1. STUDI ANALISIS MARITAL RAPE (PEMERKOSAAN DALAM
PERKAWINAN) MENURUT PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
DAN HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata Satu ( S.1 )
Ilmu Syari’ah Jurusan Jinasah Siyasah
Oleh:
Arif Karunia Rahman
NIM. 0 7 2 2 1 1 0 1 9
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
i
2. Drs. Rokhmadi,. M.Ag.
Jl. Jati Luhur 318 RT I/V Ngesrep, Banyumanik, Semarang
Maria Anna Muryani, SH., MH
Jl. Ghanesa Raya 299 B Pedurungan Tengah, Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 Naskah eks
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Arif Karunia Rahman
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
kami kirimkan naskah skripsi Saudara :
Nama : Arif Karunia Rahman
NIM : 072211019
Jurusan : Siyasah al-Jinayah
Judul Skripsi : Studi Analisis Marital Rape (Pemerkosaan Dalam
Perkawinan) Menurut Perspektif Hukum Positif Dan
Hukum Islam.
Dengan ini kami mohon kiranya skripsi mahasiswa tersebut dapat segera
dimunaqosahkan.
Demikian harap menjadi maklum.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Semarang, 01 Mei 2012
ii
3. KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH
Alamat : Jl. Prof. Dr. Hamka Km.2 Ngaliyan Kampus III Telp/Fax : 024-7614454 Semarang 50185
PENGESAHAN
Nama : Arif Karunia Rahman
NIM : 072211019
Jurusan : Siyasah al-Jinayah
Judul Skripsi : Studi Analisis Marital Rape (Pemerkosaan Dalam
Perkawinan) Menurut Perspektif Hukum Positif Dan
Hukum Islam.
Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan
predikat cumlaud / baik / cukup, pada tanggal : 11 Juni 2012
dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1
tahun akademik 2011.
Semarang, 25 juni 2012
Mengetahui,
iii
4. MOTTO
Tuhan tidak akan pernah turun kebawah dari awan dan berkata:
“sekarang anda mendapat izin untuk berhasil”
Anda harus memberi izin kepada diri anda sendiri
iv
5. PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, dengan segenap rasa syukur yang mendalam kepada Allah
SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Karya ini penulis
persembahkan untuk:
1. Bapak dan Ibuku tercinta, yang selalu menjadi teladan dan spirit dalam segala
aktifitasku, do’a dan kasih sayang yang telah engkau berikan tak akan pernah
bisa terlupakan, dan tak mungkin dapat terbalaskan. Engkau tak pernah lelah
dan selalu sabar dalam mendidik serta selalu tulus memberikan segala sesuatu
demi kebahagiaan putranyamu ini. Sembah sungkem kepada bapak ibu,
semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat-Nya kepadamu, dan selalu
diberikan kesehatan dan kenikmatan. Ya Allah, Ampunilah dosa-dosa kedua
orang tua ku dan kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka mengasihiku
ketika waktu kecil.
2. Adik-Adikku, Devi Arini Murika Ningrum, dan Agustina Nurul Islami yang
membuat penulis ingat akan cita-cita, dan yang selalu memberi semangat hidup
dan rasa kasih sayang dalam hidupku.
3. Semua Bapak / Ibu Guru ku diseluruh jenjang pendidikan, khususnya kiyaiku
tersayang KH Ma’ruf Irsyad dan KH Khudori yang telah memberikan segenap
ilmunya, yang sangat bermanfaat dan semoga barokah bagi penulis.
4. Kepada mas-masku WSC, mas Dain Fazani, SHI., Khoirul Huda, SHI., Dwi
Hartanto, S. Fil.I, M. Hanif S. Pd. I., Ainun Nafi’ S. Pd., mbak Dewi
Kurniasari, S. Pd., Muhammad Amin, S. Sos.I, yang tercinta dan tersayang,
v
6. terima kasih atas saran dan nasehatnya. Untuk mas Dain Fazani, SHI. Dan mas
Abdullah Aniq SHI, terima kasih atas ilmu dan motivasinya dalam
pengembangan Tenis Meja sehingga penulis dapat meraih apa yang dicita-
citakan, sungguh luar biasa kesabarannya dalam melatih dan membina penulis
pada khususnya dan anggota Table Tennis Division UKM WSC (Wali Songo
Sport Club) pada umumnya, untuk maz Khoirul Huda, SHI., terima kasih atas
nasehat dan ilmunya dalam berorganisasi, dan juga dalam memahami arti
hidup. Untuk mas Dwi Hartanto, S. Fil.I, dan M. Hanif S. Pd. I., terima kasih
atas ilmunya dalam memahami arti perjuangan, pengorbanan dan loyalitas.
5. Semua pengurus dan keluarga besar UKM WSC, tetaplah sholid dan semangat
berjuang, raih prestasi setinggi-tingginya dengan menjunjung tinggi nilai
sportivitas.
6. Adik-adikku tercinta di cabang Tenis Meja UKM WSC, Farid sang pencari
cinta tak sampai, fahri cwok cool abizz, aziz tetep setia sama bunda, Rifqi
Curut titisan mbah wali pedurungan, Nafi’ sang hitam manis, kamal pujangga
melankolis yang mang-meng kalau lagi maen, Vita, Susy, Rizka, Nurul tetaplah
semangat dan tunjukkan permainan terbaik kalian, jagalah tali kekeluargaan ini
hingga akhir hayat.
7. Teman setiaku yang tak terlupakan Diah Umi Wardani, Baity Nur Shani yang
imut katanya.
8. Teman-teman pengurus UKM WSC 2010, Desma, Sabiq, Halim Nying-nying,
Upi Cute, Rafika Haque, pak Dhe Muttakin, Faris Darsono, dkk., yang telah
vi
7. bekerja keras selama kepengurusannya. Terima kasih atas waktu, dan
loyalitasnya kepada UKM WSC.
9. Teman-teman Kost, Muhib, Sofian, Rifqi Gendut, Mbah jambrong Zamroni
terima kasih atas motivasinya, terus berjuang dan semangat.
10. Bapak Safari (Alm), terima kasih atas jasa bapak, karena berkat bapak penulis
dapat bermain tenis meja dengan baik, semoga amal ibadah bapak diterima
disisi-Nya. Amien. Dan tak lupa temen-temen dari PTM Simpang Lima
Semarang, Harno, Gandung, Anton, Apin dkk, tetap semangat berlatih.
11. Semua pengurus dan keluarga besar UKM WSC, tetaplah sholid dan semangat
berjuang, raih prestasi setinggi-tingginya dengan menjunjung tinggi nilai
sportivitas.
12. Teman-teman BINORA Masduki, Rofiq, Tresno, Aufa, Tabung, Arif bali,
Toher, Wuri, Rouf, Alif. Dan teman-teman yang lain yang tidak bisa sebutkan
satu-satu, kita dulu pernah ada kenangan walaupun hanya sementara.
13. Teman-teman pondok Darun Najah khususnya kamar Ar-Rahmah yang selalu
memberikan motivasi dalam hal persaingan yang baik.
14. Teman-teman kelas SJ B 2007 Menwa Kholis, Khumaini, Anita, Fajrin, Ibad,
Tozink, Fahri, Mbah Faqih, Pakde Gufron, Zansen, Nunik, Nasron (Kirun),
Cukong, Hasan. semoga kita semua jadi orang yang berguna untuk orang lain,
sukses dan tercapai semua cita-citanya. Amien.
15. Dan Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu
yang telah membantu penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
vii
8. Semoga amal baik dan keikhlasan yang telah mereka perbuat menjadi
amal saleh dan mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT, Amin. Penulis
telah berusaha semaksimal mungkin demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
Penulis sadar atas kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri penulis. Untuk
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif demi kesempurnaan
skripsi ini
viii
9. DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang pernah ditulis oleh orang
lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini
tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain
kecuali informasi yang terdapat dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 04 Mei 2012
Deklarator
Arif Karunia Rahman
NIM : 72211019
ix
10. ABSTRAK
Dewasa ini kekerasan terhadap perempuan (istri) meningkat setiap tahun,
terutama kekerasan seksual terhadap istri. Kekerasan seksual terhadap istri
merupakan segala perilaku yang dilakukan suami dengan berhubungan sekual
yang mengakibatkan penderitaan secara fisik, seksual dan psikis.
Faktor menigkatnya kekerasan seksual suami terhadap istri dalam rumah
tangga dikarenakan masih kentalnya budaya patriarki dalam pola pikir masyarakat
kebanyakan. Pandangan ini sangat mengagungkan superioritas laki-laki (suami),
sebagai kepala rumah tangga yang memiliki otoritas penuh terhdap anggota
keluarga, terutama istri. Sehingga fenomena kekerasan seksual terhadap istri
terkadang dianggap lazim dilingkungan masyarkat. Imbas lain sebagai
turunannya, kurangnya kesadaran dan keberanian istri untuk melaporkan kejadian
tersebut sebagai suatu tindak pidana, karena kekerasan seksual merupakan
persoalan intern yang tabu dibicarakan. Ditambah pula adanya ayat al Qur’an
yang masih ditafsirkan secara tekstual.
Islam adalah agama rahmatan lil’alamin yang menganut prinsip
kesetaraan, partnership (kerjasama) dan keadilan dalam hal hubungan seksual
suami-istri. Tujuan perkawinan itu sendiri adalah tercapainya keluarga yang
sakinah, mawaddah warahmah. Maka segala perbuatan yang akan menimbulkan
akibat mafsadat yang terdapat dalam kekerasan seksual terhdap istri, jika ditinjau
lebih dalam, dapat dikategorikan sebagai kegiatan melawan hukum. Berangkat
dari pemikiran di atas, bahasan skripsi yang penyusun buat akan melihat apakah
kekerasan seksual suami terhadap istri dapat dijadikan tindak pidana menurut
hukum positif dan hukum islam.
