1. Korupsi marak di Indonesia karena sistem demokrasi yang membuat biaya politik menjadi tinggi, terutama sejak ada pemilihan kepala daerah langsung.
2. Parpol dan calon kepala daerah membutuhkan dana kampanye dalam jumlah besar, sehingga sering berkolusi dengan pengusaha dan melakukan korupsi.
3. Demokrasi di Indonesia ternyata tidak sesuai harapan dan hanya menguntungkan elit politik serta pen
1. DEMOKRASI BIANGB KORUPSI
Korupsi tidak berdiri, ini kan semacam arisan. Karena semua kan berkoalisi. Sebab, hujannyakan merata, kecuali
kalau s endiri,” kata Marzuki Alie (04/02/2013) di Jakarta.
Pernyataan Marzuki dilontarkan setelah kian panasnya kasus korupsi di Tanah Air yang melibatkan elit-elit parpol
yang berkoalisi dalam Setgab (Sekretariat Gabungan). Semua parpol yang bernaung di bawahnya terjerat kasus
korupsi. Itulah sebabnya, elit parpol Demokrat sekaligus Ketua DPR RI ini menganalogikannya den gan ‘hujan yang
merata’. Semua melakukan. Semua dis eret ke pengadilan.
Meratanya korupsi di parpol-parpol besar juga ditunjukkan dari data Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang menunjukkan
sepanjang 2004-2011 Presiden menerima permohonan izin pemeriksaan ratus an pejabat negara dari parpol dalam
perkara korupsi. Dari jumlah itu, Partai Golkar bertengger di urutan teratas dengan 64 orang, disusul PDIP (32) dan
Demokrat (20). Itu belum termasuk kasus yang bertebaran selama 2012 hingga awal 2013 ini. Jadi, memang s ulit
untuk membantah pernyataan Marzuki di atas.
Kian besarnya bola korupsi di negeri ini merupakan gambaran rapuhnya pemerintahan digerogoti korupsi. Seperti
kata pepatah: ikan membusuk dari kepalanya. Korupsi banyak dilakukan elit parpol dan pemerintahan . Kementerian
Dalam Negeri mencatat sejak 2004 hingga Juli 2012 ada ribuan pejabat daerah yang terlibat korupsi. Mereka mulai
dari gubernur, walikota, bupati hingga anggota dewan perwakilan rakyat daerah.
Sepanjang kurun waktu itu ada 277 gubernur yang terjerat korupsi. Di tingkat kabupaten dan kota dari total 16.267
kepala daerah, ada 2.553 yang terlibat kasus. Menurut Dirjen Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan, itu belum
meliputi bawahan mereka yang kongkalikong melakukan kejahatan tersebut. Secara umum, menurut Djohan,
minimal ada lima bawahan yang terlibat kasus sama. Adapun jumlah anggota DPRD juga tidak kecil. Dari 2008
jumlah anggota dewan di daerah, ada sekitar 431 yang terlibat korupsi.
Tidak heran bila indeks korupsi RI tidak pernah membaik. Indeks tingkat korupsi di Indonesia dilaporkan naik dari
peringkat 100 menjadi 118 pada 2012. Indikasinya, tindak pidana korupsi pun masih kerap terjadi. Tingkat korupsi
tersebut merupakan laporan hasil survei lembaga Transparency Internasional (TI) yang berked udukan di Berlin,
Jerman. Dari situs resmi TI, Indonesia dilaporkan mendapat nilai 32 dari 0 yang terkorup dan 100 merupakan negara
terbersih. Survei tersebut dilakukan terhadap 176 negara di seluruh dunia.
Praktik suap-menyuap juga makin sering terjadi di Indonesia. Transparency International meluncurkan bribe payer
index tahun 2011. Hasilnya, menempatkan Indonesia sebagai peringkat keempat terbawah negara yang paling
banyak melakukan suap dalam transaksi bisnis di luar negeri.
Bribe payer index (BPI) merupakan hasil survei yang dilakukan secara berkala oleh Transparency International. Survei
BPI dilakukan terhadap 28 negara yang secara kumulatif berperan signifikan terhadap perekonomian dunia, dengan
total rasio foreign direct investment dan ekspor global sebesar 78 persen.
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Luky Djani, di Jakarta, BPI 2011
memotret praktik suap yang dilakukan pelaku usaha terhadap penyelenggara negara di luar negara domisili
kelompok usaha tersebut.
Demokrasi Biaya Tinggi
Publik tidak bisa lagi membantah bahwa korupsi menjadi -jadi dalam sistem demokrasi. Ini bukan tudingan kosong
tanpa bukti. Selain akibat sanksi pidana yang terbilang ringan (sebagai catatan, Angelina Sondakh yang menilep
uang negara sebanyak 14,5 miliar hanya dihukum 4,5 tahun), korupsi di alam demokrasi diakibatkan oleh demokrasi
yang memang berbiaya tinggi. Apalagi setelah muncul kebijakan Pilkada.
