Makalah ini membahas tentang kasus suap di Bea Cukai Indonesia. Teori yang mendasari membahas tentang etika bisnis, pengertian korupsi termasuk suap, dan alasan orang melakukan korupsi. Kasus suap di Bea Cukai kemudian dianalisis berdasarkan definisi masalah dan dampaknya.
1. MAKALAH TANGGUNG JAWAB DAN ETIKA BISNIS PERUSAHAAN
KASUS SUAP
KEPABEANAN BEA CUKAI INDONESIA
OLEH:
Ayu Eka Rakhmawati, 0606082226
Meiti Sulistika, 0606082895
Rizki Malinda I.P, 0606083185
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS INDONESIA
2008
2. Statement of Authorship
“Saya/kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas yang
terlampir adalah murni hasil pekerjan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang
saya/kami gunakan tanpa menebutkan sumbernya.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada
mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa saya/kami
menggunakannya.
Saya/kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumplkan ini dapat diperbanyak dan atau
dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”
Nama: Ayu Eka Rakhmawati
NPM: 0606082226
Tandatangan:
Nama: Meiti Sulistika
NPM: 0606082895
Tandatangan:
Nama: Rizki Malinda I P
NPM: 0606083185
Tandatangan:
Mata Ajaran: Tanggung Jawab dan Etika Bisnis Perusahaan
Judul Makalah/Tugas: Kasus Suap Kepabeanan Cukai Indonesia
Tanggal: 10 Desember 2008
Dosen: Fahrul Ismaeni
3. DAFTAR ISI
Daftar Isi ........... 1
Bab I Pendahuluan
Latar belakang masalah ............ 2
Tujuan Penulisan ............ 3
Ruang Lingkup Penulisan
Pembatasan Masalah ........... 3
Perumusan Masalah ........... 3
Metode penulisan ............ 3
Sistematika penulisan ............ 3
Bab II Landasan Teori
Etika Bisnis ........... 4
Pengertian Korupsi ........... 5
Alasan Orang Melakukan Korupsi ........... 6
Suap Sebagai Salah Satu Bentuk Korupsi ........... 6
Suap dalam Bisnis ........... 7
Bisnis VS Suap ........... 7
Bab III Pembahasan
Definisi Masalah ........... 9
Analisis Kasus ........... 11
Bab IV Kesimpulan dan Saran ........... 15
Daftar Pustaka ............ 17
1
4. BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Maraknya kasus korupsi di Indonesia saat ini telah memberikan citra buruk bagi
Indonesia di mata dunia internasional. Bukan hanya itu, tetapi budaya korupsi yang
merajalela telah menyengsarakan masyarakat Indonesia sendiri. Rakyat kecil yang tidak
memiliki kuasa seperti layaknya para petinggi negara dan pengusaha-pengusaha kaya,
menjadi semakin terhimpit hidupnya akibat tidak terdistribusinya “hak-hak” yang
seharusnya menjadi milik masyarakat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Hak-hak masyarakat dalam hal ini adalah dana yang seharusnya diperuntukkan untuk
baik kesejahteraan masyarakat maupun peningkatan kegiatan ekonomi, khususnya bisnis
di Indonesia, hilang dan menjadi milik pribadi.
Suap (bribery) merupakan salah satu bentuk korupsi yang saat ini sudah membudaya di
Indonesia. Bukan rahasia lagi bahwa banyak pengusaha yang melakukan suap untuk
memperoleh perlakukan istimewa atau khusus dalam berbagai proses berbisnis seperti
percepatan perolehan izin, perolehan tender, pemasokan barang dan jasa, bahkan untuk
memperoleh informasi dari dalam (inside information) yang menyebabkan persaingan
bisnis menjadi tidak sehat.