Belum adanya hukum yang ditetapkan secara tegas terhadap pelaku
kekerasan seksual terhadap istri dalam KUHP dan hukum pidana islam,
mengakibatkan kerancun dan kesewenangan itu senantiasa lestari. Namun
semuanya itu akan penyusun uraikan melalui pengertian kekerasan seksual suami
terhadap istri dalam KUHP dan dalam hukum pidana islam dan berikut beberapa
kaidah yang ada dalam ushul fiqh dan maqashid asy-syari’ah sebagai doktrin
dasar dan metodologi dalam penetapan hukum.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yang
bersifat deskriptif-analitis, yakni dengan penyelidikan masalah yang belum jelas
untuk menghasilkan sebuah kepastian hukum. Teknik pengumpulan data
didasarkan pada sumber data primer dan skunder, dengan pendekatan normatif-
yuridis, dengan menggunakan metode analisa deduktif.
Adapun dari hasil penelitian ini daptlah dinyatakan bahwa segala akibat
yang terdapat dalam kekerasan seksual suami terhadap istri merupakan
pelanggaran yang bertentangan dan dilarang oleh hukum. Pernyataan ini terwujud
melalui berbaggai pengertian dan dampak negatif dari perbuatan tersebut.
Berkenaan dengan sanksi hukuman bagi pelaku kekerasan seksual suami terhadap
istri adalah hukuman qishash pencederaan (penganiayaan) dan ta’zir. Dalam
hukuman qishash perbuatan pidananya diancam dengan membalas sesuai dengan
perbuatan yang telah dilakukan dan ta’zir disserahkan pada pemerintah
berwenang.
x
11. KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim,
Segala puji bagi Allah SWT, yang senantiasa memberi kenikmatan dan
kasih saying tiada terkira kepada hamba-Nya . Sungguh hamba yang tidak tahu
diri apabila sepanjang hidupnya tidak pernah mensyukuri nikmat dan karunia
yang telah diberikan Tuhannya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan
kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.
Beliulah sang revolusioner sejati, pembawa kebenaran dan kedamaian.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari bantuan
dan peran serta berbagai pihak baik berupa ide, kritik, saran maupun lainnya.
Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag., selaku Rektor IAIN Walisongo
Semarang, Bapak Prof. Dr. H. Achmad Gunaryo, M. Soc. Sc., selaku
Pembantu Rektor I, Bapak Dr. H. Ruswan, M.A., selaku Pembantu Rektor II,
Bapak Dr. H. M. Darori Amin, M.A., selaku Pembantu Rektor III, semoga
dapat membawa amanah dan bijaksana dalam mengeluarkan kebijakan.
2. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang. Bapak Abdul Ghofur M.Ag selaku PD I, Bapak
Saifullah M.Ag selaku PD II, Bapak Arif Budiman M.Ag selaku PD III.
3. Bpk Mohamad Solek, Drs., MA. selaku ketua jurusan Jinayah Siyasah,
Rustam DKAH, M. Ag. selaku sekretaris jurusan, serta bpk M Harun , S.Ag.
MH, dan bpk Raden Arfan Rifqiawan, SE., MSi selaku staf ahli jurusan, atas
xi
12. kebijakan-kebijakannya khususnya yang berkitan dengan kelancaran
penulisan skripsi ini.
4. Bapak Rokhmadi. Drs., M.Ag selaku pembimbing I, dan Ibu Maria Anna
Muryani SH., MH. yang telah bersedia membimbing dalam proses
penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan dan motivasinya serta
saran-sarannya hingga skripsi ini selesai. Dari bimbingan tersebut, penulis
dapat mengerti tentang banyak hal tentang sesuatu yang berhubungan dengan
hukum Islam. Penulis merasa masih harus banyak menimba ilmu dari bapak
dan ibu, penulis tidak dapat membalas keikhlasan dan jasa bapak dan ibu,
hanya ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas waktu yang
diluangkan buat penulis, dan semoga allah selalu mencurahkan kasih dan
sayangnya kepada bapak dan ibu.
5. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang terima kasih
yang tak terhingga atas bekal ilmu pengetahuannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan kuliah sekaligus penulisan skripsi ini.
6. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan IAIN Walisongo dan Perpustakaan
Fakultas Syariah, terimakasih banyak atas pelayanan dan pinjaman bukunya.
Penulis,
Arif Karunia Rahman
NIM: 72211019
xii
13. DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ v
HALAMAN DEKLARASI ....................................................................... vi
HALAMAN ABSTRAK ........................................................................... vii
HALAMAN KATA PENGANTAR........................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................. xiv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 13
C. Tujuan Penelitian...................................................................... 13
D. Telaah Pustaka ......................................................................... 14
E. Metode Penelitian..................................................................... 16
F. Sistematika Penulisan .............................................................. 18
BAB II : KONSEP TINDAK PIDANA
A. Tindak Pidana Menurut Hukum Positif........................................ 20
1. Pengertian Tindak Pidana.................................................... 20
2. Unsur-unsur Tindak pidana ................................................. 24
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana.................................................... 25
4. Subyek Tindak Pidana......................................................... 29
B. Tindak Pidana Menurut Hukum Islam ...................................... 31
1. Pengertian Tindak Pidana Dalam Hukum Islam .................. 31
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam Hukum Islam .............. 33
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana Dalam Islam .............................. 37
xiii
14. C. Tindak Pidana Perkosaan Dan Perkosaan Dalam Perkawinan ... 42
1. Pengertian Tindak Pkidana Perkosaan................................. 42
2. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan Dalam Perkawinan .... 45
BAB III : PERKOSAAN DALAM PERKAWINAN (MARITAL RAPE)
MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2004
A. Penyusunan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga .................... 52
1. Latar Belakang Diterbitkannya Undang-Undang
No. 23 Tahun 2004 ............................................................. 52
2. Tujuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 ..................... 59
3. Proses Penyusunan Undang-Undang KDRT
No. 23 Tahun 2004 ............................................................ 61
B. Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga Menurut
Undang-Undang No. 23 Tahhun 2004 Pasal 8 huruf a ............. 64
BAB IV : ANALISIS TENTANG MARITAL RAPE (PEMERKOSAAN
DALAM PERKAWINAN) MENURUT PERSPEKTIF
HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Analisis terhadap perkosaan dalam perkawinan
(marital rape) menurut hukum positif atau KUHP ................. 67
1. Analisis Menurut Pasal 285 KUHP ..................................... 67
2. Analisis Menurut Pasal 8 Huruf a Undang-Undang
No. 23 Tahun 2004 Tentang penghapusan kekerasan terhadap
perempuan .......................................................................... 72
B. Analisis Terhadap Perkosaan Dalam Perkawinan (Marital Rape)
Menurut Hukum Islam ............................................................ 77
1. Kesamaan Hak Laki-Laki Dan Perempuan.......................... 77
2. Kesamaan Hak Laki-Laki Dan Perempuan
Dalam Hal Seksualitas ........................................................ 82
a. Persamaan Hak Suami-Istri ........................................... 88
b. Relasi Yang Baik (Mu’asyarah bil al-Ma’ruf) ............... 91
xiv
15. BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 94
B. Saran-Saran .............................................................................. 96
C. Penutup .................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xv
16. BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tindak kekerasan dalam masyarakat sebenarnya bukan suatu hal
yang baru. Kekerasan sering dilakukan bersama dengan salah satu bentuk
tindak pidana, seperti yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP), misalnya pencurian dengan kekerasan Pasal 365 ayat (1) KUHP 1,
pemerkosaan Pasal 285 KUHP, 2 dan lain sebagainya.
Tindak pidana tersebut dilakukan dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, sedangkan cara bagaimana kekerasan dilakukan atau alat apa yang
dipakai, masing-masing tergantung pada kasus yang terjadi. Jadi sifatnya
kasuistis. Perbuatan tersebut dapat menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun
perempuan, dari anak-anak sampai dewasa. Namun yang menarik perhatian
publik adalah kekerasan yang menimpa perempuan (istri) 3. Apalagi kalau
kekerasan tersebut terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga. Sering kali
tindak kekerasan ini korban berusaha untuk merahasiakan perbuatan tersebut,
tindak kekerasan ini di sebut hidden crime (kejahatan yang tersembunyi).
1
Pasal 365 KUHP berbunyi ” (1) di ancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun,
pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan, terhadap orang-orang, dengan
maksud untuk mempersiap atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk
memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang
yang di curinya”. Pasal menerangkan tentang pencurian dengan kekerasan.
2
Pasal 285 KUHP berbunyi ” barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar pernikahan,diancam karena melakukan perkosaan,
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” pasal menerangkan tentang ancaman
perkosaan.
3
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-
Viktimologis, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Cet ke-1, hlm 1.
1
17. 2
Disebut demikian, karena baik pelaku maupun korban berusaha untuk
merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik. Kadang juga disebut
domestic violence (kekerasan domestik), karena terjadinya diranah domestik. 4
Dalam kenyataannya sangatlah sulit untuk mengukur secara tepat
luasnya kekerasan terhadap perempuan, karena ini harus memasuki wilayah
peka kehidupan perempuan, yang mana perempuan sendiri enggan
membicarakannya. Namun demikian banyak studi yang melaporkan mengenai
jenis kekerasan yang sangat meluas, yaitu kekerasan dalam rumah tangga,
khususnya kekerasan yang dilakukan suami atau pasangannya. Data dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa pada tahun 1998 di
Turki jumlah perempuan yang mengalami kekerasan mencapai 57,9% pada
tahun 1999 di India jumlah tersebut mencapai 49% dan pada tahun 2000 di
Amerika serikat jumlah tersebut mencapai 22,1% perempuan menikah
mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suami. 5
Diperkirakan angka-angka tersebut tidak mencerminkan keadaan
yang sebenarnya, mengingat masalah dalam rumah tangga masih di anggap
tabu untuk di ungkapkan. Banyak istri yang tidak melaporkan tindak
kekerasan yang dialaminya, bahkan cenderung menutup-nutupi masalah ini,
karena takut akan cemoohan dari masyarakat maupun dari keluarga sendiri. Di
samping itu, sikap mendiamkan tindak kekerasan yang menimpa diri
perempuan merupakan upaya untuk melindungi nama baik keluarga.
Perempuan terpaksa bersikap mendiamkan perbuatan tersebut, karena adanya
4
Ibid, hlm. 3.
5
Sri Suhandjati Sukri, Islam Menentang Kekerasan Terhadap Istri, Yogyakarta: Gama Media,
2004, Cet. Ke-I, hlm. 9.
