Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Keluarga Kedua
1. elama tiga bulan, Yosi hidup dalam gelap.
Waria 40 tahun ini tak bisa memandang
indahnya dunia setelah bakteri toksoplasmosis
membuat matanya buta. Bagi Yosi, hidup bak di
tubir kematian. Biaya berobat yang mahal
membuatnya nyaris putus asa. ”Lebih baik mati
dari pada hidup begini”, ujarnya lirih.
Yosi berasal dari lampung, bekerja sebagai
pekerja seks di Jakarta sejak 1993, kemudian ia
pergi ke Batam 1996, namun tujuan utamanya
adalah Malaysia. Waria yang punya karakter
keras kepala ini awalnya menganggap organisasi
Himpunan Waria Batam (HIWABA) sangat tidak
penting untuk dirinya, Yosi beranggapan sebagai
seorang perantau dia mempunyai prinsip ”hidup
sendiri, mati juga sendiri”.
Di pertengahan 2012, tepatnya pada bulan juni,
Yosi jatuh sakit. Badannya mendadak sering
lesu, demam, diare berkepanjangan dan timbul
kandidiasis di mulut. Yosi memutuskan untuk
pergi berobat. Tapi, meski sudah berobat
kemana-mana, ia tidak menemukan
kesembuhan.
KELUARGA
KEDUA
Himpunan Waria Batam (HIWABA)
S
2. Pada bulan Agustus tersebar isu di komunitas
waria bahwa ada seorang waria yang bernama
Yosi menderita sakit keras. Atas kesepakatan
bersama, pengurus HIWABA menjenguk Yosi
untuk melihat keadaannya dan mencari tahu
apa penyakitnya. Yosi mengatakan bahwa dia
menderita sakit maag dan sudah berobat
kemana-mana. Namun melihat kondisi Yosi yang
sudah cukup parah, pengurus HIWABA
memberikan nomor kontak konselor dan
manager kasus HIV HIWABA untuk dihubungi
apabila Yosi ingin melakukan pemeriksaan
kesehatan lain seperti IMS dan HIV.
Atas insiatifnya sendiri Yosi mengakses layanan
konselor dan manajer kasus yang dianjurkan
oleh pengurus HIWABA. Ternyata Yosi positf
HIV dengan CD4 hanya 16. Dokter
menganjurkan Yosi agar segera mengonsumsi
ARV untuk menekan virus yang ada di dalam
tubuhnya. Dua bulan setelah Yosi mengonsumsi
ARV, ternyata dia mengalami ko-infeksi
toksoplasmasis yang menyebabkan kebutaan.
Situasi ini mengharuskan manager kasus
HIWABA mengambil tindakan untuk membawa
Yosi ke dokter mata. Dokter tersebut hanya bisa
memberi dua solusi: pertama Yosi harus
berusaha menaikkan CD4 menjadi 250 dalam
waktu 1 bulan. Jika tidak bisa, maka Yosi harus
dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta karena dia harus menjalani pengobatan
suntik mata yang di Indonesia hanya tersedia di
rumah sakit tersebut.
Pengobatan ini memakan biaya yang besar.
Meski demikian, HIWABA mengetahui bahwa
ada dukungan pendanaan jaminan kesehatan
sosial yang bisa membantu Yosi. Tetapi,
dukungan Jamkesos ini tidak mudah didapat.
HIWABA akhirnya harus melakukan advokasi ke
DINKES dan DINSOS, agar Yosi bisa
mendapatkan JAMKESMAS (untuk biaya
pengobatan) dan JAMKESDA (untuk biaya
transportasi dan akomodasi) yang diperlukan
untuk pengobatanya. HIWABA menghabiskan
satu bulan lebih untuk melakukan upaya
tersebut. Setelah diping-pong oleh Dinkes dan
Dinsos beberapa kali, akhirnya HIWABA berhasil
mendapatkan JAMKESMAS dan JAMKESDA yang
dibutuhkan.
Salah seorang staff HIWABA, yaitu Angel
Nasution, akhirnya berangkat ke Jakarta
mendampingi Yosi. Empat bulan setelah
berobat, Yosi sudah mulai bisa melihat kembali
dan membedakan warna.
Bantuan yang diberikan kepada Yosi merupakan
salah satu tujuan dibentuknya HIWABA. Selain
Yosi, ada sejumlah waria lain yang juga telah
dibantu untuk mendapatkan akses kesehatan.
HIWABA sendiri berdiri pada 2005, diprakarsai
oleh Angel (Nikmattua Nasution), Bela (Deaxel
Sibarani), Ida Rusdi (Rusdi Harahap), Iing
Bareta (Ecok) dan disahkan oleh Notaris dua
tahun kemudian.