Suap sendiri dapat menjadi penghambat kegiatan ekonomi dalam hal investasi modal
asing ke Indonesia. Pada laporan Bank Dunia mengenai iklim investasi, stabilitas
ekonomi makro, tingkat korupsi, birokrasi, dan kepastian kebijakan ekonomi merupakan
empat faktor terpenting yang mempengaruhi kondisi iklim investasi di Indonesia. Dengan
maraknya kasus korupsi termasuk suap menyuap di Indonesia, maka hal tersebut dapat
mengurangi minat investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
Dampak suap sendiri dapat menyengsarakan masyarakat, karena suap membuat harga
barang dan jasa menjadi mahal (ekonomi biaya tinggi) karena pengusaha harus menutupi
biaya yang dikeluarkan untuk membayar suap. Suap juga dapat menyebabkan persaingan
usaha menjadi tidak sehat, karena keberhasilan tergantung pada kesanggupan dan
kesediaan menyediakan dana untuk suap. Lebih jauh lagi, suap mengakibatkan lambatnya
pertumbuhan ekonomi Indonesia karena minimnya penanaman modal asing.
2
5. I.2. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang suap menyuap
dan hubungannya dengan etika bisnis di Indonesia. Selain itu, makalah ini juga ingin
memberikan contoh nyata dari perilaku suap menyuap yang terjadi di Indonesia melalui
penjabaran kasus suap di Bea Cukai.
I.3. Ruang Lingkup Penulisan
I.3.1. Pembatasan Masalah
Penulis membatasi permasalahan yang akan dibahas pada karya tulis ini pada
kasus suap menyuap di kepabeanan Bea Cukai Indonesia dan hubungannya
dengan prinsip etika bisnis.
I.3.2. Perumusan Masalah
Apakah yang dimaksud suap itu?
Bagaimana kaitan budaya suap dengan etika dalam melakukan bisnis?
Bagaimana gambaran nyata praktik suap yang terjadi di Indonesia?
Apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi praktik suap yang sudah
begitu membudaya?
I.4. Metode Penulisan
Dalam makalah Etika Bisnis ini, penulis menggunakan metode penelitian berupa studi
literatur dan pembahasan kasus.
I.5. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri atas 4 bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar
belakang, ruang lingkup, tujuan, dan metodologi penulisan. Bab kedua membahas
landasan teori. Bab ketiga berisi pembahasan kasus suap yang terjadi di Bea Cukai. Bab
keempat yang merupakan bab terakhir berisi kesimpulan dan saran dari makalah.
3
6. Bab II
Landasan Teori
2.1. Etika Bisnis
Etika merupakan konsepsi mengenai apa yang salah dan apa yang benar dan berkaitan
dengan fondasi dasar hubungan antar manusia.
Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah.
Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan,
institusi, dan perilaku bisnis. Ada tiga jenis masalah yang dipelajari dalam etika bisnis,
masalah tersebut adalah:
1. Masalah Sistemik
Adalah pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul mengenai sistem ekonomi, politik,
hukum, dan sistem sosial lainnya dimana bisnis beroperasi. Tingkatan ini mencakup
pertanyaan mengenai moralitas kapitalisme atau hukum, regulasi, struktur industri dan
praktik sosial dimana bisnis tersebut dijalankan.
2. Masalah Korporasi
Adalah pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul dalam perusaaan tertentu.
Permasalahan ini mencakup pertanyaan tentang moralitas aktivitas, kebijakan, praktik
dan struktur organisasional perusahaan individual sebagai keseluruhan
3. Masalah Individu
Adalah pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul seputar individu tertentu dalam
perusahaan. Masalah ini termasuk pertanyaan tentan moralitas keputusan, tindakan,
dan karakter individual.
Terkait dengan etika bisnis dan keputusan yang harus dibuat oleh perusahaan, dikenal
sebuah prinsip yang disebut utilitarianisme. Utilitiarianisme merupakan sebuah istilah
umum untuk semua pandangan yang menyatakan bahwa tindakan dan kebijakan
dievaluasi berdasarkan keuntungan dan biaya yang dibebankan pada masyarakat. Dalam
situasi apa pun, tindakan atau kebijakan yang ‘benar’ adalah yang memberikan
keuntungan paling besar atau biaya yang paling kecil (bila semua alternatif hanya
membebankan biaya, tidak ada keuntungan).