18. 3
budaya yang sudah terpateri berabad-abad bahwa istri harus patuh,mengabdi,
dan tunduk pada suami.6
Pengorbanan istri seperti itu seringkali tidak mendapat imbalan
berupa penghargaan yang setimpal, memang ironis bahwa di dalam ranah
domestik (rumah tangga) dimana perempuan memberikan tenaga dan pikiran
untuk mengurus dan merawat anggota keluarga yang lain, justru di situlah
jutaan perempuan mengalami kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang
terdekat mereka. Kondisi di Indonesia tidak jauh berbeda, menurut kantor
Menteri Pemberdayaan Perempuan tingkat kekerasan yang dialami perempuan
Indonesia sangat tinggi. Sekitar 24 juta perempuan atau 11,4% dari total
penduduk Indonesia, pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah
tangga, misalnya penganiayaan, pemerkosaan, pelecahan atau perselingkuhan
yang dilakukan oleh suami. 7
Seiring dengan perkembangan masalah kekerasan yang terjadi dalam
rumah tangga, dan kekerasan terhadap perempuan, maka Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) perlu memberikan suatu batasan tentang pengertian kekerasan
terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan
berdasarkan perbedaan kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan, dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis
termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan
6
Moerti Hadiati Soeroso,Op.Cit hlm 5.
7
Ibid, hlm 6.
19. 4
kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau
dalam kehidupan pribadi. 8
Marital rape (perkosaan dalam perkawinan) termasuk dalam
kategori penderitaan seksual yang dialami oleh perempuan dan juga ancaman
dalam kehidupan pribadi, sebagaimana yang disebutkan oleh Perserikatan
Bangsa- Bangsa (PBB) dalam mendefinisikan kekerasan.
Etimologi marital rape berasal dari bahasa inggris, marital yaitu
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, sedangkan rape berarti
perkosaan. Marital rape adalah perkosaan yang terjadi antara pasangan suami
istri yang terikat perkawinan. 9
Pemerkosaan disini didefinisikan sebagai suatu proses intimidasi dari
laki-laki yang berusaha untuk menguasai perempuan (secara fisik dan
seksual)10. Istilah perkosaan terhadap istri, merupakan istilah baru yang belum
dikenal luas oleh masyarakat, sebab selama ini pengertian perkosaan lebih
dikhususkan pada perkosaan terhadap perempuan yang terjadi di luar
perkawinan.
Pandangan sebagian masyarakat selama ini, apabila seseorang telah
menjadi suami istri, maka seorang suami memiliki hak penuh atas istrinya,
termasuk kepemilikan penuh atas organ reproduksi perempuan. Tegasnya,
perkosaan yang dimaksud disini pemaksaan untuk melakukan aktivitas
8
Ibid, hlm 60.
9
Rufia Wahyuning Pratiwi, Marital Rape (Perkosaan Dalam perkawinan) Dalam Perspektif
Islam Dan Hukum Positif Indonesia, di akses di http://en.wikipedia.org. / wiki /marital-rape.
Minggu, 2, Oktober, 2011.Jam 09.00 WIB.
10
Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, Yogyakarta,
1997, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (PKBI-DIY), Cet
Ke-I, hlm 91.
20. 5
seksual oleh satu pihak, yakni suami terhadap istri, atau sebaliknya. Namun,
pengertian yang lebih umum dipahami oleh berbagai kalangan perihal marital
rape, adalah istri yang mendapatkan tindak kekerasan seksual oleh suami
dalam perkawinan atau rumah tangga. Jadi, marital rape adalah tindak
kekerasan atau pemaksaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri untuk
melakukan ativitas seksual tanpa mempertimbangkan kondisi istri. Misalnya
istri sedang sakit, nifas, hamil atau bahkan istri sedang haid. Bersenggama
sewaktu haid, akan menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman bagi
perempuan, disamping itu dapat menimbulkan penyakit.11
Pandangan demikian banyak dipengaruhi pemahaman terhadap teks-
teks al-qur’an maupun hadist Nabi yang beranggapan bahwa perempuan
sebagai objek seksual, yang mana perempuan sebagai ladang bagi laki-laki
yang boleh ditanami bagaimana saja lelaki mau. Sebagaimana firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 223:
Artinya: “Istri-istrimu seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok tanamu itu bagaimana saja kamu
kehendaki ”. (Al-Baqarah 223)
Pemahaman terhadap ayat tersebut yang selama ini di anut,
cenderung tidak adil terhadap perempuan. Sepintas dalam ayat tersebut posisi
11
Rufia Wahyuning Pratiwi, Marital Rape (Perkosaan Dalam perkawinan) Dalam Perspektif
Islam Dan Hukum Positif Indonesia, di akses di http://en.wikipedia.org. / wiki /marital-rape.
Kamis, 19, April, 2012. Jam 22.16 WIB.
21. 6
perempuan di anggap sebagai obyek kemauan lelaki. Padahal jika di lihat
asbabun nuzulnya, ayat itu turun berkaitan dengan kegemaran sementara lelaki
yang suka menggauli istrinya dari belakang (dubur) 12.
Dalam hadis Nabi juga di sebutkan:
ﻦ ْ أَ ﻰ ْ ﺮ َ ﺮ َ ةَ ر َﺿ ِﻰ َ ﷲُ ﻋ َ ﻨْ ﻋ َﻦ ِ اﻟﻨﱠﺒِﻰ ﺻ َ ﻠﱠﻰ ﷲُ ﻋ َ ﻠَ و َﺳ َﻠﱠﻢ َ ﻗَﺎل َ : اِذ َا د َﻋ َ ﺎ
ِﻋ َ ﺑ
اﻟﺮ ﱠﺟ ُﻞ ُ اﻣ ْﺮ َ أَﺗَ اِﻟَﻰ ﻓِﺮ َا ﺷ ِ ﻓَﺄ َﺖ ْ ن ْ ﺗَﺠ ِ ﺊ َ ﻟَﻌ َ ﻨَﺘْ ﺎاﻟْﻤ َ ﻼﺋِﻜ َﺔُ ﺣ َ ﺘﱠﻰ ﺼ ْ ﺒِﺢ َ )رواه
ُﺗ َ ﺑَ أ
13
(اﻟﺒﺨﺎري
Artinya: Dari Abi Hurairah ra.Dari Nabi SAW bersabda: ’’apabila seorang
suami mengajak istrinya ke tempat tidur,lantas ia tidak mau datang,
maka malaikat melaknatnya hingga subuh tiba.’’(HR.Bhukari)
Dalam hadis di atas kata al-la’nah sering kali dipahami secara
kurang tepat. Yang dimaksud dengan al-la’nah (laknat) adalah dihindarkan
dan dijauhkan dari kebaikan. Laknat yang datangnya dari Allah berarti
dijauhkan dari kebaikan. Sedang laknat yang datangnya dari mahluk berarti
celaan dan mendo’akan keburukan, di sini berarti ia berdo’a pada Allah agar
menjauhkannya dari kebaikan. Jika laknat terjadi dalam rumah tangga, berarti
kasih sayang dan kedamaian telah hilang, hal ini akan terjadi bila seorang
suami tidak memperoleh apa yang diinginkan dari istrinya begitu pula
sebaliknya.14
12
M. Ali Al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan, Makkah al-Mukarramah, t.t, hlm. 208.
13
Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz III, Semarang: Al-
Munawar , t.t, hlm. 260.
14
Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid, et.al, Wajah Baru Suami Istri: Telaah Kitab Uqud Al-
hujjayn, Yogya: LkiS bekerjasama dengan FK3, 2003, hlm. 30.
22. 7
Berdasarkan kenyataan tersebut, peneliti merasa tertarik untuk
mengeksplorasi lebih jauh, guna memperoleh gambaran bagaimana
sebenarnya konsep Islam tentang relasi seksual suami istri.
Pada hakikatnya perkawinan dalam Islam diistilahkan sebagai
mitsaqan ghalizhan yang berarti ikatan yang kuat atau sakral, sehingga dari
istilah ini, perkawinan dalam Islam tidak hanya sebatas kebolehan hubungan
seksual antara laki-laki (suami) dengan perempuan (istri) yang sebelumnya
haram, akan tetapi akad nikah dikatakan sebagai perjanjian yang amat berat,
karena mereka dipersaksikan oleh Allah, dan dengan dilakukannya akad nikah
membawa konskuensi atau tanggung jawab yang berat, baik yang berkaitan
dengan hak maupun kewajiban secara timbal balik, antara suami dan istri yang
berlangsung sepanjang masa 15.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban antara suami istri juga
berlaku di dalam relasi seksual, Islam mengajarkan prinsip mu’asyarah bil
ma’ruf (hubungan yang baik dan sukarela) dalam melakukan relasi seksual,
suami tidak mempunyai hak monopoli seksual, ia tidak boleh hanya
memikirkan kenikmatan sendiri dan mau enaknya sendiri, keduanya adalah
pelayan bagi pasangannya masing-masing. Suami di tuntut untuk
memperlakukan istri dengan baik 16.
I’tikad dan usaha untuk memberikan yang terbaik bagi pasangan
masing-masing, bukan sekedar dianjurkan melainkan diharuskan. Berdasarkan
15
Abul a’la al- Maududi, Fazl Ahmed, Pedoman Perkawinan Dalam Islam,Jakarta, 1987, Darul
Ulum Press, cet ke-1, hlm 28.
16
Sayyid Muhammad Ridhowi, Perkawinan Moral Dan Seks Dalam Islam, Jakarta, 1994,
Lentera, cet ke-1 hlm 78
23. 8
uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa perkosaan dalam rumah tangga
merupakan perbuatan yang dilarang, karena bertentangan dengan firman Allah
QS. al-Baqarah (2): 187.
