatat oleh petugas LP 9. Pidana mati tidak boleh dilaksanakan dimuka umum dalam arti harus jauh dari keramaian dan tempatnya sesuai dengan wilayah hukum dimanapidana mati dijatuhkan 10. Yang menghadiri eksekusi pidana mati :Jaksa atau Hakim yang menjatuhkan pidan mati,Dokter yang ditunjuk oleh pihak kejaksaan, rohaniawan 11. Jenazah terpidana mati harus dikembalikan kepada pihak keluarganya dan jika pihak keluarga tidak mau menenrima jenazah tersebut segala urusn jenazah ditanggung negara Tentang pidana penjara Pidana penjara lamanya berdasarkan KUHP minimal 1 (satu) hari dan maximal 15 tahun atau diperberat menjadi 20 tauhn. Pidana penjara pelaksaannya belum tentu sesuai sepenuhnya dengan putusan Hakim, karena setiap narapidana memiliki hak-hak remisi dan hak-hak asimilasi atau apabila narapidana mengajukan grasi dan diterima grasinya oleh presiden bias berubah baik jenis pidananya maupun lama pidananya. Pidana penjara ini dalam masa reformasi sekarang masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan dalam system pemasyarakatan, sebagaimana yang diatur dalam UU No.12 Tahun 1995. C. Tindakan (Maatregel)
  • 55. Sering dikatakan berbeda dengan piidana, maka tindakan bertujuan melindungi masyarakat, sedangkan pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu perbuatan. Tetapi secara teori, sukar dibedakan dengan cara demikian, karena pidana pun sering disebut bertujuan untuk mengamankan masyarakat dan mamperbaiki terpidana. D. Pidana Bersyarat Pidana abersyarat yang tercatum pada pasal 14 a sampai dengan 14 f KUHP diwarisi dari Belanda tetapi dengan perkembangan zaman telah terdapat perbedaan atara keduanya. Dalam pidana bersyarat dikenal syarat umum ialah terpidana bersyarat tidak akan melaksanakan delik apapun dalam waktu yang ditentukan sedangkan syart khusus akan ditentukan oleh hakim dan ada juga yang disebut syarat khusus. E. Pelepasan Bersyarat Pada pelepasan bersyarat terpidana harus telah menjalani pidananya paling kurang 2/3 nya. Pelepasan bersyarat ini tidak inferatif atau otomatis. Dikatakan “dapat” dierikan pelepasan bersyarat yang dikeluarkan oleh mentri kehakiman.
  • 56. BAB XI DASAR PENIADAAN PENUNTUTAN Harus dibedakan antara dasar peniadaan pidana, seperti penulis telah uraikan dengan dasar peniadaan penuntutan. Dasar peniadaan pidana ditujukan kepada hakim, sedangkan dasar peniadaan penuntutan ditujukan kepada Penuntut Umum. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dasar peniadaan pidana terbagi dua, yaitu dasar pembenar dan dasar pemaaf. Ditinjau dari segi pandangan dualistis maka dasar pembenar meniadakan sifat melawan hukumnya perbuatan, dan terdakwa seharusnya dibebaskan. Sedangkan bilamana terdapat dasar pemaaf berarti perbuatan criminal terdakwa terbukti, tetapi pembuat delik dimaafkan. Dasar Peniadaan Penuntutan yang ada di dialam KUHP adalah : 1. Ne Bis In Idem (Pasal 76) 2. Lampau Waktu/Verjaring (Pasal 79) 3. Kematian Terdakwa atau Terpidana (Pasal 77) 4. Penyelesaian di Luar Proses Pengadilan (Pasal 82) 5. Tidak adanya aduan pada Delik Aduan Dasar Peniadaan Penuntutan di Luar KUHP : 1. Abolisi 2. Amnesti Dasar peniadaan penuntutan di dalam Bab VIII KUHP adalah sebagai berikut : 1. Asas Ne Bis In Idem Asas Ne Bis In Idem terdapat dalam Pasal 76 KUHP yang menyatakan bahwa orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan keputusan yang menjadi tetap (putusan inkra). Asas ne bis in idem mempunyai dua segi yaitu yang bersifat pribadi (persoonlijk) dan yang bersifat peristiwa (zakelijk). Ne bis idem berarti tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai tindakan (feit) yang sama. Ketentuan ini disahkan pada pertimbangan, bahwapada suatu saat (nantinya) harus ada akhir dari pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari baliknya ketetuan pidana terhadap suatu delik tertentu. Azas ini merupakan pegangan agar tidak lagi mengadakan pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang sama dari suatu tindakan pidana yang sudah mendapat putusan hukum yang tetap.