Berdasarkan hasil pemetaan pada tahun 2012
jumlah populasi waria yang terdata di Batam
ada sebanyak 536 orang dan Berdasarkan
estimasi 2012 terdata sebanyak 140 ODHA
waria di Batam. Pada 2013 Jumlah Waria yang
terdata sampai dengan bulan Maret sebanyak
200 orang dan estimasi ODHA pada tahun 2013
sebanyak 70 ODHA yang terdata.
Dari data yang dipaparkan diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa perbandingan jumlah
populasi waria dengan jumlah ODHA yang
terdata sangat berdampak besar. Jika
dipresentasekan secara keseluruhan hampir
35% dari populasi waria yang terdata sudah
terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan karena
sebagian besar waria yang melakukan migrasi
ke Malaysia dan Singapura biasanya kembali ke
batam karena sakit ataupun dideportasi dalam
kondisi sudah terinfeksi HIV. Untuk itu perlu
dilakukannya intervensi pada populasi beresiko
tinggi penularan IMS, HIV dan AIDS.
Selain kasus Yosi, terdapat kasus serupa di
komunitas waria Batam. Puspa 20 tahun, waria
asal dari jawa tengah dirujuk ke Rumah Sakit
Budi Kemuliaan dengan status positif mengidap
HIV, CD4 195 , berat badan 38 kg dan tidak bisa
lagi berbuat apa-apa. Tanpa memiliki KTP
setempat, Puspa tidak bisa mendapatkan
layanan kesehatan gratis. “Biaya berobat yang
mahal, membuat saya mengurungkan niat untuk
pergi berobat ke rumah sakit,” ujar Puspa.
Mendengar kabar bahwa ada seorang waria
muda yang tengah sakit keras dan diusir dari
tempat tinggalnya karena tidak mampu untuk
membayar kontrakan, HIWABA memutuskan
untuk memindahkan Puspa ke tempat salah satu
3. anggotanya agar bisa mendapatkan
perlindungan dan tempat tinggal sementara.
Melihat kondisi Puspa yang cukup parah,
HIWABA membawanya ke Rumah Sakit Budi
Kemuliaan. HIWABA bertindak sebagai penjamin
yang memastikan agar Puspa mendapatkan
perawatan yang diperlukan. Ketika mengetahui
bahwa Puspa tidak memiliki KTP setempat,
HIWABA mencoba untuk memintakan surat
domisili agar Puspa bisa mendapatkan layanan
kesehatan gratis dari JAMKESMAS. Setelah
berusaha beberapa lama, akhirnya hanya RT
Seraya Atas saja yang mau memberikan surat
tersebut untuk Puspa. Berbekal surat domisili
dari RT tersebut, HIWABA melakukan advosasi
ke DINSOS untuk mendapatkan JAMKESMAS
yang diperlukan untuk menindaklanjuti
pengobatan dan perawatan Puspa sebagai
pasien terlantar.
Tiga bulan kemudian Puspa kembali sehat. Atas
pendampingan, advokas,i dan perawatan yang
dilakukan HIWABA, Puspa sudah segar kembali
dengan berat badan 48 kg dan CD4 270. Dia
sekarang sudah bisa beraktifitas normal. Tidak
hanya sampai di situ, HIWABA bahkan
mencarikan pekerjaan untuk Puspa di sebuah
rumah makan.
Yosi dan Puspa adalah dua orang dari sekian
banyak waria yang telah mendapatkan layanan
advokasi dan pendampingan dari HIWABA. Ada
lagi Evi bule dan Rachel, 39 dan 37 tahun.
Kedua waria asal Tapanuli Selatan, Sumatera
Utara ini, mengalami stroke hingga lumpuh
separuh badannya. Keduanya juga positif HIV,
dengan CD4 masing-masing 27 dan 16. HIWABA
mendapat kabar bahwa Evi bule dan Rachel
yang sebelumnya bekerja di Malaysia, tiba-tiba
dipulangkan dalam keadaan sakit oleh
komunitas waria yang ada di Malaysia. Kondisi
keduanya yang sudah cukup parah, membuat
mereka tidak bisa ditangani dengan baik.
HIWABA menjemput Evi dan Rachel di
pelabuhan Batam Center, lalu membawa mereka
ke rumah salah satu anggota agar keduanya
mendapatkan tempat tinggal sementara.
Lagi-lagi HIWABA dihadapkan kepada situasi di
mana pasien tidak memiliki KTP setempat,
sehingga sulit untuk mendapatkan layanan
kesehatan gratis. Ditambah lagi, Evi bule dan
Rachel bukanlah anggota HIWABA. Akhirnya,
sebagian dari anggota HIWABA melakukan
sumbangan sukarela agar Evi bule dan Rachel
bisa dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan
perawatan yang diperlukan. Ada sedikit
keberatan dari beberapa orang anggota yang
merasa bahwa tidak seharusnya waria yang
bukan anggota menjadi beban mereka.