Artinya: " Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur
dengan istri-istri kamu mereka itu adalah pakaian bagimu, dan
kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Alloh mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Alloh
mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Alloh
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Alloh,
maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Alloh
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka
bertakwa. "
Turunnya ayat di atas pasti ada sebab mengapa ayat tersebut
diturunkan, ada beberapa riwayat yang menjalaskan asbabun nuzul ayat
tersebut Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari jalur
Abdurrahman bin Abu Laila dari Muaz bin Jabal, katanya, "Mereka biasa
makan minum dan mencampuri wanita-wanita selama mereka masih belum
tidur, tetapi kalau sudah tidur, mereka tak hendak bercampur lagi. Kemudian
ada seorang laki-laki Ansar, Qais bin Sharmah namanya. Setelah melakukan
salat Isyak ia tidur dan tidak makan minum sampai pagi dan ia bangun pagi
24. 9
dalam keadaan letih. Dalam pada itu Umar telah mencampuri istrinya setelah
ia bangun tidur, ia datang kepada Nabi SAW. lalu menceritakan peristiwa
dirinya. Maka Allah pun menurunkan, 'Dihalalkan bagi kamu mencampuri
istri-istrimu...' sampai dengan firman-Nya. '...kemudian sempurnakanlah puasa
sampai malam.'" (Q.S. al-Baqarah 187). Hadis ini masyhur atau terkenal,
diterima dari Ibnu Abu Laila, walaupun ia tidak pernah mendengarnya dari
Muaz, tetapi ada hadis lain sebagai saksi, misalnya yang dikeluarkan oleh
Bukhari dari Barra, katanya, "Biasanya para sahabat Nabi SAW. jika salah
seorang di antara mereka berpuasa, lalu datang waktu berbuka, kemudian ia
tertidur sebelum berbuka, maka ia tidak makan semalaman dan seharian itu
sampai petang lagi. Kebetulan Qais bin Sharmah berpuasa. Tatkala datang saat
berbuka, dicampurinya istrinya, lalu tanyanya, 'Apakah kamu punya
makanan?' Jawabnya, 'Tidak, tetapi saya akan pergi dan mencarikan makanan
untukmu.' Seharian Qais bekerja, hingga ia tertidur lelap dan ketika istrinya
datang dan melihatnya, ia mengatakan, ' Kasihan kamu!' Waktu tengah hari,
karena terlalu lelah, ia tak sadarkan diri, lalu disampaikannya peristiwa itu
kepada Nabi SAW. maka turunlah ayat ini yang berbunyi, 'Dihalalkan bagi
kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istrimu.' (Q.S. al-
Baqarah 187). Mereka amat gembira dan berbesar hati menerimanya. Di
samping itu turun pula, 'Dan makan minumlah hingga nyata bagimu benang
putih dari benang hitam yaitu fajar.'" (Q.S. Al-Baqarah 187).17
17
http:// en. Wikipedia. / wiki / asbabun nuzul. Kamis, 24 november, 2011, jam 0.20. WIB.
25. 10
Dengan demikian, suami maupun istri tidak boleh memaksa
melakukan hubungan seksual, sebab memaksa itu sama halnya
memperlakukan pasangannya tidak manusiawi, memandang pasangannya
sebagai objek pelampiasan nafsu, serta menempatkan pasangannya seperti
layaknya orang yang dijajah.
Dalam perkawinan hubungan seksual antara suami dan istri
merupakan suatu perbuatan yang secara normatif sah dilakukan, dan bukan
merupakan perbuatan melanggar hukum yang bisa dikenai sanksi hukum.
Apabila hubungan seksual suami istri yang dilakukan mengandung unsur
paksaan atau kekerasan yang menimbulkan kerugian, penderitaan dan
kesengsaraan pada salah satu pihak, maka perbuatan tersebut merupakan
tindak pidana. 18
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang dimaksud kekerasan dalam rumah
tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.19 Jadi hubungan seksual suami
istri yang menyebabkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik dan
psikologis (marital rape atau perkosaan dalam perkawinan) merupakan tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga.
18
Sri Suhandjati Sukri, op.cit. hlm. 10.
19
Moerti Hadiati Soeroso, op.cit. hlm. 178
26. 11
Menurut perspektif hukum Islam, dalam sebuah perkawinan telah
terbagi hak dan kewajiban antara suami dan isteri. Dan sudah seharusnya isteri
selalu taat dan patuh dalam melayani segala kepentingan dan keinginan suami
bagaimanapun keadaannya, termasuk dalam hal hubungan seksual. Akan
tetapi, menurut jumhur ulama seorang wanita (istri) dianggap nusyus apabila
seorang istri tidak memberi kesempatan kepada suami untuk menggauli
dirinya dan ber-khalwat dengannya tanpa alasan berdasar syara’ maupun
rasio, maka dia dipandang sebagai wanita nusyus. Bahkan Imam Syafi’i
mengatakan bahwa, sekedar kesediaan untuk digauli dan ber-khalwat, sama
sekali belum dipandang cukup kalau si istri tidak menawarkan dirinya kepada
suaminya seraya mengatakan dengan tegas , “aku menyerahkan diriku
kepadamu ”. 20
Sebenarnya, yang dijadikan pegangan bagi patuh dan taatnya seorang
istri adalah urf,21 dan tidak diragukan sedikit pun bahwa menurut urf bahwa
seorang istri bisa disebut taat dan patuh manakala tidak menolak bila
suaminya meminta dirinya untuk digauli. Mereka tidak mensyaratkan bahwa
si istri harus menawarkan dirinya siang dan malam 22.
Dalam rumusan hukum Islam yang termaktub dalam berbagai kitab
fiqh produk abad pertengahan yang dirumuskan berdasarkan pandangan laki-
laki, maka hak seksualitas perempuan sama sekali ditiadakan. Dasarnya adalah
20
Muhammad Jawad Mugniyah , Fiqih Lima Madzhab, Jakarta, Lentera, 2007, Cet ke-VI, hlm,
402.
21
Urf adalah segala sesuatu yang sudah di kenal oleh manusia karena telah menjadi kebikasaan
atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitanya dengan meninggaakan
perbuatan tertentu, sekaligus di sebut sebagai adat. Lihat Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushulal-
Fiqh, Terj, Masdar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press, 1996, hlm, 149.
22
Ibid, 402.
27. 12
bahwa hubungan suami istri memiliki dimensi ibadah. Namun ibadah harus
dilakukan secara ikhlas tanpa keterpaksaan, karena hubungan seksual bukan
sekedar hubungan yang bersifat fisik, maka nilai ibadahnya juga harus
ditentukan oleh keikhlasan yang bersifat psikologis 23.
Marital rape tetap menjadi agenda hukum di berbagai negara. Proses
sosialisasinya selalu terbentur oleh ideology cultural ( pemahaman yang di
pengaruhi oleh budaya masyarakat) yang melandasi perumusan hukum
tersebut. Di Amerika, marital rape atau kekerasan terhadap perempuan
mendapat perhatian khusus melalui disahkannya marital rape sebagai delik
aduan yang dapat diajukan ke pengadilan. Sementara di Inggris,
‘pemerkosaan’ terhadap segala bentuk hubungan seksual yang dilakukan oleh
seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa izin wanita itu dan
bertentangan dengan kemauannya, perbuatan tersebut dapat dihukum,
maksimal seumur hidup 24.
Dalam ranah Indonesia sendiri, KUHP telah mengatur tentang
perkosaan. Hal ini diatur dalam Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan.
Perkosaan sendiri diatur dalam pasal 285 KUHP, yang berbunyi :
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman keekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”.
Namun sayangnya peraturan tersebut hanya mencakup sebagian
perempuan saja, karena yang menjadi fokus dalam bunyi pasal tersebut adalah
23
Siti Ruhaini Dzuhayatin, Perempuan dalam Wacana Perkosaan : Marital Rap, Bahasan Awal
dari Perspektif Islam”, Yogyakarta: PKBI, 1997, hlm. 93.
24
Ibid, hlm. 95.
28. 13
pemaksaan yang terjadi “di luar perkawinan”. Dengan kata lain pasal ini
mendiskriminasikan kelompok perempuan lain serta menafikan perkosaan
yang dilakukan oleh para suami terhadap istrinya.
Dengan latar belakang masalah di atas, maka penulis merasa perlu
untuk mengkaji lebih jauh mengenai larangan pemaksaan hubungan seksual,
yang akan penulis tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: “Studi
Analisis Marital Rape (Perkosaan Dalam Perkawinan) Menurut
Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam.
B. Rumusan Masalah:
Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka
dapat dikemukakan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam
skripsi ini;
1. Bagaimana konsepsi perkosaan dalam perkawinan (marital rape)
menurut hukum positif?
2. Bagaimana konsepsi perkosaan dalam perkawinan (marital rape)
menurut hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak di capai dalam penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui konsepsi perkosaan dalam perkawinan (marital
rape) menurut perspektif hukum positif.
29. 14
b. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan marital rape (pemerkosaan
dalam perkawinan) menurut perspektif hukum Islam.
D. Telaah Pustaka
Dalam kajian pustaka ini, penulis memaparkan beberapa literatur
yang penulis jadikan sebagai previous finding (penelitian maupun penemuan
sebelumnya). Ada banyak karya ilmiah, baik berupa jurnal, buku maupun
skripsi yang telah membahas tentang masalah marital rape. Dari literatur
tersebut, penulis mencoba mengkaitkan dari beberapa kajian-kajian yang ada
tentang permasalahan marital rape dengan memfokuskan pada tinjauan
hukum positif dan hukum Islam mengenai konsep pemerkosaan dalam
perkawinan. Literatur yang berhubungan dengan skripsi ini diantaranya :
1. Rotiyal Umroh, dalam skripsinya Analisis Pasal 8 Huruf A UU No. 23
Tahun 2004 Tentang Larangan Pemaksaan Hubungan Seksual
Kaitannya Dengan Konsep Nusyuz Dalam Islam. Dalam skripsi ini
menjelaskan tentang bagaimana larangan pemaksaan hubungan seksual
kaitannya dengan konsep nusyuz dalam Islam yang menitikberatkan pada
analisis pasal 8 huruf A UU No. 23 Tahun 2004. Dalam kesimpulan di
sebutkan pasal 8 huruf a undang-undang penghapusan KDRT No. 23
Tahun 2004 tidak bertentangan dengan ajaran agama bahwa istri harus
patuh pada suami, khususnya dalam melayani hubungan seksual, karena
penolakan istri dapat diartikan nusyuz.