Untuk memastikan apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu, sesuai dengan prinsip
utilitarianisme, maka ada tiga hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu:
4
7. 1. Menentukan tindakan-tindakan atau kebijakan alternatif apa saja yang dapat
dilakukan dalam situasi tersebut
2. Untuk setiap tindakan alternatif, ditentukan keuntungan dan biaya langsung dan tidak
langsung yang akan diperoleh dari tindakan tersebut bagi semua orang yang
dipengaruhi oleh tindakan itu di masa yang akan datang
3. Alternatif yang memberikan utilitas paling besar wajib dipilih sebagai tindakan yang
secara etis tepat
2.2. Pengertian Korupsi
Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
Korupsi menurut As Hornby dan H. Wakefield adalah the offering and accepting of
bribes (penawaran atau pemberian dan penerimaan suap).
M.H. McKee memberikan definisi yang sederhana tentang korupsi sebagai penyalah
gunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Orang tidak dapat menganggap korupsi
selalu sama dan mempunyai dampak atau motivasi yang sama.
Menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 31/19997
juncto UU No. 20/20018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka korupsi
itu adalah perbuatan:
1. Melawan hukum yang merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara
(Pasal 2 ayat 1): dipidana penjara 4 – 20 tahun dan denda Rp 200 juta – Rp1
milyar; atau dapat juga dihukum mati;
2. Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 3) dipidana penjara
seumur hidup dan/ atau atau 1 tahun denda Rp50 juta – Rp1 milyar;
3. Pemberian suap kepada Pegawai Negeri termasuk Hakim maupun Advokad (Pasal
5, 6, 11, 12 huruf a, b, c, d, dan Pasal 13): dipidana penjara 1 – 5 tahun dan denda
Rp50 juta – Rp250 juta; penjara 3 –15 tahun dan/atau denda Rp150 juta – Rp750
juta; penjara seumur hidup – 20 tahun dan denda Rp200 juta – Rp1 milyar;
penjara paling lama 3 tahun dan/atau denda Rp150 juta;
4. Penggelapan dalam jabatan dan pemalsuan atau penghancuran atau penghilangan
dokumen (Pasal 8, 9 dan10): dipidana penjara 3 – 15 tahun dan denda Rp150 juta
5
8. – Rp750 juta; penjara 1 – 5 tahun dan denda Rp50 juta – Rp250 juta; penjara 2 – 7
tahun dan denda Rp100 juta – Rp250 juta;
5. Pemerasan dalam jabatan (Pasal 12 huruf e, f, dan g): dipidana penjara seumur
hidup 20 tahun dan denda Rp200 juta – Rp 1 milyar;
6. Pemborongan yang melakukan perbuatan curang (Pasal 7, 12i): dipidana penjara 2
– 7 tahun dan denda Rp100 juta – Rp350 juta; penjara seumur hidup – 20 tahun
dan denda Rp 200 juta – Rp 1 milyar;
7. Gratifikasi yaitu pasal 12 B: dipidana penjara seumur hidup – 4 tahun dan denda
Rp200 juta – Rp 1 milyar;
8. Percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
korupsi (Pasal 15): dipidana mati atau penjara 1 tahun dan denda Rp100 juta –
Rp1 milyar;
2.3. Alasan Orang Melakukan Korupsi
Beberapa pakar dalam bidang ilmu hukum pernah menyatakan, penyebab utama korupsi
di Indonesia adalah sebagai berikut:
(1) dari segi hukum: ketidaksempurnaan sistem hukum, kelemahan kelembagaan,
rendahnya profesionalitas penegak hukum;
(2) dari segi ekonomi: selama sistem ekonomi memungkinkan diperolehnya margin
dalam berusaha, maka korupsi akan terus terjadi;
(3) dari segi budaya: korupsi telah membudaya dan mengakar dalam kehidupan
masyarakat selama lebih dari tiga dekade.
2.4. Suap Sebagai Salah Satu Bentuk Korupsi
Menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20/20018 gratifikasi adalah pemberian dalam arti
luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma,
dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut bisa diberikan di dalam negeri maupun di luar
negeri, baik yang memakai sarana elektronik maupun yang tidak memakai sarana
elektronik.
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
”suap”, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya.
6
9. 2.5. Suap dalam Bisnis
Penyuapan didefinisikan oleh Transparency Internasional sebagai: penawaran atau
penerimaan hadiah, pinjaman, pembayaran, imbalan, atau keuntungan lainnya, yang
ditujukan kepada atau diterima dari siapa pun sebagai untuk melakukan sesuatu yang
tidak wajar, tidak syah atau pelanggaran kepercayaan, dalam tindakan berbisnis.