  • 57. Dengan maksud untuk menghindari dua putusan terhadap pelaku dan tindakan yang sama juga untuk menghindari usaha penyidikan/penuntutan terhadap perlakuan delik yang sama, yang sebelumnya telah pernah ada putusan yang mempunyai kekuatan yang tetap. Tujuan dari azas ini ialah agar kewibawaan negara tetap dijunjung tinggi yang berarti juga menjamin kewibawaan hakim serta agar terpelihara perasaan kepastian hukum dalam masyarkat. Kuota putusan dikatakan sudah mempunyai kekuatan hukumyang tetap apabila upaya hukum yang biasa yaitu perlawanan, banding, kasasi tidak dapatlagi digunakan baik karena lewat waktu, atau pun karena tidak dimanfaatkan atau putusanditerima oleh pihak-pihak. Agar supaya suatu perkara tidak dapat diperiksa untuk kedua kalinya apabila : Perbuatan yang didakwakan (untuk kedua kalinya) adalah sama dengan yangdidakwakan terdahulu. Pelaku yang didakwa (untuk kedua kalinya) adalah sama. Untuk putusan yang pertama terhadap tindakan yang sama itu telah mempunyaikekuatan hukum yang tetap. Belakangan dasar Ne bis in idem Itu digantungkan kepada hal, bahwa terhadapseseorang itu juga mengenai peristiwa yang tertentu telah diambil keputusan oleh hakimdengan vonis yang tidak diubah lagi. Putusan ini berisi: 1. Penjatuhan hukuman (veroordeling). Dalam hal ini oleh hakim diputuskan, bahwa terdakwa terang salah telah melakukan peristiwa pidana yang dijatuhkankepadanya; atau 2. Pembebasan dari penuntutan hukum (outslag van rechisvervolging). Dalam hal ini hakim memutuskan, bahwa peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa itudibuktikan dengan cukup terang, akan tetapi peristiwa itu ternyata bukan peristiwa pidana, atau terdakwanya kedapatan tidak dapat dihukum, karena tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu, atau 3. Putusan bebas (vrijspraak). Putusan ini berarti, bahwa kesalahan terdakwa atas peristiwa yang dituduhkan kepadanya tidak cukup buktinya. 2. Lampau Waktu/Verjaring Daluwarsa adalah pengaruh lampau waktu yang diberikan oleh Undang-undanguntuk menuntut seseorang tertuduh dalam perbuatan pidana. Yang menjadi dasar ataualasan pembuat KUHP menerima lembaga lewat waktu (verjaring) adalah :
  • 58. 1. Sesudah lewatnya beberapa waktu, apalagi waktu yang lewat itu cukup panjang,maka ingatan orang tentang peristiwa telah berkurang bahkan tidak jarang hampir hilang. 2. Kepada individu harus diberi kepastian hukum (rechtsverligheid) terutama apabilaindividu terpaksa tinggal di luar negeri dan dengan demikian untuk sementarawaktu merasa kehilangan atau dikurangi kemerdekaannya. 3. Untuk berhasilnya tuntutan pidana maka sukarlah mendapatkan bukti sesudahlewatnya waktu yang agak lama. Dalam Pasal 79 KUHP ditentukan bahwa sebagai saat mulai berjalannya jangkawaktu daluwarsa dalam tuntutan pidana adalah “keesokan harinya sesudah perbuatan dilakukan”. Dalam Pasal 79 KUHP ditentukan bahwa sebagai saat mulai berjalannya jangkawaktu daluwarsa dalam tuntutan pidana adalah “keesokan harinya sesudah perbuatan dilakukan”. Pembuat KUHP juga menentukan saat istimewa mulai berjalannya lewat waktunya tuntutan pidana dalam tiga hal yaitu : 1. Dalam hal memalsu atau meniru uang logam atau kertas atau uang kertas bank, maka jangka lewat waktunya tuntutan pidana mulai berjalan pada harisesudah hari uang palsu itu dipakai 2. Dalam hal salah satu kejahatan yang tercantum dalam Pasal-pasal 328KUHP (Penculikan), 329 KUHP, Pasal 330 KUHP, dan Pasal 333 KUHP, maka jangka lewat waktunya tuntutan pidana mulai berjalan sesudah hari dibebaskannya atau meninggal dunianya korban. 