30. 15
2. Sigit Setyo Pramono, dalam skripsinya membahas tentang Studi Analisis
Terhadap Proses Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan (Studi Kasus
Terhadap Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
Tanggal 29 September 1997 Nomor 821 K/Pid/96 Tentang Tindak
Pidana Perkosaan). Skripsi tersebut membahas tentang proses
pembuktian tindak pidana perkosaan. Dalam kesimpulannya disebutkan
hal-hal yang menyebabkan ringannya hukuman bagi pelaku delik
perkosaan adalah kurangnya pengetahuan korban terhadap hukum
perkosaan, sehingga banyak bukti yang hilang, dan kurangnya dukungan
moral masyarakat terhadap korban perkosaan. Solusinya adalah Vonis
berat (jilid, pengasingan dan rajam) pidana Islam terhadap pelaku
perkosaan diharapkan dapat menghentikan praktek perkosaan dan
perzinaan, sehingga setiap diri dapat mempertahankan kehormatan,
memelihara jiwa, dan melindungi keutuhan rumah tangga.
3. Zusni Anwar, dalam Skripsinya “Kedudukan Wanita Dalam Hubungan
Seksual Suami Istri Menurut Al-Tihami (Telaah Terhadap Kitab
Quraah al- ‘Uyun)”, skripsi tersebut membahas tentang hak dan
kewajiban suami istri yang terdapat dalam kitab Quraah al- Uyun karya al
Tihami. Dalam kesimpulannya disebutkan bahwa suami dilarang
melakukan pemaksaan hubungan seksual terhadap istri, karena akan
berdampak psikologis dan dapat mengakibatkan istri selingkuh.
31. 16
Dari bebagai literatur yang telah di kemukakan di atas maka
dapat disimpulkan bahwa penelitian dalam skripsi ini sama sekali berbeda
dengan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya. Penelitian ini
memfokuskan pada tema kajian tentang bagaimana hukum positif dan
hukum Islam memandang suami melakukan tindak kekerasan seksual
terhadap istri.
E. Metode Penelitian
Adapun metode yang penulis gunakan dalam menyusun skripsi ini
sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka atau library research,
yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan pengumpulan data
pustaka, membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian 25.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu suatu metode
penelitian dengan mengumpulkan data-data yang tertuju pada masa
sekarang, disusun, dijelaskan, dianalisa dan diinterpretasikan dan
kemudian disimpulkan 26.
2. Sumber Data
Data-data yang penulis peroleh dari penelitian ini didapat dari dua
sumber data sebagai berikut :
25
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 2004 ,hal. 3.
26
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University, 1993,
Cet. 6, hal. 30.
32. 17
a. Data Primer
Data primer adalah data yang di peroleh langsung dari obyek yang
diteliti.27 Data primer dari penelitian ini berasal dari Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Bab 3 Pasal 8 Huruf a. khususnya pasal yang
mengenai isu tentang kekerasan seksual dalam rumah tangga.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data pendukung yang berupa dokumen-
dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berbentuk
laporan dan lain sebagainya.28 Data sekunder dalam penelitian ini
adalah literatur-literatur lain yang mempunyai relevansi dengan
konsep pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape) dalam
hukum positif dan hukum Islam yang berupa buku, jurnal, kitab-
kitab fiqh.
3. Analisis Data
Data yang diperoleh penulis disusun untuk selanjutnya dianalisis
secara kualitatif dengan teknik analisis sebagai berikut :
a. Analisis deskriptif
Metode ini digunakan untuk membuat pencandraan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta.29
b. Content Analysis
27
Adi Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, Cet.I, 2004, hlm. 57
28
Amirudin Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta; Raja Grafindo Persada,
Cet. I, 2006, hal.30.
29
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada ,1998. hlm.16.
33. 18
30
Yaitu analisis isi data. Penulis menggunakan metode analisis ini
untuk menganalis pasal-pasal dan butir-butir yang mengatur
tentang pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape) dalam UU
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dengan perspektif hukum Islam ( fiqh jinayat).
c. Metode Korelasi
Metode korelasi yaitu metode yang bertujuan untuk menemukan
ada tidaknya hubungan apabila ada, berapa eratnya hubungan serta
berarti atau tidak hubungan itu.31
Jadi langkah-langkah yang digunakan penulis adalah menganalisa,
menilai dan mengorelasikan data yang terkait dengan permasalahan di atas
sesuai dengan pemahaman penulis.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Dalam skripsi ini, penulis menyusun sistematika penulisan sebagai
berikut:
Bab pertama pendahuluan terdiri atas Latar Belakang Masalah,
Pokok Masalah, Tujuan, Kerangka Teori, Telaah Pustaka, Metodologi
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab kedua memberi Gambaran Tentang Tinjauan Umum Terhadap
Tindak Perkosaan Dalam Perkawinan (Marital Rape) yang meliputi: Definisi
30
.Sumadi Suryabrata, op. cit, hlm.85.
31
Suharsimi Arikunto, “Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek “, Cet.12, Jakarta:
Rineka Cipta, 2002, hlm.239
34. 19
Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana, Jenis-Jenis Tindak Pidana,
Subyek Tindak Pidana.
Bab ketiga berisi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Dan Perkosaan
Dalam Perkawinan (Marital Rape) yang meliputi: Pengertian Tindak Pidana
Perkosaan, Unsur-Unsur Tindak Pidana Perkosaan, Sanksi Tindak Pidana
Perkosaan, Pengertian Perkosaan Dalam Perkawinan (Marital Rape), Ruang
Lingkup Perkosaan Dalam Perkawinan (Marital Rape).
Bab keempat berisi Tentang Analisis Tindak Pidana Perkosaan
Dalam Perkawinan yang meliputi, Analisis Hukum Islam Terhadap Perkosaan
Dalam Perkawinan, Analisis Hukum Positif Terhadap Perkosaan Dalam
Perkawinan.
Bab kelima adalah penutup yang merupakan bab terakhir dari skripsi
ini yang berisi kesimpulan saran-saran dan kata penutup.
35. BAB II
KONSEP TINDAK PIDANA
A. Tindak Pidana Menurut Hukum Positif
1. Pengertian Tindak Pidana.
Istilah tindak pidana berasal dari Belanda yaitu strafbaar feit,
namun demikian belum ada konsep yang secara utuh menjelaskan definisi
strafbaar feit. Oleh karenanya masing-masing para ahli hukum
memberikan arti terhadap istilah, strafbaar feit menurut persepsi dan sudut
pandang mereka masing-masing.
Strafbaar feit, terdiri dari tiga suku kata yakni straf yang
diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, kata baar diterjemahkan
sebagai dapat dan boleh, sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai tindak,
peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.35
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa strafbaar feit
kiranya dapat dipahami sebagai sebuah tindak, peristiwa, pelanggaran atau
perbuatan yang dapat atau boleh dipidana atau dikenakan hukuman. 36 Atau
tindak pidana adalah tindakan yang oleh aturan hukum pidana dilarang
dan diancam dengan pidana. Perbuatan pidana ini menurut wujudnya atau
sifatnya adalah perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan yang
merugikan masyarakat dalam arti bertentangan atau menghambat
35
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001, hlm
69.
36
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta, PT Ersco, 1981, hlm.
12.
20
36. 21
terlaksananya tatanan dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan
adil. Menurut Sudarto, sebelum adanya istilah tindak pidana banyak sekali
pemakaian istilah sebagai pengganti staafbaarfeit di dalam Undang-
Undang, antara lain, seperti peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan
yang dapat dihukum dan tindak pidana. Tetapi hal tersebut tidak menjadi
masalah karena suatu hal yang penting adalah isi dan pengertiannya. Dan
istilah tindak pidana ini dinilai paling tepat, karena sesuai dengan yang
dilakukan pembentuk Undang-Undang, selain itu istilah ini dapat diterima
oleh masyarakat.37
Akan tetapi para sarjana hukum pidana lainnya mempertahankan
istilah yang dipilihnya sendiri, misalnya:
Prof Muljatno guru besar pada Universitas Gajah Mada lebih tepat
dipergunakan istilah ”perbutan pidana” dalam pidatonya yang berjudul
Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Ia
berpendapat, bahwa “perbuatan itu ialah keadaan yang dibuat oleh
seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan”. Selanjutnya dikatakan:
(perbuatan) ini menunjuk baik pada akibatnya maupun yang menimbulkan
akibat. Jadi mempunyai makna yang abstrak.38
Ada juga pendapat para ahli hukum Jerman mengenai tindak
pidana (strafbaar feit) dan disebutkan:
a. E. Mezger: die straftatist der inbegriff der voraussetzungen der strafe
(tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana).
37
Sudarto, Hukum Pidana 1, Semarang, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip Semarang,
1990, hlm. 38
38
Ibid, hlm. 43
37. 22
b. W.P.J. Pompe: menurut hukum positif tindak pidana adalah perbuatan
yang diancam pidana dalam ketentuan Undang-Undang. Memang
beliau mengatakan, bahwa menurut teori tindak pidana adalah
perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan
dan diancam pidana. Akan tetapi disamping itu harus ada orang yang
dipidana. Orang ini tidak ada, jika tidak ada sifat yang melawan
hukum dan kesalahan bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak
pidana.
c. Simons, merumuskan bahwa strafbaar feit itu sebenarnya adalah
tindakan yang menurut rumusan Undang-Undang telah dinyatakan
sebagai tindakan yang dapat dihukum.39
d. Wirjono Prodjodikoro: tindak pidana berarti suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan pidana.
Dalam Bukunya Prof. Moeljatno, S.H. yang berjudul Asas-Asas
Hukum Pidana, mendefinisikan perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum atau larangan yang mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.40
Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan
yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja
dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu
39
Simons, D, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (judul asli: Leerboek Van Het Nederlandse
Strafrecht) diterjemahkan oleh P.A.F. Lamintang, Bandung, Pioneer Jaya, 1992, hlm. 72.
40
Prof Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, PT Rineka Cipta, 2000, Cet ke- VI,
hlm. 54.
38. 23
suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),
sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang
menimbulkannya kejadian itu.41
Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan
orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian
yang ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang
erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu kongkrit: pertama,
adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang
menimbulkan kajadian itu. Ada lain istilah yang dipakai dalam hukum
pidana, yaitu “tindak pidana”. Istilah ini, karena tumbuh dari pihak
Kementerian Kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan.