Tindakan suap merupakan upaya mempengaruhi untuk melakukan sesuatu yang tidak
wajar dan tidak syah. Yang dimaksud dengan ‘tidak wajar’ dan ‘tidak syah’ adalah
bilamana terjadi konversi dana atau barang yang diberikan menjadi kekuasaan untuk
mengambil keputusan yang bersifat tidak adil dan tidak transparan.
Walaupun suap merupakan suatu tindakan transaksi tetapi tidak dapat dianggap sebagai
transaksi bisnis. Transaksi suap ditandai oleh keterlibatan paling tidak dua orang di mana
paling sedikit salah seorang bertindak atas kewenangan mewakili perusahaan atau sebagai
agen dari perusahaan. Bila agen dari perusahaan tidak melaporkan atau menyerahkan
dana atau barang yang diterima dari pihak yang bertransaksi kepada prinsipal, maka yang
bersangkutan melakukan tindakan yang tidak transparan, tidak wajar dan tidak syah.
Perusahaan sebagai prinsipal dapat menganggap telah terjadi pelanggaran kepercayaan
maupun wewenang. Baik pihak pemberi maupun pihak penerima suap terlibat dalam
tindakan suap. Pihak pemberi dianggap berupaya mempengaruhi pihak penerima untuk
melakukan tindakan tidak etis yaitu menyalah-gunakan wewenangnya. Pihak penerima
melakukan tindakan tidak etis karena tidak memberikannya pada prinsipal dan diambil
sebagai hak miliknya sendiri.
Suap merupakan tindakan yang bukan saja tidak mengikuti kaidah etika bisnis tetapi juga
memiliki implikasi hukum, khususnya bila suap dilakukan pada pegawai negeri atau
pejabat negara sebagaimana tertuang dalam naskah Undang-undang 20/2001 Tentang
Tindak Pidana Korupsi.
2.6. Bisnis VS Suap
Esensi bisnis adalah suatu transaksi barang atau jasa antara paling sedikit dua pihak.
Kedua belah pihak melakukan negosiasi untuk menentukan dan mencapai kesepakatan
nilai atas barang atau jasa yang diperjual-belikan. Dalam kondisi tanpa
mempertimbangkan faktor-faktor lainnya atau ‘cetiris paribus’ maka proses negosiasi
demikian dianggap murni proses transaksi bisnis.
7
10. Proses transaksi murni bisnis di atas dapat menyimpang atau menjadi tidak murni lagi
bila dalam proses transaksi yang berjalan, khususnya dalam pengambilan keputusan dan
pencapaian kesepakatan, diwarnai oleh upaya mempengaruhi ataupun memperoleh
manfaat yang tidak transparan dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan untuk
kepentingan diri atau suatu kelompok. Tindakan demikian membawa dampak yang
merugikan konsumen maupun kondisi ekonomi secara makro. Yang menanggung biaya
untuk melakukan suap ini para konsumen sehingga pada akhirnya, kemampuan membeli
konsumen berkurang.
Bisnis dapat melakukan suap untuk memperoleh perlakukan istimewa atau khusus dalam
berbagai proses berbisnis seperti percepatan perolehan izin, perolehan tender, pemasokan
barang dan jasa, bahkan untuk memperoleh informasi dari dalam (‘inside information’)
yang menyebabkan persaingan bisnis menjadi tidak sehat.
8
11. Bab III
Pembahasan
3.1. Definisi Masalah
Bea dan Cukai adalah suatu lembaga pemerintah di bawah Departemen Keuangan yang
mengurusi pungutan Bea dan Cukai yang dikenakan terhadap barang-barang yang
keluarataupun masuk daerah pabean agar pelaksanaan, pengawasan, pelarangan dan
pembatasan menjadi efektif dan terkoordinasi.