3. Dalam hal pelannggaran peraturan-peraturan Pencatatan Sipil (Pasal 556-558 a KUHP) maka jangka lewat waktunya tuntutan pidana muali berjalan padahari sesudah hari daftar- daftar yang bersangkutan telah diserahkan kepada Panitia Pengadilan tersebut. Verjaring dapat dicegah (gestuit) atau dipertangguhkan (geschorst). Beda antara pencegahan dengan penangguhan adalah sebagai berikut : Dalam hal pencegahan, maka jangka lewat waktu yang telah dilalui hilang samasekali, sedangkan dalam hal penangguhan jangka lewat waktu yang telah dilalui sebelum diadakannya pertangguhan itu dapat diperhitungkan terus. Pasal 80 KUHP mengatur pencegahan jangka lewat waktunya tuntutan pidana :“tiap-tiap perbuatan penuntutan mencegah daluwarsa (lewat waktu) asal saja perbuatan itu diketahui oleh
  • 59. orang yang dituntut atau diberitahukan kepadanya menurut cara yangditentukan oleh undnag- undang”. Pasal 81 KUHP mengatur mengenai penangguhan lewat waktunya tuntutan pidana itu disebabakan oleh apa yang disebut “question prefudictelleau judgement” atau perselisihan pra yudiciil. Ini merupakan perselisihan menurut hukum perdata yang terlebih dahulu harus diselesaikan sebelum perkara pidananya dilanjutkan. 3. Kematian Terdakwa/Terpidana Ketentuan ini diatur dalam Pasal 77 KUHP : “Kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia” Apabila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir dari pengadilan maka hak menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam taraf pengusutan, maka pengusutan itu dihentikan. Jika penuntut telah dimajukan, maka penuntut umum harusoleh pengadilan dinyatkaan tidak dapat diterima dengan tentunya (niet-outvanhelijk verklaard). Umumnya demikian apabila pengadilan banding atau pengadilan kasasi masihharus memutuskan perkaranya. Dalam pasal 77 KUHP terletak suatu prinsip, bahwa penuntutan hukum itu harus ditujukan kepada diri pribadi orang. Jika orang yang dimaksud telah melakukan peristiwa pidana itu meninggal dunia, maka tuntutan atas peristiwa itu habis sampai demikian saja artinya tidak dapat tuntutan itu lalu diarahkan kepada ahli warisnya. Pengecualiannya diatur dalam pasal 361 dan 363 H.I. R yang menerangkan bahwa dalam hal menuntut denda, ongkos perkara atau merampas barang-barang yang tertentu mengenai pelanggaran tentang penghasilan negara dan cukai, tuntutan itu dapat dilakukan kepada ahli waris orang yang bersalah. Oleh karena sifat individual hukum acara pidana, maka baik wewenang penuntut umum untuk menuntut pidana seseorang yang disangkamelakukan delik, maupun wewenang untuk mengeksekusi pidana hapus karena kematian terdakwa atau terpidana. 4. Penyelesaian di Luar Proses Pengadilan Hal ini diatur dalam Pasal 82 KUHP. Yang bunyinya sebagai berikut : Pasal 82 ayat (1) Hak menuntut hukum karena pelanggaran yang terancam hukuman utama tak lain dari pada denda, tidak berlaku lagi jika maksimum denda dibayar dengan kemauan sendiridan