Meskipun kata “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tapi “tindak”
tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya
menyatakan keadaan kongkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa
dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-
gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-
tanduk, tindakan, bertindak dan belakangan juga sering dipakai “tindak”.
Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam
perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam
pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai
41
Roeslan Saleh dalam bukunya Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta,
Aksara Baru, hlm. 9, menyebutkan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan
dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum. Lebih jauh Mr. Roeslan Saleh
menjelasakan bahwa perbuatan pidana hanya menunjukkan sifat perbuatan yang terlarang.
Menurut pandangan nasional, pengertian perbuatan pidana mencakup isi sifat dari perbuatan yang
terlarang dan kesalahan terdakwa. Dan dalam pandangan Mr. Roeslan saleh harus ada pemisahan
yang tegas antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
39. 24
pula kata perbuatan. Contoh: Undang-undang no. 7 tahun 1953 tentang
pemilihan Umum (Pasal 127, 129 dan lain-lain).42
2. Unsur-unsur tindak pidana
Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari
dua sudut pandang, yakni: dari sudut pandang teoritis (berdasarkan
pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya) dan
sudut pandang Undang-Undang (kenyataan tindak pidana itu dirumuskan
menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-
undangan yang ada).
Adanya perbuatan pidana menurut Moeljatno harus memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Perbuatan.
b. Yang Dilarang. (oleh aturan hukum).
c. Ancaman Pidana (bagi yang melanggar larangan).43
Menurut R.Tresna, merumuskan bahwa unsur-unsur perbuatan
pidana sebagai berikut:
a. Perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia.
b. Yang bertentangan dengan perundang-undangan.
c. Diadakan tindakan hukuman.44
Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman,
terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu
selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan), hal itu berbeda dengan
42
Prof Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2000, Cet ke- V, hlm. 55
43
Ibid, hlm. 57.
44
Mr.Tresna, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, PT. Tiara, 1990, Cet ke-III, hlm. 20.
40. 25
apa yang disampaikan Moeljatno yang menyebutkan bahwa setiap
perbuatan pidana itu tidak selalu harus dijatuhi pidana.45
Sedangkan dalam buku II KUHP memuat rumusan-rumusan
tentang tindak pidana yang termasuk kategori kelompok kejahatan, dan
buku III memuat pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan
dalam setiap rumusan, yaitu mengenai tingkah laku atau perbuatan
walaupun ada perkecualian seperti pasal (penganiayaan).
Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu
dapat diketahui adanya 11 (sebelas) unsur tindak pidana, yaitu: adanya
unsur tingkah laku, melawan hukum, kesalahan, akibat konstitutif, keadaan
yang menyertai, objek hukum tindak pidana, kausalitas subyek hukum
tindak pidana dan unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.46
Dari uraian di atas maka sekali lagi dapat dijelaskan disini bahwa
hal-hal yang berkenaan dengan unsur-unsur tindak pidana adalah
berhubungan dengan putusan pembedaan dari tuntutan hukum.47
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana.
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu
sebagai berikut:
a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven)
dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam
buku III.
45
Ibid
46
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 82.
47
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier Di Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1988, Cet ke-1, hlm.101
41. 26
b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materiel delecten).
c. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana
sengaja (doleus delecten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose
delecten).
d. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak
pidana pidana aktif atau positif dapat juga disebut tindak pidana komisi
(delicta commissionis) dan tindak pidana pasif atau negatif, disebut
juga tidak pidana omisi (delict omissionis).
e. Berdasarkan saat dan jangka waktu kejadiannya, maka dapat
dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana
dalam waktu lama atau berlangsung terus.
f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan tindak pidana umum dan
tindak pidana khusus.
g. Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak
pidana communia (delicta communia) yang dapat dilakukan siapa
saja, dan tindak pidana (propria) dapat dilakukan hanya oleh orang
yang memiliki kualitas pribadi tertentu.
h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka
dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak
pidana aduan (klancht delicten).
i. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat
dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten),
42. 27
tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak
pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten).
j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana
tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang
dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap
harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama
baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya.
k. Dari sudut beberapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,
dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan
tindak pidana berangkai (samengestelde delicten).48
Dalam merumuskan pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak
pidana dan jenis-jenisnya, maka ada beberapa ahli hukum yang
memasukkan mengenai kemampuan bertanggung jawab
(torekeningsvatbaarheid) kedalam unsur tindak pidana.
Pertanggungjawaban dalam hukum pidana menganut asas “tiada
pidana tanpa kesalahan” (gen straf zonder schuld), walaupun tidak
dirumuskan dalam Undang-Undang, tetapi dianut dalam praktik tidak
dapat dipisahkan antara kesalahan dan pertanggungjawaban atas
perbuatan, contohnya orang yang melakukan dengan kesalahan saja yang
dibebani tanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya.
Sedangkan mengenai persoalan apakah pertanggungjawaban itu
merupakan bagian dari kesalahan, dalam arti juga apakah merupakan unsur
48
Adami Chazawi, Opcit, hlm. 121
43. 28
tindak pidana ataukah bukan, dalam persoalan ini ada dua pendapat yang
berbeda, yaitu:
a. Menyatakan bahwa kemampuan bertanggung jawab itu adalah sebagai
unsur tidak pidana, ahli hukum yang berpendapat demikian, misalnya
Utrecht, Vos dan Simons.
b. Menyatakan bahwa kemampuan bertanggung jawab bukan merupakan
unsur tindak pidana, ahli hukum yang berpendapat demikian, misalnya
Pompe dan Jonkers.49
Menurut Prof. Moeljatno, dalam perbuatan pidana yang menjadi
pusat adalah perbuatannya, dalam bertanggung jawaban sebaliknya, yang
menjadi pusat adalah orang yang melakukan perbuatan. Dasar mengenai
terjadinya tindak pidana adalah asas legalitas (pasal 1) berbeda mengenai
dapatnya dipidana pembuat yang menganut asas tiada pidana tanpa
kesalahan.50
Setelah terwujudnya tindak pidana, barulah dilihat apakah orang
pembuatnya tadi ada pertanggungjawaban apa tidak, dalam arti apakah ada
kesalahan ataukah tidak ada pembuatnya tersebut. Hanya terhadap orang
yang dipersalahkan saja yang dapat dibebani tanggung jawab pidana. Hal
ini baru dipersoalkan dalam hal untuk menetapkan keputusan oleh hakim
agar putusan itu mencapai derajat kedilan yang setingi-tingginya.
Dalam praktik hukum memang demikian, baru menjadi persoalan
setelah ada keragu-raguan tentang jiwa si pembuat (biasanya diwakili oleh
49
Ibid, hlm. 151.
50
Op, Cit, hlm 153.
44. 29
penasihat hukum), apakah dapat atau tidak dapatnya
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang dilakukannya.51
4. Subyek Tindak Pidana.
Dalam sejarah perundang-undangan hukum pidana, pernah dikenal
bahwa subyek dari sesuatu tindak pidana bukan hanya manusia saja, tetapi
juga hewan. Demikianlah pada abad pertengahan (tahun 1517) pernah
dipidana seekor banteng, karena membunuh seorang wanita. Tetapi
sekarang sudah tidak dianut lagi. Pernah dikenal pula, dipertanggungjawab
pemidanaannya badan hukum sebagai subyek, tetapi atas pengaruh ajaran
Von Savigny dan Feuerbach, yang kesimpulannya bahwa badan-badan
hukum tidak melakukan delik, maka pertanggungjawaban badan hukum
tersebut, sudah tidak dianut lagi. Dalam hal ini yang dipertanggungjawab
pidanakan adalah pengurusya.52
Jadi yang dianggap sebagai subyek tindak pidana adalah manusia,
sedangkan hewan dan badan-badan hukum tidak dianggap subyek hukum.
Bahwa hanya manusia yang dianggap sebagai subyek tindak pidana, ini
tersimpulkan antara lain dari:
a. Perumusan delik yang selalu menentukan subyeknya dengan istilah:
barang siapa, warga negara Indonesia, nahkoda, pegawai negeri dan
lain sebagainya. Penggunaan istilah-istilah tersebut selain daripada
yang ditentukan dalam rumusan delik yang bersangkutan, dapat
51
Ibid, hlm. 154.
52
E. Y. Kanter, S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta,
Storia Grafika, 2002, hlm. 218
45. 30
ditemukan dasarnya pada pasal-pasal: 2 sampai dengan 9 KUHP.
Untuk istilah barangsiapa, dalam pasal-pasal: 2, 3 dan 4 KUHP,53
digunakan isltilah “ een ieder” (dengan terjemahan “setiap orang”).
b. Ketentuan mengenai pertangggungjawaban pidana seperti diatur,
terutama dalam pasal-pasal : 44, 45, 49 KUHP, yang antara lain
mensyaratkan “kejiwaan” yang kemudian dianggap sebagai dari
petindak.
c. Ketentuan mengenai pidana diatur dalam pasal 10 KUHP yang
berbunyi: pidana terdiri atas A, pidana pokok: pidana mati, pidana
penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan. B. pidana
tambahan, pencabutan hak-hak tertentu perampasan barang-barang
tertentu, pengumuman putusan hakim,54 terutama mengenai pidana
denda. Hanya manusialah yang mengerti nilai uang.55
Dalam bukunya Prof Sudarto S.H. Pidana 1 juga dijelaskan. Telah
diketahui, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang,
pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia. Ini dapat
disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
53
Pasal 2 berbunyi: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap
orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia. Pasal 3 berbunyi: Ketentuan pidana
dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia
melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia. Pasal 4 berbunyi:
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar
Indonesia melakukan: salah satu kejahatan yang berdasarkan pasal 104, 106, 107, 108, 111, bis-1,
127 dan 131.
54
Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana Dan Perdata, Jakarta
Selatan, Visi Media, Cet ke-1, 2008, hlm. 6.