Dirjen Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan menyatakan korupsi di pemerintahan dan p arpol kian kencang
setelah UU No. 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah diberlakukan. Ini menyebabkan biaya politik mendadak
melonjak tinggi dibanding masa-masa sebelumnya. Melalui UU tersebut rakyat langsung memilih kepala daerahnya
sendiri. Akibatnya, kebutuhan dana calon kepala daerah menjadi besar.
Karena itu calon kepala daerah banyak yang bergerilya mencari dana kampanye. Dana itu bisa didapat dengan dua
cara. Pertama: melalui sumbangan anggota mereka yang duduk di legislatif. Ini akan memaksa anggo ta dewan
2. menggelembungkan pundi-pundi kekayaan mereka dengan cara ilegal seperti korupsi, fee proyek atau mark
up proyek, dsb. demi membiayai Pilkada jago dari parpol mereka.
Kedua: menerima sumbangan dari broker-broker politik yang menginvestasikan uang mereka dalam Pilkada kepada
calon-calon kepala daerah. Saat sang calon menjabat kepala daerah, mereka akhirnya terjerat rente dalam jumlah
besar. Akhirnya, mereka tunduk pada kemauan para broker tersebut untuk memuluskan proyek-proyek bisnis
mereka. Ambil contoh, dalam Pilkada Jawa Barat pada tahun 2013 ini setiap kandidat gubernur harus menyiapkan
dana kampanye Rp 25 juta untuk tiap desa. Di Jawa Barat ada 5.953 desa. Bila seluruh desa itu disambangi setiap
calon gubernur Jawa Barat maka dibutuhkan dana sekitar Rp 175-350 miliar. Jelas tidak mungkin dana sebesar itu
didapat dengan hanya mengandalkan sumbangan kader parpol atau simpatisan mereka.
Kongkalikong yang sudah nyata secara hukum adalah yang dilakukan Pengusaha Siti Hartati Tjakra Murdaya dalam
kasus dugaan suap kepada Bupati Buol, Amran Batalipu. Perkara ini terkait dengan pengurusan hak guna lahan
kelapa sawit perusahaan milik Hartati, yang membuka lahan baru di kawasan Bukal, Kabupaten Buol, Sulawesi
Tengah. Hartati diduga membuat kesepakatan dalam penerbitan hak guna lahan seluas 70 ribu hektare di Bukal.
Menjelang Pemilu 2014 diperkirakan korupsi dan praktik suap oleh kader parpol diperkirakan akan semakin tinggi
intensitasnya. KPU mengiyakan bahwa godaan finansial akan semakin besar menjelang pe rhelatan akbar di negeri
ini. KPU mengungkapkan ada sejumlah petinggi parpol yang berusaha melobi sejumlah komisioner KPU agar
meloloskan parpolnya saat verifikasi parpol peserta pemilu berlangsung.
“Nanti ada tahapan pencalegan. Itu ada caleg -caleg yang tidak memenuhi syarat, menggoda komisioner atau
menggoda sekretariat. Nanti juga pada perhitungan, itu rentan digoda lagi. Kemudian pengalokasian kursi,
penetapan calon terpilih itu adalah zona-zona yang rentan dalam pros es Pemilu ini,” terang Sigit Pamungkas yang
merupakan Komisioner KPU.
Dilegitimasi
Untuk mencegah terus ambruknya sistem demokrasi, para politisi dan pemerintah berupaya meminimalisasi
terjadinya penyanderaan parpol oleh broker atau investor politik. Caranya adalah dengan mengatur besaran da na
sumbangan kepada parpol. Dengan adanya aturan tersebut maka diharapkan parpol akan tetap independen, tidak
terkooptasi para donaturnya.
Namun, dalam kenyataannya, DPR justru menjadikan celah kolusi dengan para broker politik kian lebar. Dalam UU
No 51 Tahun 2010 Tentang Parpol yang disahkan oleh DPR, disebutkan sumbangan dana Parpol dari satu
pengusaha maksimal Rp 7,5 miliar pertahun anggaran. Angka itu meningkat hingga Rp 3 miliar jika dibandingkan
dengan UU Parpol sebelumnya, yakni maksimal Rp 4,5 miliar. Alasannya, kenaikan plafon sumbangan akan
mengamankan parpol dari mencari dana ilegal, dengan syarat, sumbangan tersebut dilakukan secara transparan.
Argumen itu sulit diterima logika. Dengan menaikkan nilai sumbangan maka parpol dalam sistem demokrasi hanya
akan menjadi ‘kuda troya politik’ yang akan diis i oleh kalangan politis i oportunis dan pebis nis pemburu rente.
Kalangan seperti inilah yang akan mengisi pemerintahan dan parlemen. Tidak mengherankan bila kemudian tidak
ada satu pun peraturan yang dihasilkan parlemen yang benar-benar membela kepentingan rakyat. Hampir
seluruhnya justru mengakomodasi keinginan para pengusaha.