Sebagai daerah kegiatan ekonomi maka sektor Bea dan Cukai merupakan suatu instansi
dari pemerintah yang sangat menunjang dalam kelancaran arus lalu lintas ekspor dan
impor barang di daerah pabean. Adapun tujuan pemerintah dalam mengadakan
pengawasan adalah untuk menambah pendapatan atau devisa negara; sebagai alat untuk
melindungi produk-produk dalam negeri (proteksi); dan sebagai alat pengawasan agar
tidak semua barang dapat keluar masuk dengan bebas di pasaran Indonesia atau daerah
pabean (penyelundupan).
Kasus suap dalam kepengurusan dokumen di kepabeanan Bea Cukai memang sudah
berlangsung cukup lama dan bahkan sudah menjadi rahasia umum di kalangan
pengusaha. Dengan menyediakan sejumlah ‘biaya siluman’, maka kepengurusan
dokumen di kepabeanan Bea Cukai akan berjalan lebih cepat.
Dua hasil survei memberi dukungan bahwa prosedur Bea dan Cukai di Indonesia punya
masalah serius. Pertama, hasil survei dari World Economic Forum (2007) menunjukkan
buruknya posisi Indonesia untuk isu ini. Kedua, hasil survei tahun 2005 dari Lembaga
Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) bekerja sama
dengan Bank Dunia memperkirakan bahwa pungli yang harus dibayar pengusaha kepada
aparat Bea dan Cukai mencapai 800 juta dollar AS atau Rp 7 triliun (pada kurs yang
berlaku saat itu). Menurut laporan tersebut, nilai ini setara 2,3% dari total nilai impor
Indonesia pada tahun 2004. Pengusaha menyebut setoran itu sebagai dana informal.
Dibayar kadang-kadang atau rutin. Pada bulan September, LPEM UI kembali melakukan
survei atas 589 perusahaan pengguna jasa kepelabuhan. Hasilnya menunjukkan bahwa
pungli memang menjadi sedikit, tetapi berubah menjadi suap menyuap (Basuki, 2008).
Survei ini juga menyatakan bahwa dari 589 perusahaan yang dijadikan responden, hanya
9
12. 9% yang mengatakan tidak pernah membayar suap dalam kepengurusan dokumen
kepabeanan pada pertengahan 2007. Padahal pada akhir 2005, ada 19% responden yang
menyatakan tidak pernah membayar suap, hal ini berarti semakin banyak pengusaha yang
melakukan praktik suap di kepabeanan Bea Cukai.
Dari Annual Report KPK tahun 2007 pada bagian Monitor poin 3 mengenai Pengkajian
Sistem Administrasi Impor di Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) menunjukkan
adanya praktik suap di sistem tersebut, temuan KPK antara lain sebagai berikut:
1) Tindak pidana korupsi berupa pungutan liar yang terjadi di titik analyzing point,
penerimaan dokumen, pengeluaran barang, dan penutupan manifest mencapai
nilai Rp. 890.000.000 per bulan.
2) Tindak pidana korupsi dalam bentuk kolusi di titik pemeriksaan fisik,
pemeriksaan dokumen, perbendaharaan, dan pengurusan dokumen di kawasan
berikat mencapai nilai Rp. 12.795.000.000 per bulan. Nilai ini hanyalah perkiraan
30% dari jumlah transaksi, sehingga sebenarnya nilai kolusi jauh di atas 12 miliar
rupiah per bulan.
3) Tidak dilakukannya evaluasi profil importir secara berkala yang mengakibatkan
keakuratan database profil importir belum dapat dihandalkan sehingga
pengawasan terhadap arus barang menjadi tidak efektif.
10
13. 4) Importir dapat memilih pemeriksa fisik yang dikehendaki yang mengakibatkan
kemungkinan kolusi dengan petugas.
5) Tidak adanya petunjuk teknis pemeriksaan dokumen sehingga memungkinkan
terjadinya banyak penyimpangan.
6) Sulitnya pengawasan terhadap kawasan berikat yang lokasinya jauh dari Kantor
Pelayanan Bea dan Cukai (KPBC) yang menimbulkan potensi penyelundupan.
3.2. Analisis Kasus
Kasus suap merupakan salah satu bentuk dari korupsi, sesuai definisi dari M.H. McKee
yang menyebutkan bahwa korupsi sebagai penyalah gunaan kekuasaan untuk kepentingan
pribadi. Kasus suap dalam kepengurusan dokumen di kepabeanan Bea Cukai melibatkan
dua pihak, yaitu pengusaha dan birokrat (pejabat pemerintah). Dimana kedua pihak dapat
memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan tindakan ini:
a) Pihak pengusaha untuk mempercepat kepengurusan dokumen memiliki
kesempatan untuk memberikan sejumlah ‘biaya suap’ kepada pihak birokrat.