55
E. Y. Kanter, S.R. Sianturi, Op. cit, hlm. 219.
46. 31
a. Rumusan delik dalam Undang-Undang lazim dimulai dangan kata-
kata: “Barang siapa yang….”Barang siapa” ini dapat diartikan lain
daripada “ oaring”.
b. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat
dikenakan kepada tindak pidana yaitu: Pidana mati, pidana penjara,
pidana kurungan, pidana denda, yang dapat diganti dengan pidana
kurungan. Pidana tambahan: 1. Pencabutan hak-hak tertentu,
2.Perampasan barang-barang tertentu. 3. Diumumkannya keputusan
hakim. Sifat dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga
pada dasarnya hanya dapat dikenakan pada manusia.
c. Dalam pemerikasaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang
dilihat ada atau tidaknya kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk
bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu adalah manusia.
Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu
merupakan sikap dalam batin manusia.56
B. Tindak Pidana Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Tindak Pidana Dalam Hukum Islam
Menurut hukum pidana Islam tindak pidana sering disebut dengan
kata (jarimah), jika dilihat arti secara bahasa kata jarimah itu berasal dari
kata ( ) yang sinonimnya ( ) artinya berusaha dan bekerja,
56
Sudarto, op.cit., hlm. 60.
47. 32
disini khusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh
manusia. Dari keterangan di atas kata jarimah menurut bahasa adalah
melakukan perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang dipandang tidak baik,
dibenci oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran dan
jalan yang lurus. Sedangkan secara istilah Imam Al-Mawardi sebagian
dikutip oleh ahmad wardi muslich mendefinisikan, jarimah adalah
perbuatan-perbuatan yang dilarang syara’,57 yang diancam dengan had
atau ta’zir.58
Definisi lain juga dijelaskan di dalam bukunya Abdul Qadir Audah
yang berjudul Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, dalam hukum Islam,
tindak pidana (delik, jarimah) diartikan sebagai perbuatan-peruatan yang
dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah SWT dengan hukuman
hudud atau ta’zir. Larangan-larangan syara’ tersebut adakalanya
mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan. Adanya kata syara’ pada pengertian tersebut dimaksudkan
bahwa suatu perbuatan baru dianggap tindak pidana apabila dilarang oleh
syara’.
57
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah,
Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm. 9.
58
Menurut Imam al-Mawardi Ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang
belum ditentukan hukumannya oleh syara’. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ta’zir adalah
hukuman yang belum ditentukan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada Ulil Amri baik
penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya
menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan
sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya. Dengan
demikian ciri khas dari jarimah ta’zir itu adalah sebagai berikut:
a.Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh
syara’ dan atas batas minimal dan atas batas maksimal.
b. Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa.
48. 33
Dari definisi sebelumnya dapat disimpulkan bahwa tindak pidana
ialah melakukan setiap perbuatan yang dilarang atau meninggalkan setiap
perbuatan yang ditinggalkan, atau melakukan atau meninggalkan
perbuatan yang telah ditetapkan hukum Islam atas keharaman dan
diancamkan hukuman terhadapnya.59
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam Hukum Islam
Unsur-unsur tindak pidana (jarimah) menurut tindak pidana Islam
adalah sebagaimana telah disebutkan bahwa jarimah ialah larangan-
larangan syara’, yang diancam hukuman. Larangan itu pula adakalanya
berupa perbuatan yang dicegah, atau meninggalkan yang disuruh. Dengan
penyebutan kata-kata syara’, dimaksudkan bahwa larangan-laangan harus
datang dari ketentuan-ketentuan (nas-nas) syara’ dan berbuat atau tidak
berbuat baru dianggap sebagai jarimah, apabila diancam hukuman
terhadapnya.60
Karena perintah-perintah dan larangan-larangan tersebut datang
dari syara’ maka perintah-perintah dan larangan-larangan itu hanya
ditujukan kepada orang yang berakal sehat dan memahami pembebanan
(taklif). Sebab, dalam tradisi hukum Islam, pembebanan itu artinya
panggilan (khitab), dan orang yang tidak dapat memahami, seperti hewan
dan benda-benda mati, tidak mungkin menjadi objek (khitab) tersebut.
59
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jakarta, PT Kharisma Ilmu, tanpa tahun,
tt, hlm. 87.
60
A. Djazuli, Fiqih Jinayah, Jakarta, Rajawali Press, 1995, hlm. 10.
49. 34
Bahkan orang yang dapat memahami pokok panggilan (khitab),
tetapi tidak mengetahui perinciannya, apakah berupa suruhan atau
larangan, apakah akan membawa pahala atau siksa, seperti orang gila
anak-anak yang belum tamzis (balig), dipersamakan dengan hewan dan
benda-benda mati yang tidak diberi pembebanan, bukan saja diperlukan
pengertiannya terhadap pokok panggilan, tetapi juga diperlukan
pengertiannya terhadap perinciannya.61
Dari uraian tersebut menurut Abdul Qadir Audah sebagaimana
dikutip oleh ahmad hanafi dapat diketahui unsur-unsur jarimah secara
umum yang harus dipenuhi dalam menetapkan suatu perbuatan jarimah,
yaitu:
a. Rukun syar’i (unsur formil), yaitu nash yang melarang perbuatan yang
mengancam perbuatan terhadapnya.
b. Rukun maddi (unsur materiil), yaitu adanya tingkah laku yang
membentuk jarimah, baik perbuatan-perbuatan nyata ataupun sikap
tiak berbuat.
c. Rukun adabi (unsur moril), yaitu orang yang bisa dimintai
pertanggung-jawaban terhadap jarimah yang diperbuatannya.62
Sebagai contoh, suatu perbuatan baru dianggap sebagai perzinaan
dan pelakunya dapat dikenakan hukuman apabila memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
61
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1967, hlm. 5.
62
Ibid, hlm. 6.
50. 35
1. Ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan mengancamnya dengan
hukuman. Ketentuan tentang hukuman zina ini tercantum dalam surat
al-isra’ ayat 32 yang berbunyi:
Artinya: perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman.(an-Nur: 2)
2. Si pelanggar dalam keadaan sehat pikiran.
3. Dia seorang muslim.
4. Telah (pernah) menikah.
5. Telah mencapai usia puber.
6. Seorang yang merdeka bukan budak belian.
Dalam buku Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih
Jinayat Karangan Drs. H. Ahmad Wardi Muslich dijelaskan bahwa unsur-
unsur jarimah meliputi:
1. Unsur formal dari jarimah adalah adanya ketentuan dari syara’ yang
menyatakan bahwa perbuatan itu dilarang dan diancam dengan
hukuman. Pengertiannya adalah bahwa suatu perbuatan baru
dianggap sebagai jarimah yang harus dituntut, apabila ada nash yang
melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya dengan hukuman.
51. 36
Dengan perkataan lain, tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman
kecuali dengan adanya suatu nash. Ketentuan ini dalam hukum positif
disebut dengan istilah legalitas (tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang
telah ada sebelum perbuatan dilakukan).63
2. Unsur materiil adalah perbuatan atau ucapan yang menimbulkan
kerugian kepada individu atau masyarakat. Contoh dalam jarimah
zina unsur materiilnya adalah perbuatan yang merusak keturunan.
Dalam jarimah qadzaf unsur materiilnya adalah perkataan yang berisi
tuduhan zina. Dalam jarimah pembunuhan unsur materiilnya adalah
perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Dengan
perkataan lain pengertian unsur materiil dari suatu jarimah adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah
sebagaiman dikutip oleh ahmad wardi muslich::
Artinya:”Melakukan perbuatan atau perkataan yang dilarang dan
telah ditetapkan hukumannya yang dilaksanakan oleh
pengadilan”.
Di samping perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya telah
selesai dilakukan dan adakalanya tidak selesai karena ada sebab-sebab
dari luar. Jarimah yang tidak selesai ini dalam hukum positif disebut
perbuatan percobaan.64
63
Ibid, hlm. 29
64
Ibid, hlm .59.
52. 37
3. Pertanggungjawaban pidana adalah pembebanan seseorang dengan
akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya
dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud
dan akibat dari perbuatannya tersebut.
Dalam syari’at Islam pertanggungjawaban itu didasarkan kepada
tiga hal:
a. Adanya perbuatan yang dilarang.
b. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan
c. Pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu.
Apabila ada tiga hal tersebut maka terdapat pula
pertanggungjawaban. apabila tidak terdapat, maka tidak terdapat pula
pertanggungjawaban. Dengan demikian orang gila, anak dibawah umur,
orang yang dipaksa dan yang terpaksa tidak dibebani pertanggungjawaban,
karena dasar pertanggungjawaban pada mereka ini tidak ada.65
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana Dalam Hukum Islam
Sedangkan jenis-jenis tindak pidana (jarimah) menurut tindak
pidana Islam adalah dilihat dari segi berat ringannya hukuman jarimah
dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Jarimah Hudud
Kata hudud adalah bentuk jamak dari had yang artinya batas,
menurut syara’ (istilah fiqh) artinya batas-batas (ketentuan-ketentuan)
65
Ahmad Wardi Muslich, op.cit., hlm. 74.
53. 38
dari Allah tentang hukuman yang diberikan kepada orang-orang yang
berbuat dosa.66 Macam dan jumlahnya telah ditentukan Allah. Dengan
demikian hukuman tersebut tidak mengenal batas minimal dan batas
maksimal serta tidak dapat ditambah dan dikurangi.
Mengenai pembagian hudud ini terjadi perbedaan di kalangan
ulama, menurut Imam Syafi’i tindakan jarimah yang wajib dihukum
had ada 7 (tujuh), yaitu zina, qazaf (menuduh zina) sirqoh
(pencurian), asyurbah (minuman keras), hirobah (perampokan) dan
riddah (keluar dari Islam), baghyu (pemberontakan). Sedang menurut
Imam Hanafi jarimah yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an, jarimah
hudud hanya ada lima yaitu: zina, sariqoh (pencurian) syarbul khamer
(minum khamer) qath’u thariq (perampokan), qazaf (menuduh zina).67
b. Jarimah Qishash Diyat
68
Menurut bahasa, qishash adalah bentuk masdar, sedangkan
asalnya adalah qashasha yang artinya memotong. Atau berasal dari
kata iqtashasha yang artinya mengikuti, yakni mengikuti perbuatan si
pelaku sebagai balasan atas perbuatannya.
