(1) Cerita ini menceritakan tentang Luna yang jatuh cinta pada Ferdhi tetapi menyadari bahwa Ferdhi lebih cocok bersama Rahmi, sahabatnya. (2) Ketika ayah Rahmi meninggal, Rahmi membaca diary Luna dan mengetahui perasaan Luna kepada Ferdhi. (3) Rahmi yang sedang berduka memutuskan untuk menikahkan Luna dan Ferdhi agar keduanya bahagia.
1. MUNGKIN BUKAN JODOHKU
Karya Mardiono
Usai mengikuti pengajian rutin disekolah tempat mereka mengajar.
“ Luna, gak biasanya kamu gini. Apa kamu sakit ? koq kelihatannya
dari tadi melamun terus “ Tanya Rahmi sambil jalan menuju ke rumah.
“ seandainya kamu tahu apa yang ada dihatiku Rahmi, kau pasti gak
akan terima ini…” gumam Luna dalam hati.
“ hallo….” Tegur rahmi membuyarkan lamunannya.
“ ha, oh,. Ehm… gak papa kok mi, oh ya gimana? tadi malam jadi
kerumah Bu Zuraidah ?, trus gimana hasilnya ? “ jawab Luna
mengalihkan pembicaraan.
“ sudah kubilang. Untuk sekarang ini, aku belum mau memikirkan hal
itu. Pernikahan merupakan suatu hal yang sakral, yang harus kita
jalani dengan serius, karena itu bukan sementara, tapi untuk
selamanya…” ucap rahmi sedih. Ia terus memikirkan ayahnya yang
sakit – sakitan. Ia masih ingin terus mengurusnya. Ia tak tega kalau
harus meninggalkannya. Sementara Bu Zuraidah, ketua yayasan
mereka, ingin menjodohkan Rahmi dengan salah satu guru disitu.
“ Rahmi, aku ngerti kok perasaanmu. Tapi cobalah kamu istikharah
meminta petunjuk kepada Allah. Kesempatan tidak datang dua kali.
Pak Ferdhi sangat cocok untukmu. Dia seorang Da’i. Kami semua guru
– guru disini mendukung..” ucap Luna membesarkan hatinya, sambil
menghapus setetes air mata Rahmi yang tiba – tiba saja jatuh
mengingat ayahnya yang sedang sakit. Mereka berhenti sesaat.
Sebenarnya Luna tidak tega kalau harus merebut ferdhi dari
tangannya karena Rahmi begitu akrab dengannya.
***
2. Malam itu.
Kepala luna sakit sekali, mengingat ucapan yang baru saja didengar.
Ia menangis. Masih terngiang ditelinga ucapan ibunya.
“ Luna, kapan lagi kamu menikah…?, sudah dua adikmu yang
melangkahimu, cepat – cepatlah kamu cari jodoh. Ibu sudah ingin
menimang cucu dari kamu..”
Ia masih duduk terdiam ditempat tidur, melihat fhoto kekasihnya.
Selaksa raut wajah dan tragedi itu terputar kembali mengenang masa
lalunya.
Pesta yang megah telah digelar. Seratus undangan lebih telah
tersebar. Tapi bukannya mempelai laki – laki yang datang, malahan
seorang lelaki berkumis tebal, berbaju seragam cokelat dan bertitel,
datang dan menanyakan kejelasan KTP yang diberikan. Korban
kecelakaan lalu lintas.
Gaun kebaya yang masih melekat, menjadi saksi perpisahan mereka
dirumah sakit. Sang calon suami hanya diam terbujur lemas
bersanding infus dan hirupan oksigen yang melekat di wajahnya. Ia
mengejar dokter usai proses operasi. Namun dokter berkata, “ hanya
ini yang sanggup kami lakukan. Tuhanlah yang menentukan segalanya. “
ucap dokter itu sedih penuh penyesalan. Mendengar itu, perasaan
bahagia dan cinta yang telah terbangun lama, kini roboh berserakan.
Jilbab yang anggun, tak lagi tertata rapi oleh sedihnya. Lututnya
3. melantai. Derai air matanya tak kunjung henti. Dalam hati ia ingin
berteriak, ya Rabb…. Kenapa kau timpakan ini padaku?
Sepertiga malam ia habiskan untuk bermunajat kepada Allah swt. Ia
terus menangis, memohon pada yang Kuasa, agar dimudahkan
jodohnya. Sebenarnya beberapa calon telah ditawarkan kepadanya.
Ada yang pengusaha, PNS, angkatan, bahkan ada yang ingin
melamarnya seorang konglomerat. Namun semua itu ia tolak. Apalah
artinya harta yang melimpah apabila tidak dilandasi keimanan dan
ketaqwaan yang dapat mengokohkan bahtera rumah tangga. Semua
itu ia tuangkan dalam diary mungil, selepas tahajjudnya.
***
Fajar sidik mulai membangunkan sang mentari dari peraduannya.
Selesai sholat subuh, ia tidur kembali.