Dalam hal ini tawaran untuk melakukan tindakan suap dilakukan oleh pihak
pengusaha demi kepentingan pribadinya.
b) Pihak birokrat mengharuskan pihak pengusaha untuk membayarkan sejumlah
‘biaya suap’ untuk pengurusan dokumen, dengan kemungkinan pihak birokrasi
mengancam tidak akan mengurus dokumen yang diajukan oleh pihak pengusaha
ataupun tawaran untuk menurunkan pajak barang. Dalam hal ini tawaran untuk
melakukan tindakan suap dilakukan oleh pihak birokrat demi kepentingan
pribadinya.
Kasus suap dalam kepengurusan dokumen di kepabeanan Bea Cukai merupakan masalah
sistemik dan korporasi. Masalah ini merupakan masalah sistemik dikarenakan tindakan
ini mengundang pertanyaan etis yang muncul mengenai sistem hukum dimana bisnis
beroperasi, hal ini dikarenakan lemahnya sistem hukum di Indonesia sehingga terjadi
pungutan liar dan suap di kepabeanan Bea Cukai yang merupakan suatu lembaga milik
pemerintah. Masalah ini juga dapat dikategorikan sebagai masalah korporasi, hal ini
terlihat dari adanya kebijakan dari pihak perusahaan sendiri untuk memberikan uang suap
kepada pejabat Bea Cukai demi mempercepat kepengurusan dokumen.
Adapun penyebab tindakan suap yang terjadi dapat dilihat dari beberapa faktor:
(1) Segi hukum
11
14. lemahnya penegakan hukum di Indonesia telah membuat lembaga pemerintah sekelas
Bea Cukai dapat melakukan tindakan korupsi dalam aktivitasnya.
(2) Segi budaya
Dalam budaya birokrasi di Indonesia ketika kebanyakan pemerintahan masih
menggunakan sistem kerajaan yang kemudian dimanfaatkan oleh penjajah Belanda,
upeti merupakan salah satu bentuk tanda kesetiaan yang dapat dipahami sebagai
simbiosis mutualisme. Dalam disertasi klasiknya yang berjudul The Making of A
Bureaucratic Elite (1979), Heather Sutherland menggambarkan betapa sistem upeti
yang telah berlangsung selama berabad-abad itu tetap menjadi pola transfer kekuasaan
antara rakyat dan penguasa ketika para birokrat di Indonesia sudah harus bekerja
dengan sistem administrasi modern. Pola patron-client di mana upeti merupakan alat
tukar kekuasaan dianggap sebagai standar yang wajar diantara para birokrat modern
atau pamong-praja di Indonesia.
Terkait dengan faktor ke-dua yaitu dari segi budaya dan berdasarkan hasil survei LPEM
UI yang menyebutkan bahwa hanya 9% pengusaha yang mengatakan tidak pernah
membayar suap dalam kepengurusan dokumen kepabeanan pada pertengahan 2007,
maka dari pihak pengusaha akan melakukan pembenaran mengenai tindakan suap yang
dilakukannya. Hal ini mengenai ‘suatu tindakan yang dikerjakan oleh semua orang’.
Ketika suatu tindakan itu dilakukan oleh semua orang, walaupun sesuatu itu salah, sebuah
pertanyaan muncul apakah tindakan tersebut melanggar etika atau tidak. Hal ini
dikarenakan etika merupakan konsepsi mengenai apa yang salah dan apa yang benar dan
berkatian dengan fondasi dasar hubungan antar manusia.
Dalam sebuah jurnal yang berjudul When Is “Everyone’s Doing It” a Moral
Justification? yang ditulis oleh Ronald M. Green, disebutkan bahwa ada lima kondisi
yang mengijinkan seseorang untuk melakukan tindakan yang jahat (harmful) tetapi
dilakukan secara umum (prevalent).