Sedangkan menurut istilah adalah pembalasan yang serupa
dengan perbuatan atas pembunuhan atau melukai atau merusakkan
66
Imam Taqiyudin Abu Bakar, Kifayah Al-Akhyar, Beirut-Libanon, Darul Kutub Al-Alamiyah, t.t,
hlm. 219
67
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al Fiqih ‘Ala Mazahib al-Arba’ah, Beirut-Libanon, Darrul Kurub
Al Alaiyah, tt, hlm. 12
68
Qishas adalah hukuman yang berupa balasan setimpal, maksudnya hukum balas bunuh atas
orang yang membunuh.
54. 39
anggota badan atau menghilangkan manfaatnya, sesuai dengan
(jinayaat) pelanggaran yang dibuatnya.69
Hukum qisas ada dua macam:
1) Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuh.
2) Qishash pelukaan, untuk tindak pidana menghilangkan anggota
badan, kemanfaatan atau pelukaan anggota badan.
Dasar hukum Qishash terdapat dalam al-Qur’an surah al-
Baqarah ayat 178:
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishaas berkenaan tentang dengan orang-orang yang
dibunuh, orang merdeka dengn orang merdeka,hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita, maka barang
siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memeafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang member maaf) membayar
(diat)70 kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik
(pula).yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui
batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
69
H. Moh. Kasim Bakri, Hukum Pidana Dalam Islam, Surakarta: Ramadhani, 1958,
hlm. 24.
70
Diyat adalah tuntutan ganti rugi, yaitu pemberian sejumlah harta dari pelaku terhadap si korban
atau walinya melalui keputusan hakim.
55. 40
Ada sebuah riwayat asbabun nuzulnya ayat di atas adalah ayat
ini diterangkan dalam suatu riwayat: Diketengahkan oleh Ibnu Hatim
dari Said bin Jubair, katanya, "Ada dua anak suku Arab yang telah
berperang antara sesama mereka di masa jahiliah, tidak lama sebelum
datangnya agama Islam. Di kalangan mereka banyak yang mati dan
yang menderita luka, hingga mereka juga membunuh hamba sahaya
dan golongan wanita. Akibatnya sampai mereka masuk Islam. Salah
satu suku tadi membangga-banggakan kelebihannya terhadap yang
lain, baik dalam banyaknya warga maupun harta. Mereka bersumpah
tak akan rela sampai warga musuh yang merdeka dibunuh sebagai
tebusan bagi budak mereka yang terbunuh, begitu pun warga musuh
yang laki-laki, dibunuh sebagai kisah bagi warga mereka yang
perempuan. Maka turunlah ayat, “Orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.” (Q.S. Al-
Baqarah 178).
c. Jarimah Ta’zir
Jarimah Ta’zir, yaitu jarimah setiap hukuman yang bersifat
pendidikan atas setiap perbuatan maksiat yang hukumannya belum
ditentukan oleh syara’. Dengan demikian, setiap perbuatan maksiat
adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum syara’ dan
merupakan jarimah yang harus dikenakan hukuman. Ulil Amri yang
diberi wewenang untuk menetapkan jarimah dan hukuman ta’zir ini,
tentu saja tidak diberi kebebasan yang mutlak yang dapat
56. 41
menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal melainkan
tetap harus berpegang kepada ketentuan-ketentuan umum yang ada
dalam nas-nas syara’ dan harus sesuai ruh syari’ah dan kemaslahatan
umum.71
Setelah terwujudnya tindak pidana, maka akan dipertanggung
jawabkan ke dalam hukum pidana, termasuk juga dalam hukuman
(jarimah). Yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana adalah
kebebasan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Sebagai salah
satu unsur dalam terjadinya suatu jarimah, yaitu sebagai unsur moril,
pertanggungjawaban pidana harus meliputi tiga hal:
1) Terdapatnya perbuatan yang dilarang.
2) Kebebasan dalam berbuat atau tidak berbuat.
3) Kesadaran bahwa perbuatan itu mempunyai akibat tertentu.
Pertanggungjawaban pidana (al- mas’uliyyah al-jinaiyyah) hanya
ada jika hal tersebut hadir dalam pribadi pembuat delik. Dan
pertanggungjawaban pidana ini tidak hanya bagi orang, tetapi juga berlaku
bagi badan hukum, namun dikarenakan badan hukum ini tidak berbuat
secara langsung mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka
pertanggungjawabannya dikenakan kepada orang yang mewakili badan
hukum tersebut.
71
Wardi Muslich, op.cit., hlm. 41
57. 42
Hukuman dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan terciptanya
ketertiban dan ketenteraman masyarakat, untuk itu harus ada kesesuaian
antara hukuman sebagai beban dengan kepentingan masyarakat. Besar
kecilnya hukuman yang diberikan kepada pelaku jarimah, selain
ditentukan oleh akibat yang ditimbulkan, juga ditentukan oleh hal-hal lain
yang terdapat dalam diri pembuat tindak pidana. sebab adanya perbuatan
melawan hukum adakalanya secara kebetulan kesepakatan bersama
langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, dan lain-lain.
Adanya perbedaan bentuk-bentuk perlawanan terhadap hukum
mengakibatkan adanya tingkat-tingkat dalam pertanggungjawaban
pidana.72
C. Tindak Pidana Perkosaan Dan Perkosaan Dalam Perkawinan (Marital
Rape)
1. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan
Tidak seorang pun diantara kita mau bermimpi menjadi korban
perkosaan. Tidak terkecuali para korban yang telah ditimpa musibah
perkosaan, sehingga mendorong kelompok perempuan diseluruh dunia
telah memulai proses menuntut kembali seksualitas sebagai suatu kawasan
dimana perempuan dapat menolak penindasan atas dirinya. Mereka sedang
meneropong pemahaman tentang seksualitas perempuan yang telah
diterima, yang mengaitkan subordinasi ekonomi dan sosial perempuan
dengan subordinasi seksualnya. Dalam proses ini, muncul masalah
72
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 175.
58. 43
identitas, kewajiban, kekuasaan, kesenangan, pilihan dan hati nurani, serta
kesempatan perempuan untuk memiliki autonomi dalam kawasan intim
dari hidupnya sendiri.73
Dalam membahas kekerasan seksual ini, menurut pasal 285 KUHP
menjelaskan bahwa yang dimaksud pemerkosaan adalah: “barang siapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan
untuk bersetubuh dengan dia diluar perkawinan” dengan ancaman
hukuman maksimum dua belas tahun penjara.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia dari kata verkrachting adalah
“perkosaan” tetapi terjemahan ini, meskipun hanya mengenai nama suatu
tindak pidana, tidak tepat karena diantara orang-orang Belanda
verkrachting sudah merata berarti “perkosaan untuk bersetubuh”sedangkan
dalam bahasa Indonesia kata “perkosaan” saja sama sekali belum
menunjuk pada pengertian “ pengertian untuk bersetubuh”. Maka
sebaiknya kualifikasi tindak pidana dari pasal 285 KUHP ini harus “
perkosaan untuk bersetubuh”.74
Mirip dengan tindak pidana ini ialah yang oleh pasal 289 dengan
kualifikasi “penyerangan kesusilaan dengan perbuatan” dirumuskan
sebagai “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang
melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan cabul” dengan
ancaman hukuman maksimum Sembilan tahun penjara. Menurut komentar
73
Julia Cleves Mosse, Half The Word, Half A Chance, tt, Hartian Silawati, Gender Dan
Pengembangan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 70.
74
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung: Eresco,1986,
hlm. 117.
59. 44
para penulis Belanda, perbuatan yang dipaksakan dalam pasal 289,
perbuatan cabul, merupakan pengertian umum yang meliputi perbuatan
bersetubuh dari pasal 285 sebagai pengertian khusus.
Perbedaan lain dari kedua tindak pidana ini ialah bahwa:
a. “Perkosaan untuk bersetubuh” hanya dapat dilakukan oleh laki-laki
terhadap seorang perempuan, sedangkan “perkosaan untuk cabul”
dapat juga dilakukan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-
laki.
b. “Perkosaan untuk bersetubuh” hanya dapat dilakukan di luar
perkawinan sehingga seorang suami boleh saja memerkosa istrinya
untuk bersetubuh, sedangkan “perkosaan untuk cabul” dapat dilakukan
di dalam perkawinan, sehingga tidak boleh seorang suami memaksa
istrinya untuk cabul atau seorang istri memaksa suaminya untuk
cabul.75
Sebenarnya perbedaan sub ini tidak begitu logis, justru karena
pengertian cabul lebih luas dari bersetubuh. Dengan demikian, seorang
suami tidak boleh memaksa istrinya untuk misalnya, memegang kemaluan
si suami, tetapi boleh memaksa istrinya untuk bersetubuh. Ini nampaknya
dirasakan juga oleh Noyon- Langemeyer (jilid II halaman 522) yang
mengatakan bahwa ada perbuatan yang hanya merupakan cabul apabila
dilakukan di luar perkawinan, mungkin dianggap bukan cabul, sehingga
75
Ibid. hlm 118.
60. 45
diperbolehkan, seperti bersetubuh. Kalau demikian, maka perumusan pasal
289 KUHP sebenarnya kurang tepat.76
Pengertian pemerkosaan juga disebutkan dalam pasal 285 KUHP
yang berbunyi: “Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman
memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, karena
perkosaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas
tahun”.
Yang diancam dengan pasal ini ialah pria yang memaksa wanita
yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia dengan ancaman atau
perkosaan, mengenai persetubuhan lihat penjelasan pasal 284 KUHP,
mengenai kekerasan, lihat pasal 89 KUHP, memaksa untuk melakukan
persetubuhan misalnya: merangkul wanita itu dengan keras, sehingga
akhirnya dia tidak dapat melawan lagi dan menyerah untuk disetubuhi,
untuk bisa dituntut dengan pasal ini, persetubuhan itu harus dilakukan
sebagaimana sudah diterangkan dalam pasal 284 KUHP, yakni kelamin
pria masuk ke dalam lubang kemaluan wanita, sehingga akhirnya
mengeluarkan air mani.
2. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan Dalam Perkawinan
Berbicara tentang kekerasan, barangkali yang terlintas dalam
pikiran kita adalah sebuah tindakan atau perlakuan kasar yang dilakukan
oleh seseorang terhadap orang lain atau satu pihak satu terhadap pihak
76
Ibid, hlm 118.