“ Luna, kamu gak ngajar ?, sekarang sudah jam delapan..” ibunya
membangunkan dengan lembut.
“ astaghfirullah…” ucapnya tersentak saat mendengar jam delapan.
Langsung ia berberes dan mempersiapkan segala sesuatunya. Bukupun
asal sahut saja tanpa melihat – lihat lagi yang mana yang akan
diajarkan nanti.
***
Ferdhi tiba di sekolah telat. Ia melihat Madrasah sepi. Beberapa
orang tua menggandeng tangan anaknya kembali pulang.
“ kenapa pulang bu?” Tanya ferdhi penuh penasaran, sambil memarkir
sepeda motornya dan melepas helm dari kepalanya.
“ lho kok Bapak gak pergi?, ayahnya bu rahmi sekarang sedang kritis
di rumah sakit. Semua guru menjenguk kesana. Anak – anak hari ini
diliburkan.” Jawab orang tua murid.
Ferdhi langsung balik arah menuju rumah sakit. Tapi ketika ia sampai
disimpang, angkot warna putih berhenti didepannya. Luna turun
tergesa.
“ Bu Luna.. ,” panggil Ferdhi mengejutkan.
4. Baru saja Luna membayar ongkos pada pak supir.
“ ada apa pak?” Tanya Luna heran. Jarang sekali Ferdhi mau ngobrol
dengan rekan guru akhwat. Kecuali ada sesuatu hal yang sangat
penting. Dengan singkat ferdhi memberitahukan kabar yang ia dapat.
Merekapun bergegas ingin pergi ke rumah sakit. Luna sangat segan
dan ragu, ingin minta bonceng. Begitu juga ferdhi. Ia sangat menjaga
hijab. Mungkin ia lebih baik memberikan sepeda motornya untuk luna
kendarai, daripada harus memboncengnya.
“ Bu Luna naik angkot saja ya?”
“ ya pak. Gak papa, Bapak duluan saja. Nanti saya menyusul. “
Madrasah sunyi. Semua murid – murid sudah dijemput oleh orang
tuanya. Ada juga yang pulang sendiri karena rumahnya dekat. Ferdhi
tidak tega harus meninggalkannya luna sendirian. Iapun menunggu
Luna sampai dapat angkot. Satu setengah jam mereka menunggu
angkot. Tetap tak tampak melintas. Angkot lintas ke madrasah
memang sangat jarang. Satu – satu. Apalagi kalau sudah jam delapan
keatas. Tidak ada sewa. Para pekerja dan pelajar sudah berada
ditempatnya masing – masing. Angkot – angkot itu juga menunggu
sewa diterminal sampai penuh, baru mau berangkat.
Mereka resah. Entah apa yang sudah terjadi dirumah sakit sana.
Mereka ingin segera kesana. Ferdhi juga bingung. Satupun becak juga
tak ada yang muncul. Kalaupun ada, sudah berisi kian penumpang yang
ia bawa dari tempat mangkal. Mentari semakin meninggi.
Mereka tidak mungkin melama – lamakannya. Saat darurat, segala
sesuatu yang tidak boleh menjadi boleh. Gak mungkin ferdhi
meninggalkan Luna sendiri ditempat yang sepi. Ferdhi
mempersilahkan Luna naik disepeda motornya. Mereka segera
meluncur. Ferdhi cukup tangkas menerobos mobil – mobil besar yang
mengangkut pasir dan batu.
Luna juga tahu batas. Tidak seperti remaja sekarang pada umumnya.
Gak tahu malu. Boncengan dengan bukan muhrimnya. Memeluknya
layaknya suami istri. Bahkan mungkin suami istripun malu melakukan
5. itu ditempat umum. Dasar zaman edan !!
Dus, mereka sampai dirumah sakit. Sejurus kemudian, mereka
menemui guru – guru lainnya yang telah lama berada disana. Keluarga
Rahmi berada didepan ruang gawat darurat. Spontan Bu Zuraidah
mendekati Ferdhi dan menggiringnya ke sudut ruangan.
“ Pak Ferdhi, mungkin hanya Bapak yang dapat menyelamatkan ini.
Rahmi sedari tadi pingsan belum siuman. Ia sangat takut ayahnya
meninggal. Dari sekian orang saudaranya, hanya Rahmi-lah yang paling
disayang oleh ayahnya” ucap Bu Zuraidah penuh pengharapan dan
sedih. Ia melanjutkan..
“ sebelum ayahnya sakit, ayahnya berpesan bahwa ia ingin melihat
Rahmi menikah sebelum ia pergi…, entah apa maksudnya. Tolonglah
Pak Ferdhi, Rahmi orangnya ta’at, ia sabar dan sebentar lagipun akan
diwisuda. Cocok untuk jadi da’iah pendamping pak Ferdhi”, jelasnya
runut, mendesak penuh harapan. Wajahnya memelas.