12
15. Conditions Permitting One to Engage In Harmful but Prevalent Behavior
1. Refraining from this behavior will unavoidaly cause you (or those you care for
or for whom you are responsible) serious harm or loss
2. Your engaging in this behavior will not also cause significantly more harm or
loss to others
3. Your engaging in this behavior will not lead others to engage in it ways that
are equally or more harmful, and this would be true if your engaging in this
behavior were to become public knowledge
4. Your refraining from this behavior will not lead others to refrain from it, and
this would be true if your refraining from this behavior were to become public
knowledge
5. Your refraining from this behavior will unavoidably lead others to engage in it
in ways that are substatially more harmful than would have been the case had
you choosen to engage in it yourself and this would be true if your refraining
from this behavior were to become public knowledge
Ronald menyebutkan bahwa jika salah satu dari empat kondisi pertama tidak terpenuhi,
maka keputusan moral akan tindakan tersebut akan menjadi lebih kompleks. Apabila kita
terapkan pada kasus suap di kepabeanan Bea Cukai di Indonesia:
1. Kondisi nomor satu tidak terpenuhi, hal ini dikarenakan apabila pengusaha tidak
melakukan suap pun tidak akan menyebabkan kerugian yang signifikan
2. Kondisi nomor dua juga tidak terpenuhi, hal ini dikarenakan dengan melakukan
suap maka ada dua pihak yang dirugikan, yang pertama adalah negara, adanya
kebocoran penerimaan negara akibat tindakan ini. Yang ke-dua adalah konsumen,
konsumen harus menanggung biaya suap yang dimasukkan dalam biaya produksi
perusahaan, yang tercermin dalam jumlah harga yang harus dibayarkan oleh
konsumen untuk membeli produk perusahaan pelaku suap tersebut.
3. Kondisi nomor tiga juga tidak terpenuhi, hal ini dikarenakan dengan melakukan
tindakan suap akan meningkatkan ketidak-pastian karena persaingan pasar
menjadi tidak sehat. Keberhasilan bergantung pada kekuatan dan kesanggupan
menyisihkan dana untuk suap, bukan peningkatan kualitas produk dan jasa,
sehingga perusahaan lain akan mengikuti untuk melakukan tindakan suap demi
mendapatkan keberhasilan usaha.
13
16. Karena sudah ada tiga kondisi dari empat kondisi pertama yang tidak terpenuhi, maka
tindakan suap bukanlah suatu tindakan yang diijinkan untuk dilakukan, walaupun semua
orang melakukan tindakan tersebut.
Adapun terkait dengan prinsip utilitarianisme, tindakan suap semestinya tidak dilakukan
oleh pihak pengusaha. Hal ini dapat kita analisis dengan melakukan prinsip
utilitarianisme untuk memastikan apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu, dalam
hal ini apakah akan melakukan tindakan suap atau tidak, maka ada tiga hal yang perlu
dilakukan terlebih dahulu:
(1) Menentukan tindakan-tindakan atau kebijakan alternatif:
Dalam hal ini ada dua tindakan yaitu melakukan suap dan melakukan prosedur dari
pihak pemerintah dalam kepengurusan dokumen di kepabeanan
(2) Untuk setiap tindakan alternatif, ditentukan keuntungan dan biaya langsung dan tidak
langsung yang akan diperoleh dari tindakan tersebut bagi semua orang yang
dipengaruhi oleh tindakan itu di masa yang akan datang:
Untuk tindakan suap, hal ini akan menguntungkan pihak perusahaan karena akan
mempercepat proses pengurusan dokumen, dalam hal ini keuntungan berupa time
value of money. Hanya saja hal ini akan merugikan negara karena bocornya
pendapatan negara dan akan merugikan pihak konsumen yang harus menanggung
‘biaya suap’ yang dimasukkan ke dalam biaya produksi.
Untuk tindakan melakukan prosedur dengan semestinya, hal ini kemungkinan akan
merugikan pihak perusahaan sebab waktu yang dapat ‘dipangkas’ dengan melakukan
suap dapat digunakan untuk aktivitas lain yang lebih memiliki value-added. Hanya
saja kerugian ini bersifat semu, atau biasa disebut opportunity cost. Sehingga dalam
hal ini tidak ada pihak yang diuntungkan atau pun dirugikan.