Lobi politik, suap dan korupsi adalah modus sama di setiap negara demokrasi. Amerika Serikat yang sudah
menerapkan demokrasi selama lebih 200 tahun lebih dulu berada dalam pengaruh lobi para pengusaha kakap
ataupun kelompok-kelompok lain yang berpengaruh. Akan tetapi, lobi, suap dan korupsi yang dilakukan pengusaha
dan penguasa AS dilakukan dengan halus dan tak tampak oleh kebanyakan orang.
Pada tahun 2010, industri tembakau menghabiskan dana sebesar 16.6 juta US$ untuk melobi Kongres. Industri
rokok raksasa seperti Philip Morris, R. J. Reynolds Tobacco Company, and Lorillard Tobacco Co mempelopori lobi
tersebut. Mereka bahkan ikut mensponsori regulasi tembakau di AS. Sebagian dari dana itu dipakai anggota Kongres
dalam Pemilu mereka. Tujuannya agar pemerintah tidak terlalu ketat dalam menerapkan regulasi tembakau.
Lobi ini membuat pemerintah AS bersikap mendua dalam keputusan regulasi tembakau. Di satu sisi mereka
mengakomodasi tekanan publik agar dilakukan pembatasan peredaran rokok, tetapi mereka juga tidak mau
kehilangan income dari industri tembakau yang berkontribusi 27 juta US$ pertahun.
3. New York Times edisi 9 Juni tahun lalu juga menurunkan bukti telah terjadi kolusi antara pemerintah Obama dengan
perusahaan-perusahaan farmasi di AS seperti Big Pharma yang dilakukan pada tahun 2009. Dari bocoran email
diketahui bahwa Obama menyetujui permintaan perusahaan-perusahaan farmasi tersebut untuk tidak menurunkan
harga obat-obatan. Sebagai imbal baliknya, industri farmasi akan memberikan dana hingga 80 juta US$ untuk
membantu program kesehatan pemerintah yang dinamakan Obamacare.
Pemerintah AS juga selalu setengah hati menerima desakan warganya dalam soal pembatasan peredaran senjata
berapi. Hal ini karena kuatnya lobi NRA (National Rifle Association) terhadap Gedung Putih dan Kongres. Rencana
Pemerintah Obama mengetatkan distribusi senjata pasca sejumlah insiden penembakan tahun lalu m endapat
tentangan keras dari NRA. Ini tak lepas dari upaya mereka menyelamatkan produksi senjata di AS yang bernilai 11
miliar US dolar pertahun. Padahal mayoritas rakyat AS menginginkan pengetatan penjualan senjata setelah
berulangkali terjadi insiden penembakan yang dilakukan warga sipil.
Ralph Nader seorang politisi dan penulis buku terkemuka di AS berkomentar tentang besarnya pengaruh lobi
pengusaha terhadap pemerintahnya. Ia mengatakan, “Corporations have taken over the government and turned it against
its own people.”
Bukan untuk Rakyat
Abraham Lincoln, Presiden AS ke-16 memberikan penjelasan tentang demokrasi sebagaigovernment of people, by the
people, for the people. Kredo inilah yang membuat orang demikian memuja demokrasi karena dianggap mampu
memuaskan aspirasi seluruh masyarakat.
Akan tetapi, perjalanan sejarah membuktikan bahwa demokrasi hanyalah mainan bagi parpol dan kaum kapitalis.
Profesor Sosiologi Universitas Colombia C. Wright Mills memberikan antitesis terhadap pernyataan Lincoln.
Demokrasi tidak pernah benar-benar memihak rakyat. Menurut dia, struktur masyarakat demokrasi terbagi menjadi
tiga level. Yang paling bawah adalah rakyat jelata yang tidak berdaya, tidak terorganisir, terbelah dan dimanipulasi
oleh media massa untuk mempercayai demokrasi sebagai sistem terbaik. Pada bagian di atasnya adalah
Kongres/DPR, partai politik dan kelompok politik atau yang disebut sebagai pemimpin politik. Posisi paling puncak
adalah yang dis ebut oleh Mills s ebagai ‘ the power elite’ yang terdiri atas militer, pemerintah dan perusahaan-perusahaan
besar. Kelompok inilah yang memainkan peranan penting dalam sebuah negara. Mills mengatakan,
pemerintah dapat memperkuat militer dan para pengusaha dengan kebijakan mereka. Adapun pengusaha akan
menggelontorkan uang untuk membantu kampanye politik mereka.
Alhasil, berharap bahwa demokrasi akan memenuhi aspirasi rakyat banyak dan mensejahterakan mereka ibarat
pungguk merindukan rembulan; angan-angan kosong yang jauh dari realita. Demokrasi hanya manis dalam teori,
tetapi busuk dalam praktik. Perjalanan sejarah bangsa ini telah memberikan pelajaran bahwa demokrasi tak kunjung
menuntaskan cita-cita rakyat. Sudah saatnya kita mencampakkan sistem ini dan berpaling kepada sistem yang
datang dari Al-Khaliq. Dialah Yang menciptakan manusia dan pastinya paling tahu kebutuhan manusia, yakni syariah
Islam. [Iwan Januar; Lajnah Siyasiyah DPP HTI]