Sebenarnya telah lama juga Ferdhi jatuh hati pada Rahmi. Ia beda
dengan guru – guru yang lainnya, yang hanya memakai jilbab dan rok
saat mengajar saja. Bahkan rahmi sering ikut pengajian rutin ibu – ibu
arisan yang diisi oleh Ferdhi. Jilbabnya yang menjulur lebar, baju
gamisnya yang longgar dan panjang, mampu menusuk hati Ferdhi bagai
panah asmara. Seketika itu juga Bu Zuraidah mengurus tuan kadi dan
mahar yang ala kadarnya. Asal ini berlangsung.
Sementara itu, Luna terus mengipasi Rahmi yang tengah pingsan di
ruang tunggu dengan buku yang asal cabut dari tasnya. Tapi tiba –
tiba saja tangan Luna di tarik oleh salah satu guru yang lain, sebentar
keluar. Kondisi ayah Rahmi semakin parah. Buku yang dipakai luna
untuk mengipas, tertinggal disamping Rahmi yang mulai sadar.
Tanpa sengaja rahmi membuka buku itu. Wangi penuh hiasan stabilo
dan tinta warna. Itu buku diary Luna. Ia buka halaman terakhir…
Jum’at, 22 januari 2010
Pukul 03: 15
6. ……..
“ ya Rabb, seandainya aku boleh menjual diriku, akan kuberikan
seluruh jiwa dan ragaku untuknya seorang. Aku mencintainya karena
keimanan dan ketaqwaannya. Namun aku tak mau menjadi pagar
makan tanaman. Biarlah pak Ferdhi bahagia dengan Bu Rahmi.
Rabbighfirli ala kulli dzunubi..
***
Semua berkumpul diruang UGD. Termasuk Rahmi yang dibopong
masuk oleh guru yang lain. Bu Zuraidah sudah mengkonfirmasikan ke
dokter yang menangani ini. Iapun mendapat izin.
“ayah !! bangun ayah. Sekarang Rahmi akan penuhi permintaan ayah…”
ucapnya sesenggukan dengan terus mengharap jawaban. Air matanya
tak terbendung. Tuan kadi, Ferdhi, Bu Zuraidah, Luna dan rekan guru
lainnya juga cemas. Namun jawaban yang keluar, lain dari apa yang
diharapkan.
Titttttttt……
Gambar gelombang deteksi jantung dilayar monitor bergaris lurus.
Innalillahi wa inna lillahi roji’un…
Suasana haru pilu berkelebat dalam ruangan itu. Ferdhi, Luna, Bu
Zuraidah, tuan kadi, rekan guru dan beberapa suster yang
direncanakan akan jadi saksi nikah, melihat Rahmi yang tengah sedih
tak karuan. Ia memeluk ibunya dan terus menangis. Tak ada yang
berani mengusik mereka.
Cepat – cepat Ferdhi membenahi posisi ayahnya. Mengatur
perlengkapan mayat seadanya. Sementara Bu Zuraidah menyelesaikan
administrasi rumah sakit agar jenazah ayahnya cepat dibawa pulang.
Tapi Luna, ia hanya bisa melihat sosok sahabat karibnya tengah
berkabung. Kasihan. Dalam beberapa minggu ini Rahmi terus sedih
memikirkan ayahnya.
Luna mendekati Rahmi. Ia memeluknya. Sesaat hanyut dalam
kesedihan.
7. “mi, kamu harus ikhlas ya. Semua ini sudah kehendak yang kuasa..”
ucapnya berusaha menyeka air mata Rahmi dipipinya.
Setelah selesai memposisikan jenazah, Ferdhipun menghampiri
mereka. Ia memberi semangat agar terus positif menatap hidup ke
depan. Namun semua itu tetap tak dapat melunturkan kesedihan
rahmi. Tatapan matanya kosong. Fikirannya buntu. Tapi entah kenapa,
saat melihat mereka berdua, ia jadi teringat dengan tulisan yang
sempat ia baca di diary Luna tadi.
“Setidaknya aku bahagia melihat kalian berdua bahagia” ucap Rahmi
yang tiba – tiba bereaksi. Ia menarik tangan Luna dan Ferdhi yang
beralaskan baju kokonya. Begitu juga saat disatukan. Tangan Ferdhi
diletakkan ditangan yang berbalut gamisnya. Luna masih bingung
“aku sudah membaca buku diary mu na, aku ingin kalian menikah”.
Lanjut Rahmi pasrah. Semua yang mendengar bergetar heran dengan
keputusan rahmi. Bu zuraidah menatap penuh kebimbangan. Bahagia
dalam pilu. Dua sahabat yang saling mencintai karena Allah. Didepan
rahmi, tuan kadi menjalankan prosesi akad nikah untuk Luna dan
Ferdhi. Sungguh mulia hati Rahmi. Disaat kekalutannya ia masih bias
memikirkan orang lain.
Tahajjud luna tak sia – sia. Allah tidak tidur. Ia maha tahu isi hati
hambanya. Dan cintapun merebak dengan ikhlasnya.