(3) Alternatif yang memberikan utilitas paling besar wajib dipilih sebagai tindakan yang
secara etis tepat:
Dari analisis sebelumnya, maka tindakan suap tidak memberikan utilitas yang paling
besar, dan cenderung menimbulkan biaya bagi pihak lain. Oleh karena itu tindakan
suap secara etis tidak tepat untuk dilakukan.
14
17. Bab IV
Kesimpulan dan Saran
4.1. Kesimpulan
Tindakan suap-menyuap dalam kegiatan bisnis merupakan salah satu masalah sistemik
dalam prinsip etika bisnis, hal ini dikarenakan akan ada pihak-pihak yang dirugikan,
antara lain:
a. Efek suap yang utama adalah timbulnya ekonomi biaya tinggi dan berakibat
makin tingginya tingkat harga barang dan jasa karena harus menutup biaya yang
tidak langsung berkaitan dengan proses produksi barang dan jasa. Konsumen
dirugikan.
b. Suap meningkatkan ketidak-pastian karena persaingan pasar menjadi tidak sehat.
Keberhasilan bergantung pada kekuatan dan kesanggupan menyisihkan dana
untuk suap, bukan peningkatan kualitas produk dan jasa.
4.2. Saran
Untuk mencegah terjadinya tindakan suap-menyuap dalam kegiatan bisnis perusahaan,
perlu dilakukan tindakan pencegahan. Tindakan preventif ini dilihat dari dua sisi pihak
yang berkepentingan, yaitu:
1. Perusahaan (Pelaku Kegiatan Bisnis)
yaitu dengan melakukan transformasi budaya perusahaan untuk menciptakan iklim
etis (ethical climates) yang kondusif untuk menerapkan bisnis tanpa suap, menuntut
perubahan pada empat komponen utama perusahaan yang saling terkait yaitu: (1)
struktur, (2) sistem, (3) prosedur, dan (4) sumber daya manusia perusahaan, yaitu
dengan cara menanamkan nilai-nilai dan norma budaya perusahaan yang
mengharamkan:
a) Penggunaan kekuatan uang atau barang untuk memperoleh perlakukan
istimewa atau khusus
b) Mengalahkan pesaing dengan cara-cara yang tidak sehat.
Upaya perusahaan untuk mengurangi biaya-biaya yang tidak memberi nilai tambah
dan membebani konsumen termasuk pula dalam upaya transformasi budaya.
15
18. 2. Pemerintah (Regulator)
a) Menerapkan sistem reward dan punishment. Misalnya A adalah pengusaha yang
memiliki kesempatan melakukan penyuapan dan B adalah pejabat yang memiliki
kesempatan untuk menerima suap. Ketika A melakukan penyuapan, jika B
melaporkan A maka B akan mendapatkan reward (tentunya yang lebih besar
dibandingkan nilai suap yang diberikan oleh A) dan A akan mendapatkan
punishment atas perbuatannya. Sebaliknya jika B memaksa A untuk melakukan
tindakan suap, jika A melaporkan B maka A akan mendapatkan reward dan B
mendapatkan punishment atas perbuatannya.
b) Menghukum dengan tegas kedua pihak yang terlibat tindakan suap-menyuap,
bukan hanya pihak yang disuap tetapi juga menghukum pihak yang menyuap,
misalnya dengan mencabut ijin ekspor/ impor untuk perusahaan yang melakukan
tindakan penyuapan.
16
19. DAFTAR PUSTAKA
Velasquez, Manuel G. Business Ethics; Concepts and Cases, 5th ed. (Pearsons, Prentice
Hall; New Jersey, 2002)
The Society for Business Ethics. Business Ethics Quarterly 9 (April 1999).
Media Indonesia. Rabu, 26 September 2007. Halaman 1 Kolom 4-5.
http://kumoro.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2008/03/budaya-upeti-suap-dan-birokrasi-publik.pdf
http://www.ti.or.id/publikasi/bisnismelawansuap.pdf
http://media.vivanews.com/documents/2008/10/13/240_Data%20Korupsi%20versi%20KPK%202007.pdf
http://www.kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-98-2928-16062008.pdf
http://www.legalitas.org/
17