Meskipun demikian, anggota lain yang memiliki
empati tetap melakukan sumbangan sukarela
dan mengajak staff HIWABA untuk segera
membawa Evi dan Rachel ke rumah sakit.
Seperti kasus Yosi dan Puspa, kali ini pun
HIWABA melakukan advokasi ke DINSOS untuk
mendapatkan fasilitas JAMKESMAS sebagai
pasien terlantar, agar Evi bule dan Rachel bisa
menjalani perawatan dan pengobatan.
Beruntung, kali ini proses yang dilalui oleh
HIWABA jauh lebih cepat daripada sebelumnya.
Tidak sampai satu minggu, Evi Bule dan Rachel
telah mendapatkan fasilitas JAMKESMAS yang
dibutuhkan. Evi dan Rachel, menjalani masa
rawat jalan selama tiga bulan sebelum akhirnya
pulih dan sehat kembali dengan CD4 masing-
masing 450 dan 1500. Evi bule dan Rachel telah
kembali menjalani rutinitas mereka masing-
masing.
Selain memberikan advokasi, HIWAB juga aktif
dalam membangun jaringan di Indonesia.
HIWABA terlibat dalam jaringan nasional seperti
GWL-INA sejak 2009. Lebih jauh lagi, HIWABA
kemudian mulai terlibat dalam berbagai kegiatan
penguatan kapasitas yang diadakan oleh ISEAN-
HIVOS sejak tahun 2012. “Keterlibatan ini
berdampak pada semakin tertatanya struktur
organisasi HIWABA dengan terbentuknya
berbagai divisi,” ujar Ade Lodni, Ketua HIWABA
Bertambahnya divisi di dalam tubuh HIWABA ini
akhirnya melibatkan semakin banyak anggota
komunitas waria di Batam. Struktur organisasi
yang semakin baik dan rapi, menarik minat
waria yang tadinya tidak terlibat, akhirnya
memiliki keinginan untuk bergabung. HIWABA
akhirnya menjadi organisasi yang memiliki
eksistensi kuat dan dipercaya, baik oleh
komunitas waria maupun pemerintah daerah.
Penguatan kapasitas tersebut telah berkontribusi
bagi HIWABA dalam menjalankan mandatnya
untuk menyediakan wadah komunikasi dan
4. memberdayakan waria di Batam, sehingga posisi
waria setara dengan anggota masyarakat lain.
Sebagai contoh dalam menanggapi situasi
diatas, dimana banyak waria yang tidak bisa
mengakses layanan kesehatan, setelah pelatihan
Advokasi dan Jejaring, HIWABA makin kuat
dalam menjalin kerjasama dengan institusi atau
lembaga yang mempunyai tujuan
penanggulangan HIV dan AIDS seperti DINSOS,
DINKES, KPAK dan YGB.
Program – program kerja HIWABA yang sudah
disusun mulai dijalankan, salah satunya program
kesehatan. Advokasi dan kerjasama ini
diwujudkan dalam bentuk MOU antara Forum
LSM Peduli HIV dan AIDS (HIWABA sebagai
salah satu anggotanya) dengan Dinas Kesehatan
Kota untuk pemeriksaan IMS dan HIV.
Sedangkan untuk CST, HIWABA membuat
kesepakatan dengan Dinas Sosial Kota bagi
pasien terlantar di Rumah Sakit.
Selain itu, HIWABA juga melakukan pendekatan
informal kepada tenaga kesehatan di Pusat
Kesehatan Masyarakat mengenai waria,
termasuk sikap dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada waria. MoU, kesepakatan dan
pendekatan formal tersebut sudah
disosialisasikan ke anggota HIWABA sehingga
mereka bisa merasa nyaman mengakses
layanan kesehatan jika diperlukan.
Bentuk-bentuk kegiatan yang diselenggarakan
bersama Dinkes adalah Penjangkauan dan
pendampingan kerja sama dgn YGB. VCT, CST
kerja sama dengan Rumah Sakit Budi
Kemuliaan, IMS, VCT kerja sama dengan Dinsos
melalui layanan peskesmas Lubuk Baja. “Adapun
untuk urusan subsidi kondom, HIWABA bekerja
sama dengan KPAK Batam. Untuk Jamsostek
sudah dijalin kerja sama dengan DINSOS, dan
Jamkesda kerja sama dengan DINKES,” Angel.
Di masa yang akan datang, HIWABA berharap
semakin banyak waria di Batam yang bergabung
sehingga solidaritas yang tinggi akan semakin
terbentuk. Selain itu, HIWABA juga
mengharapkan dukungan dan kerjasama
dengan instansi terkait agar advokasi hak-hak
kesehatan waria dapat tetap berjalan dan
semakin membaik.
***
Kontak:
hiwaba_kepri@yahoo.co.id